8 Karakter Suami Ideal
Diposkan oleh Admin BeDa pada Senin, 02 September 2013 | 20.30 WIB
Anda ingin menjadi suami ideal? Ingin menjadi suami yang dicintai dan dibanggakan istri, sekaligus dirindukan bidadari? Inilah 8 karakter yang perlu Anda miliki. Jika belum ada pada diri, 8 karakter ini perlu ditarbiyah sejak dini.1. Suami yang sejak awal telah menunjukkan kejujuran dan sikap terus terang. Kelemahan dan kekurangan yang dimiliki tidak disembunyikan sejak melamar.
2. Suami yang menggauli istrinya dengan baik; lembut; memuliakan dan menerima kelebihan serta kekurangan keluarga istrinya.
3. Suami yang mampu menghibur istri dan bersikap lembut terhadap istri. Ia berbicara dengan bahasa yang menarik, mau mengerti dan mendengar perkataan istrinya jika memang pendapatnya itu logis dan tak melanggar agama.
4. Suami yang tidak terlalu pencemburu, tidak mengumbar prasangka, tidak suka memata-matai dan tidak berlebihan.
5. Suami yang memberikan belanja yang cukup kepada istri, tidak boros dan juga tidak bakhil.
6. Suami yang selalu tampil di muka istrinya dengan rapi dan meyakinkan. Ia selalu menjaga penampilan dan kebersihannya, sehingga yang tercium darinya hanyalah bau harum semerbak.
7. Suami yang senantiasa menjaga rahasia rumah tangga. Hal ini mencegah orang-orang sekitarnya menggunjing keluarga mereka.
8. Suami yang senantiasa menjaga kejantanannya, baik secara fisik maupun psikis, sehingga memancarkan kewibawaan.
[Sumber: Al Masyaakil Az Zaujiyah wa Hululuha fi Dhau’il Kitabi wa As Sunnah wa Al Ma’arif Al Haditsah karya Syaikh Muhammad Utsman Al Khusyt seperti dikutip Cahyadi Takariawan dalam buku Pernik-pernik Rumah Tangga Islami]
14 Nasehat untuk Suami yang Membiarkan Aurat Istrinya Terbuka
Diposkan oleh Admin BeDa pada Kamis, 28 November 2013 | 10.10 WIB
Tidak sedikit suami muslim yang masih membiarkan istrinya terbuka auratnya. Bahkan, ada pula yang melarang istrinya yang seorang muslimah menutup aurat. Untuk suami yang demikian, ada 14 poin nasehat yang disampaikan Ustadz Felix Siauw dalam fan page FB-nya, Rabu (27/11):1. suami yang membiarkan istrinya terbuka auratnya | sepertinya yang tidak peduli dan sayang pada istrinya
2. mobil bagus aja punya garasi dan ditutup terpal pula | masak aurat istrinya dilihat semua lelaki dia malah tega
3. hpnya dipasang anti-peek supaya nggak diintip manusia | aurat istrinya dinikmati berpasang mata tak mengapa
4. kewajiban suami adalah membimbing dan menasihati | membesarkan hati istri agar mau menaati Allah dan suami
5. karenanya suami pun harus beri teladan ketaatan pada istri | agar istri bersemangat menaati Allah bersama-sama suami
6. lebih heran lagi ada suami malah melarang istrinya menutup aurat | sudahlah tidak menyayangi istrinya juga melawan Allah?
7. menjadi suami itu berarti mengambil tanggungan ayahnya | untuk mengawal istri jauh dari neraka dan membimbingnya ke surga
8. dan awalnya juga tandanya adalah hijab yang jadi pakaiannya | kehormatan diri dan pembatas dirinya dari maksiat dan dimaksiati
9. bagaimana bila istrinya yang belum mau menaati suaminya dan Allah? | tenang hati wanita bukan terbuat dari batu keras tak bercelah
10. perintahkan dengan kalimat lembut sarat pengertian | yang bukan hanya didengar namun juga dirasakan
11. berdoa pula pada Allah pemilik segala hati manusia | agar mudahkan petunjuk dan istiqamah pada istrinya
12. sediakan jalan bagi istri baginya agar mudah menutup auratnya | fasilitasi dan semangati bukan dipatahkan dan dicela usahanya
13. kenalkan dia dengan gabungan para salihah agar bersih akalnya | agar satu pandangan dan satu perasaan tentang taat pada-Nya
14. adalah tugas suami untuk tidak menyerah dalam membimbing | menasihati dan menyayangi istri agar taat pada Allah semata
10 Adab Jima’
Diposkan oleh Admin BeDa pada Sabtu, 02 November 2013 | 23.00 WIB
1. Bersih Diri dan berwudhuMengkondisikan tubuh bersih (dengan mandi dan gosok gigi) adalah bagian dari adab jima’ sekaligus membuat suami atau istri lebih tertarik. Sebaliknya, tubuh yang tidak bersih cenderung mengganggu dan menurunkan daya tarik.
Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
2. Memakai parfum/wewangian
Wewangian adalah salah satu sunnah Nabi. Beliau bersabda: “Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi).
Bagi istri, memakai parfum/wewangian yang dianjurkan adalah saat-saat seperti ini, bukan pada waktu keluar rumah yang justru dilarang Rasulullah.
“Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad)
Yang perlu diperhatikan di sini ialah, aroma atau jenis wewangian yang dipakai hendaknya yang disukai suami atau istri. Sebab, ada suami atau istri yang tidak menyukai aroma wewangian tertentu. Wewangian yang tepat membuat hasrat suami atau istri semakin meningkat.
3. Shalat dua raka’at
Adab ini terutama bagi pengantin baru. Sebagaimana atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu yang menasehati pengantin baru agar mengajak istrinya shalat dua raka’at terlebih dahulu ketika memulai malam pertama.
4. Berdandan dan berpakaian yang disukai suami atau istri
Adakalanya istri malu memakai pakaian minim yang disukai suaminya. Padahal dalam sebuah hadits disebutkan “Sebaik-baik istri kalian adalah yang pandai menjaga diri lagi pandai membangkitkan syahwat. Yakni keras menjaga kehormatan dirinya lagi pandai membangkitkan syahwat suaminya.” (HR. Ad Dailami).
Senada dengan hadits itu, Muhammad Al Baqir, cicit Husain bin Ali menjelaskan: “Sebaik-baik wanita diantara kalian adalah yang membuang perisai malu ketika menanggalkan pakaian di hadapan suaminya dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian kembali.”
Hadits dan maqalah ini juga menjadi dalil bahwa di dalam jima’, suami istri boleh menanggalkan pakaian dan tidak haram melihat aurat masing-masing.
5. Jima’ di tempat tertutup
Islam mengatur kehidupan umat manusia agar kehormatan dan kemuliaannya terjaga. Demikian pula dengan jima’. Ia harus dilakukan di tempat tertutup, tidak diketahui oleh orang lain meskipun ia adalah anak atau keluarga sendiri. Karenanya saat anak berumur 10 tahun, Islam mensyariatkan untuk memisahkan kamar anak-anak. Kamar anak laki-laki terpisah dari kamar anak perempuan.
Bagaimana jika anak masih kecil dan tidurnya bersama orang tua? Pastikan ia tidak melihat aktifitas suami istri tersebut. Caranya bisa Anda berdua yang pindah kamar.
6. Berdoa sebelum jima’
Yakni membaca doa:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Mengenai keutamaan doa ini, bisa dibaca di sini.
7. Melakukan mubasharah, ar rasuul, foreplay, atau pemanasan
Hendaknya suami tidak langsung ke inti, tetapi ada mubasharah/ar rasuul/ foreplay terlebih dulu.
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. Tirmidzi)
Ada tiga langkah foreplay yang bersumber dari hadits Nabi. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
8. Membawa ke puncak, saling memberi hak
“Apabila salah seorang diantara kamu menjima’ istrinya, hendaklah ia menyempurnakan hajat istrinya. Jika ia mendahului istrinya, maka janganlah ia tergesa meninggalkannya.” (HR. Abu Ya’la)
9. Mencuci kemaluan dan berwudhu jika mau mengulangi
“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim)
10. Mandi besar (janabat) setelah jima’
Demikian 10 Adab Jima’ yang disarikan dari berbagai sumber, khususnya Bahagianya Merayakan Cinta karya Salim A. Fillah dan Sutra Ungu karya Abu Umar Baasyir. [Bersamadakwah]
Haruskah Suami Istri Menutupi Tubuh Saat Jima’?
Diposkan oleh Admin BeDa pada Kamis, 29 Agustus 2013 | 22.30 WIB
Hingga saat ini, banyak Muslim yang beranggapan bahwa ketika suami istri
berjima’, mereka harus menutupi tubuhnya alias tidak diperbolehkan
telanjang. Umumnya, anggapan ini dilandasi oleh dua hadits berikut ini.
Pertama, hadits riwayat Ibnu Majah.
“Jika seseorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya, maka hendaklah menutupi tubuhnya, dan janganlah bertelanjang bulat seperti telanjangnya dua khimar.”
Kedua, hadits riwayat Tirmidzi.
”Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian ada makhluk yang tak pernah berpisah...”
Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya dan bagaimana kedudukan dua hadits tersebut? Salim A. Fillah di dalam bukunya Bahagianya Merayakan Cinta menjelaskan bahwa hadits pertama (yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah) adalah dhaif. Dalam sanadnya terdapat Al Ahwash bin Hakim dan Walid bin Al Qasim Al Hamdani, keduanya dhaif. Bahkan, An Nasa’i memberi catatan: “hadits ini mungkar.”
Sedangkan hadits kedua (riwayat Tirmidzi), sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan suami istri harus menutup tubuhnya dengan selimut atau semisalnya saat berjima’ dikarenakan malu dengan makhluk lain yang disebutkan dalam hadits tersebut. Padahal, di dalam hadits itu telah ada jawabannya. Yakni kelajutan hadits tersebut yang sering tidak diketengahkan secara lengkap.
“Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian ada makhluk yang tak pernah berpisah kecuali di saat kalian membung hadats di jamban dan ketika seorang suami mendatangi istrinya” (HR. Tirmidzi).
Salim A. Fillah kemudian menutup penjelasannya dengan kalimat berikut: “Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya, bahkan Ia menghendaki kemudahan bagi mereka. Ketika seorang hamba bersama istrinya telah menutup diri dari pandangan manusia di dalam satu bilik di rumahnya, maka Allah tidak lagi membebani mereka dengan hal yang menyulitkan dan memberatkan seperti memakai selimut. Karena bisa jadi selimut akan mengganggu jika hendak berekspresi dan berkreasi. Padahal yang demikian adalah hak yang Allah berikan pada mereka berdua untuk meraih kemuliaan di sisi-Nya.”
Wallahu a’lam bish shawab. [IK/bersamadakwah]
Pertama, hadits riwayat Ibnu Majah.
“Jika seseorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya, maka hendaklah menutupi tubuhnya, dan janganlah bertelanjang bulat seperti telanjangnya dua khimar.”
Kedua, hadits riwayat Tirmidzi.
”Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian ada makhluk yang tak pernah berpisah...”
Bagaimanakah duduk persoalan yang sebenarnya dan bagaimana kedudukan dua hadits tersebut? Salim A. Fillah di dalam bukunya Bahagianya Merayakan Cinta menjelaskan bahwa hadits pertama (yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah) adalah dhaif. Dalam sanadnya terdapat Al Ahwash bin Hakim dan Walid bin Al Qasim Al Hamdani, keduanya dhaif. Bahkan, An Nasa’i memberi catatan: “hadits ini mungkar.”
Sedangkan hadits kedua (riwayat Tirmidzi), sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan suami istri harus menutup tubuhnya dengan selimut atau semisalnya saat berjima’ dikarenakan malu dengan makhluk lain yang disebutkan dalam hadits tersebut. Padahal, di dalam hadits itu telah ada jawabannya. Yakni kelajutan hadits tersebut yang sering tidak diketengahkan secara lengkap.
“Janganlah kalian bertelanjang, sebab sungguh bersama kalian ada makhluk yang tak pernah berpisah kecuali di saat kalian membung hadats di jamban dan ketika seorang suami mendatangi istrinya” (HR. Tirmidzi).
Salim A. Fillah kemudian menutup penjelasannya dengan kalimat berikut: “Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya, bahkan Ia menghendaki kemudahan bagi mereka. Ketika seorang hamba bersama istrinya telah menutup diri dari pandangan manusia di dalam satu bilik di rumahnya, maka Allah tidak lagi membebani mereka dengan hal yang menyulitkan dan memberatkan seperti memakai selimut. Karena bisa jadi selimut akan mengganggu jika hendak berekspresi dan berkreasi. Padahal yang demikian adalah hak yang Allah berikan pada mereka berdua untuk meraih kemuliaan di sisi-Nya.”
Wallahu a’lam bish shawab. [IK/bersamadakwah]
3 Langkah ‘Pemanasan’ dari Hadits Nabi
Diposkan oleh Abu Nida pada Jumat, 18 Oktober 2013 | 21.40 WIB
Jima’ adalah kebutuhan suami istri, bukan hanya salah satunya. Kepuasan
dalam jima’ juga hak keduanya, bukan hanya milik suami. Mengingat kaum
wanita umumnya lebih ‘dingin’ dan lama dalam proses pendakian menuju
puncak, Islam mengajarkan para suami untuk tidak langsung memulai jima’
sebelum melakukan pemanasan.
Sedikitnya ada tiga langkah pemanasan yang bersumber dari hadits:
1. Kata-kata mesra
“Janganlah salah seorang dari kalian menjima’ istrinya seperti binatang ternak mendatangi pasangannya. Tetapi hendaklah ada ar rasuul antara keduanya.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah ar rasuul itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ciuman dan kalimat-kalimat obrolan (mesra)” (HR. Ad Dailami)
Sebelum melakukan jima’, dahuluilah dengan kata-kata romantis. Kata-kata yang mesra. Rasulullah, di hari-hari biasa saja memanggil Aisyah dengan humaira, yang pipinya kemerahan. Betapa beliau sangat romantis, apalagi ketika hendak ‘bercinta’ bersama istri.
Kata-kata romantis dan mesra ini yang pertama akan mencairkan suasana dan membuat rileks. Tingkatan kata-kata yang lebih mesra selanjutnya akan membuat tubuh yang rileks mulai ‘memanas’ serasa dipanggil untuk tidak hanya bermain kata.
2. Ciuman
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. Tirmidzi)
Jika kata-kata melahirkan imajinasi dan emosi, maka ciuman lebih ‘terasa’ bagi istri. Detak jantung menjadi lebih cepat, nafas menjadi tak teratur, dan hasrat jima’ pun mulai timbul.
Dalam bab ini, ciuman tidaklah sebatas bibir bertemu bibir.
3. Sentuhan
Jika kata-kata mesra adalah pemanasan dengan ucapan dan ciuman adalah pemanasan dengan bibir, pemanasan yang lainnya adalah dengan tangan; sentuhan.
Imam Abu Hanifah ditanya oleh muridnya tentang suami yang memegang kemaluan istrinya atau istri memegang kemaluan suaminya (sebagai pendahuluan jima’), beliau menjawab, “Tidak masalah, bahkan saya berharap ini akan memperbesar pahalanya.” (Tabyin al-Haqaiq).
Demikian 3 Langkah ‘Pemanasan’ dari Hadits Nabi. Langkah kedua dan ketiga tidak harus berurutan. Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Benarkah ada hadits yang menjelaskan keutamaan jima’ di malam Jum’at seperti itu?
Habib Munzir Al Musawa pernah ditanya oleh salah seorang jama’ahnya yang bernama Arasy, “Ya habib yang kumuliakan dan kusayangi, ada hadits barang siapa yang berhubungan suami istri pada malam senin dan jum`at maka seperti membunuh 40 orang kafir. Bunyi haditsnya bagaimana?”
Habib Munzir menjawab, “Saudaraku yang kumuliakan, saya tak menemukan riwayat hadits shahih akan hal itu, namun hal itu merupakan sunnah dan dibahas pada banyak kitab para Imam kita, diantaranya Hashyatul Jamal dan lain-lain, yang dimaksud adalah berjima’ pada malam malam dan hari mulia adalah diharapkan keturunan mulia pula yang akan dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada suami istri tersebut.”
Pertanyaan yang senada pernah ditujukan kepada Ustadz Abdullah Zaen, M.A.
“Ustadz, saya sering mendengar dari kebanyakan orang yang mengatakan bahwa hubungan intim pada malam Jumat adalah sunah Nabi. Bahkan ada yang menghubungkan dengan keutamaan seperti membunuh kaum Yahudi. Apakah benar adanya?”
Ia pun menjawab, “Kami belum pernah menemukan ayat Alquran atau hadis sahih yang menunjukkan anjuran tersebut. Jika ada yang menyampaikan hal tersebut maka dia diminta untuk menyampaikan dalil.”
Demikianlah, kita kadang terjebak menganggap sesuatu sebagai hadits. Padahal, ancaman dosa mengatakan sesuatu yang bukan hadits sebagai sabda Nabi adalah sangat berat.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Shahih Keutamaan Jima’
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa jima’ antara suami dan istri adalah sedekah. Ia mendapatkan pahala atas hubungan halal ini, sebagaimana seseorang mendapatkan dosa jika ia berzina.
“Hubungan badan antara kalian (dengan istri) adalah sedekah”. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, ”Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Sedangkan tentang keutamaan jima’ di malam/hari Jum’at, hadits yang dapat dijadikan rujukan adalah berikut ini:
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits tersebut menggambarkan betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni menjima’ istri, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan jima’ di malam/hari Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah jima’ pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah jima’ di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menjelaskan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang Subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Sedikitnya ada tiga langkah pemanasan yang bersumber dari hadits:
1. Kata-kata mesra
“Janganlah salah seorang dari kalian menjima’ istrinya seperti binatang ternak mendatangi pasangannya. Tetapi hendaklah ada ar rasuul antara keduanya.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah ar rasuul itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ciuman dan kalimat-kalimat obrolan (mesra)” (HR. Ad Dailami)
Sebelum melakukan jima’, dahuluilah dengan kata-kata romantis. Kata-kata yang mesra. Rasulullah, di hari-hari biasa saja memanggil Aisyah dengan humaira, yang pipinya kemerahan. Betapa beliau sangat romantis, apalagi ketika hendak ‘bercinta’ bersama istri.
Kata-kata romantis dan mesra ini yang pertama akan mencairkan suasana dan membuat rileks. Tingkatan kata-kata yang lebih mesra selanjutnya akan membuat tubuh yang rileks mulai ‘memanas’ serasa dipanggil untuk tidak hanya bermain kata.
2. Ciuman
“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. Tirmidzi)
Jika kata-kata melahirkan imajinasi dan emosi, maka ciuman lebih ‘terasa’ bagi istri. Detak jantung menjadi lebih cepat, nafas menjadi tak teratur, dan hasrat jima’ pun mulai timbul.
Dalam bab ini, ciuman tidaklah sebatas bibir bertemu bibir.
3. Sentuhan
Jika kata-kata mesra adalah pemanasan dengan ucapan dan ciuman adalah pemanasan dengan bibir, pemanasan yang lainnya adalah dengan tangan; sentuhan.
Imam Abu Hanifah ditanya oleh muridnya tentang suami yang memegang kemaluan istrinya atau istri memegang kemaluan suaminya (sebagai pendahuluan jima’), beliau menjawab, “Tidak masalah, bahkan saya berharap ini akan memperbesar pahalanya.” (Tabyin al-Haqaiq).
Demikian 3 Langkah ‘Pemanasan’ dari Hadits Nabi. Langkah kedua dan ketiga tidak harus berurutan. Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Jima’ di Malam Jum’at = Membunuh Kafir dalam Jihad, Benarkah?
Diposkan oleh Abu Nida pada Kamis, 07 November 2013 | 21.50 WIB
Sebagian masyarakat meyakini bahwa berhubungan suami istri di malam Jum’at pahalanya sama dengan membunuh orang kafir dalam jihad. Bahkan, bukan hanya membunuh satu orang kafir tetapi 40 orang kafir. Pemahaman seperti itu bertahan hingga sekarang, diantaranya karena masih ada muballigh yang menyampaikan bahwa ada hadits Nabi yang menjelaskan demikian.Benarkah ada hadits yang menjelaskan keutamaan jima’ di malam Jum’at seperti itu?
Habib Munzir Al Musawa pernah ditanya oleh salah seorang jama’ahnya yang bernama Arasy, “Ya habib yang kumuliakan dan kusayangi, ada hadits barang siapa yang berhubungan suami istri pada malam senin dan jum`at maka seperti membunuh 40 orang kafir. Bunyi haditsnya bagaimana?”
Habib Munzir menjawab, “Saudaraku yang kumuliakan, saya tak menemukan riwayat hadits shahih akan hal itu, namun hal itu merupakan sunnah dan dibahas pada banyak kitab para Imam kita, diantaranya Hashyatul Jamal dan lain-lain, yang dimaksud adalah berjima’ pada malam malam dan hari mulia adalah diharapkan keturunan mulia pula yang akan dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada suami istri tersebut.”
Pertanyaan yang senada pernah ditujukan kepada Ustadz Abdullah Zaen, M.A.
“Ustadz, saya sering mendengar dari kebanyakan orang yang mengatakan bahwa hubungan intim pada malam Jumat adalah sunah Nabi. Bahkan ada yang menghubungkan dengan keutamaan seperti membunuh kaum Yahudi. Apakah benar adanya?”
Ia pun menjawab, “Kami belum pernah menemukan ayat Alquran atau hadis sahih yang menunjukkan anjuran tersebut. Jika ada yang menyampaikan hal tersebut maka dia diminta untuk menyampaikan dalil.”
Demikianlah, kita kadang terjebak menganggap sesuatu sebagai hadits. Padahal, ancaman dosa mengatakan sesuatu yang bukan hadits sebagai sabda Nabi adalah sangat berat.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Shahih Keutamaan Jima’
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa jima’ antara suami dan istri adalah sedekah. Ia mendapatkan pahala atas hubungan halal ini, sebagaimana seseorang mendapatkan dosa jika ia berzina.
“Hubungan badan antara kalian (dengan istri) adalah sedekah”. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, ”Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Sedangkan tentang keutamaan jima’ di malam/hari Jum’at, hadits yang dapat dijadikan rujukan adalah berikut ini:
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits tersebut menggambarkan betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni menjima’ istri, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan jima’ di malam/hari Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah jima’ pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah jima’ di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menjelaskan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang Subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Nikmat Menikah: Malam Jum’at, Ya Baca Al Kahfi Bersama Ya Bercinta
Diposkan oleh Abu Nida pada Kamis, 13 Juni 2013 | 22.30 WIB
Menikah adalah sunnah Nabi yang dapat menyempurnakan separuh agama.
Menikah, juga mendatangkan ketenangan (sakinah) dan kebahagiaan
(sa’adah). Sakinah bukan hanya karena cinta yang bersifat fisik
(mawaddah), tetapi juga dikuatkan dengan cinta yang bersifat non fisik
(rahmah). Kesemuanya merupakan nikmat tersendiri dari Allah, yang hanya
bisa dirasakan oleh insan yang telah menikah.
Di malam Jum’at misalnya. Ada banyak kesempatan mendulang pahala bagi suami dan istri, yang tidak didapatkan oleh orang yang belum menikah.
Bagi semua muslim, membaca surat Al Kahfi di hari Jum’at adalah sunnah. "Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at,” sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Hakim dan Al Baihaqi serta dishahihkan Al Albani, “maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at."
Tetapi... bagi pasangan suami dan istri, membaca surat Al Kahfi bersama di malam Jum’at, saling menyimak, adalah kenikmatan tersendiri. Pahala sunnah membaca surat Al Kahfi didapat, ketenangan didapat, dan penguatan cinta juga didapat. Sebab –sekali lagi- cinta dalam Islam bukan hanya karena faktor fisik semata (mawaddah), cinta juga memiliki sisi non fisik (rahmah) yang tidak bergantung pada ketertarikan wajah dan tubuh. Beribadah bersama, menunaikan amal shalih bersama, menghidupkan rumah dengan sunnah, adalah penumbuh dan penguat cinta.
Jika membaca surat Al Kahfi dan bersalawat adalah amal sunnah yang bisa ditunaikan siapa saja, ada satu hal yang tidak bisa dikerjakan kecuali oleh mereka yang sudah menikah. Sebuah amal berpahala besar sekaligus membawa nikmat seketika. Para sahabat sempat terkejut ketika Rasulullah mensabdakan bahwa berhubungan badan dengan istri adalah sedekah. “Wahai Rasulullah, apakah kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?” Rasulullah –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim- pun menjawab: “Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.”
Bahkan, sebagaian ulama berpendapat, “bercinta” di malam Jum’at mendapatkan keutamaan tambahan, selain pahala seperti yang disebutkan Rasulullah tersebut.
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits tersebut menggambarkan betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Di malam Jum’at misalnya. Ada banyak kesempatan mendulang pahala bagi suami dan istri, yang tidak didapatkan oleh orang yang belum menikah.
Bagi semua muslim, membaca surat Al Kahfi di hari Jum’at adalah sunnah. "Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at,” sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Hakim dan Al Baihaqi serta dishahihkan Al Albani, “maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at."
Tetapi... bagi pasangan suami dan istri, membaca surat Al Kahfi bersama di malam Jum’at, saling menyimak, adalah kenikmatan tersendiri. Pahala sunnah membaca surat Al Kahfi didapat, ketenangan didapat, dan penguatan cinta juga didapat. Sebab –sekali lagi- cinta dalam Islam bukan hanya karena faktor fisik semata (mawaddah), cinta juga memiliki sisi non fisik (rahmah) yang tidak bergantung pada ketertarikan wajah dan tubuh. Beribadah bersama, menunaikan amal shalih bersama, menghidupkan rumah dengan sunnah, adalah penumbuh dan penguat cinta.
Jika membaca surat Al Kahfi dan bersalawat adalah amal sunnah yang bisa ditunaikan siapa saja, ada satu hal yang tidak bisa dikerjakan kecuali oleh mereka yang sudah menikah. Sebuah amal berpahala besar sekaligus membawa nikmat seketika. Para sahabat sempat terkejut ketika Rasulullah mensabdakan bahwa berhubungan badan dengan istri adalah sedekah. “Wahai Rasulullah, apakah kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?” Rasulullah –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim- pun menjawab: “Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.”
Bahkan, sebagaian ulama berpendapat, “bercinta” di malam Jum’at mendapatkan keutamaan tambahan, selain pahala seperti yang disebutkan Rasulullah tersebut.
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits tersebut menggambarkan betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Keutamaan “Bercinta” di Malam Jum’at
Diposkan oleh Admin BeDa pada Kamis, 28 Februari 2013 | 20.30 WIB
“Suami wajib menjimak istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam
sebulan,” kata Ibnu Hazm, “kalau tidak, berarti ia durhaka terhadap
Allah.”
Jika Ibnu Hazm berbicara tentang kewajiban “bercinta” bagi suami istri, Imam Al Ghazali menjelaskan mengenai kepatutannya.
“Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik…” kata ulama bergelar hujjatul Islam itu. Namun, Al Ghazali tidak memaknai batasan itu secara kaku. “Bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari sekali dalam empat malam, boleh pula kurang dari itu, sesuai kebutuhan istri.”
Lalu jika perlu memilih hari dalam “bercinta”, adakah keutamaan malam Jum’at dibandingkan malam-malam lainnya? Dalam hal ini, hadits yang sah dijadikan rujukan adalah riwayat Tirmidzi nomor 496, An-Nasai 3/95-96, Ibnu Majah nomor 1078, dan Ahmad 4/9. Hadits-hadits itu senada, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Subhanallah, dari hadits tersebut tergambar betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab.
[Maraji': Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, Kitab Fadhail A’mal karya Ali bin Muhammad al Maghribi dan Sutra Ungu karya Abu Umar Baasyir]
Jika Ibnu Hazm berbicara tentang kewajiban “bercinta” bagi suami istri, Imam Al Ghazali menjelaskan mengenai kepatutannya.
“Sepatutnya suami menjimak istrinya pada setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik…” kata ulama bergelar hujjatul Islam itu. Namun, Al Ghazali tidak memaknai batasan itu secara kaku. “Bahkan sangat bijaksana kalau lebih dari sekali dalam empat malam, boleh pula kurang dari itu, sesuai kebutuhan istri.”
Lalu jika perlu memilih hari dalam “bercinta”, adakah keutamaan malam Jum’at dibandingkan malam-malam lainnya? Dalam hal ini, hadits yang sah dijadikan rujukan adalah riwayat Tirmidzi nomor 496, An-Nasai 3/95-96, Ibnu Majah nomor 1078, dan Ahmad 4/9. Hadits-hadits itu senada, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Subhanallah, dari hadits tersebut tergambar betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”, mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi), mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab.
[Maraji': Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, Kitab Fadhail A’mal karya Ali bin Muhammad al Maghribi dan Sutra Ungu karya Abu Umar Baasyir]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan