Rabu, 4 Mei 2011

SIRAH SAHABAT2 DUA

Habib Bin Zaid

Simbol Pengorbanan dan Cinta


Pada peristiwa Baiat Aqabah ke-2, yang beberapa kali telah saya sebutkan, 70 orang lelaki dan 2 orang perempuan dari Madinah telah berjanji setia kepada Rasulullah. Di antara 70 orang lelaki tersebut termasuklah Habib bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Ashim). Sedangkan 2 orang wanita itu adalah ibunya (Nusaibah binti Ka'b) dan makciknya.

Habib merupakan seorang mukmin yang sejati. Keimanan telah mendarah daging pada dirinya. Semenjak Nabi berhijrah ke Madinah, beliau tidak pernah tertinggal walaupun satu peperangan dan tidak pernah menolak tugas yang diberikan.

Pada suatu ketika, di selatan jazirah Arab muncul dua pembohong besar yang mengaku sebagai Nabi dan mengajak pada kesesatan. Seorang di Shan'a, iaiyu Aswad bin Ka'b aI-Ansi dan seorang lagi di Yamamah, iaitu Musailamah aI-Kadzdzab.

Keduanya menghasut para pengikutnya untuk memusuhi orang yang masih beriman kepada Nabi Muhammad saw serta utusannya yang datang untuk berdakwah kepada mereka. Mereka melecehkan kenabian dan menebar kerosakan dan kesesatan di muka bumi.

Pada suatu hari, Rasulullah didatangi seorang utusan Musailamah dengan membawa sepucuk surat yang berisi,

Kepada Muhammad utusan Allah,

Salam sejahtera untukmu,

Saya telah diangkat menjadi sekutumu dalam urusan kenabian. Karena itu, kami berhak memiliki separuh wilayah dan orang-orang Quraisy berhak memiliki separuh wilayah. Akan tetapi, orang-orang Quraisy melampaui batas.

Rasulullah memanggil salah seorang daripada sahabat yang boleh menulis, lalu menyuruhnya untuk menulis jawabannya,

Bismillahirrahmanirrahim,

Dari Muhammad Rasulullah saw,

Kepada Musailamah al-Kadzdzab (si pembohong)

Salam sejahtera bagi orang yang mahu mengikuti petunjuk. Sesungguhnya, bumi ini adalah milik Allah. Diwariskan kepada siapa yang dikehendaki dan kesudahan yang baik berada di pihak orang-orang yang bertakwa."

Kata-kata Rasulullah saw bagai cahaya pagi yang membuka aib si pembohang dari bani Hanifah itu. Ia telah keliru ketika menganggap kenabian seperti kerajaan, hingga menuntut separuh wilayah kekuasaan dan separuh jumlah penduduk.

Jawapan Rasulullah saw itu dibawa oleh utusan Musailamah dan diberikan kepada Musailamah. Membaca surat itu, Musailamah tidak menjadi insaf, tetapi semakin sesat dan menyesatkan.

Sang pembohong itu masih menyebarkan kebohongan dan kepalsuannya, gangguan dan hasutan terhadap orang-orang beriman semakin menjadi-jadi. Lalu, Rasulullah mengirimkan surat peringatan agar kebodohan itu dihentikan. Habib bin Zaid terpilih sebagai pengantar surat itu kepada Musailamah. Habib sangat gembira menerima tugas itu. la berharap Musailamah sedar sehingga secara automatik beliau mendapat pahala besar karena turut terlibat dalam menyedarkan Musailamah.

Habib tiba di tempat tujuan. la sampaikan surat itu kepada Musailamah.

Musailamah membaca dengan cermat. Namun, cahaya hidayah yang terpancar dari surat tersebut tidak mampu memberi kebaikan kepadanya, sehingga dia semakin hanyut dalam kesesatan dan kepalsuannya.

Kerana Musailamah tidak lebih dari seorang pembohong besar dan penipu ulung, maka sifat yang dimiliki hanyalah sifat sang pembohong dan penipu. Ia sama sekali tidak menghormati etika yang berlaku. Tanpa rasa malu, ia membunuh utusan penghantar surat, padahal membunuh utusan adalah tindakan tercela bagi bangsa Arab saat itu.

Sudah banyak pelajaran tentang kepahlawanan yang disuguhkan Islam, dan kali ini Islam ingin menambahkan satu judul lagi, Habib bin Zaid. Dialah teman sekaligus guru kita, agar benar-benar dihayati oleh seluruh manusia.

Musailamah sang pembohong itu mengumpulkan kaumnya pada hari yang telah ditentukan. Dia memanggil Habib bin Zaid yang penuh bekas siksaan para algojonya. Dengan siksaan itu, mereka berharap Zaid mengubah akan pendiriannya. Menurut penilaian Musailamah, Habib sudah menyerah dan tidak akan menolak jika diminta untuk mengakui kenabiannya di depan orang ramai. Dengan demikian, seakan-akan itu adalah mukjizat yang diberikan kepadanya, dan kaumnya yang selama ini ditipunya akan semakin tertipu.

Musailamah bertanya kepada Habib, ''Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?"

Habib menjawab, "Ya, aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah."

Wajah Musailamah langsung pucat.

Musailamah kembali bertanya, "Apakah kamu juga bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?"

Dengan mencibir, Habib menjawab, "Aku tidak mendengar."

Wajah Musailamah semakin merah padam. Rancangan jahatnya sama sekali gagal. Siksaan yang begitu berat tidak mengubah pendirian Habib. Dalam usaha untuk mempertontonkan mukjizat palsunya di depan umum, dia mendapat tamparan keras yang membuatnya tercampak kelembah kehinaan.

Musailamah menjadi terlalu marah.lalu ia perintahkan algojonya untuk membunuh Habib. Tubuh Habib dicincang sepotong demi sepotong. Namun bibir Habib tidak pernah lepas dari ucapan, "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah."

Seandainya waktu itu Habib menyelamatkan dirinya dengan berpura-pura mengikuti keinginan Musailamah, dengan tetap beri’tikad keimanan dalam hatinya, itu sama sekali tidak mengurangi kualiti keimanannya dan tidak menggugat keislamannya.

Akan tetapi, Habib adalah seorang lelaki yang turut serta dalam Bai’at Aqabah bersama ayah, ibu, saudara, dan makciknya. Sejak saat itu, ia sudah mengemban tanggung jawab bai’at dan keimanan secara sempuma, tanpa memikirkan nasib diri dan nyawanya.

Baginya, kesempatan ini adalah kesempatan terbaik untuk mencapai puncak tertinggi dari kehidupannya. la ingin merasakan nikmatnya ketegaran, kepahlawanan, pengorbanan, dan kesyahidan dalam mempertahankan kebenaran. Sebuah kemenangan yang lebih indah dari semua kemenangan duniawi.

Berita kesyahidan Habib akhirnya sampai kepada Rasulullah. Baginda tabah dalam menghadapi takdir Allah. Baginda telah melihat nasib sang pembohong itu, bahkan melihat tempat kematiannya.

Adapun Nusaibah binti Ka'ab, ibunda Habib, ketika mendengar berita kematian anaknya, menahan kemarahan cukup lama, lalu bersumpah menuntut bela. la bertekad menancapkan sendiri tombak dan pedang ke tubuh Musailamah.

Langit menjadi saksi kekecewaan, kesabaran dan ketabahan wanita ini. Sejak saat itu, ia bertekad untuk berada di samping vvanita itu untuk melaksanakan sumpahnya.

Waktu pun bergerak dengan cepat dan terjadilah pertempuran Yamamah.

Khalifah Abu Bakar menyiapkan pasukan besar yang akan dikirim ke Yamamah. Nusaibah turut serta dalam pasukan itu, kemudian turut berjuang di medan perang. Pedang di tangan kanannya dan tombak di tangan kirinya. Sedangkan bibirnya selalu meneriakkan, "Di mana musuh Allah, Musailamah?"

Tatkala Musailamah terbunuh dan pengikutnya berguguran bagai daun kering berjatuhan dari pepohonan, bendera Islam makin berkibar tinggi. Nusaibah yang badannya penuh luka dengan sebatab pedang dan tombak berdiri tegak di sana. Ia mengingat wajah anaknya tercinta. Ia seakan melihatnya memenuhi semua ruang dan waktu. Setiap kali ia memandang bendera kemenangan yang berkibar, ia melihat wajah anaknya ikut berkibar dan tersenyum penuh kemenangan.



'Imran Bin Hushain

Menyerupai Malaikat


Pada tahun terjadinya Perang Khaibar, beliau datang kepada Rasulullah saw untuk menyatakan keislamannya. Sejak beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan Rasulullah saw, mengucapkan syahadah dan bersumpah setia, maka tangan kanannya itu benar-benar dijaga kesuciannya. Beliau bersumpah tidak akan menggunakan tangan kanannya kecuali melakukan hal-hal yang baik. Inilah buktinya bahawa tokoh kita kali ini memiliki perasaan yang sangat halus.

Imran bin Hushain – semoga Allah meredhainya – merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud, kesalihan, pengorbanan, cinta, dan ketaatan kepada Allah. Walaupun kemudahan dan bimbingan yang diberikan Allah kepadanya sangat besar, beliau sering menangis sambil berkata, “Andai saja aku adalah debu yang beterbangan disapu angin...”

Hal ini kerana orang-orang seperti beliau takutkan Allah bukan kerana pernah melakukan dosa, atau kerana boleh dikatakan mereka tidak pernah melakukan dosa setelah memeluk Islam. Akan tetapi, mereka takut kepada Allah kerana mengetahui kebesaran dan keagunganNya selain menyedari ketidakmampuannya mensyukuri nikmat Allah walaupun mereka sering bersujud, ruku' serta beribadah.

Pada suatu hari, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ada apa dengan kami ini? Jika kami berada di sisimu, hati kami menjadi lembut. Kami sama sekali tidak menginginkan dunia. Kami seakan-akan melihat akhirat dengan mata kepala kami sendiri. Namun, ketika kami berpisah denganmu dan berkumpul dengan isteri, anak dan urusan dunia kami, kami menjadi lupa.”

Rasulullah menjawab, “Demi Allah yang nyawaku berada di tanganNya. Seandainya kalian selalu berada dalam keadaan seperti saat kalian berada di sisiku, pasti malaikat menjabat tangan kalian secara kasatmata. Akan tetapi, begitulah yang terjadi. Kadangkala iman itu turun dan naik.”

Imran bin Hushain mendengar ucapan itu. Semangatnya pun berapi-api. Seakan beliau bersumpah untuk mencapai tujuan, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Beliau tidak ingin keimanannya turun naik. Beliau ingin keimanannya selalu naik. Beliau ingin seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dan menyendiri dengan Allah, Tuhan semesta alam.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Imran dikirim oleh Khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk Bashrah dan membimbing mereka mendalami agama. Penduduk Bashrah beramai-ramai menyambutnya dengan mengharap barakah daripada kesalihan dan ketaqwaannya.

Hasan Basri dan Ibnu Sirin berkata, “Tidak seorangpun di antara sahabat-sahabat Rasul saw yang datang ke Bashrah, lebih dimuliakan daripada Imran bin Hushain.”

Imran tidak ingin ibadah dan kekhusyu'annya kepada Allah terganggu oleh sesuatu pun. Beliau tenggelam dalam ibadahnya hingga seolah-olah tidak menoleh sama sekali pada dunia tempatnya hidup dan bumi tempatnya berpijak. Ia seakan hidup dalam lingkungan malaikat. Berbincang dengan mereka dan saling berjabat tangan.

Ketika terjadi pertikaian sengit antara sesama kaum muslimin, antara kelompok Ali dengan kelompok Mu'awiyah, Imran tidak hanya bersikat neutral, namun lebih daripada itu. Beliau mengajak semua orang untuk tidak ikut dalam pertikaian tersebut dan lebih mengutamakan kedamaian. Beliau menyeru, “Aku lebih suka menggembala kambing di atas pergunungan hingga meninggal dunia daripada bergabung dengan salah satu kelompok, lalu melepaskan anak panah, baik mengenai sasaran ataupun tidak.”

Kepada setiap orang Islam yang dijumpainya, beliau berpesan, “Berdiam dirilah di masjid. Jika masjid pun diserang, berdiam dirilah di rumahmu. Jika rumahmu diserang, mengancam nyawamu atau hartamu, maka lawanlah.”

Keimanan Imran bin Hushain benar-benar membawa hasil yang gemilang. Beliau menderita sakit selama 30 tahun dan tidak pernah ada kata mengeluh keluar dari mulutnya. Selama kurun waktu yang panjang itu, beliau tetap rajin beribadah, baik dengan berdiri, duduk mahupun berbaring.

Ketika para sahabat dan orang-orang yang menjenguknya memberikan kata-kata penghibur, beliau tersenyum dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya, apa yang paling kusukai adalah apa yang disukai Allah.”

Wasiat yang beliau sampaikan kepada keluarganya, sesaat sebelum meninggal dunia adalah, “Jika kalian telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah haiwan dan adakanlah jamuan makan.” Memang sepatutnya mereka menyembelih haiwan dan mengadakan jamuan makan kerana kematian seorang mukmin seperti Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian,melainkan pesta besar dan meriah. Pesta untuk menyambut kedatangan ruh suci dan mulia yang sedang memasuki taman syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.



Bara' Bin Malik

Cita-citanya Hanya Satu: Allah dan Syurga


Beliau adalah salah seorang daripada dua orang saudara yang mengabdikan hidupnya untuk Allah. Mereka telah berjanji setia kepada Rasulullah. Janji yang semakin hari semakin subur dan berbunga. Saudara Bara’ adalah Anas bin Malik, seorang pelayan Rasulullah saw. Anas dibawa oleh ibunya, Ummu Sulaim menemui Rasulullah ketika usianya masih 10 tahun. Ibunya berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, Anas ini akan menjadi pelayanmu. Mohon doakan dia.” Rasulullah mencium kening Anas lalu berdoa untuknya. Doa yang membawanya berusia panjang dan penuh kebaikan dan keberkatan. Doa Rasulullah ketika itu, “Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya. Berkatilah dia dan masukkanlah dia ke syurga.”

Anas hidup sehingga usianya mencecah 99 tahun, dikurniakananak cucu yang banyak. Allah juga memberinya banyak rezeki berupa kebun buah-buahan yang luas dan subur yang dapat mengeluarkan hasil dua kali dalam setahun.

Bara’ juga memiliki catatan kehidupan yang luar biasa. Beliaulahlah seorang pemberani. Semboyannya, “Allah dan syurga.” Siapa saja yang melihatnya sedang bertempur mempertahankan agama Allah, sungguh akan melihat pemandangan yang mempesona yang luar biasa.

Ketika beliau bertempur melawan orang-orang kafir dengan pedangnya, beliau sama sekali bukan mencari kemenangan, meskipun kemenangan sangat penting bagi Islam pada masa itu. Namun, beliau mencari kematian sebagai syahid. Cita-citanya hanya satu, mati sebagai syahid di medan perang membela Islam yang benar. Kerana itu, beliau tidak pernah ketinggalan daripada menghadiri satu perang pun.

Beliau pernah sakit kemudian memandang satu per satu wajah orang yang menjenguknya dan berkata, “Mungkin kalian bimbang aku mati di tempat tidur. Tidak! Demi Allah! Dia tidak akan menghalangiku syahid.” Allah benar-benar mengabulkan harapannya. Beliau tidak mati di tempat tidurnya. Beliau gugur sebagai syahid dalam satu pertempuran yang peling dahsyat.

Kepahlawanan Bara’ di medan Perang Yamamah adalah sebahagian daripada karakternya. Karakter seorang pahlawan yang diwasiatkan oleh Khalifah Umar agar sekali-kali tidak diangkat sebagai panglima perang kerana keberaniannya yang luar biasa dan pencariannya terhadap mati syahid akan membahayakan pasukannya.

Bara’ berdiri di medan perang Yamamah ketika pasukan Islam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. Beliau berdiri dan merasakan detik-detik menunggu komando sangpanglima itu, bagaikan bertahun-tahun. Begitu lama. Dua matanya menyapu setiap sudut medan tempur, seakan mencari tempat yang sesuai utuk menemui syahid.

Ya…, selama ini selama ini tidak ada yang menyibukkannya kecuali cita-cita itu.

Satu demi satu bala tentera musuh, para penyeru kebatilan itu tersungkur di hujung pedangnya. Akhirnya, satu tebasan pedang musuh, berhasil merebahkannya, menghantarnya ke jalan pulang menuju singgahsana para syuhada yang telah mendahuluinya untuk merayakan kemenangan yang penuh dengan keberkatan.

Panglima Khalid melaungkan, “Allahu Akbar,” tanda perang dimulai. Barisan tentera Islam terus menyerbu ke arah musuh, Si perindu kematian, Bara’ pun tidak ketinggalan. Ia terus mengejar para pengikut si pembohong., Musailamah, dengan pedangnya, sehingga mereka berjatuhan laksana daun kering pada musim gugur.

Musailamah dengan pasukan yang banyak dan mempunyai persenjataan yang lengkap merupakan musuh yang berbahaya. Serangan pasukan Islam dihadapi dengan perlawanan yang gigih sehinga mereka hampir menguasai pertempuran itu. Bahkan mereka berhasil melakukan serangan balas.

Ketika itulah pasukan Islam dibayangi rasa takut. Para komandan pasukan melihat keadaan itu lalu, mereka terus menyeru kata-kata yang membangkitkan keteguhan dan keberanian. Janji-janji Allah kepada orang-orang yang mati syahid terus dikumandangkan. Begitu juga dengan janji akan datang pertolongan Allah. Bar’ termasuk yang memiliki suara nyaring dan merdu. “Berserulah wahai Bara’!”

“Wahai penduduk madinah, sekarang tidak ada Madinah bagi kalian. Yang ada hanya Allah dan syurga.” Ucapan yang menzahirkan semangat dan karakter seorang pembicaranya.

Ya, hanya ada Allah dan syurga. Kalau begitu, tidak boleh ada sesuatu yang lain dalam fikiran setiap tentera, bahkan kota Madinah sekalipun. Madinah yang merupakan pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggal isteri dan anak mereka. Kerana jika hari ini mereka kalah, Madinah pun akan turut hancur.

Kata-kata Bara’ menyelinap ke dalam diri setiap tentera laksana…? Laksana apa…? Tidak ada perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan pengaruh kata-kata itu kerana pengaruhnya sangat luar biasa. Tidak lama kemudian, arah pertempuran kembali seperti sediakala. Para tentera Islam terus menongkah laju, menyonsong kemenangan. Pada pihak lawan, pasukan kafir itu berjatuhan merasakan kekalahan.

Bara’ terlihat di sana bersama prajurit lain, di bawah naungan bendera Muhammad, bergerak menuju janji kemenangan yang tidak akan meleset. Pasukan kafir berlarian mundur, berlindung di sebuah taman luas berdinding tebal. Pertempuran berhenti dengan sendirinya. Semangat perang pasukan Islam pun menurun kerana merasakan telah mencapai kemenangan. Namun, jika dibiarkan seperti ini, jika dengan tiba-tiba pasukan kafir menyerang dari dalam kebun, maka arah pertempuran boleh berbalik. Melihat keadaan itu, Bara’ berteriak lantang, “Wahai saudara-saudaraku, angkat dan lemparkan aku ke dalam kebun.”

Bukankah telah dikatakan, Bara’ bukan mencari kemenangan sebaliknya mencari syahid. Dalam benaknya, inilah gambaran terbaik bagi akhir kehidupannya. Sekiranya beliau dilemparkan ke dalam kebun, beliau akan membuka pintu gerbang taman, dan pada waktu yang sama, pedang-pedang tentera musuh akan mencincang tubuhnya. Saat itulah pintu syurga terbuka untuk menyambut tetamu baru dan mulia.

Bara’ rupanya tidak menunggu diangkat dan dilemparkan. Beliau memanjat dinding dan melompat ke dalam taman, lalu membuka pintu taman sehingga pasukan Islam berhamburan masuk. Ternyata mimpi Bara’ tidak wujud. Tubuhnya tidak dicincang oleh pedang tentera musuh. Beliau tetap hidup.

“Carilah kematian, pasti kamu akan mendapat kehidupan.”

Pada tubuh pahlawan ini memang ada lebih daripada 80 luka pedang saat bertempur di perang Yamamah, sehingga beliau perlu dirawat selama 30 hari. Khlid sendiri yang merawatnya. Tetapi semua itu tidak menghantarkannya kepada cita-cita yang selama ini diimpikannya.

Bara’ tidak putus asa. Esok masih ada peperangan yang lain.

Beberapa hari sebelumnya, Rasulullah telah mengkhabarkan bahawa doa Bara’ pasti dikabulkan Allah. Maka tidak henti-henti beliau berdoa agar bertemu syahid. Beliau tidak boleh terburu-buru kerana ajal seseorang telah ditentukan.

Sekarang, Bara’ telah sembuh daripada luka-lukanya di perang Yamamah. Dan kini, beliau telah bergabung lagi bersama pasukan Islam yang berangkat untuk menghalau sumua kekuatan zalim dan menghantarkannya ke jurang kehancuran. Di sana sedang berdiri dua kerajaan raksasa dan zalim, Romawi dan Persia. Mereka menjajah negara yang ditakluki dan memperbudak penduduk pribumi.

Bara’ terus menebas pedangnya. Setiap tebasan pedangnya membangunkan satu dinding tebal dalam rangkaian membangun dunia baru yang berkembng pesat di bawah panji Islam.

Dalam satu pertempuran di Iraq, kekejaman di luar batasan dan cara keji kemanusiaan dilakukan pasukan Persia. Mereka menggunakan pengait-pengait besi yang diikat dengan rantai panas. Pengait-pengait itu dilemparkan dari dalam benteng dan mengenai sebahagian pasukan Islam.

Bara’, Anas dan beberapa tentera Islam ditugaskan membuka jalan menuju benteng itu. Tiba-tiba satu pengait menemui Anas. Anas sendiri tidak dapat melepaskan diri daripada pengait panas itu. Melihat keadaan itu, Bara’ segera menghampiri saudaranya yang hampir terseret ke arah dinding benteng. Bara’ memegang rantai panas dan dengan sekuat tenaga menebasnya dengan pedang, hingga akhirnya rantai itu putus. Anas pun selamat, dan ternyata tapak tangan Bara’ mengelupas. Semua dagingnya hangus terbakar, yang terlihat hanya tulang-tulang. Waktu yang lama diperlukan untuk menyembuhkan tapak tangannya.

Belum berakhirkah masa penantian si perindu syahid ini?

Sebentar lagi, ya…, sebentar lagi. Di sini. Di perang tustur, ketika pasukan Islam berhadapan dengan pasukan Persia. Di sinilah Bara’ merasakan kemenangannya.

Penduduk Ahwaz dan Persia telah berhimpun dalam satu pasukan tentera yang sangat besar hendak menyerang kaum muslimin. Khalifah Umar bin Khattab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah dan kepada Abu Musa Al-Asy’ari di Bashrah agar mengirimkan pasukan ke Ahwaz, kemudian beliau berpesan dalam surat tersebut:

“Angkatlah Suhail bin ‘Adi sebagai panglima pasukan dan hendaklah ia didampingi oleh Bara’ bin Malik. Maka berkumpullah pasukan dari Kufah dan Bashrah untuk menghadapi tentera Persia dalam satu pertempuran yang dahsyat dan mencengkam.

Dua bersaudara, Bara’ dan Anas ikut dalam pasukan itu.

Pertempuran dimulai dengan perangn satu lawan satu. Bara’ sendiri berhasil menewaskan 100 tentera Persia. Kemudian, kedua-dua pasukan saling menyerang. Pertempuran berlangsung sangat dahsyat dang mengerikan. Korban daripada kedua-dua belah pihak berguguran dan sangat banyak.

Beberapa orang sahabat mendekati Bara’ dan berkata, “Masih ingatkan engkau akan sabda Rasulullah tentang dirimu, ‘Betapa banyak orang yang berambut acak-acakan, berdebu dan hanya memiliki dua pakaian using. Mereka tidak dihargai orang, padahal seandainya dia memohon kepada Allah, pasti dikabulkan. (Bara’ termasuk di antara mereka.) Wahai Bara’, mohonlah kepada Allah agar menghancurkan mereka dan member kemenangan kepada kita.”

Bara’ menadah tangannya ke langit dengan rendah hati, lalu berdoa, “Ya Allah, kalahkanlah mereka. Berilah kami kemenangan. Dan pertemukan aku dengan NabiMu hari ini.” Beliau melemparkan pandangan kepada Anas yang sedang bertempur dekatnya seakan hendak mengucapkan selamat tinggal. Kaum muslimin bergerak menuju dengan gagah berani, keberanian yang dukar dicari tandingannya.

Pertempuran sengit ini berakhir dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin. Allahu Akbar!!!

Di antara deretan para syuhada’ perang, wajah Bara’ tersenyum merekah bak sinar pagi. Tangan kanannya menggenggam pasir yang berlumuran darahnya yang suci. Pedangnya terdampar di sebelahnya. Masih kukuh, tidak rosak sedikit pun.

Sang musafir sudah kembali ke kampong halamannya. Bersama rakan-rakan para syuhada’. Beliau telah menyelesaikan perjalanan panjangnya yang begitu indah dan luar biasa. Mereka mendengarkan seruan,

“Itulah syurga yang diwariskan untuk kalian sebagai balasan atas amal perbuatan kalian.” (al-A’raf:43)

Tiada ulasan: