Selasa, 2 Oktober 2012

WANITA DAN PERMASALAHANNYA 3

 

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi                                     (1/2)
 
PERTANYAAN
 
Kami  ingin  mengetahui  hukum  boleh   tidaknya   laki-laki
memandang  perempuan,  malah  lebih  khusus  lagi, perempuan
memandang  laki-laki  Sebab,  kami  pernah  mendengar   dari
seorang  penceramah  bahwa  wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.
 
Pertama,  bahwa  Nabi  saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah
menjawab,  "janganlah  ia memandang laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi  saw.  menciumnya
seraya  berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1
 
Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya  pernah
berada  di  sisi  Rasulullah  saw. dan di sebelah beliau ada
Maimunah,  kemudian  Ibnu  Ummi  Maktum  datang   menghadap.
Peristiwa  ini  terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah  kalian  daripadanya!"
Lalu   kami   berkata,   "Wahai   Rasulullah,  bukankah  dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab,
"Apakah  kalian  juga  tuna  netra?"  Bukankah  kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan  Tirmidzi.  Beliau  (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2
 
Pertanyaan  saya,  bagaimana  mungkin  wanita  tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih  pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?
 
Saya harap Ustadz tidak mengabaikan  surat  saya,  dan  saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus  saja  memperdebatkan  masalah  ini  dengan  tidak ada
ujungnya.
 
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.
 
JAWABAN
 
Allah menciptakan seluruh makhluk hidup  berpasang-pasangan,
bahkan  menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:
 
"Maha Suci  Allah  yang  telah  menciptakan  pasang-pasangan
semuanya,  baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun  dari  apa  yang  tidak  mereka  ketahui"
(Yasin: 36)
 
"Dan  segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)
 
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia  diciptakan  berpasang-pasangan,  terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga  kehidupan  manusia  dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain,  sebagai  fitrah  Allah
untuk manusia.
 
Setelah  menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu  pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia  (Adam)  dapat  merasa
bahagia  jika  hanya  seorang  diri, walaupun dalam surga ia
dapat makan minum secara leluasa.
 
Seperti telah saya  singgung  di  muka  bahwa  taklif  ilahi
(tugas  dari  Allah)  yang  pertama  adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara  bersama-sama,  yakni  Adam
dan istrinya:
 
"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang  banyak  lagi  baik  dimana
saja  yang  kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan  kamu  termasuk  orang-orang  yang  zalim."
(al-Baqarah: 35)
 
Maka  hiduplah  mereka  didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat  kepada  Allah
bersama-sama,  turun  ke  bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:
 
"Allah  beffirman,   Turunlah   kamu   berdua   dari   surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka  jika  datang  kepadamu  petunjuk  dari-Ku,  lalu
barangsiapa  yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
 
Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki  selalu
membutuhkan  perempuan,  tidak  dapat  tidak;  dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat  tidak.  "Sebagian
kamu  adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.
 
Karena itu, tidaklah  dapat  dibayangkan  seorang  laki-laki
akan  hidup  sendirian,  jauh  dari perempuan, tidak melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar  dari  keseimbangan  fitrah  dan  menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang  dibikin-bikin  kaum
Nasrani.  Mereka  adakan  ikatan  yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini  yang  tidak  diakui  oleh
fitrah  yang  sehat  dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari  perempuan,  meskipun  mahramnya  sendiri,  ibunya
sendiri,  atau  saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka  melakukan  perkawinan,  dan  mereka  menganggap
bahwa   kehidupan   yang  ideal  bagi  orang  beriman  ialah
laki-laki  yang  tidak  berhubungan  dengan  perempuan   dan
perempuan  yang  tidak  berhubungan  dengan laki-laki, dalam
bentuk apa pun.
 
Tidak  dapat  dibayangkan  bagaimana   wanita   akan   hidup
sendirian  dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?
 
"Dan  orang-orangyang  beriman,  laki-laki  dan   perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)
 
Telah saya kemukakan pula pada bagian  lain  dari  buku  ini
bahwa  Al-Qur'an  telah  menetapkan  wanita - yang melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk  "ditahan"  di
rumah  dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat  memberikan  kesaksian  kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan  diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:
 
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah  ada  empat  orang  saksi  diantara   kamu   (yang
menyaksikannya).   Kemudian  apabila  mereka  telah  memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)  dalam
rumah  sampai  mereka  menemui  ajalnya,  atau  sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)
 
Hakikat lain yang wajib diingat di sini -  berkenaan  dengan
kebutuhan  timbal  balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah  masing-masing
dari  kedua  jenis  manusia  ini  rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati  yang  instinktif.
Dengan  adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan),  dan   reproduksi,   sehingga   terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
 
Kita   tidak   boleh  melupakan  hakikat  ini,  ketika  kita
membicarakan  hubungan  laki-laki  dengan   perempuan   atau
perempuan   dengan  laki-laki.  Kita  tidak  dapat  menerima
pernyataan sebagian  orang  yang  mengatakan  bahwa  dirinya
lebih   tangguh  sehingga  tidak  mungkin  terpengaruh  oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.
 
Dalam kaitan ini, baiklah kita  bahas  secara  satu  persatu
antara  hukum  memandang  laki-laki  terhadap  perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.
 
LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN
 
Bagian pertama dari  pernyataan  ini  sudah  kami  bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami  menguatkan  pendapat  jumhur  ulama
yang menafsirkan firman Allah:
 
"...  Dan  janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )
 
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu  ialah
"wajah  dan  telapak  tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan  kedua  telapak  tangannya,  bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.
 
Apabila  wanita  boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan  tangan/kakinya),  maka   bolehkah   laki-laki   melihat
kepadanya ataukah tidak?
 
Pandangan  pertama  (secara  tiba-tiba)  adalah  tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi  sebagai  darurat.  Adapun
pandangan  berikutnya  (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.
 
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi  ialah  melihat
dengan  menikmati  (taladzdzudz)  dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan  penyulut  api.  Sebab  itu,  ada
ungkapan,  "memandang  merupakan  pengantar  perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal  memandang
yang dilarang ini, yakni:
 
"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan
salam,  lalu  bercakap-cakap,  kemudian  berjanji,  akhirnya
bertemu."
 
Adapun  melihat  perhiasan  (bagian  tubuh) yang tidak biasa
tampak,  seperti  rambut,  leher,  punggung,  betis,  lengan
(bahu),  dan  sebagainya,  adalah  tidak  diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada  dua  kaidah  yang  menjadi
acuan  masalah  ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.
 
Pertama,  bahwa  sesuatu  yang  dilarang  itu  diperbolehkan
ketika   darurat  atau  ketika  dalam  kondisi  membutuhkan,
seperti  kebutuhan  berobat,  melahirkan,  dan   sebagainya,
pembuktikan  tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan  menjadi  keharusan,  baik  untuk  perseorangan   maupun
masyarakat.
 
Kedua,  bahwa  apa  yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah,  baik  kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
 
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak  pamannya
yang   bernama  al-Fadhl  bin  Abbas,  dari  melihat  wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama  memandang  wanita  itu.  Dalam  suatu  riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada  Rasulullah  saw.,
"Mengapa  engkau  palingkan  muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan  seorang  pemudi,
maka  saya  tidak  merasa  aman akan gangguan setan terhadap
mereka."
 
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada  hati
nurani  si  muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah  itu  tidak  dikhawatirkan  terjadi  jika  hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran),  dan  tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.
 
WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI
 
Diantara hal  yang  telah  disepakati  ialah  bahwa  melihat
kepada  aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba,  tanpa
sengaja,  sebagaimana  diriwayatkan  dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:
 
"Saya bertanya kepada Nabi  saw.  Tentang  memandang  (aurat
orang  lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)
 
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian  mana  saja  yang
disebut aurat laki-laki?
 
Kemaluan  adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan  orang  lain
dan  haram  pula  melihatnya,  kecuali dalam kondisi darurat
seperti berobat  dan  sebagainya.  Bahkan  kalau  aurat  ini
ditutup   dengan   pakaian  tetapi  tipis  atau  menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.
 
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha  laki-laki  termasuk
aurat,  dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak  lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian  lagi  mengesahkannya   karena   banyak   jalannya,
walaupun  masing-masing  hadits  itu  tidak  dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.
 
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa  paha  laki-laki  itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw.  pernah  membuka  pahanya  dalam  beberapa  kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
 
Menurut    mazhab   Maliki   sebagaimana   termaktub   dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki  ialah
qubul  (kemaluan)  dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.
 
Para   fuqaha   hadits   berusaha   mengompromikan    antara
hadits-hadits  yang  bertentangan  itu  sedapat mungkin atau
mentarjih   (menguatkan   salah   satunya).   Imam   Bukhari
mengatakan   dalam   kitab   sahihnya  "Bab  tentang  Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits  Anas  ini  lebih  kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2
 
                                            (bersambung 2/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 
 

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi                                     (2/2)
 
Syaukani,    dalam    kitabnya   Nailul   Athar   menanggapi
hadits-hadits yang  mengatakan  paha  sebagai  aurat,  bahwa
hadits-hadits  itu  hanya  menceritakan keadaan (peristiwa),
tidak bersifat umum.
 
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan  dalam  Tahdzibut
Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
 
"Jalan  mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang
dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad  dan  lainnya  bahwa
aurat  itu  ada  dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci])
dan mughallazhah  (berat/besar).  Aurat  mughallazhah  ialah
qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan
tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan
dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya
karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."
 
Dalam hal  ini  terdapat  rukhshah  (keringanan)  bagi  para
olahragawan  dan  sebagainya  yang  biasa  mengenakan celana
pendek, termasuk bagi penontonnya,  begitu  juga  bagi  para
pandu  (pramuka)  dan  pecinta alam. Meskipun demikian, kaum
muslim    berkewajiban    menunjukkan    kepada    peraturan
internasional  tentang  ciri  khas kostum umat Islam dan apa
yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
 
Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat,  baik
oleh   perempuan  maupun  sesama  laki-laki.  Ini  merupakan
masalah yang sangat jelas.
 
Adapun terhadap  bagian  tubuh  yang  tidak  termasuk  aurat
laki-laki,  seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan
sebagainya,  menurut  pendapat  yang  sahih  boleh  dilihat,
selama  tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat,  dan  ini
diperlihatkan  oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan
generasi sesudahnya, juga  diperkuat  oleh  beberapa  hadits
sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
 
Sebagian  fuqaha  lagi  berpendapat  tidak  bolehnya  wanita
memandang laki-laki secara  umum,  dengan  alasan  apa  yang
dikemukakan  oleh  saudara  penanya  dalam  pertanyaannya di
atas.
 
Adapun hadits  Fatimah  r.a.  di  atas  tidak  ada  nilainya
dilihat  dari  sisi  ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab
dari kitab-kitab dalil hukum yang  memuat  hadits  tersebut,
dan  tidak  ada  seorang  pun ahli fiqih yang menggunakannya
sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita
melihat  laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia
hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
 
Dalam  mentakhrij  hadits  ini   Imam   al-Ilraqi   berkata,
"Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab
al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad  yang  dhatif."  (Ihya
Ulumuddin,  kitab  an-Nikah,  Bab  Adab  al-Mu'asyarah.  Dan
disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202  dan
beliau  berkata,  "Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar,  dan dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."
 
Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu  Salamah,  seperti
disebutkan   penanya;   ed.)   kami   temukan   penolakannya
sebagaimana disebutkan oleh  Ibnu  Qudamah  dalam  meringkas
pendapat  mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam
kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:
 
"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini
terdapat  dua  riwayat.  Pertama, ia boleh melihat laki-laki
asal tidak pada auratnya.  Kedua,  ia  tidak  boleh  melihat
laki-laki  melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih  oleh  Abu  Bakar  dan
merupakan  salah  satu  pendapat di antara dua pendapat Imam
Syafi'i.
 
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu  Salamah,
yang berkata:
 
"Aku  pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi
Maktum meminta izin  masuk.  Kemudian  Nabi  saw.  bersabda,
'Berhijablah   kamu   daripadanya.   'Aku   berkata,   Wahai
Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada
bertanya,  'Apakah  kamu  berdua (Ummu Salamah dan Maimunah;
penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu  Daud.  dan
lain-lain)
 
Larangan   bagi   wanita   untuk   melihat  aurat  laki-laki
didasarkan  pada  hipotesis  bahwa  Allah  menyuruh   wanita
menundukkan  pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa  wanita
itu  adalah  salah  satu dari dua jenis anak Adam (manusia),
sehingga  mereka  haram  melihat  (aurat)  lawan   jenisnya.
Haramnya  bagi  wanita  ini  dikiaskan  pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
 
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena  dikhawatirkan
teriadinya  fitnah.  Bahkan,  kekhawatiran  ini  pada wanita
lebih besar lagi, sebab wanita itu  lebih  besar  syahwatnya
dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
 
Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:
 
"Beriddahlah  enkau  di  rumah  Ibnu Ummi Maktum, karena dia
seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan
dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)
 
Aisyah berkata:
 
"Adalah  Rasulullah  saw.  melindungiku  dengan selendangnya
ketika aku melihat orang-orang  Habsyi  sedang  bernain-main
(tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)
 
Dalam  riwayat  lain  disebutkan, pada waktu Rasulullah saw.
selesai berkhutbah shalat  Id,  beliau  menuju  kepada  kaum
wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada
mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
 
Seandainya  wanita  dilarang  melihat   laki-laki,   niscaya
laki-laki   juga   diwajibkan  berhijab  sebagaimana  wanita
diwajibkan berhijab,4  supaya  mereka  tidak  dapat  melihat
laki-laki.
 
Adapun  mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan
si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata,  "Nabhan  meriwayatkan
dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits,
"Apabila salah seorang  di  antara  kamu  mempunyai  mukatab
(budak  yang  mengadakan  perjanjian  dengan  tuannya  untuk
menebus dirinya), maka hendaklah ia  berhijab  daripadanya."
Dari  pernyataan  ini  seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan
kelemahan  hadits  Nabhan   tersebut,   karena   dia   tidak
meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan dengan
ushul ini.
 
Ibnu Abdil  Barr  berkata,  "Nabhan  itu  majhul,  ia  tidak
dikenal  melainkan  melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits  Fatimah  itu  sahih,  maka  berhujjah
dengannya adalah suatu keharusan."
 
Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits
Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.
 
Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.
 
Al-Atsram  berkata,  "Aku  bertanya  kepada  Abi   Abdillah,
'Hadits  Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi,
sedangkan hadits  Fatimah  untuk  semua  manusia?     Beliau
menjawab, 'Benar.'5
 
Kalaupun   hadits-hadits  ini  dianggap  bertentangan,  maka
mendahulukan hadits yang  sahih  itu  lebih  utama  daripada
mengambil  hadits  mufrad  (diriwayatkan  oleh perseorangan)
yang dalam isnadnya terdapat  pembicaraan."  (Ibnu  Qudamah,
al-Mughni 6:563-564).
 
Jadi,  memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak
dibarengi dengan  upaya  "menikmati"  dan  bersyahwat.  Jika
dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena
itu,  Allah  menyuruh  kaum  mukminah  menundukkan  sebagian
pandangannya  sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan
sebagian pandangannya. Firman Allah:
 
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka
menahan   pendangannya,  dan  memelihara  kemaluannya;  yang
demikian itu adalah lebih  suci  bagi  mereka.  Sesungguhnya
Allah  Maha  Mengetahui  apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada  wanita  yang  beriman,  'Hendaklah  mereka   menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )
 
Memang   benar  bahwa  wanita  dapat  membangkitkan  syahwat
laki-laki  lebih  banyak  daripada  laki-laki  membangkitkan
syahwat  wanita,  dan memang benar bahwa wanita lebih banyak
menarik laki-laki,  serta  wanitalah  yang  biasanya  dicari
laki-laki.  Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara laki-laki ada  yang  menarik  pandangan  dan  hati
wanita   karena   kegagahan,  ketampanan,  keperkasaan,  dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain  yang  menarik
pandangan dan hati perempuan.
 
Al-Qur'an   telah   menceritakan  kepada  kita  kisah  istri
pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang  telah
menjadikannya  dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana
dia  menggoda  Yusuf  untuk  menundukkannya  seraya berkata,
"Marilah ke sini." Yusuf  berkata,  "Aku  berlindung  kepada
Allah." (An-Nur: 23)
 
Al-Qur'an  juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita
kota ketika  pertama  kali  mereka  melihat  ketampanan  dan
keelokan serta keperkasaan Yusuf:
 
"Maka   tatkala  wanita  itu  (Zulaikha)  mendengar  cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu  dan  disediakannya
bagi   mereka   tempat   duduk   dan   diberikannya   kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk  memotong  jamuan),
kemudian    dia    berkata    (kepada   Yusut),   'Keluarlah
(tampakkanlah   dirimu)   kepada   mereka.'   Maka   tatkala
wanita-wanita  itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan  berkata,
'Maha  sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu  berkata,  'Itulah
orang  yang  kamu  cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan
sesungguhnya  aku  telah  menggoda  dia  untuk   menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya
jika dia tidak menaati apa yang aku  perintahkan  kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan
orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)
 
Apabila  seorang  wanita  melihat  laki-laki  lantas  timbul
hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya.
Janganlah ia terus  memandangnya,  demi  menjauhi  timbulnya
fitnah,  dan  bahaya  itu  akan bertambah besar lagi bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta  dan  syahwat.
Pandangan  seperti  inilah  yang dinamakan dengan "pengantar
zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang  beracun,"
dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:
 
"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan
api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."
 
Akhirnya,  untuk  mendapat  keselamatan,  lebih  baik   kita
menjauhi   tempat-tempat   dan   hal-hal  yang  mendatangkan
keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan
dalam urusan agama dan dunia. Amin.
 
Catatan kaki:
 
1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti.
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan
  (menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan
  nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan
  bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa
  riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan
  dalam biografi beliau.
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.)
  tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap
  betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang
  lain, yang engkau tidak menyukainya."
  Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah
  lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga
  dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus
  menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik
  yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna
  netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan
  demikian dia mendapatkan sedikit keringanan.
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai
  cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami
  telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami
  tentang "Apakah Cadar itu Wajib?"
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini
  adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah
  tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di
  sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor
  4115.
 
                                                (Bagian 1/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 
 HAK ISTERI ATAS SUAMI                Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya
lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua
puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan
usia    sebagai   penghalang   yang   menjauhkan   saya
daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau
dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan
baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya
terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu
tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah
yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang
menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan
keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.
 
Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan
pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti
badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang
diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya
melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya,
untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk
bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang.
Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan
hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih
bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama
suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan
bahagia.
 
Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang
sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya,
"Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku
bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"
 
Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz
agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan
kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan
tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami
terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek
kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at
Islam yang cemerlang ini?
 
Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang
rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian.
Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan
aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri,
karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih
kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
 
Semoga Allah menjaga Ustadz.
 
JAWABAN
 
Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan
fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang
rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh
syari'at Islam yang cemerlang.
 
Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi
kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material
seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau
seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf"
(menurut cara yang ma'ruf/patut)
 
Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan
kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah
bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya
kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang
pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau
sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
 
Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah
satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan
salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada
hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
 
"Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya,
dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang.
Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum:
21)
 
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami
isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang
antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek
kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan
bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi
ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
 
Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri
mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa
kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah memberi
nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang
lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu
bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan
lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan
perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang
manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra,
pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang
lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan
kegundahan.
 
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan
adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan
berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu.
Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan
Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan
sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
 
"...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara
yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
 
"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari
kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
 
"...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin,
tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa:
36)
 
Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman
sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
 
Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik
kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti
mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan
penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah,
sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri
beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari
mereka menghindari beliau sehari semalam.
 
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu
kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah
bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab,
"Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan
Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata,
'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul,
(kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut
namamu."
 
Dari adab  yang  dikemukakan  Imam  Ghazali  itu  dapat
ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau
menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau,
dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw.
biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan
menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak
dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau
pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
 
Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah
berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya
seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah
seorang laki-laki."
 
Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci
alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri
(keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini
merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada
yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang
kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
 
Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah
saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan
banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah
dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau
tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau
adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an,
dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
 
Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan
hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi.
Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau
terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan
memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang
tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
perut dan pakaian penutup tubuh.
 
Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
 
"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah
bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain.
Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil
bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi
(bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau
juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."
 
Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau
membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di
pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau
memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.
 
Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi
ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi
ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah)
menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat
permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari
rumah bersama-sama.
 
Sabda Nabi saw:
 
"Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap
keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik
terhadap keluargaku."
 
Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi
senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya
dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata,
"Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami
terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran.
Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran
beliau, lalu beliau bermalam di situ."1
 
Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini
mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau
dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau
sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan
Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti
beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
perawan dan karena usianya yang masih muda.
 
Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang
belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau.
Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan
hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada
semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan
senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah
melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar,
seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan
menegakkan daulah.
 
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
bagus bagi kamu."
 
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
 
Catatan kaki:
 
1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 


         HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA  (6/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
LAKI-LAKI MENJENGUK PEREMPUAN YANG SAKIT
 
Sebagaimana  terdapat  beberapa  hadits  yang   memperbolehkan
perempuan  menjenguk  laki-laki  dengan syarat-syaratnya, jika
diantara mereka terjalin hubungan, dan laki-laki itu punya hak
terhadap  wanita  tersebut,  maka  laki-laki juga disyariatkan
untuk menjenguk wanita dengan syarat-syarat yang sama. Hal ini
jika  diantara  mereka  terjalin  hubungan yang kokoh, seperti
hubungan  kekerabatan  atau   persemendaan,   tetangga,   atau
hubungan-hubungan  lain  yang  menjadikan  mereka memiliki hak
kemasyarakatan yang lebih banyak daripada orang lain.
 
Diantara   dalilnya   ialah   keumuman   hadits-hadits    yang
menganjurkan  menjenguk  orang  sakit,  yang  tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
 
Sedangkan diantara dalil  khususnya  ialah  yang  diriwayatkan
oleh  Imam  Muslim  dalam  Shahih-nya  dari Jabir bin Abdullah
r.a.:
 
    "Bahwa Rasulullah saw. pernah menjenguk Ummu Saib --atau
    Ummul Musayyib-- lalu beliau bertanya, 'Wahai Ummus
    Saib, mengapa engkau menggigil?' Dia menjawab, 'Demam,
    mudah-mudahan Allah tidak memberkatinya.' Beliau
    bersabda, 'Janganlah engkau memaki-maki demam, karena
    dia dapat menghilangkan dosa-dosa anak Adam seperti
    ububan (alat pengembus api pada tungku pandai besi)
    menghilangkan karat besi.'"20
 
Padahal, Ummus Saib tidak termasuk salah seorang  mahram  Nabi
saw. Meskipun begitu, dalam hal ini harus dijaga syarat-syarat
yang  ditetapkan  syara',  seperti  aman   dari   fitnah   dan
memelihara  adab-adab  yang  sudah  biasa  berlaku  (dan tidak
bertentangan  dengan  prinsip  Islam;  Penj.),   karena   adat
kebiasaan itu diperhitungkan oleh syara'.
 
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
     13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 
 


HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Pengantar
 
Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah  siap
untuk  dicetak.  Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr.
Musthafa Siratisy, Ketua  Muktamar  Alami  untuk  Pemeliharaan
Hak-hak    Asasi   Manusia   di   Bosnia   Herzegovina,   yang
diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia,  pada  18  dan  19
September  1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama
Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama  serta
juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.
 
Pertanyaan
 
Dr.   Musthafa  berkata,  "Sejumlah  saudara  kaum  muslim  di
Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh
Muhammad  al-Ghazali  dan  Syekh  al-Qardhawi,  mendorong saya
untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan
yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri
kita yang diperkosa  oleh  tentara  Serbia  yang  durhaka  dan
bengis,  yang  tidak  memelihara  hubungan  kekerabatan dengan
orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak
menjaga  kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka
yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak  gadis  muslimah
yang  hamil  sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu,
serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka  menanyakan
kepada  Syekh  berdua  dan  semua ahli ilmu: apakah yang harus
mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta  akibatnya
ini?   Apakah   syara'   memperbolehkan   mereka  menggugurkan
kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan  itu
dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka
bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si  gadis
yang diperkosa itu?"
 
Jawaban
 
Fadhilatus-Syekh  al-Ghazali  menyerahkan  kepada  saya  untuk
menjawab  pertanyaan  tersebut   dalam   sidang,   maka   saya
menjawabnya  secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh
saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.
 
Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini
agar   dapat   disebarluaskan   serta  dijadikan  acuan  untuk
peristiwa-peristiwa  serupa.  Tiada   daya   (untuk   menjauhi
keburukan)  dan  tiada  kekuatan  (untuk  melakukan  ketaatan)
kecuali dengan pertolongan Allah.
 
Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh  orang-orang  yang
rakus  dan  dijadikan  sasaran  bagi setiap pembidik, dan kaum
wanita serta anak-anak  perempuan  kita  menjadi  daging  yang
"mubah"   untuk  disantap  oleh  serigala-serigala  lapar  dan
binatang-binatang  buas  itu  tanpa   takut   akibatnya   atau
pembalasannya nanti.
 
Pertanyaan  serupa  juga  pernah  diajukan  kepada  saya  oleh
saudara-saudara kita di Eritrea mengenai  nasib  yang  menimpa
anak-anak  dan  saudara-saudara  perempuan  mereka akibat ulah
tentara  Nasrani  yang  tergabung  dalam  pasukan   pembebasan
Eritrea,  sebagaimana  yang  diperbuat tentara Serbia hari ini
terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.
 
Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun  lalu
oleh  sekelompok  wanita  mukminah  yang cendekia dari penjara
orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara  Arab  Asia
kepada  sejumlah  ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa
yang harus  mereka  lakukan  terhadap  kandungan  mereka  yang
merupakan  kehamilan  haram  yang  terjadi bukan karena mereka
berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?
 
Pertama-tama perlu saya  tegaskan  bahwa  saudara-saudara  dan
anak-anak  perempuan  kita,  yang  telah  saya sebutkan, tidak
menanggung dosa sama sekali terhadap  apa  yang  terjadi  pada
diri   mereka,   selama  mereka  sudah  berusaha  menolak  dan
memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata
dan  di  bawah  tekanan  kekuatan yang besar. Maka apakah yang
dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya  kekuatan
di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap
yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh  belas
kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa
(yakni tidak menganggap  berdosa)  dari  orang  yang  terpaksa
dalam  masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran
dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
 
    "... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
    tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."
    (an-Nahl: 106)
 
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak  berdosa)  orang  yang
dalam  keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan
lahiriah untuk berusaha,  hanya  saja  tekanan  kedaruratannya
lebih  kuat.  Allah  berfirman setelah menyebutkan macam-macam
makanan yang diharamkan:
 
    "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
    (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
    (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
    Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
    (al-Baqarah: 173)
 
Dan Rasulullah saw. bersabda:
 
     "Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas
     suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak
     sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1
 
Bahkan   anak-anak   dan   saudara-saudara   perempuan    kita
mendapatkan  pahala  atas musibah yang menimpa mereka, apabila
mereka  tetap  berpegang  teguh  pada  Islam   --yang   karena
keislamannyalah  mereka  ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan
mengharapkan  ridha  Allah  Azza  wa  Jalla  dalam  menghadapi
gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:
 
    "Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan,
    penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau
    kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan
    Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan
    peristiwa-peristiwa itu."2
 
Apabila  seorang  muslim  mendapat  pahala  hanya  karena  dia
tertusuk  duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak
orang dan kemuliaannya dikotori?
 
Karena itu saya nasihatkan kepada  pemuda-pemuda  muslim  agar
mendekatkan  diri  kepada  Allah dengan menikahi salah seorang
dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan  terhadap  keadaan
mereka   sekaligus  mengobati  luka  hati  mereka  yang  telah
kehilangan  sesuatu  yang  paling  berharga   sebagai   wanita
terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.
 
Adapun  menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam
fatwa  terdahulu  bahwa  pada  dasarnya  hal  ini   terlarang,
semenjak   bertemunya  sel  sperma  laki-laki  dan  sel  telur
perempuan, yang dari keduanya muncul  makhluk  yang  baru  dan
menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.
 
Maka  makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari
hubungan yang haram seperti zina. Dan  Rasulullah  saw.  telah
memerintahkan  wanita  Ghamidiyah  yang  mengaku telah berbuat
zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu  sampai
melahirkan  anaknya,  kemudian setelah itu ia disuruh menunggu
sampai anaknya sudah tidak menyusu  lagi  --baru  setelah  itu
dijatuhi hukuman rajam.
 
Inilah  fatwa  yang  saya pilih untuk keadaan normal, meskipun
ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan
asalkan  belum  berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian
riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin  itu
terjadi  pada  waktu  berusia empat puluh atau empat puluh dua
hari.
 
Bahkan sebagian fuqaha ada  yang  memperbolehkan  menggugurkan
kandungan  sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan
riwayat yang masyhur bahwa peniupan  ruh  terjadi  pada  waktu
itu.
 
Tetapi  pendapat  yang  saya pandang kuat ialah apa yang telah
saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam
keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di
antara  dua  pendapat  terakhir  tersebut.  Apabila   udzurnya
semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu
terjadi sebelum berusia empat puluh hari  maka  yang  demikian
lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).
 
Selain  itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh
yang kafir dan durhaka,  yang  melampaui  batas  dan  pendosa,
terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur
yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya  karena  ia  sangat
benci  terhadap  janin  hasil pemerkosaan tersebut serta ingin
terbebas  daripadanya.  Maka  ini  merupakan   rukhshah   yang
difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar
ukurannya.
 
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha  yang  sangat
ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan
kandungan meskipun baru berusia satu  hari.  Bahkan  ada  pula
yang  mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak
laki-laki  maupun   dari   pihak   perempuan,   ataupun   dari
kedua-duanya,  dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan
nazl  sebagai  pembunuhan  tersembunyi   (terselubung).   Maka
tidaklah  mengherankan  jika  mereka  mengharamkan pengguguran
setelah terjadinya kehamilan.
 
Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang
memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang
ketat yang melarangnya.
 
Sedangkan pendapat yang  mengatakan  bahwa  sel  telur  wanita
setelah  dibuahi  oleh  sel  sperma  laki-laki  telah  menjadi
manusia, maka yang demikian hanyalah  semacam  majas  (kiasan)
dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.
 
Memang  benar  bahwa  wujud  ini  mengandung kehidupan, tetapi
kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel
sperma  serta  sel  telur  itu  sendiri  sebelum bertemu sudah
mengandung kehidupan, namun yang demikian  bukanlah  kehidupan
manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
 
Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar
(dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli  syara',  dokter,  dan
cendekiawan.  Sedangkan  yang  kondisinya tidak demikian, maka
tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.
 
Maka bagi  wanita  muslimah  yang  mendapatkan  cobaan  dengan
musibah   seperti  ini  hendaklah  memelihara  janin  tersebut
--sebab menurut syara' ia tidak menanggung  dosa,  sebagaimana
saya   sebutkan   di   muka--   dan  ia  tidak  dipaksa  untuk
menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap
dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka
dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:
 
    "Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3
 
Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.
 
Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak  apabila  kedua
orang  tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang
terbaik  agamanya.  Ini  bagi  orang  (anak)  yang   diketahui
ayahnya,  maka  bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya?
Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.
 
Dalam  hal  ini,  bagi  masyarakat  muslim  sudah   seharusnya
mengurus  pemeliharaan  dan  nafkah  anak itu serta memberinya
pendidikan yang baik,  jangan  menyerahkan  beban  itu  kepada
ibunya  yang  miskin  dan  yang telah terkena cobaan. Demikian
pula pemerintah  dalam  Islam,  seharusnya  bertanggung  jawab
terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial
tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah  saw.
bersabda:
 
    "Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing
    kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4
 
Catatan kaki:
 
  1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659,
    hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,
    juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan
    diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm.
    356
    
  2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya),
    juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642.
    
  3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245,
    hadits nomor 1385.
    
  4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits
    nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299,
    hadits nomor 5200.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Tiada ulasan: