Selasa, 2 Oktober 2012

WANITA DAN PERMASALAHANNYA 2


APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?     Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Telah terjadi polemik dalam  beberapa  surat  kabar  di
Kairo  seputar  masalah  "cadar"  yang dipakai sebagian
remaja muslimah,  khususnya  para  mahasiswi.  Hal  itu
berawal  dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan  mahasiswi  beberapa  perguruan  tinggi,  yang
mengajukan   tuntutan   ke   pengadilan  karena  merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang  memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.
 
Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka  manakala  diperlukan,  apabila  ada
tuntutan  dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.
 
Seorang  wartawan  terkenal,  Ustadz  Ahmad  Bahauddin,
menulis  artikel  -  dalam  surat kabar al-Ahram - yang
isinya  bertentangan   dengan   keputusan   pengadilan.
Menurutnya,  cadar  dan  penutup  wajah  itu  merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini  diperkuat  oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.
 
Kami  mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan  yang  batil
ini.  Semoga  Allah  berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.
 
JAWABAN
 
Alhamdulillah,  segala  puji  kepunyaan   Allah,   Rabb
semesta  alam.  Semoga  shalawat  dan  salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia,  junjungan  kita
Nabi   Muhammad  saw.,  kepada  keluarganya,  dan  para
sahabatnya.
 
Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai
bid'ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan
berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan
menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan
tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan  hanya
menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.
 
Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum  kedua  telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
 
Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli  fiqih,  ahli  tafsir,  maupun  ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
 
Sebab  perbedaan  pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini  dan  sejauh  mana  pemahaman  mereka  terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya)  dan  dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya  ada  nash  yang  tegas  (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
 
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
 
"...  Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
 
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang  dimaksud  dengan  "kecuali  apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan  jilbab,  yakni  pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
 
Mereka  juga  meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak"  itu  dengan  celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang  hampir  sama  lagi
diriwayatkan  dari  Aisyah.  Selain  itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
 
Ada  pula  yang  menganggap  bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang   dimaksud   ialah)  bagian  wajah  dan  telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga  diriwayatkan  dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
 
Sebagian  ulama  lagi  menganggap  bahwa  sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.
 
Ibnu Athiyah  menafsirkannya  dengan  apa  yang  tampak
secara  darurat,  misalnya  karena  dihembus angin atau
lainnya.1
 
Mereka juga berbeda pendapat dalam  menafsirkan  firman
Allah:
 
"Hai  Nabi,  katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan  istri-isti  orang  mukmin,  'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk
dikenal,  karena  itu  mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (al-Ahzab:
59)
 
Maka  apakah  yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?
 
Mereka meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  yang  merupakan
kebalikan  dari  penafsirannya  terhadap  ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari  sebagian  tabi'in  -  Ubaidah
as-Salmani  -  bahwa  beliau  menafsirkan  "mengulurkan
jilbab" itu dengan  penafsiran  praktis  (dalam  bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau  yang  sebelah  kiri.  Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
 
Tetapi  penafsiran  kedua  beliau  ini  ditentang  oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia  berkata,
"Hendaklah   ia   (wanita)   menutup  lubang  (pangkal)
tenggorokannya  dengan  jilbabnya,  dengan  mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."
 
Sa'id  bin  Jubair  berkata,  "Tidak  halal bagi wanita
muslimah  dilihat  oleh   lelaki   asing   kecuali   ia
mengenakan   kain   di   atas   kerudungnya,   dan   ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
 
Dalam hal  ini  saya  termasuk  orang  yang  menguatkan
pendapat  yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya.  Karena  menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.
 
Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang  yang
sependapat   dengan   saya,   misalnya  Syekh  Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya  Hijabul  Mar'atil
Muslimah   fil-Kitab  was-Sunnah  dan  mayoritas  ulama
al-Azhar  di  Mesir,   ulama   Zaitunah   di   Tunisia,
Qarawiyyin  di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
 
Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya  ijma'  ulama
sekarang  terhadap  pendapat  ini  juga tidaklah benar,
karena  di  kalangan  ulama  Mesir  sendiri  ada   yang
menentangnya.
 
Ulama-ulama  Saudi  dan  sejumlah  ulama  negara-negara
Teluk menentang  pendapat  ini,  dan  sebagai  tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.
 
Banyak  pula  ulama  Pakistan  dan India yang menentang
pendapat ini,  mereka  berpendapat  kaum  wanita  wajib
menutup  mukanya.  Dan  diantara  ulama  terkenal  yang
berpendapat  demikian  ialah  ulama  besar   dan   da'i
terkenal,  mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
 
Adapun diantara ulama masa kini yang masih  hidup  yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis  kenamaan  dari  Suriah,  Dr.  Muhammad   Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
 
Disamping    itu,    masih   terus   saja   bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa  dari  waktu  ke  waktu
yang  menganggap  aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan  mengatasnamakan  agama  dan
iman  agar  mereka  mengenakan  cadar, dan menganjurkan
agar jangan  patuh  kepada  ulama-ulama  "modern"  yang
ingin   menyesuaikan  agama  dengan  peradaban  modern.
Barangkali  mereka  memasukkan  saya  kedalam  kelompok
ulama seperti ini.
 
Jika  dijumpai  diantara  wanita-wanita  muslimah  yang
merasa  mantap  dengan  pendapat  ini,  dan  menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana  kita  akan  mewajibkan  kepadanya  mengikuti
pendapat  lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?
 
Kami hanya mengingkari mereka  jika  mereka  memasukkan
pendapatnya  kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta   menganggapnya  sebagai  kemunkaran  yang  wajib
diperangi, padahal para  ulama  muhaqiq  telah  sepakat
mengenai  tidak  bolehnya  menganggap  munkar  terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.
 
Kalau kami mengingkari (menganggap munkar)  pelaksanaan
pendapat  yang  berbeda  dengan  pendapat  kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih  Islam  yang
lapang  -  kemudian  mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup,  hanya  semata-mata  karena
berbeda  dengan  pendapat  kami,  berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang  justru  kami  perangi
dan   kami   seru   manusia   untuk   membebaskan  diri
daripadanya.
 
Bahkan  seandainya  wanita  muslimah   tersebut   tidak
menganggap   wajib   menutup   muka,  tetapi  ia  hanya
menganggapnya  lebih  wara'  dan   lebih   takwa   demi
membebaskan  diri  dari  perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati,  maka  siapakah  yang
akan  melarang  dia  mengamalkan  pendapat  yang  lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia  dicela  selama  tidak  mengganggu  orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum  dan
khusus?
 
Saya  mencela  penulis  terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan  tidak  merujuk  kepada
sumber-sumber  tepercaya,  lebih-lebih  tulisannya  ini
dimaksudkan   sebagai   sanggahan   terhadap    putusan
pengadilan  khusus  yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan  cermat,
penuh   pertimbangan,   dan   dengan   pandangan   yang
menyeluruh.
 
Boleh  jadi  karena   dia   bersandar   pada   sebagian
tulisan-tulisan  ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke  dalam  kesalahan  sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan  "pakaian  renang"  yang  sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.
 
Tidak  seorang  pun  ulama  dahulu  dan  sekarang  yang
mengharamkan memakai cadar  bagi  wanita  secara  umum,
kecuali  hanya  pada  waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.
 
Sedangkan  tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih   yang   berpendapat   demikian,   bahkan    yang
memakruhkannya  pun  tidak  ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang  mengecam  sebagian  ulama
al-Azhar  yang  mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan  apa  yang  dihalalkan  Allah,  atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan   yang   mendalam    mengenai    Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
 
Kalau   hal  itu  hanya  sekadar  mubah  -  sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib  dan  bukan  pula
mustahab  -  maka  merupakan  hak  bagi  muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh  bagi  seseorang  untuk
melarangnya,    karena   ia   cuma   melaksanakan   hak
pribadinya.    Apalagi,    dalam    membiasakan    atau
mengenakannya  itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada  pepatah  Mesir  yang
menyindir orang yang bersikap demikian:
 
"Seseorang   bertopang   dagu,   mengapa   Anda   kesal
terhadapnya?"
 
Hukum   buatan   manusia   sendiri   mengakui   hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.
 
Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak  memakai  cadar,
sementara  diantara  mahasiswi-mahasiswi  di  perguruan
tinggi itu ada yang  mengenakan  pakaian  mini,  tipis,
membentuk  potongan  tubuhnya  yang  dapat  menimbulkan
fitnah   (rangsangan),   dan   memakai   bermacam-macam
make-up,  tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal  pakaian
yang  tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian  tubuh  selain  wajah  dan  kedua   tangan   itu
diharamkan  oleh  syara'  demikian  menurut kesepakatan
kaum muslim.
 
Kalau pihak yang bertanggung jawab di  kampus  melarang
pakaian  yang  seronok  itu,  sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan  undang-undang  yang  telah  menetapkan
bahwa  agama  resmi  negara  adalah  Islam,  dan  bahwa
hukum-hukum  syariat  Islam  merupakan   sumber   pokok
perundang-undangan.
 
Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!
 
Sungguh   mengherankan!   Mengapa   wanita-wanita  yang
berpakaian tetapi  telanjang,  yang  berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang  menegurnya?
Kemudian  mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita  bercadar,  yang
berkeyakinan  bahwa  hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
 
Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan  sebelum  dan
sesudahnya.  Tidak  ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan
 
Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
  Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
  Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
  dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
  ayat tersebut.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 
 APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB?     Dr. Yusuf Qardhawi (1/6)
 
PERTANYAAN
 
Saya telah membaca tulisan Ustadz  yang  membela  cadar  dan
menyangkal  pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar
itu bid'ah, tradisi luar  yang  masuk  ke  dalam  masyarakat
Islam,  dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga
menjelaskan  bahwa  pendapat  yang  mewajibkan  cadar  bagi
wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat
terhadap  persoalan  cadar   dan   wanita-wanita   bercadar,
meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar
 
Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah
bersikap moderat mengenai wanita bercadar  ini  dari  wanita
yang  suka  buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda
bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi  tidak
bercadar)  dan  saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk
terhadap kawan-kawan mereka yang  selalu  menyerukan  cadar.
Mereka   yang  dari  waktu  ke  waktu  tidak  henti-hentinya
menjelek-jelekkan kami, karena  kami  tidak  menutup  wajah.
Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah
karena wajah merupakan pusat  keindahan  (kecantikan).  Oleh
sebab  itu,  mereka  berpendapat  bahwa kami telah menentang
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta  petunjuk  salaf  karena  kami
membiarkan wajah terbuka.
 
Kadang-kadang  celaan  ini  dialamatkan kepada Anda sendiri,
karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela  cadar.
Demikian  pula  yang  dialamatkan  kepada Fadhilah asy-Syekh
Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama  mengemukakan  sanggahan
terhadap    beliau   melalui   beberapa   surat   kabar   di
negara-negara Teluk.
 
Kami harap Anda tidak menyuruh kami  untuk  membaca  kembali
tulisan  Anda  dalam  kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan
kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab  tersebut
sudah  terdapat  keterangan  yang memadai. Namun, kami masih
menginginkan  tambahan  penjelasan  lagi  untuk  memantapkan
hujjah,  menerangi  jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan
keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan  polemik
dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.
 
Semoga  Allah  menjadikan  kebenaran  pada lisan dan tulisan
Anda.
 
JAWABAN
 
Tidak ada alasan bagi  saya  untuk  diam  dan  merasa  cukup
dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
 
Saya   tahu   bahwa   perdebatan   mengenai  masalah-masalah
khilafiyah   itu   tidak   akan   selesai   dengan    adanya
makalah-makalah  dan  tulisan-tulisan  lepas,  bahkan  dalam
bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.
 
Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu  masih  ada,  maka
ikhtilaf   (perbedaan  pendapat)  itu  akan  senantiasa  ada
diantara manusia, meskipun mereka  sama-sama  muslim,  patuh
pada agamanya, dan ikhlas.
 
Bahkan  kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan   perbedaan   pendapat   itu   semakin    tajam.
Masing-masing  pihak  ingin  mengunggulkan dan memberlakukan
pendapat yang diyakininya benar sebagai  ajaran  agama  yang
akan  diperhitungkan  dengan  mendapatkan  pahala (bagi yang
melaksanakannya)  atau  mendapatkan   hukuman   (bagi   yang
melanggarnya).
 
Perbedaan   pendapat   itu  akan  terus  berlangsung  selama
nash-nashnya sendiri  -  yang  merupakan  sumber  penggalian
hukum   -  masih  menerima  kemungkinan  perbedaan  pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya,  selama  pemahaman  dan
kemampuan   manusia   untuk   mengistimbath   (menggali  dan
mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang  masih
ada   kemungkinan   untuk   mengambil   zhahir   nash   atau
kandungannya,  yang  tersurat  atau  yang   tersirat,   yang
rukhshah  (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum
asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
 
Perbedaan pendapat akan  senantiasa  muncul  selama  manusia
masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang
bersikap longgar seperti Ibnu  Abbas;  dan  selama  diantara
mereka  masih  ada  orang  yang  menunaikan  shalat ashar di
tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya  melainkan  di
perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).
 
Adalah  merupakan  rahmat  Allah  bahwa  perbedaan  pendapat
seperti ini tidak terlarang dan bukan  perbuatan  dosa,  dan
orang  yang  keliru  dalam  berijtihad  ini dimaafkan bahkan
mendapat pahala satu.  Bahkan  ada  orang  yang  mengatakan,
"Tidak  ada  yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini,
semuanya benar."
 
Para sahabat dan orang-orang yang  mengikuti  mereka  dengan
baik  juga  sering  berbeda pendapat antara yang satu dengan
yang lain  mengenai  masalah-masalah  furu'  (cabang)  dalam
agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya.
Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di
belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
 
Dengan   menyadari   bahwa   perbedaan   pendapat  itu  akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan
saya   akan  mengulangi  tema  tersebut  dengan  menambahkan
penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik  kepada  saya
hingga  mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat
memutuskan  perselisihan  atau  -   minimal   -   mengurangi
ketajamannya,  yang  melunakkan  kekerasannya  sehingga hati
wanita yang berhijab (tetapi tidak  bercadar)  merasa  riang
dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk
memakainya).
 
MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA
 
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya  sudah  tidak perlu penegasan, karena di kalangan
ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah
masyhur  dan  tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang
tidak wajibnya memakai cadar serta  bolehnya  membuka  wajah
dan  kedua  telapak  tangan  bagi  wanita  muslimah di depan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah  pendapat  jumhur
fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
 
Karena  itu  tidak  perlu  dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi  tidak  berilmu
dan  oleh  sebagian  pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat
terhadap pendapat  yang  dikemukakan  seorang  da'i  kondang
Syekh   Muhammad   al-Ghazali   dalam   beberapa   buku  dan
makalahnya. Mereka beranggapan  seakan-akan  beliau  membawa
bid'ah  atau  pendapat  baru,  padahal  sebenarnya  apa yang
beliau  kemukakan  itu  merupakan  pendapat  imam-imam  yang
mu'tabar  dan  fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya
jelaskan kemudian. Selain itu,  apa  yang  beliau  kemukakan
merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar,
disandarkan pada penalaran dan i'tibar,  dan  didukung  pula
oleh realitas dalam beberapa zaman.
 
MAZHAB HANAFI
 
Dalam  kitab  al-Ikhtiyar,  salah  satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain  kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan  dari  Abu  Hanifah  bahwa  beliau
menambahkan  dengan  kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal
wajahnya   ketika   bermuamalah  dengan  orang  lain,  untuk
menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena  tidak  adanya
orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
 
Beliau  berkata:  Sebagai  dasarnya ialah firman Allah, "Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )
 
Para  sahabat  pada  umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud
ayat  tersebut  ialah  celak  dan  cincin,  yaitu  tempatnya
(bagian  tubuh  yang  ditempati  celak  dan cincin). Hal ini
sebagaimana telah saya jelaskan  bahwa  celak,  cincin,  dan
macam-macam  perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun
orang  lain.  Maka  yang  dimaksud  disini   ialah   'tempat
perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan
mudhaf ilaih pada tempatnya.
 
Beliau berkata, adapun  kaki,  maka  diriwayatkan  bahwa  ia
bukanlah  aurat  secara mutlak, karena bagian ini diperlukan
untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan
timbulnya  syahwat  karena melihat muka dan tangan itu lebih
besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
 
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah  aurat  untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1
 
MAZHAB MALIKI
 
Dalam  syarah  shaghir  (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir
yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
 
"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing,  yakni  yang
bukan  mahramnya,  ialah  seluruh  tubuhnya selain wajah dan
telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."
 
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya,
katanya,  "Maksudnya,  boleh  melihatnya,  baik  bagian luar
maupun   bagian   dalam   (tangan   itu),    tanpa    maksud
berlezat-lezat  dan  merasakannya,  dan  jika tidak demikian
maka hukumnya haram."
 
Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib  menutup  wajah
dan  kedua  tangannya?"  Itulah  pendapat  Ibnu  Marzuq yang
mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
 
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan  tangannya
hanya  si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini
adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.
 
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah  antara
wanita  yang  cantik  dan  yang  tidak,  yang  cantik  wajib
menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2
 
MAZHAB SYAFI'I
 
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:
 
"Adapun  wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat,
kecuali wajah dan telapak  tangan  -  Imam  Nawawi  berkata:
hingga  pergelangan  tangan  - berdasarkan firman Allah 'Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang
biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan
kedua telapak tangannya.'3
 
                       (Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 PERANAN HAWA DALAM PENGUSIRAN ADAM DARI SURGA
Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan
penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang
mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka
terusir  dari  surga  dan  menyebabkan penderitaan bagi kita
(anak cucunya) di dunia.

Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan  kedudukan
kaum  wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering
dituding sebagai cikal bakal datangnya segala  musibah  yang
terjadi  di  dunia,  baik  pada  orang-orang  dahulu  maupun
sekarang.

Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah
dalam   Islam   dalil   yang   menunjukkan   hal  itu,  atau
kebalikannya?

Kami harap  Ustadz  berkenan  menjelaskannya.  Semoga  Allah
memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.

JAWABAN

Pendapat  yang  ditanyakan  saudara  penanya,  tentang  kaum
wanita -seperti ibu kita Hawa - yang harus bertanggung jawab
atas  kesengsaraan  hidup  manusia,  dengan mengatakan bahwa
Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan  buah  terlarang
...  dan  seterusnya,  tidak  diragukan lagi adalah pendapat
yang tidak islami.

Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian
dan  tambahannya.  Ini  merupakan pendapat yang diimani oleh
kaum  Yahudi  dan  Nasrani,  serta  sering   menjadi   bahan
referensi  bagi  para  pemikir, penyair, dan penulis mereka.
Bahkan tidak sedikit (dan ini  sangat  disayangkan)  penulis
muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.

Namun,  bagi  orang  yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur'an
yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun  dalam
beberapa  surat,  tidak  akan bertaklid buta seperti itu. Ia
akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.

1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu
   ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah
   berfirman:
   
   "Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan
   istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
   banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah
   kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
   orang-orang zalim.'" (al-Baqarah: 35)
   
2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya
   dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan,
   sebagaimana difirmankan Allah:
   
   "Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan
   dikeluarkan dari keadaan semula ..." (al-Baqarah: 36)
   
   Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai
   tipu daya dan bujuk rayu setan:
   
   "Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
   menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka
   yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak
   melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
   berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang
   kekal (dalam surga).' Dan dia (setan) bersumpah kepada
   keduanya, 'Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi
   nasihat kepada kamu berdua.' Maka setan membujuk keduanya
   (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya
   telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya
   aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan
   daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka,
   'Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
   berdua?' Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah
   menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
   mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
   termasuk orang-orangyang merugi.'" (al-A'raf: 20-23)
   
   Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama
   kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu,
   bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut
   ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus.
   Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang
   dipersalahkan - karena pelanggaran itu - pun adalah Adam.
   Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan
   pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa
   peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan
   Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.
   
   Allah berfirman:
   
   "Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu,
   maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati
   padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami
   berkata kepada malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka
   mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami
   berkata, 'Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh
   bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai
   ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan
   kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan
   didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu
   tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas
   matahari didalamnya. 'Kemudian setan membisikkan pikiran
   jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, 'Hai Adam, maukah
   saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak
   akan binasa?' Maka keduanya memakan dari buah pohon itu,
   lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah
   keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga,
   dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian
   Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan
   memberinya petunjuk." (Thaha: 115-122)
   
3. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh
   Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum
   diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin
   mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa
   mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini
   telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang
   disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang
   membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan
   memakan buah terlarang.
   
   Firman Allah:
   
   "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
   'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
   bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan
   (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
   padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
   bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan
   befirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
   ketahui.' Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
   seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
   lalu berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
   jika kamu memang orang-orang yang benar?' Mereka menjawab,
   'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
   apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
   Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.' Allah
   berfirman, 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
   benda ini.' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
   nama-nama benda itu, Allah berfirman, 'Bukankah sudah
   Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
   langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan
   apa yang kamu sembunyikan?'" (al-Baqarah: 30-33)
   
   Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s.
   bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan
   kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia
   karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu
   (lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi
   sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka
   alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan
   argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu
   sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk
   memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan
   ini tercantum dalam Taurat.
   
   Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama,
   bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada
   Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam
   Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan
   buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang
   dimasukkan orang ke dalam Taurat.
   
   Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi
   sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur
   dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
   al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
   melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang
   dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah
   pasti terjadi.
   
4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk
   berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu
   pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar
   larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan
   bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah
   untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
   dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah
   menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum
   pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan
   tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.
   
   Para ulama berbeda pendapat mengenai "surga" Adam ini,
   apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang
   mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah "jannah"
   (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah:
   
   "Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah)
   sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
   (jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka
   sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari."
   (al-Qalam: 17)
   
   Dalam surat lain Allah berfirman:
   
   "Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang
   laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang
   kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi
   kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua
   kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu
   menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya
   sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua
   kebun itu." (al-Kahfi: 32-33)
   
   Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan
   dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris
   Sa'adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui
   lebih jauh masalah ini. Wallahu a'lam.

-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA?    Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Bagaimana hukum wanita bekeria  menurut  syara'?  Maksudnya:
bekerja  di  luar  rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh
bekerja dan ikut  andil  dalam  produksi,  pembangunan,  dan
kegiatan  kemasyarakatan?  Ataukah  dia  harus terus-menerus
menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas
apa  pun?  Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam
memuliakan  wanita  dan   memberikan   hak-hak   kemanusiaan
kepadanya   jauh   beberapa   abad   sebelum   bangsa  Barat
mengenalnya. Apakah aktivitas  yang  ia  lakukan  itu  tidak
dapat  dianggap  sebagai  haknya  yang akan menjernihkan air
mukanya, sekaligus dapat menjaga  kehormatannya  agar  tidak
menjadi  barang  dagangan  yang  diperjualbelikan  seenaknya
ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?
 
Mengapa wanita  (muslimah)  tidak  boleh  terjun  ke  kancah
kehidupan  sebagaimana  yang  dilakukan wanita-wanita Barat,
untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya,
agar  dapat  mengurus  dirinya sendiri, dan ikut andil dalam
memajukan masyarakat?
 
Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas
yang  diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk
dunianya tanpa  merugikan  agamanya,  lepas  dari  kekolotan
orang-orang  ekstrem  yang  tidak  menghendaki  kaum  wanita
belajar dan bekerja  serta  keluar  rumah  walau  ke  masjid
sekalipun.  Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar
wanita muslimah lepas  bebas  dari  segala  ikatan  sehingga
menjadi barang murahan di pasar-pasar.
 
Kami  ingin  mengetahui  hukum  syara'  yang  benar mengenai
masalah  ini  dengan  tidak   melebih-lebihkan   dan   tidak
mengurang-ngurangkan.
 
JAWABAN
 
Wanita  adalah  manusia  juga  sebagaimana laki-laki. Wanita
merupakan bagian  dari  laki-laki  dan  laki-laki  merupakan
bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
 
"...  sebagian  kamu  adalah turunan dari sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195}
 
Manusia merupakan  makhluk  hidup  yang  diantara  tabiatnya
ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak
demikian, maka bukanlah dia manusia.
 
Sesungguhnya Allah Ta'ala  menjadikan  manusia  agar  mereka
beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk
menguji siapa diantara mereka yang  paling  baik  amalannya.
Oleh   karena   itu,   wanita  diberi  tugas  untuk  beramal
sebagaimana laki-laki - dan  dengan  amal  yang  lebih  baik
secara  khusus  - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa
Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
 
"Maka  Tuhan  mereka  memperkenankan  permohonannya  (dengan
berfirman),  'Sesungguhnya  Aku  tidak  menyia-nyiakan  amal
orang-orang  yang  beramal  diantara  kamu,  baik  laki-laki
maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)
 
Siapa  pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala
di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
 
"Barangsiapa yang mengeryakan  amal  saleh,  baik  laki-laki
maupun  perempuan  dalam  keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan  Kami  berikan  kepadanya  kehidupan  yang   baik   dan
sesungguhnya  akan  Kami  beri  balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(an-Nahl: 97}
 
Selain  itu,  wanita  -  sebagaimana  biasa dikatakan - juga
merupakan separo dari masyarakat manusia,  dan  Islam  tidak
pernah   tergambarkan   akan   mengabaikan   separo  anggota
masyarakatnya serta menetapkannya beku  dan  lumpuh,  lantas
dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi
sesuatu pun.
 
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan  utama  yang  tidak
diperselisihkan  lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah  untuk  tugas  itu,  baik
secara  fisik  maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan atau  diabaikan  oleh  faktor  material  dan
kultural  apa  pun.  Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat
menggantikan peran kaum wanita  dalam  tugas  besarnya  ini,
yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya
pula terwujud kekayaan yang  paling  besar,  yaitu  kekayaan
yang berupa manusia (sumber daya manusia).
 
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu
Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
 
   Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
   Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
   Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
   pokok pangkalnya.
 
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara  rumah  tangganya
membahagiakan  suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang
tenteram  damai,  penuh  cinta  dan  kasih  sayang.   Hingga
terkenal   dalam  peribahasa,  "Bagusnya  pelayanan  seorang
wanita  terhadap   suaminya   dinilai   sebagai   jihad   fi
sabilillah."
 
Namun  demikian,  tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar
rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak  ada  seorang  pun
yang  dapat  mengharamkan  sesuatu  tanpa adanya nash syara'
yang sahih periwayatannya dan  sharih  (jelas)  petunjuknya.
Selain  itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan
itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
 
Berdasarkan prinsip ini,  maka  saya  katakan  bahwa  wanita
bekerja  atau  melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan
kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau  wajib
apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda
atau diceraikan suaminya, sedangkan  tidak  ada  orang  atau
keluarga  yang  menanggung  kebutuhan  ekonominya,  dan  dia
sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi  dirinya
dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
 
Selain  itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita
untuk   bekerja,   seperti   membantu   suaminya,   mengasuh
anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil,
atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua
orang  putri  seorang  syekh  yang  sudah  lanjut  usia yang
menggembalakan  kambing  ayahnya,  seperti  dalam  Al-Qur'an
surat al-Qashash:
 
"...  Kedua  wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi
(ternak   kami)    sebelum    penggembala-penggembala    itu
memulangkan  (ternaknya),  sedangkan bapak kami adalah orang
tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)
 
Diriwayatkan  pula  bahwa  Asma'  binti  Abu  Bakar  -  yang
mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair
bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak,   sehingga   ia  juga  sering  membawanya  di  atas
kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
 
Masyarakat  sendiri   kadang-kadang   memerlukan   pekerjaan
wanita,  seperti  dalam  mengobati  dan  merawat orang-orang
wanita, mengajar anak-anak putri,  dan  kegiatan  lain  yang
memerlukan  tenaga  khusus  wanita.  Maka  yang utama adalah
wanita  bermuamalah  dengan  sesama  wanita,  bukan   dengan
laki-laki.
 
Sedangkan  diterimanya  (diperkenankannya) laki-laki bekerja
pada sektor wanita dalam beberapa hal  adalah  karena  dalam
kondisi  darurat  yang  seyogianya  dibatasi  sesuai  dengan
kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
 
Apabila  kita  memperbolehkan  wanita  bekerja,  maka  wajib
diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
 
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya,
   pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu
   yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani
   lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi
   seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
   berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang
   nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja
   di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal
   Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya,
   membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal
   terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan,
   bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri
   asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
   yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita
   maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
   
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam
   berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
   
   "Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah
   mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
   janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
   (biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )
   
   "... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
   perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
   
   "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
   berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
   ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
   
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan
   kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti
   kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan
   kewajiban pertama dan tugas utamanya.
 
Wabillahi aufiq.
 
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X 
 
 
 BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN?        Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya mengajukan lamaran  (khitbah)  terhadap  seorang  gadis
melalui  keluarganya,  lalu  mereka  menerima dan menyetujui
lamaran saya.  Karena  itu,  saya  mengadakan  pesta  dengan
mengundang  kerabat  dan  teman-teman.  Kami umumkan lamaran
itu,  kami  bacakan  al-Fatihah,  dan  kami  mainkan  musik.
Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat
dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at  yang  berarti
memperbolehkan  saya  berduaan  dengan  wanita tunangan saya
itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang  ini  saya
belum  memungkinkan  untuk  melaksanakan  akad  nikah secara
resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).
 
JAWABAN
 
Khitbah (meminang,  melamar,  bertunangan)  menurut  bahasa,
adat,  dan  syara,  bukanlah  perkawinan. Ia hanya merupakan
mukadimah (pendahuluan) bagi  perkawinan  dan  pengantar  ke
sana.
 
Seluruh  kitab  kamus  membedakan antara kata-kata "khitbah"
(melamar)  dan  "zawaj"   (kawin);   adat   kebiasaan   juga
membedakan  antara  lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah  kawin;  dan  syari'at  membedakan  secara
jelas  antara  kedua  istilah  tersebut. Karena itu, khitbah
tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan  untuk  kawin
dengan   wanita   tertentu,   sedangkan  zawaj  (perkawinan)
merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang  kuat  yang
mempunyai    batas-batas,    syarat-syarat,   hak-hak,   dan
akibat-akibat tertentu.
 
Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut,  yaitu
ketika membicarakan wanita yang kematian suami:
 
"Dan  tidak  ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang
suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu  dengan
sindiran   atau  kamu  menyembunyikan  (keinginan  mengawini
mereka) dalam  hatimu.  Allah  mengetahui  bahwa  kamu  akan
menyebut-nyebut   mereka,  dalam  pada  itu  janganlah  kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekadar  mengucapkan  (kepada  mereka) perkataan yang ma'ruf
(sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam  (bertetap
hati)  untuk  beraqad  nikah  sebelum  habis 'iddahnya." (Al
Baqarah: 235)
 
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara,  hal
itu  tak  lebih  hanya  untuk  menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak  akan  dapat
memberikan  hak  apa-apa  kepada si peminang melainkan hanya
dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
 
"Tidak  boleh  salah seorang diantara kamu meminang pinangan
saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
 
Karena itu, yang penting  dan  harus  diperhatikan  di  sini
bahwa   wanita   yang  telah  dipinang  atau  dilamar  tetap
merupakan  orang  asing  (bukan  mahram)  bagi  si   pelamar
sehingga  terselenggara  perkawinan  (akad nikah) dengannya.
Tidak boleh si wanita diajak hidup  serumah  (rumah  tangga)
kecuali  setelah  dilaksanakan akad nikah yang benar menurut
syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul.
Ijab  dan  kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu
yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.
 
Selama akad nikah -  dengan  ijab  dan  kabul  -  ini  belum
terlaksana,  maka  perkawinan  itu  belum terwujud dan belum
terjadi, baik menurut adat,  syara',  maupun  undang-undang.
Wanita   tunangannya  tetap  sebagai  orang  asing  bagi  si
peminang  (pelamar)  yang  tidak  halal  bagi  mereka  untuk
berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang
mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
 
Menurut ketetapan syara, yang  sudah  dikenal  bahwa  lelaki
yang  telah  mengawini  seorang  wanita  lantas meninggalkan
(menceraikan) isterinya itu sebelum ia  mencampurinya,  maka
ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.
 
Allah berfirman:
 
"Jika  kamu  menceraikan  isteri-isteri  kamu  sebelum  kamu
mencampuri   mereka,   padahal   sesungguhnya   kamu   telah
menentukan  maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali  jika  isteri-isterimu  itu
memaafkan  atau  dimaafkan  oleh  orang yang memegang ikatan
nikah ..." (Al Baqarah: 237)
 
Adapun  jika  peminang  meninggalkan  (menceraikan)   wanita
pinangannya  setelah  dipinangnya,  baik selang waktunya itu
panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa
kecuali  hukuman  moral  dan  adat  yang  berupa  celaan dan
cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si  peminang
akan   diperbolehkan  berbuat  terhadap  wanita  pinangannya
sebagaimana  yang  diperbolehkan  bagi  orang   yang   telah
melakukan akad nikah.
 
Karena  itu,  nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah
segera melaksanakan akad  nikah  dengan  wanita  tunangannya
itu.  Jika  itu  sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan
tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum  memungkinkan,
maka  sudah  selayaknya  ia menjaga hatinya dengan berpegang
teguh  pada  agama  dan  ketegarannya   sebagai   laki-laki,
mengekang   nafsunya   dan  mengendalikannya  dengan  takwa.
Sungguh tidak baik memulai sesuatu  dengan  melampaui  batas
yang halal dan melakukan yang haram.
 
Saya  nasihatkan  pula  kepada para bapak dan para wali agar
mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan
mereka  yang  sudah  bertunangan.  Sebab,  zaman  itu selalu
berubah dan, begitu pula hati manusia.  Sikap  gegabah  pada
awal  suatu  perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan
getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah  merupakan
tindakan lebih tepat dan lebih utama.
 
"...  Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 229)
 
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
takut  kepada  Allah  dan  bertakwa  kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nur: 52)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X


Tiada ulasan: