Selasa, 2 Oktober 2012

WANITA DAN PERMASALAHANNYA 1


 

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
Pertanyaan:
 
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk  menanyakan  apa  saja  yang  berkaitan  dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
 
Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai    hubungan   seksual   antara   suami-istri   yang
berdasarkan  agama,  yaitu  jika  si  istri  menolak  ajakan
suaminya  dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah  ada  penetapan  dan  batas-batas  tertentu
mengenai  hal  ini,  serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam  untuMk  mengatur  hubungan  kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
 
Jawab:
 
Benar,  kita  tidak  boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk  menanyakan  sesuatu  hal.  Aisyah  r.a.  telah
memuji  wanita  Anshar,  bahwa  mereka tidak dihalangi sifat
malu   untuk   menanyakan   ilmu   agama.   Walaupun   dalam
masalah-masalah  yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum  ketika  di  masjid,  yang
biasanya  dihadiri  oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan  masalah-masalah  wudhu,  najasah   (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
 
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi  para  ulama  tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara  jelas  mengenai  hukum-hukum  Allah  dan
Sunnah   Nabi   saw.   dengan  cara  yang  tidak  mengurangi
kehormatan  agama,  kehebatan  masjid  dan  kewibawaan  para
ulama.
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa  yang  dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,  agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
 
Sebenarnya,  masalah   hubungan   antara   suami-istri   itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan   dan  kerusakan  terhadap  kelangsungan  hubungan
suami-istri. Kesalahan yang  bertumpuk  dapat  mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
 
Agama  Islam  dengan  nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia  dan  kehidupan  berkeluarga,  yang  telah
diterangkan  tentang  perintah  dan larangannya. Semua telah
tercantum  dalam  ajaran-ajaran  Islam,  misalnya   mengenai
akhlak,  tabiat,  suluk,  dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).
 
1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
   dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
   ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
   itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
   memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
   untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
   saw, yaitu menikah.
   
   Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
   
   "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
   khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
   tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
   barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
   bukan termasuk golonganku."
   
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
   setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
   menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
   mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
   Nabi saw.:
   
   "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
   bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
   dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
   menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
   dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
   pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
   menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
   menghitung hal-hal yang baik."
 
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih  agresif,  tidak  memiliki  kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya  wanita  itu  bersikap  pemalu  dan
dapat menahan diri.
 
Karenanya   diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
 
"Jika si istri dipanggil oleh suaminya  karena  perlu,  maka
supaya  segera  datang,  walaupun  dia  sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
 
Dianjurkan oleh Nabi saw.  supaya  si  istri  jangan  sampai
menolak   kehendak   suaminya   tanpa   alasan,  yang  dapat
menimbulkan  kemarahan  atau  menyebabkannya  menyimpang  ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
 
Nabi saw. telah bersabda:
 
"Jika  suami  mengajak  tidur  si  istri  lalu  dia menolak,
kemudian  suaminya  marah  kepadanya,  maka  malaikat   akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Keadaan  yang  demikian  itu  jika  dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih,  berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt.  adalah
Tuhan  bagi  hamba-hambaNya  Yang  Maha  Pemberi  Rezeki dan
Hidayat,  dengan  menerima  uzur  hambaNya.  Dan   hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.
 
Selanjutnya,  Islam  telah  melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya  lebih
diutamakan  untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.
 
Nabi saw. bersabda:
 
"Dilarang bagi si istri (puasa  sunnah)  sedangkan  suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Disamping  dipeliharanya  hak  kaum  laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga  harus  dipelihara
dalam  segala  hal.  Nabi  saw.  menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
 
Beliau bersabda:
 
"Sesungguhnya bagi  jasadmu  ada  hak  dan  hagi  keluargamu
(istrimu) ada hak."
 
Abu  Hamid  Al-Ghazali,  ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
 
"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:
 
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."
 
Rasulullah  saw.  melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."
 
Al-Ghazali berkata, "Dalam  suasana  ini  (akan  bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan  menutup  diri  mereka  dengan  selimut,
jangan  telanjang  menyerupai  binatang.  Sang  suami  harus
memelihara suasana dan  menyesuaikan  diri,  sehingga  kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
 
Berkata  Al-Imam  Abu  Abdullah  Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul  'Ibaad,  mengenai  sunnah
Nabi   saw.   dan   keterangannya   dalam  cara  bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
 
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
 
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
   yang ditetapkan menurut takdir Allah.
   
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
   jika ditahan terus.
   
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
   kelak di surga.
 
Ditambah  lagi  mengenai  manfaatnya,   yaitu:   Menundukkan
pandangan,  menahan  nafsu,  menguatkan  jiwa dan agar tidak
berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.  Nabi   saw.   telah
menyatakan:
 
"Yang  aku  cintai  di  antara  duniamu  adalah  wanita  dan
wewangian."
 
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
 
"Wahai para  pemuda!  Barangsiapa  yang  mampu  melaksanakan
pernikahan,  maka  hendaknya  menikah.  Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
 
Kemudian   Ibnul   Qayyim   berkata,   "Sebaiknya   sebelum
bersetubuh  hendaknya  diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."
 
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam  usaha  mencari
jalan  baik  tidak  bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan  atau  pendapat  masa
kini.
 
Yang  dapat  disimpulkan  di  sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam  telah  mengenal  hubungan  seksual   diantara   kedua
pasangan,   suami   istri,   yang  telah  diterangkan  dalam
Al-Qur'anul  Karim   pada   Surat   Al-Baqarah,   yang   ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.
 
Firman Allah swt.:
 
"Dihalalkan  bagi  kamu  pada  malam  hari  puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah  pakaian  bagimu,
dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat  menahan  nafsumu,  karena  itu,
Allah  mengampuni  kamu  dan  memberi  maaf  kepadamu.  Maka
sekarang campurilah  mereka  dan  ikutilah  apa  yang  telah
ditetapkan  Allah  untukmu,  dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang  hitam,  yaitu  fajar.
Kemudian,  sempurnakanlah  puasa  itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam  masjid.  Itulah  larangan  Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
 
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan  antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:
 
"Mereka itu adalah  pakaian  bagimu,  dan  kamu  pun  adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
 
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
 
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah  suatu  kotoran.  Oleh  sebab  itu,  hendaklah   kamu
menjauhkan  diri  dari  wanita  di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila  mereka
telah  suci  maka  campurilah  mereka  itu  di  tempat  yang
diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya  Allah  menyukai
orang-orang  yang  bertobat  dan  menyukai  orang-orang yang
menyucikan diri.
 
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah  tempat  kamu  bercocok
tanam,  maka  datangilah  tanah  tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.  Dan  kerjakanlah
(amal  yang  baik)  untuk  dirimu,  dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan  menemuiNya.  Dan
berilah  kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).
 
Maka, semua hadis yang  menafsirkan  bahwa  dijauhinya  yang
disebut  pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
 
Pada ayat di atas disebutkan:
 
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan  cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
 
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah   dan   undang-undang   atau   peraturannya    dalam
Al-Qur'anul  Karim  secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.
 
---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
 
 MENUTUP RAMBUT BAGI WANITA
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Ada sebagian orang  mengatakan  bahwa  rambut  wanita  tidak
termasuk  aurat  dan  boleh dibuka. Apakah hal ini benar dan
bagaimana dalilnya?
 
JAWAB
 
Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara
dan  di  setiap  masa  pada  semua  golongan  fuqaha, ulama,
ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa  rambut  wanita  itu
termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya.
 
Adapun sanad  dan  dalil  dari  ijma'  tersebut  ialah  ayat
Al-Qur'an:
 
     "Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah
     mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, 
     dan janganlah menampakkan  perhiasannya, kecuali
     yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka
     menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..."
    (Q.s. An-Nuur: 31).
 
Maka,  berdasarkan  ayat  di atas, Allah swt. telah melarang
bagi  wanita  Mukminat  untuk  memperlihatkan  perhiasannya.
Kecuali  yang  lahir  (biasa  tampak). Di antara para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut  wanita  itu  termasuk  hal-hal  yang  lahir;  bahkan
ulama-ulama yang  berpandangan  luas,  hal  itu  digolongkan
perhiasan yang tidak tampak.
 
Dalam  tafsirnya,  Al-Qurthubi mengatakan, "Allah swt. telah
melarang kepada kaum  wanita,  agar  dia  tidak  menampakkan
perhiasannya   (keindahannya),  kecuali  kepada  orang-orang
tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak."
 
Ibnu Mas'ud berkata, "Perhiasan yang  lahir  (biasa  tampak)
ialah   pakaian."  Ditambahkan  oleh  Ibnu  Jubair,  "Wajah"
Ditambah pula oleh Sa'id Ibnu Jubair dan  Al-Auzai,  "Wajah,
kedua tangan dan pakaian."
 
Ibnu  Abbas,  Qatadah  dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata,
"Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan
dan cincin termasuk dibolehkan (mubah)."
 
Ibnu Atiyah berkata, "Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai
dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan  untuk
tidak  menampakkan  dirinya dalam keadaan berhias yang indah
dan supaya berusaha  menutupi  hal  itu.  Perkecualian  pada
bagian-bagian  yang  kiranya berat untuk menutupinya, karena
darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan."
 
Berkata Al-Qurthubi, "Pandangan Ibnu  Atiyah  tersebut  baik
sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di
waktu biasa  dan  ketika  melakukan  amal  ibadat,  misalnya
salat, ibadat haji dan sebagainya."
 
Hal  yang  demikian  ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma' binti  Abu
Bakar  r.a.  bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma'
sedang  mengenakan  pakaian  tipis,  lalu  Rasulullah   saw.
memalingkan muka seraya bersabda:
 
     "Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita
     sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi
     dirinya menampakkannya, kecuali ini ..." (beliau
     mengisyaratkan pada muka dan tangannya).
 
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut  wanita   tidak   termasuk   perhiasan   yang   boleh
ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
 
Allah  swt.  telah  memerintahkan  bagi  kaum wanita Mukmin,
dalam  ayat  di  atas,  untuk  menutup  tempat-tempat   yang
biasanya  terbuka  di  bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah
"kain  untuk  menutup  kepala,"  sebagaimana   surban   bagi
laki-laki,   sebagaimana  keterangan  para  ulama  dan  ahli
tafsir. Hal ini (hadis  yang  menganjurkan  menutup  kepala)
tidak terdapat pada hadis manapun.
 
Al-Qurthubi  berkata,  "Sebab  turunnya  ayat tersebut ialah
bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup  kepala  dengan
akhmirah  (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang,
sehingga dada, leher dan telinganya  tidak  tertutup.  Maka,
Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu
dada dan lainnya."
 
Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a.  telah  berkata,
"Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah."
 
Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.
 
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak
dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di  bagian  lehernya,  Aisyah
r.a.   lalu   berkata,   "Ini   amat   tipis,   tidak  dapat
menutupinya."
 
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
 
  
WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya
di  tempat-tempat  tertentu,  misalnya  pada  saat ini, yang
dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa  kini
bagi wanita  sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan
dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?
 
Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau  tutup
kepala yang dibuat khusus untuk itu?
 
JAWAB
 
Agama  Islam  menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan
dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan  oleh
sebagian  dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama
Islam pun menganjurkan bagi  ummatnya  untuk  selalu  tampak
indah   dengan   cara   sederhana   dan  layak,  yang  tidak
berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di  saat  hendak
mengerjakan  ibadat,  supaya  berhias diri disamping menjaga
kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.
 
Allah swt. berfirman:
 
     "... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap
     (memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)
 
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang  indah,  baik  bagi
laki-laki  maupun  wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih
memberi  perhatian  dan   kelonggaran,   karena   fitrahnya,
sebagaimana  dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan
emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.
 
Adapun hal-hal  yang  dianggap  oleh  manusia  baik,  tetapi
membawa  kerusakan  dan  perubahan  pada tubuhnya, dari yang
telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu  tidak
layak  bagi  fitrah  manusia,  tentu  hal  itu pengaruh dari
perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena  itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw.:
 
     "Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan
     jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan,
     gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya;
     mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung
     rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat
     palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).
 
Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat
Nabi  saw.  ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato,  tiba-tiba  mengeluarkan  segenggam  rambut   dan
mengatakan,  "Inilah  rambut  yang dinamakan Nabi saw. azzur
yang artinya  atwashilah  (penyambung),  yang  dipakai  oleh
wanita  untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang
oleh Rasulullah saw. dan  tentu  hal  itu  adalah  perbuatan
orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang  hal  itu?  Padahal  aku  telah
mendengar   sabda  Nabi  saw.  yang  artinya,  'Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu  karena  para  wanitanya
memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).
 
Nabi  saw.  menamakan  perbuatan  itu  sebagai  suatu bentuk
kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab  dilarangnya  hal  itu
bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian
dari tipu muslihat.
 
Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon
kecantikan,  sedang  yang  menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas  dilarang,  karena  bukan saja
bertemu  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih
dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah
sendiri.
 
Bagi  wanita  Muslimat  yang tujuannya taat kepada agama dan
Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya  sendiri  untuk
suaminya,  bukan  di  luar  rumah atau di tengah jalan untuk
orang lain. Yang  demikian  itu  adalah  tingkah  laku  kaum
Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.
 
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
 
 MENYANGGAH PENAFSIRAN YANG MERENDAHKAN WANITA
Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah:
 
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang  yang  belum
sempurna  akalnya  (sufaha)  harta  (mereka  yang  ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai  pokok  kehidupan.
Berilah  mereka  belanja  dan pakaian (dari hasil harta itu)
dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (an-Nisa'
5)
 
Majalah  al-Ummah  nomor  49  memuat  artikel  Saudari Hanan
Liham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar  umat
dan   penerjemah   Al-Qur'an,  Abdullah  Ibnu  Abbas,  bahwa
as-sufaha (orang-orang  yang  belum  sempurna  akalnya)  itu
ialah "wanita dan anak-anak."
 
Penulis   tersebut   menyangkal   penafsiran  itu,  meskipun
diriwayatkan  dari  Ibnu   Abbas.   Menurutnya,   penafsiran
tersebut  jauh  dari  kebenaran,  sebab  wanita  secara umum
disifati  sebagai  tidak  sempurna  akalnya/bodoh   (salah),
padahal   diantara  kaum  wanita  itu  terdapat  orang-orang
seperti Khadijah, Ummu Salamah,  dan  Aisyah  dari  kalangan
istri Nabi dan wanita-wanita salihah lainnya.
 
Sebagian  teman  ada  yang  mengirim surat kepada saya untuk
menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir  tersebut.
Apakah itu benar?
 
Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu?
 
JAWABAN
 
Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian
yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau  wanita
dan   anak-anak,  adalah  penafsiran  yang  lemah,  meskipun
diriwayatkan  dari  pakar  umat,  yaitu  Ibnu  Abbas   r.a.,
walaupun    sahih    penisbatan    kepadanya   atau   kepada
penafsiran-penafsiran salaf lainnya.
 
Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat  ialah  bahwa
penafsiran  sahabat  terhadap  Al-Qur'anul  Karim  itu tidak
secara otomatis menjadi hujjah  bagi  dirinya  dan  mengikat
terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfu',
walaupun sebagian ahli hadits ada yang beranggapan demikian.
Ia  hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang
kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.
 
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian
sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan
ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. (yang wajib diterima
perkataannya)."
 
Doa  Nabi  saw.  untuk  Ibnu  Abbas  agar Allah mengajarinya
takwil, tidak  berarti  bahwa  Allah  memberinya  kemaksumam
(terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya,
tetapi makna doa itu ialah  Allah  memberinya  taufik  untuk
memperoleh  kebenaran  dalam sebagian besar takwilnya, bukan
seluruhnya.
 
Karena itu, tidak mengherankan kalau ada  beberapa  pendapat
dan  ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak
disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.
 
Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang  yang
mengikutinya    bahwa   yang   dimaksud   dengan   as-sufaha
(orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau
wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.
 
Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk
isim mudzakkar (laki-laki),  mufradnya  (bentuk  tunggalnya)
adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats
(perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya
adalah  mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana
lazimnya  jamak  muannats,  sehingga  bentuk   jamak   lafal
tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.
 
Kedua,  bahwa  kata  sufaha  adalah  isim  zaman (kata untuk
mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan
buruk   tindakannya.   Karena   itu,   kata-kata  ini  tidak
disebutkan  dalam  Antara  lain   Qur'an   melainkan   untuk
menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah;
 
"Apabila   dikatakan   kepada   mereka,   'Berimanlah   kamu
sebagaimana  orang-orang   lain   telah   beriman,'   mereka
menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang
bodoh itu telah beriman?' Ingatlah,  sesungguhnya  merekalah
orang-orang   yang   bodoh,   tetapi   mereka  tidak  tahu."
(al-Baqarah: 13)
 
"Orang-orang  yang  kurang  akalnya  diantara  manusia  akan
berkata,  'Apakah  yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?'   Katakanlah,  'Kepunyaan  Allah-lah  timur  dan
barat;   dia   memberi   petunjuk    kepada    siapa    yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" (al-Baqarah: 142)
 
Apabila  lafal  sufaha  itu untuk mencela, maka bagaimanakah
manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak  ia  usahakan?
Bagaimana  seorang  perempuan akan dicela karena semata-mata
ia perempuan, padahal ia  bukan  yang  menciptakan  dirinya,
melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
 
"...  sebagian  kamu  adalah  turunan dan sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195)
 
Dan disebutkan dalam suatu hadits:
 
"Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki." (HR.
Ahmad  bin  Hanbal  6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula
dalam Kanzul 'Ummal nomor 45559)
 
Demikian pula halnya anak-anak.  Allah  menciptakan  manusia
dari  kondisi  yang  lemah  dan  dijadikan-Nya kehidupan itu
bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian
meningkat  remaja, lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin
seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal
ia   tidak   pernah   berusaha   untuk  menjadi  kanak-kanak
(melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?
 
Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir  modern,  akan  kita
dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam
ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid  Ridha
disebutkan:
 
"Yang  dimaksud  dengan  as-sufaha  disini ialah orang-orang
yang  pemboros  yang  menghambur-hamburkan  hartanya   untuk
sesuatu   yang   tidak   perlu  dan  tidak  seyogyanya,  dan
membelanjakannya dengan cara yang buruk dan  tidak  berusaha
mengembangkannya."
 
Beliau  (Rasyid  Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat
di kalangan salaf mengenai  maksud  lafal  sufaha.  Kemudian
beliau   menguatkan   pendapat   yang   dipilih  Ibnu  Jarir
(ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum,  meliputi  semua
orang  yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah
dewasa, laki-laki maupun perempuan.
 
Ustadz al-Imam (Muhammad Abduh)  berkata,  "Dalam  ayat-ayat
terdahulu  Allah  menyuruh  kita memberikan kepada anak-anak
yatim harta-harta mereka dan memberikan  kepada  orang-orang
perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
 
"Dan  janganlah  kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna   akalnya   harta   (mereka    yang    ada    dalam
kekuasaanmu)..."(an-Nisa': 5)
 
Al-Imam  mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah
kepada setiap anak yatim akan hartanya  bila  telah  dewasa,
dan   berikan  kepada  tiap-tiap  perempuan  akan  maharnya,
kecuali  apabila  salah  satunya  belum   sempurna   akalnya
sehingga  tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada
kondisi demikian kamu dilarang  memberikan  harta  kepadanya
agar   tidak  disia-siakannya,  dan  kamu  wajib  memelihara
hartanya itu sehingga ia dewasa.
 
Perkataan  amwaalakum  (hartamu)  bukan  amwaalahum   (harta
mereka)  ,  yang  berarti  firman  itu ditujukan kepada para
wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang  ada  didalam
kekuasaan  mereka,  menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa
apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si  safih
(anak  yang  belum/kurang  sempurna  akalnya) untuk memenuhi
kebutuhannya, maka  wajib  bagi  si  wali  untuk  memberinya
nafkah  dari  hartanya  sendiri.  Dengan  demikian, habisnya
harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta
si  wali.  Alhasil,  harta si safih itu seakan-akan hartanya
sendiri.
 
Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah  dewasa  dan  harta
mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya
sebagaimana  layaknya  orang  dewasa  (normal),  dan   dapat
menginfakkannya   sesuai   dengan   tuntunan  syariat  untuk
kemaslahatan umum atau  khusus,  maka  para  wali  itu  juga
mendapatkan bagian pahalanya.
 
Ketiga,  kesetiakawanan  sosial  dan menjadikan kemaslahatan
dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah
kami   katakan  dalam  membicarakan  ayat-ayat  yang  lain."
(Tafsir al-Manar 4: 379-380)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 
 
 APAKAH WANITA ITU JAHAT DALAM SEGALANYA?
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Dalam buku Nahjul Balaghah karangan Amirul-Mukminin Ali  bin
Abi Thalib r.a terdapat suatu keterangan:
 
     "Wanita itu jahat dalam segalanya. Dan yang paling
     jahat dari dirinya ialah kita tidak dapat terlepas
     dari padanya."
 
Apakah  arti yang sebenarnya (maksud) dari kalimat tersebut?
Apakah  hal  itu  sesuai  dengan  pandaigan  Islam  terhadap
wanita? Saya mohon penjelasannya. Terima kasih.
 
JAWAB
 
Ada dua hal yang nyata kebenarannya, tetapi harus dijelaskan
iebih dahulu, yaitu:
 
Pertama,   yang   menjadi   pegangan   atau    dasar    dari
masalah-masalah agama ialah firman Allah swt. dan sabda Nabi
saw, selain dari dua ini, setiap  orang  kata-katanya  boleh
diambil  dan  ditinggalkan.  Maka,  Al-Qur'an dan As-Sunnah,
kedua-duanya adalah sumber yang kuat dan benar.
 
Kedua, sebagaimana telah  diketahui  oleh  para  analis  dan
cendekiawan  Muslim,  bahwa semua tulisan yang ada pada buku
tersebut  di  atas  (Nahjul  Balaghah),  baik  yang   berupa
dalil-dalil   atau  alasan-alasan  yang  dikemukakan,  tidak
semuanya tepat. Diantara hal-hal  yang  ada  pada  buku  itu
ialah  tidak menggambarkan masa maupun pikiran serta cara di
zaman Ali r.a.
 
Oleh sebab itu, tidak dapat dijadikan dalil dan tidak  dapat
dianggap  benar, karena semua kata-kata dalam buku itu tidak
ditulis oleh Al-Imam Ali r.a.
 
Didalam penetapan ilmu agama, setiap ucapan  atau  kata-kata
dari  seseorang,  tidak  dapat  dibenarkan, kecuali disertai
dalil  yang  shahih  dan  bersambung,   yang   bersih   dari
kekurangan atau aib dan kelemahan kalimatnya.
 
Maka,  kata-kata  itu tidak dapat disebut sebagai ucapan Ali
r.a. karena tidak bersambung dan tidak mempunyai sanad  yang
shahih.  Sekalipun  kata-kata  tersebut mempunyai sanad yang
shahih, bersambung, riwayatnya adil dan  benar,  maka  wajib
ditolak,  karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil dan
hukum  Islam.  Alasan  ini  terpakai  di  dalam  segala  hal
(kata-kata) atau fatwa, walaupun sanadnya seterang matahari.
 
Mustahil  bagi  Al-Imam  Ali r.a. mengatakan hal itu, dimana
beliau sering  membaca  ayat-ayat  Al-Qur'an,  di  antaranya
adalah:
 
     "Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada
     Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang,
     yang kemudian darinya Allah lantas menciptakan
     istrinya, dari keduanya Allah mengembangbiakkan
     laki-laki dan wanita yang banyak ..." (Q.s.
     An-Nisa': 1)
     
     "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
     (dengan firman-Nya): 'Bahwa sesungguhnya Aku tiada
     mensia-siakan amal orang-orang yang beramal di
     antara kamu, baik laki-laki maupun wanita,
     (karena) sebagian darimu adalah keturunan dari
     sebagian yang lain ..." (Q.s. Ali Imran: 195).
     
     "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah
     Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
     sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
     kepadanya, dan Allah menjadikannya diantara kamu
     rasa kasih dan sayang ..." (Q.s. Ar-Ruum: 21).
 
Masih  banyak  lagi  di antara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang
mengangkat dan memuji derajat kaum  wanita,  disamping  kaum
laki-laki. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:
 
     "Termasuk tiga sumber kebahagiaan bagi laki-laki
     ialah wanita salehat, kediaman yang baik dan
     kendaraan yang baik pula." (H.r. Ahmad dengan
     sanad yang shahih).
     
     "Di dunia ini mengandung kenikmatan, dan
     sebaik-baik kenikmatan itu adalah wanita yang
     salehat." (H.r. Imam Muslim, Nasa'i dan Ibnu
     Majah).
     
     "Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah wanita
     yang salehat, maka dia telah dibantu dalam
     sebagian agamanya; maka bertakwalah pula kepada
     Allah dalam sisanya yang sebagian."
 
Banyak  lagi  hadis-hadis dari Nabi saw. yang memuji wanita;
maka mustahil bahwa Ali r.a. berkata sebagaimana di atas.
 
Sifat wanita itu berbeda dengan sifat  laki-laki  dari  segi
fitrah;  kedua-duanya  dapat  menerima  kebaikan, kejahatan,
hidayat. kesesatan dan sebagainya.
 
Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an,
 
     "Jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya); maka
     Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan
     dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
     yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
     merugilah orang yang mengotorinya." (Q.s.
     Asy-Syams: 7-10)
 
Mengenai fitnah yang ada pada wanita disamping  fitnah  yang
ada   pada   harta  dan  anak-anak,  dimana  hal  itu  telah
diterangkan di dalam Al-Qur'an dan dianjurkan supaya  mereka
waspada dan menjaga diri dari fitnah tersebut.
 
Dalam  sabda Rasulullah saxv. diterangkan mengenai fitnahnya
kaum wanita, yaitu sebagai berikut,
 
     "Setelah aku tiada, tidak ada fitnah yang paling
     besar gangguannya bagi laki-laki daripada
     fitnahnya wanita." (H.r. Bukhari).
 
Arti dari hadis di atas menunjukkan bahwa wanita  itu  bukan
jahat,  tetapi  mempunyai  pengaruh yang besar bagi manusia,
yang dikhawatirkan lupa pada kewajibannya, lupa kepada Allah
dan terhadap agama.
 
Selain  masalah  wanita, Al-Qur'an juga mengingatkan manusia
mengenai fitnah yang disebabkan dari harta dan anak-anak.
 
Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
 
     "Sesungguhnya harta-harta dan anak-anakmu adalah
     fitnah (cobaan bagimu); dan pada sisi Allah-lah
     pahala yang besar." (Q.s. At-Taghaabun: 15)
     
     "Hai orang-orang yang beriman!Janganlah
     harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu
     mengingat kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat
     demikian' maka mereka termasuk orang-orang yang
     merugi." (Q.s. Al-Munaafiquun: 9).
 
Selain dari itu (wanita,  anak-anak  dan  harta  yang  dapat
mendatangkan fitnah), harta juga sebagai sesuatu yang baik.
 
Firman Allah swt.:
 
     "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
     jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dan
     istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu; dan
     memberimu rezeki dari harta yang baik-baik ..."
     (Q.s. An-Nahl: 72)
 
Oleh  karena  itu,  dianjurkannya  untuk waspada dari fitnah
kaum wanita, fitnah  harta  dan  anak-anak,  hal  itu  bukan
berarti  kesemuanya  bersifat  jahat,  tetapi  demi mencegah
timbulnya fitnah yang dapat  melalaikan  kewajiban-kewajiban
yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
 
Allah   swt.  tidak  mungkin  menciptakan  suatu  kejahatan,
kemudian dijadikannya sebagai suatu kebutuhan dan  keharusan
bagi setiap makhluk-Nya.
 
Makna  yang  tersirat  dari suatu kejahatan itu adalah suatu
bagian yang amat sensitif,  realitanya  menjadi  lazim  bagi
kebaikan secara mutlak. Segala bentuk kebaikan dan kejahatan
itu berada di tangan (kekuasaan) Allah swt.
 
Oleh  sebab  itu,  Allah  memberikan  bimbingan  bagi   kaum
laki-laki  untuk menjaga dirinya dari bahaya dan fitnah yang
dapat  disebabkan  dan  mudah   dipengaruhi   oleh   hal-hal
tersebut.
 
Diwajibkanjuga   bagi   kaum   wanita,   agar   waspada  dan
berhati-hati dalam menghadapi tipu muslihat yang  diupayakan
oleh  musuh-musuh Islam untuk menjadikan kaum wanita sebagai
sarana perusak budi pekerti, akhlak yang luhur dan  bernilai
suci.
 
Wajib  bagi  para  wanita  Muslimat  kembali  pada kodratnya
sebagai wanita yang saleh, wanita hakiki, istri salehat, dan
sebagai ibu teladan bagi rumah tangga, agama dan negara.
 
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

Tiada ulasan: