Hukum Masuk Gereja
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukum masuk gereja atau tempat peribadatan non muslim lainnya?
Terima kasih.
Dari: Arriqa
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ’ala rasulillah
Sebagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang artinya,
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى
التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba),
sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)
Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang
Tabuk, orang-orang munafik semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan
kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka
memecah belah barisan kaum muslimin. Masjid ini dikenal dengan masjid
dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk
tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu
berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja.
Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada
Allah.
Ulama yang berpendapat ini memberikan pengecualian untuk bisa masuk gereja jika terpenuhi beberapa syarat:
- Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
- Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
- Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
- Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H).
Namun berdasarkan keterangan banyak ulama di berbagai madzhab, akan lebih tepat jika diberikan rincian sebagai berikut:
Pertama, Masuk gereja pada saat orang Nasrani sedang melakukan peribadatan
Para ulama secara mutlak melarang perbuatan ini dengan beberapa alasan:
- Karena ini berarti kita ikut bergabung dalam kebatilan yang mereka lakukan.
- Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Syaikhul Islam mengatakan, “Hadis
ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru ciri khas orang
kafir. Meskipun dlahir hadis menunjukkan kafirnya orang yang meniru
perbuatan yang menjadi ciri khas mereka.” (Iqtidla’ As Shirath Al Mustaqim, 1:270).
- Murka Allah turun pada saat peribadatan mereka dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah
kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang
muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, karena pada saat
itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” (HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh).
Kedua, Masuk gereja di luar waktu peribadatan mereka, namun di dalam gereja tersebut terdapat gambar atau palang salib yang dipajang.
Hukum keadaan ini sebagaimana memasuki rumah yang ada gambarnya. Ada
dua pendapat ulama dalam menyikapi masalah ini. Umairah dalam Hasyiyah-nya
mengatakan, “Bab, kita tidak boleh masuk gereja kecuali dengan izin
mereka. Jika di dalamnya terdapat gambar maka diharamkan secara mutlak.”
Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun masuk rumah yang di dalamnya
terdapat gambar bukanlah satu hal yang haram… ini adalah pendapat Imam
Malik, beliau melarangnya karena makruh dan beliau tidak menganggap hal
itu satu hal yang haram. Mayoritas Syafi’iyah mengatakan: Jika gambarnya
di dinding atau di tempat yang tidak diinjak, maka tidak boleh
memasukinya…
Kita memiliki satu riwayat, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk Ka’bah beliau melihat ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, “Semoga
Allah membinasakan mereka (orang musyrikin), sungguh mereka telah
mengetahui bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sama sekali tidak pernah
mengundi nasib dengan anak panah.” (HR. Abu Daud). Dan di antara
persyaratan Umar (untuk kafir dzimmi), mereka (diperintahkan) agar
memperluas gereja dan tempat peribadatan mereka, supaya kaum muslimin
bisa masuk untuk menginap di dalamnya…
Ibnu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahwasanya orang
Nasrani membuatkan makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam,
kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka
menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mau menghadirinya dan Beliau
berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka bisa
makan siang.” Maka berangkatlah Ali bersama para sahabat dan masuk ke
dalam gereja serta makan siang. Kemudian Ali melihat ke gambar, sambil
mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) andaikan dia
masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka
tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar,
disamping masuk gereja dan tempat peribadatan mereka tidaklah haram.” (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).
Ibnu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan shalat di tempat peribadatan
dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada
gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, Sah melaksanakan shalat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh…
Dalam Syarh Ibnu ‘Aqil disebutkan, “Tidak mengapa shalat di gereja yang suci (dari najis), ini adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhum…”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Imam Malik membenci masuk gereja karena alasan ada gambar… (Al Adab As Syar’iyah, 4:122).
Ringkasnya, bahwasanya hukum masuk gereja yang ada gambar atau palang
salib yang tergantung dalam posisi diagungkan adalah makruh, kecuali
jika orang muslim tersebut mampu untuk mengubahnya. Wallaahu a’lam.
Ketiga, di luar waktu peribadatan mereka dan di dalamnya tidak terdapat gambar maupun palang salib
Al Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja.
Alasannya, karena gereja adalah tempat berkumpulnya setan bukan karena
dia tidak boleh masuk. Sebagian ulama Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah membolehkan masuk gereja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, karena sebagaimana ditegaskan
oleh sebagian Ulama bahwasanya dianjurkan bagi penguasa muslim untuk
mengadakan perjanjian dengan orang kafir dzimmi agar mereka menyediakan
tempat untuk tamu muslim di gereja. Dan inilah yang dilakukan khalifah
Umar terhadap penduduk Syam. Di antara isi perjanjian damai ahli kitab
dengan kaum muslimin: “Kami tidak melarang kaum muslimin untuk singgah
di gereja kami baik di malam hari maupun siang hari. Kami akan
memperlebar pintu-pintu gereja kami untuk para pelancong dan orang yang
kehabisan bekal di perjalanan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2).
Keempat, dalam rangka untuk dakwah dan berdebat untuk menyadarkan kesesatan mereka.
Untuk keadaan yang terakhir ini para ulama menegaskan bolehnya.
Bahkan mereka yang melarang secara mutlak, membolehkan masuk gereja
dalam rangka mendakwahkan Islam kepada mereka.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Kisah Umar bin Khattab
Umar di Baitul Maqdis
Setelah
kemenangan Kaum Muslimin atas pasukan Romawi di Yarmuk dan Damsyik,
Amirul Mukminin memerintahkan Amru bin Ash dan Syuhrabil maju untuk
membebaskan Palestina. Di negeri ini pertarungan kedua pasukan juga
berlangsung sengit. Di pelabuhan Kaisariah saja, pasukan muslim yang
dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan membantai 80.000 tentara musuh dan
memukul mundur 100.000 orang lainnya. Karena Kaisariah telah jatuh ke
tangan orang muslim, pihak Romawi tidak dapat mengirimkan bantuan
melalui laut untuk bala tentaranya di Palestina. Dengan demikian nasib
mereka sudah ditentukan.
Setelah mengalahkan pasukan Romawi
dalam pertempuran hebat di Ajnadain, Panglima Amru bin Ash pun mengepung
Baitul Maqdis (Yerusalem). Di saat itulah Amirul Mukminin Umar bin
Khattab datang dengan membawa bala bantuan. Mengetahui kedatangan Umar,
panglima Romawi, Atrabon, menarik pasukannya dari Baitul Maqdis dan
mundur ke Mesir. Lalu terjadilah sebuah perjanjian yang menunjukkan
betapa agung dan baik hatinya orang muslim itu. Perjanjian ini dibuat
antara Umar bin Khttab dengan pihak gereja di Yerusalem yang antara lain
isinya adalah, “Bismillahirrahmanirrahim. Inilah jaminan yang telah
diberikan oleh hamba Allah Umar Amirul Mukminin kepada orang Nasrani:
Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan
salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan juga bagi
kelompok agama yang lain …”
Perjanjian yang sangat menunjukkan
kemurahan hati itu diterima oleh Uskup Yerusalem, Severinus, dengan
gembira. Betapa tidak gembira, sebab kaum Nasrani dijamin jiwa, harta
dan agamanya. Tak ada kewajiban apapun selain membayar jizyah sebagai
jaminan keselamatan yang diberikan Kaum Muslimin. Hal ini berbeda sekali
dengan kabijakan Heraklius yang memaksakan agar penduduknya mengikuti
agama resmi negara. Siapapun yang menolak akan dipotong hidung dan
telinganya serta rumahnya harus dirobohkan.
Setelah itu
Khalifah Umar bin Khattab memasuki Baitul Maqdis dan disambut meriah
Uskup Agung Severinus dan para pembesar kota. Mereka melihat Umar sangat
ramah, jujur, adil dan cinta pada kebenaran. Ketika ditawarkan untuk
shalat di Gereja Anastasis, yang dipercaya Kaum Nasrani menjadi tempat
kenaikan Yesus di langit, Umar menolak. Sebab ia khawatir nanti Kaum
Muslimin akan menjadikan tempat itu sebagai masjid dan mengusir orang
Nasrani di sana. Ini sebuah peristiwa yang menunjukkan pada dunia bahwa
Islam adalah agama yang cinta damai dan paling penuh kasih sayang.
See Translation
Pembebasan Jerusalem di Masa Umar bin Khattab
Jerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar di dunia
–Islam, Yahudi, dan Kristen-. Karena latar belakang sejrah yang panjang,
ratusan atau mungkin ribuan tahun, kota ini memiliki beberapa nama
Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, Aelia (Umar bin Khattba menyebut
dengan nama ini dalam surat perjanjiannya), dll. semua nama tersebut
mencirikan karakter dan warisan yang beragam. Kota ini juga merupakan
tempat tinggal beberapa nabi, seperti: dari Nabi Sulaiman dan Nabi Daud
hingga Nabi Isa ‘alahimussalam.
Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pun
pernah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini. Dalam suatu perjalanan
dari Mekah menuju Jerusalem, kemudian dari Jerusalem menuju Sidratul
Muntaha, perjalanan ini kita kenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Jerusalem tidak pernah menjadi bagian dari negeri Islam di masa hidup
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, negeri penuh berkah tersebut baru masuk menjadi wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab.
Perjalalan Menuju Suriah
Kekaisarabn Bizantium membuat sebuah relasi yang jelas dengan umat Islam di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka tidak menginginkan agama yang baru saja berkembang di Selatan
kekaisaran mereka ini masuk dan berkembang di teritorial Bizantium.
Ketegangan dimulai pada Oktober 630 M, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
memimpin 30.000 pasukannya menuju Tabuk, daerah perbatasan Kekaisaran
Bizantium. Walaupun kontak fisik gagal terjadi, namun ekspedisi
Rasulullah untuk menyambut serangan Bizantium di Tabuk menunjukkan era
baru hubungan Madinah dan Bizantium.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M),
tidak terjadi kontak dengan wilayah kekuasaan Bizantium. Barulah pada
masa Umar bin Khattab, Madinah mulai serius mengekspansi ke wilayah
Utara menuju area kekuasaan Bizantium. Umar mengirim pasukan yang
terdiri dari jawara-jawara Arab seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash
menuju Kekaisaran Romawi Timur ini. Perang ini dikenal dengan perang
Yarmuk, perang yang terjadi tahun 636 M. Perang ini merupakan pukulan
telak bagi Bizantium, sejumlah kota di Suriah berhasil jatuh ke tangan
umat Islam, termasuk kota utama Damaskus.
Kedatangan umat Islam ke daerah tersebut disambut dengan baik oleh
penduduk lokal, baik Yahudi atau Kristen, termasuk aliran yang ortodok
yang meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan bukan hanya anak Tuhan. Mereka
semua menyabut kehadiran dan era kepeminpinan Islam di wilayah mereka
walaupun banyak perbedaan secara teologi.
Memasuki Jerusalem
Pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Jerusalem.
Saat itu Jerusalem dibawah tanggung jawab Uskup Sophronius sebagai
perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Jerusalem. Ketika pasukan
Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung
kota suci tersebut Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Jerusalem
kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab yang datang
langsung menerima penyerahan darinya.
Mendengar kabar tersebut, Umar langsung berangkat dari Madinah menuju
Jerusalem. Sang khalifah berangkat dengan hanya berkendara keledai
dengan ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Jerusalem, Umar
disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dan kagum dengan
sosok pemimpin muslim satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di
muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederhana yang tidak jauh
berbeda dengan pengawalnya.
Umar diajak mengelilingi Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di
gereja ini). Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilahkan Umar
untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau
seandainya ia shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan merubah
gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu
sehingga menzalimi hak umat Nasrani. Umar shlat di luar gereja, lalu
tempat Umar shalat itu dibangun Masjid Umar bin Khattab.
Perjanjian Umar bin Khattab
Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah,
mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang
mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Jerusalem dan penduduk
non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup
Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut
adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin,
kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka,
harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka
tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara
mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang
Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Ini adalah
permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci
orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di
wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak
ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).
Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk
kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium,
dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di
wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib
mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium.
Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem
jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar
pajak sebagaimana penduduk lainnya.
Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka
persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian
Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).
Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah
yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai
perbandingan, 23 tahun sebelum Jerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah
Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia
memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil
Jerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Jerusalem yang dikuasai umat
Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.
Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Jerusalem
beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat
berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai
keyakinan. Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi
dari Jerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena
salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi yang
bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk
beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal
sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual
tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini
masih diperdebatkan.
Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan
Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di
wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi
dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi
Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.
Menata Kembali Jerusalem
Setelah Jerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab
segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi
umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat
Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah
yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi. Bersama
para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan
wilayah tersebut kemudian merenovasi komplek Masjid al-Aqsha.
Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani
Umayyah Jerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan.
Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.
Penaklukkan Jerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di
tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah
Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah
kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan
terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika
menaklukkan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik
Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut
diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian
yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat
bergama di sana.
Sumber: Lostislamichistory.com dan islamstory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
Green BocPejuang Tegar (PAKATAN RAKYAT)
Hukum Masuk Gereja
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukum masuk gereja atau tempat peribadatan non muslim lainnya?
Terima kasih.
Dari: Arriqa
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ’ala rasulillah
Sebagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang artinya,
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى
التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba),
sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.
Ulama yang berpendapat ini memberikan pengecualian untuk bisa masuk gereja jika terpenuhi beberapa syarat:
- Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
- Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
- Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
- Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H).
Namun berdasarkan keterangan banyak ulama di berbagai madzhab, akan lebih tepat jika diberikan rincian sebagai berikut:
Pertama, Masuk gereja pada saat orang Nasrani sedang melakukan peribadatan
Para ulama secara mutlak melarang perbuatan ini dengan beberapa alasan:
- Karena ini berarti kita ikut bergabung dalam kebatilan yang mereka lakukan.
- Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Syaikhul Islam mengatakan, “Hadis ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru ciri khas orang kafir. Meskipun dlahir hadis menunjukkan kafirnya orang yang meniru perbuatan yang menjadi ciri khas mereka.” (Iqtidla’ As Shirath Al Mustaqim, 1:270).
- Murka Allah turun pada saat peribadatan mereka dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, karena pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” (HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh).
Kedua, Masuk gereja di luar waktu peribadatan mereka, namun di dalam gereja tersebut terdapat gambar atau palang salib yang dipajang.
Hukum keadaan ini sebagaimana memasuki rumah yang ada gambarnya. Ada dua pendapat ulama dalam menyikapi masalah ini. Umairah dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Bab, kita tidak boleh masuk gereja kecuali dengan izin mereka. Jika di dalamnya terdapat gambar maka diharamkan secara mutlak.”
Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar bukanlah satu hal yang haram… ini adalah pendapat Imam Malik, beliau melarangnya karena makruh dan beliau tidak menganggap hal itu satu hal yang haram. Mayoritas Syafi’iyah mengatakan: Jika gambarnya di dinding atau di tempat yang tidak diinjak, maka tidak boleh memasukinya…
Kita memiliki satu riwayat, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk Ka’bah beliau melihat ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, “Semoga Allah membinasakan mereka (orang musyrikin), sungguh mereka telah mengetahui bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah.” (HR. Abu Daud). Dan di antara persyaratan Umar (untuk kafir dzimmi), mereka (diperintahkan) agar memperluas gereja dan tempat peribadatan mereka, supaya kaum muslimin bisa masuk untuk menginap di dalamnya…
Ibnu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahwasanya orang Nasrani membuatkan makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam, kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mau menghadirinya dan Beliau berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka bisa makan siang.” Maka berangkatlah Ali bersama para sahabat dan masuk ke dalam gereja serta makan siang. Kemudian Ali melihat ke gambar, sambil mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) andaikan dia masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar, disamping masuk gereja dan tempat peribadatan mereka tidaklah haram.” (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).
Ibnu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan shalat di tempat peribadatan dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, Sah melaksanakan shalat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh…
Dalam Syarh Ibnu ‘Aqil disebutkan, “Tidak mengapa shalat di gereja yang suci (dari najis), ini adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhum…”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Imam Malik membenci masuk gereja karena alasan ada gambar… (Al Adab As Syar’iyah, 4:122).
Ringkasnya, bahwasanya hukum masuk gereja yang ada gambar atau palang salib yang tergantung dalam posisi diagungkan adalah makruh, kecuali jika orang muslim tersebut mampu untuk mengubahnya. Wallaahu a’lam.
Ketiga, di luar waktu peribadatan mereka dan di dalamnya tidak terdapat gambar maupun palang salib
Al Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja. Alasannya, karena gereja adalah tempat berkumpulnya setan bukan karena dia tidak boleh masuk. Sebagian ulama Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan masuk gereja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, karena sebagaimana ditegaskan oleh sebagian Ulama bahwasanya dianjurkan bagi penguasa muslim untuk mengadakan perjanjian dengan orang kafir dzimmi agar mereka menyediakan tempat untuk tamu muslim di gereja. Dan inilah yang dilakukan khalifah Umar terhadap penduduk Syam. Di antara isi perjanjian damai ahli kitab dengan kaum muslimin: “Kami tidak melarang kaum muslimin untuk singgah di gereja kami baik di malam hari maupun siang hari. Kami akan memperlebar pintu-pintu gereja kami untuk para pelancong dan orang yang kehabisan bekal di perjalanan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2).
Keempat, dalam rangka untuk dakwah dan berdebat untuk menyadarkan kesesatan mereka.
Untuk keadaan yang terakhir ini para ulama menegaskan bolehnya. Bahkan mereka yang melarang secara mutlak, membolehkan masuk gereja dalam rangka mendakwahkan Islam kepada mereka. Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah) Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Kisah Umar bin Khattab
Umar di Baitul Maqdis
Setelah kemenangan Kaum Muslimin atas pasukan Romawi di Yarmuk dan Damsyik, Amirul Mukminin memerintahkan Amru bin Ash dan Syuhrabil maju untuk membebaskan Palestina. Di negeri ini pertarungan kedua pasukan juga berlangsung sengit. Di pelabuhan Kaisariah saja, pasukan muslim yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan membantai 80.000 tentara musuh dan memukul mundur 100.000 orang lainnya. Karena Kaisariah telah jatuh ke tangan orang muslim, pihak Romawi tidak dapat mengirimkan bantuan melalui laut untuk bala tentaranya di Palestina. Dengan demikian nasib mereka sudah ditentukan.
Setelah mengalahkan pasukan Romawi dalam pertempuran hebat di Ajnadain, Panglima Amru bin Ash pun mengepung Baitul Maqdis (Yerusalem). Di saat itulah Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang dengan membawa bala bantuan. Mengetahui kedatangan Umar, panglima Romawi, Atrabon, menarik pasukannya dari Baitul Maqdis dan mundur ke Mesir. Lalu terjadilah sebuah perjanjian yang menunjukkan betapa agung dan baik hatinya orang muslim itu. Perjanjian ini dibuat antara Umar bin Khttab dengan pihak gereja di Yerusalem yang antara lain isinya adalah, “Bismillahirrahmanirrahim. Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirul Mukminin kepada orang Nasrani: Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, bagi yang sakit dan yang sehat dan juga bagi kelompok agama yang lain …”
Perjanjian yang sangat menunjukkan kemurahan hati itu diterima oleh Uskup Yerusalem, Severinus, dengan gembira. Betapa tidak gembira, sebab kaum Nasrani dijamin jiwa, harta dan agamanya. Tak ada kewajiban apapun selain membayar jizyah sebagai jaminan keselamatan yang diberikan Kaum Muslimin. Hal ini berbeda sekali dengan kabijakan Heraklius yang memaksakan agar penduduknya mengikuti agama resmi negara. Siapapun yang menolak akan dipotong hidung dan telinganya serta rumahnya harus dirobohkan.
Setelah itu Khalifah Umar bin Khattab memasuki Baitul Maqdis dan disambut meriah Uskup Agung Severinus dan para pembesar kota. Mereka melihat Umar sangat ramah, jujur, adil dan cinta pada kebenaran. Ketika ditawarkan untuk shalat di Gereja Anastasis, yang dipercaya Kaum Nasrani menjadi tempat kenaikan Yesus di langit, Umar menolak. Sebab ia khawatir nanti Kaum Muslimin akan menjadikan tempat itu sebagai masjid dan mengusir orang Nasrani di sana. Ini sebuah peristiwa yang menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan paling penuh kasih sayang.
See Translation
Pembebasan Jerusalem di Masa Umar bin Khattab
Jerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar di dunia
–Islam, Yahudi, dan Kristen-. Karena latar belakang sejrah yang panjang,
ratusan atau mungkin ribuan tahun, kota ini memiliki beberapa nama
Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, Aelia (Umar bin Khattba menyebut
dengan nama ini dalam surat perjanjiannya), dll. semua nama tersebut
mencirikan karakter dan warisan yang beragam. Kota ini juga merupakan
tempat tinggal beberapa nabi, seperti: dari Nabi Sulaiman dan Nabi Daud
hingga Nabi Isa ‘alahimussalam.
Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pun pernah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini. Dalam suatu perjalanan dari Mekah menuju Jerusalem, kemudian dari Jerusalem menuju Sidratul Muntaha, perjalanan ini kita kenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Jerusalem tidak pernah menjadi bagian dari negeri Islam di masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, negeri penuh berkah tersebut baru masuk menjadi wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab.
Perjalalan Menuju Suriah
Kekaisarabn Bizantium membuat sebuah relasi yang jelas dengan umat Islam di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menginginkan agama yang baru saja berkembang di Selatan kekaisaran mereka ini masuk dan berkembang di teritorial Bizantium. Ketegangan dimulai pada Oktober 630 M, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 30.000 pasukannya menuju Tabuk, daerah perbatasan Kekaisaran Bizantium. Walaupun kontak fisik gagal terjadi, namun ekspedisi Rasulullah untuk menyambut serangan Bizantium di Tabuk menunjukkan era baru hubungan Madinah dan Bizantium.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M), tidak terjadi kontak dengan wilayah kekuasaan Bizantium. Barulah pada masa Umar bin Khattab, Madinah mulai serius mengekspansi ke wilayah Utara menuju area kekuasaan Bizantium. Umar mengirim pasukan yang terdiri dari jawara-jawara Arab seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash menuju Kekaisaran Romawi Timur ini. Perang ini dikenal dengan perang Yarmuk, perang yang terjadi tahun 636 M. Perang ini merupakan pukulan telak bagi Bizantium, sejumlah kota di Suriah berhasil jatuh ke tangan umat Islam, termasuk kota utama Damaskus.
Kedatangan umat Islam ke daerah tersebut disambut dengan baik oleh penduduk lokal, baik Yahudi atau Kristen, termasuk aliran yang ortodok yang meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan bukan hanya anak Tuhan. Mereka semua menyabut kehadiran dan era kepeminpinan Islam di wilayah mereka walaupun banyak perbedaan secara teologi.
Memasuki Jerusalem
Pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Jerusalem. Saat itu Jerusalem dibawah tanggung jawab Uskup Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Jerusalem. Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Jerusalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab yang datang langsung menerima penyerahan darinya.
Mendengar kabar tersebut, Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Jerusalem. Sang khalifah berangkat dengan hanya berkendara keledai dengan ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Jerusalem, Umar disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dan kagum dengan sosok pemimpin muslim satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederhana yang tidak jauh berbeda dengan pengawalnya.
Umar diajak mengelilingi Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di
gereja ini). Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan merubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu sehingga menzalimi hak umat Nasrani. Umar shlat di luar gereja, lalu tempat Umar shalat itu dibangun Masjid Umar bin Khattab.
Perjanjian Umar bin Khattab
Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah, mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Jerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).
Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.
Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).
Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai perbandingan, 23 tahun sebelum Jerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil Jerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Jerusalem yang dikuasai umat Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.
Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Jerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan. Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi dari Jerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi yang bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini masih diperdebatkan.
Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.
Menata Kembali Jerusalem
Setelah Jerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi. Bersama para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan wilayah tersebut kemudian merenovasi komplek Masjid al-Aqsha.
Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani Umayyah Jerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan. Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.
Penaklukkan Jerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika menaklukkan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana.
Sumber: Lostislamichistory.com dan islamstory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
Di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pun pernah menginjakkan kaki di tanah para nabi ini. Dalam suatu perjalanan dari Mekah menuju Jerusalem, kemudian dari Jerusalem menuju Sidratul Muntaha, perjalanan ini kita kenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Jerusalem tidak pernah menjadi bagian dari negeri Islam di masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, negeri penuh berkah tersebut baru masuk menjadi wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab.
Perjalalan Menuju Suriah
Kekaisarabn Bizantium membuat sebuah relasi yang jelas dengan umat Islam di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menginginkan agama yang baru saja berkembang di Selatan kekaisaran mereka ini masuk dan berkembang di teritorial Bizantium. Ketegangan dimulai pada Oktober 630 M, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 30.000 pasukannya menuju Tabuk, daerah perbatasan Kekaisaran Bizantium. Walaupun kontak fisik gagal terjadi, namun ekspedisi Rasulullah untuk menyambut serangan Bizantium di Tabuk menunjukkan era baru hubungan Madinah dan Bizantium.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M), tidak terjadi kontak dengan wilayah kekuasaan Bizantium. Barulah pada masa Umar bin Khattab, Madinah mulai serius mengekspansi ke wilayah Utara menuju area kekuasaan Bizantium. Umar mengirim pasukan yang terdiri dari jawara-jawara Arab seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash menuju Kekaisaran Romawi Timur ini. Perang ini dikenal dengan perang Yarmuk, perang yang terjadi tahun 636 M. Perang ini merupakan pukulan telak bagi Bizantium, sejumlah kota di Suriah berhasil jatuh ke tangan umat Islam, termasuk kota utama Damaskus.
Kedatangan umat Islam ke daerah tersebut disambut dengan baik oleh penduduk lokal, baik Yahudi atau Kristen, termasuk aliran yang ortodok yang meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan bukan hanya anak Tuhan. Mereka semua menyabut kehadiran dan era kepeminpinan Islam di wilayah mereka walaupun banyak perbedaan secara teologi.
Memasuki Jerusalem
Pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Jerusalem. Saat itu Jerusalem dibawah tanggung jawab Uskup Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Jerusalem. Ketika pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci tersebut Sophronius tetap menolak untuk menyerahkan Jerusalem kepada umat Islam kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab yang datang langsung menerima penyerahan darinya.
Mendengar kabar tersebut, Umar langsung berangkat dari Madinah menuju Jerusalem. Sang khalifah berangkat dengan hanya berkendara keledai dengan ditemani satu orang pengawal. Setibanya di Jerusalem, Umar disambut oleh Sophronius yang benar-benar merasa takjub dan kagum dengan sosok pemimpin muslim satu ini. Salah seorang yang paling berkuasa di muka bumi kala itu, hanya menyandang pakaian sederhana yang tidak jauh berbeda dengan pengawalnya.
Umar diajak mengelilingi Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di
gereja ini). Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja namun Umar menolaknya. Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di gereja tersebut, nanti umat Islam akan merubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih Umar pernah shalat disitu sehingga menzalimi hak umat Nasrani. Umar shlat di luar gereja, lalu tempat Umar shalat itu dibangun Masjid Umar bin Khattab.
Perjanjian Umar bin Khattab
Sebagaimana kebiasaan umat Islam ketika menaklukkan suatu daerah, mereka membuat perjanjian tertulis dengan penduduk setempat yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Islam Jerusalem dan penduduk non-Islam. Perjanjian ini ditandatangani oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam. Teks perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).
Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.
Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh at-Thabari).
Pada waktu itu, apa yang dilakukan Umar bin Khattab adalah langkah yang benar-benar maju dalam masalah pakta (perjanjian). Sebagai perbandingan, 23 tahun sebelum Jerusalem ditaklukkan umat Islam, wilayah Bizantium ini pernah ditaklukkan oleh Persia saat itu Persia memerintahkan melakukan pembantaian terhadap masayarakat sipil Jerusalem. Kejadian serupa terjadi ketika Jerusalem yang dikuasai umat Islam ditaklukkan pasukan salib pada tahun 1099 M.
Perjanjian yang dilakukan oleh Umar membebaskan penduduk Jerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka adalah pakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan. Meskipun ada klausul dalam perjanjian yang mengusir Yahudi dari Jerusalem, klausul ini masih diperdebatkan (keshahihannya). Karena salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi yang bernama Kaab al-Ahbar, Umar juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut. Oleh karena itulah, klausul yang melarang orang Yahudi ini masih diperdebatkan.
Perjanjian tersebut menjadi acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah Bizantium. Orang-orang Kristen di wilayah Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan dikenakan sangsi.
Menata Kembali Jerusalem
Setelah Jerusalem dikuasai oleh umat Islam, Khalifah Umar bin Khattab segera menata kembali kota suci ini dan menjadikannya kota penting bagi umat Islam. Umar memerintahkan agar area Kuil Sulaiman –area tempat Nabi berangkat menuju sidratul muntaha- dibersihkan dari sampah-sampah yang dibuang orang-orang Kristen untuk menghina orang Yahudi. Bersama para tentaranya dan dibantu beberapa orang Yahudi, Umar membersihkan wilayah tersebut kemudian merenovasi komplek Masjid al-Aqsha.
Selanjutnya, di masa pemerintahan Umar dan masa kekhalifahan Bani Umayyah Jerusalem menjadi kota pusat ziarah keagamaan dan perdagangan. Pada tahun 691 M, Dome of Rock (Qubatu Shakhrah) dibangun di komplek tersebut untuk melengkapi pembangunan al-haram asy-syarif. Lalu menyusul dibangun masjid-masjid lainnya dan institusi-instusi publik di penjuru kota suci ini.
Penaklukkan Jerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika menaklukkan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu untuk sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana.
Sumber: Lostislamichistory.com dan islamstory.com
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
Artikel KisahMuslim.com
Green BocPejuang Tegar (PAKATAN RAKYAT)
[PANAS] Kadir Jasin Hentam Ridhuan Tee Isu Anwar Masuk Gereja
http://greenboc.blogspot.com/2014/02/panas-kadir-jasin-hentam-ridhuan-tee.html
http://greenboc.blogspot.com/2014/02/panas-kadir-jasin-hentam-ridhuan-tee.html
- Ct Fima Dulu ridhuan tee pernah bercerita yg dia menyertai pengkebumian ayahnya di kubur cina...Tp pandangan org Muslim berkata bahawa dia telah kembali PD agamanya yg dulu...dia berasa sedih...sdangka dia masih tau kedudukannya masih Islam...JD salah ke anwar masuk gereja sedangkan anwar masih Muslim Dan beragama Islam...gereja adlah sesuatu tempat Dan bukan halangan...sesorg yg berfikir politik saje berasa ia salah...
Bolehkah orang Islam masuk ke gereja?
- Jan 06, 2014
- ABU HUSAYN
Bolehkah orang Islam memasuki rumah ibadat agama lain. Adakah menjejaskan akidah jika masuk dengan tujuan berdialog. Hal ini kerana saya melihat ada kalangan pimpinan PAS berbuat demikian. Minta penjelasan Ustaz. Terima kasih.
Jawapan:
Sebahagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang ertinya,
“Janganlah kamu solat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu solat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)
Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik semakin hilang harapan untuk mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah kaum muslimin. Masjid ini dikenali sebagai masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan solat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi dan sahabat dilarang untuk masuk dan solat di masjid dhirar, yang dibina untuk tujuan merosakkan kaum muslimin, padahal itu adalah masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk syirik kepada Allah.
Ulama yang berpendapat sebegini memberikan pengecualian untuk masuk gereja jika dipenuhi beberapa syarat:
- Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
- Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya terlibat dalam kesyirikan mereka.
- Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
- Tidak menyebabkan orang awam mengira bahawa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H).
Namun berdasarkan keterangan banyak ulama berbagai mazhab, akan lebih tepat jika diberikan perincian sebagai berikut:
Pertama, masuk gereja ketika orang Nasrani sedang melakukan ibadat, para ulama secara mutlak melarang perbuatan ini dengan beberapa alasan:
- Ini bererti kita ikut bergabung dalam kebatilan yang mereka lakukan.
- Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menyerupai sesuatu kaum (dalam ciri khas mereka) maka dia termasuk sebahagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani).
- Murka Allah turun waktu mereka beribadat dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, kerana pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” (HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh).
Kedua, Masuk gereja di luar waktu mereka beribadat, namun di dalam gereja tersebut terdapat gambar atau palang salib yang dipasang.
Hukum keadaan ini sebagaimana memasuki rumah yang ada gambar. Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini. Umairah dalam Hasyiyahnya mengatakan, “Kita tidak boleh masuk gereja kecuali dengan izin mereka. Jika di dalamnya terdapat gambar maka diharamkan secara mutlak.”
Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar bukanlah satu hal yang haram… ini adalah pendapat Imam Malik, beliau melarangnya sekadar makruh dan beliau tidak menganggap hal itu satu hal yang haram. Majoriti Syafi’iyah mengatakan: Jika gambar di dinding maka tidak boleh memasukinya.
Dalam satu riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk Ka’bah beliau melihat ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, “Semoga Allah membinasakan mereka (orang musyrikin), sungguh mereka telah mengetahui bahawa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah.” (HR. Abu Daud).
Dan di antara persyaratan Umar (untuk kafir dzimmi), mereka (diperintahkan) agar memperluas gereja dengan menyediakan bilik tamu supaya kaum muslimin boleh masuk untuk menginap di dalamnya.
Ibnu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahawa orang Nasrani membuat makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam, kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mahu menghadirinya dan Umar berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka boleh makan.” Maka berangkatlah Ali bersama para sahabat dan masuk ke dalam gereja serta makan. Kemudian Ali melihat ke gambar, sambil mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) apabila dia masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar, disamping masuk gereja dan tempat peribadatan mereka tidaklah haram.” (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).
Ibnu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan solat di tempat peribadatan dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, sah melaksanakan solat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh.
Dalam Syarh Ibnu ‘Aqil disebutkan, “Tidak mengapa solat di gereja yang suci (dari najis), ini adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhum…”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Imam Malik membenci masuk gereja kerana alasan ada gambar… (Al Adab As Syar’iyah, 4:122).
Ringkasnya, hukum masuk gereja yang ada gambar atau palang salib yang tergantung dalam posisi diagungkan adalah makruh, kecuali jika orang muslim tersebut mampu untuk mengubahnya. Wallaahu a’lam.
Ketiga, di luar waktu peribadatan mereka dan di dalamnya tidak terdapat gambar mahupun palang salib
Al-Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja. Alasannya, kerana gereja adalah tempat berkumpulnya syaitan. Sebahagian ulama Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan masuk gereja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, kerana sebagaimana ditegaskan oleh sebahagian Ulama dianjurkan bagi penguasa muslim untuk mengadakan perjanjian dengan orang kafir dzimmi agar mereka menyediakan tempat untuk tamu muslim di gereja. Dan inilah yang dilakukan khalifah Umar terhadap penduduk Syam. Di antara isi perjanjian damai ahli kitab dengan kaum muslimin: “Kami tidak melarang kaum muslimin untuk singgah di gereja kami baik di malam hari maupun siang hari. Kami akan memperlebar pintu-pintu gereja kami untuk para pelancong dan orang yang kehabisan bekal di perjalanan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2).
Keempat, dalam rangka untuk dakwah dan berdebat untuk menyedarkan kesesatan mereka.
Untuk keadaan yang terakhir ini para ulama menegaskan kebolehannya. Bahkan mereka yang melarang secara mutlak pun membolehkan masuk gereja dalam rangka berdakwah kepada mereka.
WalLahu a’lam
Umar Bin Khatab dan Kisah Gereja Yasmin
Mesir, 640 M
Berkuasalah Gubernur Mesir yang juga veteran perang, Amr bin Ash. Usai menjabat Gubernur, Amr Bin Ash lebih sering tinggal di istana. Sayang, di depan istananya yang mewah itu terdapat sepetak tanah yang luas dengan sebuah gubuk reyot milik orang Yahudi renta.
Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid, gumam Amr Bin Ash.
Singkat kata, Amr Bin Ash membangun masjid. Namun karena ada gubuk reyot kakek Yahudi, pembangunan masjid yang sangat indah menjadi terhalang.
Lantas, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash naik pitam karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya. Padahal telah ditawar 15 kali lipat dari harga pasaran.
Usai Yahudi tua itu meninggalkan istana, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya membuat surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Lantas, Yahudi tua tersebut mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini? tanya Umar bin Khattab seakan tidak percaya.
Masih dalam keadaan terengah-engah dan keringat bercucuran, Yahudi tua tersebut mengadukan kasusnya kepada khalifah yang terkenal ketegasan dan wibawa dalam memimpin. Yahudi tua itu juga menceritakan kasusnya yang berakhir akan digusur oleh Gubernur.
Mendengar penuturan ini, muka Khalifah Umar merah padam, menandakan dirinya marah. ” Masya Allah, kurang ajar sekali Amr,” kecam Umar menahan amarah.
Mendapati kemarahan sang pemimpin Islam, Yahudi tua tersebut ketakutan. Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada, si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan.
Lantas, Khalifah Umar mengambil sepotong tulang dan menggoreskan sesuatu diatas tulang tersebut. Lalu diserahkan tulang tersebut ke kakek Yahudi itu.
Berikan tulang ini pada gubernur, kata sang Khalifah.
Pulanglah kake Yahudi dengan penuh tanda tanya. Usai kakek Yahudi menyerahkan tukang tersebut ke sang Gubernur, tiba- tiba Amr Bin Ash gemetar. Lantas, dia membuat keputusan diluar dugaan kakek Yahudi. Yaitu bukannya membongkar rumah reyot, tapi malah memerintahkan anak buahnya membongkar pembangunan masjid yang hampir selesai itu.
Subhanallah !!
” Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti, tanya kakek Yahudi penuh cemas.
Amr bin Ash memegang pundak si kakek, Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk. Tetapi karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti. Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya! jelas sang gubernur.
Bogor, 2011
Membentangkan payung, ditengah gerimis hujan, para jemaat gereja terpaksa menggelar doa di trotoar. Padahal, beberapa meter dari mereka terdapat rumah ibadah yang biasa mereka gunakan. Tetapi pagar terkunci dengan puluhan Satpol PP menjaga ketat ibadah tersebut.
Meski Mahkamah Agung (MA) telah menyatakan IMB GKI Yasmin sah dan berkekuatan hukum tetap, tetapi pemerintah setempat tetap ngotot pembangunan Gereja harus dihentikan. Alasan pembenaran pun dicari yaitu IMB dibekukan.
Lantas, jamaat GKI mengadukan nasibnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada 4 September 2008. Hakim pun memenangkan gugatan panitia pembangunan Gereja Yasmin. Ternyata pemerintah setempat tidak terima dan mengajukan banding. Di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, pemerintah kalah lagi.
Tidak terima, lagi- lagi Pemkot Bogor mengajukan PK ke MA. Namun hakim bergeming. MA menyatakan IMB gereja tersebut sah. Pemkot diwajibkan mencabut pembekuan IMB atas pembangunan gereja tersebut.
Berkaca dari sikap Umar Bin Khatab, sikap arogansi masyarakat setempat tidak mencerminkan nilai- nilai ke- Islaman. Seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Bukankah karena ketegasan Ummar Bin Khatab, Nabi Muhammad SAW memberikan julukan kepadanya dengan Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan ?
Bahasa
Umat Islam diajak tunai solat dalam gereja
Alasan digunakan adalah surau tempat mereka solat yang terletak berhampiran gereja itu terlalu sendat.
Ia berlaku di St John's Episcopal Church dekat bandar Aberdeen, lapor BBC melalui video mereka.
Mereka kemudiannya menunaikan solat di dalam gereja itu.
Ia berlaku ketika gereja itu tidak digunakan oleh penganut Kristian.- 13 Ogos, 2013.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan