Puasa Syawal Haruskah Berturut-Turut?
Assalamu’alaikum Pak Ustadz.
Mengenai puasa sunnah syawal, adakah aturan yang baku
Apakah harus 6 hari di awal syawal dan haruskan 6 hari berturut-turut,
Tolong sertakan dalilnya pak ustadz?
Jazakallah.
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Haruskah puasa Syawwal dilakukan berturut-turut atau tidak, para fuqaha berbeda pendapat.
Mengapa berbeda pendapat? Tidak adakah aturan dari nabi SAW tentang tata cara puasa Syawwal?
Jawabnya
memang tidak ada aturannya. Dan oleh karena itulah makanya para ulama
berbeda pendapat. Seandainya ada hadits shahih yang menjelaskan bahwa
puasa Syawwal itu harus berturut-turut sejak tanggal-tanggal Syawwal,
maka pastilah semua ulama bersatu dalam pendapat.
Namun
karena tidak ada satu pun dalil qath’i yang sharih dan shahih tentang
aturan itu, amat wajar bila hal itu masuk ke wilayah ijtihad.
Kalau
yang berijtihad hanya orang awam seperti kita, mungkin bisa kita
abaikan. Akan tetapi kita merujuk kepada orang yang paling tinggi
levelnya dalam berijtihad. Mereka adalah para imam mazhab dan pendirinya
langsung.
Berikuti ini adalah pendapat mereka:
a. Asy-Syafi’iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan bahwa afdhalnya
puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secara berturut-turut selepas hari
raya ‘Iedul fithri.
Sehingga afdhalnya menurut mazhab
ini puasa Syawwal dilakukan sejak tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawwal.
Dengan alasan agar jangan sampai timbul halangan bila ditunda-tunda.
Nampaknya
pendapat ini didukung oleh beberapa kalangan umat Islam di negeri ini.
Misalnya di daerah Pekalongan Jawa Tengah. Sebagian masyarakat muslim di
sana punya kebiasaan puasa Syawwal 6 hari berturut-turut sejak tanggal 2
syawwal. Sehingga ada lebarang lagi nanti pada tanggal 8 Syawwal.
b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi
kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan apakah harus
berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi
keutamaan.
Sehingga dilakukan kapan saja asal masih di
bulan Syawwal, silahkan saja. Tidak ada keharusan untuk berturut-turut,
juga tidak ada ketentuan harus sejak tanggal 2 Syawwal.
Mereka
juga mengatakan bahwa puasa 6 hari syawwal ini hukumnya tidak mustahab
bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan Ramadhan.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan
kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6 hari syawwal
mengatakan sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa lebih utama bila
dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar
dikerjakan 2 hari dalam satu minggu.
d. Mazhab Al-Malikiyah
Adapun
kalangan fuqaha Al-Malikiyah lebih ekstrim lagi. Merekamalah mengatakan
bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan bergandengan langsung
dengan bulan Ramadhan. Hukumnya makruh bila dikerjakan mulaitanggal 2
Syawwal selepas hari ‘Iedul fithri.
Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga disunnahkan di luar bulan Syawwal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah.
Demikianlah
perbedaan pendapat di kalangan 4 mazhab, semua terjadi karena tidak ada
satu pun nash yang menetapkan puasa Syawwal harus dikerjakan dengan
begini atau begitu. Dan ketiadaan nash ini memberikan peluang untuk
berijtihad di kalangan fuqaha.
Kita boleh menggunakan
pendapat yang mana saja, karena semua merupakan hasil ijtihad para
fuqaha kawakan, tentunya mereka sangat mengerti dalil dan hujjah yang
mendukung pendapat mereka.
Dan rasanya aneh kalau kita
yang awam ini malah saling menyalahkan antara sesama yang awam juga.
Sebab hak untuk saling menyalahkan tidak pernah ada di tangan kita.
Jangankan kita, para ulama besar itu pun tidak pernah saling
menyalahkan. Meski mereka saling berbeda pendapat, namun hubungan
pribadi di antara mereka sangat erat, mesra dan akrab.
Kita
tidak pernah mendengar mereka saling mencaci, memaki, atau melecehkan.
Padahal mereka jauh lebih berhak untuk membela pendapat mereka. Namun
sama sekali kita tidak pernah mendengar perbuatan yang tercela seperti
itu.
Hanya orang-orang kurang ilmu saja yang pada hari
ini merasa dirinya pusat kebenaran, lalu menganggap bahwa semua orang
harus selalu salah. Naudzubillah,
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Sumber: Rumah Fiqih
Enam Amalan Sunnah di Idul Adha
Idul Fitri dan Idul Adha datang sekali dalam satu tahun. Keduanya adalah hari besar Islam dengan fadhilah yang berbeda. Masing-masing memiliki keutamaannya sendiri dan juga memeiliki kesunnahan yang berbeda.
Ibadah sunnah tahunan ini mempunyai ciri khas masing-masing, Hari Raya Idul Fitri misalnya ditengarai dengan saling bermaaf-maafan, berkunjung kesanak family dan para kerabat. Berbeda dengan Hari Raya Idul Adha yang dikenal dengan Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji, karena pada hari itu kegiatan kurban dan ibadah haji dilaksanakan.
Sebagai ibadah tahunan, maka hendaknya kita laksanakan dengan sesempurna mungkin dengan menjalankan semua amalan-amalan sunnah pada hari tersebut dengan niat tulus dan mengharap pahala dari Allah SWT. Berikut kesunahan yang dianjurkan oleh para ulama’,
Pertama, Mengumandangkan takbir di Masjid-masjid, Mushalla dan rumah-rumah pada malam hari raya, dimulai dari terbenamnya matahari sampai imam naik ke mimbar untuk berkhutbah pada hari raya idul fitri dan sampai hari terakhir tanggal 13 Dzulhijjah pada hari tasyriq. Karena pada malam tersebut kita dianjurkan untuk mengagungkan , memuliakan dan menghidupkannnya, anjuran ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Raudlatut Thalibin
فَيُسْتَحَبُّ
التَّكْبِيرُ الْمُرْسَلُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي الْعِيدَيْنِ جَمِيعًا،
وَيُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكَّدًا، إِحْيَاءُ لَيْلَتَيِ الْعِيدِ
بِالْعِبَادَةِ
Disunahkan mengumandangkan takbir
pada malam hari raya mulai terbenamnya matahari, dan sangat disunahkan
juga menghidupkan malam hari raya tersebut dengan beribadah.Sebagian fuqaha’ ada yang memberi keterangan tentang beribadah dimalam hari raya, yaitu dengan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ berjama’ah, sampai dengan melaksanakan shalat subuh berjama’ah.
Kedua, mandi untuk shalat Id sebelum berangkat ke masjid, hal ini boleh dilakukan mulai pertengahan malam, sebelum waktu subuh, dan yang lebih utama adalah sesudah waktu subuh, dikarenakan tujuan dari mandi adalah membersihkan anggotan badan dari bau yang tidak sedap, dan membuat badan menjadi segar bugar, maka mandi sebelum waktu berangkat adalah yang paling baik. Berbeda jika mandinya setelah pertengahan malam maka kemungkinan bau badan akan kembali lagi, begitu juga kebugaran badan.
يُسَنُّ الْغُسْلُ لِلْعِيدَيْنِ، وَيَجُوزُ بَعْدَ الْفَجْرِ قَطْعًا، وَكَذَا قَبْلَهُ، ويختص بالنصف الثاني من الليل
Disunnahkan mandi untuk shalat Id, untuk waktunya boleh setelah masuk waktu subuh atau sebelum subuh, atau pertengahan malam.Kesunahan mandi adalah untuk semua kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, baik yang akan akan berangkat melaksanakan shalat Id maupun bagi perempuan yang sedang udzur syar’I sehingga tidak bisa melaksanakan shalat Id.
Ketiga, disunahkan memakai wangi-wangian, memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau-bau yang tidak enak, untuk memperoleh keutamaan hari raya tersebut. Pada hakikatnya hal-hal tersebut boleh dilakukan kapan saja, ketika dalam kondisi yang memungkinkan, dan tidak harus menunggu datangnya hari raya, misalnya saja seminggu sekali saat hendak melaksanakan shalat jum’at. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab terdapat keterangan mengenai amalan sunnah ini,
والسنة أن يتنظف بحلق الشعر وتقليم الظفر وقطع الرائحة لانه يوم عيد فسن فيه ما ذكرناه كيوم الجمعة والسنة أن يتطيب
Disunnahkan
pada hari raya Id membersihkan anggota badan dengn memotong rambut,
memotong kuku, menghilangkan bau badan yang tidak enak, karena amalan
tersebut sebagaimana dilaksanakan pada hari jum’at, dan disunnahkan juga
memakai wangi-wangian.Keempat, memakai pakaian yang paling baik lagi bersih dan suci jika memilikinya, jika tidak memilikinya maka cukup memakai pakaian yang bersih dan suci, akan tetapi sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang paling utama adalah memakai pakaian yang putih dan memakai serban.
Berkaitan dengan memakai pakaian putih, ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki yang hendak mengikuti jama’ah shalat Id maupun yang tidak mengikutinya, semisal satpam atau seseorang yang bertugas menjaga keamanan lingkungan, anjurannya ini tidak terkhususkan bagi yang hendak berangkat shalat saja, melainkan kepada semuanya.
Sedangkan untuk kaum perempuan, maka cukuplah memakai pakaian yang sederhana atau pakaian yang biasa ia pakai sehari-hari, karena berdandan dan berpakaian secara berlebihan hukumnya makruh, begitu juga menggunakan wangi-wangian secara berlebihan. Dalam Kitab Raudlatut Thalibin dijelaskan,
وَيُسْتَحَبُّ
أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُهُ مِنَ الثِّيَابِ، وَأَفْضَلُهَا
الْبِيضُ، وَيَتَعَمَّمُ. فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا، اسْتُحِبَّ
أَنْ يَغْسِلَهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، وَيَسْتَوِي فِي اسْتِحْبَابِ
جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ، الْقَاعِدُ فِي بَيْتِهِ، وَالْخَارِجُ إِلَى
الصَّلَاةِ، هَذَا حُكْمُ الرِّجَالِ. وَأَمَّا النِّسَاءُ، فَيُكْرَهُ
لِذَوَاتِ الْجَمَالِ وَالْهَيْئَةِ الْحُضُورُ، وَيُسْتَحَبُّ
لِلْعَجَائِزِ، وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ، وَلَا يَتَطَيَّبْنَ، وَلَا
يَلْبَسْنَ مَا يُشْهِرُهُنَّ مِنَ الثِّيَابِ، بَلْ يَخْرُجْنَ فِي
بِذْلَتِهِنَّ.
Disunnahkan memakai pakaian yang
paling baik, dan yang lebih utama adalah pakaian warna putih dan juga
memakai serban. Jika hanya memiliki satu pakaian saja, maka tidaklah
mengapa ia memakainya. Ketentuan ini berlaku bagi kaum laki-laki yang
hendak berangkat shalat Id maupun yang tidak. Sedangkan untuk kaum
perempuan cukupla ia memakai pakaian biasa sebagaimana pakaian
sehari-hari, dan janganlah ia berlebih-lebihan dalam berpakaian serta
memakai wangi-wangian.Sabda Nabi SAW berikut memberi penjelasan tentang memakai pakaian yang paling baik, riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas RA,
كَانَ يلبس في العيد برد حبرة
Rasulullah SAW di hari raya Id memakai Burda Hibarah (pakaian yang indah berasal dari yaman).Kelima, ketika berjalan menuju ke masjid ataupun tempat shalat Id hendaklah ia berjalan kaki karena hal itu lebih utama, sedangkan untuk para orang yang telah berumur dan orang yang tidak mampu berjalan, maka boleh saja ia berangkat dengan menggunakan kendaraan. Dikarenakan dengan berjalan kaki ia bisa bertegur sapa mengucapkan salam dan juga bisa bermushafahah(Bersalam-salaman) sesama kaum muslimin. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat dari Ibnu Umar,
كَانَ يَخْرُجُ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
Rasulullah SAW berangkat untuk melaksanakan shalat Id dengan berjalan kaki, begitupun ketika pulang tempat shalat Id.Selain itu dianjurkan juga berangkat lebih awal supaya mendapatkan shaf atau barisan depan, sembari menunggu shalat Id dilaksanakan ia bisa bertakbir secara bersama-sama di masjid dengan para jama’ah yang telah hadir. Imam Nawawi dalam Kitabnya Raudlatut Thalibin menerangkan anjuran tersebut,
السُّنَّةُ لِقَاصِدِ الْعِيدِ
الْمَشْيُ. فَإِنْ ضَعُفَ لِكِبَرٍ، أَوْ مَرَضٍ، فَلَهُ الرُّكُوبُ،
وَيُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ أَنْ يُبَكِّرُوا إِلَى صَلَاةِ الْعِيدِ إِذَا
صَلَّوُا الصُّبْحَ، لِيَأْخُذُوا مَجَالِسَهُمْ وَيَنْتَظِرُوا الصَّلَاة
Bagi
yang hendak melaksanakan shalat Id disunahkan berangkat dengan berjalan
kaki, sedangkan untuk orang yang telah lanjut usia atau tidak mampu
berjalan maka boleh ia menggunakan kendaraan. Disunnahkan juga berangkat
lebih awal untuk shalat Id setelah selesai mengerjakan shalat subuh,
untuk mendapatkan shaf atau barisan depan sembari menunggu
dilaksanakannya shalat.Keenam, untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan makan setelah selesai melaksanakan shalat Id, berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri disunahkan makan sebelum melaksanakan shalat Id. Pada masa Nabi SAW makanan tersebut berupa kurma yang jumlahnya ganjil, entah itu satu biji, tiga biji ataupun lima biji, karena makanan pokok orang arab adalah kurma. Jika di Indonesia makanan pokok adalah nasi, akan tetapi jika memiliki kurma maka hal itu lebih utama, jika tidak mendapatinya maka cukuplah dengan makan nasi atau sesuai dengan makanan pokok daerah tertentu.
عن بريدة رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ويوم النحر لا يأكل حتي يرجع
Diriwayatkan
dari Sahabat Buraidah RA, bahwa Nabi SAW tidak keluar pada hari raya
Idul Fitri sampai beliau makan, dan pada hari raya Idul Adha sehingga
beliau kembali kerumah.Diriwayatkan juga dari Sahabat Anas RA,
أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَخْرُجُ يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وترا
Rasulullah SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa kurma yang jumlahnya ganjil.Dengan demikian, anjuran makan pada hari raya Idul Adha adalah setelah selesai melaksanakan shalat Id, alanglah lebih baik jika ia makan kurma sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi jika tidak mendapati kurma, bolehnya ia makan dengan yang lain, misalnya nasi bagi rakyat Indonesia, disesuaikan dengan makanan pokok daerah tertentu.
Pen. Fuad H. Basya
Tradisi-tradisi Hari Raya yang Disunnahkan
Menjelang hari raya, umat Islam berbondong-bondong pergi ke pasar, membeli baju yang baru, untuk dipakai di hari raya nanti. Hal ini merupakan pengejawantahan dari ajaran Islam yang menganjurkan memakai baju-baju yang bagus dalam hari raya. Imam al-Bukhari menulis satu bab dalam Shahih-nya berjudul bab al-tajammul fi al-‘idain (berhias diri dalam dua hari raya) dengan menyitir hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ عُمَرُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَلْبَثَ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّكَ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ وَأَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ الْجُبَّةِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا حَاجَتَكَ.
Abdullah bin Umar berkata: “Umar ibnul-Khaththab melihat pakaian dari sutra yang dijual di pasar, lalu Umar mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah. Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya seandainya engkau beli kain ini lalu engkau kenakan pada hari raya dan apabila ada utusan datang kepada engkau.” Beliau bersabda, “Yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagian di akhirat.” Lalu Umar terdiam beberapa lama. Kemudian Rasulullah mengirimkan kepada Umar ibnul Khaththab r.a. sehelai jubah dari sutra. Lalu Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah bersabda bahwa ini adalah pakaian orang yang tidak memiliki bagian di akhirat, dan engkau mengirimkan jubah ini kepadaku?” Rasulullah bersabda, “Aku memberikan kepadamu untuk kamu jual atau engkau pergunakan untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memakai baju yang bagus merupakan tradisi sejak masa Rasulullah saw dan berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu, al-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata dalam al-Mughni:
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّجَمُّلَ عِنْدَهُمْ فِيْ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ كَانَ مَشْهُوْرًا وَقَالَ مَالِكٌ : سَمِعْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّوْنَ الطِّيْبَ وَالزِّيْنَةَ فِيْ كُلِّ عِيْدٍ. 2/228
Hadits di atas menunjukkan bahwa berhias diri pada momen-momen seperti ini telah populer di kalangan sahabat. Imam Malik berkata: “Aku mendengar ahli ilmu menganjurkan minyak wangi dan berhias diri dalam setiap hari raya.”
2. Ucapan Selamat Idul Fitri
Ketika idul fitri dan idul adhha tiba, kita lihat umat Islam saling mengucapkan selamat hari raya, dan terkadang mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum, sebagai ungkapan suka cita dengan hari yang mereka rayakan. Hal ini merupakan tradisi yang berlangsung sejak generasi sahabat Nabi saw. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
وَرَوَيْنَا فِي الْمَحَامِلِيَّاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيْدِ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Kami meriwayatkan dalam al-Mahamiliyyat dengan sanad yang hasan dari jalur Jubair bin Nufair, berkata: “Para sahabat Rasulullah saw apabila bertemu pada waktu hari raya, mereka saling mengucapkan, “Semoga Allah menerima dari kami dan dari Anda.”
Berkaitan dengan ucapan selamat hari raya, al-Hafizh Ibnu Hajar, telah menulis sebuah kitab khusus tentang ucapan selamat pada hari raya, berjudul al-Tahni’ah fi al-A’yad wa Ghairiha. Bahkan al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, menulis dalam kitabnya al-Hawi lil-Fatawi, satu risalah khusus tentang ucapan selamat berjudul Washul al-Amani bi-Ushul al-Tahani.
3. Saling Meminta Maaf dan Halal Bi-Halal
Setelah hari raya tiba, kita saksikan pula umat Islam di tanah air saling meminta maaf antara yang satu dengan yang lain. Bahkan tidak sedikit pula yang melakukan itu dalam bentuk acara halal bi-halal, yang bertujuan saling memaafkan dosa-dosa dan kesalahan antara sesama yang telah berlalu. Hal ini dilakukan, karena setelah menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh, dengan sempurna, Allah SWT telah menjanjikan pengampunan dosa-dosa kita kepada-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه البخارى ، ومسلم).
“Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan ketulusan, maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw menjanjikan ampunan Allah kepada orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan karena motivasi keimanan dan niatan yang tulus. Tentu saja ampunan tersebut khusus dosa-dosa seseorang kepada Allah. Sedangkan dosa-dosa seseorang kepada sesama, harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kesalahan berupa harga diri atau sesuatu kepada saudaranya, maka hendaknya ia meminta kehalalannya kepada orang tersebut sekarang ini, sebelum terjadi suatu hari di mana dinar dan dirham tidak berlaku (hari kiamat). Apabila ia mempunyai amal shaleh, maka akan dibayarkan kepada saudaranya itu sesuai dengan kesalahannya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka ia akan dibebankan kesalahan-kesalahan saudaranya itu.” (HR. al-Bukhari).
Hadits ini memberikan kesimpulan, bahwa kesalahan kepada sesama manusia, harus meminta maaf atas kesalahannya kepada orang tersebut. Oleh karena itu, kaum Muslimin pada waktu hari raya saling bermaaf-maafan, dengan berkunjung kepada kerabat dan tetangga, atau saling bermaaf-maafan yang dikemas dalam acara halal bi-halal, sebuah istilah yang diambil dari redaksi hadits di atas “falyatahallalhu”.
4. Saling Anjang Sana
Ketika hari raya, kita lihat umat Islam di nusantara saling anjang sana sesama tetangga dan dengan sanak keluarga yang dekat dan yang jauh. Hal ini selain sebagai ekspresi shilaturrahmi yang memang dianjurkan dalam agama, seperti dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ – أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ.
Dati Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “”Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali kekerabatan.” (HR. al-Bukhari).
Dalam rangka menghubungkan tali kekerabatan, pada hari raya umat Islam melakukan anjang sana, saling mengunjungi antar sesama saudara dan kerabat. Anjang sana ketika hari raya ternyata juga telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw. Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
Aisyah berkata, “Rasulullah saw masuk padaku, dan di sisiku ada dua anak wanita yang menyanyi dengan nyanyian Perang Bu’ats. Beliau berbaring di atas hamparan dan memalingkan wajah beliau. Abu Bakar masuk, sedang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menutup wajah dengan pakaian beliau, lalu Abu Bakar menghardik saya dan mengatakan, “Seruling setan di rumah Rasulullah?” Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menghadap Abu Bakar lantas bersabda, “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar”. Maka, ketika beliau lupa, saya mengisyaratkan kepada kedua anak wanita itu, lalu keduanya keluar.”
Dalam hadits di atas, dijelaskan bahwa pada waktu hari raya, Sayyidina Abu Bakar mengunjungi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan putrinya, Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa anjang sana pada waktu hari raya telah berlangsung sejak masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
5. Aneka Kue dan Makanan Pada Waktu Hari Raya
Umat Islam di Nusantara memeriahkan hari raya juga dengan aneka kue dan makanan yang disuguhkan kepada tamu. Hal ini sebagai pengejawantahan dari ajaran Islam yang menganjurkan memberi makanan kepada orang lain. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ، قَالَ: طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ. (رواه أحمد).
Amr bin Abasah berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: “Wahai Rasulullah, Apakah Islam itu?” Beliau menjawab: “Islam adalah perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain.” (HR. Ahmad).
Pada dasarnya memberi makanan tidak hanya dianjurkan pada waktu hari raya saja. sebagai ekspresi ajaran Islam yang indah dan damai, memberi makanan kepada orang lain dianjurkan kapan dan di mana pun kita berada. Akan tetapi, dalam masa-masa hari raya, suguhan kue dan makanan lebih semarak dari pada di luar hari raya. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari dari Aisyah di atas, yang dikomentari oleh para ulama sebagai berikut ini:
فِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ التَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ فِيْ أَيَّامِ اْلأَعْيَادِ بِأَنْوَاعِ مَا يَحْصُلُ لَهُمْ بِهِ بَسْطُ النَّفْسِ وَتَرْوِيْحُ الْبَدَنِ مِنْ كُلَفِ الْعِبَادَةِ، فِيْهِ أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُوْرِ فِيْ الأَعْيَادِ مِنْ شَعَائِرِ الدِّيْنِ. (فتح الباري 2/514، عمدة القاري 6/393).
“Hadits di atas menganjung hukum disyariatkannya memberikan keluasan kepada keluarga pada waktu hari raya dengan aneka ragam hal yang mendatangkan kesenangan jiwa dan penyegaran badan dari beratnya ibadah. Hadits tersebut juga mengandung kesimpulan bahwa mengekspresikan kesenangan dalam hari raya termasuk bagian dari syiar agama.”
Berdasarkan pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-‘Aini di atas, hadits al-Bukhari dari Aisyah di atas, mengantarkan kita pada kesimpulan tentang disyariatkannya menyemarakkan hari raya dengan aneka ragam hiburan, kue, makanan, baju baru, menyalakan petasan (mercon) dan lain-lain untuk menyegarkan kembali tubuh kita yang telah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Dari semua paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aneka ragam tradisi di Nusantara pada saat-saat hari raya, bukanlah amaliah bid’ah yang dilarang dalam agama. Tradisi-tradisi tersebut pada dasarnya pengejawantahan dari ajaran Islam yang mensyariatkan umatnya untuk menyemarakkan hari raya dengan aneka ragam acara yang dapat mengekspresikan syiar-syiar Islam dan suka cita.
Wallahu a’lam.
Ust. Muhammad Idrus Ramli (www.idrusramli.com)
Hati-Hati Menggunakan Mukena
Bisa jadi lengan yang terlalu panjang ataupun ruang telapak tangan yang terlalu lebar, menutupi telapak tangan yang seharusnya menempel pada lantai (alas shalat semisal sajadah) ketika bersujud. Demikian juga dengan bagian muka. Terkadang asesoris yang berlebihan dalam mukena yang terpasang di bagian muka, menghalangi jidat menempel di alas shalat ketika sujud. Sungguh yang demikian ini dapat menyebabkan shalat tidak sah
Oleh karena itu, hendaklah bagi perempuan untuk berhati-hati memakai mukena, dikarenakan jika sampai ada bagian dari mukena yang menutupi bagian muka (jidat) dan telapak tangan ketika bersujud, maka sujudnya dianggap tidak sah dan secara otomatis shalatnyapun tidak sah, karena sujud adalah bagian dari rukun shalat. Imam Taqiyuddin Asy-Syafi’I dalam Kifayatul Akhyar memberi penjelasan mengenai masalah tersebut,
فَلَو سجد على جَبينه أَو أَنفه لم يكف
أَو عمَامَته لم يكف أَو على شدّ على كَتفيهِ أَو على كمه لم يكف فِي كل
ذَلِك إِن تحرّك بحركته
Ketika seseorang bersujud
dengan dahi dan hidung tidak menempel ke tanah (alas shalat) maka tidak
sah, atau bersujud diatas serban (yang merupkan bagian dari busana)
maupun lengan baju yang sedang ia pakai juga dianggap tidak sah, karena
kesemuanya itu menempel dengan badan.Dengan artian apa saja yang sedang dipakai seseorang dalam shalat seperti mukena, serban, peci dan lain-lain yang menghalangi dahi maupun telapak tangan menempel ke alas shalat ketika bersujud maka tidak sah.
Sedangkan untuk sajadah dan serban yang sengaja digunakan sebagai alas sujud maka tidaklah mengapa, karena tidak termasuk sesuatu yang ia pakai yang tidak mengikuti gerakan dalam shalat sebagai mukena.
Fuad H.
sumber: nu.or.id
Fakih Eksklusif
Melihat kemampuan Imam Syafii dalam mengambil kesimpulan hukum fikih dan kedalaman analisisnya, pemuda itu pun bertanya kepadanya, “Bagaimana anda mencapai level setinggi ini dalam kesimpulan fikih dan analisis anda?” Imam Syafii menjawab, “Aku belajar seluk beluk kehidupan sosial selama 20 tahun lamanya untuk memudahkanku dalam mengambil kesimpulan fikih.”
Cerita di atas, terlepas dari kebenarannya, cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seorang fakih, atau akademisi muslim pada umumnya, harus benar-benar matang, baik ilmu pengetahuan, wawasan, maupun pengalaman. Ia harus mempersiapkan dirinya secara multidimensi dan maksimal. Kesiapan multidimensi mencakup keluasan pengetahuan terhadap ilmu agama, kejelian pikiran dalam menyingkap makna-makna yang tersirat dalam teks-teks sumber hukum serta kaitannya satu sama lain, dan kelapangan dada untuk turun langsung ke ranah kehidupan untuk membaca realitas sosial dan konstelasi politik yang marak diperbincangkan. Selain itu, ia harus memiliki kesiapan yang maksimal, baik mental maupun fisik. Dengan kata lain, seorang akademisi muslim harus benar-benar all out di dalam kehidupan ilmiahnya, tidak boleh setengah-setengah.
Titik tekan dari cerita di atas sebenarnya ada pada pentingnya seorang fakih untuk membaca realitas kehidupan. Inilah yang seringkali dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan akademisi muslim, karena beberapa sebab; di antaranya adalah terlalu terpaku pada teks sumber hukum atau pun pada fatwa ulama-ulama terdahulu, begitu juga dengan pola pikir sang fakih yang sangat sempit, keengganan untuk melihat realitas umat dan bergaul dengan masyarakat luas (eksklusif), dan lain sebagainya. Akibatnya, hikmah Islam sebagai rahmatan lil alamin pun tergerus bersama hilangnya humanisme Islam, fleksibelitas, toleransi terhadap pemeluk Islam sendiri maupun pemeluk agama lain, dan empat karakteristik Islam lainnya sebagaimana dicatat oleh Sheikh Al-Qaradhawi di dalam al-Khashâ’ish al-‘âmmah li al-Islâm.
Tidak hanya itu, sifat eksklusif fakih ini juga berimbas pada perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Mereka menganggap agama hanya ritual-ritual yang menjadi rutinitas. Bahkan, mereka menganggap agama sebagai kungkungan yang setiap orang harus berlepas darinya, karena dianggap mengebiri hak-hak personal.
Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kondisi sastra. Suatu hari, Prof. Thahir Abdul Lathif, dosen mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah, pernah ditanya, “Man huwa al-adîb?” (Siapakah sastrawan itu?) Ia menjawab,“Al-Adîb huwa alladzi yamsyî tahta aqdâm al-mujtama.” (Sastrawan itu adalah mereka yang berjalan di bawah telapak kaki masyarakat). Dalam hal ini sungguh jelas, bahwa sastrawan yang sebenarnya adalah mereka menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dimengerti tatkala dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat, namun bermakna dalam dan penuh dengan pesan-pesan moral.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa adanya kemiripan antara “sastrawan aristokrat” dengan “fakih eksklusif” dalam hal orientasi dan cara pandang, yang masing-masing berusaha menjauhkan nilai-nilai dari sastra dan agama. Bahkan, fakih eksklusif inilah yang paling bertanggung jawab atas perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Jika sejatinya agama adalah pengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari aturan personal hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, maka agama di mata masyarakat saat ini adalah kumpulan ritual personal yang membosankan. Parameter takwa dalam konsep relasi vertikal, maupun parameter akhlak dalam konsep relasi horizontal, hanya tertulis di buku-buku sejarah para pendahulu. Tujuh kakteristik universal Islam yang seharusnya menjadi landasan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekedar teori yang tak kunjung diaktualkan.
Di samping itu, ada beberapa kalangan dari akademisi muslim yang hanya menjadikan Islam sebagai alat legitimasi untuk mempropagandakan ide-ide impor yang pada dasarnya sangat sulit diterima oleh nalar dan fitrah manusia. Permasalahan yang paling kentara dan banyak diperbincangkan oleh kalangan ini adalah kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan kesetaraan (fraternity), yang berujung pada integrasi semua agama. Dalam hal ini, Islam jelas-jelas mempunyai jalan sendiri dalam memandang ketiga hal tersebut. Namun lagi-lagi, tidak banyak kaum muslimin yang mengetahuinya, apalagi mengamalkannya.
Jika ditelusuri, penyebab munculnya kalangan akademisi muslim yang seperti ini adalah karena hilangnya nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi sekaligus karakter setiap pemegang identitas muslim; seperti keikhlasan, kejujuran, dan lain-lain. Akibatnya, orientasi mereka dalam mempelajari agama bukan lagi untuk tegaknya kalimat Allah di muka bumi, namun karena tujuan-tujuan tertentu. sehingga mereka hanya mempelajari Islam secara umum, bukan secara mendetail.
Dalam hal ini, Imam Syafii merupakan tipe ideal seorang akademisi muslim. Ia merupakan sosok yang matang, baik ilmu, wawasan, maupun pengalamannya. Setelah mematangkan ilmu agamanya, ia tak segan-segan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu sosial dan bahasa, yang secara tidak langsung sangat membantunya dalam memecahkan berbagai macam permasalahan fikih. Sehingga aktualisasi Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar termanifestasi di dalam dirinya sebagai seorang akademisi muslim teladan sepanjang sejarah.
Di era modern, kita melihat beberapa fakih/akademisi muslim yang yang patut dijadikan teladan dalam membaca realitas sosial dan konstelasi politik; seperti Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqhu al-Aulawiyât (Fikih Prioritas), Fiqhu al-Aqaliyyât al-Muslimah (Fikih Muslim Minoritas), Min Fiqhi al-Daulah(Fikih Bernegara), dan lain-lain; begitu juga dengan Grand Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi dalam Muʻamalât al-Bunûk wa Ahkâmuha al-Syarʻiyyah(Hukum-hukum Syariah Transaksi Perbankan); demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Imarah dalam Fiqhu Muqâwamah al-Istibdâd al-Siyâsi (Fikih Melawan Tirani), salah satu buku yang ia tulis pasca revolusi 25 Januari 2011 kemarin.
Mereka semua telah membuktikan bahwa hidup seorang fakih/akademisi muslim tidak hanya berkisar antara rumah atau perpustakaan. Seorang fakih justru harus membaca realitas dan mengikuti perkembangan zaman. Ia harus berbekal dengan berbagai ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Seorang akademisi muslim harus pandai memainkan kejelian pikirannya—dengan asas takwa dan jujur—untuk menguraikan hikmah dan kemudahan ajaran Islam. Sehingga Islam benar-benar menjadi pola hidup manusia, baik yang berkaitan dengan relasi vertikal maupun horizontal, di tangan para akademisi muslim yang sejati. Begitu juga Islam menjadi dasar konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ahmad Satriawan Hariadi, Mahasiswa tingkat III, Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Media Sosial Sebabkan Peningkatan Angka Perceraian di Palestina
Satu laporan tahunan yang dikeluarkan oleh pengadilan di wilayah Palestina memperlihatkan terjadi peningkatan angka perceraian yang mencolok selama 2013.
“Angka perceraian di wilayah Palestina meningkat jadi 20 persen pada 2013 dari 16 persen pada 2012,” kata laporan itu, sebagaimana dikutip Xinhua. “Kebanyakan perceraian tersebut terjadi di kalangan pasangan muda.”
Yousef Idies, Hakim Kepala di pengadilan di wilayah Palestina, memberitahu Xinhua bahwa secara umum penyebab utama perceraian di Jalur Gaza dan Tepi Barat “adalah kondisi keuangan yang buruk yang mengakibatkan perpecahan pahit antara istri dan suami mereka”.
“Namun beberapa studi tahun lalu memperlihatkan banyak pertengkaran dan perbedaan pendapat di kalangan keluarga Palestina disebabkan oleh penyalahgunaan Facebook, sehingga mengakibatkan peningkatan dramatis angka perceraian,” kata Idies.
Ia menambahkan, “Meningkatnya popularitas jejaring sosial mengakibatkan timbulnya rasa tidak percaya dan cemburu antara suami dan istri.”
Sementara itu, pada Selasa (4/2) Presiden Palestina Mahmoud Abbas menaja dan membiayai perkawinan massal 100 pengantin di Jalur Gaza di Kota Gaza.
Perkawinan massal tersebut diselenggarakan oleh mantan perwira di satuan Pengawal Presiden Palestina.
Sumber: nu.or.id
Inilah Pengakuan Mantan Mufti Mesir tentang IM
Mosleminfo, Kairo—Beberapa
minggu terakhir ini Mesir kembali memanas setelah Ikhwanul Muslimin
(IM) menuduh mantan Mufti Agung Republik Arab Mesir Prof. Dr. Shaikh Ali
Gom’ah telah memerintahkan militer untuk membunuh para demonstran.
Video ceramah Shaikh Ali Gomah yang telah diedit tersebar luas di dunia
maya. Seluruh media elektronik IM memberitakan hal ini, baik di Mesir
maupun luar Mesir.
Shaikh Ali Gomah tidak tinggal diam,
beliau pun mengklarifikasi berita dusta tersebut. Beliau menyatakan
bahwa ceramahnya dalam rekaman tersebut hanya terkait para teroris di
Sinai yang mengancam keamanan Mesir, juga para demonstran anarkis yang
membawa senjata.
Sabtu (19/10) Shaikh Ali Gomah menuliskan dalam status facebooknya sebagaimana berikut:
Demonstrasi
damai adalah hak setiap orang yang dilindungi oleh negara dan hukum.
Akan tetapi jika demonstran damai berubah menjadi demonstran yang
membawa senjata untuk membunuh dan menghancurkan maka negara harus
melawannya.
Terjadi dialog antara saya dengan seorang pelajar:
Pelajar: Mengapa Anda menfatwakan untuk membunuh para demonstran?
Shaikh Ali: Apakah kamu mendengarnya langsung dari saya?
Pelajar: Tidak, saya tidak mendengar langsung dari Anda.
Shaikh
Ali: Inilah masalahnya, kamu tidak mendengarkannya langsung dari saya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdusta dengan
berbicara tentang semua yang ia dengar.” Apakah kamu tahu hadis ini?
Pelajar: Tidak.
Shaikh Ali: Apakah kamu ingin berbohong atas namaku padahal kamu tidak mendengarkannya langsung dariku?
Saya
tahu anak ini hanya sekedar menyampaikan berita. Akan tetapi dia telah
salah besar karena tidak memverifikasi berita yang dia dengar. Ajaran
agama kita semuanya berlandaskan pada verifikasi. Krisis kita saat ini
semuanya bermuara pada tidak adanya sikap ingin memverifikasi berita.
Semua darah suci yang telah mengalir saat ini adalah dampak dari hal
ini. Perkara ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil
agama kalian, demikian yang dikatakan oleh Syu’bah.
Berita
tersebut adalah dusta, saya tidak pernah mengatakan: “Bunuhlah para
demonstran!” Saya pun tidak pernah mengucapkan kalimat tersebut. Ini
adalah dusta Ikhwanul Muslimin pada situs-situs mereka. Karena mereka
sedang merancang untuk membunuh saya. Untuk mendapatkan pembenaran
pembunuhan saya mereka ingin mengafirkan saya. Untuk mendapatkan
pembenaran pengkafiran saya mereka mengatakan bahwa saya telah
menghalalkan darah kaum muslimin. Menurut mereka saya termasuk dalam
golongan kaum munafik. Maka mereka memerintahkan untuk membunuh saya
dengan rentetan pikiran seperti itu.
Redaktur: Abdurrahman
Prof. Dr. Syaikh Ali Jum’ah Syiah?
Baru-baru
ini tersebar sebuah statemen dari Dr. Jamal Abdussattar, mantan wakil
Menteri Agama Mesir di era rezim Ikhwanul Muslimin, bahwa Prof. Dr.
Syaikh Ali Jum’ah adalah seorang penganut Syiah. Tuduhan tersebut
didasarkan pada cerita dari al-marhum Dr. Abdul Azim al-Muthni.
Sebenarnya
tuduhan miring tersebut hanyalah sekedar halusinasi yang tentunya
sangat tidak berdasar. Tuduhan itu diungkap ke publik karena kekasalan
yang membuncah di kalangan Ikhwanul Muslimin terhadap sosok ulama yang
kesohor dan berpengaruh di Mesir, seperti Dr. Ali Jum’ah tersebut.
Karena beliau getol memerangi pemikiran radikal yang membahayakan Islam,
umat Islam, dan negara Mesir.
Sudah banyak
tuduhan-tuduhan tidak berdasar, cacian-cacian, dan kebohongan-kebohongan
yang ditebarkan oleh kalangan Ikhwanul Muslimin. Kelompok yang telah
resmi dibubarkan di Mesir ini, seakan kehilangan kontrolnya pasca
kekalahan politiknya di Mesir. Bahkan, rakyat Mesir sudah tidak percaya
lagi dengan kelompok terlarang ini.
Bukan kali ini saja
Ikhwanul Muslimin menyerang para ulama terkemuka Al-Azhar asy-Syarif.
Sebelumnya, Grand Shaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Thayyib sudah menjadi
bulan-bulanan para kader IM, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sebelum saya lanjutkan tulisan ini, saya haturkan ribuan terima kasih
kepada redaksi www.mosleminfo.com
jika sudi menerbitkan tulisan singkat al-faqir ini. Karena al-faqir
perhatikan situs ini konsisten menyuarakan Islam moderat, utamanya
terkait kondisi terkini di Mesir, tempat al-faqir belajar.
Akidah Syaikh Ali Jum’ah
Bagi
orang yang mengenal sosok Syaikh Ali Jum’ah baik secara langsung
melalui ceramahnya maupun melalui karya-karya monumentalnya, akan mudah
mengenali dan tidak akan ragu bahwa akidah beliau adalah Ahlussunah wal
Jamaah (aswaja), bukan Syiah. Tidak akan mengingkari hal itu melainkan
orang yang tidak kenal dengan beliau, atau seorang pembohong.
Dalam
berbagai ceramah dan karyanya, Dr. Ali Jum’ah selalu konsisten
menegakkan manhaj Aswaja dan membelanya. Bahkan beliau menulis buku
khusus tentang mazhab Aswaja ini dalam karya beliau yang berjudul
“Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah” yang diterbitkan oleh Dar el-Muqatam.
Lebih
dari itu, tepat setahun yang lalu, Oktober 2012, Majma’ Buhuts
al-Islamiyah (Dewan Riset Ilmiah) Al-Azhar mengadakan seminar ilmiah
selama tiga hari, dimulai dari hari Minggu 7/10/2012 hingga Selasa
8/10/2012, bertempat di Auditorium Muhammad Abduh Universitas Al-Azhar
Mesir. Tema yang diangkat saat itu adalah “Menghadapi Ideologi
Transnasional di Masyarakat”. Seminar ini diselenggarakan Al-Azhar untuk
membendung ekspansi Syiah ke Mesir. Para ulama Al-Azhar senior dan
sebagian pemikir Islam dihadirkan dalam seminar tersebut, seperti Grand
Mufti saat itu Prof. Dr. Ali Jum’ah, Guru Besar Ilmu Hadis Universitas
Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Guru Besar Hadis Universitas
Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ma’bad Abdul Karim, pemikir Islam kontemporer
Prof. Dr. Muhammad Imarah, Dr. Ahmad Salus, dan lain-lain.
Yang
perlu digarisbawahi, saat menyampaikan materi di hadapan ratusan
peserta seminar, Syaikh Ali Jum’ah mengkritik keras Syiah. Beliau
menghimbau agar Syiah tidak getol menyebarkan ajarannya di tengah
masyarakat Sunni, karena hal itu akan menimbulkan perselisihan dan
ketidakstabilan. Kemudian beliau mempertajam kritikannya pada tema
pengubahan Al-Quran, akidah al-bada’ (pengubahan takdir), keadilan
sahabat Nabi, taqiyah, ishmah (kemaksuman Ahli Bait), dan lain-lain.
Beliau mengkritik Syiah karena berpendapat bahwa Al-Quran yang ada saat
ini telah diubah. Beliau dasarkan hal ini pada pendapat ulama Syiah
an-Nuri dalam kitabnya “Fashlu al-Khithab fi Tahrif Kitab Rabbi
al-Arbab”. Dalam persoalan al-bada’ beliau mengkritik keras Syiah karena
berpendapat bahwa Allah bisa saja telah menakdirkan sesuatu, lantas
menganulir dan meralatnya. Terkait keadilan para sahabat Nabi, beliau
mengkritik Syiah yang kerap menghina para sahabat. Beliau menyebutkan
kitab seorang Syiah yang berjudul “Bihar al-Anwar” karya al-Majlisi
dimana 5 jilid dari kitab tersebut berisi cacian terhadap para sahabat
Nabi.
Sungguh sangat aneh, jika dari sekian ceramah,
diskusi, dan karya-karyanya, Syaikh Ali Jum’ah dituduh sebagai seorang
pengikut Syiah, hanya berlandaskan cerita seorang syaikh yang sudah
al-marhum dan tidak bisa dikonfirmasi lagi. Apakah ini adalah salah satu
rentetan kebohongan IM yang nasibnya sudah di ambang kehancuran?
Wallahu A’lam.
Ahmad Maulana
Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir
Kirimkan artikel, opini, atau tulisan anda lainnya ke www.mosleminfo2012@gmail.com
Al-Azhar Ambil Langkah Konkrit Bendung Penyebaran Syiah di Mesir
Mosleminfo, Kairo–Prof. Dr. Hasan Syafi’i, ketua kantor teknis Grand Shaikh Al-Azhar dan ketua Akademi Bahasa Arab, mengungkapkan bahwa Al-Azhar berniat akan membentuk komite khusus guna merancang diktat pendidikan agama dalam silabus pendidikan di setiap jenjang pendidikan di bawah jenjang kuliah, yang akan dimulai pada tahun ajaran yang akan datang. Hal tersebut bertujuan untuk membendung penyebaran Syiah melalui penjelasan akidah Ahlussunah wal Jama’ah yang akan membentengi masyatakat dari ideologi Syiah.
Syafi’i menjelaskan, bahwa telah terbentuk komite khusus yang dipimpin oleh Grand Shaikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Tayyeb, dan beranggotakan perwakilan dari berbagai aliran Sunni. Beliau juga menjelaskan, bahwa Al-Azhar akan bekerja keras untuk menjaga akidah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah), bukan hanya di Mesir, akan tetapi di berbagai negara Islam Sunni, seperti negara-negara Arab, Turki, dan lainnya.
Syafi’i juga menekankan, bahwa komite tersebut akan menerbitkan diktat-diktat tentang cinta Ahlulbait (keluarga Nabi) sesuai dengan manhaj Sunni, jawaban tentang bid’ah dan khurafat dalam paham Syiah, akidah Ahlulbait dan Aswaja tentang Ahlulbait serta posisi mereka dari kemaksuman dan imamah. Dan juga akan menjelaskan akidah Aswaja dalam masalah khilafiyah dengan Syiah dari berbagai perspektif, dengan menyesuaikan jenjang pendidikan yang berbeda-beda.
Syafi’i menekankan, bahwa dalam menghadapi penyebaran Syiah, Al-Azhar tidak bertujuan mengafirkan Syiah dan tidak bermaksud menyerangnya, akan tetapi menjelaskan bahwa Al-Azhar menolak pengalihan hukum cabang (furu’) ke ranah akidah, khususnya dalam masalah kemaksuman para imam (dalam Syiah) yang dijadikan sebagian dari masalah keimanan (rukun iman).
Syaikh Abdul Tawwab Qutub, mantan wakil Al-Azhar menjelaskan, bahwa Grand Shaikh Al-Azhar Ahmad Tayyeb menunjuk Dr. Muhammad Imarah (Pemikir Muslim,Anggota Dewan Riset Islam Al-Azhar), dan Dr. Hasan Syafi’i, agar menjadi anggota komite khusus untuk membendung penyebaran Syiah, dan keduanya diberikan mandat untuk memilih dari ulama Al-Azhar, dan beberapa aliran pemikiran lainnya.
Qutub juga menekankan bahwa Al-Azhar menolak paham-paham baru yang dibawa Syiah untuk masyarakat Sunni. Al-Azhar akan melawan paham Syiah di seluruh negara-negara sunni, yang jumlahnya mencapai 2,5 milyar, sedangkan Syi’ah tidak lebih dari 200 juta jiwa.
Qutub juga menekankan, bahwa diktat-diktat yang akan diterbitkan akan diajarkan kepada murid-murid di sekolah-sekolah mulai tahun ajaran yang akan datang. Di dalamnya mencakup penjelasan yang lugas tentang kemoderatan Islam yang jauh dari pemikiran-pemikiran yang ada, dan menjelaskan asas-asas yang paten dalam syariat Islam yang disepakati oleh Ahlussunah wal jama’ah. Dalam diktat dan silabus yang akan diterbitkan Al-Azhar, tidak akan mengandung serangan terhadap Syiah, akan tetapi hanya sebatas penjelasan akidah Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu akidah yang akan menbentengi masyarakat dari paham Syiah.
Kemudian, Qutub mengatakan, bahwa inilah aspek yang diperhatikan oleh Al-Azhar. Yang menjadi perhatian kita adalah melindungi Mesir dari konflik sektarian yang terjadi di beberapa negara Arab tetangga, meskipun tidak ada konflik agama dan sektarian di Mesir.
Sementara itu, Syaikh Ali Abdul Baqi (Sekjen Dewan Riset Islam) mengumumkan akan dimulainya pertemuan penanggungjawab para khotib dalam skala nasional, untuk membahas rencana untuk melawan husainiyat (tempat ibadah Syiah) dan penyebaran Syiah, dan menyelenggarakan pelatihan khusus bagi para khotib Al-Azhar dan aktifis dakwah, dengan menjadikan 5 khatib sebagai penanggungjawab dakwah di setiap provinsi.
Abdul Baqi menambahkan, bahwa tujuan dari pelatihan ini adalah mengenalkan kepada para khotib wilayah, akan kesamaan dan perbedaan antara paham Sunni dan Syiah, sehingga setiap muslim memahami hal tersebut.
Abdul Baqi juga menjelaskan, pelatihan ini akan berlangsung selama sebulan, kemudian penyebaran dan pengadaan pertemuan-pertemuan dengan para aktifis dakwah di setiap provinsi, untuk mendukung misi Al-Azhar.(waag-azhar/AF)
Turki Dukung Presiden Mesir dan Al-Azhar
Mosleminfo, Kuwait—Menteri
Luar Negeri Turki Ahmed Davutoglu mengatakan negaranya akan mendukung
siapapun presiden Mesir yang dipilih oleh rakyat, baik Morsi maupun
lainnya. Karena Turki sangat menghormati pilihan rakyat, dan hanya ingin
Mesir semakin kuat, karena Mesir adalah jaminan satu-satunya untuk
menjaga keamanan dan stabilitas kawasan.
Dalam
konferensi pers di Kedutaan Besar Turki di Kuwait, Oglu menambahkan
bahwa Turki tidak mendukung tokoh atau golongan tertentu. Akan tetapi
mendukung presiden yang dipilih oleh rakyat. Turki bersikap seperti itu
demi kebaikan Mesir. Hanya satu yang diinginkan Turki, Mesir dan militer
Mesir semakin kuat.
Oglu mengatatakan bahwa sejak awal
Arab Spring, Turki menghormati keputusan-keputusan dan tuntutan-tuntutan
rakyat Arab apapun itu, baik di Tunisia, Libya, Yaman, bahkan Mesir.
Karena tuntutan rakyat Arab merupakan bentuk dari pemilu yang bebas dan
adil.
Terkait kabar yang tersebar bahwa Turki melakukan
serangan verbal kepada institusi Al-Azhar, Oglu membantah keras akan hal
itu. Turki sama sekali tidak melakukan serangan verbal apapun kepada
institusi Al-Azhar yang suci dan dihormati oleh seluruh rakyat Turki.
“Grand
Shaikh Al-Azhar adalah tokoh pertama yang bertemu dan menyambut
kedatangan Erdogan saat kunjungan terakhirnya ke Mesir. Saya juga
belajar di Al-Azhar untuk mendapatkan ijazah. Al-Azhar sangat dihormati
oleh seluruh rakyat Turki,” ungkap Oglu. (almasryalyoum/sm)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan