APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH? Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di
Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu
berawal dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.
Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada
tuntutan dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.
Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin,
menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan yang batil
ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.
JAWABAN
Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb
semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia, junjungan kita
Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para
sahabatnya.
Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai
bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan
tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.
Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.
Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi
diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.
Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau
lainnya.1
Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab:
59)
Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan
kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah
as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan
jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata,
"Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita
muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.
Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang
sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil
Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di Tunisia,
Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama
sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,
karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya.
Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara
Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang
pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib
menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang
berpendapat demikian ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu
yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan
agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang
ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok
ulama seperti ini.
Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang
merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?
Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat
mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.
Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan
pendapat yang berbeda dengan pendapat kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi
dan kami seru manusia untuk membebaskan diri
daripadanya.
Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak
menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya
menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang
akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?
Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan
pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang
menyeluruh.
Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang
mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum,
kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama
al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab - maka merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk
melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak
pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang
menyindir orang yang bersikap demikian:
"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal
terhadapnya?"
Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.
Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan
tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis,
membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian
yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu
diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan
kaum muslim.
Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang
pakaian yang seronok itu, sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa
hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok
perundang-undangan.
Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!
Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang
berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan
sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan
Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
ayat tersebut.
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? Dr. Yusuf Qardhawi (1/6) PERTANYAAN Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar itu bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat Islam, dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga menjelaskan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar bagi wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat terhadap persoalan cadar dan wanita-wanita bercadar, meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah bersikap moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita yang suka buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak bercadar) dan saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk terhadap kawan-kawan mereka yang selalu menyerukan cadar. Mereka yang dari waktu ke waktu tidak henti-hentinya menjelek-jelekkan kami, karena kami tidak menutup wajah. Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah karena wajah merupakan pusat keindahan (kecantikan). Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk salaf karena kami membiarkan wajah terbuka. Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri, karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar. Demikian pula yang dialamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama mengemukakan sanggahan terhadap beliau melalui beberapa surat kabar di negara-negara Teluk. Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali tulisan Anda dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut sudah terdapat keterangan yang memadai. Namun, kami masih menginginkan tambahan penjelasan lagi untuk memantapkan hujjah, menerangi jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan polemik dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini. Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan Anda. JAWABAN Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya. Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun. Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada diantara manusia, meskipun mereka sama-sama muslim, patuh pada agamanya, dan ikhlas. Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam. Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan pendapat yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang akan diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang melanggarnya). Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian hukum - masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk mengambil zhahir nash atau kandungannya, yang tersurat atau yang tersirat, yang rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah. Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang bersikap longgar seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara mereka masih ada orang yang menunaikan shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya melainkan di perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana). Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan orang yang keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang mengatakan, "Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar." Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari. Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan saya akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya hingga mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat memutuskan perselisihan atau - minimal - mengurangi ketajamannya, yang melunakkan kekerasannya sehingga hati wanita yang berhijab (tetapi tidak bercadar) merasa riang dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk memakainya). MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur dan tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah pendapat jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a.. Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang Syekh Muhammad al-Ghazali dalam beberapa buku dan makalahnya. Mereka beranggapan seakan-akan beliau membawa bid'ah atau pendapat baru, padahal sebenarnya apa yang beliau kemukakan itu merupakan pendapat imam-imam yang mu'tabar dan fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang beliau kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung pula oleh realitas dalam beberapa zaman. MAZHAB HANAFI Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya. Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 ) Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya (bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya jelaskan bahwa celak, cincin, dan macam-macam perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun orang lain. Maka yang dimaksud disini ialah 'tempat perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya. Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia bukanlah aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya syahwat karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama. Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk dipandang, bukan untuk shalat.1 MAZHAB MALIKI Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan: "Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat." Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya, "Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar maupun bagian dalam (tangan itu), tanpa maksud berlezat-lezat dan merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram." Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur. Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh. Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2 MAZHAB SYAFI'I Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan: "Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan kedua telapak tangannya.'3 (Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X PERANAN HAWA DALAM PENGUSIRAN ADAM DARI SURGA
Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan
penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang
mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka
terusir dari surga dan menyebabkan penderitaan bagi kita
(anak cucunya) di dunia.
Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan kedudukan
kaum wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering
dituding sebagai cikal bakal datangnya segala musibah yang
terjadi di dunia, baik pada orang-orang dahulu maupun
sekarang.
Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah
dalam Islam dalil yang menunjukkan hal itu, atau
kebalikannya?
Kami harap Ustadz berkenan menjelaskannya. Semoga Allah
memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.
JAWABAN
Pendapat yang ditanyakan saudara penanya, tentang kaum
wanita -seperti ibu kita Hawa - yang harus bertanggung jawab
atas kesengsaraan hidup manusia, dengan mengatakan bahwa
Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan buah terlarang
... dan seterusnya, tidak diragukan lagi adalah pendapat
yang tidak islami.
Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian
dan tambahannya. Ini merupakan pendapat yang diimani oleh
kaum Yahudi dan Nasrani, serta sering menjadi bahan
referensi bagi para pemikir, penyair, dan penulis mereka.
Bahkan tidak sedikit (dan ini sangat disayangkan) penulis
muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.
Namun, bagi orang yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur'an
yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun dalam
beberapa surat, tidak akan bertaklid buta seperti itu. Ia
akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.
1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu
ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah
berfirman:
"Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan
istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang zalim.'" (al-Baqarah: 35)
2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya
dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan,
sebagaimana difirmankan Allah:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula ..." (al-Baqarah: 36)
Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai
tipu daya dan bujuk rayu setan:
"Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka
yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak
melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang
kekal (dalam surga).' Dan dia (setan) bersumpah kepada
keduanya, 'Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi
nasihat kepada kamu berdua.' Maka setan membujuk keduanya
(untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya
telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya
aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka,
'Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua?' Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orangyang merugi.'" (al-A'raf: 20-23)
Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama
kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu,
bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut
ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus.
Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang
dipersalahkan - karena pelanggaran itu - pun adalah Adam.
Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan
pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa
peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan
Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.
Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu,
maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati
padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami
berkata kepada malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka
mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami
berkata, 'Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh
bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai
ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan
kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan
didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu
tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas
matahari didalamnya. 'Kemudian setan membisikkan pikiran
jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, 'Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak
akan binasa?' Maka keduanya memakan dari buah pohon itu,
lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga,
dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian
Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan
memberinya petunjuk." (Thaha: 115-122)
3. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh
Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum
diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin
mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa
mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini
telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang
disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang
membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan
memakan buah terlarang.
Firman Allah:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan
befirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.' Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
lalu berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu memang orang-orang yang benar?' Mereka menjawab,
'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.' Allah
berfirman, 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini.' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman, 'Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan
apa yang kamu sembunyikan?'" (al-Baqarah: 30-33)
Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s.
bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan
kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia
karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu
(lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi
sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka
alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan
argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu
sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk
memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan
ini tercantum dalam Taurat.
Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama,
bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada
Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam
Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan
buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang
dimasukkan orang ke dalam Taurat.
Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi
sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur
dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang
dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah
pasti terjadi.
4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk
berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu
pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar
larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan
bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah
untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah
menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum
pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan
tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.
Para ulama berbeda pendapat mengenai "surga" Adam ini,
apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang
mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah "jannah"
(taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah)
sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
(jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari."
(al-Qalam: 17)
Dalam surat lain Allah berfirman:
"Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang
laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang
kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi
kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua
kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu
menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya
sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua
kebun itu." (al-Kahfi: 32-33)
Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan
dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris
Sa'adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui
lebih jauh masalah ini. Wallahu a'lam.
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA? Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Bagaimana hukum wanita bekeria menurut syara'? Maksudnya:
bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh
bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan, dan
kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus
menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas
apa pun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam
memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan
kepadanya jauh beberapa abad sebelum bangsa Barat
mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak
dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air
mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak
menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan seenaknya
ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?
Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah
kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita Barat,
untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya,
agar dapat mengurus dirinya sendiri, dan ikut andil dalam
memajukan masyarakat?
Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas
yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk
dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan
orang-orang ekstrem yang tidak menghendaki kaum wanita
belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid
sekalipun. Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar
wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga
menjadi barang murahan di pasar-pasar.
Kami ingin mengetahui hukum syara' yang benar mengenai
masalah ini dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak
mengurang-ngurangkan.
JAWABAN
Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita
merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan
bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195}
Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya
ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak
demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka
beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk
menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.
Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal
sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik
secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa
Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki
maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala
di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(an-Nahl: 97}
Selain itu, wanita - sebagaimana biasa dikatakan - juga
merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak
pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota
masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas
dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi
sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak
diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik
secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan
kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat
menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini,
yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya
pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan
yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu
Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya
membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang
tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga
terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang
wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi
sabilillah."
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar
rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun
yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara'
yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya.
Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan
itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita
bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan
kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib
apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda
atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau
keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia
sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya
dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita
untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh
anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil,
atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua
orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang
menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an
surat al-Qashash:
"... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang
tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar - yang
mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair
bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas
kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan
wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang
wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang
memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah
wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan
laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja
pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam
kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan
kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib
diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya,
pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu
yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani
lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi
seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang
nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja
di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal
Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya,
membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal
terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan,
bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri
asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita
maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam
berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan
kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti
kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan
kewajiban pertama dan tugas utamanya.
Wabillahi aufiq.
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN? Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis
melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui
lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan
mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran
itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami mainkan musik.
Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat
dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at yang berarti
memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya
itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya
belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara
resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).
JAWABAN
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa,
adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan
mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke
sana.
Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah"
(melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara
jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah
tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin
dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan)
merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang
mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.
Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu
ketika membicarakan wanita yang kematian suami:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang
suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf
(sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Al
Baqarah: 235)
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal
itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat
memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya
dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
"Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan
saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini
bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap
merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar
sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya.
Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga)
kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut
syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul.
Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu
yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.
Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum
terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum
terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang.
Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk
berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang
mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki
yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan
(menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka
ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.
Allah berfirman:
"Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah ..." (Al Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita
pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu
panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa
kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan
cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang
akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya
sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah
melakukan akad nikah.
Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah
segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya
itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan
tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan,
maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang
teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki,
mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa.
Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas
yang halal dan melakukan yang haram.
Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar
mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan
mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu
berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada
awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan
getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan
tindakan lebih tepat dan lebih utama.
"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 229)
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nur: 52)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
HATI JADI MATI JIKA 40 HARI TIDAK MENUNTUT ILMU ISLAM DAN 3 HARI HATI JADI SAKIT...KERANA IA MAKANAN HATI...HEBAH2KAN GAN KAWAN2 BLOG NI..TK KERANA SERING MELAYARI BLOG INI. رَبِّيْ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ Tuhanku (Allah) lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku.. amin...سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُلاحول ولا قوّة إلاّ باللّه العظيم.... وَالـــــسَّلاَمُ عَلَيْكُـــمْ وَرَحْمَـــة ُاللهِ وَبَرَكَاتُـــهُ
Selasa, 2 Oktober 2012
WANITA DAN PERMASALAHANNYA 2
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan