SIFAT UJUB
Salah
seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub akan tertimpa dua
kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan akan jatuh
martabatnya di mata manusia.”
Salah
seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ujub,
akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya terhadap
diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu,
ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam
Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa
yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan martabatnya.”
Defenisi Ujub
Orang
yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang
dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang
yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di
hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan
tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di
bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali
gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub
adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.
Sufyan
Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu
perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang
paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat
beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih
wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail
bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani
Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri
sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya.
Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas
adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena
tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata:
“Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
pun berfirman:
“Siapakah
yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?!
Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu
keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan
biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan
menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif
maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci
dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan
berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan
penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering
kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga
seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami bahas
lebih lanjut pada bab berikut.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak syak
lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Perumpamaan
teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang
berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu
banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu
menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang
sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi
Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini, yang
telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita
temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah
‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban
dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi
adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak
memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak
permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun
ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan
memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat
umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang
berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu
bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya,
lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu
tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu
diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya
daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang
bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh
yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara
penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun.
Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!? Sebab
perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas
lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat
akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya
seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya
sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena
penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair
bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang
terbelenggu penyakit ujub:
“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini
mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri
mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka
berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina,
kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke
sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang
insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir
di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan.
Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak
mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan
penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam
sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan
bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi
Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja
seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab
badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya
memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu
pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan Jabalah
tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata
kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas:
“Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang
bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!” Umar radhiyallahu
‘anhu menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di
hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa:
Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi
Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya.
Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya.
Ketika
Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia
pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah
melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya
murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali
inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah
hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya
seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub
yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah
pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika
ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Dampak ujub
1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:
“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan
dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub
akan berteriak: ‘Oii teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’
Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar rambu-rambu,
sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?
Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu
saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang
lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain
akan membalas lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apabila
kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan
itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun
seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain
tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang
yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau
menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
5.
Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena
penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam
sebuah hadits dise-butkan:
“Ketika
seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut
tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah
membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini
dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari
hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya
adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama
Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.
Dengan
begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita
memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini,
yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan
amal orang lain.
Ujub
Ujub ialah PERASAAN kagum atas diri sendiri. Merasa diri HEBAT. Bangga diri. Terpesona dengan kehebatan diri.
Perasaan ujub boleh datang pada bila-bila masa.
Orang yang rajin ibadah merasa kagum dengan ibadahnya.
Orang yang berilmu, kagum dengan ilmunya.
Orang yang cantik, kagum dengan kecantikannya.
Orang yang dermawan, kagum dengan kebaikannya.
Orang yang berdakwah, kagum dengan dakwahnya.
Sufyan at-Tsauri mengatakan ujub adalah perasaaan kagum pada dirimu sendiri sehingga kamu merasa bahawa kamu lebih mulia dan lebih tinggi darjat.
Muthrif rahimahullah telah berkata, “Kalau aku tidur tanpa tahajud dan bangun dalam keadaan menyesal, adalah lebih baik dari aku bertahajud tetapi berasa kagum dengan amalan tahajud tadi.”
Seorang sahabat Nabi Abu Ubaidah al-Jarrah yang menjadi imam. Setelah selesai beliau berkata, “Syaitan sentiasa menghasut aku supaya merasa aku ini lebih hebat dari orang di belakangku. Aku tidak mahu jadi imam sampai bila-bila.”
Ingatlah, semua kelebihan adalah anugerah dari Allah, oleh itu kagumlah hanya kepada Allah, bukan diri sendiri.
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."(Surah An-Nisaa', sebahagian ayat 36)
Nabi saw. bersabda, "Apabila seorang lelaki sedang berjalan dengan memakai baju yang kemas dan rambut yang disikat menyebabkan dia rasa kagum dengan pakaian dan dandanan rambutnya (perasan lawa). Lalu Allah tenggelamkan dia ke dalam muka bumi dan dia terus ditenggelamkan sampai hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Nabi saw. bersabda, "Ada tiga hal yang dapat membinasakan diri seseorang iaitu kedekut yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan ujub (rasa kagum dengan diri sendiri).”. (HR Al-Bazzar dan Al-Baihaqi)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,”ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ujub. Sesiapa ujub dengan amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya". (Syarh Arba’in)
antara UJUB, RIAK dan TAKABBUR ?
Bismillah..
Bimbang.
Tiada apa lagi yang perlu dibimbangi bagi mereka yang ‘bercakap’ melainkan dia
mengotakan segala apa yang dibicara. Berat. Tetapi apa yang ada, wajib aku
sampaikan jua. Semoga Allah redha dan terima.
………………………………
Sedang aku
ber’tweet’ di laman sosial twitter, maka terjatuh aku dalam ruang diskusi
tentang takabbur dan riak. Dan dia yang bernama cahaya kehidupan itu meminta
aku untuk memanjangkannya ke dalam blog ini. Aku cuba ya.
……………………………..
Okay, ayat normal semula ! hihi.. saya suka
mulakan tulisan saya dengan penggunaan ayat formal dan mempunyai unsur-unsur
Saifuddin Jalis sedikit. Kenal Saifuddin Jalis? Tidak? Dia merupakan watak
ciptaan penulis kegemaran saya, Ramlee Awang Murshid. Saifuddin lebih mahsyur
dengan gelaran Laksamana Sunan, Pendekar Bertanduk Dua. Cewahh..eh? kenal
pulak? Ohh..kena sebut Laksamana Sunan baru kenal? Okay-okay..noted! :D
Maka, mari
mula.
Saya
terangkan melalui bahasa saya dan bukanlah bahasa kitab. Jadi jangan semak
tulisan ini dengan kitab-kitab, cukup ambil pointnya sahaja.
Bezakanlah
takabbur dengan riak. Dari segi bahasa sahaja telah lain maksudnya. Apa yang
selalu menjadi kekeliruan kita, ialah untuk membezakan 3 penyakit hati ini
iaitu ujub, riak dan takabbur. Ya, terdapat perbezaan antaranya.
Jika yang
dibicarakan adalah berkenaan dengan UJUB, maka kita perlu untuk memahami bahawa
ujub ini timbul dalam hati. Ujub ini adalah lintasan-lintasan kecil yang
membisikkan bahawa ‘aku sedang berbuat baik’, ‘aku hebat mampu berbuat
sedemikian’, atau ‘wah, baik juga rupanya aku.’
Selalunya,
ujub ini hadir sebegitu.
Maksud saya, ujub hadir ketika kamu melakukan
kebaikan.
Tiba-tiba,
minggu itu kamu berterusan menjadi orang pertama yang masuk ke surau pada waktu
Subuh, hati-hati sahabat, bimbang akan hadir ucapan hati sebegini,
“wah,
mantap jugak aku rupanya, direct bangun paling awal nie.”
Maka, ujub
telah menjelma.
Juga, hati
ini akan cenderung untuk memuji diri sendiri terhadap kelebihan yang ada.
Ketika mempersembahkan jawapan di papan putih, ketika memberi ucapan di atas
pentas, ketika azan dan menjadi imam, ketika mengalunkan bacaan Quran malah
ketika kamu menaip status di Facebook atau tweet di Twitter.
“eh,
ramainya like status aku, hebat juga ya, baru 5 minit sudah 100 like.”
“bukan
calang-calang, setiap tweet aku pasti saja ada yang retweet atau favourite”
Itu, ujub.
Beza pula
dengan RIAK. Riak merupakan perbuatan kamu yang menunjuk-nunjuk. Secara
mudahnya, ketika kamu melakukan amal atau apa sahaja, ketika itu hadir dalam
hati niat untuk menunjuk. Boleh rasa sendiri.
Bermakna,
riak ini akan terjadi apabila wujud seseorang yang lain. Tidak akan terjadi
riak jika tiada siapa yang kita mahu tunjuk, contohnya kamu hidup di sebuah
pulau yang hanya kamu di situ.
Kamu
melangkah masuk ke dalam surau, baru sahaja ingin melabuhkan punggung untuk
duduk tiba-tiba masuk ustaz warden, sebagai Ketua Ibadah, nanti apa pula dia cakap, jadi kamu pun mula solat sunat Rawatib.
Nampak?
Ayat “nanti apa pula orang cakap” yang timbul itu sudah cukup untuk membuktikan
kamu hanya menunjuk-nunjuk.
Orang yang
riak, selalunya tidak istiqomah. Apabila ada faedah, dia akan buat, apabila
tiada, dia tidak buat. Maksud saya di sini, jika dia dapat tunjukkan pada
orang, dia akan buat, jika tidak, dia tidak buat. Contoh di asrama, selalunya
dia akan turun surau awal pada waktu Subuh, tetapi minggu itu, seluruh ahli biliknya
pulang ke kampung, dia bukan setakat bangun lewat, malah hanya solat Subuh di
biliknya sahaja.
Itu, riak.
Tetapi kena
ingat, pada orang istiqomah pun riak ini berlaku.
Contoh di
surau lagi, setiap malam Khamis akan diadakan qiamullail, setakat ini kamu
masih tidak terlepas lagi tetapi minggu itu kawan ajak tidur di rumahnya. Kamu
menolak semata-mata tidak mahu terlepas qiamullail itu. Maklumlah, seluruh
penghuni tahu kamu masih tidak terlepas lagi. Soalan saya, tidak boleh qiamullail
di rumah kawannya saja? Jika dia beralasan di rumah kawannya payah nak bangun
dan tiada ‘skuad’ yang mengejutkan seperti di asrama, itu lain cerita. Tetapi,
selalunya dia bangun sendiri dengan menguncikan jam dan dia mampu sahaja bangun
awal walau di mana pun, mengapa tidak tidur sahaja di rumah kawan dan qiam
sahaja di sana?
Jelas riak
di situ.
Sekarang,
takabbur. Ini juga perbuatan hati, dan merupakan penyakit. Seperti ujub, cuma takabbur
ialah berasakan kamu adalah lebih hebat dari lainnya. Ujub, kamu puji diri
sendiri. Takabbur, kamu bandingkan kamu dengan yang lain dan tinggikan dirimu.
Lagi advance!
Dan juga
lagi teruk.
Kamu lihat, semua orang adalah lebih rendah
darimu dan kamu lebih mulia. Bayangkan,
kamu merupakan seorang pemidato yang hebat malah pernah menjuarai di peringkat
kebangsaan. Satu masa, kamu menghadiri kursus pidato bersama kawan-kawan yang
baru sahaja berkecipung dalam bidang ini. Jika wujud rasa dalam hati bahawa
kamulah yang paling hebat, maka takabbur mula menguasai.
Natijahnya, kamu
berasa tidak puas hati apabila orang lain yang menjadi ketua dan bukannya kamu.
Kamu berasa, bukankah kamu yang memiliki pencapaian yang paling tinggi antara
yang lainnya? Mengapa dia pula yang ketua? Ketika ada yang menegur kamu bahawa
kamu salah pada sekian-sekian, kamu melenting dan tidak mahu terima malah
tergamak berasa yang menegur itu memandai-mandai. Maklumlah, kamu peringkat
kebangsaan, dia baru nak mula.
Itu,
takabbur.
Juga
berlaku takabbur ini jika terdapat perbezaan bangsa, warna kulit dan negara. Di
Malaysia, di negara sendiri, tiba-tiba seorang warga asing dari Bangladesh
menegurmu kerana memotong barisan di ATM. Kamu pekakkan telinga dengan anggapan
jijik dan selekehnya orang yang menegurmu itu.
Jelas benar
takabbur di situ.
Takabbur
ini sememangnya rasa dalam hati. Jika yang tebal sangat tu, mungkin sehingga
ucap dengan lisan.
”kau siapa
nak tegur aku? Kau baru ijazah, aku dah Master kot..”
Sudahlah
meninggi diri, merendahkan orang pula.
TUNTASNYA,
ini semua penyakit hati. Gambaran yang saya tulis ini sudah cukup untuk
menggambarkan betapa buruknya sifat ini dan pelakunya. Belum lagi saya bawa
ayat-ayat Al Quran berbentuk amaran dan hadis-hadis Nabi berupa ancaman kepada mereka yang
bersifat dengan sifat-sifat ini.
Jujurnya, saya
berasa saya ini sampah ketika membaca hadis nabi tentang ketiga-tiga penyakit
hati ini. Syaitan itu sangat licik. Kadang-kadang tanpa sedar bahawasanya kita
telah bersifat dengan ujub, riak, takabbur dan penyakit hati yang lainnya.
Ketika
melangkah masuk untuk beribadat, kamu mula berasa kamu hebat. Itu UJUB. Masuk
pula seorang kawan, kamu sengaja lamakan ibadat itu atau zahirkan ibadat itu
dengan suara atau sebagainya, itu RIAK. Ketika melihat kawan itu tidak ibadat
seperti kamu, kamu berasa kamu lebih hebat dan mulia darinya, itu TAKABBUR.
Sia-sia
sudah ibadatmu itu.
Malah,
Allah dan Rasul melaknatnya.
Entry ini,
cukup saya kenalkan sahaja. Untuk akibat dan cara mengatasinya, mungkin
di lain
masa. Banyak lagi sebenarnya. Bagaimana guru para malaikat boleh menjadi
makhluk paling hina dan terusir juga guru agama, para syuhada serta
qari Quran diheret masuk ke dalam neraka. Semuanya bahana penyakit hati
ini.
'Moga saya, moga saya, moga saya dan kalian dapat mengamalkan apa yang
baik, dan meninggalkan apa yang buruk.
HATI - HATI JAGA HATI ! ^^
PARA PENDAKWAH PERLU HINDARI SIFAT UJUB.
Setiap manusia pasti akan dikurniakan nikmat oleh Allah
s.w.t. dan adakalanya sesetengah insan itu mendapat nikmat yang lebih
berbanding dengan yang lain dan ia membuatkan seseorang itu kelihatan lebih istimewa.
Sedikit keistimewaan yang Allah kurniakan tersebut seperti harta yang banyak, ilmu
yang tinggi, kebijaksanaan, kekuatan fizikal, paras rupa yang cantik, jawatan
yang tinggi, ramai pengikut, dan pengaruh yang besar adakalanya mendorong manusia
untuk lupa akan hakikat dirinya yang lemah dan sentiasa memerlukan pertolongan
Allah.Perasaan sebeginiboleh menyebabkan timbulnya sifat bangga diri atau ujub.
Ujub merupakan perasaankagum terhadap diri sendiri yang
terbit dihati seseorang insan yang beranggapan dirinya memiliki sifat yang
lebih baik atau sempurna berbanding dengan orang lain. Imam Sufyan Ats-Tsauri r.h
berkata: “Sifat ujub adalah kekagumanmu pada dirimu sendiri, sehingga kamu
merasa bahawa kamu lebih mulia dan lebih tinggi darjatnya daripada saudara kamu.
Sedangkan boleh jadi kamu tidak beramal dengan benar seperti dia, atau
barangkali dia lebih warak daripada kamu terhadap hal-hal yang diharamkan Allah
dan lebih tulus amalnya.” Imam Ibnu al-Mubarak r.h pula menyatakan: “Perasaan
ujub adalah ketika engkau merasakan dirimu memiliki kelebihan tertentu yang
tidak dimiliki oleh orang lain.”
Sifat ujub ini ditegah oleh syarak kerana iamerupakan
faktor yang dapat mencetuskan pelbagai sifat-sifat buruk yang lain seperti
sombong, takbur, bongkak, iri hati, dengki, khianat dan sebagainya. Firman
Allah s.w.t.: “Dan janganlah engkau memalingkan mukamu (kerana memandang
rendah) kepada manusia, dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak
sombong; sesungguhnya Allah tidak suka
kepada tiap-tiap orang yang sombong takbur, lagi membanggakan diri.”(Luqman
: 18) Allah s.w.t. turut berfirman:“…maka janganlah kamu memuji-muji diri
kamu (bahawa kamu suci bersih dari dosa). Dia-lah sahaja yang lebih mengetahui
akan orang-orang yang bertaqwa.” (Najm : 32)Ayat ini melarang seseorang
itu dari memiliki persepsi bahawa dirinya itu suci dari melakukan kesilapan dan
menolak sikap narsisisme iaitu perasaan cinta terhadap diri sendiri yang
berlebihan.
Rasulullah s.a.w. turut memberi amaran bahawa bagi
mereka yang bersifat ujub atau bangga diri ini mereka akan dihukum oleh Allah
s.w.t. sama ada di dunia mahupun di akhirat kelak. Baginda bersabda:"Apabila
seorang lelaki sedang berjalan dengan memakai baju yang kemas dan rambut yang
disikat menyebabkan dia rasa kagum dengan pakaian dan dandanan rambutnya
(merasakan dirinya lawa). Lalu Allah tenggelamkan dia ke dalam muka bumi dan
dia terus ditenggelamkan sampai hari kiamat," (Hadis riwayat Imam
al-Bukhari)
Penyakit ujub ini mampu menyerang sesiapa sahaja hinggakania
turut boleh menjangkiti golongan ilmuan Islam dan para pendakwah. Sikap begini
kebiasaannya timbul apabila segelintir kecil para pendakwah beranggapan bahawa
ilmu yang dimilikinya itu sudah cukup tinggi melangit sehingga dia merasakan
kebenaran itu sentiasa berada di pihaknya. Dia tidak suka mengambil manfaat
ilmu daripada pihak lain atau golongan yang tidak sealiran dengannya kerana dia
merasakan dirinya sudah terlalu pandai. Dalam ertikata lain golongan pendakwah
yang bermasalah ini hanya berpegang teguh dengan pendapat mereka sendiri tanpa
memperdulikan pendapat yang lain. Sekiranya pendapatnya dibantah atau dia
melihat pihak lain melakukan kesilapan akan dibalasnya dengan kata-kata sinis
berbentuk celaan, mencaci-maki, menuduh sesat dan lain-lain perbuatan yang
bertujuan untuk merendahkan pihak yang disanggahnya itu.
Satu lagi faktor penyebab timbulnya sikap bangga diri atau
ujub di kalangan para pendakwah ini adalahpuji-pujian yang diberikan secara
berlebihan oleh para pengikutnya. Populariti yang meningkat yang dapat
dirangsangkan apabila melihat buku-buku tulisannya diulang-cetak beberapa kali,
ceramah-ceramahnya dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang, laman Facebook
miliknya memiliki ramai pengikut, klip ceramahnya di Youtube telah dilihat (view)
oleh puluhan ribu orang turut memiliki saham dalam mewujudkan perasaan bangga
diri tersebut.
Ajaran Islam sentiasa bertindak menutup segala
ruang-ruang kecil yang akhirnya boleh menimbulkan kerosakan yang besar.Ternyata
sikap berlebihan dalam menghormati atau memuliakan golongan pendakwah atau
ulamak boleh menghanyutkan mereka dengan perasaan bangga diri sekiranya mereka
gagal mengawal hawa nafsu mereka.Mungkin inilah hikmahnya Rasulullah s.a.w.
melarang para sahabat untuk berdiri dari tempat duduk sebagai tanda
hormatketika menyambut ketibaan baginda. Anas bin Malik r.a berkata: “Tidak
seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah s.a.w..Tetapi,
bila mereka melihat Rasulullah s.a.w. (hadir), mereka tidak berdiri untuk baginda.Ini
adalah kerana mereka mengetahui bahawa baginda membenci perkara tersebut.”
(Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi)Justeru itu amalan yang telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat iaitu berdiri sebagai tanda penghormatan kepada manusia
seperti berdiri menyambut kehadiran Tok Guru yangmasuk untuk berceramah
sewajarnya dihentikan.Rasulullah s.a.w. turut melarang kata-kata pujian yang
berlebih-lebihan kepada sesiapa sahaja termasuk diri baginda sendiri.Anas bin
Malik r.a berkata seorang lelakitelah datang kepada Rasulullah s.a.w seraya
berkata:“Ya Muhammad! Ya Sayyidina ibni Sayyidina! (Wahai Tuan kami dan
anak kepada Tuan kami), Wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak kepada
yang terbaik di kalangan kami!” Rasulullah menjawab: “Wahai manusia, hendaklah
kalian bertakwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau.
Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya; dan
aku bersumpah kepada Allah bahawasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat
kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah 'Azza wa Jalla tentukan bagiku.”
(Hadis riwayat Imam Ahmad)
Kepada para pendakwah yang ujub dengan ilmu yang
dimilikinya, ingatlah pesanan Imam Adz-Dzahabi r.h di dalam kitab beliau
bertajukAl-Kaba’irini,“Kesombongan yang paling buruk adalah orang
yang menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan
kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk
dirinya. Kerana barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu
akan membuatnya rendah hati dan menumbuhkan perasaan khusyukdi hati serta
ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus
memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu bermuhasabah diri dan membetulkannya.
Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang
lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-bangga diri
dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta memperbodoh
dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling
besar.Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
walaupun hanya sekecil zarah, la haula wa la quwwata illa billah
(Tiada daya dan upaya melainkan dengan bantuan Allah).”
Untuk menghindari sikap ujub seseorang itu mesti
menyedari bahawa segala nikmat kelebihan yang ada pada diri masing-masing itu adalah
semata-mata kurniaan daripada Allah s.w.t. sahaja.Oleh itu sikap yang
seharusnya ada pada setiap insan apabila menerima limpah kurnia daripada Allah s.a.w.t.
ada bersyukur kepada-Nya nescaya Dia akan menambah nikmat kurnian-Nya itu. Firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahu: "Demi sesungguhnya! Jika
kamu bersyukur nescaya Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kamu, dan demi
sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azab-Ku amatlah keras.”
(Ibrahim : 7) Ingatlahbahawa Allah s.w.t. pada bila-bila masa boleh menarik
segala kelebihan atau keistimewaan yang telah Dia kurniakan kepada kita
sekiranya kita tidak bersyukur dan berterusan dengan sikap membangga diri.
Ketahuilah bahawa disisi Allah s.w.t. semua hamba-hamba-Nya sama sahaja melainkan
golongan yang bertakwa yang Dia lebih muliakan. Firman-Nya: “Wahai umat
manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan,
dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu
berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang Yang lebih takwanya di antara
kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui, lagi Maha Mendalam Pengetahuannya (akan keadaan dan amalan kamu).” (al-Hujuraat
: 13)Hamba Allah yang bertakwa itu adalah mereka yang menunaikan segala kewajipan
dan meninggalkan larangannya.
Kepada seluruh
penuntut ilmu, hayatilah pesanan Imam Ibnul Qayyim r.h ini di dalam kitabnya berjudul
Al-Fawa’id. Menurutbeliau: “Salah satu tanda kebahagiaan dan kejayaan
adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah
pula sikap tawaduk dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka
semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.Setiap kali bertambah usianya
maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.Setiap kali bertambah hartanya
maka bertambahlah kedermawanan dan kemahuannya untuk membantu sesama manusia.Dan
setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan pangkatnya maka semakin dekat pula
dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai keperluan mereka serta
bersikap rendah hati kepada mereka.”
Oleh itu marilah kita semua berazam untuk membuang
jauh-jauh sifat ujub yang terlarang ini dan kita gantikan dengan sikap tawaduk
iaitu sikap merendah tanpa menghinakan diri.Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya
Allah s.w.t. telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri (bersikap
tawaduk), sehingga tidak ada seorang pun menganiaya orang lain dan tidak ada
yang bersikap sombong terhadap orang lain."(Hadis riwayat Imam Muslim). Golongan pendakwah yang tawaduk boleh menerima
kebenaran yang datangnya daripada sesiapa sahaja dan mampu berinteraksi dengan
semua golongan manusia.Sifat tawaduk ini dapat membantu pendakwah untuk
menyatupadukan masyarakat dan menyemai perasaan kasih sayang di antara sesama
umat Islam yang bersaudara.Sikap positif yang terpancar dari diri seseorang
pendakwah akan membuatkan dia disenangi oleh semua lapisan masyarakat dan
menjadi contoh yang baik kepada golongan sasaran yang hendak didakwahnya.
Apabila pendakwah memiliki sikap yang disenangi oleh semua pihak, maka
dakwahnya akanlebih mudah diterima dan berkesan.
Saudaraku, Jangan Ujub!
Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam.
Salawat dan keselamatan semoga terus terlimpah kepada Nabi dan para
sahabatnya. Amma ba’du.
Jumlah pengikut yang banyak, organisasi yang mapan, kekuatan finansial yang besar, dan sarana yang serba lengkap terkadang membuat manusia lupa akan hakekat dirinya yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Acapkali ‘perasaan besar’ tersebut menyeret kepada bangga diri dan ujub dengan kemampuan dirinya. Seolah-olah semuanya sudah berada di bawah kendalinya. “Kemenangan sudah di pelupuk mata.” “Kita tidak akan kalah, jumlah kita banyak.”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang…” (QS. at-Taubah: 25)
Ketika itu, sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.” Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah berikan pelajaran bagi mereka… Padahal, mereka itu adalah para Sahabat Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi- sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin… (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345). Sungguh pukulan yang sangat telak dan menjatuhkan mental kaum muslimin! Dimanakah jumlah yang besar yang dibanggakan itu? Kalau bukan karena pertolongan Allah, maka mereka sudah hancur berkeping-keping…!
Bagi orang-orang yang telah merasa dirinya besar, hebat dan kuat -dengan organisasi, yayasan, dan lain sebagainya- maka waspadailah penyakit ganas ini! Karena hal itu akan menghancurkan kalian…! Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri…” (al-Fawa’id, hal. 147). Semoga Allah membalas kebaikan salah seorang Ustadz kami -semoga Allah menjaganya- yang menasehatkan hal ini kepada kami; untuk tidak merasa diri besar… Yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak-dampak negatif, semisal berkobarnya api hizbiyah, terlalu mengutamakan kepentingan kelompok, dan memaksakan keinginan kepada pihak lain yang tidak sejalan pemikiran… Allahul musta’aan!
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146)
Saudaraku, salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita untuk tidak bersikap ujub. Ingatlah, bahwa segala kebaikan yang ada pada diri kita berasal dari anugerah Allah ta’ala, bukan semata-mata karena kekuatan dan kemampuan kita! Bahkan, kalau Allah berkehendak niscaya saat ini kita masih tenggelam dalam alam kejahiliyihan dengan aneka ragam maksiat dan kedurhakaan kepada Allah ta’ala. Tidakkah kalian ingat nikmat yang agung ini wahai ikhwan?….. Lantas dimanakah ungkapan rasa syukur kalian kepada-Nya? Apakah kalian sekarang telah lebih mengutamakan dunia daripada akherat, sehingga sedemikian beratnya kalian untuk berjuang dengan ikhlas di jalan-Nya?!
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Jumlah pengikut yang banyak, organisasi yang mapan, kekuatan finansial yang besar, dan sarana yang serba lengkap terkadang membuat manusia lupa akan hakekat dirinya yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Acapkali ‘perasaan besar’ tersebut menyeret kepada bangga diri dan ujub dengan kemampuan dirinya. Seolah-olah semuanya sudah berada di bawah kendalinya. “Kemenangan sudah di pelupuk mata.” “Kita tidak akan kalah, jumlah kita banyak.”
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang…” (QS. at-Taubah: 25)
Ketika itu, sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.” Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah berikan pelajaran bagi mereka… Padahal, mereka itu adalah para Sahabat Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi- sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin… (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345). Sungguh pukulan yang sangat telak dan menjatuhkan mental kaum muslimin! Dimanakah jumlah yang besar yang dibanggakan itu? Kalau bukan karena pertolongan Allah, maka mereka sudah hancur berkeping-keping…!
Bagi orang-orang yang telah merasa dirinya besar, hebat dan kuat -dengan organisasi, yayasan, dan lain sebagainya- maka waspadailah penyakit ganas ini! Karena hal itu akan menghancurkan kalian…! Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri…” (al-Fawa’id, hal. 147). Semoga Allah membalas kebaikan salah seorang Ustadz kami -semoga Allah menjaganya- yang menasehatkan hal ini kepada kami; untuk tidak merasa diri besar… Yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak-dampak negatif, semisal berkobarnya api hizbiyah, terlalu mengutamakan kepentingan kelompok, dan memaksakan keinginan kepada pihak lain yang tidak sejalan pemikiran… Allahul musta’aan!
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz apabila berkhutbah di atas mimbar kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khutbahnya. Demikian juga apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 146)
Saudaraku, salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita untuk tidak bersikap ujub. Ingatlah, bahwa segala kebaikan yang ada pada diri kita berasal dari anugerah Allah ta’ala, bukan semata-mata karena kekuatan dan kemampuan kita! Bahkan, kalau Allah berkehendak niscaya saat ini kita masih tenggelam dalam alam kejahiliyihan dengan aneka ragam maksiat dan kedurhakaan kepada Allah ta’ala. Tidakkah kalian ingat nikmat yang agung ini wahai ikhwan?….. Lantas dimanakah ungkapan rasa syukur kalian kepada-Nya? Apakah kalian sekarang telah lebih mengutamakan dunia daripada akherat, sehingga sedemikian beratnya kalian untuk berjuang dengan ikhlas di jalan-Nya?!
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan