HATI JADI MATI JIKA 40 HARI TIDAK MENUNTUT ILMU ISLAM DAN 3 HARI HATI JADI SAKIT...KERANA IA MAKANAN HATI...HEBAH2KAN GAN KAWAN2 BLOG NI..TK KERANA SERING MELAYARI BLOG INI. رَبِّيْ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ Tuhanku (Allah) lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku.. amin...سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُلاحول ولا قوّة إلاّ باللّه العظيم.... وَالـــــسَّلاَمُ عَلَيْكُـــمْ وَرَحْمَـــة ُاللهِ وَبَرَكَاتُـــهُ
Khamis, 24 Januari 2013
ISTERI-ISTERI NABI
Teriakan Orientalis tentang Zainab bt. Jahsy - Zainab
menurut gambaran kaum Orientalis - Orang-orang besar tidak
tunduk kepada undang-undang - Penggambaran Orientalis yang
keliru - Sampai usia 50 tahun hanya beristerikan Khadijah -
Hanya Khadijah yang membawa keturunan - Perkawinan Sauda bt.
Zam'a - Penelitian sejarah dan kesimpulannya Cerita Zainab
bt. Jahsy - Kekeluargaan Muhammad dengan Zainab - Melamarnya
untuk Zaid dan penolakan Zainab - Terpaksa menerima - Zaid
mengadukan Zainab dan perceraian - Hukum pengaduan dalam
Islam - Bagaimana Muhammad kawin dengan Zainab - Bagaimana
pendapat kaum Orientalis tentang cerita Zainab bt. Jahsy -
Muhammad menjunjung tinggi kedudukan wanita.
SEMENTARA peristiwa-peristiwa dalam dua bagian di atas itu
terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian
kawin dengan Umm Salama bt. Abi Umayya bin'l-Mughira,
selanjutnya kawin lagi dengan Zainab bt. Jahsy setelah
dicerai oleh Zaid b. Haritha. Zaid inilah yang telah
diangkat sebagai anak oleh Muhammad setelah dibebaskan
sebagai budak sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah.
Di sinilah kaum Orientalis dan misi-misi penginjil itu
kemudian berteriak keras-keras: Lihat! Muhammad sudah
berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai pengajar
yang hidup sederhana, yang dapat menahan diri dan
mengajarkan tauhid, sangat menjauhi nafsu hidup duniawi,
sekarang ia sudah menjadi orang yang diburu syahwat, air
liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang
isteri saja dalam rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga
orang wanita seperti yang disebutkan di atas. Sesudah itu
mengawini tiga orang wanita lagi, selain Raihana. Tidak
cukup kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan
ia jatuh cinta kepada Zainab bt. Jahsy yang masih terikat
sebagai isteri Zaid b. Haritha bekas budaknya. Soalnya tidak
lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia sedang
tidak ada di tempat itu, lalu ia disambut oleh Zainab.
Tatkala itu ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan
kecantikannya, dan kecantikan ini sangat mempengaruhi
hatinya. Waktu itu ia berkata "Maha suci Ia yang telah dapat
membalikkan hati manusia!" Kata-kata ini diulanginya lagi
ketika ia meninggalkan tempat itu. Zainab mendengar
kata-kata itu dan ia melihat api cinta itu bersinar dari
matanya. Zainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa yang
didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu
itu juga Zaid menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia
menceraikannya. Lalu kata Nabi kepadanya:
"Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah
engkau takut kepada Allah."
Tetapi pergaulan Zainab dengan Zaid sudah tidak baik iagi.
Kemudian ia dicerai. Muhammad menahan diri tidak segera
mengawininya sekalipun hatinya gelisah. Ketika itu firman
Tuhan datang:
"Ingat, tatkala engkau berkata kepada orang yang telah
diberi karunia oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi
kepadanya: Jagalah baik-baik isterimu. Hendaklah engkau
takut kepada Allah. Dan engkau menyembunyikan sesuatu di
dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau
takut kepada manusia, padahal seharusnya Allah yang lebih
patut kautakuti. Maka setelah Zaid meluluskan kehendak
wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak
tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan
(bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana
kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan.
Perintah Allah itu mesti dilaksanakan." (Qur'an, 33:37)
Ketika itulah wanita itu dikawininya. Dengan perkawinan ini
semarak cinta berahi dan api asmaranya yang menyala-nyala
dapat dipadamkan. Nabi apa itu!? Bagaimana ia membenarkan
hal itu buat dirinya sedang buat orang lain tidak?!
Bagaimana ia tidak tunduk kepada undang-undang yang katanya
diturunkan Tuhan kepadanya?! Bagaimana pula "harem" ini
diciptakan, yang mengingatkan orang pada raja-raja yang
hidup mewah-mewah, bukan pada para nabi yang saleh dan
memperbaiki kehidupan umat?! Selanjutnya bagaimana pula ia
menyerah kepada kekuasaan cinta dalam hubungannya dengan
Zainab sehingga ia menghubungi Zaid bekas budaknya supaya
menceraikannya, kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam
ini pada zaman jahiliah dilarang, tapi nabinya orang Islam
ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya, mau
memenuhi dorongan cintanya.
Bilamana kaum Orientalis dan para misi penginjil bicara
mengenai masalah ini dalam sejarah Muhammad, maka mereka
membiarkan khayal mereka itu bebas tak terkendalikan lagi;
sehingga ada diantara mereka itu yang menggambarkan Zainab -
ketika terlihat oleh Nabi - dalam keadaan setengah telanjang
atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang hitam panjang
lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai,
yang akan dapat menterjemahkan segala arti cinta berahi.
Yang lain lagi menyebutkan, bahwa ketika ia membuka pintu
rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir kamar Zainab.
Ketika itu ia sedang telentang di tempat tidur dengan
mengenakan baju tidur. Pemandangan ini sangat menggetarkan
jantung laki-laki yang gila perempuan dengan kecantikannya
itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun sebenarnya
ia tidak dapat tahan lama demikian!
Gambaran yang diciptakan oleh khayal demikian itu banyak
sekali. Akan kita jumpai ini dalam karya-karya Muir,
Dermenghem, Washington Irving, Lammens dan yang lain, baik
mereka ini para Orientalis atau misi-misi penginjil. Dan
yang sungguh disayangkan lagi karena dalam membuat
cerita-cerita itu, semua mereka memang mengambil sumbernya
dari kitab-kitab sejarah Nabi dan tidak sedikit pula dari
hadis. Kemudian dengan apa yang mereka gambarkan itu, mereka
membangun istana-istana gading dari khayal mereka sendiri
tentang Muhammad serta hubungannya dengan wanita. Alasan
mereka ialah karena isterinya banyak, yang sampai sembilan
orang menurut pendapat yang lebih tepat, atau lebih dari itu
menurut sumber-sumber lain.
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka
itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi dengan
itu apa pula kiranya yang akan dapat mendiskreditkan
kebesaran Muhammad atau kenabian dan kerasulannya.
Undang-undang yang biasanya berlaku pada umum, tidak mempan
terhadap orang-orang besar, lebih-lebih terhadap para rasul
dan nabi. Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua
orang, yang seorang dari golongannya sendiri, dan yang
seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya orang yang dari
pihak musuh itu hingga menemui ajalnya, padahal pembunuhan
demikian itu dilarang, baik dalam perang atau pun setengah
perang? Ini berarti melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak
tunduk kepada undang-undang, tapi juga tidak berarti ini
dapat mendiskreditkan kenabian atau kerasulannya, bahkan
mengurangi kebesarannyapun juga tidak. Dan dalam hal Isa,
dalam menyalahi undang-undang lebih besar lagi dari masalah
Muhammad, dari para nabi dan para rasul semuanya. Dan
soalnya tidak hanya terbatas pada besarnya kekuatan dan
keinginan saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah
melanggar undang-undang dan kodrat alam. Di hadapan ibunya
malaikat muncul sebagai manusia yang sempurna, yang akan
mengantarkan seorang anak yang suci bersih kepadanya. Wanita
itu keheranan, sambil berkata: "Bagaimana aku akan beroleh
seorang putera, padahal aku belum disentuh seorang manusia,
juga aku bukan seorang pelacur." Malaikat berkata, bahwa
Tuhan menghendaki supaya ia menjadi pertanda bagi umat
manusia.
Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia berkata: "Aduhai,
coba sebelum ini aku mati saja, maka aku akan hilang
dilupakan orang." Lalu datang suara memanggilnya dari bawah:
"Jangan berdukacita, Tuhan telah mengalirkan sebatang anak
sungai di bawahmu." Dibawanya anak itu kepada keluarganya.
Mereka pun berkata: "Maryam, engkau datang membawa masalah
besar. Dalam buaiannya itu (usia semuda itu) Isa berkata
kepada mereka: "Aku adalah hamba Allah É" dan seterusnya.
Betapapun orang-orang Yahudi menolak semua ini, dan oleh
mereka Isa dinasabkan kepada Yusuf an-Najjar (Yusuf anak
Heli), sebagian sarjana semacam Renan sampai sekarang pun
memang menganggapnya demikian. Kebesaran Isa, kenabiannya
dan kerasulannya serta penyimpangannya dari hukum dan kodrat
alam adalah suatu pertanda mujizat Tuhan kepadanya. Tapi
anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang supaya
percaya kepada hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri
Yesus, sementara mengenai diri Muhammad mereka sudah
menjatuhkan hukuman sendiri. Padahal apa yang dilakukannya
tidak seberapa dan tidak lebih karena Muhammad memang
terlalu tinggi untuk dapat tunduk kepada undang-undang
masyarakat yang berlaku terhadap setiap orang besar,
terhadap raja-raja, kepala-kepala negara yang pada umumnya
sudah didahului oleh undang-undang dasar sehingga membuat
mereka tak dapat diganggu-gugat.
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka
itu dengan jawaban yang sudah tentu akan menjatuhkan semua
argumen misi-misi penginjil dan orang-orang Orientalis yang
juga mau ikut cara-cara mereka itu. Tetapi dalam hal ini
kita lalu memperkosa sejarah dan memperkosa kebesaran
Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang seperti yang
mereka gambarkan: orang yang pikirannya dipengaruhi oleh
hawa nafsu. Tak ada isterinya itu yang dikawininya hanya
karena ia terdorong oleh syahwat atau nafsu berahi saja.
Kalaupun ada beberapa penulis Muslim pada zaman-zaman
tertentu dengan sesuka hati berkata demikian dan
mengemukakan alasan itu kepada lawan-lawan Islam dengan niat
baik, soalnya ialah karena tradisi yang berlaku telah
membawa mereka kepada pengertian materi. Mereka ingin
menggambarkan Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar
dalam kehidupan hawa nafsu. Sudah tentu ini suatu
penggambaran yang salah sama sekali. Sejarah hidup Muhammad
sama sekali tak dapat menerima ini, dan seluruh hidup
pribadinya pun dengan sendirinya sudah menolak.
Ia kawin dengan Khadijah dalam usia duapuluh tiga tahun,
usia muda-remaja, dengan perawakan yang indah dan paras muka
yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu
Khadijah adalah tetap isteri satu-satunya, selama duapuluh
delapan tahun, sampai melampaui usia limapuluhan. Padahal
masalah poligami ialah masalah yang umum sekali di kalangan
masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas
kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain, dalam hal ia
dengan isterinya tidak beroleh anak laki-laki yang hidup,
sedang anak perempuan pada waktu itu dikubur hidup-hidup dan
yang dapat dianggap sebagai keturunan pengganti hanyalah
anak laki-laki.
(bersambung 2/3)
BAGIAN KETUJUH BELAS: ISTERI-ISTERI NABI (2/3)
Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama tujuh belas
tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu;
dan dalam pada itu pun sama sekali tak terlintas dalam
pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada
masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum
kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia
termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan
wanita-wanita yang pada waktu itu justeru wanita-wanita
belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan diri dan
memamerkan segala macam perhiasan, yang kemudian dilarang
oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita
lihat, sesudah lampau limapuluh tahun, mendadak sontak ia
berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bint
Jahsy - padahal waktu itu isterinya sudah lima orang
diantaranya Aisyah yang selalu dicintainya - tiba-tiba ia
tertarik sampai ia hanyut siang-malam memikirkannya. Juga
tidak wajar sekali apabila kita lihat, sesudah lampau
limapuluh tahun usianya, yang selama lima tahun sudah
beristerikan lebih dari tujuh orang, dan dalam tujuh tahun
sembilan orang isteri. Semuanya itu, motifnya hanya karena
dia terdorong oleh nafsu kepada wanita, sehingga ada
beberapa penulis Muslim - dan juga penulis-penulis Barat
mengikuti jejaknya - melukiskannya sedemikian rupa, demikian
merendahkan yang bagi seorang materialis sekalipun sudah
tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya dapat
mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih
selalu akan mengubah dunia sekali lagi, dan akan mengubah
jalannya roda sejarah sekali lagi.
Apabila ini suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan
jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan
Khadijah telah memberikan keturunan, laki-laki dan
perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia limapuluh tahun,
dan bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia
enampuluh tahun dan hanya dari yang dua orang ini sajalah
yang membawa keturunan. Padahal isteri-isteri itu ada yang
dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan melahirkan,
baik dari pihak suami atau pihak isteri, dan ada yang sudah
cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh tahun umurnya, dan
sebelum itu pun pernah pula punya anak. Bagaimana pula
gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan, suatu gejala
yang tidak tunduk kepada undang-undang yang biasa, yang
sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai manusia,
sudah tentu jiwa Muhammad cenderung sekali ingin beroleh
seorang putera, sekalipun - dalam kedudukannya sebagai nabi
dan rasul - dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh
umat Muslimin.
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta logikanya juga
menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi
penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami
Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya
beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah
Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam'a, janda
Sakran b. 'Amr b. 'Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang
menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik,
atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi
pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.
Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah isteri orang yang
termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk orang-orang yang
dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam
penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan
Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam
dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut
menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya
untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan
tempat setarap dengan Umm'l-Mu'minin, maka hal ini patut
sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.
Adapun Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua orang
pembantu dekatnya, Abu Bakr dan Umar. Segi inilah yang
membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu
dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri
mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman
dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada
mereka. Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta
kecintaan Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul
sesudah perkawinan, bukan ketika kawin. Gadis itu
dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan
tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan
dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia
sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal
ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar
yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya
sendiri sebagai saksi.
"Sungguh," kata Umar, "tatkala kami dalam zaman jahiliah,
wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan
memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak
kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam
suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau
berbuat begini atau begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa
engkau disini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!" Dia
pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau
ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah s.a.w.
sehingga ia gusar sepanjang hari." Kata Umar selanjutnya:
"Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha.
"Anakku," kataku kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah
s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!" Hafsha
menjawab: "Memang kami menentangnya." "Engkau harus tahu,"
kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta
kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh
kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya
sendiri dengan kecintaan Rasulullah s.a.w." Katanya lagi:
"Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan
kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."
Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah
atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena
suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali
masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang
pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan
Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu
mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah,
isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan
hidup sengsara dalam kemiskinan.
Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm
Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah isteri
'Ubaida bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah mati syahid,
gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal
karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia
diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya
pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah
itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya
isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu
Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam
perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali.
Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad
yang berhasil di kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah
dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud
itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya
terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang
kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil
mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan
setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.
Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia
sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Hanya dalam
pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri
yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.
Adakah sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis
itu masih akan mendakwakan, bahwa karena kecantikan Umm
Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya?
Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum
Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik,
lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia
akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya,
ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga,
sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima,
yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan
membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi
dan Rasul Allah. Di samping itu mereka semua memang sudah
menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang
miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang
sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang
kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas, apakah yang dapat
disimpulkan oleh penelitian sejarah yang murni? Yang dapat
disimpulkan ialah bahwa Muhammad menganjurkan orang
beristeri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara
demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa
Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Qur'an menyebutkan:
"Dan kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap
anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu
kuatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja
atau yang sudah ada menjadi milik kamu." (Qur'an, 4:3)
"Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap
wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu,
janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu
kamu biarkan dia terkatung-katung." (Qur'an, 4:129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah,
setelah Nabi kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk
membatasi jumlah isteri itu sampai empat orang, sementara
sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga
yang telah menggugurkan kata-kata orang: Muhammad
membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang
lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya
isteri satu dan menganjurkan demikian karena dikuatirkan
takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu
tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan
masyarakat yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan
yang mendesak perlunya kawin sampai empat dengan syarat
berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh yang
diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan
dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk,
panyakit menular berjangkit dan pemberontakan berkobar
merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah orang
memastikan, bahwa membatasi pada isteri satu itu lebih baik
dan poligami yang dibolehkan dengan jalan kekecualian itu?
Dapatkah orang-orang Eropa - pada waktu ini, setelah selesai
Perang Dunia - mengatakan bahwa sistem monogami itu sistem
yang paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah
mengatakan bahwa sistem itu tepat sekali dalam
undang-undang? Bukankah tirnbulnya kekacauan ekonomi dan
sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama
yang teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu
kerjasama yang kiranya sedikit banyak akan dapat membawa
keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak
membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada
ahli-ahli pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan
merencanakannya, dengan catatan selalu, bahwa bilamana
keadaan hidup sudah kembali biasa, maka yang paling baik
dapat menjamin kebahagiaan masyarakat ialah membatasi
laki-laki hanya pada satu isteri.
Sehubungan dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa
yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh
kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan
bermacam-macam tabir khayal sehingga ia dijadikan sebuah
cerita roman percintaan, sejarah yang sebenarnya dapat
mencatat, bahwa teladan yang diberikan oleh Muhammad dan
patut dibanggakan, dan sebagai contoh iman yang sempurna,
ialah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya:
Iman seseorang belum sempurna sebelum ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1 Dirinya telah
dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan suatu
hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala
adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia
menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai
bimbingan dan rahmat buat semesta alam.
Untuk menghapuskan semua cerita mereka yang kita baca itu
dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa Zainab bt.
Jahsy ini adalah puteri Umaima bt. Abd'l-Muttalib, bibi
Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan
dengan bantuannya pula. Maka dengan demikian ia sudah
seperti puterinya atau seperti adiknya sendiri. Ia sudah
mengenal Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau
tidak, sebelum ia dikawinkan dengan Zaid. Ia sudah
melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang
masih merangkak hingga menjelang gadis remaja dan dewasa,
dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah
segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa
dia pernah kerumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu
dilihatnya Zainab, ia terpesona sekali melihat begitu
cantik, sampai ia berkata: "Maha suci Tuhan, Yang telah
membalikkan hati manusia!" Atau juga ketika ia membuka pintu
rumah Zaid, kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar
Zainab, lalu dilihatnya wanita itu dengan gaunnya sedang
berbaring - seolah-olah seperti Madame Recamier - mendadak
sontak hatinya berubah. Lupa ia kepada Sauda, Aisyah,
Hafsha, Zainab bt. Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah
sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa dirinya
tidak pernah cemburu terhadap isteri-isteri Nabi seperti
terhadap Khadijah ketika disebut-sebut. Kalau perasaan cinta
itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan
melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk Zaid.
Dengan melihat hubungan Zainab dengan Muhammad ini serta
gambaran yang kita kemukakan di atas, maka segala macam
cerita khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat
dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai
dasar yang benar.
(bersambung 3/3)
BAGIAN KETUJUH BELAS: ISTERI-ISTERI NABI (3/3)
Dan apakah yang ialah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat
bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak bibinya itu buat
Zaid bekas budaknya. Abdullah b. Jahsy saudara Zainab
menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari suku
Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua ia
masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah
seorang budak belian yang dibeli oleh Khadijah lalu
dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap sebagai suatu
aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di
kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar
sekali. Memang tidak ada gadis-gadis kaum bangsawan yang
terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang
sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad justeru ingin
menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa
dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu.
Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih
tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
"Bahwa orang yang paling mulia di antara kamu dalam
pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa." (Qur'an,
49:13)
Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita lain
untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy,
sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena
telah meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga
Arab, menjadi sasaran buah mulut orang tentang dirinya,
suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga biarlah
Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang
menurut hukum adat dan tradisi Arab orang yang berhak
menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu, dia
juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban,
karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat
yang sudah dijadikan anaknya itu. Biarlah Muhammad
memperlihatkan desakannya itu supaya Zainab dan saudaranya
Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami. Dan
untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:
"Bagi laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah dan
RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, mereka tidak
boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan
barangsiapa tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka telah
melakukan kesesatan yang nyata sekali." (Qur'an, 33:36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan
Zainab saudaranya, selain harus tunduk menerima. "Kami
menerima, Rasulullah," kata mereka. Lalu Zaid dikawinkan
kepada Zainab setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan.
Dan sesudah Zainab menjadi isteri, ternyata ia tidak mudah
dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak
mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi
keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh
seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh
Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta
ijin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi
menjawabnya: "Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan.
Hendaklah engkau takut kepada Allah."
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab
serta sikapnya yang angkuh kepadanya itu. Lalu
diceraikannya.
Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya
hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan
asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan
masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung
kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum
waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu
hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara
seagama. Demikian firman Tuhan turun:
"Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi
anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu
saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan yang benar." (Qur'an, 33:4)
Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin dengan bekas
isteri bapa angkatnya, dan bapa boleh kawin dengan bekas
isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan
ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat membongkar
adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri
kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan
memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang
mampu melaksanakan ketentuan itu dengan jalan mengawini
Zainab setelah diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam
pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena
dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar
dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang dikehendaki
Tuhan dalam firmanNya:
"Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh
Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal
hanya Allah yang lebih patut kautakuti." (Qur'an, 33:37)
Akan tetapi Muhammad adalah suri-teladan dalam segala hal,
yang oleh Tuhan telah diperintahkan dan telah dibebankan
kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak
takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam hal
perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut kepada
manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada
Tuhan dalam melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia
kawin saja dengan Zainab supaya menjadi teladan akan apa
yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang sudah
ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak angkat itu. Dalam
hal inilah firman Tuhan itu turun:
"Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami
kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi
alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak
mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah
itu mesti dilaksanakan." (Qur'an, 33:37)
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya sehubungan dengan
soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad.
Dia adalah puteri bibinya, sudah dilihatnya dan sudah
diketahuinya sampai berapa jauh kecantikannya sebelum
dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula yang melamarnya buat
Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid,
karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal.
Sungguhpun begitu dari pihak Zainab sendiri, sesuai dengan
ketentuan hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai
isteri Zaid anak angkatnya dari segi lain, Zainab
menghubungi dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri
dan juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu. Semua
ketentuan hukum itu sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi
dengan peristiwa perkawinan Zaid dengan Zainab serta
kemudian perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia
sesudah itu. Semua ketentuan hukum ini, yang mengangkat
martabat orang yang dimerdekakan ke tingkat orang merdeka
yang terhormat, dan yang menghapuskan hak anak-anak angkat
dengan jalan praktek yang tidak dapat dikaburkan atau
ditafsir-tafsirkan lagi.
Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita yang
selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis dan oleh
misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Well,
Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah
hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah napsu misi penginjilan
yang secara terang-terangan, kadang cara misi penginjilan
atas nama ilmu pengetahuan. Adanya permusuhan lama terhadap
Islam adalah permusuhan yang sudah berurat berakar dalam
jiwa mereka, sejak terjadinya serentetan perang Salib
dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua dalam menulis,
yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya perkawinan
Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai
nmemperkosa sejarah, mereka mencari cerita-cerita yang
paling lemah sekalipun asal dapat dimasukkan dan
dihubung-hubungkan kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu memang benar, tentu
saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan,
bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa
sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas
hukum alam, diatas ketentuan-ketentuan masyarakat yang
berlaku. Ada yang karena kelahirannya, ada pula yang dalam
masa kehidupannya, tapi itu tidak sampai mendiskreditkan
kebesaran mereka. Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan
ketentuan-ketentuan masyarakat yang sebaik-baiknya dengan
wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas perintah Tuhan, yang
dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai
teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki
oleh misi-misi penginjil itu supaya ia menceraikan
isteri-isterinya dan jangan lebih dari empat orang saja
seperti yang kemudian disyariatkan kepada kaum Muslimin,
setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?
Adakah juga pada waktu itu ia akan selamat dari kritik
mereka? Sebenarnya hubungan Muhammad dengan isteri-isterinya
itu adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung,
seperti sudah kita lihat seperlunya dalam keterangan Umar
bin'l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan contoh semacam
itu akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini.
Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa
belum ada orang yang dapat menghormati wanita seperti yang
pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang yang dapat
mengangkat martabat wanita ketempat yang layak seperti yang
dilakukan oleh Muhammad itu.
Catatan kaki:
1 Harfiah: Seseorang dari kamu tidak beriman sebelum ia
menyukai buat saudaranya apa yang disukai buat dirinya
sendiri. Terjemahan di atas didasarkan kepada komentar
Nuruddin as-Sindi sebagai anotasi pada Shahih Al-Bukhari
1/12 (A)
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan