Rabu, 3 Oktober 2012

WANITA DAN PERMASALAHANNYA 4


BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN 

  (1/3)
Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain. Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya. Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang. Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi. Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya. Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat. JAWABAN Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu. Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah: Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya. Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2 Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain: "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60) Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya. "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31) Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik. Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat: "... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31) Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit. Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan. Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat? Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan. Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya? Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah. Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan - secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah. Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian. Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu. Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah: "Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12) Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4 Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai'at, Ummu Athiyah berkata: "Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'" Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan: "Seorang wanita menahan tangannya" Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka. Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan. Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, "Aku tidak berjabat dengan wanita." Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau. (Bagian 1/3, 2/3, 3/3) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN (2/3) 

Dr. Yusuf Qardhawi Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi." Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung. Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat Yubaayi'naka." Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan. Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."5 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil: 1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih." Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya. 2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya? 3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu: a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam: "Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran: 47) "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237) Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya .... b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah. Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut : Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima': (1) Diantaranya hadits Abu Hurairah: "Tangan, zinanya ialah menyentuh..." (2) Hadits Ibnu Abbas: "Barangkali engkau menyentuhnya...?" (3) Hadits lbnu Mas'ud: "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..."6 Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya: (4) Dari Aisyah, ia berkata: "Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ." (5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu." (6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."7 Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita). Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat. Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut: Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu. Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187) Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat. Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236). Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama. Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki."8 Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki." Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut." Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9 Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan. Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21) Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka." Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka." Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari: "Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. (Bagian 1/3, 2/3, 3/3) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN (3/3) 

Dr. Yusuf Qardhawi Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong."10 Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini. Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..." Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya. Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram." Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar ... Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau." Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata: "Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan." Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah." Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar. Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar. Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping." Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan." Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11 Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas? Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa. Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat). Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya. Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad. Wallahu a'lam. Catatan kaki: 1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155. 2 Ibid., 4: 156-157 3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.) 4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat." 5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih." 6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40) 7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135. 8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224. 9 Ibid. 10 Fathul Bari, juz 13. 11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional (Bagian 1/3, 2/3, 3/3) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X

 PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN 

Dr. Yusuf Qardhawi (1/3)

PERTANYAAN Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya) laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman. Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke masjid." Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita juga perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar, bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki, yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja, direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya. Pertanyaan kami, apakah setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara? Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan, pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada laki-laki? Wanita - sebagaimana laki-laki - punya agama yang melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani (an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita, sebagaimana laki-laki, juga punya gharizah atau keinginan yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah bis-su). Wanita dan laki-laki sama-sama punya setan yang dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk rayu mereka. Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang ketat untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam? Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan masalah ini, dan bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata si Zaid dan si Amr. Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya. JAWABAN Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan - ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama, umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan) dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam. Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita. Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya. Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan dengan istilah "solidaritas lubang biawak." Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat, terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas. Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui tatanan suatu masyarakat lain. Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita. Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik. Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan), muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan) laki-laki dengan perempuan. Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya, atau lainnya. Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin. Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam. Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana. Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda: "Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita" Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah "pintu wanita." (Bagian 1/3, 2/3, 3/3) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X  


PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN      Dr. Yusuf Qardhawi
                                                       (2/3)
 
Kaum wanita pada  zaman  Nabi  saw.  juga  biasa  menghadiri
shalat  Jum'at,  sehingga  salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf."  Hal  ini  karena  seringnya  mereka
mendengar  dari  lisan  Rasulullah  saw.  ketika  berkhutbah
Jum'at.
 
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat  Idain  (Hari  Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama  orang  dewasa  dan  anak-anak,
laki-laki  dan  perempuan,  di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.
 
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
 
"Kami diperintahkan  keluar  (untuk  menunaikan  shalat  dan
mendengarkan  khutbah)  pada  dua  hari  raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."
 
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
 
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar  kaum  wanita
pada  hari  raya  Fitri  dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid,  dan  gadis-gadis  pingitan.
Adapun   wanita-wanita   yang   sedang  haid,  mereka  tidak
mengerjakan  shalat,  melainkan  mendengarkan  nasihat   dan
dakwah  bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya  Rasulullah  salah  seorang  diantara
kami  tidak  mempunyai  jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
 
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam  di  semua
negara   Islam,  kecuali  yang  belakangan  digerakkan  oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan  sebagian  sunnah-sunnah  Nabi  saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf  pada  sepuluh  hari
terakhir  bulan  Ramadhan  dan  sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.
 
Kaum  wanita  juga  menghadiri   pengajian-pengajian   untuk
mendapatkan  ilmu  bersama  kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka  biasa  menanyakan  beberapa  persoalan  agama   yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi  oleh  rasa
malu  untuk  memahami  agamanya,  seperti menanyakan masalah
jinabat,  mimpi  mengeluarkan  sperma,  mandi  junub,  haid,
istihadhah, dan sebagainya.
 
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta   kepada   Rasulullah  saw.  agar  menyediakan  hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai  kaum  laki-laki.  Hal
ini  mereka  nyatakan  terus  terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah,  kami  dikalahkan  kaum  laki-laki  untuk
bertemu  denganmu,  karena  itu  sediakanlah untuk kami hari
tertentu  untuk  bertemu  denganmu."  Lalu  Rasulullah  saw.
menyediakan  untuk  mereka  suatu hari tertentu guna bertemu
dengan   mereka,   mengajar   mereka,    dan    menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2
 
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para  mujahid,  sesuai
dengan  kemampuan  mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
 
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali,  saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
 
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
 
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud  sangat
cekatan  membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
 
Aisyah r.a.   yang waktu itu sedang  berusia  belasan  tahun
menepis   anggapan   orang-orang   yang   mengatakan   bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam  perang  itu  terbatas  bagi
mereka  yang  telah  lanjut  usia.  Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat  diperbuat  wanita-wanita  yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
 
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni  tepung,  mengobati  yang  sakit,
mengepang  rambut,  turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
 
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang  menceritakan  bahwa
sebagian  istri  para  sahabat  ada  yang  turut serta dalam
peperangan  Islam  dengan  memanggul  senjata,  ketika   ada
kesempatan   bagi   mereka.  Sudah  dikenal  bagaimana  yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah  binti  Ka'ab  dalam  perang
Uhud,  sehingga  Nabi  saw.  bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."
 
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu  perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
 
Imam  Muslim  meriwayatkan  dari  Anas,  anaknya  (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu  perang
Hunain,  maka  Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata,  "Wahai  Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya,  apabila  ada  salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan  badik  ini."  Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5
 
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
 
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang  tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar  dan
Hunain  saja  tetapi  mereka  juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh  guna  menyampaikan
risalah Islam.
 
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur  siang  di  sisi  Ummu
Haram  binti  Mulhan  -  bibi  Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram  bertanya,  "Mengapa  engkau
tertawa,  wahai  Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku  berperang  fi
sabilillah.  Mereka  menyeberangi  lautan  seperti raja-raja
naik kendaraan."  Ummu  Haram  berkata,  "Wahai  Rasulullah,
doakanlah  kepada  Allah  agar  Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6
 
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut  menyeberangi  lautan  pada
zaman  Utsman  bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari  kendaraannya  (setelah  menyeberang)
disana,  lalu  meninggal  dan  dikubur  di  negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
 
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga  turut  serta
berdakwah:   menyuruh   berbuat  ma'ruf  dan  mencegah  dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
 
"Dan  orang-orang  yang  beriman,  laki-laki  dan  perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)  yang  ma'ruf,  mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )
 
Diantara  peristiwa  yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar  bin  Khattab  yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas  kawin),  kemudian
Umar  secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu,  dan  Umar  keliru."  Kisah  ini
disebutkan   oleh   Ibnu   Katsir  dalam  menafsirkan  surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya  bagus."  Pada  masa
pemerintahannya,  Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
 
Orang yang mau  merenungkan  Al-Qur'an  dan  hadits  tentang
wanita  dalam  berbagai  masa  dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak  merasa  perlu  mengadakan
tabir  pembatas  yang  dipasang  oleh  sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.
 
Kita dapati Musa - ketika masih muda  dan  gagah  perkasa  -
bercakap-cakap  dengan  dua  orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib;  ed.).  Musa  bertanya  kepada
mereka  dan  mereka  pun  menjawabnya  dengan  tanpa  merasa
berdosa atau bersalah,  dan  dia  membantu  keduanya  dengan
sikap  sopan  dan  menjaga  diri.  Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut  datang  kepada  Musa
sebagai  utusan  ayahnya  untuk  memanggil Musa agar menemui
ayahnya.  Kemudian  salah  seorang  dari  kedua  gadis   itu
mengajukan   usul   kepada   ayahnya   agar  Musa  dijadikan
pembantunya,  karena  dia  seorang  yang  kuat   dan   dapat
dipercaya.
 
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:
 
"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai  disana  sekumpulan  orang  yang  sedang  meminumi
(ternaknya),  dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang  menghambat  (ternaknya).  Musa
berkata,  'Apakah  maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumi  (ternak
kami),   sebelum   penggembala-penggembala  itu  memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak  kami  adalah  orang  tua  yang
telah  lanjut  umurnya.'  Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia  kembali  ke  tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan  kepadaku.'
Kemudian  datanglah  kepada  Musa  salah  seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku  memanggil  kamu  agar  ia  memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi  bapaknya  (Syu'aib)  dan  menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah  kamu
takut.  Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu  berkata,  'Ya  bapakku,
ambillah  ia  sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang  kamu  ambil  untuk
bekerja  (pada  kita)  ialah  orang  yang  kuat  lagi  dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)
 
                                      (Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Dr. Yusuf Qardhawi                                     (3/3)
 
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya  dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
 
"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya.  Zakaria  berkata,  'Hai  Maryam,
dari  mana  kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.'  Sesungguhnya  Allah  memberi
rezeki  kepada  siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)
 
Lihat  pula  tentang  Ratu  Saba,  yang   mengajak   kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
 
"Berkata  dia  (Bilqis),  'Hai  para  pembesar,  berilah aku
pertimbangan  dalam  urusanku   (ini)   aku   tidak   pernah
memutuskan  sesuatu  persoalan  sebelum  kamu  berada  dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih  kekuatan  dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di  tanganmu;  maka
pertimbangkanlah   apa  yang  akan  kamu  perintahkan.'  Dia
berkata,  'Sesungguhnya  raja-raja  apabila  memasuki  suatu
negeri,   niscaya   mereka  membinasakannya  dan  menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah  yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)
 
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
 
"Dan  ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah   singgasanamu?'   Dia   menjawab,    'Seakan    akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah  diri.'
Dan   apa   yang   disembahnya   selama  ini  selain  Allah,
mencegahnya   (untuk   melahirkan   keislamannya),    karena
sesungguhnya  dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan  kepadanya,  'Masuk1ah  ke  dalam  istana.'   Maka
tatka1a  ia  melihat  lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua  betisnya.  Berkatalah
Sulaiman,  'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah  Bilqis,  'Ya  Tuhanku,  sesungguhnya  aku
telah  berbuat  zalim  terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama    Sulaiman    kepada    Allah,    Tuhan     semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)
 
Kita  tidak  boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada  zaman  sebelum
kita   (Islam)  sehingga  kita  tidak  perlu  mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang  disebutkan  dalam  Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran  sehat.  Karena  itu,  perkataan
yang  benar  mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an  dan  As-Sunnah
adalah  menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."
 
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
 
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi  petunjuk  oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)
 
Sesungguhnya  menahan  wanita  dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah  oleh  Al-Qur'an  -  pada  salah  satu  tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan  bentuk  hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu  -  ditentukan  bagi  wanita  muslimah  yang   melakukan
perzinaan.  Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
 
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah   ada   empat  orang  saksi  diantara  kamu  (yang
menyaksikannya).  Kemudian  apabila  mereka  telah   memberi
persaksian,  maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui  ajalnya,  atau  sampai  memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )
 
Setelah  itu  Allah  memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai  hak  Allah  Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali)  bagi  ghairu  muhshan  (laki-laki  atau
wanita  belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang  sudah  kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
 
Jadi,  bagaimana  mungkin  logika  Al-Qur'an  dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan  lurus  dan  tepat  jika  wanita
muslimah  yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan  hal  itu,  kita  seakan-akan
menjatuhkan  hukuman  kepadanya  selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.
 
KESIMPULAN
 
Dari penjelasan  di  atas,  kita  dapat  menyimpulkan  bahwa
pertemuan  antara  laki-laki  dengan  perempuan tidak haram,
melainkan  jaiz  (boleh).  Bahkan,  hal  itu   kadang-kadang
dituntut  apabila  bertujuan  untuk  kebaikan, seperti dalam
urusan  ilmu  yang  bermanfaat,   amal   saleh,   kebajikan,
perjuangan,  atau  lain-lain  yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
 
Namun,  kebolehan  itu  tidak  berarti   bahwa   batas-batas
diantara  keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap  diri  kita
sebagai  malaikat  yang  suci  yang  dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun  tidak  perlu  memindahkan  budaya
Barat  kepada  kita.  Yang  harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta  tolong-menolong  dalam  kebajikan
dan  takwa,  dalam  batas-batas  hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
 
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
   boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
   tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
   berfirman:
   
   "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
   'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
   kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
   mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
   mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
   'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
   kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)
   
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
   dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
   dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
   potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
   
   "... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
   yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
   menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
   
   Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
   biasa tampak ialah muka dan tangan.
   
   Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
   sopan:
   
   "... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
   dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
   59)
   
   Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
   baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
   baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
   sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
   yang melihatnya untuk menghormatinya.
   
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
   terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
   
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
   dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
   
   "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
   berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
   ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
   
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
   Allah:
   
   "... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
   perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)
   
   Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
   dengan firman-Nya:
   
   "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
   wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)
   
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
   seperti yang disebut dalam hadits:
   
   "(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
   menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
   (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
   
   Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
   yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
   jahiliah modern
   
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
   perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
   dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
   
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
   disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
   seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'
   
   Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
   Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
   
   "Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
   bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
   "Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
   
   Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
   menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
   berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
   
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
   bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
   wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
   melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
   dan mendidik anak-anak.
 
Catatan kaki:
 
1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
  di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
  Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
  memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
  dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
  seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
  lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
  rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
  Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
  Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
  dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
  (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
 
                                      (Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN (1/2) 

PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN [1]

 Dr. Yusuf Qardhawi Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du. Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa hakikat penting, antara lain: Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa: "... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..." (al-Isra': 15) Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri (pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam kandungannya. Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi. Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2 Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar seperdua puluh diat. Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat --disamping diat dan ghirrah-- yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman, jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati. Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan firman Allah: "... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92) Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak."3 Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT. Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata: "Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash, tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq." Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata: "Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar tebusan dengan hartanya sendiri."4 Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib. Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap janin, dan betapa ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang oleh hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman: "... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85) Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an: "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9) Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah usia kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120 hari). Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."5 Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari)6 bukan setelah berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.7 Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari kalangan salaf maupun khalaf.8 Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan anatomi mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang terhormat itu didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan 'illat (sebab hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat." Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari. Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat. Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini: Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung mengenai pengguguran kandungan --setelah membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl (mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak yang melarangnya. Beliau berkata: "Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan (anak)."9 Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari: "Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus)."10 Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu mereka memperbolehkan aborsi (pengguguran) sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan. Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, "Seorang wanita yang menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum jelas bentuknya."11 Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk. Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadi pembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu berusia seratus dua puluh hari. " ----------------------- (Bagian 1/2, 2/2) Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X 


PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN                    (2/2)
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN [1]
 
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal
bin  al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud
dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh,
sebab  jika  tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan
itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12
 
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui  oleh
ilmu pengetahuan sekarang.
 
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian
bahwa kebolehan menggugurkan kandungan  itu  tidak  bergantung
pada  izin  suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul
Mukhtar:   "Mereka   berkata,   'Diperbolehkan    menggugurkan
kandungan  sebelum  berusia  empat  bulan, meskipun tanpa izin
suami.'"
 
Namun demikian, diantara  ulama  Hanafiyah  ada  yang  menolak
hukum  yang  memperbolehkan  pengguguran  secara  mutlak  itu,
mereka berkata, "Saya tidak  mengatakan  halal,  karena  orang
yang  sedang  ihram  saja  apabila memecahkan telur buruan itu
harus  menggantinya,  karena  itulah   hukum   asal   mengenai
pembunuhan.  Kalau  orang  yang melakukan ihram saja dikenakan
hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang  yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur."
 
Diantara  mereka  ada  pula yang mengatakan makruh, karena air
(sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi  mempunyai
hukum  sebagai  manusia  hidup,  seperti halnya telur binatang
buruan  pada  waktu  ihram.  Karena  itu  ahli  tahqiq  mereka
berkata,  "Maka  kebolehan  menggugurkan  kandungan  itu harus
diartikan karena dalam keadaan udzur, atau  dengan  pengertian
bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13
 
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak
memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
 
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang  'azl
dan  mereka  anggap  hal  ini sebagai "pembunuhan terselubung"
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan
bahwa  'azl  berarti  menghalangi  sebab-sebab kehidupan untuk
menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang
menggugurkan  kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas
aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran
lebih  terlarang  lagi),  karena  sebab-sebab kehidupan disini
telah terjadi dengan bertemunya sperma  laki-laki  dengan  sel
telur  perempuan  dan  terjadinya  pembuahan  yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang  membawa  sifat-sifat  keturunan  yang
hanya Allah yang mengetahuinya.
 
Tetapi  ada  juga  ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena
alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau  anaknya  (yang
baru  dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga
untuk  kebaikan  pendidikan  anak-anak,  atau  lainnya.  Namun
demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan
menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun  tingkat
kejahatannya berbeda.
 
Diantara  yang  berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya
lihat beliau  --meskipun  beliau  memperbolehkan  'azl  dengan
alasan-alasan  yang  akurat menurut beliau-- membedakan dengan
jelas   antara   menghalangi   kehamilan   dengan   'azl   dan
menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
 
"Hal  ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan terselubung;  sebab  yang  demikian
(pengguguran  dan  pembunuhan  terselubung)  merupakan  tindak
kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan  wujud  itu
mempunyai  beberapa  tingkatan.  Tingkatan  yang pertama ialah
masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur  dengan
air   (mani)  perempuan  (ovum),  serta  siap  untuk  menerima
kehidupan.  Merusak  keadaan  ini   merupakan   suatu   tindak
kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka
kejahatan terhadapnya  lebih  buruk  lagi  tingkatannya.  Jika
telah  ditiupkan  ruh  padanya dan telah sempurna kejadiannya,
maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula.  Dan  sebagai
puncak  kejahatan  terhadapnya  ialah  membunuhnya  setelah ia
lahir dalam keadaan hidup."14
 
Perlu  diperhatikan,  bahwa   Imam   al-Ghazali   rahimahullah
menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud
manusia  yang  telah  ada,  tetapi  beliau   juga   menganggap
pertemuan   sperma   dengan   ovum   sebagai   "siap  menerima
kehidupan."
 
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau  tahu  apa
yang  kita  ketahui  sekarang  bahwa  kehidupan  telah terjadi
semenjak bertemunya sel  sperma  laki-laki  dengan  sel  telur
wanita?
 
Karena  itu  saya  katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah
haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai  dengan
perkembangan kehidupan janin."
 
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling
ringan, bahkan kadang-kadang  boleh  digugurkan  karena  udzur
yang  muktabar  (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas
empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin  kuat,
karena  itu  tidak  boleh digugurkan kecuali karena udzur yang
lebih kuat lagi menurut ukuran  yang  ditetapkan  ahli  fiqih.
Keharaman  itu  bertambah  kuat  dan  berlipat  ganda  setelah
kehamilan berusia seratus dua puluh  hari,  yang  oleh  hadits
diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."
 
Dalam  hal  ini  tidak  diperbolehkan  menggugurkannya kecuali
dalam  keadaan  benar-benar  sangat  darurat,  dengan   syarat
kedaruratan  yang  pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika
sudah pasti, sesuatu yang  diperbolehkan  karena  darurat  itu
harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
 
Menurut  pendapat  saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam
satu bentuk saja, yaitu  keberadaan  janin  apabila  dibiarkan
akan   mengancam   kehidupan  si  ibu,  karena  ibu  merupakan
pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan  janin  sebagai  fara'
(cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi
kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan  syara'
juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
 
Tetapi  ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan
tidak memperbolehkan tindak kejahatan  (pengguguran)  terhadap
janin  yang  hidup  dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab
mazhab Hanafi disebutkan:
 
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang
dan     tidak     mungkin     dikeluarkan    kecuali    dengan
memotong-motongnya,  yang  apabila  tidak  dilakukan  tindakan
seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ...
mereka  berpendapat,  'Jika  anak  itu  sudah  dalam   keadaan
meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih
hidup maka tidak boleh memotongnya karena  menghidupkan  suatu
jiwa  dengan  membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam
syara'.'"15
 
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan
syara',  yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya
dan lebih kecil mafsadatnya.
 
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran  lain
dari kasus di atas, yaitu:
 
"Adanya  ketetapan  secara  ilmiah yang menegaskan bahwa janin
--sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi  kondisi
yang  buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya
kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
 
    "Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
 
Tetapi  hendaknya  hal  ini  ditetapkan  oleh  beberapa  orang
dokter, bukan cuma seorang.
 
Pendapat  yang  kuat  menyebutkan  bahwa  janin  setelah genap
berusia empat bulan adalah manusia hidup yang  sempurna.  Maka
melakukan  tindak  kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan
tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
 
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami
kondisi  yang  sangat  buruk  dan  membahayakan biasanya tidak
bertahan hidup setelah  dilahirkan,  sebagaimana  sering  kita
saksikan,  dan  sebagaimana  dinyatakan oleh para spesialisnya
sendiri.
 
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya  kemukakan  disini  suatu  peristiwa  yang  saya terlibat
didalamnya, yang  terjadi  beberapa  tahun  silam.  Yaitu  ada
seorang  teman  yang  berdomisili  di  salah satu negara Barat
meminta  fatwa  kepada  saya  sehubungan  para  dokter   telah
menetapkan  bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia
lima bulan-- akan lahir dalam  kondisi  yang  amat  buruk.  Ia
menjelaskan  bahwa  pendapat  dokter-dokter  itu hanya melalui
dugaan yang kuat, tidak  ditetapkan  secara  meyakinkan.  Maka
jawaban  saya  kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah
dan menyerahkan ketentuan  urusan  itu  kepadaNya,  barangkali
dugaan  dokter  itu  tidak  tepat. Tidak terasa beberapa bulan
berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang  berisi
foto  seorang  anak  yang  molek  yang  disertai komentar oleh
ayahnya yang berbunyi demikian:
 
"Pamanda yang terhormat,
 
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur  kepada  Allah
Ta'ala,  bahwa  engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari
pisau  para  dokter  bedah.  Fatwamu   telah   menjadi   sebab
kehidupanku,  karena  itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu
ini selama saya masih hidup."
 
Kemajuan  ilmu  kedokteran  sekarang  telah  mampu  mendeteksi
kerusakan  (cacat)  janin  sebelum berusia empat bulan sebelum
mencapai tahap  ditiupkannya  ruh.  Namun  demikian,  tidaklah
dipandang  akurat  jika  dokter  membuat  dugaan bahwa setelah
lahir nanti si janin (anak)  akan  mengalami  cacat  --seperti
buta,  tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan
digugurkannya  kandungan.  Sebab   cacat-cacat   seperti   itu
merupakan  penyakit  yang  sudah  dikenal  di  masyarakat luas
sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak  orang,  lagi
pula  tidak  menghalangi  mereka  untuk bersamasama orang lain
memikul  beban  kehidupan  ini.  Bahkan  manusia  banyak  yang
mengenal  (melihat)  kelebihan para penyandang cacat ini, yang
nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
 
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai  keyakinan  bahwa  ilmu
pengetahuan  manusia  dengan segala kemampuan dan peralatannya
akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan
Allah sebagai ujian dan cobaan:
 
    "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
    setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
    ..." (al-Insan: 2)
 
    "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada
    dalam susah payah." (al-Balad: 4)
 
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi  pada  zaman  kita
sekarang  ini  telah  turut  andil  dalam memberikan pelajaran
kepada   orang-orang   cacat   untuk   meraih   keberuntungan,
sebagaimana   keduanya  telah  turut  andil  untuk  memudahkan
kehidupan mereka.  Dan  banyak  diantara  mereka  (orang-orang
cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti
orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan  sunnah-Nya  Allah
mengganti  mereka  dengan  beberapa karunia dan kemampuan lain
yang luar biasa.
 
Allah berfirman dengan kebenaran,  dan  Dia-lah  yang  memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.
 
CATATAN KAKI:
 
  1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang
    diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran,
    di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para
    fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah
    kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'.
 
  2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550.
 
  3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557.
 
  4 Al-Muhalla, juz 11.
 
  5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab
    al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni
    Ummihi," hadits nomor 2645.
 
  6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelah
    mengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwa
    janin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki
    tahap baru dan perkembangan yang lain.
 
  7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi.
 
  8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan
    dalam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm.
    4-- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan
    menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini
    benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab
    beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat
    ini.
 
  9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi.
 
 10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416
    terbitan al-Halabi.
 
 11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233
    Darul-Ma'rifah, Beirut.
 
 12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq.
 
 13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih,
    juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq.
 
 14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah,"
    hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.
 
 15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233.
 
-----------------------                      (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

BANK SUSU (1/2) 

Dr. Yusuf Qardhawi Pertanyaan Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah. Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu). Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI). Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek. Maka, apakah oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia? Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah Ustadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang jumlah mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi? Jawaban Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan. Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim. Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan "air susu" itu --yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya-- patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala. Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini? Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur fuqaha-- karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini. Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas. Pertama, menjelaskan pengertian radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman. Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan. Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan. Pengertian Radhn' (Penyusuan) Makna radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha --termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i-- ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus). Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth. Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa'uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut. Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan. Disebutkan di dalam al-Mughni "Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh." Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud: "Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging" Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.). Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui penyusuan-- serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut." Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, "Kalau 'illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran." Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada "keibuan yang menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya: "... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23) Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya. Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari' di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha' dan radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun. Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran. ----------------------- (Bagian 1/2, 2/2) Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X

BANK SUSU (2/2) 

Dr. Yusuf Qardhawi Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata: "Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan) hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa. Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ...' (an-Nisa':23) Dan sabda Rasulullah saw.: "Haram karena susuan apa yang haram karena nasab." Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a - yardha'u/yardhi'u radha'an/ridha'an wa radha'atan/ridha'atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan irdha', radha'ah, dan radha', melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini. Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman --yakni Daud, imam Ahli Zhahir-- dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir."' Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil dengan hadits: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena lapar," Ibnu Hazm berkata: "Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah): "... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2 Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha' (menyusui) dan radha'/ridha' (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut --bukan menghisap dari tetek-- dan menelannya), sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha. Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali? Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan. Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman. Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni: "Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3 Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan: "Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan. Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan. Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati."4 Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain. Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua masalah ini juga ada pendukungnya. Khulashah Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank susu" selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar'iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas. Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?" Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara' (lebih jauh dari syubhat), bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang. Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang telah mantap. Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang. Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai himpunan "kehati-hatian" dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. "(HR al-Kharaithi) Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi) Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan: "Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143) Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Catatan kaki: 1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.). 2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11. 3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194. 4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3. ----------------------- (Bagian 1/2, 2/2) Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388  

HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (5/25)

Dr. Yusuf Qardhawi

WANITA MENJENGUK LAKI-LAKI YANG SAKIT 

 Disyariatkannya menjenguk orang sakit meliputi penjengukan wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan laki-laki kepada wanita. Diantara bab-bab dalam Shahih al-Bukhari pada "Kitab al-Mardha" terdapat judul "Bab 'Iyadatin-Nisa' ar-Rijal" (Bab Wanita Menjenguk Laki-laki). Dalam hal ini beliau meriwayatkan suatu hadits secara mu'allaq (tanpa menyebutkan rentetan perawinya): Bahwa Ummu Darda' pernah menjenguk seorang laki-laki Anshar dari ahli masjid. Tetapi Imam Bukhari memaushulkan (meriwayatkan secara bersambung sanadnya) didalam al-Adabul-Mufrad dari jalan al-Harits bin Ubaid, ia berkata: "Saya melihat Ummu Darda' di atas kendaraannya yang ada tiangnya tetapi tidak bertutup, mengunjungi seoranglaki-laki Anshar di masjid."18 Bukhari juga meriwayatkan hadits Aisyah r.a., ia berkata: "Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal r.a. jatuh sakit, lalu aku datang menjenguk mereka, seraya berkata, Wahai Ayahanda, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?" Aisyah berkata, "Abu Bakar apabila terserang penyakit panas, beliau berkata: 'Semua orang berada di tengah keluarganya, sedang kematian itu lebih dekat daripada tali sandalnya.' Dan Bilal apabila telah hilang demamnya, ia berkata: 'Wahai, merinding bulu romaku Apakah aku akan bermalam di suatu lembah Yang dikelilingi rumput-rumput idzkhir dan jalil Apakah pada suatu hari aku menginginkan air Majnah Apakah mereka akan menampakkan kebagusan dan kekeruhanku?" Aisyah berkata, "Lalu aku datang kepada Rasulullah saw. memberitahukan hal itu, lantas beliau berdoa, Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti kami mencintai Mekah atau melebihinya."19 Yang menjadi dalil kebolehan wanita menjenguk laki-laki dalam hadits tersebut ialah masuknya Aisyah menjenguk ayahnya dan menjenguk Bilal, serta perkataannya kepada masing-masing mereka, "Bagaimana engkau dapati dirimu?" Yang dalam bahasa kita sekarang sering kita ucapkan: "Bagaimana kesehatanmu? Bagaimana keadaanmu?" Padahal Bilal ini bukan mahram bagi Aisyah Ummul Mukminin. Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam berjalan, gerak-gerik, memandang, berbicara, tidak berduaan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami. Dalam hal ini, janganlah suami atau wali melarang istri atau putrinya menjenguk orang yang punya hak untuk dijenguk olehnya, seperti kerabatnya yang bukan muhrim, atau besan (semenda), atau gurunya, atau suami kerabatnya, atau ayah kerabatnya, dan sebagainya dengan syarat-syarat seperti yang telah disebutkan di atas. (Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X


KLIK DISINI

(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
     13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)

Tiada ulasan: