Khamis, 6 Februari 2014

UJUB....TERPESONA DENGAN DIRI SENDIRI



SIFAT UJUB

Salah seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub akan tertimpa dua kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan akan jatuh martabatnya di mata manusia.”
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya terhadap diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan martabatnya.”
Defenisi Ujub
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami bahas lebih lanjut pada bab berikut.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak syak lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini, yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:
Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!” Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa:
Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi
Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya.
Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Dampak ujub
1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:
Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub akan berteriak: ‘Oii teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?
Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam sebuah hadits dise-butkan:
Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.

Ujub



Ujub ialah PERASAAN kagum atas diri sendiri. Merasa diri HEBAT. Bangga diri. Terpesona dengan kehebatan diri.

Perasaan ujub boleh datang pada bila-bila masa.

Orang yang rajin ibadah merasa kagum dengan ibadahnya.
Orang yang berilmu, kagum dengan ilmunya.
Orang yang cantik, kagum dengan kecantikannya.
Orang yang dermawan, kagum dengan kebaikannya.
Orang yang berdakwah, kagum dengan dakwahnya.

Sufyan at-Tsauri mengatakan ujub adalah perasaaan kagum pada dirimu sendiri sehingga kamu merasa bahawa kamu lebih mulia dan lebih tinggi darjat.

Muthrif rahimahullah telah berkata, “Kalau aku tidur tanpa tahajud dan bangun dalam keadaan menyesal, adalah lebih baik dari aku bertahajud tetapi berasa kagum dengan amalan tahajud tadi.”

Seorang sahabat Nabi Abu Ubaidah al-Jarrah yang menjadi imam. Setelah selesai beliau berkata, “Syaitan sentiasa menghasut aku supaya merasa aku ini lebih hebat dari orang di belakangku. Aku tidak mahu jadi imam sampai bila-bila.”

Ingatlah, semua kelebihan adalah anugerah dari Allah, oleh itu kagumlah hanya kepada Allah, bukan diri sendiri.

Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."(Surah An-Nisaa', sebahagian ayat 36)

Nabi saw. bersabda, "Apabila seorang lelaki sedang berjalan dengan memakai baju yang kemas dan rambut yang disikat menyebabkan dia rasa kagum dengan pakaian dan dandanan rambutnya (perasan lawa). Lalu Allah tenggelamkan dia ke dalam muka bumi dan dia terus ditenggelamkan sampai hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Nabi saw. bersabda, "Ada tiga hal yang dapat membinasakan diri seseorang iaitu kedekut yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujub (rasa kagum dengan diri sendiri).”. (HR Al-Bazzar dan Al-Baihaqi)

Imam Nawawi rahimahullah berkata,”ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ujub. Sesiapa ujub dengan amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya". (Syarh Arba’in)


antara UJUB, RIAK dan TAKABBUR ?


Bismillah..

Bimbang. Tiada apa lagi yang perlu dibimbangi bagi mereka yang ‘bercakap’ melainkan dia mengotakan segala apa yang dibicara. Berat. Tetapi apa yang ada, wajib aku sampaikan jua. Semoga Allah redha dan terima.

………………………………

Sedang aku ber’tweet’ di laman sosial twitter, maka terjatuh aku dalam ruang diskusi tentang takabbur dan riak. Dan dia yang bernama cahaya kehidupan itu meminta aku untuk memanjangkannya ke dalam blog ini. Aku cuba ya.

……………………………..

 Okay, ayat normal semula ! hihi.. saya suka mulakan tulisan saya dengan penggunaan ayat formal dan mempunyai unsur-unsur Saifuddin Jalis sedikit. Kenal Saifuddin Jalis? Tidak? Dia merupakan watak ciptaan penulis kegemaran saya, Ramlee Awang Murshid. Saifuddin lebih mahsyur dengan gelaran Laksamana Sunan, Pendekar Bertanduk Dua. Cewahh..eh? kenal pulak? Ohh..kena sebut Laksamana Sunan baru kenal? Okay-okay..noted! :D

Maka, mari mula.

Saya terangkan melalui bahasa saya dan bukanlah bahasa kitab. Jadi jangan semak tulisan ini dengan kitab-kitab, cukup ambil pointnya sahaja.

Bezakanlah takabbur dengan riak. Dari segi bahasa sahaja telah lain maksudnya. Apa yang selalu menjadi kekeliruan kita, ialah untuk membezakan 3 penyakit hati ini iaitu ujub, riak dan takabbur. Ya, terdapat perbezaan antaranya.

Jika yang dibicarakan adalah berkenaan dengan UJUB, maka kita perlu untuk memahami bahawa ujub ini timbul dalam hati. Ujub ini adalah lintasan-lintasan kecil yang membisikkan bahawa ‘aku sedang berbuat baik’, ‘aku hebat mampu berbuat sedemikian’, atau ‘wah, baik juga rupanya aku.’

Selalunya, ujub ini hadir sebegitu.

 Maksud saya, ujub hadir ketika kamu melakukan kebaikan.

Tiba-tiba, minggu itu kamu berterusan menjadi orang pertama yang masuk ke surau pada waktu Subuh, hati-hati sahabat, bimbang akan hadir ucapan hati sebegini,

“wah, mantap jugak aku rupanya, direct bangun paling awal nie.”

Maka, ujub telah menjelma.

Juga, hati ini akan cenderung untuk memuji diri sendiri terhadap kelebihan yang ada. Ketika mempersembahkan jawapan di papan putih, ketika memberi ucapan di atas pentas, ketika azan dan menjadi imam, ketika mengalunkan bacaan Quran malah ketika kamu menaip status di Facebook atau tweet di Twitter.

“eh, ramainya like status aku, hebat juga ya, baru 5 minit sudah 100 like.”

“bukan calang-calang, setiap tweet aku pasti saja ada yang retweet atau favourite”

Itu, ujub.

Beza pula dengan RIAK. Riak merupakan perbuatan kamu yang menunjuk-nunjuk. Secara mudahnya, ketika kamu melakukan amal atau apa sahaja, ketika itu hadir dalam hati niat untuk menunjuk. Boleh rasa sendiri.

Bermakna, riak ini akan terjadi apabila wujud seseorang yang lain. Tidak akan terjadi riak jika tiada siapa yang kita mahu tunjuk, contohnya kamu hidup di sebuah pulau yang hanya kamu di situ.

Kamu melangkah masuk ke dalam surau, baru sahaja ingin melabuhkan punggung untuk duduk tiba-tiba masuk ustaz warden, sebagai Ketua Ibadah, nanti apa pula dia cakap, jadi kamu pun mula solat sunat Rawatib.

Nampak? Ayat “nanti apa pula orang cakap” yang timbul itu sudah cukup untuk membuktikan kamu hanya menunjuk-nunjuk.

Orang yang riak, selalunya tidak istiqomah. Apabila ada faedah, dia akan buat, apabila tiada, dia tidak buat. Maksud saya di sini, jika dia dapat tunjukkan pada orang, dia akan buat, jika tidak, dia tidak buat. Contoh di asrama, selalunya dia akan turun surau awal pada waktu Subuh, tetapi minggu itu, seluruh ahli biliknya pulang ke kampung, dia bukan setakat bangun lewat, malah hanya solat Subuh di biliknya sahaja.

Itu, riak.

Tetapi kena ingat, pada orang istiqomah pun riak ini berlaku.

Contoh di surau lagi, setiap malam Khamis akan diadakan qiamullail, setakat ini kamu masih tidak terlepas lagi tetapi minggu itu kawan ajak tidur di rumahnya. Kamu menolak semata-mata tidak mahu terlepas qiamullail itu. Maklumlah, seluruh penghuni tahu kamu masih tidak terlepas lagi. Soalan saya, tidak boleh qiamullail di rumah kawannya saja? Jika dia beralasan di rumah kawannya payah nak bangun dan tiada ‘skuad’ yang mengejutkan seperti di asrama, itu lain cerita. Tetapi, selalunya dia bangun sendiri dengan menguncikan jam dan dia mampu sahaja bangun awal walau di mana pun, mengapa tidak tidur sahaja di rumah kawan dan qiam sahaja di sana?

Jelas riak di situ.

Sekarang, takabbur. Ini juga perbuatan hati, dan merupakan penyakit. Seperti ujub, cuma takabbur ialah berasakan kamu adalah lebih hebat dari lainnya. Ujub, kamu puji diri sendiri. Takabbur, kamu bandingkan kamu dengan yang lain dan tinggikan dirimu. Lagi advance!

Dan juga lagi teruk.

 Kamu lihat, semua orang adalah lebih rendah darimu dan kamu lebih mulia.  Bayangkan, kamu merupakan seorang pemidato yang hebat malah pernah menjuarai di peringkat kebangsaan. Satu masa, kamu menghadiri kursus pidato bersama kawan-kawan yang baru sahaja berkecipung dalam bidang ini. Jika wujud rasa dalam hati bahawa kamulah yang paling hebat, maka takabbur mula menguasai. 
Natijahnya, kamu berasa tidak puas hati apabila orang lain yang menjadi ketua dan bukannya kamu. Kamu berasa, bukankah kamu yang memiliki pencapaian yang paling tinggi antara yang lainnya? Mengapa dia pula yang ketua? Ketika ada yang menegur kamu bahawa kamu salah pada sekian-sekian, kamu melenting dan tidak mahu terima malah tergamak berasa yang menegur itu memandai-mandai. Maklumlah, kamu peringkat kebangsaan, dia baru nak mula.

Itu, takabbur.

Juga berlaku takabbur ini jika terdapat perbezaan bangsa, warna kulit dan negara. Di Malaysia, di negara sendiri, tiba-tiba seorang warga asing dari Bangladesh menegurmu kerana memotong barisan di ATM. Kamu pekakkan telinga dengan anggapan jijik dan selekehnya orang yang menegurmu itu.

Jelas benar takabbur di situ.

Takabbur ini sememangnya rasa dalam hati. Jika yang tebal sangat tu, mungkin sehingga ucap dengan lisan.

”kau siapa nak tegur aku? Kau baru ijazah, aku dah Master kot..”

Sudahlah meninggi diri, merendahkan orang pula.

TUNTASNYA, ini semua penyakit hati. Gambaran yang saya tulis ini sudah cukup untuk menggambarkan betapa buruknya sifat ini dan pelakunya. Belum lagi saya bawa ayat-ayat Al Quran berbentuk amaran dan hadis-hadis Nabi berupa ancaman kepada mereka yang bersifat dengan sifat-sifat ini.

Jujurnya, saya berasa saya ini sampah ketika membaca hadis nabi tentang ketiga-tiga penyakit hati ini. Syaitan itu sangat licik. Kadang-kadang tanpa sedar bahawasanya kita telah bersifat dengan ujub, riak, takabbur dan penyakit hati yang lainnya.

Ketika melangkah masuk untuk beribadat, kamu mula berasa kamu hebat. Itu UJUB. Masuk pula seorang kawan, kamu sengaja lamakan ibadat itu atau zahirkan ibadat itu dengan suara atau sebagainya, itu RIAK. Ketika melihat kawan itu tidak ibadat seperti kamu, kamu berasa kamu lebih hebat dan mulia darinya, itu TAKABBUR.

Sia-sia sudah ibadatmu itu.

Malah, Allah dan Rasul melaknatnya.

Entry ini, cukup saya kenalkan sahaja. Untuk akibat dan cara mengatasinya, mungkin di lain masa. Banyak lagi sebenarnya. Bagaimana guru para malaikat boleh menjadi makhluk paling hina dan terusir juga guru agama, para syuhada serta qari Quran diheret masuk ke dalam neraka. Semuanya bahana penyakit hati ini.

'Moga saya, moga saya, moga saya dan kalian dapat mengamalkan apa yang baik, dan meninggalkan apa yang buruk. 



HATI - HATI JAGA HATI ! ^^


Wallahu Taala ‘Ala ‘Alam. 


PARA PENDAKWAH PERLU HINDARI SIFAT UJUB.




Setiap manusia pasti akan dikurniakan nikmat oleh Allah s.w.t. dan adakalanya sesetengah insan itu mendapat nikmat yang lebih berbanding dengan yang lain dan ia membuatkan seseorang itu kelihatan lebih istimewa. Sedikit keistimewaan yang Allah kurniakan tersebut seperti harta yang banyak, ilmu yang tinggi, kebijaksanaan, kekuatan fizikal, paras rupa yang cantik, jawatan yang tinggi, ramai pengikut, dan pengaruh yang besar adakalanya mendorong manusia untuk lupa akan hakikat dirinya yang lemah dan sentiasa memerlukan pertolongan Allah.Perasaan sebeginiboleh menyebabkan timbulnya sifat bangga diri atau ujub.

Ujub merupakan perasaankagum terhadap diri sendiri yang terbit dihati seseorang insan yang beranggapan dirinya memiliki sifat yang lebih baik atau sempurna berbanding dengan orang lain. Imam Sufyan Ats-Tsauri r.h berkata: “Sifat ujub adalah kekagumanmu pada dirimu sendiri, sehingga kamu merasa bahawa kamu lebih mulia dan lebih tinggi darjatnya daripada saudara kamu. Sedangkan boleh jadi kamu tidak beramal dengan benar seperti dia, atau barangkali dia lebih warak daripada kamu terhadap hal-hal yang diharamkan Allah dan lebih tulus amalnya.” Imam Ibnu al-Mubarak r.h pula menyatakan: “Perasaan ujub adalah ketika engkau merasakan dirimu memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

Sifat ujub ini ditegah oleh syarak kerana iamerupakan faktor yang dapat mencetuskan pelbagai sifat-sifat buruk yang lain seperti sombong, takbur, bongkak, iri hati, dengki, khianat dan sebagainya. Firman Allah s.w.t.: “Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (kerana memandang rendah) kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong;  sesungguhnya Allah tidak suka kepada tiap-tiap orang yang sombong takbur, lagi membanggakan diri.”(Luqman : 18) Allah s.w.t. turut berfirman:“…maka janganlah kamu memuji-muji diri kamu (bahawa kamu suci bersih dari dosa). Dia-lah sahaja yang lebih mengetahui akan orang-orang yang bertaqwa.” (Najm : 32)Ayat ini melarang seseorang itu dari memiliki persepsi bahawa dirinya itu suci dari melakukan kesilapan dan menolak sikap narsisisme iaitu perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan.

Rasulullah s.a.w. turut memberi amaran bahawa bagi mereka yang bersifat ujub atau bangga diri ini mereka akan dihukum oleh Allah s.w.t. sama ada di dunia mahupun di akhirat kelak. Baginda bersabda:"Apabila seorang lelaki sedang berjalan dengan memakai baju yang kemas dan rambut yang disikat menyebabkan dia rasa kagum dengan pakaian dan dandanan rambutnya (merasakan dirinya lawa). Lalu Allah tenggelamkan dia ke dalam muka bumi dan dia terus ditenggelamkan sampai hari kiamat," (Hadis riwayat Imam al-Bukhari)

Penyakit ujub ini mampu menyerang sesiapa sahaja hinggakania turut boleh menjangkiti golongan ilmuan Islam dan para pendakwah. Sikap begini kebiasaannya timbul apabila segelintir kecil para pendakwah beranggapan bahawa ilmu yang dimilikinya itu sudah cukup tinggi melangit sehingga dia merasakan kebenaran itu sentiasa berada di pihaknya. Dia tidak suka mengambil manfaat ilmu daripada pihak lain atau golongan yang tidak sealiran dengannya kerana dia merasakan dirinya sudah terlalu pandai. Dalam ertikata lain golongan pendakwah yang bermasalah ini hanya berpegang teguh dengan pendapat mereka sendiri tanpa memperdulikan pendapat yang lain. Sekiranya pendapatnya dibantah atau dia melihat pihak lain melakukan kesilapan akan dibalasnya dengan kata-kata sinis berbentuk celaan, mencaci-maki, menuduh sesat dan lain-lain perbuatan yang bertujuan untuk merendahkan pihak yang disanggahnya itu.

Satu lagi faktor penyebab timbulnya sikap bangga diri atau ujub di kalangan para pendakwah ini adalahpuji-pujian yang diberikan secara berlebihan oleh para pengikutnya. Populariti yang meningkat yang dapat dirangsangkan apabila melihat buku-buku tulisannya diulang-cetak beberapa kali, ceramah-ceramahnya dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang, laman Facebook miliknya memiliki ramai pengikut, klip ceramahnya di Youtube telah dilihat (view) oleh puluhan ribu orang turut memiliki saham dalam mewujudkan perasaan bangga diri tersebut.

Ajaran Islam sentiasa bertindak menutup segala ruang-ruang kecil yang akhirnya boleh menimbulkan kerosakan yang besar.Ternyata sikap berlebihan dalam menghormati atau memuliakan golongan pendakwah atau ulamak boleh menghanyutkan mereka dengan perasaan bangga diri sekiranya mereka gagal mengawal hawa nafsu mereka.Mungkin inilah hikmahnya Rasulullah s.a.w. melarang para sahabat untuk berdiri dari tempat duduk sebagai tanda hormatketika menyambut ketibaan baginda. Anas bin Malik r.a berkata: “Tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah s.a.w..Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah s.a.w. (hadir), mereka tidak berdiri untuk baginda.Ini adalah kerana mereka mengetahui bahawa baginda membenci perkara tersebut.” (Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi)Justeru itu amalan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat iaitu berdiri sebagai tanda penghormatan kepada manusia seperti berdiri menyambut kehadiran Tok Guru yangmasuk untuk berceramah sewajarnya dihentikan.Rasulullah s.a.w. turut melarang kata-kata pujian yang berlebih-lebihan kepada sesiapa sahaja termasuk diri baginda sendiri.Anas bin Malik r.a berkata seorang lelakitelah datang kepada Rasulullah s.a.w seraya berkata:“Ya Muhammad! Ya Sayyidina ibni Sayyidina! (Wahai Tuan kami dan anak kepada Tuan kami), Wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak kepada yang terbaik di kalangan kami!” Rasulullah menjawab: “Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya; dan aku bersumpah kepada Allah bahawasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah 'Azza wa Jalla tentukan bagiku.” (Hadis riwayat Imam Ahmad)

Kepada para pendakwah yang ujub dengan ilmu yang dimilikinya, ingatlah pesanan Imam Adz-Dzahabi r.h di dalam kitab beliau bertajukAl-Kaba’irini,“Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Kerana barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan perasaan khusyukdi hati serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu bermuhasabah diri dan membetulkannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-bangga diri dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta memperbodoh dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar.Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil zarah, la haula wa la quwwata illa billah (Tiada daya dan upaya melainkan dengan bantuan Allah).”

Untuk menghindari sikap ujub seseorang itu mesti menyedari bahawa segala nikmat kelebihan yang ada pada diri masing-masing itu adalah semata-mata kurniaan daripada Allah s.w.t. sahaja.Oleh itu sikap yang seharusnya ada pada setiap insan apabila menerima limpah kurnia daripada Allah s.a.w.t. ada bersyukur kepada-Nya nescaya Dia akan menambah nikmat kurnian-Nya itu. Firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika kamu bersyukur nescaya Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kamu, dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azab-Ku amatlah keras.” (Ibrahim : 7) Ingatlahbahawa Allah s.w.t. pada bila-bila masa boleh menarik segala kelebihan atau keistimewaan yang telah Dia kurniakan kepada kita sekiranya kita tidak bersyukur dan berterusan dengan sikap membangga diri. Ketahuilah bahawa disisi Allah s.w.t. semua hamba-hamba-Nya sama sahaja melainkan golongan yang bertakwa yang Dia lebih muliakan. Firman-Nya: “Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih takwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam Pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu).” (al-Hujuraat : 13)Hamba Allah yang bertakwa itu adalah mereka yang menunaikan segala kewajipan dan meninggalkan larangannya.

Kepada  seluruh penuntut ilmu, hayatilah pesanan Imam Ibnul Qayyim r.h ini di dalam kitabnya berjudul Al-Fawa’id. Menurutbeliau: “Salah satu tanda kebahagiaan dan kejayaan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawaduk dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemahuannya untuk membantu sesama manusia.Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan pangkatnya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai keperluan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Oleh itu marilah kita semua berazam untuk membuang jauh-jauh sifat ujub yang terlarang ini dan kita gantikan dengan sikap tawaduk iaitu sikap merendah tanpa menghinakan diri.Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah s.w.t. telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri (bersikap tawaduk), sehingga tidak ada seorang pun menganiaya orang lain dan tidak ada yang bersikap sombong terhadap orang lain."(Hadis riwayat Imam Muslim). Golongan pendakwah yang tawaduk boleh menerima kebenaran yang datangnya daripada sesiapa sahaja dan mampu berinteraksi dengan semua golongan manusia.Sifat tawaduk ini dapat membantu pendakwah untuk menyatupadukan masyarakat dan menyemai perasaan kasih sayang di antara sesama umat Islam yang bersaudara.Sikap positif yang terpancar dari diri seseorang pendakwah akan membuatkan dia disenangi oleh semua lapisan masyarakat dan menjadi contoh yang baik kepada golongan sasaran yang hendak didakwahnya. Apabila pendakwah memiliki sikap yang disenangi oleh semua pihak, maka dakwahnya akanlebih mudah diterima dan berkesan.

Saudaraku, Jangan Ujub!



Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam. Salawat dan keselamatan semoga terus terlimpah kepada Nabi dan para sahabatnya. Amma ba’du.
Jumlah pengikut yang banyak, organisasi yang mapan, kekuatan finansial yang besar, dan sarana yang serba lengkap terkadang membuat manusia lupa akan hakekat dirinya yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Acapkali ‘perasaan besar’ tersebut menyeret kepada bangga diri dan ujub dengan kemampuan dirinya. Seolah-olah semuanya sudah berada di bawah kendalinya. “Kemenangan sudah di pelupuk mata.” “Kita tidak akan kalah, jumlah kita banyak.”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang…” (QS. at-Taubah: 25)
Ketika itu, sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.” Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah berikan pelajaran bagi mereka… Padahal, mereka itu adalah para Sahabat Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi- sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin… (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345). Sungguh pukulan yang sangat telak dan menjatuhkan mental kaum muslimin! Dimanakah jumlah yang besar yang dibanggakan itu? Kalau bukan karena pertolongan Allah, maka mereka sudah hancur berkeping-keping…!
Bagi orang-orang yang telah merasa dirinya besar, hebat dan kuat -dengan organisasi, yayasan, dan lain sebagainya- maka waspadailah penyakit ganas ini! Karena hal itu akan menghancurkan kalian…! Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri…” (al-Fawa’id, hal. 147). Semoga Allah membalas kebaikan salah seorang Ustadz kami -semoga Allah menjaganya- yang menasehatkan hal ini kepada kami; untuk tidak merasa diri besar… Yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak-dampak negatif, semisal berkobarnya api hizbiyah, terlalu mengutamakan kepentingan kelompok, dan memaksakan keinginan kepada pihak lain yang tidak sejalan pemikiran… Allahul musta’aan!
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146)
Saudaraku, salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita untuk tidak bersikap ujub. Ingatlah, bahwa segala kebaikan yang ada pada diri kita berasal dari anugerah Allah ta’ala, bukan semata-mata karena kekuatan dan kemampuan kita! Bahkan, kalau Allah berkehendak niscaya saat ini kita masih tenggelam dalam alam kejahiliyihan dengan aneka ragam maksiat dan kedurhakaan kepada Allah ta’ala. Tidakkah kalian ingat nikmat yang agung ini wahai ikhwan?….. Lantas dimanakah ungkapan rasa syukur kalian kepada-Nya? Apakah kalian sekarang telah lebih mengutamakan dunia daripada akherat, sehingga sedemikian beratnya kalian untuk berjuang dengan ikhlas di jalan-Nya?!
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id


Tiada ulasan: