Kenapa Kita Bermazhab?
Terdapat pertanyaan yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, “Kenapa kita harus bermazhab?”, “Bukannya kita diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya, dan bukan para imam mazhab?”, atau “Bahkan para imam mazhab pun melarang kita untuk bertaklid kepada mereka!”
Pertanyaan itu pun sempat berputar di kepala saya selama beberapa tahun hingga saya mencari jawabannya dan akhirnya saya mendapatkannya. Setidaknya terdapat tujuh poin penting yang kita dapatkan dalam bermazhab. Saya akan jelaskan satu persatu, semoga bermanfaat.
Pertama. Mazhab-mazhab fikih itu Musannadah, atau memiliki sanad dalam setiap perkataan dan pemahamannya. Sanad merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan beragama seorang muslim. Ibnu Sirin, salah seorang ulama generasi tabiin berkata, “Awalnya mereka (kaum muslim saat itu) tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika terjadi fitnah mereka berkata beritahu kami siapa orang (yang kau ambil ilmunya)! Lalu dilihatlah para kaum ahlusunah dan hadis mereka diambil, dan dilihatlah kaum ahli bidah dan hadis mereka tidak diambil.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Sirin, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian!”
Awalnya Rasulullah mengajarkan agama ini kepada para sahabat. Para sahabat pun memiliki derajat pemahaman terhadap agama yang berbeda-beda karena beberapa sebab. Maka dikenallah beberapa orang sahabat yang tidak hanya meriwayatkan hadis dariRasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, namun juga mereka dikenal sebagai para mujtahid dari para sahabat. Di antaranya adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah binti Abu Bakar.
Saat Rasulullah tiada, para sahabat ini beserta para sahabat lain berpencar ke berbagai penjuru daerah untuk menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah. Ibnu Mas`ud menetap di Kufah, Ibnu Umar menetap di Madinah, Abu Musa al-Asy`ari di Yaman, Anas bin Malik di Bashrah, dan Amru bin al-`Ash di Mesir. Dan di generasi selanjutnya, terdapat dua aliran besar dalam Islam yaitu madrasah ahlu ra`yi, para murid dari Ibnu Mas`ud di Kufah dan madrasah ahlu hadis, para murid dari Ibnu Umar di Madinah.
Dari dua madrasah inilah kemudian muncul imam Abu Hanifah di Kufah dan imam Malik bin Anas di Madinah. Kemudian muncul Imam Syafi`i yang belajar kepada imam Malik dan imam Muhammad bin al-Hasan As-Syaibani murid dari imam Abu Hanifah. Kemudian muncul imam Ahmad bin Hanbal yang belajar kepada imam Syafi`i. Para imam itu kemudian mengajarkan ilmunya kepada generasi-generasi selanjutnya dengan cara yang sama. Penjelasan tentang sanad dalam mazhab Syafi`i saja akan menghabiskan banyak sekali lembaran catatan yang berisi nama, tahun wafat, nama guru dan muridnya.
Sanad merupakan salah satu sebab kenapa ajaran agama Islam bisa bertahan dan tidak berubah laiknya agama Yahudi dan Nasrani. Maka, menjaga tradisi beragama melalui sanad dalam mazhab juga merupakan jalan untuk menjaga agama ini dari serangan tangan-tangan orang luar Islam.
Kedua. Mazhab-mazhab fikih itu Makhdumah, menjadi bahan penelitian yang sangat serius. Awalnya bermula dari kitab yang dituliskan oleh imam mazhab ataupun oleh muridnya, kitab itu kemudian diringkas, diteliti dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ringkasan itu kemudian kita kenal sebagai matan yang kemudian disyarah oleh generasi selanjutnya. Syarah dari matan itu pun kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk hasyiah, kemudian diberi komentar-komentar oleh generasi selanjutnya. Tidak berhenti di situ, terkadan sebuah matan kembali diringkas, ditambahi, kemudian dijelaskan, dan begitu seterusnya. Maka, akan terdapat silsilah kitab yang jelas di setiap mazhab.
Contohnya dalam mazhab Syafi`i. Terdapat empat kitab yang diwariskan oleh Imam Syafi`i dan muridnya, yaitu kitab al-Umm, al-Imla’, mukhtasar al-Buwaythi, dan mukhtasar al-Muzani. Mukhtasar al-Muzani kemudian disyarah oleh tujuh orang ulama generasi setelahnya dan diringkas oleh satu orang hingga terdapat delapan buah kitab muktamad yang berasal darinya. Salah satunya adalah kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab karya imam Haramayn al-Juwayni yang kemudian diringkas oleh imam al-Ghazali menjadi tiga kitab, yaitu al-Basith, al-Wasith, dan al-Wajiz.
Al-Wajiz kemudian disyarah oleh imam Rafi`i menjadi Fath al-`Aziz yang kemudian diringkas lagi oleh imam Nawawi menjadi Rawdhah al-Thalibin dan imam Qazwini menjadial-Hawi al-Shaghir. Kedua kitab itu pun masih diringkas, lalu disyarah, dan syarah itu kemudian disyarah, dikomentari, dan ditambahi hinga menjadi belasan kitab lainnya.
Selain itu terdapat tiga kitab utama dari kalangan ulama Syafi`i muta’akhir, yaitu al-Lubab, al-Muharrar, dan Ghayah al-Ikhtishar. Ketiga kitab itu pun disyarah, diberi hasyiah, terus dan terus dikaji hingga silsilah kitab dalam mazhab Syafi`i bisa tergambar jelas dalam sebuah diagram pohon silsilah yang panjang.
Ketiga. Mazhab-mazhab itu Mudallalah, yaitu setiap hukum yang terdapat di dalamnya memiliki landasan baik dari al-Quran, sunah, maupun sumber hukum lainnya sesuai dengan metode ijtihad dari masing-masing mazhab. Perbedaan pendapat di antara mazhab satu dengan lainnya bukanlah didasarkan atas akal-akalan para ulama mazhab, namun karena perbedaan metode, pemahaman, penilaian terhadap riwayat, situasi tempat tinggal, dan beberapa sebab lain.
Contohnya saja dalam masalah Basmalah dalam surat al-Fatihah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Basmalah termasuk surat al-Fatihah. Dalam membacanya pun terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Semuanya memiliki dalil dan metode sendiri-sendiri yang menyebabkan perbedaan pendapat ini.
Keempat. Mazhab-mazhab itu memiliki akar yang menyambung kepada imam masing-masing. Dan perbedaan imam tersebut menjadikan perbedaan kaidah-kaidah dan metode ijtihad yang berbeda satu sama lain. Di dalam fikih mazhab Syafi`i terdapat lima kaidah utama yang dijelaskan oleh imam al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nadza’ir, yang lima kaidah itu belum tentu ada di mazhab lainnya.
Kelima. Mazhab-mazhab itu memiliki metode sendiri dalam pengajarannya. Setiap mazhab memiliki metode yang berbeda dalam setiap tingkatan untuk memudahkan para penuntut ilmu dalam menyerap dan memahami fikih sesuai dengan kemampuannya. Misalkan dalam mazhab Syafi`i terdapat kitab Safinah al-Najah untuk pemula dengan berbagai syarahnya, kemudian diteruskan dengan kitab al-Ghayah wa al-Taqrib untuk tingkat selanjutnya juga dengan berbagai syarahnya, kemudian ada kitab Fath al-Mu`in, al-Muhadzab, Minhaj al-Thalibin, dan kitab-kitab lain hingga jika seorang murid telah mampu untuk membaca dan memahami ia bisa menelaah sendiri kitab-kitab yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi`i.
Seorang pelajar pemula akan lebih cepat memahami dan mempraktekkan apa yang ia pahami jika telah dibuat ringkas sebagaimana matan Safinah al-Najah. Jika anda membuka matan kitab itu, maka anda akan melihat bahwa di dalamnya hanya terdapat hal-hal yang utama untuk diketahui lebih awal oleh para pemula. Kitab itu hanya memuat bab rukun Iman dan Islam, bab bersuci, bab salat, bab jenazah, bab zakat, puasa dan haji dengan penjelasan yang sangat singkat. Karena hal itulah yang paling utama untuk diketahui dan diamalkan oleh pemula sesaat setelah mereka balig. Berbeda dengan matan al-Ghayah wa al-Taqrib yang isinya lebih lengkap, dan berbeda juga dengan matan Minhaj al-Thalibinyang di dalamnya disertai dengan perbedaan pendapat antara ulama-ulama di dalam mazhab Syafi`i.
Hal itu berbeda jika pembelajaran dimulai menggunakan kitab yang berisi hadis-hadis dengan sedikit komentar di dalamnya. Sebuah hadis bisa saja memiliki dua hingga lima maksud yang berbeda yang hal itu akan sangat menyulitkan bagi para pemula. Belum lagi bahwa diperlukan waktu yang lama untuk mempelajari seluruh hadis sahih yang ada dalam bab bersuci, lalu kapan bab salat, puasa dan haji akan dipelajari? Bagaimana jika ketika seorang pelajar telah memasuki usia balig namun ia baru sampai di bab bersuci?
Matan kitab-kitab tersebut adalah hasil ijtihad dari penulis kitab itu sesuai dengan metode yang telah ia pelajari. Memang, di dalam matan-matan itu jarang sekali terdapat dalil baik dari al-Quran ataupun sunah. Namun pendalaman akan dalil-dalil itu bisa diperdalami di kemudian hari saat seorang pelajar telah siap untuk hal itu.
Seorang muslim akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah sejak ia masuk usia balig. Maka, hal-hal yang harus dipenuhi pertama kali adalah hal yang menunjang ia dalam beribadah di saat itu.
Keenam. Mazhab-mazhab itu telah terkodifikasi, dan telah terkomparasikan antara satu dan lainnya. Pada tinggat selanjutnya, seorang pelajar akan bertemu dengan pelajaran fikih perbandingan mazhab yang mana di sana ia akan bertemu dengan perbedaan pendapat antara mazhab satu dan lainnya. Di sana juga ia akan mengenali perbedaan pendapat, dalil dan metode ijtihad yang telah menjadi ciri dari mazhab-mazhab itu sendiri.
Seluruh pendapat dan metode ijtihad itu merupakan bangunan tradisi keilmuan fikih yang sangat megah yang jika mazhab-mazhab itu dihapuskan maka usaha dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini tak lagi ada harganya. Ini juga merupakan salah satu upaya penghargaan atas jerih payah dan pengabdian para pendahulu kita terhadap agama ini. Semoga Allah membalas mereka dan menempatkan mereka di tempat yang layak.
Ketujuh. Terakhir, dengan kodifikasi mazhab-mazhab tadi maka setiap mazhab telah memiliki metode ijtihad sendiri yang dapat dijadikan landasan dalam menghadapi hal-hal baru yang tidak ada sebelumnya dan perlu dicarikan hukumnya. Jika bermazhab dilarang, maka para mujtahid di masa yang akan datang akan terputus dari metode ijtihad yang telah ada pada generasi sebelumnya.
Maka, bermazhab itu bukanlah soal mengikuti pendapat imam A dan meninggalkan hadis yang ada, namun lebih dari itu. Bermazhab itu mempelajari metode ijtihad dalam menggali hukum dari al-Quran dan hadis. Bermazhab itu melestarikan tradisi keilmuan fikih Islam yang telah dibangun sejak zaman Rasulullah dan para sahabat. Bermazhab itu memberikan penghargaan kepada para pendahulu kita yang telah memberikan sumbangsih yang tiada tara kepada peradaban keilmuan Islam secara keseluruhan. Bermazhab itu adalah salah satu cara untuk menjaga agama ini agar bertahan dari serangan pihak lain hingga hari akhir nanti. Semoga bermanfaat.
Fahmi Hasan Nugroho,
Mahasiswa Tingkat III, Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar-Kairo.
Referensi
- Al-Fawa’id al-Makiyah, fi ma Yahtajuh Thalabah al-Syafi`iyah min al-Masa’il wa al-Dhawabith wa al-Qawaid al-Kulliyah, Syaikh `Alawi bin Ahmad bin Abdurrahman al-Saqqaf, Dar al-Faruq, Kairo, 2012
- Al-Ghayah wa al-Taqrib, al-Qadhi Abu Syuja` Ahmad bin al-Husain bin Ahmad al-Ashfahani, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Safinah al-Najah, Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami, al-Maktabah al-Islamiyah, Kairo, 2011.
- Shahih Muslim, Imam Muslim, Maktabah Syamilah.
- Tarikh al-Tasyri` al-Islami, Rasyad Hasan Khalil, Kairo, 2011.
- `Ulum al-Hadis, Dr. al-Khusyu`i Muhammad al-Khusyu`i, Kairo, 2011.
Sistem Ekonomi Berbasis Fitrah
Jika memang tujuan utama hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., sudah selayaknya kegiatan ekonomi kita sejalan dengan kehendak-Nya. Lebih-lebih Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur segala kehidupan para pemeluknya, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, dari hal yang paling kecil hingga paling besar. Maka tak heran, jika banyak non muslim yang berpaling kepada Islam setelah ‘terjaga’ dan sadar atas keunggulan agama ini, logis dan universal.
Judul diatas akan kita telusuri dari berbagai segi, seperti konsep Islam dalam hutang, zakat, dan lainnya. Tentunya penulis hanya akan mengulasnya secara sekilas, sebagai mukaddimah dalam memahami tawaran sistem Islam dalam perekonomian.
Konsep Hutang-Piutang
Islam memandang hutang sebagai wujud bantuan dari pemilik uang kepada si penghutang, tidak ada unsur lain. Bahkan kesediaan memberi hutang dianggap setara dengan setengah pahala sedekah, tapi dengan satu syarat; menjauhi riba.[1]
Kenapa dengan riba? Karena riba berarti money creates money, tanpa ada kerja yang riil. Riba juga dapat membuat manusia lupa untuk ‘memanusiakan manusia’, dapat merenggangkan ikatan persaudaraan, bahkan berpotensi besar memutusnya. Nabi juga menerangkan dalam sabdanya, bahwa riba adalah salah satu dosa besar, saking besarnya ia disebutkan satu paket dengan syirik dan pembunuhan.[2] Para pakar ekonomi Islam pun bersepakat bahwa riba adalah crimes against humanity.[3]
Sekarang mari kita bandingkan dengan sistem buatan manusia bernama kapitalisme, mereka ingin memperhalusnya dengan kata bunga. Para kapitalis berdalih bahwa bunga disini adalah timbal balik atas jasa peminjaman uang kepada si penghutang, karena jika uang itu dipakai untuk investasi akan lebih menguntungkan. Anehnya beberapa orang dari umat Islam yang terjerembab dalam lubang kapitalisme punya alasan yang “syari”, yaitu kecilnya persentase bunga yang diminta, hanya berkisar 4%-9% saja, apalagi menurut mereka pendapat ini dikuatkan oleh ayat 130 surat Ali Imran.[4]
Alasan pertama dapat dipatahkan dengan fakta bahwa memberikan hutang kepada orang lain adalah bentuk lain dari menabung, menyisihkan sebagian uang untuk keperluan di masa depan. Dalih ini juga mengada-ada, mengingkari kemanusiaan. Seolah-olah semua manusia dilahirkan sebagai orang yang beruntung dan kaya. Adapun alasan kedua dapat langsung dibantah dengan ayat lain pada surat al-Baqarah 279, bahwa tidak ada bedanya riba yang besar dan kecil. Surat Ali Imran 130 diatas juga harus dipahami bahwa riba berlipat-lipat yang disebutkan adalah cermin praktek riba pada zaman jahiliah, bukan berarti hanya riba berlipat-lipat lah yang diharamkan.[5]
Sayangnya, kita hidup dimana riba bukan lagi menjadi hal yang tabu. Bunga dalam kegiatan ekonomi masa kini layaknya nasi yang menjadi konsumsi sehari-hari. Benarlah prediksi Nabi Saw. dalam sabdanya: “akan datang suatu masa dimana setiap orang akan memakan riba, jika tidak memakannya maka dia akan menghirup debunya”.[6] Allâhumma bâ’id bainanâ wa baina al-ribâ!
Zakat, Infak, dan Sadaqah
Islam mengajarkan bahwa sebagian dari harta kita adalah hak orang lain,[7] karena tidak semua orang dipilih Tuhan untuk menjadi orang kaya berkecukupan. Itulah zakat, memberikan beberapa persen dari harta untuk menunaikan kewajiban kita kepada sesama, dengan syarat terpenuhi nisab dan haulnya.
Adapun infak dan sadaqah, keduanya lebih bersifat simpati sekaligus empati. Tidak ada batasan jumlah tertentu dalam mengeluarkan infak maupun sadaqah, semuanya murni wujud kasih sayang kepada sesama insan.
Jika kaum sosialis mengatakan “from each according to his ability, to each according his needs”,[8] maka Islam mengatakan “setiap orang berhak merasakan hasil keringatnya sendiri, tanpa melupakan hak orang lain atas hartanya”. Pada sistem pertama, banyak orang akan merasa terpaksa untuk bekerja, karena sekeras apapun dia bekerja akan mendapatkan hasil yang sama dengan orang lain. Sedangkan pada sistem kedua, seharusnya manusia lebih merasa ‘dihargai’ privasinya, tapi juga tidak melupakan kewajibanya kepada orang lain yang hanya beberapa persen saja dari hartanya.
Berakhlak dalam Ekonomi
Pegiat kapitalis seperti tidak punya hati. Semua orang mereka anggap musuh bisnis, tanpa perasaan. Asal untung, mereka tidak peduli dengan masalah lain, menghalalkan segala cara. Saat orang berhutang, mereka kenakan bunga. Saat membeli sesuatu, mereka beri harga yang sangat mahal. Jika perlu, mereka akan berbohong untuk mengeruk untung.
Beda sekali dengan tuntunan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, saling menghormati dan mengasihi. Sebagai contoh, sebut saja sabda Nabi Saw. yang berbunyi: “Allah merahmati seseorang yang tolerir dalam menjual, membeli, dan menagih hutang”.[9] Makanya Allah Swt. melaknat orang yang mengurangi timbangan saat menjual, tapi menuntut haknya saat membeli.[10]
Begitulah secuil penjelasan tentang tawaran Islam dalam berekonomi. Penulis bersyukur dengan menjamurnya institusi syariah di Indonesia saat ini. Hal itu menunjukkan umat Islam Indonesia sudah mulai sadar syariah, tidak ingin lagi terjerat dengan kungkungan riba.
Walaupun kita belum dapat mengislamkan ekonomi makro, minimal kita telah berusaha untuk mengislamkan ekonomi mikro umat Islam. Karena perubahan selalu dimulai dari hal yang kecil. Allahummasyhad!
Muhammad Rifqi Arriza, Lc
=============================================
[1] HR. Ibnu Majah dan Baihaqi
[2] HR. Bukhari
[3] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. VI, 2010, hal. 277
[4] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran: 130)
[5] Dr. Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu’l Islâmi wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, cet IX, 2006, hal. 3749
[6] HR. Abu Daud dan Nasai
[7] QS. Al-Dzariyat: 19
[8] Deliarnov, op. cit, hal. 87
[9] HR. Bukhari
[10] QS. Al-Muthaffifin: 1-3
Pengertian Meratakan Kuburan
Dari Abu Hayyaj berkata; Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang meninggi melainkan kamu ratakan.” (HR Muslim 1609)
Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Imam Sayyidina Ali maupun perintah Imam Sayyidina Ali kepada Abu Hayyaj adalah akan diutus mereka untuk menyebarkan Islam ke sebuah negeri yang mana penduduknya memang menjadikan patung dan kuburan sebagai sesembahan. Dengan kata lain perintah untuk menghancurkan kuburan orang-orang musyrik.
Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kubur. Umat Islam membina kubur hanya untuk memuliakan ahlul qubur (terlebih kubur orang yang sholeh), menjaga kubur daripada hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kubur di tengah-tengah ribuan kubur lainnya, juga sebagai tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikannya.
Lafaz sawwaitahu bukan berarti “ratakan dengan tanah” atau bahkan hancurkan, namun artinya adalah luruskanlah, sebagaimana sesuatu yang bengkok atau miring kita luruskan menjadi tegak.
Jadi artinya bukanlah kita diperintahkan untuk meratakan kuburan dengan tanah. Justru hal itu bertentangan dengan sunah. Sebagaimana para fakih berfatwa kita dimustahabkan untuk meninggikan kuburan paling tidak satu jengkal dari tanah.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata, “Aku melihat makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Imam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.
Kemungkinan arti yang lain dari sawwaitahu adalah larangan membentuk (tanah) kuburan sebagai bentuk tertentu sebagaimana orang orang Romawi
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir Ahmad bin Amru Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin Harits -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa’id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Amru bin Harits -sementara dalam riwayat Abu Thahir- bahwa Abu Ali Al Hamdani telah menceitakan kepadanya -sementara dalam riwayat Harun- bahwa Tsumamah bin Syufay telah menceritakan kepadanya, ia berkata; Kami pernah berada di negeri Romawi bersama Fadlalah bin Ubaid, tepatnya di Rudis. Lalu salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia, maka Fadlalah bin Ubaid pun memerintahkan untuk menguburkannya dan meratakan kuburannya. Kemudian ia berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakan kuburan.” (HR Muslim 1608)
Kemungkinan arti yang lain dari sawwaitahu adalah meluruskan atapnya, yakni jangan dibiarkan atap bangunan seperti punggung ikan atau onta yang berliku atau bentuk-bentuk tertentu sebagai penyembahan, namun diluruskan menjadi datar. Makna inilah yang diakui oleh ulama besar Ahlu Sunah, seperti Imam Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i.
Oleh karena itu tidak bisa menjadikan hadits tersebut sebagai alasan menghancurkan bangunan-bangunan kuburan. Lagi pula jika memang benar Ali bin Abi Thalib berkata seperti itu, lalu mengapa saat ia menjadi khalifah, sejarah tidak mencatat ia pernah memerintahkan agar makam para Nabi dan makam para wali-wali Allah seperti yang di Baitul Maqdis agar dirobohkan atau diratakan sebagaiman kaum pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab meratakan pemakaman Al Baqi.
Rabu 8 Syawal 1345 Hijriah bertepatan dengan 21 April 1925 mausoleum (kuburan besar yang amat indah) di Jannatul al-Baqi di Madinah diratakan dengan tanah atas perintah Raja Ibnu Saud. Di tahun yang sama pula Raja Ibnu Saud yang Wahabi itu menghancurkan makam orang-orang yang disayangi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (ibunda, istri, kakek dan keluarganya) di Jannat al-Mualla (Mekah). Penghancuran situs bersejarah dan mulia itu oleh Keluarga al-Saud yang Wahabi itu terus berlanjut hingga sekarang.
Sejak 1205 Hijriah hingga 1217 Hijriah Kaum Wahabi mencoba menguasai Semenanjung Arabia namun gagal. Akhirnya 1217 Hijriah mereka berhasil menguasai Thaif dengan menumpahkan darah muslim yang tak berdosa. Mereka memasuki Mekah tahun 1218 Hijriah dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam.
Tahun 1221, Kaum Wahabi masuk kota Madinah dan menajiskan al-Baqi dan semua mesjid yang mereka lewati. Kaum Wahabi bahkan mencoba menghancurkan pusara Rasulullah , namun entah dengan alasan apa usaha gila itu dihentikan. Di tahun-tahun berikutnya jemaah haji asal Irak, Suriah dan Mesir ditolak untuk masuk kota Mekah untuk berhaji. Raja al-saud memaksa setiap muslim yang ingin berhaji harus menjadi wahabi atau jika tidak akan dicap sebagai kafir dan dilarang masuk kota Mekah.
Al-Baqi pun diratakan dengan tanah tanpa menyisakan apapun, termasuk nisan atau pusara .Belum puas dengan tindakan barbarnya Kaum Wahabi memerintahkan tiga orang kulit hitam yang sedang berziarah ke pusara Nabi untuk menunjukkan tempat persembunyian harta benda. Raja Ibnu Saud merampas harta benda itu untuk dirinya sendiri.
Ribuan Muslim melarikan diri dari Mekah dan Madinah . Mereka menghindari kejaran Kaum Wahabi. Muslim seluruh dunia mengutuk tindakan Saudi dan mendesak khalifah kerajaan Otoman menyelamatkan situs-situs bersejarah dari kehancuran.
Dibawah pimpinan Muhammad Ali Basha mereka menyerang Hijaz , dengan bantuan suku-suku setempat, akhirnya mereka menang.lalu ia mengatur hukum dan pemerintahan di Hijaz, khususnya Mekah dan Madinah. Sekaligus mengusir keluarga al-Saud. Muslim di seluruh dunia bergembira. Di Mesir perayaan berlanjut hingga 5 hari! Tak diragukan lagi kegembiraan karena mereka bisa pergi haji dan pusara mulia pun diperbaiki lagi.
Tahun 1818 Masehi Khalifah Ottoman Abdul Majid dan penggantinya Abdul Hamid dan Mohammad, merekonstruksi semua tempat suci, memperbaiki semua warisan Islam yang penting. Dari 1848 hingga 1860, biaya perbaikan telah mencapai 700 ribu Poundsterling. Sebagian besar dana diperoleh dari uang yang terkumpul di makam Rasulullah.
Kerajaan Ottoman telah mempercantik Madinah dan Mekah dengan memperbaiki semua bangunan keagamaan dengan arsitektur bercita rasa seni tinggi. Richard Burton, yang berkunjung ke makam rasulullah tahun 1853 dengan menyamar sebagai muslim asal Afghanistan dengan nama Abdullah mengatakan Madinah dipenuhi 55 mesjid dan kuburan suci. Orang Inggris lain yang dating ke Madinah tahun 1877-1878 melukiskan keindahan yang setara dengan Istambul. Ia menulis tentang dinding putih, menara berhias emas dan rumput yang hijau.
Tahun 1924 Wahabi masuk ke Hijaz untuk kedua kalinya Untuk kedua kalinya pula pembantaian dan perampasan dilakukan. Orang-orang di jalan dibantai. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak jadi korban. Rumah-rumah diratakan dengan tanah.
Awn bin Hashim menulis: lembah-lembah dipenuhi kerangka manusia, darah kering berceceran di mana-mana. Sulit untuk menemukan pohon yang tidak ada satu atau dua mayat tergeletak di dekat akarnya.
Madinah akhirnya menyerah setelah digempur habis Kaum Wahabi. Semua warisan Islam dimusnahkan. Hanya pusara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tersisa.
Ibnu Jabhan (Ulama Wahabi) memberikan alasan mengapa ia merasa harus meratakan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ” Kami tahu nisan di makam Rasulullah bertentangan dengan akidah dan mendirikan mesjid di pemakamannya adalah dosa besar’.
Pusara Sang Syahid Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi) beserta syahid perang Uhud lainnya dihancurkan. Masjid Nabi dilempari. Setelah protes dari Kaum Muslim dunia Ibnu saud berjanji akan memperbaiki bangunanbersejarah tersebut. Namun janji itu tidak pernah ditempati. Ibnu saud juga berjanji Hijaz akan dikelola pemerintahan multinasional, khsusnya menyangkut Madinah dan Mekah. Namun janji itu tinggalah janji.
Tahun 1925 giliran Janat al-Mulla pemakaman di Mekah dihancurkan. Ikut juga dihancurkan rumah tempat Rasulullah dilahirkan. Sejak itulah hari duka untuk semua muslim di jagat raya.
Apa yang dilakukan mereka sama dengan apa yang dilakukan Zionis Yahudi Israel menghancurkan 220 makam para sahabat Rasulullah di kompleks pemakaman Maman Allah, Baitul Maqdis. Pemakaman Maman Allah pemakaman Islam bersejarah yang telah ada sejak 14 abad lalu, pada masa pemintahan khalifah kedua. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/10/22/141651-zionis-hancurkan-makam-sahabat-nabi
Tak satupun upaya pencegahan dari mereka yang mengaku-aku mengikuti dan mencintai para Sahabat, Tabi’in , Tabi’ut Tabi’in yang sedang “menjajah” dua tanah suci terhadap penghancuran kompleks pemakaman Maman Allah oleh kaum Zionis Yahudi. Hal ini memperpanjang pertanyaan kaum muslim apakah mereka memang bersahabat dengan kaum Zionis Yahudi sebagaimana mereka bersahabat dengan Amerika yang merupakan representatif kaum Zionis Yahudi ?
Wallahu a’lam
Oleh: Zon Jonggol
Orang Awam Wajib Taqlid
Orang Awam Wajib Taqlid kepada Ulama
Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” ” (QS. Al An’am: 114).
Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. (QS. An Nahl: 67).
Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130).
Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.
Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.
A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran
Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentangas-saabiq dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuqdan al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-muqayyad dan al-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya.
Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An’am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar hukum dalam Islam. Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.
Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an, sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas.
Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya.
Allah SWT berfirman:
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu (QS. Al An’am: 111-114).
Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.
Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.
Allah SWT berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44).
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl: 64).
Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82).
Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid. [1]
Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat.
Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.
B. Pengertian Taqlid
Secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. [2].
Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.
1. Pengertian Pertama
Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”
Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]
2. Pengertian Kedua
الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”
Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.
Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4]
Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi:
Pertama: Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi.
Kedua: Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak, maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut.
Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid :
“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.
Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’ (4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits.” [5]
Ketiga: Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama, “Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6]
Keempat: Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil.
Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah bencana yang besar.” [7]
أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه
“Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.”
C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama
Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni.
1. Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).
Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.
2. Ijma’ Ulama
Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid).
Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.
Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya kepada si penanya.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke pelbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan halal dan haram.
Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[8]
Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa shahabat dan tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171).
3. Dalil Akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[9]
Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]
Wallahua’lam bis asshawab
Isnan Anshory, MA.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
[2] Raudhah An Nadzir 2/449
[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4] I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[5] Al Musthashfa 1/342-343.
[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] ‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8] Al Mustashfa 2/385
[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348.
[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62
(tulisan ini juga dimuat di www.rumahfiqih.com)
Jihad Tidak Selalu dengan Senjata
Mosleminfo, Jakarta – Jihad merupakan sebuah gerakan untuk memenuhi hajat hidup umat manusia. Dalam Islam, jihad tidak hanya selalu dimaknakan peperangan secara fisik dengan senjata, melainkan juga bisa dipahami sebagai perjuangan untuk mencapai berbagai tujuan yang beraneka ragam. Jihad dalam pemahaman yang beneka ragam itu pula, banyak manusia yang enggan untuk melaksanakannya, padahal mengandung tujuan yang baik sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 216.
Demikian dikemukakan Guru Besar Universitas Islam Nasional (UIN) Jakarta Prof. Dr. Hj. Amani Lubis ketika memberikan kultum tarawih di Masjid Fathullah, Ciputat, Jum’at (2/8) malam. Menurut Amani, dalam l-Qur’an, Allah menggambarkan jihad dengan kata al-qital (perang) dan juga dengan kata jihad sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 20.
“Kedua istilah jihad dan qital sama-sama memberika dorongan kepada kita semua, betapa pentingnya jihad dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tujuan hidup manusia, baik dalam skala kelompok kecil dalam keluarga maupun dalam kelompok besar sosial. Jihad ijtima’ie adalah jihad untuk memenuhi kebutuhan orang banyak dan dilakukan secara berkelompok.
Karena itu, setiap manusia, termasuk kita umat Islam dituntut untuk dengan senang hati melakukan jihad sesuai dengan kemampuan maksimal dan untuk aneka tujuan. Jihad tentunya tidak hanya dilakukan dengan cara keluar rumah dan memanggul senjata, melainkan bisa saja dilakukan di dalam rumah untuk mencapai tujuan cita-cita erbaikan keluarga. Kaum ibu misalnya, bisa saja berjuang atau berjihad untuk menjaga kehormatan keluarga dan mendidika anak-anak di dalam rumah tangga. Begitu juga, kaum lelaki berjihad untuk mencari nafkah di luar rumah.
“Jadi banyak cara dan model untuk melakukan jihad sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam membangun kesejahteraan umat manusia di muka bumi ini. Kita pergi ikut salat tarawih, i’tikaf di masjid dan melakukan berbagai ibadah di bulan ramadan juga merupakan bagian dari jihad untuk memerangi kemalasan dan keengganan. Di tengah kemajuan teknologi, kita juga dituntut untuk berjihad dengan kemampuan menolak hal-hal yang dimunginkan untuk berdampak negatif dalam kehidupan,” katanya.
Namun begitu, lanjut Amani yang juga Wakil Sekjen Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, banyak diantara kita yang merasa enggan untuk melakukan jihad atau perang dalam hal tertentu. Kaum ibu misalnya, enggan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam rumah tangga karena dinilai kurang terhormat di alam modern. Padahal, banyak hal-hal yang sepintas kita enggan untuk melakukannya, padahal sesungguhnya tugas itu baik dan mulia di mata Allah SWT.
Dalam alam modern yang serba maju saat ini, kaum perempuan misalnya banyak yang berbondong-bondong keluar rumah ikut melakukan jihad bersama kaum lelaki, khususnya dalam bidang politik. Sehingga pagar pertahanan di baris belakang dalam rumah tangga sering roboh karena ditinggalkan penjaganya. Putera-puteri kita tumbuh tanpa arah dari sebuah kasih sayang, melainkan hanya dengan kecukupan materi. “Banyak yang tidak suka untuk berjihat di baris belakang ini. Padahal, tugas yang tidak disukai itu hakikatnya memberikan manfaat yang sangat besar bagi tujuan kehidupan yang sejahtera dalam rumah tangga,” paparnya.
Amani mencontohkan bagaimana seorang sahabat Rasulullah bernama Musaibah yang dengan gigih melindungi Rasululloh dari serangan musuh. Sehingga Musaibah yang seorang perempuan itu terdapat 68 tusukan bekas panah dan senjata lainnya hanya untuk melindungi Sang Rasul. Rasul mengalami sembilan kali perang fisik, sementara sahabat Rasululloh lima peperangan. Tetapi banyak pernyataan Rasululloh bahwa jihad atau perang itu tidak harus dilakukan secara fisik dan senjata.
Dalama kondisi aman, perang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita kebutuhan hidup. Rasululloh menggambarkan umroh dan haji adalah sebagai bentuk jihad dan perang. Karena itu, bekerja siang dan malam untuk mencari kebutuhan hidup pun merupakan bentuk jihad dan perang dalam bentuk lain.
Karena itu, Amani Lubis mengajak kaum muslimin untuk mampu menjadikan nilai ramadhan sebagai kekuatan yang bisa memengaruhi jiwa dan hati setiap muslim agar mau melakukan jihad dalam bentuk apapun demi mencapai tujuan kebaikan kehidupan dunia dan ahirat. “Jihad memang kadang menakutkan sehingga tidak disuka. Tapi, sesuatu yang tidak disuka, bisa saja akan berakibat baik. Sebaliknya, sesuatua yang sangat disuka, bisa saja akan berakibat buruk,” tegas Amani.
Di bagian lain Amani mengingatkan bahwa kemajuan teknologi berupa televisi dan handphone, manusia harus mampu memilah agar tidak terjebak pada kesesatannya. Tidak semua tontonan televisi itu mengandung nilai positif. Begitu juga handphone sering menyesatkan pemakainya. “Di sinilah arti penting perjuangan atau jihad itu. Yakni bagaimana kita mampu menolak sesuatu yang negatif dari hasil kemajuan teknologi itu, walau kadang sepeintas sangat menyenangkan. Di sini pula pelajaran ramadhan untuk mampu menahan hawa nafsu demi kebahagiaan dunia akhirat,” ujarnya
Editor: Samsul Arifin
Sumber: MUI
Toleransi Syariat terhadap Adat-Istiadat yang Berlaku di Masyarakat
Allah Swt berfirman :
ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻟَﺠَﻌَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ۖ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺰَﺍﻟُﻮﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻔِﻴﻦ O اِﻻَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yg satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang Dia beri rahmat. (QS. Hud 118-119.)Dewasa ini banyak sekali terjadi perbedaan panjang tak berkesudaan yang menjadi konsumsi orang awam. Tak ayal, jika terjadi berbagai macam hujatan, cacian, atau penghinaan di dalamnya. Hal itu dikarenakan perbedaan tersebut hanya boleh di hadapi oleh para ulama yang paham serta mengerti agama dan adab ketika berbeda. Bukan sebagai bahan yang boleh di sikapi oleh setiap orang.
Perbedaan yang saya maksud di sini adalah perbedaan yang berkaitan dengan urusan agama. Adapun perbedaan yang berkaitan dalam urusan dunia maka kita kembalikan kepada yang bersangkutan.
Sejak masa keemasan sahabat radhiyallahu anhum, sudah terjadi perbedaan. Sampai akhirnya perbedaan tersebut meluas dan akhirnya sampai di ‘tangan kita’.
Salah satu faktor penyebab perbedaan dalam syariat adalah munculnya cara pemahaman melalui “Kaedah Ushuliyyah” (ushul fiqh). Maka, kita tidak akan mendapati satu permasalahan cabang dalam agama kecuali para ulama berbeda di dalamnya.
Syariat tidak melarang semua hal baru selama tidak menyalahi Alquran dan As sunnah. Salah satu praktek hal tersebut tertuang dalam sebuah Kaedah Ushuliyah, “Al aadatu/al urfu muhakkamun” (adat-istiadat dapat ditolerir oleh syariat).
Jangan heran, jika kita mendapati berbagai adat yang berbeda di setiap negara. Dengan syarat adat tersebut harus tetap kembali atau bersumber dari Al-quran dan As-sunnah. Meskipun adat-adat tersebut tidak ada di zaman Nabi Saw, akan tetapi syariat tetap mengkokohkan dan mentolerirnya lewat “Kaedah Ushuliyyah” yang di rumuskan oleh para ulama syariat sejak munculnya kitab “Ar risalah” pertama karangan Imam As syafi’i radhiyallahu anhu.
Merupakan sebuah kecerobohan yang sangat tergesa-gesa, jika tolok ukur hukum syariat hanya berdasarkan sahabat radhiyallahu anhum melakukan atau tidak. Atau karena tidak dilakukan Nabi Saw.
Sebagai contoh :
Ibn Qayyim menyebutkan bahwa membaca al-quran dan mengirimkannya ke mayyit dapat sampai berdasarkan qiyas ranting yang ditanam Rasulullah Saw di kuburan seorang yang disiksa dalam kuburnya. Kalo kita patok dengan kaedah diatas, tentunya tidak akan kita dapati Nabi Saw melakukannya. Tapi beliau (ibn qayyim) tetap mengkokohkannya dengan alasan-alasan yang beliau sampaikan.
Kembali ke topic, dalam praktik adat-istiadat tersebut, kita dapat menemuinya terjadi di masa para ulama-ulama kita sebagai berikut :
1. Shalat Qabliyyah magrib.
Sudah sangat dimaklumi bahwa di dalam hadis sahih bahwa Nabi Saw mempersilahkan atau memperbolehkan umatnya melakukan atau meninggalkan shalat Qabliyyah magrib. Namun riwayat lain yang menjelaskan, bahwa ketika Imam Ahmad bin hambal -radhiyallahu anhu- datang pada sebuah kaum yang tidak terbiasa melakukan shalat Qabliyyah magrib beliau pun ikut meninggalkannya tanpa ada pengingkaran. Dengan asumsi bahwa syariat tidak pernah mengkhususkan agar meninggalkannya.
2. Mengangkat tangan setelah salam.
Sunnah yang dilakukan setelah salam yaitu membaca zikir yang diajarkan oleh Nabi Saw. Disamping itu dalam hadis yang lain beliau menyatakan kalau doa setelah shalat fardhu itu mustajab.
Diriwayatkan bahwa Syekh Ibnu Taimiyyah ketika singgah di sebuah kaum di bumi Syam yang membiasakan berdoa mengangkat tangan lepas salam, beliau pun ikut mengangkat tangan. Padahal, ajaran yang diajarkan oleh Nabi Saw adalah membaca dzikir setelah shalat.
Dari kedua contoh diatas dapat difahami, bahwa seorang ulama harus mempunyai sikap kasih sayang dalam berdakwah. Tidak menakut-nakuti mereka dengan neraka, dan tidak serampangan melarang sebuah amalan selagi tidak menjurus ke perbuatan haram. Syariat mentolerir hal-hal baru selama ia dapat disandarkan atau dikembalikan ke Alquran dan As sunnah.
Tentunya tidak semua orang diperkenankan untuk menghukumi adat-istiadat baru. Ini adalah tugas para ulama yang mereka benar-benar telah menyelami lautan syariat, dengan mempunyai “Ruh As-Syariiah” dan menggeluti berbagai disiplin ilmu alat/istinbath dalil.
Diantaranya ilmu-ilmu tersebut :
a. Hafal dan mampu memahami Al-quran dan hadis secara menyeluruh dengan baik.
b. Pakar dalam bahasa arab serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya seperti, : balaghah, nahwu, sharaf dll.
c. Menyelami ilmu istinbath hukum dari al-quran maupun hadis melalui ilmu ushul fiqh yang di tetapkan para ulama.
d. Dan lain sebagainya.
Adapun point penting yang ingin saya sampaikan adalah ketika kita bertanya sebuah hukum suatu adat-istiadat di suatu kaum/negara, kita harus bertanya pada ulama atau mufti yang memimpin di negara tersebut.
Merupakan tindakan yang kurang tepat dan ceroboh, jika muncul permasalahan di Mesir, lalu anda klarifikasi dari ulama/mufti Saudi. Begitu juga yang lainnya.
Hal tersebut dikarenakan banyak faktor. Di antaranya adalah perbedaan adat (yang ditolerir syariat) yang ada di setiap kaum/negara. Memberi fatwa tidak bisa dengan hanya mendengar soal lalu dijawab dengan Alquran atau Hadis.
Pemberian fatwa itu hanya boleh dilakukan seorang mufti yang mengetahui seluk beluk, adat istiadat, atau cara bergaul masyarakat setempat. Maka jangan kaget, ketika kita mendapati sebuah fatwa yang berbeda-beda dari seorang mufti. Dan hal ini sangat diperlukan sebuah klarifikasi pada mufti yang bersangkutan sebelum menuduhnya dengan “plin-plan” dalam berfatwa.
Tidak semua orang diperkenankan memberi fatwa. Oleh karena itu, sebagai seorang awam hendaknya kita bertanya kepada seorang alim atau mufti yang ada di daerah setempat.
Tidak boleh bagi orang awam beristinbath hukum dalam syariat. Jikalau dia benar, maka dia berdosa karena tidak mengikuti prosedur syariat yang benar. Jikalau dia salah, maka itulah kesesatan yang dia tidak mengerti.
Point-point di atas adalah rangkuman hasil pengajian ushul fiqh bab “Al ‘urfu muhakkamah (adat-istiadat itu dapat dijadikan hukum)” yang saya ikuti tadi pagi.
Semoga bermanfaat bagi diri saya sendiri untuk mematangkan secuil ilmu yang diberikan Allah Swt. Begitu juga bermanfaat bagi pembaca sebagai salah satu wacana istinbath hukum islam.
Jika ada kekurangan-dan kesalahannya mohon koreksi.
Wallahu a’lam.
Mochamad Ihsan Ufiq
Mahasiswa semester akhir Fakultas Tarbiyyah, Bahasa dan Sastra Arab, Jurusan Dirasat Islamiyyah,Universitas Yamaniyyah – Qatar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan