HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang
berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan
suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu
mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuMk mengatur hubungan kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
Jawab:
Benar, kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah
memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat
malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang
biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi
kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para
ulama.
Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan
suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah
diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah
tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai
akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).
1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
saw, yaitu menikah.
Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
"Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
bukan termasuk golonganku."
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
Nabi saw.:
"Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan
dapat menahan diri.
Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
"Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka
supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai
menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat
menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi saw. telah bersabda:
"Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak,
kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).
Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. adalah
Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan
Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.
Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih
diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.
Nabi saw. bersabda:
"Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara
dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
Beliau bersabda:
"Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan hagi keluargamu
(istrimu) ada hak."
Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."
Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."
Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah
Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
yang ditetapkan menurut takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan
pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak
berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi saw. telah
menyatakan:
"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan
wewangian."
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
"Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan
pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum
bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari
jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa
kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua
pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam
Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.
Firman Allah swt.:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu,
Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:
"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan
berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang
disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan:
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam
Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.
---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
MENUTUP RAMBUT BAGI WANITA
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
PERTANYAAN
Ada sebagian orang mengatakan bahwa rambut wanita tidak
termasuk aurat dan boleh dibuka. Apakah hal ini benar dan
bagaimana dalilnya?
JAWAB
Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara
dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama,
ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu
termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya.
Adapun sanad dan dalil dari ijma' tersebut ialah ayat
Al-Qur'an:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..."
(Q.s. An-Nuur: 31).
Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang
bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya.
Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan
ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan
perhiasan yang tidak tampak.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, "Allah swt. telah
melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan
perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang
tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak."
Ibnu Mas'ud berkata, "Perhiasan yang lahir (biasa tampak)
ialah pakaian." Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, "Wajah"
Ditambah pula oleh Sa'id Ibnu Jubair dan Al-Auzai, "Wajah,
kedua tangan dan pakaian."
Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata,
"Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan
dan cincin termasuk dibolehkan (mubah)."
Ibnu Atiyah berkata, "Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai
dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah
dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada
bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena
darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan."
Berkata Al-Qurthubi, "Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik
sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di
waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya
salat, ibadat haji dan sebagainya."
Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma' binti Abu
Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma'
sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw.
memalingkan muka seraya bersabda:
"Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita
sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi
dirinya menampakkannya, kecuali ini ..." (beliau
mengisyaratkan pada muka dan tangannya).
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh
ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin,
dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang
biasanya terbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah
"kain untuk menutup kepala," sebagaimana surban bagi
laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli
tafsir. Hal ini (hadis yang menganjurkan menutup kepala)
tidak terdapat pada hadis manapun.
Al-Qurthubi berkata, "Sebab turunnya ayat tersebut ialah
bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan
akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang,
sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka,
Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu
dada dan lainnya."
Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata,
"Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah."
Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak
dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah
r.a. lalu berkata, "Ini amat tipis, tidak dapat
menutupinya."
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
PERTANYAAN
Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya
di tempat-tempat tertentu, misalnya pada saat ini, yang
dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa kini
bagi wanita sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan
dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?
Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau tutup
kepala yang dibuat khusus untuk itu?
JAWAB
Agama Islam menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan
dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh
sebagian dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama
Islam pun menganjurkan bagi ummatnya untuk selalu tampak
indah dengan cara sederhana dan layak, yang tidak
berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di saat hendak
mengerjakan ibadat, supaya berhias diri disamping menjaga
kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.
Allah swt. berfirman:
"... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap
(memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang indah, baik bagi
laki-laki maupun wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih
memberi perhatian dan kelonggaran, karena fitrahnya,
sebagaimana dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan
emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.
Adapun hal-hal yang dianggap oleh manusia baik, tetapi
membawa kerusakan dan perubahan pada tubuhnya, dari yang
telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu tidak
layak bagi fitrah manusia, tentu hal itu pengaruh dari
perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw.:
"Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan
jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan,
gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya;
mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung
rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat
palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).
Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat
Nabi saw. ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato, tiba-tiba mengeluarkan segenggam rambut dan
mengatakan, "Inilah rambut yang dinamakan Nabi saw. azzur
yang artinya atwashilah (penyambung), yang dipakai oleh
wanita untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang
oleh Rasulullah saw. dan tentu hal itu adalah perbuatan
orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang hal itu? Padahal aku telah
mendengar sabda Nabi saw. yang artinya, 'Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu karena para wanitanya
memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).
Nabi saw. menamakan perbuatan itu sebagai suatu bentuk
kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab dilarangnya hal itu
bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian
dari tipu muslihat.
Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon
kecantikan, sedang yang menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas dilarang, karena bukan saja
bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih
dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah
sendiri.
Bagi wanita Muslimat yang tujuannya taat kepada agama dan
Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya sendiri untuk
suaminya, bukan di luar rumah atau di tengah jalan untuk
orang lain. Yang demikian itu adalah tingkah laku kaum
Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
MENYANGGAH PENAFSIRAN YANG MERENDAHKAN WANITA
Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya (sufaha) harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)
dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (an-Nisa'
5)
Majalah al-Ummah nomor 49 memuat artikel Saudari Hanan
Liham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar umat
dan penerjemah Al-Qur'an, Abdullah Ibnu Abbas, bahwa
as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) itu
ialah "wanita dan anak-anak."
Penulis tersebut menyangkal penafsiran itu, meskipun
diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Menurutnya, penafsiran
tersebut jauh dari kebenaran, sebab wanita secara umum
disifati sebagai tidak sempurna akalnya/bodoh (salah),
padahal diantara kaum wanita itu terdapat orang-orang
seperti Khadijah, Ummu Salamah, dan Aisyah dari kalangan
istri Nabi dan wanita-wanita salihah lainnya.
Sebagian teman ada yang mengirim surat kepada saya untuk
menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir tersebut.
Apakah itu benar?
Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu?
JAWABAN
Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian
yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau wanita
dan anak-anak, adalah penafsiran yang lemah, meskipun
diriwayatkan dari pakar umat, yaitu Ibnu Abbas r.a.,
walaupun sahih penisbatan kepadanya atau kepada
penafsiran-penafsiran salaf lainnya.
Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat ialah bahwa
penafsiran sahabat terhadap Al-Qur'anul Karim itu tidak
secara otomatis menjadi hujjah bagi dirinya dan mengikat
terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfu',
walaupun sebagian ahli hadits ada yang beranggapan demikian.
Ia hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang
kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian
sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan
ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. (yang wajib diterima
perkataannya)."
Doa Nabi saw. untuk Ibnu Abbas agar Allah mengajarinya
takwil, tidak berarti bahwa Allah memberinya kemaksumam
(terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya,
tetapi makna doa itu ialah Allah memberinya taufik untuk
memperoleh kebenaran dalam sebagian besar takwilnya, bukan
seluruhnya.
Karena itu, tidak mengherankan kalau ada beberapa pendapat
dan ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak
disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.
Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang yang
mengikutinya bahwa yang dimaksud dengan as-sufaha
(orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau
wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.
Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk
isim mudzakkar (laki-laki), mufradnya (bentuk tunggalnya)
adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats
(perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya
adalah mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana
lazimnya jamak muannats, sehingga bentuk jamak lafal
tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.
Kedua, bahwa kata sufaha adalah isim zaman (kata untuk
mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan
buruk tindakannya. Karena itu, kata-kata ini tidak
disebutkan dalam Antara lain Qur'an melainkan untuk
menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah;
"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu
sebagaimana orang-orang lain telah beriman,' mereka
menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang
bodoh itu telah beriman?' Ingatlah, sesungguhnya merekalah
orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu."
(al-Baqarah: 13)
"Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan
berkata, 'Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?' Katakanlah, 'Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" (al-Baqarah: 142)
Apabila lafal sufaha itu untuk mencela, maka bagaimanakah
manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak ia usahakan?
Bagaimana seorang perempuan akan dicela karena semata-mata
ia perempuan, padahal ia bukan yang menciptakan dirinya,
melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
"... sebagian kamu adalah turunan dan sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195)
Dan disebutkan dalam suatu hadits:
"Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki." (HR.
Ahmad bin Hanbal 6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula
dalam Kanzul 'Ummal nomor 45559)
Demikian pula halnya anak-anak. Allah menciptakan manusia
dari kondisi yang lemah dan dijadikan-Nya kehidupan itu
bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian
meningkat remaja, lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin
seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal
ia tidak pernah berusaha untuk menjadi kanak-kanak
(melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?
Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir modern, akan kita
dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam
ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha
disebutkan:
"Yang dimaksud dengan as-sufaha disini ialah orang-orang
yang pemboros yang menghambur-hamburkan hartanya untuk
sesuatu yang tidak perlu dan tidak seyogyanya, dan
membelanjakannya dengan cara yang buruk dan tidak berusaha
mengembangkannya."
Beliau (Rasyid Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat
di kalangan salaf mengenai maksud lafal sufaha. Kemudian
beliau menguatkan pendapat yang dipilih Ibnu Jarir
(ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum, meliputi semua
orang yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah
dewasa, laki-laki maupun perempuan.
Ustadz al-Imam (Muhammad Abduh) berkata, "Dalam ayat-ayat
terdahulu Allah menyuruh kita memberikan kepada anak-anak
yatim harta-harta mereka dan memberikan kepada orang-orang
perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu)..."(an-Nisa': 5)
Al-Imam mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah
kepada setiap anak yatim akan hartanya bila telah dewasa,
dan berikan kepada tiap-tiap perempuan akan maharnya,
kecuali apabila salah satunya belum sempurna akalnya
sehingga tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada
kondisi demikian kamu dilarang memberikan harta kepadanya
agar tidak disia-siakannya, dan kamu wajib memelihara
hartanya itu sehingga ia dewasa.
Perkataan amwaalakum (hartamu) bukan amwaalahum (harta
mereka) , yang berarti firman itu ditujukan kepada para
wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang ada didalam
kekuasaan mereka, menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa
apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si safih
(anak yang belum/kurang sempurna akalnya) untuk memenuhi
kebutuhannya, maka wajib bagi si wali untuk memberinya
nafkah dari hartanya sendiri. Dengan demikian, habisnya
harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta
si wali. Alhasil, harta si safih itu seakan-akan hartanya
sendiri.
Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah dewasa dan harta
mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya
sebagaimana layaknya orang dewasa (normal), dan dapat
menginfakkannya sesuai dengan tuntunan syariat untuk
kemaslahatan umum atau khusus, maka para wali itu juga
mendapatkan bagian pahalanya.
Ketiga, kesetiakawanan sosial dan menjadikan kemaslahatan
dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah
kami katakan dalam membicarakan ayat-ayat yang lain."
(Tafsir al-Manar 4: 379-380)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
APAKAH WANITA ITU JAHAT DALAM SEGALANYA?
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
PERTANYAAN
Dalam buku Nahjul Balaghah karangan Amirul-Mukminin Ali bin
Abi Thalib r.a terdapat suatu keterangan:
"Wanita itu jahat dalam segalanya. Dan yang paling
jahat dari dirinya ialah kita tidak dapat terlepas
dari padanya."
Apakah arti yang sebenarnya (maksud) dari kalimat tersebut?
Apakah hal itu sesuai dengan pandaigan Islam terhadap
wanita? Saya mohon penjelasannya. Terima kasih.
JAWAB
Ada dua hal yang nyata kebenarannya, tetapi harus dijelaskan
iebih dahulu, yaitu:
Pertama, yang menjadi pegangan atau dasar dari
masalah-masalah agama ialah firman Allah swt. dan sabda Nabi
saw, selain dari dua ini, setiap orang kata-katanya boleh
diambil dan ditinggalkan. Maka, Al-Qur'an dan As-Sunnah,
kedua-duanya adalah sumber yang kuat dan benar.
Kedua, sebagaimana telah diketahui oleh para analis dan
cendekiawan Muslim, bahwa semua tulisan yang ada pada buku
tersebut di atas (Nahjul Balaghah), baik yang berupa
dalil-dalil atau alasan-alasan yang dikemukakan, tidak
semuanya tepat. Diantara hal-hal yang ada pada buku itu
ialah tidak menggambarkan masa maupun pikiran serta cara di
zaman Ali r.a.
Oleh sebab itu, tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat
dianggap benar, karena semua kata-kata dalam buku itu tidak
ditulis oleh Al-Imam Ali r.a.
Didalam penetapan ilmu agama, setiap ucapan atau kata-kata
dari seseorang, tidak dapat dibenarkan, kecuali disertai
dalil yang shahih dan bersambung, yang bersih dari
kekurangan atau aib dan kelemahan kalimatnya.
Maka, kata-kata itu tidak dapat disebut sebagai ucapan Ali
r.a. karena tidak bersambung dan tidak mempunyai sanad yang
shahih. Sekalipun kata-kata tersebut mempunyai sanad yang
shahih, bersambung, riwayatnya adil dan benar, maka wajib
ditolak, karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil dan
hukum Islam. Alasan ini terpakai di dalam segala hal
(kata-kata) atau fatwa, walaupun sanadnya seterang matahari.
Mustahil bagi Al-Imam Ali r.a. mengatakan hal itu, dimana
beliau sering membaca ayat-ayat Al-Qur'an, di antaranya
adalah:
"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang,
yang kemudian darinya Allah lantas menciptakan
istrinya, dari keduanya Allah mengembangbiakkan
laki-laki dan wanita yang banyak ..." (Q.s.
An-Nisa': 1)
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan firman-Nya): 'Bahwa sesungguhnya Aku tiada
mensia-siakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki maupun wanita,
(karena) sebagian darimu adalah keturunan dari
sebagian yang lain ..." (Q.s. Ali Imran: 195).
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Allah menjadikannya diantara kamu
rasa kasih dan sayang ..." (Q.s. Ar-Ruum: 21).
Masih banyak lagi di antara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang
mengangkat dan memuji derajat kaum wanita, disamping kaum
laki-laki. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:
"Termasuk tiga sumber kebahagiaan bagi laki-laki
ialah wanita salehat, kediaman yang baik dan
kendaraan yang baik pula." (H.r. Ahmad dengan
sanad yang shahih).
"Di dunia ini mengandung kenikmatan, dan
sebaik-baik kenikmatan itu adalah wanita yang
salehat." (H.r. Imam Muslim, Nasa'i dan Ibnu
Majah).
"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah wanita
yang salehat, maka dia telah dibantu dalam
sebagian agamanya; maka bertakwalah pula kepada
Allah dalam sisanya yang sebagian."
Banyak lagi hadis-hadis dari Nabi saw. yang memuji wanita;
maka mustahil bahwa Ali r.a. berkata sebagaimana di atas.
Sifat wanita itu berbeda dengan sifat laki-laki dari segi
fitrah; kedua-duanya dapat menerima kebaikan, kejahatan,
hidayat. kesesatan dan sebagainya.
Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an,
"Jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya); maka
Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya." (Q.s.
Asy-Syams: 7-10)
Mengenai fitnah yang ada pada wanita disamping fitnah yang
ada pada harta dan anak-anak, dimana hal itu telah
diterangkan di dalam Al-Qur'an dan dianjurkan supaya mereka
waspada dan menjaga diri dari fitnah tersebut.
Dalam sabda Rasulullah saxv. diterangkan mengenai fitnahnya
kaum wanita, yaitu sebagai berikut,
"Setelah aku tiada, tidak ada fitnah yang paling
besar gangguannya bagi laki-laki daripada
fitnahnya wanita." (H.r. Bukhari).
Arti dari hadis di atas menunjukkan bahwa wanita itu bukan
jahat, tetapi mempunyai pengaruh yang besar bagi manusia,
yang dikhawatirkan lupa pada kewajibannya, lupa kepada Allah
dan terhadap agama.
Selain masalah wanita, Al-Qur'an juga mengingatkan manusia
mengenai fitnah yang disebabkan dari harta dan anak-anak.
Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya harta-harta dan anak-anakmu adalah
fitnah (cobaan bagimu); dan pada sisi Allah-lah
pahala yang besar." (Q.s. At-Taghaabun: 15)
"Hai orang-orang yang beriman!Janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu
mengingat kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian' maka mereka termasuk orang-orang yang
merugi." (Q.s. Al-Munaafiquun: 9).
Selain dari itu (wanita, anak-anak dan harta yang dapat
mendatangkan fitnah), harta juga sebagai sesuatu yang baik.
Firman Allah swt.:
"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dan
istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu; dan
memberimu rezeki dari harta yang baik-baik ..."
(Q.s. An-Nahl: 72)
Oleh karena itu, dianjurkannya untuk waspada dari fitnah
kaum wanita, fitnah harta dan anak-anak, hal itu bukan
berarti kesemuanya bersifat jahat, tetapi demi mencegah
timbulnya fitnah yang dapat melalaikan kewajiban-kewajiban
yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
Allah swt. tidak mungkin menciptakan suatu kejahatan,
kemudian dijadikannya sebagai suatu kebutuhan dan keharusan
bagi setiap makhluk-Nya.
Makna yang tersirat dari suatu kejahatan itu adalah suatu
bagian yang amat sensitif, realitanya menjadi lazim bagi
kebaikan secara mutlak. Segala bentuk kebaikan dan kejahatan
itu berada di tangan (kekuasaan) Allah swt.
Oleh sebab itu, Allah memberikan bimbingan bagi kaum
laki-laki untuk menjaga dirinya dari bahaya dan fitnah yang
dapat disebabkan dan mudah dipengaruhi oleh hal-hal
tersebut.
Diwajibkanjuga bagi kaum wanita, agar waspada dan
berhati-hati dalam menghadapi tipu muslihat yang diupayakan
oleh musuh-musuh Islam untuk menjadikan kaum wanita sebagai
sarana perusak budi pekerti, akhlak yang luhur dan bernilai
suci.
Wajib bagi para wanita Muslimat kembali pada kodratnya
sebagai wanita yang saleh, wanita hakiki, istri salehat, dan
sebagai ibu teladan bagi rumah tangga, agama dan negara.
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cetakan Kedua, 1996
Penerbit Risalah Gusti
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
|
HATI JADI MATI JIKA 40 HARI TIDAK MENUNTUT ILMU ISLAM DAN 3 HARI HATI JADI SAKIT...KERANA IA MAKANAN HATI...HEBAH2KAN GAN KAWAN2 BLOG NI..TK KERANA SERING MELAYARI BLOG INI. رَبِّيْ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ Tuhanku (Allah) lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku.. amin...سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُلاحول ولا قوّة إلاّ باللّه العظيم.... وَالـــــسَّلاَمُ عَلَيْكُـــمْ وَرَحْمَـــة ُاللهِ وَبَرَكَاتُـــهُ
Selasa, 2 Oktober 2012
WANITA DAN PERMASALAHANNYA 1
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan