Selasa, 11 Februari 2014

JAWAPAN DARI SOALAN2 1


Hukum Memelihara Jenggot@Janggut


Hukum Memelihara Jenggot
Fatwa oleh: Prof. Dr. Syekh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab Mesir
Pertanyaan: Apa hukumnya memelihara jenggot?
Jawaban:
Di dalam beberapa hadis telah disebutkan tentang perintah memelihara dan memanjangkan jenggot, diantaranya sabda Nabi SAW:
خالفوا المشركين، وفروا اللحى، واحفوا الشوارب. رواه البخاري و مسلم.
“Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan dalil ini para ahli fikih berbeda pendapat, apakah hadis tersebut merupakan perintah wajib ataukah sunnah?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu hukumnya wajib, sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah. Banyak teks ulama Syafiiyah yang menjelaskan tentang hukum ini. Diantaranya, perkataan Syaikhul Islam, Zakariya Al-Anshari:
و يكره (نتفها) اي اللحية اول طلوعها ايثارا للمرودة و حسن الصورة.
“Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, demi terlihat tidak berjenggot (amrod) dan berpenampilan menawan.” (Asna al-Mathalib, 1/551).
Imam Al-Ramli mengomentari perkataan Syaikhul Islam tersebut dalam ‘Hasyiyah’nya terhadap kitab Asna al-Mathalib:
(وقوله: و يكره نتفها) اي اللحية الخ، ومثله حلقها. فقول الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته و لا حاجبيه، ضعيف.
“Perkataannya (makruh mencabut jenggot dst), demikian juga dengan mencukurnya. Perkataan al-Hulaimi “Seseorang tidak boleh mencukur jenggot dan alisnya” adalah pendapat lemah.” (Hasyiyah Asna al-Mathalib, 1/ 551).
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah– berkata:
(فرع) ذكروا هنا في اللحية و نحوها خصالا مكروهة، منها: نتفها، وحلقها وكذا الحاجبان.
“Mereka (ulama) menyebut dalam persoalan jenggot dan semisalnya, beberapa perkara makruh, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot, juga kedua alis.” (Tuhfah al-Minhaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Ibnu Qasim Al-Abbadi dalam Hasyiahnya terhadap Tuhfah al-Muhtaj, beliau berkata:
قوله: (أو يحرم كان خلاف المعتمد) في شرح العباب فائدة قال الشيخان يكره حلق اللحية.
“Perkataannya (atau diharamkan, maka itu menyalahi pendapat yang mu’tamad), dalam Syarah al-‘Ubab, asy-Syaikhan (Nawawi dan Rafi’i) mengatakan makruh mencukur jenggot.” (Hasyiyah Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Al-Allamah Al-Bujairami dalam kitabnya al-Iqna’ berkata:
إن حلق اللحية مكروه حتى من الرجل و ليس حراما.
“Sesungguhnya mencukur jenggot itu hukumnya makruh bagi laki-laki, dan bukan haram.” (al-Iqna’, 4/ 346).
Penyebutan kata ‘laki-laki’ (ar-Rajul) dalam teks tersebut, bukan lawan dari perempuan, akan tetapi lawan dari anak kecil. Karena konteksnya adalah makruh mencukur jenggot atau mencabutnya di awal tumbuhnya untuk anak kecil.  Oleh karena itu, al-Bujairami mengomentari bahwa “awal tumbuhnya jenggot” bukan merupakan landasan kemakruhannya, namun hukum makruh itu juga berlaku untuk pria dewasa.
Dan selain ulama Syafiiyah ada juga ulama yang berpendapat makruhnya mencukur jenggot, diantaranya adalah Imam Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab Asy-Syifa’, salah seorang ulama Malikiyah, dia berkata:
يكره حلقها و قصها و تحريقها.
“Makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot.” (Dinukil oleh al-Hafidz al-Iraqi dalam Tarh at-Tasyriib, 2/ 83, dan asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, 1/ 143).
Tampaknya, para ulama yang berpendapat wajibnya memanjangkan jenggot, dan haram mencukurnya, melihat ada alasan lain di luar teks sabda Nabi SAW, yaitu mencukur jenggot itu merupakan aib, dan menyelisihi kebiasaan lelaki di zaman mereka. Saat itu lelaki yang mencukur jenggotnya akan dicela dan menjadi bahan gunjingan di jalanan.
Dalam pembahasan tentang ta’zir (hukuman jerah), imam ar-Ramli berkata bahwa ta’zir tidak dikenakan sebab mencukur jenggot.
 (و قوله : لا لحيته . قال شيخنا : لأن حلقها مثلة له، و يشتد تعييره بذلك، بل قد يعير بما ذكر اولاده).
“Perkataannya: (Tidak boleh mencukur jenggot), guru kami berkata, karena mencukurnya itu merupakan bentuk dari mutilasi, sehingga hal itu sangat tercela. Bahkan terkadang anak-anaknya pun terkena imbas celaan tersebut.” (Hasyiyah Asna Mathalib, 4/ 162).
Keterkaitan teks ‘perintah’ dengan adat-istiadat merupakan sebuah qarinah (alasan) untuk mengalihkan sebuah perintah yang asalnya bermakna wajib, ke makna sunah, dan jenggot merupakan adat-istiadat. Para ahli fikih menyatakan akan kesunahan banyak hal yang terdapat teks jelas perintah dari Nabi SAW, karena berkaitan dengan sebuah adat. Contohnya hadis:
غيروا الشيب ولا تتشبهوا بأعدائكم من المشركين، وخير ما غيرتم به الشيب الحناء والكتم. رواه البخاري ومسلم.
“Ubahlah uban dan jangan sampai menyerupai musuh kalian dari kaum musyrikin. Benda terbaik untuk mengubah uban kalian adalah tumbuhan inai (pacar) dan tumbuhan katam.” (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk perintah dalam hadis di atas tidak kalah tegas dari hadis memanjangkan jenggot. Akan tetapi ketika mengubah warna uban itu tidak diingkari oleh masyarakat, baik dilakukan maupun tidak, maka ahli fikih berpendapat hukumnya sunnah, dan tidak wajib.
Para ulama Islam senantiasa berpijak pada metodologi berpikir seperti itu. Oleh karenanya, mereka melarang keras memakai topi dan berpakaian ala Eropa. Mereka berpendapat akan kekufuran orang yang memakai topi dan pakaian ala Eropa. Itu bukan karena perbuatan tersebut merupakan bentuk asli dari sebuah kekufuran, namun karena di zaman itu perbuatan tersebut menunjukkan akan kekufuran. Ketika berbusana ala Eropa sudah menjadi adat-istiadat, maka tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan pelakunya adalah kafir.
Sesungguhnya hukum memanjangkan jenggot di zaman salaf saleh –seluruh penduduk bumi baik kafir maupun muslim memanjangkannya, karena tidak ada alasan untuk mencukurnya—merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama (baca: masalah khilafiyah). Jumhur ulama menyatakan wajib memanjangkannya, sedangkan ulama Syafiiyah memandangnya sebagai sebuah sunnah dan orang yang mencukurnya tidak berdosa.
Oleh karena itu, kami berpendapat harus mengamalkan pendapat Syafiiyah di era sekarang ini, karena adat-istiadat telah berubah. Mencukur jenggot hukumnya makruh dan memanjangkannya adalah sunnah, seorang muslim yang melakukannya akan mendapatkan pahala. Dalam memanjangkan jenggot harus memperhatikan kebagusan tampilan, dan senantaisa merapikannya, sehingga sesuai dengan wajah orang yang bersangkutan. Wallahu a’la wa a’lam. (Yusuf Syakir/ diterjemahkan dari kitab al-Bayân al-Qawîm/mosleminfo.com).

Hukum Mencintai Ahlul Bait


Hukum Mencintai Ahlul Bait
Fatwa oleh: Prof. Dr. Syekh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab Mesir
Pertanyaan: Apa urgensi mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi SAW? Apa batasan cinta itu? Dan apa bedanya antara mahabbah (cinta) dan ghuluw (berlebihan)?
Jawaban: Di dalam Al-Qur’an dan Hadis telah banyak dijelaskan mengenai urgensi mencintai keluarga Nabi SAW, diantaranya adalah firman Allah SWT :
 ”قُل لَا أَسْألُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرا إِلَّا المَوَدَّة فِى القرْبَى” (الشورى: 23)
“Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. (asy-Syuraa: 23)
Said bin Jubair rahimahullah mengomentari hadis tersebut: “Tidaklah ada sebuah suku (kabilah) dari Quraisy, melainkan Nabi SAW memiliki hubungan kerabat dengan mereka.”
Nabi SAW bersabda:
إِلَّا أَنْ تَصِلُوا مَا بَيْنِى وَ بَيْنَكُم مِن القَرَابَةِ. رواه البخارى. “
“Kalian pasti memiliki hubungan kerabat denganku.” (HR. Bukhari)
Hadis ini merupakan wasiat dari Nabi SAW akan kerabatnya, yang diperintah Allah SWT untuk disampaikan kepada umatnya.
Rasulullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk senantiasa mencintai keluarganya, dan berpegang teguh pada mereka. Beliau bersabda:
أمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ». فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِىٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ . قَالَ كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ. رواه أحمد ومسلم.
“Amma ba’du, wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian, yang akan segera didatangi oleh utusan Tuhanku (malaikat maut). Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian, yaitu Al-Quran yang berisi petunjuk dan cahaya (kebenaran), maka berpeganglah teguh padanya –beliau mengajurkan untuk berpegang teguh kepada Al-Quran. Kemudian beliau melanjutkan: “Dan keluargaku, aku berwasiat agar kalian memuliakan keluargaku, aku berwasiat agar kalian memuliakan keluargaku, dan aku berwasiat agar kalian memuliakan keluargaku.” Kemudian Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah yang termasuk keluarga Nabi wahai Zaid? Bukankah putri-putri Nabi juga termasuk dalam nasab beliau?” Zaid menjawab, “Ya, mereka adalah keturunan Nabi, akan tetapi keluarga Nabi adalah mereka yang diharamkan menerima sedekah.” Hushain bertanya lagi, “Siapakah mereka?” Zaid menjawab, “Mereka adalah keturunan Ali ra., keturunan Aqil ra., keturunan Ja’far ra, dan keturunan Abbas ra.” Hushain bertanya: “Apakah mereka semua haram menerima sedekah?” Zaid menjawab, “Ya”. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dan sabda Rasulullah SAW,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِى أَهْلَ بَيْتِى. رواه أحمد والترمذي.
“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku meninggalkan dua hal untuk kalian, jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Al-Quran dan keluargaku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Kita semua sangat mencintai Allah SWT, dan dengan kecintaan tersebut kita mencintai Rasulullah SAW yang merupakan pintu kebaikan dan menjadi sebab Allah SWT merahmati seluruh alam semesta. Dan dengan kecintaan kepada Nabi SAW, kita mencintai keluarga beliau yang mempunyai banyak keutamaan dan kelebihan.
Kecintaan terhadap keluarga Nabi SAW akan tertancap dalam relung hati terdalam setiap muslim, dan itu merupakan indikasi mencintai Nabi SAW. Dengan mencintai Nabi SAW, kita mencintai keluarga beliau. Sebagaimana mencintai Nabi SAW adalah indikasi dari mencintai Allah SWT. Dan dengan mencintai Allah, maka kita mencintai semua kebaikan. Semuanya terletak pada satu arah, dan Allah maha mengetahui segalanya.
Sedangkan mengenai kecintaan yang berlebihan (ghuluw), sebenarnya bukan termasuk dalam bab mahabbah (cinta), namun masuk ke dalam bab i’tiqad (keyakinan). Selama seorang muslim benar keyakinannya, maka tidak ada dosa baginya dalam mencintai Rasulullah SAW dan keluarga beliau. Kami meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah, dan para nabi semuanya maksum (terpelihara dari dosa). Sedangkan keturunan Nabi Muhammad SAW serta para sahabat tidaklah maksum, mereka hanyalah dijaga Allah, sebagaimana halnya orang-orang saleh lainnya. Dalam pandangan syariat, mereka mungkin saja terjatuh pada dosa kecil dan besar, namun mereka dijaga oleh Allah SWT agar tidak melakukan hal itu.
Selama seorang muslim benar keyakinannya dalam hal ini, dan dia sangat mencintai keluarga SAW dengan penuh hati, maka itu adalah anugerah dari Allah SWT bagi orang yang mencintai-Nya. Semakin seorang muslim mencintai keluarga Nabi SAW, maka derajanya akan naik di sisi Allah pada derajat kaum shalihin, karena mencintai keluarga Nabi SAW adalah tanda dari mencintai Nabi SAW, dan mencintai Nabi SAW adalah tanda dari mencintai Allah SWT . Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam. (Ahmad Dzulfikar/ diterjemahkan dari kitab al-Bayan al-Qawim).

Menjabat Tangan dan Melihat Wajah Perempuan


Menjabat Tangan dan Melihat Wajah Perempuan
Fatwa oleh : Prof. Dr. Ali Gomah
Pertanyaan: Apa hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan? Apakah membatalkan wudhu? Apa hukum melihat wajah perempuan?
Jawaban: Menjabat tangan perempuan yang bukan mahram oleh seorang lelaki merupakan masalah khilafiyah dalam hukum fikih. Mayoritas ulama mengharamkannya. Namun, mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah memperbolehkan menjabat tangan wanita lanjut usia, yang sudah tidak membangkitkan syahwat, karena aman dari fitnah (godaan atau ketertarikan- pen.).
Diantara dalil mayoritas ulama yang mengharamkan adalah perkataan Sayyidah Aisyah ra., “Tak sekalipun Rasulullah Saw. menyentuh telapak tangan perempuan.” (Muttafaq ‘alaih). Dan hadis Ma’qil bin Yasar ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh jika kepala seorang di antara kalian ditusuk jarum, itu lebih baik daripada menyentuh tangan perempuan yang tidak halal baginya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ar-Ruyani dalam musnadnya dan oleh At-Thabrany dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.
Di sisi lain, ada sekelompok ulama membolehkan hal tersebut, berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah menjabat tangan perempuan, walaupun Nabi Saw. tidak berkenan menjabat tangan mereka saat berbai’at (sumpah setia). Sehingga keengganan Nabi berjabat tangan dianggap sebagai khasaish (keistimewaan atau kekhususan yang hanya berlaku untuk Nabi-pen). Abu Bakar As-Shiddiq ra. juga pernah menjabat tangan wanita tua di masa pemerintahannya.
Demikian juga, hal itu berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh imam Bukhari, bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Ummu Haram ra. untuk membersihkan kutu di kepala beliau Saw. Serta berdasarkan riwayat Bukhari, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari ra. menyuruh seorang perempuan keturunan Asy’ari membersihkan kutu di kepala beliau, padahal beliau sedang ihram haji.
Mereka menjawab dalil yang dijadikan landasan oleh mayoritas ulama bahwa hadis Ma’qil bin Yasar adalah hadis dhaif (lemah), karena dhaifnya perawi hadis tersebut, yaitu Syaddad bin Sa’id. Dia adalah satu-satunya perawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi demikian, secara marfu’. Orang seperti Syaddad bisa diterima riwayatnya seandainya tidak ada riwayat yang menyelisihinya. Namun hadis riwayat Ma’qil tersebut bertentangan dengan hadis Basyir bin Aqabah, seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) dan termasuk perawi shahihain (Bukhari dan Muslim). Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dalam Al-Mushannaf melalui Basyir bin Aqabah, dari Abu Al-Alla’, dari Ma’qil bin Yasar – secara mauquf – dengan redaksi, “Seandainya seorang di antara kalian mengambil jarum dan menusukkannya di kepalaku, itu lebih baik bagiku daripada kepalaku dibasuh oleh seorang perempuan yang tak ada hubungan mahram denganku.”
Oleh karena itu, bagi seorang yang diuji dengan hal tersebut (berada di lingkungan yang berbudaya bebas misalnya-pen), boleh mengikuti ulama yang membolehkannya. Karena keluar dari khilafiyah hukumnya sunah.
Sementara itu mengenai batalnya wudhu akibat menjabat tangan perempuan yang bukan mahram, juga merupakan masalah khilafiyah dalam hukum fikih. Imam Syafii berpendapat, hal itu bisa membatalkan wudhu, meski tanpa syahwat. Namun Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan, walaupun dengan syahwat. Imam Malik memberikan perincian terkait hal itu. Beliau berpendapat bahwa menyentuh dapat membatalkan wudhu jika dengan syahwat, dan tidak membatalkan jika tanpa syahwat. Terkait hal ini, ada sejumlah riwayat lain dalam mazhab Maliki. Dari Imam Ahmad juga terdapat beberapa riwayat yang sama dengan pendapat-pendapat di atas. Masing-masing memiliki dalil yang disebutkan panjang lebar dalam buku-buku fikih.
Kaidah yang telah baku dalam masalah khilafiyah menurut syariat adalah:
1. Tidak perlu mengingkari permasalahan yang masih diperselisihkan. Pengingkaran hanya perlu dilakukan pada permasalahan yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
2. Orang yang diuji dengan hal ini, hendaklah mengikuti pendapat yang membolehkan.
3. Dianjurkan untuk keluar dari permasalahan khilafiyah.
Tentang pandangan seorang lelaki terhadap perempuan, pendapat yang dijadikan pedoman oleh para ahli fikih adalah ‘boleh melihat wajah dan telapak tangan’. Imam Abu Hanifah menambahkan dengan telapak kaki. Dengan syarat tanpa disertai syahwat serta aman dari fitnah (godaan atau ketertarikan-pen). Hal ini sebagaimana perintah Allah untuk menundukkan pandangan, yang cakupannya berbeda dengan perintah menjaga kemaluan. Allah berfirman,
.قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم
“Katakan kepada orang-orang mukmin, wahai Muhammad! Agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka.” (an-Nur: 30).
Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kassyaf mengomentari mengenai penyebutan huruf ‘min’ pada kalimat (يغضوا من أبصارهم), dan tidak disebutkan pada kalimat (يحفظوا فروجهم):
“Hal itu menunjukkan bahwa permasalahan melihat itu lebih longgar. Tidakkah kamu tahu bahwa wanita mahram boleh dilihat rambut, dada, puting, tangan, betis, dan telapak kaki mereka. Begitu juga budak-budak yang siap dijual. Dan perempuan bukan mahram boleh dilihat wajah dan telapak tangan, serta telapak kakinya, dalam salah satu riwayat. Sedangkan permasalahan (menjaga) kemaluan itu lebih ketat. Anda tentu dapat membedakan antara kebolehan melihat sesuatu melainkan bagian yang dikecualikan, dengan larangan bersenggama melainkan kepada obyek yang dikecualikan.”
Selain wajah, telapak tangan, dan telapak kaki perempuan yang bukan mahram tidak boleh dilihat kecuali dalam kondisi terpaksa, atau untuk mengobati dan semisalnya. Wallahu A’lam. (Musyaffa)
Sumber: Majalah Al-Azhar edisi April 2012/ Jumada Al-Ula 1433.

Reposisi Fatwa di Tengah Badai Kepentingan


Reposisi Fatwa di Tengah Badai Kepentingan
M. Hidayatulloh
Prolog 
Agama Islam didaulat sebagai agama paripurna yang senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman; shâlihun li kulli zamân wa makân. Meskipun teks-teks wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jumlahnya terbatas, namun Islam memiliki cara atau instrumen tersendiri dalam menjawab berbagai persoalan umat manusia di mana dan kapan pun itu. Instrumen ini bernama ijtihad. Ijtihad diartikan sebagai sebuah upaya penggalian hukum syariat dari dua sumber utama; Al-Quran dan Hadis. Ijtihad sangat erat kaitannya dengan fatwa. Karena fatwa merupakan salah satu produk dari aktivitas ijtihad yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid.
Seiring berjalannya waktu, persoalan di dunia ini terus mengalami perkembangan, sehingga banyak hal baru yang muncul dan belum memiliki status hukum yang spesifik dalam syariat Islam. Persoalan-persoalan baru inilah yang kerap mendorong khalayak umum untuk bertanya kepada seorang ulama demi mendapatkan status hukumnya, yang kemudian disebut dengan fatwa. Namun dalam perjalanannya fatwa tidak lepas dari berbagai kepentingan tertentu. Lantas dimanakah posisi fatwa di tengah badai kepentingan seperti saat ini?
Pengertian Fatwa
Sebelum kita terlalu jauh membahas mengenai berbagai persoalan yang terjadi di dunia fatwa, kita harus lebih dahulu mengetahui makna fatwa itu sendiri. Dengan mengetahui maknanya, kita akan memiliki persepsi yang benar dan utuh tentang fatwa, sehingga tidak salah kaprah dalam mengklasifikasikan vonis status hukum dalam agama yang mirip namun berbeda makna dan konsekuensinya.
Secara bahasa, Ibnu Mandzur dalam Lisân al-Arab menjelaskan bahwa makna iftâ’ adalah memberikan penjelasan atas sebuah perkara dan menghilangkan persoalan pelik di dalamnya. Sedangkan fatwa sendiri diartikan sebagai jawaban seorang mufti.
Secara istilah, Mayyarah mendefenisikan fatwa adalah pemberitahuan akan status hukum syariat yang sifatnya tidak mengikat. (al-Itqân wa al-Ihkâm, 1/8)
Al-Bahuti dalam Syarh Muntaha al-Iradât mendefinisikannya sebagai sebuah penjelasan akan hukum syariat bagi orang yang bertanya. (3/483).
Al-Munawi dalam at-Ta’arîf lebih simpel dalam memberikan definisi fatwa, yaitu jawaban seorang mufti.
Dari pengertian secara bahasa dan istilah di atas dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa tujuan fatwa adalah memberikan penjelasan status hukum syariat terhadap sebuah perkara dan sifatnya tidak mengikat. Hal ini berbeda dengan qadha’, yaitu keputusan hukum seorang hakim dalam sebuah perkara, maka ini sifatnya mengikat kepada orang yang bersangkutan. Dengan demikian, tugas seorang mufti hanya sebatas menyampaikan status hukum perkara yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa), dan mustafti masih memiliki peluang untuk menjalankan atau tidak keputusan hukum yang telah diambil oleh mufti tersebut.
Bahaya Fatwa
Fatwa merupakan produk Islam yang sangat tinggi nilainya, sehingga tidak semua orang boleh mengeluarkan pendapat atas nama fatwa. Fatwa hanya boleh dikeluarkan oleh orang-orang yang telah memenuhi kualifikasi ketat, baik dalam sisi kapabilitas maupuan kredibilitas. Seorang mufti harus memiliki kapabilitas keilmuan agama yang mumpuni, dengan penguasaan yang baik akan berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Dia juga harus merupakan sosok yang memiliki kredibilitas unggul sehingga terlepas dari prilaku-prilaku yang kurang terpuji.
Begitu ketatnya kualifikasi untuk menjadi seorang mufti, sehingga banyak ulama yang tidak berani untuk maju ke zona bahaya yang bernama ‘fatwa’ ini. Mereka memilih untuk tidak bermain api di zona ini. Karena hakikat berfatwa adalah penyampaian hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apalagi jauh hari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya: “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah orang yang paling berani masuk neraka.”
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwasanya fatwa itu sangat berbahaya, besar urusannya, dan banyak keutamaannya. Karena seorang mufti adalah pewaris para nabi shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim, juga seorang yang menunaikan fardhu kifayah. Akan tetapi dia sangat rentan untuk terjatuh pada kesalahan. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa seorang mufti penyambung keputusan Allah Ta’ala.” (Adabul Fafwa, hlm. 13).
Ibnu al-Qayyim berkata: “Hendaklah seorang mufti mengetahui siapa yang dia wakili dalam fatwanya. Hendaklah dia berkeyakinan bahwa dirinya kelak akan ditanya di hadapan Allah Ta’ala (akan fatwanya).” (I’lâm Muwaqqi’în, 1/10-11).
Para ulama salaf senantiasa berhati-hati dalam memberikan sebuah fatwa, bahkan mereka sering memberikan saran kepada orang yang meminta fatwa agar bertanya kepada orang selain dirinya. Abdurrahman bin Abi Laila pernah berkata: “Aku pernah mendapati 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar. Saat salah seorang mereka bertanya mengenai suatu permasalahan, maka sahabat yang ini melempar pertanyaan kepada sahabat yang lain, dan diapun melemparnya kepada sahabat yang lain lagi, hingga akhirnya pertanyaan tersebut kembali kepada orang pertama.” (Târikh Bagdâd, 13/412).
Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Barangsiapa menjawab sebuah pertanyaan, maka sebelum menjawabnya, hendaklah dia mengingat surga dan neraka serta bagaimana kelak nasibnya di akhirat. Setelah itu barulah dia menjawab pertanyaan tersebut.” (Adabul Mufti wal Mustafti, hlm. 79-80).
Fatwa dan Kepentingan
Dari paparan di atas, tampak begitu berat konsekuensi sebuah fatwa. Oleh karenanya para ulama tidak serta merta menjawab seluruh pertanyaan keagamaan yang dilontarkan kepada mereka. Mereka sadar betul bahwa jawabannya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun demikian, seorang ulama juga tidak boleh bersembunyi dari realitas yang ada. Menyembunyikan ilmu yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta’ala karena takut salah dalam memberikan keputusan hukum juga merupakan tindakan kurang terpuji. Menyembunyikan ilmu ini pun juga memiliki ancaman tersendiri. Jadi, idealnya adalah bersikap apa adanya sesuai kapasitas yang dimiliki dengan terus berharap mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Seorang ulama yang diberi pertanyaan tentang status hukum sebuah perkara, lantas dia menjawabnya sesuai prosedur dan standar keilmuan Islam yang berlaku, maka jika dia salah akan mendapatkan satu pahala dan jika benar akan mendapatkan dua pahala. Karena dengan demikian berarti dia telah berijtihad. Dan dalam konsep pahala ijtihad, jika benar mendapatkan dua dan jika salah mendapatkan satu.
Seiring dengan meningkatnya rasa keingintahuan masyarakat terhadap Islam, fatwa mulai bergeser dari peranannya semula. Jika semula fatwa hanya bertujuan untuk memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya mengenai status hukum syariat atas sebuah perkara yang bersifat tidak mengikat, kini fatwa seakan dijadikan instrumen untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Di tangan seorang ekonom, fatwa akan dijadikan justifikasi keabsahan atau kehalalan akan produk-produk bisnis atau transaksi-transaksi keuangan yang dia tawarkan. Di tangan seorang politisi, fatwa akan digunakan sebagai jargon politik atau alat untuk meraup dukungan massa sebanyak-banyaknya. Demikian pula, fatwa akan ditarik-tarik dan dikait-kaitkan oleh pihak selain mereka, demi memberikan segel ‘halal’ pada aktivitas atau produk yang mereka ciptakan.
Di titik ini, fatwa sudah tidak lagi menjadi sekedar penjelasan status hukum, namun justru berubah menjadi obyek studi yang perlu dijelaskan hukumnya sendiri. Artinya, kita akhirnya perlu bertanya lagi kepada para ulama tentang hukum berfatwa demi kepentingan-kepentingan tertentu. Fatwa berbalut kepentingan inilah yang kerap menimbulkan perang fatwa antar ulama dan membuat kondisi sosial masyarat menjadi tidak kondusif. Alih-alih masyarakat mendapatkan pencerahan dan kemaslahatan dari sebuah fatwa yang telah dikeluarkan oleh seorang ulama, mereka justru akan saling lempar cacian bahkan baku hantam demi membela ulama idolanya. Tentunya ini akan melahirkan persoalan baru dan sangat bertentangan dengan konsep dan spirit yang terkandung dalam fatwa itu sendiri.
Perang fatwa mungkin jarang kita temukan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Karena perlu kita akui bahwa di negara kita belum ada yang berani untuk berfatwa, kalau tidak ingin dikatakan memang belum ada sosok yang layak untuk mengeluarkan fatwa. Penulis teringat sebuah statemen dari guru penulis Dr. Amr Wardani, salah seorang ulama staf fatwa di Dar el-Fatwa (Lembaga Pusat Fatwa) Republik Arab Mesir. Pasca kunjungan beliau ke Indonesia, beliau mengatakan bahwa di Indonesia belum ada seorang mufti, yang ada hanyalah para fuqaha (ahli fikih). Hal itu beliau dasarkan pada fakta bahwa para ulama Indonesia sering terjebak pada ijtihad-ijtihad ulama klasik dalam memberikan hukum pada persoalan-persoalan baru. Padahal bisa jadi empat aspek dalam proses fatwa sudah berbeda; asykhâs (personal), ahwâl (kondisi), makân (tempat), dan zamân (waktu).
Namun beda halnya jika kita melihat kasus yang terjadi di dunia Arab. Meski sebagian besar ulama telah menggulirkan ide agar dibuat lembaga khusus yang menjadi kiblat fatwa, karena sulitnya ditemukan sosok mufti yang memenuhi kualifikasi, tapi tetap saja fatwa individu banyak kita temukan. Fakta terbaru, betapa perang fatwa di Mesir betul-betul tersajikan dengan sangat panas, antara para mufti dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan Al-Azhar. Konflik ‘kepentingan’ yang terjadi di Mesir ini pun mempengaruhi bahkan menciptakan konflik serupa di belantika dunia Islam lainnya yang selama ini berkiblat kepada Mesir dalam keilmuannya. Hal serupa juga terjadi lebih dahulu di Suriah. Dan untuk saat ini di dunia Arab sendiri sedang mengalami kerancuan pemahaman terkait fatwa ini. Masyarakat awam –dan sebagian civitas akademika– sering salah dalam memahami statemen para ulama yang mengandung keputusan hukum syariat. Mereka hampir tidak bisa membedakan antara fatwa dengan ra’yun fiqhi (pandangan fikih). Semua statemen ulama mereka anggap sebagai sebuah fatwa, padahal kenyataannya tidak demikian.
Penutup
Dengan melihat uraian singkat di atas, merupakan sebuah keniscayaan untuk mengembalikan lagi fatwa pada posisi semula. Posisinya yang permanen sebelum ditarik ke kanan dan ke kiri demi mengukuhkan sebuah kepentingan. Dengan demikian fatwa tidak lagi dijadikan alat justifikasi sebuah kepentingan yang hanya cenderung menguntungkan pihak tertentu. Jika pun ada kepentingan yang harus dibela oleh sebuah fatwa, maka kepentingan itu bernama ‘kebenaran’. Kebenaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip baku dalam Islam. Akhirnya penulis ingin mengajak seluruh pihak untuk lebih hati-hati dalam persoalan fatwa ini. Kemaslahatan publik harus menjadi misi utama dalam urusan fatwa, sehingga kondisi sosial masyarakat menjadi lebih kondusif. Dengan demikian, pikiran dan tenaga umat dapat lebih disinergiskan dan dioptimalkan sehingga menghasilkan karya-karya nyata yang produktif. Wallahu a’lam.

Berpolitik Secara Agamis atau Beragama Secara Politis?


haha
30 Juni 2013, gejolak yang selama ini tersimpan di benak masyarakat Mesir hingga menggunung akhirnya meletus. Beberapa hari sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwa Mesir akan mengalami kesulitan. Kesulitan memilih antara dua hal yang sama-sama tak enak dikunyah apalagi ditelan. Rakyat terpecah menjadi dua golongan yang sama-sama bermassa besar. Pihak pro Dr. Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin dan pihak kontra (oposisi).
Dalam kejadian ini, banyak fatwa yang berterbangan di udara hingga menyusup ke dalam naluri masyarakat awam. Ada yang mengatakan ini konflik ideologi. Ini persetuan antara Islam dan sekuler atau liberal. Ini pertikaian antara orang yang beriman dengan orang yang ‘tidak begitu beriman’. Ini pergulatan antara pendukung demokrasi dan pembangkang hak asasi. Keluar untuk membela pemerintahan yang sah adalah jihad dan pemberontak termasuk dari golongan yang kafir dan tercabut identitas Islam dari dirinya.
Beragam fatwa yang memilukan khalayak ini dengan mudah dan cepat berkelebat di telinga masyarakat hingga menimbulkan berbagai propaganda. Masyarakat awam akan mudah mengimani bila kejadian ini diberi embel-embel perang ideologi, jihad antara umat Muslim dan kafir. Jihad memperjuangkan Islam. Jihad menentang sekulerisme dan liberalisme. Jihad agar Islam tidak lenyap. Siapa yang tidak ingin membela Islam, siapa yang tidak ingin memperoleh predikat syahid, siapa yang tidak marah jika mendengar Islam dihabisi.
Namun Ulama Sunni Rabbani yang diprakarsai oleh Grand Syaikh Al-Azhar Prof. DR. Ahmad Thayyib, Mantan Mufti Mesir Prof. DR. Ali Jumah, Penasehat Grand Syaikh Al-Azhar Syaikh Muhammad Muhanna, Habib Ali Jufri, Syaikh Osamah Sayyid, Syaikh Muiz Masud, dan ulama Al-Azhar yang lain mengatakan bahwa konflik Mesir saat ini bukanlah konflik ideologi atau agama. Namun hakikatnya adalah konflik politik. Dan mengkafirkan orang lain sebab urusan kekuasaan dan dunia tidak bisa dibenarkan oleh agama dan tidak sesuai syariat.
Memang, zaman ini politik identik dengan segala keburukan mulai dari nepotisme, korupsi, kecurangan, omong kosong, dll. Oleh karenanya ada sebagian kelompok yang mengeklaim atas nama Islam dengan terjun ke masyarakat untuk mendongkrak popularitas dan mencari massa. Sudah barang tentu masyarakat awam akan ‘mantuk-mantuk’ bila melihat kelompok tersebut ingin berpolitik secara Islami meskipun hakikatnya Islam hanya digunakan sebagai pembungkus.
Sudah waktunya masyarakat Indonesia cerdas dan mengerti bahwa berpolitik secara agamis berbeda dengan beragama secara politis. Bila anda berpolitik secara agamis berarti anda terjun ke dunia politik dengan cara yang diamini oleh agama. Seperti tidak ada kecurangan, kemunafikan, kebohongan, janji palsu, korupsi dan menjauhi segala tindakan yang tidak direstui oleh agama. Akan tetapi sangat berpunggungan bila anda beragama secara politis. Yaitu anda menjadikan agama sebagai cara atau siasat untuk memperoleh apa yang anda inginkan, baik itu kedudukan, kekuasaan, jabatan atau harta benda.
Setidaknya kita harus tahu mana orang atau golongan yang berpolitik secara agamis, dan mana kelompok atau personal yang beragama secara politis? Tentu untuk mengetahuinya harus melalui berbagai cara dengan membaca berbagai media, menelaah gerak-gerik orang atau golongan tersebut, dan tidak serta-merta percaya dengan orang atau golongan yang mengatasnamakan Islam tapi kaedah-kaedah yang diajarkan Islam justru lari dan jauh dari dirinya.
Semoga masyarakat Indonesia semakin cerdas dan tidak lagi tertipu oleh rumus-rumus agama yang diobral dengan tujuan dunia.
Catatan:
Berpolitik secara agamis amat berbeda dengan beragama secara politis. Politik adalah sesuatu yang pelik. Politik memang tak pernah sederhana. Pergumulan ideologi adalah pembungkus atau kepura-puraan untuk kegairahan kekuasaan dan jabatan. Dengan berdalih ini dan itu hanya untuk membangkitkan gelora kaum bawahan. Kaum yang tak begitu mengerti sejatinya garis-garis landasan yang disisirkan oleh agama. Atau mereka mengerti tapi tertipu dengan penampilan yang maha memesona. Dan akhirnya, saat mereka memahami dengan kebeningan sukma dan kenyataan mata, mereka akan menganggukkan kepala seraya berkata, “Oh, begini cara menguasai dunia”.

Achmad Ainul Yaqin,
Mahasiswa Tingkat III, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadis, Universitas Al-Azhar-Kairo.

Hukum Mengajak Anak Kecil ke Masjid


Hukum Mengajak Anak Kecil ke Masjid
Fatwa oleh: Prof. Dr. Syauqi Allam Mufti Republik Arab Mesir
Pertanyaan: Apa hukum mengajak anak kecil ke masjid?
Jawaban: Mengajak anak kecil yang mumayyiz (sudah mampu membedakan baik dan buruk) ke masjid adalah hal yang disunahkan oleh syariat. Dengan tujuan membiasakan mereka dengan shalat dan menumbuhkan kecintaan mereka terhadap suasana keimanan, yang merupakan tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk beribadah kepada Allah Swt. Agar kelak bisa membentuk karakter meraka.
Namun hal ini harus dibarengi dengan semangat untuk mengajari sopan santun terhadap mereka, serta melarang mereka untuk tidak mengganggu orang shalat dan bermain di dalam masjid. Dalam mengajari mereka juga harus dengan lemah lembut, penuh kesabaran dan hati yang lapang. Tanpa menakut-nakuti mereka. Karena perlakuan kasar oleh sebagian jamaah terhadap mereka seringkali menimbulkan perasaan takut dan enggan ke masjid.
Dalam mendidik anak kecil harus didasari bahwa masjid itu penuh dengan kasih sayang, berlimpah karunia dan keberkahan. Sehingga dia bisa tumbuh besar dengan mencintai masjid, serta hati yang selalu terikat dengannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang tujuh orang yang mendapat perlindungan dari Allah Swt. Nabi bersabda, “orang yang hatinya selalu terikat dengan masjid.” (HR Bukhari)
Sementara mengajak anak kecil yang telah diyakini akan selalu mengganggu orang shalat meski ditegur, ini termasuk yang dihukumi makruh oleh syariat. Hal itu demi menjaga ketenangan masjid sebagaimana dianjurkan oleh syariat. Karena khusuk merupakan hal yang sangat ditekankan dalam shalat maupun khutbah. Juga demi menjaga kebersihan dan keselamatan barang-barang di dalam masjid.
Para ulama secara umum memperbolehkan mengajak anak kecil ke masjid berdasarkan sejumlah hadits. Diantaranya, hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dalam shahihnya. Diriwayatkan dari Abi Qatadah Al-Anshary Ra, “Bahwa Rasulullah Saw. melaksanakan shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah Saw.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bary berkata : “Hadits ini dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya mengajak masuk anak kecil ke dalam masjid.” (Dar Al-Makrifah, 1/ 592)
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Anas Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku sedang shalat dan hendak memperpanjang. Lalu aku mendengar tangisan anak kecil. Akhirnya aku mempersingkat shalatku. Karena aku tahu betapa berat perasaan ibunya akibat tangisan anaknya.”
Sebagaimana diriwayatkan oleh beberepa imam, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim dari Abu Buraidah Ra berkata, “Rasulullah Saw sedang berkhutbah, lalu datanglah Hasan dan Husain Ra masing-masing mengenakan baju berwarna merah. Mereka berjalan dan terpeleset. Rasulullah Saw pun turun dari mimbar dan menggendong mereka, yang satu di sebelah kiri dan yang lainnya di sebelah kanan. Kemudian Rasulullah Saw naik lagi ke mimbar dan berkata, “Allah Mahabenar,
إنما أموالكم وأوﻻدكم فتنة
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah ujian.”
Ketika melihat dua anak ini berjalan dan terpeleset, aku tak sabar untuk memotong khutbahku dan turun.”
Dari hadits-hadits di atas, para ulama menyimpulkan diperbolehkannya mengajak anak kecil ke masjid. Namun mereka mengecualikan anak yang tidak mau berhenti mengganggu orang shalat setelah ditegur. Para ulama juga menjelaskan, bahwa dalam melarang mereka masuk masjid pun harus dengan lemah lembut.
Imam Al-Ubby Al-Azhary Al-Maliky dalam Jawahir Al-Iklil syarh Mukhtasar Khalil berkata, “Diperbolehkan mengajak anak kecil yang tidak suka bermain (saat di masjid), dan mau berhenti saat dicegah. Apabila tetap bermain dan tidak mau dicegah, maka tidak diperbolehkan mengajaknya, berdasarkan hadits “Jauhkan masjid-masjid kalian dari orang gila dan anak kecil.” (Dar Al-Fikr, 1/80)
Imam As-Syaukany dalam Nail Al-Authar berkata, “Hadits tersebut menunjukkan diperbolehkan mengajak masuk anak kecil ke dalam masjid. Imam At-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Ra, Rasulullah Saw Bersabda, “Jauhkan masjid-masjid kalian dari anak kecil, permusuhan, (melaksanakan) hukuman, dan jual beli! Berkumpullah di sana pada hari kalian berkumpul! Serta jadikanlah pintu-pintunya sebagai tempat yang suci!” Namun yang meriwayatkan hadits ini dari Mu’adz adalah Makhul. Dia tidak pernah mendengar langsung dari Mu’adz.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Waatsilah bin Al-Asqa’ bahwa Nabi Saw bersabda, “Jauhkan masjid kalian dari anak kecil, orang gila, jual beli, permusuhan, mengeraskan suara, melaksanakan hukuman, dan menghunuskan pedang! Jadikanlah pintu-pintunya sebagai tempat yang suci, serta berkumpullah di sana pada hari kalian berkumpul!” Namun dalam sanadnya ada Al-Harits bin Syihab yang dianggap dha’if.
Kedua hadits ini bertentangan dengan hadits Umamah yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim di di atas, juga dengan hadits riwayat Anas Ra, Rasulullah Saw bersabda, “Aku mendengar tangisan anak kecil ketika sedang dalam shalat, lalu aku percepat karena khawatir ibunya merasa berat.” Hadits ini juga disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Kemudian hadits-hadits tersebut dikompromikan (jama’) dengan menganggap perintah tajnib (menjauhkan) sebagai kesunahan, seperti yang dikatakan oleh Al-Iraqy dalam Syarh At-Tirmidzy. Atau perintah itu bertujuan untuk mensucikan masjid dari orang yang dikhawatirkan akan mengotorinya. (Dar Al-Hadits, 2/144)
Imam An-Nawawy As-Syafii dalam Majmu Syarh Muhazzab berkata, “Imam Al-Mutawally dan lainnya berkata, bahwa membawa masuk hewan ternak, orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz ke dalam masjid hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan mengotorinya. Namun hal itu tidak diharamkan karena sebagaimana disebutkan dalam Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Saw. menggendong Umamah binti Zainab Ra dan berthawaf dengan menaiki unta. Hadis ini pun tidak bisa manghapus kemakruhannya, karena Rasulullah Saw. melakukan hal itu dengan tujuan menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Maka dari itu, hal tersebut tetap lebih utama bagi Rasulullah Saw. Karena menjelaskan hukum, bagi beliau adalah wajib.” (Dar Al-Fikr, 2/176)
Dengan demikian, secara syariat, tak ada satu pun penghalang untuk mengajak anak kecil yang sudah mumayyiz ke masjid. Karena bisa membiasakan mereka dengan shalat dan menumbuhkan kecintaan mereka terhadap suasana keimanan. Adapun anak yang diyakini tidak mau berhenti mengganggu orang shalat meski telah ditegur, maka mengajak mereka ke masjid adalah makruh, demi menjaga kekhusukan shalat. Dengan tetap bersikap lemah lembut, tanpa berperilaku keras dalam mendidik mereka jika sudah terlanjur diajak. Wallahu A’lam. (Nasrullah/mosleminfo.com)

Tiada ulasan: