| BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi (1/2)
PERTANYAAN
Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki
memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan
memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari
seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.
Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah
menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya
seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1
Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah
berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada
Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap.
Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!"
Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab,
"Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2
Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?
Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada
ujungnya.
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.
JAWABAN
Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan,
bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:
"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"
(Yasin: 36)
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah
untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa
bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia
dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi
(tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam
dan istrinya:
"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."
(al-Baqarah: 35)
Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah
bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:
"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu
membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian
kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki
akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum
Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh
fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya
sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap
bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah
laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan
perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam
bentuk apa pun.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup
sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?
"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)
Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku ini
bahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di
rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan
kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing
dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif.
Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita
membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau
perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima
pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya
lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu
antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.
LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN
Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama
yang menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah
"wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat
kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun
pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat
dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada
ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang
yang dilarang ini, yakni:
"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan
salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya
bertemu."
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa
tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan
(bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi
acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan
ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan,
seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya,
pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun
masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya
yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw.,
"Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap
mereka."
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati
nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.
WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI
Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat
kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa
sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat
orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang
disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain
dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat
seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini
ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk
aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya,
walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah
qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.
Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara
hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau
mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari
mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2
(bersambung 2/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi (2/2)
Syaukani, dalam kitabnya Nailul Athar menanggapi
hadits-hadits yang mengatakan paha sebagai aurat, bahwa
hadits-hadits itu hanya menceritakan keadaan (peristiwa),
tidak bersifat umum.
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan dalam Tahdzibut
Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
"Jalan mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang
dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan lainnya bahwa
aurat itu ada dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci])
dan mughallazhah (berat/besar). Aurat mughallazhah ialah
qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan
tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan
dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya
karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."
Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para
olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana
pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para
pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum
muslim berkewajiban menunjukkan kepada peraturan
internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa
yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik
oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan
masalah yang sangat jelas.
Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat
laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan
sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat,
selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini
diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan
generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits
sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat tidak bolehnya wanita
memandang laki-laki secara umum, dengan alasan apa yang
dikemukakan oleh saudara penanya dalam pertanyaannya di
atas.
Adapun hadits Fatimah r.a. di atas tidak ada nilainya
dilihat dari sisi ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab
dari kitab-kitab dalil hukum yang memuat hadits tersebut,
dan tidak ada seorang pun ahli fiqih yang menggunakannya
sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita
melihat laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia
hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
Dalam mentakhrij hadits ini Imam al-Ilraqi berkata,
"Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab
al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad yang dhatif." (Ihya
Ulumuddin, kitab an-Nikah, Bab Adab al-Mu'asyarah. Dan
disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202 dan
beliau berkata, "Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."
Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu Salamah, seperti
disebutkan penanya; ed.) kami temukan penolakannya
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam meringkas
pendapat mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam
kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:
"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini
terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki
asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat
laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan
merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam
Syafi'i.
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu Salamah,
yang berkata:
"Aku pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi
Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw. bersabda,
'Berhijablah kamu daripadanya. 'Aku berkata, Wahai
Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada
bertanya, 'Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah;
penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu Daud. dan
lain-lain)
Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki
didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita
menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita
itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia),
sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya.
Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan
teriadinya fitnah. Bahkan, kekhawatiran ini pada wanita
lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya
dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:
"Beriddahlah enkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia
seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan
dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)
Aisyah berkata:
"Adalah Rasulullah saw. melindungiku dengan selendangnya
ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main
(tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah saw.
selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum
wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada
mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya
laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita
diwajibkan berhijab,4 supaya mereka tidak dapat melihat
laki-laki.
Adapun mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan
si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata, "Nabhan meriwayatkan
dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits,
"Apabila salah seorang di antara kamu mempunyai mukatab
(budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk
menebus dirinya), maka hendaklah ia berhijab daripadanya."
Dari pernyataan ini seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan
kelemahan hadits Nabhan tersebut, karena dia tidak
meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan dengan
ushul ini.
Ibnu Abdil Barr berkata, "Nabhan itu majhul, ia tidak
dikenal melainkan melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits Fatimah itu sahih, maka berhujjah
dengannya adalah suatu keharusan."
Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits
Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.
Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.
Al-Atsram berkata, "Aku bertanya kepada Abi Abdillah,
'Hadits Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi,
sedangkan hadits Fatimah untuk semua manusia? Beliau
menjawab, 'Benar.'5
Kalaupun hadits-hadits ini dianggap bertentangan, maka
mendahulukan hadits yang sahih itu lebih utama daripada
mengambil hadits mufrad (diriwayatkan oleh perseorangan)
yang dalam isnadnya terdapat pembicaraan." (Ibnu Qudamah,
al-Mughni 6:563-564).
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak
dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika
dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena
itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian
pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan
sebagian pandangannya. Firman Allah:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka
menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )
Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat
laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan
syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak
menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari
laki-laki. Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati
wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik
pandangan dan hati perempuan.
Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri
pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah
menjadikannya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana
dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata,
"Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada
Allah." (An-Nur: 23)
Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita
kota ketika pertama kali mereka melihat ketampanan dan
keelokan serta keperkasaan Yusuf:
"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya
bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan),
kemudian dia berkata (kepada Yusut), 'Keluarlah
(tampakkanlah dirimu) kepada mereka.' Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata,
'Maha sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu berkata, 'Itulah
orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan
sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya
jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan
orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)
Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul
hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya.
Janganlah ia terus memandangnya, demi menjauhi timbulnya
fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.
Pandangan seperti inilah yang dinamakan dengan "pengantar
zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang beracun,"
dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:
"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan
api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."
Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita
menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan
keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan
dalam urusan agama dan dunia. Amin.
Catatan kaki:
1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti.
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan
(menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan
nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan
bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa
riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan
dalam biografi beliau.
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.)
tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap
betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang
lain, yang engkau tidak menyukainya."
Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah
lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga
dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus
menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik
yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna
netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan
demikian dia mendapatkan sedikit keringanan.
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai
cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami
telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami
tentang "Apakah Cadar itu Wajib?"
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini
adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah
tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di
sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor
4115.
(Bagian 1/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
HAK ISTERI ATAS SUAMI Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya menikah dengan seorang laki-laki yang usianya
lebih tua daripada saya dengan selisih lebih dari dua
puluh tahun. Namun, saya tidak menganggap perbedaan
usia sebagai penghalang yang menjauhkan saya
daripadanya atau membuat saya lari daripadanya. Kalau
dia memperlihatkan wajah, lisan, dan hatinya dengan
baik sudah barang tentu hal itu akan melupakan saya
terhadap perbedaan usia ini. Tetapi sayang, semua itu
tak saya peroleh. Saya tidak pernah mendapatkan wajah
yang cerah, perkataan manis, dan perasaan hidup yang
menenteramkan. Dia tidak begitu peduli dengan
keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.
Dia memang tidak bakhil dalam memberi nafkah dan
pakaian, sebagaimana dia juga tidak pernah menyakiti
badan saya. Tetapi, tentunya bukan cuma ini yang
diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya. Saya
melihat posisi saya hanya sebagai objek santapannya,
untuk melahirkan anak, atau sebagai alat untuk
bersenang-senang manakala ia butuh bersenang-senang.
Inilah yang menjadikan saya merasa bosan, jenuh, dan
hampa. Saya merasakan hidup ini sempit. Lebih-lebih
bila saya melihat teman-teman saya yang hidup bersama
suaminya dengan penuh rasa cinta, tenteram, dan
bahagia.
Pada suatu kesempatan saya mengadu kepadanya tentang
sikapnya ini, tetapi dia menjawab dengan bertanya,
"Apakah aku kurang dalam memenuhi hakmu? Apakah aku
bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"
Masalah inilah yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz
agar suami isteri itu tahu: Apakah hanya pemenuhan
kebutuhan material seperti makan, minum, pakaian, dan
tempat tinggal itu saja yang menjadi kewajiban suami
terhadap isterinya menurut hukum syara'? Apakah aspek
kejiwaan tidak ada nilainya dalam pandangan syari'at
Islam yang cemerlang ini?
Saya, dengan fitrah saya dan pengetahuan saya yang
rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam demikian.
Karena itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan
aspek psikologis ini dalam kehidupan suami isteri,
karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih
kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
Semoga Allah menjaga Ustadz.
JAWABAN
Apa yang dipahami oleh saudara penanya berdasarkan
fitrahnya dan pengetahuan serta peradabannya yang
rendah itu merupakan kebenaran yang dibawakan oleh
syari'at Islam yang cemerlang.
Syari'at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi
kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material
seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing, atau
seperti yang dikatakan oleh Al Qur'an "bil ma'ruf"
(menurut cara yang ma'ruf/patut)
Namun, Syari'at tidak pernah melupakan akan
kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah
bernama manusia kecuali dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang
pujangga kuno: "Maka karena jiwamu itulah engkau
sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
Bahkan Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah
satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta dan
salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum:
21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami
isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang
antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek
kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan
bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi
ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru - padahal diri
mereka sebenarnya baik - ketika mereka mengira bahwa
kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi
nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang
lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu
bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan
lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan
perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang
manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra,
pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang
lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan
kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan
adab pergaulan diantara mereka yang kehidupan
berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu.
Diantara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan
Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan
sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
"... Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara
yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
"... Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa:
36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman
sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak baik
kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti
mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan
penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah,
sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri
beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari
mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu
kalau engkau marah dan kalau engkau rela." Aisyah
bertanya, "Bagaimana engkau tahu?" Beliau menjawab,
"Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan
Muhammad,' dan bila engkau marah, engkau berkata,
'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah menjawab, "Betul,
(kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut
namamu."
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat
ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau
menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau,
dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah saw.
biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan
menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak
dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau
pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras itu - pernah
berkata, "Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya
seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
disisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah
seorang laki-laki."
Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah membenci
alja'zhari al-jawwazh," dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah orang yang bersikap keras terhadap isteri
(keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini
merupakan salah satu makna firman Allah: 'utul. Ada
yang mengatakan bahwa lafal 'utul berarti orang yang
kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah
saw. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan
banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah
dan menegakkan agama, memelihara jama'ah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau
tetap sangat memperhatikan para isterinya. Beliau
adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur'an,
dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun, sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan
hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau penuhi.
Jadi, aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau
terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan
memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang
tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah
bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain.
Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil
bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi
(bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau
juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau
membaca Al Qur'an sedang kepala beliau berada di
pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau
memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.
Diantara kelemahlembutan dan akhlak baik beliau lagi
ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi
ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah)
menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat
permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari
rumah bersama-sama.
Sabda Nabi saw:
"Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik
terhadap keluargaku."
Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi
senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya
dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata,
"Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami
terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran.
Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran
beliau, lalu beliau bermalam di situ."1
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini
mengenai petunjuk Nabi saw. tentang pergaulan beliau
dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau
sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan
Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti
beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau mengawini Aisyah ketika masih gadis kecil yang
belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau.
Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
kebutuhan disini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan
hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada
semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan
senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah
melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar,
seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan
menegakkan daulah.
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
bagus bagi kamu."
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
Catatan kaki:
1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (6/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT
Sebagaimana terdapat beberapa hadits yang memperbolehkan
perempuan menjenguk laki-laki dengan syarat-syaratnya, jika
diantara mereka terjalin hubungan, dan laki-laki itu punya hak
terhadap wanita tersebut, maka laki-laki juga disyariatkan
untuk menjenguk wanita dengan syarat-syarat yang sama. Hal ini
jika diantara mereka terjalin hubungan yang kokoh, seperti
hubungan kekerabatan atau persemendaan, tetangga, atau
hubungan-hubungan lain yang menjadikan mereka memiliki hak
kemasyarakatan yang lebih banyak daripada orang lain.
Diantara dalilnya ialah keumuman hadits-hadits yang
menganjurkan menjenguk orang sakit, yang tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan diantara dalil khususnya ialah yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah
r.a.:
"Bahwa Rasulullah saw. pernah menjenguk Ummu Saib --atau
Ummul Musayyib-- lalu beliau bertanya, 'Wahai Ummus
Saib, mengapa engkau menggigil?' Dia menjawab, 'Demam,
mudah-mudahan Allah tidak memberkatinya.' Beliau
bersabda, 'Janganlah engkau memaki-maki demam, karena
dia dapat menghilangkan dosa-dosa anak Adam seperti
ububan (alat pengembus api pada tungku pandai besi)
menghilangkan karat besi.'"20
Padahal, Ummus Saib tidak termasuk salah seorang mahram Nabi
saw. Meskipun begitu, dalam hal ini harus dijaga syarat-syarat
yang ditetapkan syara', seperti aman dari fitnah dan
memelihara adab-adab yang sudah biasa berlaku (dan tidak
bertentangan dengan prinsip Islam; Penj.), karena adat
kebiasaan itu diperhitungkan oleh syara'.
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN
Dr. Yusuf Qardhawi
Pengantar
Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah siap
untuk dicetak. Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr.
Musthafa Siratisy, Ketua Muktamar Alami untuk Pemeliharaan
Hak-hak Asasi Manusia di Bosnia Herzegovina, yang
diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia, pada 18 dan 19
September 1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama
Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama serta
juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.
Pertanyaan
Dr. Musthafa berkata, "Sejumlah saudara kaum muslim di
Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh
Muhammad al-Ghazali dan Syekh al-Qardhawi, mendorong saya
untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan
yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri
kita yang diperkosa oleh tentara Serbia yang durhaka dan
bengis, yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan
orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak
menjaga kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka
yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak gadis muslimah
yang hamil sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu,
serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka menanyakan
kepada Syekh berdua dan semua ahli ilmu: apakah yang harus
mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta akibatnya
ini? Apakah syara' memperbolehkan mereka menggugurkan
kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan itu
dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka
bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si gadis
yang diperkosa itu?"
Jawaban
Fadhilatus-Syekh al-Ghazali menyerahkan kepada saya untuk
menjawab pertanyaan tersebut dalam sidang, maka saya
menjawabnya secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh
saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.
Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini
agar dapat disebarluaskan serta dijadikan acuan untuk
peristiwa-peristiwa serupa. Tiada daya (untuk menjauhi
keburukan) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan)
kecuali dengan pertolongan Allah.
Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh orang-orang yang
rakus dan dijadikan sasaran bagi setiap pembidik, dan kaum
wanita serta anak-anak perempuan kita menjadi daging yang
"mubah" untuk disantap oleh serigala-serigala lapar dan
binatang-binatang buas itu tanpa takut akibatnya atau
pembalasannya nanti.
Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada saya oleh
saudara-saudara kita di Eritrea mengenai nasib yang menimpa
anak-anak dan saudara-saudara perempuan mereka akibat ulah
tentara Nasrani yang tergabung dalam pasukan pembebasan
Eritrea, sebagaimana yang diperbuat tentara Serbia hari ini
terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.
Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun lalu
oleh sekelompok wanita mukminah yang cendekia dari penjara
orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara Arab Asia
kepada sejumlah ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa
yang harus mereka lakukan terhadap kandungan mereka yang
merupakan kehamilan haram yang terjadi bukan karena mereka
berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?
Pertama-tama perlu saya tegaskan bahwa saudara-saudara dan
anak-anak perempuan kita, yang telah saya sebutkan, tidak
menanggung dosa sama sekali terhadap apa yang terjadi pada
diri mereka, selama mereka sudah berusaha menolak dan
memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata
dan di bawah tekanan kekuatan yang besar. Maka apakah yang
dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya kekuatan
di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap
yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh belas
kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa
(yakni tidak menganggap berdosa) dari orang yang terpaksa
dalam masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran
dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."
(an-Nahl: 106)
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak berdosa) orang yang
dalam keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan
lahiriah untuk berusaha, hanya saja tekanan kedaruratannya
lebih kuat. Allah berfirman setelah menyebutkan macam-macam
makanan yang diharamkan:
"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(al-Baqarah: 173)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas
suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak
sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1
Bahkan anak-anak dan saudara-saudara perempuan kita
mendapatkan pahala atas musibah yang menimpa mereka, apabila
mereka tetap berpegang teguh pada Islam --yang karena
keislamannyalah mereka ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan
mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi
gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:
"Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan,
penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau
kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan
Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan
peristiwa-peristiwa itu."2
Apabila seorang muslim mendapat pahala hanya karena dia
tertusuk duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak
orang dan kemuliaannya dikotori?
Karena itu saya nasihatkan kepada pemuda-pemuda muslim agar
mendekatkan diri kepada Allah dengan menikahi salah seorang
dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan terhadap keadaan
mereka sekaligus mengobati luka hati mereka yang telah
kehilangan sesuatu yang paling berharga sebagai wanita
terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.
Adapun menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam
fatwa terdahulu bahwa pada dasarnya hal ini terlarang,
semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur
perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan
menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.
Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari
hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah saw. telah
memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat
zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai
melahirkan anaknya, kemudian setelah itu ia disuruh menunggu
sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi --baru setelah itu
dijatuhi hukuman rajam.
Inilah fatwa yang saya pilih untuk keadaan normal, meskipun
ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan
asalkan belum berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian
riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin itu
terjadi pada waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua
hari.
Bahkan sebagian fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan
kandungan sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan
riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu
itu.
Tetapi pendapat yang saya pandang kuat ialah apa yang telah
saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam
keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di
antara dua pendapat terakhir tersebut. Apabila udzurnya
semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu
terjadi sebelum berusia empat puluh hari maka yang demikian
lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).
Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh
yang kafir dan durhaka, yang melampaui batas dan pendosa,
terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur
yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya karena ia sangat
benci terhadap janin hasil pemerkosaan tersebut serta ingin
terbebas daripadanya. Maka ini merupakan rukhshah yang
difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar
ukurannya.
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha yang sangat
ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan
kandungan meskipun baru berusia satu hari. Bahkan ada pula
yang mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan, ataupun dari
kedua-duanya, dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan
nazl sebagai pembunuhan tersembunyi (terselubung). Maka
tidaklah mengherankan jika mereka mengharamkan pengguguran
setelah terjadinya kehamilan.
Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang
memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang
ketat yang melarangnya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sel telur wanita
setelah dibuahi oleh sel sperma laki-laki telah menjadi
manusia, maka yang demikian hanyalah semacam majas (kiasan)
dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.
Memang benar bahwa wujud ini mengandung kehidupan, tetapi
kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel
sperma serta sel telur itu sendiri sebelum bertemu sudah
mengandung kehidupan, namun yang demikian bukanlah kehidupan
manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar
(dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara', dokter, dan
cendekiawan. Sedangkan yang kondisinya tidak demikian, maka
tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.
Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan
musibah seperti ini hendaklah memelihara janin tersebut
--sebab menurut syara' ia tidak menanggung dosa, sebagaimana
saya sebutkan di muka-- dan ia tidak dipaksa untuk
menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap
dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka
dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:
"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3
Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.
Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak apabila kedua
orang tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang
terbaik agamanya. Ini bagi orang (anak) yang diketahui
ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya?
Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.
Dalam hal ini, bagi masyarakat muslim sudah seharusnya
mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinya
pendidikan yang baik, jangan menyerahkan beban itu kepada
ibunya yang miskin dan yang telah terkena cobaan. Demikian
pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial
tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah saw.
bersabda:
"Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing
kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4
Catatan kaki:
1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659,
hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,
juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm.
356
2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya),
juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642.
3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245,
hadits nomor 1385.
4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits
nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299,
hadits nomor 5200.
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
|
Tiada ulasan:
Catat Ulasan