Rabu, 4 Mei 2011

HEBAT MANALAH MANUSIA...BAGUS MANA PUN MATI...PASTU DIBANGKITKAN....KEMUDIAN DIHISAB AMALAN...PASTU TERIMA HABUAN...SYURGA ATAU NERAKA

Allah Itu Dekat


allahdekat

“Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)

Ayat ini walaupun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah: 187), namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf. Kerana setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan suatu kesatuan (wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antara satu ayat dengan yang lainnya, baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti mukjizat Al-Qur’an.

Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergi, kedekatan yang aplikatif, bukan kedekatan yang hampa dan kosong, kerana kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal solih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motivasi terbesar yang memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan total.

Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat dilihat dari empat hal berikut ini: Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’a dalam erti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti yang diisyaratkan oleh ayat ini. Kerananya Rasulullah saw sendiri menjamin dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Keadaan ruhiyah seorang hamba di bulan Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah yang juga bererti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan tersebut. Dalam kitab Al-Ma’arif As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan keskhusyukan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang terbaik hadir bersama dengan ketaatan dan kepatuhannya dengan perintah Allah swt.

Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, bila dan dimanapun mereka berada. Namun kedekatan Allah dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan indikasi yang menonjol bahawa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih kuat dengan berbagai amal kesolehan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat lagi dengan Rabbnya. Padahal dalam sebuah hadis qudsi Allah memberikan jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”. (Muttafaqun Alaih)

Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal soleh yang mereka lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu dengan ‘jaminan amal soleh yang mereka lakukan’. Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt. Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup doa yang sedikit jika diiringi dengan kebaikan dan ketaatan seperti halnya garam yang sedikit cukup untuk kelazatan makanan”.

Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti ‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya menghampakan harapan Tuhan mereka. Kerananya rangkaian ayat-ayat puasa diawali dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”. Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu besar harapannya agar sentiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini, menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.

Demikian pembacaan terhadap satu ayat yang disisipkan dalam rangkaian ayat-ayat puasa. Tentu tidak semata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa. Namun lebih dari itu, terdapat korelasi dan hikmah yang patut diungkap untuk memperkaya pemaknaan terhadap Ramadhan yang terus akan mendatangi kita setiap tahun. Kerana pemaknaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat puasa akan turut mewarnai aktiviti Ramadhan kita yang berdampak pada peningkatan kualiti keimanan kita dari tahun ke tahun. Saatnya momentum special kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya di bulan Ramadhan dioptimal dengan doa yang diiringi dengan amal soleh dan ketaatan kepadaNya.


Mereka Hanya Tahu Sedikit Tentang Dunia


وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

"(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7)

Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Makkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, iaitu kehidupan dunia. Sehingga, sesiapa yang bersikap demikian, tidaklah berbeza dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia hanya terbatas untuk mencari kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, kerana pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahawa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat partial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, iaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya sahaja, tidak tentang ujian, tanggungjawab dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang membawa kepada balasan baik di akhirat kelak.

Pemahaman seperti ini secara bahasa dapat dibenarkan seperti yang diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari bahawa kata يَعْلَمُونَ adalah badal dari kata لا يعلمون sehingga keduanya bermakna satu, iaitu kebodohan dan ketidaktahuan. Demikian juga kata zahir dalam ayat ini mengisyaratkan bahawa dunia harus difahami dengan dua dimensinya secara komprehensif, iaitu dimensi lahir mahupun dimensi batin. Dimensi lahir terbatas pada kesenangan dan kenikmatan dunia, sedangkan dimensi batin adalah esensi dunia sebagai tempat beramal menuju kebahagiaan hidup yang sesungguhnya di akhirat kelak. Kata ظَاهِرًا yang disebut dalam bentuk nakirah ‘indifinitive’ menunjukkan bahawa pemahaman mereka terhadap dunia pun masih partial, tidak menyeluruh, apalagi tentang kehidupan pasca kehidupan dunia.

Kecaman Allah terhadap orang kafir – kerana sikap mereka yang melulu hanya mengurus dunia– tidak berarti bahawa urusan dunia tidak mendapatkan tempat perhatian yang sewajarnya. Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh Allah adalah kerana pengetahuan mereka yang sempit, terpecah dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai bahagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam erti tidak memberi perhatian dan tidak peduli tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal soleh sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka. Dalam sebuah syair Arab disebutkan tentang konseps kebodohan dalam terminologi agama:

ومن البليّة أن ترى لك صاحباً في صورة الرجل السميع المبصر

فطنٍ بكل مصيبة في ماله وإذا يصاب بدينه لم يشعر

Dan dari kebodohan itu adalah kamu melihat seorang kawan seakan ia seorang yang mendengar dan melihat Ia sangat faham tentang musibah yang menimpa hartanya, namun sangat disayangkan ia sama sekali tidak sedar tentang musibah yang menimpa agamanya.

Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Kerana keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan sentiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan akhirat kerana kelengahan terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran kebendaan. Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan. Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan dan parameter yang benar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat, pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah menegaskan,

Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19).

Oleh kerananya, Allah swt. menegaskan di ayat berikutnya tentang dua kelompok manusia, iaitu penghuni syurga dan dan penghuni neraka sebagai perumpamaan bagi mereka yang hanya memperhatikan kehidupan dunia dengan mereka yang memiliki orientasi akhirat yang benar, dan itulah hakikat pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan ini.

Sikap melalaikan urusan akhirat kerana didominasi oleh perhatian yang besar tentang kesenangan dunia merupakan di antara ciri orang-orang kafir yang dikecam oleh Allah swt. Tentu penyebutan sifat mereka di dalam Al-Qur’an merupakan bahan pelajaran yang berharga bagi orang yang beriman agar tidak memiliki sikap seperti mereka. Kerana jika tidak, tidaklah dikatakan orang yang beriman apabila hanya mementingkan urusan dunia dengan tidak memiliki kepedulian akan persiapan yang matang untuk kehidupan akhirat yang lebih kekal. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah (tidak beramal).”

Demikian pelajaran yang berharga tentang gambaran orang-orang kafir yang harus menjadi pembeza dengan orang yang beriman. Kehidupan dunia ini harus mendapat perhatian sewajarnya sesuai dengan tuntunan Allah swt., kerana kehidupan dunia dapat menjadi potret akan keadaan kehidupan seseorang di akhirat kelak. Jika akhir kehidupan dunianya baik, maka begitulah kehidupan yang akan dijalaninya di akhirat kelak. Namun jika penuh dengan dosa dan kemaksiatan, maka tentu hukuman siksa dan azab menjadi makanan yang tidak akan berhenti selama-lamanya di akhirat kelak. Begitu juga, kehidupan dunia harus difahami secara utuh, terutama berhubungan dengan tugas dan tanggungjawab kemanusiaan, kerana Allah menciptakan manusia tidak sia-sia. Maka, hidup di dunia ini tidak boleh disia-siakan dengan melulu mengurus kesenangan dan kenikmatannya!


Menjaga Kepercayaan


kepercayaan1-didin

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Al-Anfal: 27)

Ayat ini menyebutkan prioriti tingkatan amanah yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang beriman; amanah Allah, amanah Rasul-Nya dan amanah antara sesama orang beriman.

Yang menarik dari redaksi ayat ini adalah bahawa perintah menjaga amanah langsung menyebutkan lawan dari amanah yaitu khianat. Sehingga kata kunci dari ayat ini lebih tertuju kepada larangan mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.

Secara redaksi juga, ayat ini tidak menyertakan kata (لا) pada amanat manusia seperti yang tersebut pada amanat Allah dan Rasul-Nya menurut Ar-Razi bahawa ini merupakan jawapan atas pengabaian amanat Allah dan Rasul-Nya. Ertinya, jika kita mengkhianati amanat Allah dan Rasul-Nya maka kita bererti telah mengkhianati amanat di antara kita sendiri. Dalam kata lain, menjaga kepercayaan Allah dan Rasul-Nya merupakan benteng yang paling kukuh agar seseorang mampu menjaga kepercayaan sesamanya.

Lebih ketara lagi bahawa ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang yang beriman yang seharusnya menjadi contoh bagi umat yang lain dalam hal menjaga kepercayaan. Karena Rasul sendiri mengisyaratkan dalam haditsnya bahawa keimananan seseorang masih perlu dibuktikan dengan ujian menjaga kepercayaan. Bahkan seseorang dicop tidak beriman manakala tidak mampu menjaga amanat. Rasulullah saw. bersabda:

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَه

“Tidak ada iman bagi yang tidak ada amanat padanya (menjaga amanat) dan tidak ada agama bagi yang tidak ada janjinya baginya (memenuhi janji).” (H.R. Imam Ahmad)

Bahkan menurut kesaksian Anas bin Malik ra. sebagai perawi hadits ini bahawa Rasulullah tidak pernah berkhutbah melainkan menyertakan hadits tentang ketiadaan iman bagi yang tidak menjalankan amanat.

Pengkhianatan amanat dalam beragam bentuknya merupakan hal yang terlarang dan sangat dibenci oleh siapapun. Menurut Zamakhsyari, khianat secara bahasa bererti An-Nuqshan (kurang), sedangkan anonimnya amanat diertikan dengan At-Tamam (sempurna). Ini bererti segala bentuk amanat agar tidak termasuk mengkhianatinya haruslah dilaksanakan dengan sempurna dan sesuai dengan tuntunan dan tuntutan sang pemberi amanat. Jika dilaksanakan dengan sekadarnya, cenderung asal-asalan dan tidak bersungguh-sungguh meskipun ia telah menjalankannya, maka tetap saja berlaku istilah khianat untuknya berdasarkan makna bahasa yang cukup tajam ini.

Pengurutan amanat yang Allah sebutkan di ayat ini bukan sekadar untuk memenuhi syarat keindahan bahasa dan redaksi Al-Qur’an, lebih dari itu tentu, pengurutan ini memberi penjelasan bahawa amanat Allah dan Rasul-Nya adalah yang paling tinggi, besar dan berat tanggungjawab dan kesannya. Dapat dikatakan seseorang yang mampu menjaga amanat Allah dan Rasul-Nya, pastinya ia akan mampu juga menjaga kepercayaan sesamanya. Namun jika tidak, tentu sangat berat baginya untuk melaksanakan kepercayaan manusia karena kepercayaan Allah dan Rasul-Nya sendiri yang lebih tinggi nilai dan kepentingannya sangat mudah ia abaikan.

Dalam konteks menjaga kepercayaan Allah, Ibnu Katsir memaknainya dengan menjaga kewajipan yang diperintahkannya dengan sebaik-baiknya. Seseorang yang mampu menjaga shalatnya, puasanya, zakatnya, baktinya dan ibadah yang lainnya maka ia tentu akan dipercaya untuk menjalankan amanat yang lainnya. Namun jika seseorang tidak mampu menjalankan kepercayaan pada satu jenis ibadah, jangan harap ia akan mendapat kepercayaan Allah untuk menjalankan ibadah yang lainnya. Dengan demikian, berusaha menjalankan seluruh kewajiban Allah dengan sebaik-baiknya tanpa terkecuali merupakan bukti bahawa ia layak mendapat kepercayaan Allah pada seluruh aturan dan syariat-Nya. Dan berbahagialah ia dengan penghargaan tersebut. Namun jika sebaliknya, maka tidak akan mungkin Allah akan memberikan kepercayaan untuk menjalankan syariat-Nya di muka bumi ini.

Menjaga kepercayaan Rasul adalah dengan menjalankan sunnah-sunnahnya secara komprehensif dalam seluruh kehidupan nyata Rasulullah; dalam beribadah, dalam berdakwah, menjaga amanat keluarga, masyarakat dan menjalankan amanat kepemimpinan umat. Seluruhnya akan menjadi barometer apakah kita termasuk yang mampu menjaga kepercayaan Rasulullah saw. pasca kewafatan baginda. Justru komprehensifnya kehidupan Rasul yang telah ditentukan oleh Allah adalah pertanda bahawa sunnahnya memang mencakupi seluruh kehidupan manusia, tidak dibatasi pada wilayah ibadah mahdhah dan sebagainya.

Bangsa yang majoriti muslim ini sedang diuji dengan ujian kepercayaan. Sejauh mana mereka lulus dan baik menjalankannya, akan semakin besar perlindungan dan rahmat Allah terhadap bangsa ini. Tentu masih terbuka bagi kita untuk terus mengintrospeksi dan mengevaluasi tingkat ‘kepercayaan’ kita di mata Allah, Rasul-Nya dan masyarakat secara umum. Sebelum terjadi hal yang lebih buruk lagi di bangsa ini, sebelum segalanya terjadi seperti yang diprediksikan oleh Rasulullah saw: “Jika amanat diabaikan maka tunggulah kehancurannya.” (H.R. Bukhari).

Sungguh setiap kita, sebagai apapun terutama sebagai orang yang beriman seharusnya senantiasa memperhatikan aspek kepercayaan ini dengan sepenuh hati sehingga keimanan kita benar-benar dapat dipercayai dan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Allahu a’lam

Diterjemah dari: http://www.dakwatuna.com/2010/menjaga-kepercayaan/

Tiada ulasan: