Rabu, 4 Mei 2011

HIDUP SEKALI SAJA DIDUNIA INI....JANGAN BUAT SILAP DAN TERSASAR.....SERTA SESAT...NERAKALAH PADAHNYA...

Tafakkur


berfikir

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berfikir tentang Dzat Allah.” Hadis hasan soheh.

Hadis itu berbicara tentang salah satu ciri khas manusia yang membezakanya dari makhluk yang lain bahawa manusia adalah makhluk yang berfikir. Dengan kemampuan itulah manusia dapat meraih berbagai kemajuan, kelebihan dan kebaikan. Namun sejarah juga mencatatkan bahawa tidak sedikit manusia mengalami kesesatan dan kebinasaan akibat berfikir.

Kerana itu Rasulullah saw menghendaki kita kaum muslimin untuk memiliki budaya tafakur yang akan dapat membawa kita kepada kemajuan, kelebihan, kebaikan, ketaatan, keimanan dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Agar tujuan itu tercapai, Rasulullah saw memberi penjelasan agar kita tidak salah dalam bertafakur. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk bertafakur mengenai makhluk ciptaan Allah swt. Beliau melarang kita berfikir tentang Dzat Allah kerana kita tidak akan mampu menjangkaunya, dan berfikir tentang Dzat Alllah dapat membawa kita kepada kesesatan dan kebinasaan.

Fadhaailut Tafakkuri (Keutamaan Tafakur)

Setidaknya ada empat keutamaan tafakur, iaitu:

1. Allah memuji orang-orang yang sentiasa bertafakur dan berzikir dalam setiap situasi dan keadaan dengan menceritakannya secara khusus dalam Al-Qur’an di surah Ali Imran ayat 190-191. Sa’id Hawa dalam Al-Mustakhlash Fi Tazkiyatil Anfus halaman 93 berkata, “Dari ayat ini kita memahami bahawa kemampuan akal tidak akan wujud kecuali dengan perpaduan antara zikir dan fikir pada diri manusia. Apabila kita mengetahui bahawa kesempurnaan akal bererti kesempurnaan seorang manusia, maka kita dapat memahami peranan penting zikir dan fikir dalam menyucikan jiwa manusia. Oleh kerana itu, para ahli suluk yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah sentiasa memadukan antara zikir dan fikir di awal perjalanannya menuju Allah. Sebagai contoh, di saat bertafakur tentang berbagai hal, mereka mengiringinya dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil.”

2. Tafakur termasuk amalan yang terbaik dan dapat mengungguli ibadah. Ada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berfikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.” Kenapa begitu? kerana, berfikir dapat memberi manfaat-manfaat yang tidak dapat diberi oleh suatu ibadah yang dilakukan selama setahun. Abu Darda’ seorang sahabat yang terkenal sangat abid pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, ia menjawab, “Tafakur.” Dengan tafakur seseorang dapat memahami sesuatu hingga hakikat, dan mengerti manfaat dari yang membahayakan. Dengan tafakur, kita dapat melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya syaitan dan menyedari pujuk rayu duniawi.

3. Tafakur dapat membawa kita kepada kemuliaan dunia dan akhirat. Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa menghendaki kemuliaan akhirat, maka hendaklah ia memperbanyakkan tafakur.” Hatim menambahkan, “Dengan merenung perumpamaan, bertambahlah ilmu pengetahuan; dengan mengingati nikmat Allah, bertambahlah kecintaan kepadaNya; dan dengan bertafakur, bertambahlah ketakwaan kepadaNya.” Imam Syafi’i menegaskan, “Milikilah kepandaian berbicara dengan banyak berdiam, dan milikilah kepandaian dalam mengambil keputusan dengan berfikir.” (lihat Mau’idhatul Mu’minin)

4. Tafakur adalah pangkal segala kebaikan. Ibnul Qayyim berkata, “Berfikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan yang terjadi pada hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan. Jadi, berfikir adalah asas dan kunci semua kebaikan. Hal ini dapat menunjukkan kepadamu keutamaan dan kemuliaan tafakur, dan bahawasanya tafakur termasuk amalan hati yang paling utama dan bermanfaat sampai-sampai dikatakan, ‘Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun’. Tafakur dapat mengubah dari kelalaian menuju kesedaran dan dari hal-hal yang dibenci Allah menuju hal-hal yang dicintaiNya, dari cita-cita serakah menuju zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia menuju keluasan akhirat, dari kesempitan kejahilan menuju bentangan ilmu pengetahuan, dari penyakit syahwat dan cinta kepada dunia menuju kesembuhan rohani dan pendekatan diri kepada Allah, dari bencana buta, tuli dan bisu menuju nikmat penglihatan, pendengaran dan pemahaman tentang Allah dan dari berbagai penyakit syubhat menuju keyakinan yang menyejukkan hati dan keimanan yang menentramkan.” (Miftah Daris Sa’adah: 226).

Nataaijut Tafakkuri (Buah Tafakur)

1. Kita akan mengetahui hikmah dan tujuan penciptaan semua makhluk di langit dan bumi sehingga menambah keimanan dan rasa syukur.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar engkar akan Pertemuan dengan Tuhannya. [Ar-Ruum, 8]

2. Kita dapat membezakan mana yang bermanfaat sehingga bersemangat untuk meraihnya, mana yang berbahaya hingga berusaha mengindarinya.

"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir." (Al-Baqarah: 219)

3. Kita dapat memiliki keyakinan yang kuat mengenai sesuatu, dan menghindari diri dari sikap ikut-ikutan terhadap pandangan yang berkembang.

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. (Saba: 46)

4. Kita dapat memperhatikan hak-hak diri kita untuk mendapatkan kebaikan, sehingga tidak hanya berusaha memperbaiki orang lain dan lupa pada diri sendiri.

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berfikir? (Al-Baqarah: 44)

5. Kita dapat memahami bahawa akhirat itu lebih utama, dan dunia hanya sarana untuk membangun kebahagiaan akhirat.

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul), dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109)

Dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya? (Al-Qashash: 60). [1130] Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.

6. Kita dapat menghindari diri dari kebinasaan yang pernah menimpa orang-orang sebelum kita.

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)

7. Dapat menghindari diri dari siksa neraka kerana memahami dan mengamalkan ajaran agama dan meninggalkan kemaksiatan dan dosa-dosa, terutama syirik.

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Al-Mulk: 10)

Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka Apakah kamu tidak memahami? (Al-Anbiyaa’ : 67)

Dhawabithut Tafakkuri (Batasan Tafakur)

Imam Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahawa semua yang ada di alam semesta, selain Allah, adalah ciptaan dan karya Allah Ta’ala. Setiap atom dan partikel, apapun memiliki keajaiban dan keunikan yang menunjukkan kebijaksanaan, kekuasaan, dan keagungan Allah Ta’ala. Mendata semuanya adalah sesuatu yang mustahil, kerana seandainya lautan adalah tinta untuk menuliskan semua itu niscaya akan habis sebelum menuliskan satu per sepuluh saja dari semua ciptaan dan karya-Nya.”

Jadi, tafakur adalah ibadah yang bebas dan terlepas dari ikatan segala sesuatu kecuali satu ikatan saja, iaitu tafakur mengenai Dzat Allah.

Saat bertafakur sebenarnya seorang muslim sedang berusaha meningkatkan ketaatan, menghentikan kemaksiatan, menghancurkan sifat-sifat yang memusnahkan dan membiakkan sifat-sifat konstruktif yang ada dalam dirinya. Berhasil tidaknya hal itu dicapai sangat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:

  1. Kedalaman ilmu
  2. Konsentrasi fikiran
  3. Pengurusan emosional dan rasional
  4. Faktor lingkungan
  5. Tahap pengetahuan tentang objek tafakur
  6. Teladan dan pergaulan
  7. Esensi sesuatu
  8. Faktor kebiasaan

Kenapa Kita Dilarang Tafakkur Dzat Allah?

Setidaknya ada dua alasan, iaitu:

1. Kita tidak akan sanggup menjangkau kadar keagunganNya.

Allah swt. tidak terikat ruang dan waktu. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi Tuhanmu tidak ada malam, tidak pula siang. Cahaya seluruh langit dan bumi berasal dari cahaya wajah-Nya, dan Dia-lah cahaya langit dan bumi. Pada hari kiamat, ketika Allah datang untuk memberikan keputusan bumi akan tenang oleh cahayaNya.

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Asy-syuuraa: 11)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Al-An’am: 103)

Ibnu Abbas berkata, “Dzat Allah terhalang oleh tirai sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya terhalang oleh tirai karya-karya-Nya. Bagaimana kamu dapat membayangkan keindahan Dzat yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan dan diselimunti oleh sifat-sifat keagungan dan kebesaran.”

2. Kita akan terjerumus dalam kesesatan dan kebinasan.

Memberlakukan hukum Sang Khalik terhadap makhluk ini adalah sikap ghulluw (berlebihan). Itulah yang terjadi di kalangan kaum Rafidhah terhadap Ali r.a. Sebaliknya, memperlakukan hukum makhluk terhadap Sang Khalik ini sikap taqshir. Perbuatan ini dilakukan oleh aliran sesat musyabihhah yang mengatakan Allah memiliki wajah yang sama dengan makhluk, kaki yang sama dengan kaki makhluk, dan seterusnya. Semoga kita dapat terselamatkan dari kesesatan yang seperti ini. Amiin.

Dakwatuna.com

Jangan Lari Dari Ujian Hidup



bukit-uhud

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang redha, maka baginya keredhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”

Sabda Rasulullah saw ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.

Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.

Perlu Kacamata Positif

Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu bila pun tidak dapat mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit kerana himpitan ekonomi. Pahit kerana suami/istri selingkuh. Pahit kerana anak tidak soleh. Pahit kerana sakit yang menahun. Pahit kerana belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.

Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu difahami sebagai seksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak hairan jika satu per satu jatuh pada keputus asaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sambil berkata, “Allah tidak adil!”

Begitulah keadaan jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia faham betul bahawa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahawa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah swt. “Dan sungguh akan Kami berikan cubaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)

Hadis di atas mengkhabarkan bahawa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita redha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun redha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keredhaan Allah swt. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah saw. Mereka redho kepada Allah dan Allah pun redho kepada mereka.

Yang Manis Terasa Lebih Manis

Kepahitan hidup yang diujikan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, iaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cubaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika melarat, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.

Kehilangan, kegagalan, tiada daya memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahawa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahawa kejayaan yang dapat diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.

Itulah salah satu rahsia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)

Begitulah kita diajarkan oleh Allah swt. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal erti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis kerana tidak pernah merasakan pahit.

Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak baik. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan dapat berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.

Bersama Kesukaran Selalu Ada Kemudahan

Hadis di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak sikit orang yang menutup nalar sihatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah hirisan pisau yang memotong saraf berfikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.

Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu kestabilan hati. Hati yang dalam keadaan jatuh di titik nadir, akan berdampak pada voltan getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya memerlukan pelampiasan. Bentuk boleh jadi kemarahan dan berburuk sangka. Di hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cubaan yang diberikan Allah swt. dan marah kepada Allah swt. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah swt.

Kerana itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cubaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita dapat memaknai hadits singkat Rasulullah saw. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)

Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cubaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahawa sesudah kesulitan ada kemudahan. Setelah hujan akan muncul pelangi. Itu janji Allah swt. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Kerana sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Jadi, jangan lari dari ujian hidup!


Tiga Langkah Menjadi Manusia Terbaik


Terdapat hadith ringkas tetapi sangat sangat maknanya. Ia dikutip dalam buku Al-Jami'ush Shaghir yang ditulis Imam Suyuthi. Hadithnya berbunyi, "Khairun naasi anfa'uhum linnaas." Terjemahan: Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak manfaat pada orang lain.

Darjat hadith ini menurut Imam Suyuthi tergolong dalam hadith hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Adalah terbukti bahawa manusia itu makhluk sosial. Tiada yang akan membantah. Tidak ada seorang pun yang boleh hidup sendiri. Semua saling bergantungan. Saling memerlukan.

Kerena saling memerlukan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi pertolongan dan ada yang menerima pertolongan. Si pemberi pertolongan mendapat imbalan dan penerima pertolongan mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat sedikit, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku tidak baik. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang tidak elok dan melanggar hak orang lain.

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridha dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan memeras, bahkan dengan kekerasan.

Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tiada kepentingan peribadi.

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, kerena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw pernah bersabda yang bunyinya seperti ini: orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?

Alasan kedua, kerena ia melakukan amal yang terbaik. Kaedah usul fiqh menyebutkan bahawa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat berbanding yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu boleh menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Kerena itu tidak hairan jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhal untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat sukar mendapatkann air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah tua dan tidak ada yang akan menjaga, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Ketiga, kerena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu keperluannya, maka itu lebih aku cintai daripada I'tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa keluh kesah, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.

Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayyit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Kerena itu di dalam surah At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baik amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahawa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.

Untuk menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa perkara dalam diri kita. Pertama, tingkatkan darjat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa keluh-kesah adalah amal yang hanya mengharap ridha kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt sahaja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan boleh beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.

Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk boleh memberi manfaat yang banyak kepada orang lain, kita harus mengikis habis sifat ego dan rasa serakah terhadap material dari diri kita. Allah swt memberi contoh kaum Anshar. Lihat surah Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka perlukan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah cukup secara finansial, tidak terdetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahawa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibahagikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibahagikan. Itulah milik kita yang hakiki kerena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibahagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk kerena waktu, hilang kerena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tidak hairan jika dalam sejarah kita melihat bahawa para sahabat dan salafussaleh mudah saja menginfakkan wang yang mereka miliki. Sampai-sampai tidak terfikir untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa keluh-kesah kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahawa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.

Kelima, untuk boleh memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, fikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita boleh memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita boleh mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita boleh membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosial, dengan begitu kita boleh hadir untuk orang-orang di sekitar kita.

Mudah-mudahan yang sedikit ini boleh memberi inspirasi.

Tiada ulasan: