Selasa, 6 November 2012

MURTAD DAPAT DIBENDUNG DENGAN JALANKAN HUKUM2 ALLAH

ISU MURTAD DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KERANGKAPERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN.ABDUL AZIZ BARI

1.0PENGENALAN Kes-kes murtad bukanlah satu perkara baru yang berlaku dalam masyarakat Islam. Ada dakwaanyang mengatakan bahawa sehingga tahun 1999, terdapat sebanyak 5, 0000 deed poll 1 , affidavit,notis dan iklan yang mengisytiharkan niat mahu meninggalkan agama Islam. Dalam tempoh duatahun yakni dari 1998 hingga 1999, sekurang-kurangnya tiga seminar peringkat kebangsaanmengenai masalah murtad telah diadakan. 2 Demonstrasi juga pernah berlaku menggambarkanrasa prihatin dan emosi masyarakat Islam yang tidak boleh menerima isu memurtadkan orangIslam sepertimana kes yang berlaku pada seorang gadis Melayu, Nur Aisyah yang dikatakandimurtadkan oleh seorang lelaki Katolik pada 1998 di Kuala Lumpur . 3 Tidak kurang hebatnya pukulan kepada masyarakat Islam apabila terdapat orang Islamsendiri yang mengisytiharkan mahu keluar daripada agama Islam dan sudah tidak percayakepada agama yang dipegangnya sejak kecil seperti dalam kes Jamaludin Othman, Lina Joy dan Kamariah Bte Ali. Masyarakat Islam negara kita juga dikejutkan dengan berita kemahuanmuallaf yang ingin kembali kepada agama asal mereka kerana tidak percaya dengan agama Islamdan juga tidak pernah mengamalkan cara hidup Islam sejak memeluk Islam seperti dalam kes Jeffeery Or Bin Abdullah @ Or Boon Hua 4 , Siti Fatimah Tan Abdullah @ Tan Ean Hung 5 dan banyak lagi kes yang berkait dengan keluar agama Islam.

1 Deed poll ialah pengakuan yang dibuat sendiri oleh individu terbabit melalui surat akuan berkanun.Bagaimanapun, ini tidak semestinya mengikat mahkamah, yang boleh memanggil individu berkenaan untuk memastikan kebenaran akuannya. 2 Seminar-seminar ini dianjurkan oleh Biro Guaman Pemuda PAS (14 Jun 1998), Persatuan Undang-undang UIAM(1 Ogos 1998) dan Jemaah Islam Malaysia (JIM) pada awal 1999. 3 Abdul Aziz Bari (2008). Perlembagaan Malaysia, Asas-asas dan Masalah . Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka, hlmn 161 4 Lihat kes Jeffeery Or Bin Abdullah @ Or Boon Hua . Mahkamah Tinggi Syariah Kuantan, Pahang Kes No 06100-099-0186 tahun 2006 5 Lihat kes Siti Fatimah Tan Abdullah lwn Majlis Agama Islam Pulau Pinang. (Kes mal no: 07100043-0191-2006)

 KEDUDUKAN MURTAD MENURUT PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG DI MALAYSIA


 http://zulkiflihasan.files.wordpress.com/2008/11/murtad-perspektif-undang2-malaysia.pdf

 Memahami Islam Dalam Perlembagaan Malaysia - Oleh Khairil Anuar Ramli

 http://www.mindamadani.my/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=216

 KAEDAH PENYELESAIAN DALAM MENANGANI PERTUKARAN AGAMA
DALAM KALANGAN MASYARAKAT MELAYU-ISLAM
DI JOHOR, SELANGOR DAN WILAYAH
PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR.

 http://eprints.utm.my/7864/1/78097.pdf


Murtad Dalam Islam

Oleh: Maulana Muhammad Ali
 [Benarkah hukuman Murtad dalam Islam adalah halal darahnya? Bukankah Tak ada paksaan dalam Agama Islam, berikut ini kami sajikan artikel dari Islamologi untuk menghilangkan kesalah-pahaman bahwa Islam adalah agama kekerasan agama intoleransi serta agama yang brutal. Untuk melengkapi pengetahuan tentang masalah ini ada baiknya juga membaca artikel: Jihad dan Jizyah ]
Kata murtad berasal dari kata irtadda menurut wazan ifta’ala, berasal dari kata radda yang artinya: berbalik. Kata riddah dan irtidad dua-duanya berarti kembali kepada jalan, dari mana orang datang semula. Tetapi kata Riddah khusus digunakan dalam arti kembali pada kekafiran, sedang kata irtidad digunakan dalam arti itu, tapi juga digunakan untuk arti yang lain (R), dan orang yang kembali dari Islam pada kekafiran, disebut murtad. Banyak sekali terjadi salah paham terhadap masalah murtad ini, sama seperti halnya masalah jihad. Pada umumnya, baik golongan Muslim maupun non-Muslim, semuanya mempunyai dugaan, bahwa menurut Islam, kata mereka, orang murtad harus dihukum mati. Jika Islam tak mengizinkan orang harus dibunuh karena alasan agama, dan hal ini telah diterangkan di muka sebagai prinsip dasar Islam, maka tidaklah menjadi soal tentang kekafiran seseorang, baik itu terjadi setelah orang memeluk Islam ataupun tidak. Oleh sebab itu, sepanjang mengenai kesucian nyawa seseorang, kafir dan murtad itu tak ada bedanya.
Persoalan murtad menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan. Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan murtad yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi. Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” (16:106). Dari ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan tatkala pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah. Dalam salah satu wahyu Madaniyah permulaan, orang murtad dibicarakan sehubungan dengan berkobarnya pertempuran yang dilancarkan oleh kaum kafir dengan tujuan untuk memurtadkan kaum Muslimin dengan kekuatan senjata: Dan mereka tak akan berhenti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agama kamu, jika mereka dapat. Dan barangsiapa di antara kamu berbalik dari agamanya (yartadda) lalu ia mati selagi ia kafir, ini adalah orang yang sia-sia amalnya di dunia dan di Akhirat. Dan mereka adalah kawan api, mereka menetap di sana (2:217).[1] Maka apabila orang menjadi murtad, ia akan dihukum karena ia kembali mengerjakan perbuatan jahat lagi, tetapi ia tidaklah dihukum di dunia, melainkan di Akhirat. Adapun perbuatan baik yang ia lakukan selama menjadi Muslim, menjadi sia-sia karena ia mengambil jalan buruk dalam hidupnya.
Surat ketiga yang diturunkan pada tahun ketiga Hijriah, membicarakan berulangkali orang yang kembali kepada kekafiran setelah mereka memeluk Islam, namun hukuman yang diuraikan di dalam Surat tersebut akan diberikan di Akhirat. Qur’an berfirman: “Bagaimana Allah memimpin kaum yang kafir sesudah mereka beriman, dan sesudah mereka menyaksikan bahwa Rasul itu benar; dan sesudah datang kepada mereka tanda-bukti yang terang (3:85). “Pembalasan mereka ialah, mereka akan ditimpa laknat Allah (3:86). “Terkecuali mereka yang bertobat sesudah itu, dan memperbaiki kelakuan mereka” (3:88). “Sesungguhnya orang yang kafir sesudah mereka beriman, lalu mereka bertambah kafir, tobat mereka tak akan diterima (3:89).
Adapun dalil yang paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari itu” (3:71). Bagaimana mungkin orang yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya (5:54). Sepanjang mengenai Qur’an Suci, tak ada satu ayat pun yang menerangkan bahwa orang murtad harus dihukum mati, bahkan ayat yang membicarakan perbuatan murtad tak membenarkan adanya hukuman semacam itu, dan tak dibenarkan pula oleh ayat 2:256 yang ini merupakan Magna Charta bagi kemerdekaan beragama yang berbunyi: “laa ikraha fiddiin – Tak ada paksaan dalam agama.
Persoalan murtad menurut Hadits
Marilah kita sekarang meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan, namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini. Dalam Kitab Bukhari terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang melawan mereka. Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua, hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang. Pada waktu berkobarnya pertempuran antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, kerapkali terjadi orang menjadi murtad dan bergabung dengan musuh untuk memerangi kaum Muslimin. Sudah tentu orang semacam itulah yang harus diperlakukan sebagai musuh, bukan karena murtadnya, melainkan karena berpihak kepada musuh. Lalu ada pula kabilah yang tak berperang dengan kaum Muslimin dan apabila ada orang murtad dan bergabung dengan mereka, orang tersebut tak diapa-apakan. Orang semacam itu disebut seterang-terangnya dalam Qur’an Suci: “Terkecuali orang-orang yang bergabung dengan kaum yang mempunyai ikatan perjanjian antara kamu dan mereka, atau orang-orang yang datang kepada kamu sedangkan hati mereka mengerut karena takut memerangi kamu atau memerangi golongan mereka sendiri. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia beri kekuatan kepada mereka melebihi kamu, sehingga mereka berani memerangi kamu. Lalu jika mereka mengundurkan diri dari kamu, dan tak memerangi kamu,dan menawarkan perdamaian kepada kamu, maka Allah tak memberi jalan kepada kamu untuk melawan mereka (4:90).
Satu-satunya peristiwa yang disebutkan dalam Hadits sahih mengenai pemberian hukuman kepada kaum murtad ialah peristiwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul yang memeluk Islam dan ikut hijrah ke Madinah, tetapi mereka tak merasa cocok dengan udara di Madinah, maka dari itu Nabi Suci menyuruh mereka supaya tinggal di suatu tempat di luar Madinah, yang di sana dipelihara unta perahan milik pemerintah, sehingga mereka dapat menikmati udara terbuka dan minum susu. Mereka menjadi sehat sekali, tetapi kemudian mereka membunuh penjaganya dan membawa lari untanya. Kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Suci, lalu sepasukan tentara diperintah untuk mengejar mereka, dan mereka dihukum mati (Bu. 56:152).[2] Riwayat itu terang sekali bahwa bukan dihukum mati karena murtad, melainkan karena membunuh si penjaga unta.
Banyak sekali orang yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari agamanya. Bunuhlah dia” (Bu. 88:1). Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan kaum Muslimin. Hanya dengan pembatasan dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain, atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya, kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam, atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
Hadits lain yang membicarakan pokok persoalan yang sama menjelaskan arti Hadits tersebut di atas. Hadits ini menerangkan bahwa orang Islam hanya boleh dibunuh dalam tiga hal, antara lain disebabkan “ia meninggalkan agamanya, dan meninggalkan masyarakat (attariku lil-jama’ah)” (Bu. 88:6). Menurut versi lain berbunyi: “orang yng memisahkan diri (al-mufariq) dari masyarakat”. Terang sekali bahwa yang dimaksud memisahkan diri dari atau meninggalkan masyarakat, yang dalam Hadits itu ditambahkan sebagai syarat mutlak, ialah bahwa ia meninggalkan kaum Muslimin dan bergabung dengan musuh. Dengan demikian, kata-kata Hadits itu bertalian dengan waktu perang. Jadi perbuatan yang dihukum mati itu bukan disebabkan mengubah agamanya, melainkan desersi.
Dalam Kitab Bukhari tercantum pula satu contoh yang sederhana tentang perbuatan murtad: “Seorang Arab dari padang pasir menghadap Nabi Suci untuk memeluk Islam di bawah tangan beliau. Selagi ia masih di Madinah, ia diserang penyakit demam, maka dari itu ia menghadap Nabi Suci dan berkata: Kembalikan bai’atku, Nabi Suci menolaknya, lalu ia menghadap lagi dan berkata: Kembalikan bai’atku, Nabi Suci pun menolaknya, lalu ia pergi” (Bu. 94:47). Hadits tersebut menerangkan bahwa mula-mula penduduk padang pasir itu memeluk Islam. Pada hari berikutnya, karena ia diserang penyakit demam, ia mengira bahwa penyakit itu disebabkan karena ia memeluk Islam, maka dari itu ia menghadap Nabi Suci untuk menarik kembali bai’atnya. Ini adalah terang-terangan perbuatan murtad, namun dalam Hadits itu tak diterangkan bahwa penduduk padang pasir itu dibunuh. Sebaliknya, Hadits itu menerangkan bahwa ia kembali ke padang pasir dengan aman.
Contoh lain tentang perbuatan murtad yang sederhana diuraikan dalam satu Hadits bahwa pada suatu hari seorang Kristen memeluk Islam, lalu ia murtad dan menjadi Kristen kambali, namun demikian, ia tidak dibunuh. “Sahabat Anas berkata, bahwa seorang Kristen memeluk Islam dan membaca Surat Ali ‘Imran, dan ia menuliskan ayat Qur’an untuk Nabi Suci, lalu ia berbalik menjadi Kristen kembali, dan ia berkata: Muhammad tak tahu apa-apa selain apa yang aku tulis untuknya. Lalu Allah mencabut nyawanya, lalu kaum Muslimin menguburnya” (Bu. 61:25). Selanjutnya Hadits itu menerangkan tentang peristiwa dihempaskannya tubuh orang itu oleh bumi. Terang sekali bahwa peristiwa itu terjadi di Madinah setelah diturunkannya Surat kedua (al-Baqarah) dan Surat ketiga (Ali ‘Imran) tatkala negara Islam telah berdiri, namun demikian orang yang murtad itu tak dianiaya, sekalipun ia mengucapkan kata-kata yang amat menghina Nabi Suci, dan menyebut beliau sebagai pembohong yang tak tahu apa-apa, selain apa yang ia tulis untuknya.
Di muka telah kami terangkan bahwa Qur’an menguraikan kaum murtad yang bergabung dengan kabilah yang mengikat perjanjian persahabatan dengan kaum Muslimin, dan kaum murtad yang benar-benar mengundurkan diri dari pertempuran, yang tak memihak kepada kaum Muslimin dan tak pula kepada musuh, dan menerang-kan agar mereka jangan diganggu (4:90). Semua itu menunjukkan bahwa Hadits yang menerangkan bahwa kaum murtad harus dibunuh, ini khusus hanya ditujukan terhadap kaum murtad yang memerangi kaum Muslimin.
Perbuatan murtad dan fiqih
Jika kita membaca kitab fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia menolak, ia harus dibunuh” (H.I. hal. 576).  Tetapi setelah Kitab Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan perang (kafir harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah Islam” (H.I. hal. 577). Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin. Adapun mengenai perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini: “Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir) itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak mengizinkan” (HI hal. 577). Ulama yang menafsiri kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib, karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan orang boleh dibunuh menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin. Adapun alasannya dikemukakan seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham, bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad mempunyai kemampuan berperang, anak kecil pun dapat disebut harbiy (orang berperang), karena anak kecil itu akan tumbuh menjadi besar dan mempunyai kemampuan berperang; bahkan kaum perempuan yang murtad pun tak dapat dikecualikan dari hukuman mati, karena mereka pun mempunyai kemampuan berperang. Undang-undang hukum pidana bukanlah berdasarkan atas kemampuan, melainkan atas kenyataan. Jadi, ulama fiqih pun mengakui benarnya prinsip bahwa orang tidak dapat dihukum mati hanya karena ia mengubah agamanya, terkecuali apabila orang murtad itu memerangi kaum Muslimin. Bahwa ulama fiqih telah berbuat kesalah pahaman dalam mengartikan hirab atau keadaan perang, adalah soal lain.
___________

[1]. Penulis Kristen yang bersemangat sekali untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang murtad, tak segan-segan lagi menerjemahkan kata fayamut (yang sebenarnya berarti: lalu ia mati) mereka terjemahkan: lalu ia dihukum mati, suatu terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja aktif, dan kata yamutu artinya ialah mati. Digunakannya kata itu membuktikan seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad tidaklah dihukum mati. Sebagian mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap ayat yang berbunyi: “ini adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti bahwa ia akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal di sini ialah perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal inilah yang akan menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia murtad. Perbuatan baik hanya akan ada gunanya jika perbuatan baik itu mendatangkan kebaikan bagi seseorang, dan dapat meningkatkan kesadaran menuju perkembangan hidup yang tinggi. Di tempat lain dalam Qur’an Suci diuraikan bahwa perbuatan orang akan sia-sia jika ia hanya bekerja untuk duniawinya saja dan mengabaikan kehidupan akhirat: “Yaitu orang yang tersesat usahanya dalam kehidupan dunia, dan mengira bahwa mereka adalah ahli dalam membuat barang-barang. Mereka mengafiri ayat-ayat Tuhan dan mengafiri perjumpaan dengan-Nya, maka sia-sialah amal mereka. Maka dari itu Kami tak akan menegakkan timbangan bagi mereka pada Hari Kiamat” (18:104-105). Dalam ayat ini, yang dimaksud habithat ialah perbuatan yang sia-sia sepanjang mengenai kehidupan rohani. [2]. Sebagian Hadits menerangkan bahwa mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh, ini hanyalah sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana secara Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits menerangkan bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga unta, lalu digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh sebab itu lalu mereka juga dihukum mati seperti itu (Ai. VII, hal. 58). Tetapi Hadits lain membantah tentang digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut Hadits ini, Nabi Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah mereka lakukan terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan hukuman itu, beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau dipenjara” (5:33) (IJ-C. VII, hal. 121). Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan sifat kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib apabila ia menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.
Orang Murtad Dijatuhi Hukuman Mati?
Sabtu, 16 April 2011
Pengirim : Sholihah


Pak Ustad, saat ini sedang ribut ada film yang pesan ceritanya menunjukkan "murtad sebagai hal biasa'. Sebenarnya apa sih hukum murtad dalam Islam?
Wass, Sholihah

Jawab :
Bismillah,
Allah menyitir dalam al-Quran yang artinya:
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (QS Al Baqarah: 217 )

Pengertian Murtad (riddah):

Riddah secara bahasa adalah kembali ke belakang, sebagaimana firman Allah swt :

Dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah : 21 )

Adapun pengertian Riddah secara syar’I para ulama berbeda di dalam mendefinisikannya, diantaranya sebagai berikut :

Berkata Al Kasani ( w : 587 H ) dari madzhab Hanafi :

Riddah adalah mengucapkan kata-kata kekafiran setelah dia beriman.“ (Bada’I Shonai’ :  7/134 )

Berkata : As Showi ( w : 1241 H ) dari madzhab Maliki  :

Riddah adalah seorang Muslim yang kembali menjadi kafir dengan perkataan yang terang-terangan, atau perkataan yang membawa kepada kekafiran, atau perbuatan yang mengandung kekafiran.“  ( Asyh As Shoghir : 6/144 )

Berkata Imam Nawawi  ( w : 676 H ) dari madzhab Syafi’i :

Riddah adalah memutus Islam dengan niat atau perkataan, atau dengan perbuatan, baik dengan mengatakan hal tersebut karena mengolok-ngolok, atau karena ngeyel, atau karena keyakinannya.“ (Minhaj ath-Thalibin : 293)

Berkata Al Bahuti  dari madzhab Hambali  :

“Al Murtad secara syar’I  yaitu seseorang yang kafir sesudah Islam, baik dengan perkataan, keyakinan, keragu-raguan, ataupun dengan perbuatan.“  (Kasyaf a Qina’ : 6/136 )

Dari beberapa pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa Riddah adalah  :

“Kembalinya seorang Muslim yang berakal dan baligh menjadi kafir kembali dengan penuh kesadaran tanpa ada paksaan dari seseorang, baik itu melalui keyakinan, perkataan, maupun perbuatannya. “

Macam-macam Riddah:

Jika kita mengambil pengertian Iman dari para ulama salaf yang menyebutkan bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, maksudnya adalah perkataan hati dan anggota badan, serta perbuatan hati dan badan.  Maka Riddah pun demikian mencakup empat hal sebagaimana dalam keimanan. Keterangannya sebagai berikut:

Pertama: Riddah dengan perkataan hati; seperti mendustakan firman-firman Allah, atau menyakini bahwa ada pencipta selain Allah swt.

Kedua: Riddah dengan perbuatan hati, seperti :  membenci Allah dan Rasul-Nya, atau sombong terhadap perintah Allah. Seperti yang dilakukan oleh Iblis ketika tidak mau melaksankan perintah Allah swt untuk sujud kepada Adam, karena kesombongannya.

Ketiga: Riddah dengan lisan : seperti mencaci maki Allah dan Rasul-Nya, atau mengolok-ngolok ajaran Islam.

Keempat: Riddah dengan perbuatan : sujud di depan berhala, menginjak mushaf.

Seorang Muslim menjadi murtad, jika melakukan empat hal tersebut sekaligus, ataupun  hanya melakukan salah satu dari keempat tersebut.

Kapan Seorang Muslim dikatakan Murtad?

Jika dilakukan atas kehendaknya dan kesadarannya. Adapun jika dipaksa maka tidak termasuk dalam katagori murtad. Sebagaimana firman Allah swt :

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” ( Qs An Nahl : 106 ) 

Bagaimana dengan rasa was-was ?

Adapun rasa was-was yang ada di dalam hati, maka itu tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama dia berusaha untuk mengusirnya. Kita dapatkan para sahabat pernah merasakan seperti itu juga, sebagaimana dalam hadist Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata :

"Nabi  saw pernah ditanya mengenai perasaan waswas, maka beliau menjawab: \'Itu adalah tanda keimanan yang murni (benar)." ( HR Muslim )

Hal ini dikuatkan dengan  hadist Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sw :

"Manusia senantiasa bertanya-tanya hingga ditanyakan, 'Ini, Allah menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah', maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari hal tersebut, maka hendaklah dia berkata, 'Aku beriman kepada Allah." ( HR Muslim )

Hukum Murtad

Orang yang murtad boleh dibunuh dan halal darahnya. Jika telah dijatuhi hukuman mati, maka tidak dimandikan dan disholatkan serta tidak dikuburqan di kuburan orang-orang Islam, tidak mewarisi dan tidak diwarisi.  Tetapi hartanya diambil dan disimpan di Baitul Mal kaum Muslimin.

Dalilnya adalah Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

“Tidak halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama\'ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang yang membunuh orang lain.\" ( HR Muslim )

Ini dikuatkan dengan hadits Ikrimah, bahwasanya ia berkata :

“Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali ra, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata : Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah saw yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah saw : "Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!" (HR Bukhari )

Dikuatkan juga dengan hadist Mu’adz bin Jabal :
“Suatu kali Mu'adz mengunjungi Abu Musa, tak tahunya ada seorang laki-laki yang diikat. Mu'adz bertanya; "Siapa laki-laki ini sebenarnya? Abu Musa menjawab "Dia seorang yahudi yang masuk Islam, kemudian murtad. Maka Mu'adz menjawab; "Kalau aku, sungguh akan kupenggal tengkuknya." ( HR Bukhari )

Jika seseorang murtad, maka dia harus dipisahkan dari istrinya pada waktu itu juga. Imam as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) berkata : “Seorang Muslim apa bila ia murtad, maka istrinya harus dipisahkan darinya. Baik istrinya tersebut seorang Muslimah ataupun seorang ahli ktab, baik istrinya tersebut telah digauli atau belum”. ( al-Mabsuth : 5/49 )

Apakah Diberi Waktu Untuk Bertaubat ? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tetapi mayoritas ulama mengatakan harus diberi waktu untuk taubat. Karena orang murtad kadang ada syubhat yang ada pada dirinya mengenai Islam, sehingga dia murtad, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu. Jika diberi waktu untuk taubat, dan dia tidak bertaubat, maka boleh dibunuh.

Sebagian ulama mengatakan waktu taubat adalah tiga hari, sebagian yang lain mengatakan tidak harus tiga hari, tetapi tawaran untuk bertaubat hendaknya terus dilakukan, jika tidak ada harapan untuk taubat, maka boleh dibunuh.

Taubat Orang Murtad Orang yang sudah murtad, jika bertaubat, apakah taubatnya diterima ? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan bahwa orang yang murtad terkena hukum dunia dan akherat. Adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Hukum di Akherat

Untuk hukum di akherat, pada dasarnya Allah swt akan menerima setiap hamba-Nya yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, ini sesuai dengan firman Allah swt :

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ." ( Qs Al Anfal : 38 )

Hal ini dikuatkan dengan hadits Amru bin Ash, bahwasanya  Rasulullah saw bersabda kepadanya :

" Apakah kamu tidak tahu bahwa Islam telah menghapuskan dosa yang telah terdahulu, dan bahwa hijrah juga menghapuskan dosa yang terdahulu, dan haji juga menghapuskan dosa yang terdahulu. “ ( HR Muslim )

Ayat dan hadist di atas menunjukkan orang-orang kafir asli yang bertaubat dan masuk Islam, maka Allah akan menerima taubat mereka, dan seluruh dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah swt. Mereka tidak diwajibkan menggantikan kewajiban yang mereka tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta curian, maka harus dikembalikan kepada yang berhak. Dalilnya adalah hadist Mughirah bin Syu’bah  :

“Dahulu Al Mughirah di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi saw berkata saat itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)

Adapun orang yang murtad, jika bertaubat, maka taubatnya diterima dan dia harus menggantikan ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa.   Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan  jika dia taubat, maka dia harus haji kembali seakan-akan dia baru masuk Islam. Adapun Imam Syafi’I berpendapat bahwa jika dia bertaubat tidak ada kewajiban mengulangi hajinya kembali.

Diantara dalil yang menunjukkan diterimanya taubat orang yang murtad adalah firman Allah swt  :

“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la\'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la\'nat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Qs Ali Imran : 86-89 )


Bagaimana penafsiran ayat –ayat yang menunjukan bahwa orang yang murtad itu tidak diterima taubatnya ?, sebagaimana di dalam firman Allah swt :

“Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.”  ( Qs Ali Imran : 90-91 )

Begitu juga di dalam firman Allah swt :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” ( Qs Ali Imran : 137 )

Maka jawabannya bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah orang yang murtad, kemudian tidak mau bertaubat , bahkan bertambah kekafirannya, maka Alah tidak akan menerima taubatnya sesudah mati.

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 1/ 753  ) : “ Allah swt menyebutkan bahwa orang yang sudah beriman kemudian murtad, kemudian beriman lagi, kemudian murtad lagi dan terus menerus dalam kemurtadan, sampai mati, maka tidak ada taubah sesudah kematiaanya, dan Allah tidak mengampuninya “.

Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Abbas tentang bunyi ayat di atas :+E '2/'/H' CA1', maksudnya adalah: “ masih di dalam kekafirannya sampai mati “. Begitu juga pendapat Mujahid.

Ibnu Taimiyah di dalam Majmu  al Fatawa ( 16/28-29 )  menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak diterima taubat mereka pada ayat di atas adalah kemungkinan karena mereka orang-orang munafik, atau karena mereka bertaubat tapi masih melakukan perbuatan syirik, atau  amalan mereka tidak diterima setelah mereka mati.  Sedangkan mayoritas ulama seperti Hasan Basri, Qatadah dan Atho’, serta As Sudy mengatakan bahwa taubat mereka tidak akan diterima, karena mereka bertaubat dalam keaadan sakaratul maut. Ini sesuai dengan firman Allah swt :

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : \"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.\" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” ( Qs An-Nisa’ : 18 )

Kedua : Hukum di Dunia :

Untuk hukum di dunia para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum orang murtad yang sudah bertaubat.

Pendapat Pertama : Jika seorang yang beriman kemudian kemudian murtad, dan kembali ke Islam kemudian murtad kembali dan hal itu terulang berkali-kali, maka taubatnya tidak diterima oleh pemerintahan Islam, dan dia terkena hukuman mati.

Pendapat Kedua : Jika seorang  yang beriman kemudian murtad dan hal itu terulang-ulang terus, maka taubatnya tetap diterima oleh pemerintahan Islam  dan dia dianggap Muslim lagi dan boleh hidup bersama-sama orang-orang Islam yang lain, serta berlaku hukum-hukum Islam terhadapnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hanafiyah, masyhur dari Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat imam Ahmad . ( lihat Tabyin al Haqaiq 3/284, Tuhfatul Muhtaj : 9/96, Kasya’ qina’ : 6/177-178 )

Dalm masalah ini, Ibnu Taimiyah membagi Riddah menjadi dua, yaitu Riddah Mujaradah ( murtad ringan ), kalau dia bertaubat, maka hukuman mati menjadi gugur darinya. Yang kedua adalah Riddah Mugholladhah ( murtad berat ), dia tetap dihukum mati walaupun sudah bertaubat ( Shorim Maslul : 3/ 696 )

Berkata Ibnu Qudamah di dalam al Mughni ( 12/271 ) : “ Kesimpulannya,  bahwa perbedaan para ulama hanyalah di seputar diterimanya taubat orang yang murtad secara lahir di dunia ini, begitu juga gugurnya hukuman mati dan berlakunya hukum-hukum Islam baginya.  Adapun diterimanya taubatnya oleh Allah secara batin, dan diampuninya orang yang bertaubat secara lahir dan batin, maka para ulama tidak berselish pendapat dalam masalah-masalah tersebut. “ 
.

Sebab-sebab terjadinya Riddah 1. Kebodohan.

Kebodohan menjadi penyebab utama adanya gelombang pemurtadan, karena mereka tidak dibentengi dengan ilmu. Oleh karena itu salah satu cara yang efektif untuk mmengantisapi pemurtadan adalah dengan menyebarkan aqidah dan ilmu yag benar di kalangan masyarakat.

Syekh al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang mengucapkan kata-kata kufur tanpa mereka sadari, bahwa sebenarnya hal itu adalah bentuk kekufuran. Maka wajib atas bagi orang yang berilmu untuk menjelaskan kepada mereka mereka hal-hal yang menyebabkan kekafiran tersebut, supaya  mereka mengetahuinya, kemudian bisa menghindarinya. Dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, dan tidak kekal di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih.

Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak, ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu sebab utamanya adalah kebodohan dan setiap kebaikan itu sebab utamanya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”. (  I’anah ath-Thalibin: 4/133)

2. Kemiskinan.

Pemurtadan seringkali terjadi pada daerah-daerah miskin dan terkena bencana. Banyak kaum Muslimin yang mengorbankan keyakinan mereka hanya untuk sesuap nasi dan sebungkus supermi.

3. Tidak adanya pemerintahan Islam

Hilangnya pemerintahan Islam yang menegakkan syariat Allah membuat musuh-musuh Islam leluasa melakukan pemurtadan dan penyesatan terhadap umat Islam.  Begitu juga umat Islam tidak akanberani main-main dengan agamanya. Berikut ini beberapa bukti bahwa pemerintahan Islam mempunyai peran penting di dalam menghentikan gelombang pemurtadan :

Para Khulafa’ Rasyidin menegakan memerangi orang-orang yang murtad danmenghukumi mereka dengan hukuman mati, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq terhadap Musailamah al-Kadzab dan para pengikutnya.

Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Al Mahdi, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir pada peristiwa yangterjadi pada tahun 167 H : “ Khalifah Mahdi memburu orang-orang yang murtad kemana saja mereka bersembunyi, mereka  yang tertangkap dibawa kehadiran-nya dan dibunuh di depannya . “ ( al Bidayah wa an Nihayah 10/149 )

Begitu juga pada tahun 726 H, Nashir bin as Syaraf  Abu Al Fadhl al Haitsami dihukum mati karena menghina ayat-ayat Allah dan bergaul dengan para zindiq. Padahal dia orang yang menghafal kitab At Tanbih, dan bacaan al qur’annya sangat bagus   (al Bidayah wa an Nihayah : 14/ 122 )

Berkata Al Qadhi Iyadh :  “ Para ulama Malikiyah yang berada di Bagdad pada zaman khalifah al Muqtadir telah sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada al Halaj, kemudian menyalibnya, hal itu karena dia menganggap dirinya  Allah dan menyakini Aqidah al Hulul, serta menyatakan bahwa dirinya  ((#F' 'D-B, padahal al Halaj secara lahir, dia menjalankan syare’at. Al Halaj ini taubatnya tidak diterima ( di dunia ) “ (Asy Syifa’ :  2/1091 )

4. Ghozwul Fikri.

Munculnya pemikiran-pemikiran sesat seperti liberalisme, pluralisme dan sekulerisme telah mendorong terjadi gelombang kemurtadan di kalangan kaum Muslimin, karena paham-paham tersebut mengajarkan bahwa semua agama sama, dan semua orang bebas melakukan perbuatan apapun juga, tanpa takut dosa. Wallahu A’lam

Penulis adalah doktor bidang fikih, Universitas Al-Azhar, Mesir

Hukum Murtad Menurut Islam...ramai masih keliru?


Berikut saya berikan hukum sebenar murtad menurut Islam. Berbanding dengan implementasi perundangan dan perlembagaan negara, saya dapati negara ini hanya mengamalkan hukum murtad yang paling minimum.

Memandangkan gejala murtad semakin berleluasa di Malaysia, saya mencadangkan agar undang-undang berkenaan murtad diperketatkan. Kewajaran ini jelas memandangkan Islam adalah agama rasmi negara ini dan kita perlu memelihara aqidah saudara seagama kita yang seolah-olah mudah dipermainkan oleh pihak agama lain.

Meskipun negara ini mengamalkan kebebasan beragama sebagaimana dasar yang dibuat oleh Kerajaan Madinah di zaman Rasulullah SAW dahulu, implementasi mengenai undang-undang murtad perlu diperjelaskan kepada seluruh umat Islam supaya tidak ada yang keliru dengan hukum sebenar.

Tak semestinya seseorang murtad itu di hukum bunuh. Namun bagi kes yang mahukan permasyhuran diri sebagai murtad seperti kes Lina Joy, kewajaran untuk dikenakan hukuman bunuh wajar dipertimbangkan. Sekurang-kurangnya dikenakan hukuman berat!

Biar apa pun yang diperkatakan sama ada golongan hak asasi manusia mahupun agama lain, hukum Allah lebih penting untuk dilaksanakan, terutamanya bila aqidah umat Islam semakin digoncang para kuffar yang tidak menghormati lagi Islam di negara ini.

Dari sudut bahasa, “Murtad” adalah dari bahasa Arab yang berasal daripada perkataan "Riddah". Kamus-kamus bahasa Arab menjelaskan bahawa "riddah" bermakna kembali daripada sesuatu kepada selainnya. Oleh itu dari sudut bahasa, murtad bermakna orang yang kembali daripada sesuatu kepada selainnya.

Ada pun dari sudut syarak, dengan merujuk kepada penjelasan para ilmuan Islam, murtad ialah seorang muslim mukallaf yang keluar daripada agama Islam sama ada dengan kepercayaan, perkataan atau perbuatan, dengan kehendaknya sendiri.

Orang yang murtad beserta hukumannya terbahagi kepada tiga kategori:

1. Orang yang murtad, namun menyembunyikannya.
2. Orang yang murtad dan menzahirkannya.
3. Orang yang murtad dan menzahirkannya serta menyerang Islam dengannya.

Penjelasannya adalah seperti berikut:

Kategori Pertama: Orang yang murtad, namun menyembunyikannya.

Orang yang murtad namun menyembunyikannya kemurtadannya sehingga tiada siapa yang mengetahui kecuali ahli keluarga dan rakan-rakan terdekat, tidak dijatuhkan hukum hudud di dunia. Hukuman mereka adalah di sisi Allah di Hari Akhirat kelak.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizhahullah menjelaskan:

Islam tidak menjatuhkan hukuman bunuh atas orang yang murtad yang tidak menghebahkan murtadnya dan tidak menyeru orang lain agar murtad sepertinya. Islam membiarkannya agar menerima balasannya di akhirat kelak jika dia mati dalam kekafirannya itu. Allah berfirman……

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Dan sesiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (Islam) lalu dia mati sedang dia tetap kafir, maka orang-orang yang demikian rosak binasalah amal usahanya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, kekal mereka di dalamnya". (Al-Baqarah 2:217)

Kategori Kedua: Orang Yang Murtad Dan Menzahirkannya.

Orang yang murtad lalu menzahirkannya atau mengumumkannya dengan apa cara sekali pun seperti media cetak, media elektronik, internet, Sistem Pesanan Ringks (SMS) dan sebagainya, maka dia dijatuhkan hukuman bunuh setelah terlebih dahulu diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
"Sesiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia."

Ada pun berkenaan permintaan taubat, terdapat perbincangan di kalangan para ilmuan dan ia menghasilkan lima pendapat:
  1. Wajib meminta orang murtad untuk bertaubat.
  2. Dianjurkan meminta orang murtad untuk bertaubat.
  3. Harus meminta orang murtad untuk bertaubat.
  4. Wajib meminta taubat kepada orang yang asalnya kafir, kemudian memeluk Islam, kemudian murtad. Permintaan taubat tidak dibolehkan bagi orang yang asalnya Islam, kemudian murtad.
  5. Orang yang murtad tidak perlu diminta untuk bertaubat melainkan memadai diperintahkan untuk kembali kepada Islam sambil diacukan pedang di lehernya.

Kategori Ketiga: Orang Yang Murtad Dan Menzahirkannya Serta Menyerang Islam Dengannya.

Orang yang murtad dan menzahirkannya serta menyerang Islam dengan apa cara sekali pun, sama ada dengan menggunakan senjata, pena, lisan, pemikiran serta menggunakan bantuan orang bukan Islam dan munafik, maka mereka ditangkap dan dibunuh serta merta tanpa diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat. Pengecualian adalah jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka taubat mereka diterima.

Berkenaan orang murtad kategori ketiga ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ فَإِنَّهُ يُرْجَمُ وَرَجُلٌ خَرَجَ مُحَارِبًا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الأَرْضِ أَوْ يَقْتُلُ نَفْسًا فَيُقْتَلُ بِهَا
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi bahawasanya tiada tuhan selain Allah dan bahawasanya Muhammad adalah Rasulullah melainkan salah satu dari tiga perkara:

1. Seorang yang berzina setelah dia menjaga kehormatannya dengan perkahwinan, maka sesungguhnya dia direjam,
2. Seorang yang keluar (dari Islam dan jamaah, lalu) memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia dibunuh atau disalib atau dibuang negeri dan
3. Seorang yang membunuh satu jiwa, maka dia dibunuh sebagai hukum timbal balik.


Mereka ditangkap dan dibunuh serta merta tanpa diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنفَوْا مِنْ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (34.
"Bahawasanya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta melakukan bencana kerosakan di muka bumi ialah dengan dibalas atau dipalang atau dipotong tangan dan kaki mereka bersilang atau dibuang negeri. Hukuman yang demikian itu adalah suatu kehinaan di dunia bagi mereka, dan di akhirat kelak mereka beroleh azab seksa yang amat besar.
"Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kamu dapat menangkapnya, (mereka terlepas dari hukuman itu). Maka ketahuilah, bahawasanya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Al-Maidah 5:33-34)

Sumber: klik sini
SIJIL MATI UNTUK LINA JOY
« on: 18 June, 2007, 12:31:37 AM »

 
“Terima keputusan Lina Joy - PM”. Inilah tajuk utama Utusan Malaysia 1 Jun lepas. Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi meminta rakyat supaya menerima keputusan Mahkamah Persekutuan dalam kes Azlina Jailani atau Lina Joy dengan terbuka dan tidak membenarkan diri mereka dipengaruhi emosi. Perdana Menteri berkata demikian ketika diminta mengulas keputusan Mahkamah Persekutuan menolak permohonan Lina Joy yang mengaku murtad sejak 17 tahun lalu untuk menggugurkan perkataan Islam dalam kad pengenalannya dengan penghakiman secara majoriti 2-1. Mahkamah menegaskan Azlina, 42, yang menukar namanya kepada Lina Joy perlu mendapatkan perakuan daripada Mahkamah Syariah bahawa dia telah murtad sebelum Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) boleh menggugurkan perkataan Islam dalam kad pengenalannya.

Pada masa yang sama, Abdullah turut menyangkal dakwaan seorang wartawan media asing bahawa undang-undang Islam kini mengatasi Perlembagaan Persekutuan negara ini.  “Tak ada perkara macam itu (undang-undang Islam mengatasi Perlembagaan Persekutuan). Perlembagaan Persekutuan ialah Perlembagaan Persekutuan. Ada satu set undang-undang yang perlu kita patuhi. Ia merupakan sesuatu yang perlu kita patuhi, itu sahaja”, katanya [UM 01/06/07].

Pelbagai reaksi diberikan oleh umat Islam dengan keputusan ini. Banyak pihak melahirkan rasa gembira dan syukur dengan keputusan yang telah dibuat. Bagi segelintir yang lain, tiada apa yang nak dibanggakan dengan keputusan Mahkamah ini kerana isunya adalah isu ‘nama’ bukannya isu ‘agama’. Bagi non-Muslim, khususnya golongan Nasrani, mereka memandang serius akan hal ini kerana ini adalah persoalan hak asasi manusia dan ianya dijamin atau termaktub di dalam Perlembagaan Persekutuan.

Dipandang dari sudut ‘agama’, golongan Nasrani sudah lama bergembira kerana hakikatnya Lina Joy telah pun murtad, walau apa namanya sekalipun. Dan yang lebih penting, simurtad itu adalah seorang Muslim. Jika yang memeluk agama Nasrani itu berasal dari agama Hindu atau Buddha, kegembiraan mereka tidaklah seberapa. Persoalannya, sebagai seorang Muslim, adakah kita perlu menerima dan pasrah sahaja dengan keputusan ini, malah bergembira dengannya, atau apakah sebenarnya yang patut kita lakukan? Apakah kita juga turut bersetuju dengan kenyataan Perdana Menteri yang mengakui bahawa Perlembagaan Persekutuan mengatasi undang-undang Islam? Apakah kita harus redha sahaja kepada Perlembagaan yang diasaskan oleh Lord Reid ini? Inilah persoalan yang akan dikupas oleh Sautun Nahdhah pada kali ini.

Bersyukurkah Kita Dengan Keputusan Ini?

Dari berita-berita yang disiarkan, ramai di kalangan umat Islam di Malaysia menarik nafas lega dengan keputusan Mahkamah Persekutuan ini, sehingga ada yang menyifatkan ia adalah satu kemenangan untuk Islam. Laungan ‘Allahu Akbar’ yang bergema di perkarangan bangunan ‘Palace of Justice’ pada hari itu menggambarkan kegembiraan di hati mereka yang hadir. Apa tidaknya, ini adalah keputusan Mahkamah tertinggi di negara ini yang mana selepas ini tidak ada lagi mahkamah yang lebih tinggi untuk merubah penghakiman yang telah dibuat. Bagi mereka yang keliru, ya, inilah kemenangan.

Tetapi jika umat Islam berfikir lebih jauh sedikit dengan keputusan yang dibuat, mereka akan sedar bahawa apa yang diputuskan oleh Mahkamah bukanlah soal bahawa seseorang itu ‘tidak boleh murtad’ tetapi penghakiman yang dibuat adalah berkenaan isu ‘perkataan Islam’ di dalam kad pengenalan, di mana Lina Joy tidak dibenar memadamkan perkataan tersebut di dalam myKadnya. Dengan kata lain, sesiapa sahaja yang ingin murtad masih boleh berbuat demikian, cuma mereka tidak dibenar menggugurkan perkataan ‘Islam’ di dalam kad pengenalannya, kecuali setelah mendapat izin dari Mahkamah Syariah terlebih dahulu. Keputusan ini juga membawa implikasi bahawa seseorang itu masih boleh murtad dan mempunyai harapan untuk menukar status ‘Islam’ di dalam kad pengenalannya, jika diizinkan oleh Mahkamah Syariah.

Wahai kaum Muslimin! Pandanglah dengan pandangan yang jernih, apakah keputusan Mahkamah ini telah berjaya mengembalikan Lina Joy ke pangkuan Islam? Apakah persoalan akidah umat Islam itu ditentukan oleh ‘nama’ atau ‘perkataan Islam’ yang tertulis di atas sekeping dokumen? Tidakkah kalian sedar bahawa kewujudan kad pengenalan itu hanyalah sekadar urusan pentadbiran duniawi sedangkan akidah itu adalah ‘urusan ukhrawi’? Adakah  apa yang tertera di atas sekeping kad itu boleh melambangkan apa yang tertera di dalam hati, sehingga jika dikekalkan perkataan Islam pada kadnya bermakna Islamlah hatinya? Apakah kalian akan beranggapan bahawa dengan keputusan ini akan dapat menyelamatkan akidah umat Islam yang lain jika mereka ingin mengambil langkah sebagaimana langkah neraka Lina Joy?

Dalam satu masa umat Islam di Malaysia tidak henti-henti berjuang untuk memartabatkan Mahkamah Syariah, yang dikatakan semakin hilang wibawa dan kuasanya kerana dihakis oleh Mahkamah Sivil, namun, dalam masa yang sama, umat Islam sebenarnya mengiktiraf dan bergantung harap kepada Mahkamah Sivil (Mahkamah Persekutuan) untuk mengembalikan wibawa tersebut. Sebagaimana yang telah kami kupas di dalam Sautun Nahdhah yang lalu, kewujudan ‘Mahkamah Syariah’ di Malaysia pada hari ini dengan sendirinya membawa erti bahawa Mahkamah selainnya adalah tidak syariah (tidak Islam).

Persoalannya justeru, apakah kewujudan Mahkamah yang tidak syariah ini dibolehkan oleh Islam? Jika tidak boleh, apakah kita cuma mahu bersikap pasrah (menerima bulat-bulat tanpa apa-apa bantahan) sahaja dengan kewujudan Mahkamah tidak Islam yang diwarisi dari British ini? Penerimaan kita akan keputusan yang telah dibuat oleh Mahkamah Persekutuan (Mahkamah Sivil) ini bermaksud kita telah ‘mengiktiraf’ apa yang British wariskan kepada kita dan kita mengakui bahawa kedudukan Mahkamah Persekutuan sememangnya lebih tinggi dari Mahkamah Syariah. Tidakkah kalian sedar akan hakikat ini wahai kaum Muslimin? Oleh yang demikian, apakah wajar bagi kita untuk menerima  dan bersyukur dengan penghakiman yang telah dibuat?

Sesungguhnya kewujudan sistem mahkamah yang ada sekarang, baik mahkamah sivil mahupun mahkamah syariah adalah kerana ia diwujudkan/diperuntukkan oleh Perlembagaan Persekutuan. Pengiktirafan kita ke atas kedua-dua institusi ini, malah bergembira dengan keputusan yang dibuat sedangkan ia langsung tidak memutuskan/berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, menunjukkan bahawa kita telah meletakkan undang-undang manusia mengatasi undang-undang Allah. Sedar atau tidak, kita sebenarnya telah meletakkan Perlembagaan itu lebih tinggi dari hukum Allah. Adakah kita ingin sependapat dengan Perdana Menteri dalam hal ini yang mengakui bahawa Perlembagaan Persekutuan lebih tinggi dari Islam, walhal Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya” ? [HR al-Baihaqi].

Bilakah Seseorang Dianggap Murtad?


Wahai kaum Muslimin! Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Mencipta. Dia mencipta manusia dan mencipta Deen untuk manusia. Dan Dia telah memilih bahawa Deen untuk manusia adalah Islam. FirmanNya, “Sesungguhnya Deen (yang diredhai) di sisi Allah itu hanyalah Islam” [TMQ Ali Imran (3):19] dan firmanNya, “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai Deen, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan di Hari Akhirat dia termasuk ke dalam orang-orang yang rugi” [TMQ Ali Imran (3):85].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya sehingga tidak ada makna lain lagi yang boleh ditafsir atau ditakwil oleh sesiapa pun bahawa hanya Islamlah satu-satunya Deen yang diterima oleh Allah untuk dianuti oleh manusia. Dengan kata lain, sesiapa sahaja yang tidak beragama dengan Islam atau yang pada asalnya beragama Islam kemudian keluar dari Islam, maka Allah sekali-kali tidak akan redha kepadanya. Maka, jika Allah tidak redha kepadanya, kita juga sebagai umat Islam tidak boleh redha kepadanya. Justeru, apakah kita akan redha dengan Lina Joy yang telah secara terang-terangan mengaku memeluk agama Nasrani?

Dalam penghakimannya, Hakim Ahmad Fairuz berkata, JPN mempunyai justifikasi untuk mendapat pengesahan penguasa agama Islam bahawa Lina Joy telah murtad sebelum meluluskan permohonan wanita itu untuk memadamkan perkataan ‘Islam’ daripada kad pengenalannya. Beliau berkata, jika JPN menerima pengakuan seseorang bahawa dia telah keluar agama Islam berasaskan pengisytiharan pemohon semata-mata, maka JPN mengambil risiko apabila menyatakan dia sebagai bukan Muslim sedangkan mengikut undang-undang Islam, orang itu masih belum murtad.

‘‘Ini semua akan mengakibatkan celaan daripada masyarakat Muslim. Atas sebab ini, saya percaya, JPN mengguna pakai dasar bahawa perakuan bersumpah sahaja tidak cukup untuk membolehkan perkataan ‘Islam’ dipadamkan daripada kad pengenalan seseorang Muslim,” katanya [UM 31/05/07]. Nampaknya, celaan masyarakat lebih diambil kira dari celaan Allah Subhanahu wa Ta’ala ke atas simurtad! Inilah kedudukan terkini ‘undang-undang Islam’ Malaysia di mana walaupun seseorang itu telah membuat pengakuan atau pengisytiharan murtad, tetapi dia masih belum dikatakan murtad sehinggalah ‘disahkan’ oleh Mahkamah. Jadi, walaupun pada hakikatnya seseorang itu telah murtad, tetapi dari segi undang-undang, dia masih lagi seorang Muslim!

Sekali lagi, kami ingin mengambil kesempatan untuk menjelaskan kepada mereka yang keliru bahawa murtadnya seseorang itu bukannya diukur dari ‘perintah’ Mahkamah Syariah, tetapi diukur dari i’tiqad, perbuatan atau perkataannya. Mahkamah tidak boleh menjadi penentu kemurtadan seseorang. Murtad datangnya dari ‘qalbu’, bukannya dari perintah seseorang qadhi. Menurut Syeikh Abdurrahman al-Maliki, di dalam kitabnya, Nidzamul Uqubat Fi al-Islam, seorang Islam itu akan jatuh kafir (murtad) dengan empat indikasi seperti berikut, (1) dengan keyakinan (i’tiqad), (2) dengan keraguan (syak), (3) dengan perkataan (al-qaul), (4) dengan perbuatan:-

Pertama,
dengan keyakinan. Ini dilihat dari dua sisi; (a) meyakini dengan pasti sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diperintah, atau yang dilarang. Contohnya meyakini bahawa Allah memiliki sekutu atau meyakini bahawa Al-Quran bukanlah Kalamullah (b) mengingkari sesuatu yang sudah maklum dalam masalah agama seperti mengingkari jihad, mengingkari keharaman khamar, mengingkari hukum potong tangan, dan lain-lain.

Kedua, keraguan dalam berakidah dan semua hal yang dalilnya qath’i. Contohnya, ragu bahawa Allah itu satu; ragu bahawa Muhammad Salallahu 'alaihi wa Sallam adalah Rasulullah; atau ragu tentang hukum sebat bagi penzina dan seumpamanya.

Ketiga, dengan perkataan yang jelas, tidak perlu ditafsirkan atau dita’wilkan lagi. Contohnya, seseorang yang mengatakan (termasuk membuat pengisytiharan) bahawa dia telah keluar dari Islam dan memeluk agama baru, mengatakan atau mengakui bahawa Isa adalah anak Allah, Muhammad bukan nabi, dan lain-lain. Sedangkan perkataan yang masih belum jelas, atau masih perlu dita’wilkan maka tidak memurtadkan pengucapnya.

Keempat, dengan perbuatan yang jelas tanpa perlu ta’wil lagi. Contohnya, menyembah berhala, melakukan ibadat di gereja dengan tata cara ala gereja, sembahyang di Kuil Hindu dengan amalan ritual Hindu dan lain-lain. Sedangkan perbuatan yang belum jelas, tidak mengkafirkan pelakunya seperti masuk ke gereja, membaca Injil, dan lain-lain.

Oleh kerana manusia adalah makhluk Allah dan Allahlah yang mencipta agama untuk manusia, maka sesiapa sahaja yang keluar atau tidak beragama dengan agama Allah (Islam), maka, Allah jualah yang berhak menentukan hukuman baginya. Untuk golongan yang keluar dari agama Allah ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi khabar ancam bahawa, "Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." [TMQ Al-Baqarah (2):217]. Dan Allah telah menetapkan hukuman ke atas mereka yang murtad melalui lisan NabiNya bahawa, “Sesiapa sahaja yang menukar agama (Islam)nya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]. Inilah ketetapan dari Pencipta manusia dan Pencipta agama Islam.
(Sila rujuk Sautun Nahdhah bertajuk ‘250,000 Murtad: Masihkah Kita Ingin Berdiam Diri?’ untuk perbincangan lanjut mengenai hukum ke atas orang yang murtad).

Peranan Mahkamah Dalam Islam


Wahai kaum Muslimin! Di dalam membincangkan isu murtad ini, hendaknya kita tidak dipengaruhi oleh sentimen lain selain Islam semata-mata. Murtad bermaksud keluar dari agama Islam, baik lelaki mahupun perempuan, baik seseorang itu berbangsa Arab, Afrika, India, Cina ataupun Melayu. Persoalan murtad langsung tidak ada kena mengena dengan bangsa. Jangan kita dipengaruhi oleh emosi assabiyyah menyebabkan kita memandang serius jika yang murtad itu adalah dari bangsa kita, tetapi jika simurtad adalah dari bangsa lain, maka kita langsung tidak mengambil peduli. Janganlah kerana Lina Joy itu adalah seorang Melayu, maka dengan itu kita menunjukkan keprihatinan kita. Tetapi kalaulah Lina Joy itu seorang Cina atau India atau seorang masyarakat asli, maka ini langsung tidak menarik minat kita. Hal ini adalah salah sama sekali dan bukannya datang dari ajaran Islam. Tidak ada istimewanya bangsa Melayu di sisi Allah berbanding bangsa yang lain.

Persoalan bangsa ini tidak boleh kita pilih. Allahlah yang menentukan kita lahir sebagai bangsa apa, dan kita tidak akan dapat menukar hakikat ini hingga kiamat. Tetapi persoalan agama kita boleh pilih, agama apakah yang kita ingin anuti. Dan seseorang itu sepatutnya memilih untuk menjadi Muslim adalah kerana keyakinan akan kebenaran Islam, bukan berdasarkan keturunan atau bangsanya.

Jika kita memandang dengan cahaya kebenaran, maka sudah tentu kita akan menganggap bahawa isu murtad merupakan sebuah persoalan utama, tanpa mengira bangsa atau negara mana sekalipun orang itu berada. Jika benarlah kita beriman dengan Allah dan Hari Akhir, maka sesungguhnya yang wajib kita sayangi dan perjuangkan adalah Islam, bukannya bangsa. Dan Rasulullah telah menetapkan hukum bahawa siapa sahaja yang keluar dari agama yang benar ini hendaklah dihukum bunuh, tidak kira bangsa apakah dia.

Seperkara lagi yang harus kita ingat adalah bahawa yang wajib dan berhak menjalankan hukum bunuh ke atas ke atas mereka yang murtad adalah Negara (Pemerintah). Seseorang individu atau mana-mana jemaah tidak boleh sekali-kali melaksanakan hukuman ini. Di dalam Islam, biasanya Negara akan menyerahkan tugas ini kepada Mahkamah atau Qadhi untuk melaksanakannya. Justeru, kita mestilah jelas apakah peranan yang wajib dimainkan oleh Mahkamah di dalam hal ini. Dari keputusan terbaru Mahkamah Persekutuan di dalam kes Lina Joy ini, kita dapati bahawa jika seseorang ingin keluar dari Islam, dia mestilah memfailkan permohonan dan seterusnya mendapat kelulusan/perintah dari Mahkamah Syariah terlebih dahulu.


Khatimah


Wahai kaum Muslimin!
Sesungguhnya Azlina Jailani telah pun murtad, walau apa namanya sekalipun, walau apa yang tercatat pada kad pengenalannya sekalipun, samada dibenarkan oleh Mahkamah ataupun tidak untuk menukarnya. Sudah 17 tahun berlalu dan simurtad ini tidak pun bertaubat dan kembali semula kepada Islam. Hukum sekular yang ada sekarang langsung tidak menakutkan dia untuk terus berada di dalam kekafiran, malah dia berjuang untuk mendapat pengiktirafan terhadap kemurtadannya kerana ini adalah satu perjuangan yang dibenarkan oleh sistem sekular. Inilah ‘kejayaan’ konsep kebebasan yang ditanamkan oleh kafir Barat ke atas dunia Islam. Umat Islam merasakan mereka bebas untuk bertingkah laku; bebas bersuara; bebas memiliki apa sahaja dan bebas untuk berakidah, asalkan dibenarkan oleh undang-undang sekular walaupun ia jelas-jelas haram menurut undang-undang Islam.

Wahai kaum Muslimin! Apakah kalian masih belum sedar bahawa punca kepada segala masalah adalah kerana tidak diterapkan hukum Allah di dalam kehidupan ini? Manusia melakukan pelbagai jenis kerosakan di muka bumi dan termasuklah merosakkan dirinya sendiri. Apakah kalian masih belum sedar bahawa sistem sekular yang ada tidak pernah dapat mencegah kerosakan ini malah memburukkan lagi kerosakan yang sedia ada.

Apakah kalian masih ingin bernaung di bawah sistem ciptaan kufur ini dan terus mendokong penerapannya? Sampai bilakah kalian akan terus berdiam diri dengan sistem busuk ini yang membiarkan kemurtadan terus berlaku? Sampai bilakah kalian akan terus berpangku tubuh dan redha dengan hukum Jahiliyyah ini? Bilakah kalian akan mula bergerak untuk menegakkan kebenaran? Tidak takutkah kalian dengan azab Allah yang akan menimpa kalian kerana kalian tidak berusaha merubah kebatilan ini dan menggantikannya dengan hukum-hukum Allah? Ya Allah! Bukalah hati umat Muhammad untuk berjuang menegakkan agamaMu.

Amien..

MURTAD : ANTARA HUKUM & HAK ASASI

Itu adalah tajuk ceramah yang penulis sampaikan atas permintaan Kementerian Tenaga, Teknologi Hijau dan Air (KETHHA) baru-baru ini. Penulis sebenarnya tak sempat untuk menyediakan PowerPoint bagi ceramah ini kerana terlalu sibuk dengan tugasan di pejabat dan di luar. Nasib baik isu ini penulis pernah tulis dan diterbitkan dalam laman web JAKIM. Alhamdulillah dalam ceramah ini, banyak persoalan yang diajukan oleh audien. Penulis lega kerana nampaknya masyarakat Islam masih sensitif terhadap isu ini. Malah ada yang bertanyakan bilakah akan wujudnya hukum murtad? Penulis hanya menjawab berdoalah semoga Allah bukakan pintu hati para pemimpin Islam untuk komited bagi menlaksanankan segala hukum-hakam Islam. Apa pun, untuk memudahkan rujukan, penulis bentangkan artikel asal penulis bertajuk 'Murtad bukan hak asasi'...

Malaysia adalah sebuah Negara Islam. Perkara 3(1) Perlembagaan Persekutuan memperuntukkan bahawa Islam ialah agama bagi Persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana bahagian Persekutuan. Perkara 11 Perlembagaan pula memperuntukan “Tiap-tiap orang adalah berhak menganuti dan mengamalkan ugamanya dan tertakluk kepada fasal (4) mengembangkan ugamanya”. Daripada peruntukan ini jelas orang Islam berhak menganuti dan mengamalkan agamanya, iaitu Islam sebagai cara hidup mereka. Fasal (4) menyebut undang-undang boleh dibuat untuk mengawal atau menyekat pengembangan apa-apa i’tiqad atau kepercayaan agama lain terhadap umat Islam.


Ini bermakna Islam di Malaysia bukan seperti Pancasila di Indonesia. Menurut prinsip Pancasila tiada satu agama pun berhak memonopoli kehidupan rakyat. Ia berbeza dengan Islam di Malaysia yang telah diberikan hak dan kedudukan istimewa oleh perlembagaan. Dalam pada itu Islam tidak pula menyekat hak kebebasan mengamalkan agama bagi penganut lain. Bagaimanapun itu tidak bermakna kebebasan tersebut adalah mutlak kerana ia masih tertakluk kepada Perkara 11 (4) iaitu supaya tidak menyebarkannya di kalangan umat Islam. Dalam bab lain, kebebasan hak asasi manusia juga dijamin oleh Perlembagaan di bawah Bahagian Dua. Namun ia tertakluk pula kepada syarat-syarat tertentu seperti ketenteraman awam, kesihatan awam dan moral yang merupakan hak ramai.



Di peringkat antarabangsa, perjuangan menuntut hak asasi menjadi suatu agenda suci. Malah sudah menjadi lebih suci daripada kesucian agama anutan pendokongnya sendiri. Hak asasi manusia mulai mendapat tempat rasmi di arena antarabangsa melalui Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948 (PHAMS 1948). Perisytiharan tersebut dipelopori oleh Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu yang keahliannya terdiri daripada kebanyakan negara-negara merdeka di dunia. Antara komuniti dunia terkuat yang mendokong perjuangan hak asasi ialah masyarakat Eropah sehingga mereka telah memaktubkan Konvensyen Eropah mengenai Hak Asasi dan Kebebasan Asasi 1950 yang mempunyai kuasa mengikat dari segi undang-undang terhadap negara anggota Komuniti Eropah.

Keghairahan dunia Barat dalam memperjuangkan hak asasi menyebabkan mereka lupa bahawa di sana ada hak yang dicabuli. Umat Islam adalah antaranya. Beberapa perkara di dalam PHAMS 1948 ditolak oleh umat Islam kerana hak asasi mereka untuk mengamalkan agama digugat. Antaranya Perkara 16 (1) yang berbunyi, “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution”. Bagi penganut Islam perkara ini sudah tentu bertentangan dengan syariat Islam yang telah menentukan hukum- hakam berkaitan perkahwinan. Begitu juga Perkara 18 berbunyi, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”.

Bagi Islam, Perkara 18 tidak boleh diterima kerana telah mencabuli hak asasi umat Islam dalam beragama. Islam menetapkan tujuan (maqsad) syariah yang pertama iaitu memelihara agama. Sekiranya umat Islam dibenarkan keluar dan masuk agama sesuka hati, ini bermakna hak umat Islam untuk memelihara agamanya telah dicabuli. Hukum Islam juga menetapkan bahawa keluar agama atau murtad merupakan suatu jenayah berat yang perlu diadili dan dihukum. Ini kerana,perbuatan keluar agama melibatkan kepentingan umum iaitu maruah agama dan umat Islam sendiri. Ia bukan sekadar hak individu.

Jangan pula ada pihak yang mendakwa Islam telah menyanggah hak kebebasan individu untuk memilih agama. Bukankah PHAMS 1948 itu juga diasaskan atas dasar menjaga kepentingan umum melebihi hak individu? Jika hak individu dibiarkan bermaharajalela, apa gunanya lagi kerajaan-kerajaan di dunia menggubal undang- undang. Bukankah undang-undang itu dibentuk untuk menyekat kebebasan individu yang ditafsirkan oleh undang-undang sebagai salah? Malah terdapat satu klausa khas di dalam PHAMS 1948 iaitu Perkara 29 yang menyebut bahawa, “setiap orang tertakluk hanya kepada batasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang semata-mata bagi tujuan menjamin pengiktirafan dan penghormatan yang sepatutnya terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk mendekati keperluan-keperluan sepatutnya bagi akhlak, ketenteraman awam dan kebajikan umum dalam suatu masyarakat yang demokratik”.



Begitu juga Islam. Perundangan Islam telah menetapkan bahawa murtad adalah suatu kesalahan dan ia tidak boleh disenaraikan di bawah hak asasi individu! Ia adalah soal doktrin agama yang suci. Tidakkah penganut agama lain juga akan tersinggung apabila terdapat di kalangan mereka yang melanggar kepercayaan agama sendiri?

Fenomena ini tidak sukar sekiranya semua pihak sama ada umat Islam atau bukan Islam saling memahami antara satu sama lain. Jika tidak, mereka akan saling menyalahkan agama lain atas dasar melanggar prinsip hak asasi manusia. Dalam konteks Malaysia, Seksyen 4(4), Akta Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia 1999 (Akta 597), memperuntukkan bahawa rujukan harus dibuat kepada PHAMS 1948 setakat yang tidak berlawanan dengan Perlembagaan Persekutuan. Oleh itu, Perkara 3(1) Perlembagaan Persekutuan yang menentukan bahawa Islam ialah agama bagi persekutuan, disokong pula dengan Perkara 121(1A) yang menyebut, “Mahkamah-mahkamah yang disebutkan dalam Fasal (1) –mahkamah Sivil- tidaklah boleh mempunyai bidang kuasa berkenaan dengan apa-apa perkara dalam bidang kuasa mahkamah Syariah”, haruslah dihormati dan difahami oleh semua pihak.

Justeru itu amat menghairankan apabila masih kelihatan individu atau pertubuhan yang mendesak supaya diberi kebebasan untuk keluar daripada Islam kononnya ia diberi kebebasan oleh Perlembagaan Negara. Sedangkan mereka telah memahami bahawa ‘murtad’ adalah satu kesalahan jenayah menurut syariat Islam. Sememangnya menurut Perkara 18, PHAMS 1948 menetapkan bahawa manusia bebas memilih dan menukar agamanya pada bila-bila masa. Bagaimanapun ini bercanggah dengan syariat Islam yang telah diberi kedudukan istimewa oleh perlembagaan. Bagi Islam soal pemeliharaan agama amat penting bagi menjamin keharmonian negara dan masyarakat. Orang yang meninggalkan Islam dianggap meruntuhkan negara dan masyarakat Islam secara kolektif.

Seperkara lagi yang perlu difahami, tidak timbul isu pelanggaran hak asasi sekiranya hukuman Islam dikenakan terhadap orang Islam yang murtad. Ini kerana perilaku murtad yang dikenakan hukuman hanyalah murtad yang diisytiharkan dan diketahui oleh khalayak. Menurut al-Buti andaikata kemurtadannya didiamkan atau tidak didedahkan kepada orang lain, maka hukuman di dunia tidak boleh dikenakan kerana kaedah umum yang diamalkan oleh pemerintah Islam ialah bertindak berdasarkan pandangan zahir, manakala urusan batin diserahkan kepada Allah SWT yang akan membalasnya di akhirat kelak. (al-Buti, Sa`id Ramadhan, Dr. (2004), Hurriyah al-Insan fi Zill `Ubudiyyah Li-Allah. Damsyik: Dar al-Fikr, hal. 85)

Hal seperti ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa kerana fenomena- fenomena murtad boleh berlaku bukan sahaja dalam bentuk lazim difahami orang seperti seseorang menganggap Islam yang dianutinya sudah tidak diyakininya lagi. Malah ia juga berlaku dalam pelbagai bentuk lain seperti yang disebut oleh pemikir- pemikir Islam. Antaranya muslim yang memberikan hak penentuan hukum (al- hakimiyyah) dan perundangan kepada selain Allah. Membenci sesuatu sistem yang ada dalam Islam. Melihat hukum-hukum ciptaan manusia sebagai yang terbaik dan hukum-hukum syariat sebagai ketinggalan zaman. Melebihkan sistem yang lain ke atasnya atau menyamakannya. Mempersendakan sesuatu yang datang daripada al- Qur‘an dan al-Sunnah, atau syiar Islam. Mencela keperibadian Rasulullah SAW. Menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT atau sebaliknya dan lain-lain lagi (`Ulwan, `Abdullah Nasih, Dr.(1988), Hurriyah al-I`tiqad fi al-Syari`ah al-Islamiyyah. Kaherah: Dar al-Salam, hal. 78-95; Ahmad Rasyad, Dr. (1998), Hurriyah al-`Aqidah fi al-Syari`ah al-Islamiyyah. Kaherah: Itrak li al-Nasyr al-Tawzi`, hal. 334-339)



Bila mana kemurtadannya diwar-warkan kepada orang ramai dan diiklankan kepercayaan barunya kepada khalayak, ia sekaligus telah mengisytiharkan serangan berbentuk pemikiran (al-harb al-fikriyyah) ke atas Islam dan aqidahnya. Tindakan tersebut boleh menimbulkan atau menanam bibit keraguan dalam hati orang ramai yang masih menganut Islam. Ketika ini, tindakan murtad perlu dilihat bukan dari segi hak peribadinya untuk menukar agama, tetapi dari aspek adanya unsur “hirabah’’, iaitu serangan terhadap dasar-dasar agama yang menjadi tonggak utama kerajaan Islam. Lantaran itu, langkah-langkah perlu diambil bermula dari proses memberi penjelasan bagi merungkai keraguannya, meminta supaya bertaubat dan berakhir dengan pelaksanaan hukuman bunuh atas dasar “hirabah’’ (al-qatlu hirabatan) sekiranya ia tetap berdegil mempertahankan pendiriannya untuk murtad. Ertinya murtad dibunuh bukan atas kekufuranya, tetapi atas dasar hirabah. (al-Buti, 2004:85-87).



Ini jelas berdasarkan ayat 33 surah al-Ma‘idah bermaksud: “Sesungguhnya balasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan fasad (kerosakan) di muka bumi ialah sama ada dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang negeri...”. Walaupun ayat ini difahami oleh kebanyakan ulama sebagai ayat untuk menghukum penjenayah rompak dan samun, tetapi tidak dinafikan bahawa perbuatan murtad secara terang-terangan adalah salah satu daripada perbuatan memerangi Allah dan Rasul-Nya. Maka terdapat ulama Salaf yang berpendapat hukum bunuh si murtad itu juga diambil daripada ayat ini, selain hadith-hadith sahih lain yang bertindak sebagai penghurai. Antara yang berkata demikian ialah Abu Qilabah dan lain-lain. (Lihat Ibn Rajab al-Hanbali, Jami`al-`Ulum wa al-Hikam, hal. 32; juga Dr. Yusuf al-Qaradawi (1993), Malamih al- Mujtama` al-Muslim Allazi Nansyuduhu, Kaherah: Maktabah Wahbah, hal. 41)



Bagaimanapun, mutakhir ini terdapat pula kes-kes murtad yang berpunca daripada perceraian, kejahilan dan lain-lain yang dikatakan bersifat peribadi. Antara yang menggemparkan negara iaitu apa yang diputuskan oleh Mahkamah Tinggi Syariah Pulau Pinang pada 8 Mei 2008 yang membenarkan seorang mualaf iaitu Siti Fatimah Tan Abdullah keluar daripada Islam. Siti Fatimah mendakwa dia memeluk Islam hanya untuk berkahwin dengan seorang rakyat Iran bernama Ferdoun Ashanian. Namun dia tidak pernah sekali-kali mengamalkan ajaran Islam malah masih mengekalkan amalan agama asalnya, Buddha. Peguam bela Siti Fatimah, Ustaz Ahmad Jailani menyifatkan permohonan yang dibuat oleh Siti Fatimah itu, bukan permohonan keluar Islam, tetapi permohonan dalam menentukan status agamanya, adakah Islam atau tidak. Walau apapun hujah yang diputuskan oleh mahkamah, kita tetap menghormati keputusan tersebut atas dasar menjunjung prinsip keadilan. Namun persoalan tetap timbul di kalangan bukan Islam, adakah Islam pada hari ini telah mengiktiraf murtad sebagai satu kebebasan hak asasi manusia?

Dalam hal ini, ada baiknya kita merujukkan kes ini, dengan apa yang berlaku di Mesir baru-baru ini. Senarionya tidak jauh berbeza. Ia berlaku apabila badan kehakiman Mesir telah meminta fatwa daripada Universiti al-Azhar berkenaan permohonan bekas penganut Kristian Koptik yang masuk Islam hanya untuk kepentingan peribadi, seperti ingin berkahwin buat kali kedua atau menceraikan isteri (yang mana ditegah menurut agama mereka), dan setelah tujuannya tercapai ia murtad dan kembali ke agama asal.

Justeru itu, Universiti al-Azhar melalui Ketua Lajnah Fatwa al-Azhar, Syeikh Abdul Hamid al-Athrash telah mengeluarkan fatwa rasmi bahawa orang bukan Islam yang memeluk Islam untuk kepentingan peribadi, lalu ia murtad setelah kepentingannya tercapai, telah melakukan suatu jenayah besar, yang tidak boleh dibiarkan. Sesiapa yang murtad, maka wajib baginya menerima hukuman syar’i, sesuai dengan batas- batas yang ditetapkan jumhur ulama, setelah yang berkenaan diminta bertaubat. Jika ada yang mengatakan bahawa hal ini bertentangan dengan ‘prinsip kebebasan beragama’, maka pandangan itu tertolak, kerana Islam tidak memaksa sesiapa jua untuk memeluk agama ini.



Syeikh al-Athrash juga memperingatkan bagi sesiapa yang berkeinginan untuk memeluk Islam, dia perlu mempelajari Islam dengan baik dan memiliki tekad yang kuat, kerana setelah menjadi muslim, dia tidak lagi dibenarkan murtad. Fatwa ini juga secara tidak langsung menunjukkan Syeikh al-Azhar telah menarik kembali kenyataannya yang mengatakan tiada hukuman bagi bukan Islam yang masuk Islam lalu murtad kembali. Fatwa Syeikh al-Azhar itu dikaitkan dengan tekanan-tekanan yang diterima beliau ekoran desakan daripada pertubuhan-pertubuhan sivil serta para aktivis hak asasi manusia. Ini sekaligus menunjukkan bahawa al-Azhar tidak pernah sekali-kali mengorbankan hukum syarak atas apa jua alasan yang diberikan.(http://www.alarabiya.net/articles/2008/01/19/44427.html)

Fatwa al-Azhar ini jelas menunjukkan bahawa para ulama Islam sentiasa konsisten mengatakan bahawa murtad adalah satu jenayah dan si murtad wajib dihukum. Walaupun fatwa tersebut tidak menyebut bentuk hukumannya, apa yang pasti hukuman perlu dikenakan ke atas orang murtad yang memeluk Islam dengan rela hati tanpa sebarang paksaan. Tidak timbul soal mencabuli kebebasan beragama kerana Islam tidak pernah memaksa seseorang memeluk agama ini. Oleh itu, kes yang diputuskan oleh Mahkamah Tinggi Syariah Pulau Pinang tidak boleh dijadikan asas kononnya Islam membenarkan murtad. Atau Islam telah mengiktiraf murtad sebagai hak asasi bagi penganutnya. Ini sebagaimana yang didakwa oleh beberapa pemimpin politik bukan Islam di negara ini sejurus keputusan dibuat oleh mahkamah. Sedangkan alasan mahkamah membenarkan pemohon keluar Islam ialah kerana pemohon didapati tidak pernah mengamalkan ajaran Islam sejak memeluknya pada tahun 1999. Bermakna, bukan atas alasan hak asasi pemohon.



Kesimpulannya, Islam ialah suatu agama yang amat realistik. Islam mengiktiraf kebebasan hak asasi manusia tetapi Islam melihatnya dalam ruang lingkup manusia sebagai hamba kepada Yang Maha Pencipta, Allah SWT. Islam mengenali apakah batas-batas kemanusiaan itu. Apa jua yang menepati sifat-sifat kemanusiaan, Islam tidak pernah menafikannya bahkan diperintahkan oleh Islam walaupun tidak diperundangkan sebagai hak asasi. Manakala apa jua yang diluar batas-batas kemanusiaan maka ianya ditegah bahkan diharamkan oleh Islam walaupun pejuang hak asasi mendakwa ia suatu pencabulan terhadap kebebasan manusia. Sebaliknya perjuangan hak asasi rekaan Barat merupakan sesuatu yang relatif. Malah ia hanya menjadi kuda tunggangan golongan sekular dan liberalisme agama di sana.



Oleh kerana itu, Islam tidak sekali-kali dapat menerima kefahaman hak asasi berasaskan world-view Barat. Sesungguhnya hak asasi tidak pernah suci, tetapi manusia yang mendakwa ianya suci. Adapun agama, ia adalah wahyu yang diturunkan oleh Yang Maha Berkuasa bagi membimbing hidup manusia. Hampir kesemua agama mengakui hakikat itu. Walaupun agama tidak diagung dan disucikan oleh manusia, agama tetap suci pada esensinya sendiri. Lantaran itu, menjadi hak buat umat Islam untuk mempertahankan kesucian agamanya. Kesucian Islam bakal tercemar dengan perbuatan jenayah penganutnya. Murtad adalah antara jenayah terbesar menurut Islam. Dengan itu murtad bukan hak asasi, ia diharamkan oleh Islam malah si murtad yang tidak bertaubat tetap wajib dihukum.

GEJALA MURTAD : IMPLIKASI TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DAN MASYARAKAT MUSLIM DI MALAYSIA



BAB 1: MURTAD MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

1.1 Pendahuluan


Gejala murtad merupakan antara isu yang disifatkan sebagai sangat sensitif kepada masyarakat muslim khasnya di Negara ini. Orang-orang Islam yang murtad adalah dianggap telah melakukan satu jenayah yang besar terhadap agama dan umat Islam. Meskipun tidak ada statistik yang tepat mengenai jumlah sebenar orang-orang Islam yang murtad di Malaysia, namun berdasarkan kes-kes yang dilaporkan oleh media massa dan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Syariah, gejala ini sememangnya adalah sesuatu yang serius dan perlu diberikan perhatian.

Penglibatan sesetengah kelompok bukan Islam yang tampil membela dan memperjuangkan hak-hak golongan yang murtad ini atas dasar kebebasan asasi secara jelas memberi isyarat bahawa kedudukan Islam dan masyarakat muslim kini semakin tercabar. Melalui saluran perundangan, golongan ini cuba memanfaatkan ruang dan peluang yang yang ada, meskipun tindakan mereka itu dilihat sebagai mencampuri urusan agama Islam dan hal ehwal masyarakat muslim. Gejala ini jika tidak ditangani dengan sewajarnya akan pasti membawa kepada berbagai implikasi negatif kepada perkembangan Islam dan keharmonian masyarakat muslim di Malaysia.


1.2 Pengertian Murtad

Murtad dari segi bahasa bererti kembali daripada sesuatu dan menuju kepada sesuatu yang lain daripadanya (al-Zuhaili. 1997 : 5576). Murtad juga disebut dengan perkataan irtidad atau Riddah.

Manakala dari segi istilah syarak murtad ialah memutuskan Islam atau kembali daripada Islam kepada kufur selepas menganutinya dan seterusnya menganuti mana-mana agama atau mana-mana pegangan akidah (al-Zuhaili. 1997 : 5576).

Seksyen 23 (1), Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993, Negeri Kelantan mentakrifkan irtidad ialah apa-apa perbuatan yang dilakukan atau perkataan yang disebutkan oleh seseorang yang mukallaf yang mana perbuatan atau perkataan itu mengikut hukum Syarak adalah menjejaskan atau berlawanan dengan akidah agama islam; Dengan syarat perbuatan itu dilakukan atau perkataan itu disebutkan dengan niat, dengan sukarela dan dengan pengetahuan dan tanpa apa-apa paksaan oleh sesiapa atau oleh keadaan.

Seksyen 23 (2) pula menyatakan; Perbuatan-perbuatan atau perkataan-perkataan yang menjejaskan akidah itu ialah perbuatan-perbuatan atau perkataan-perkataan mengenai atau bersabit dengan perkara-perkara asas yang dianggapkan mesti diketahui dan dipercayai oleh tiap-tiap orang Islam sebagai pengetahuan umumnya kerana dia orang Islam seperti perkara-perkara mengenai rukun Islam, rukun Iman dan perkara-perkara halal dan haram.


1.3 Dalil-dalil larangan Murtad

Murtad adalah seburuk-buruk kekufuran, dan diantara dalil keburukannya ialah firman Allah SWT;

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.

Maksudnya: Dan sesiapa diantara kamu yang murtad (berpaling tadah) dari agamanya (agama Islam), lalu ia mati sedang ia tetap kafir, maka orang yang demikian rosak binasalah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya (selama-lamanya) (al-Baqarah. 2: 217) :

Dan firmannya;

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Maksudnya: Sesiapa yang kufur kepada Allah sesudah ia beriman (maka baginya kemurkaan dan azab dari Allah) kecuali orang yang dipaksa (melakukan kufur) sedang hatinya tenang tenteram dengan iman; akan tetapi sesiapa yang terbuka hatinya menerima kufur maka atas mereka itu tertimpa kemurkaan dari Allah, dan mereka pula beroleh azab yang besar. (al-Nahl. 16: 106) :


1.4 Perkara-perkara yang boleh menyebabkan Murtad

Secara umumnya, murtad boleh berlaku melalui amalan hati (iktikad), perkataan dan perbuatan. Menurut ulama, seseorang itu boleh menjadi murtad atau terkeluar daripada Islam dengan salah satu daripada tiga perkara, iaitu;

Pertama: Mengingkari hukum yang telah diijmakkan padanya, hukum ini dikategorikan sebagai maklum min al-din bi al-dorurah seperti mengengkari kewajipan zakat, puasa,haji, minum arak, makan riba dan sebagainya. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut adalah sama dari segi pengetahuannya di antara golongan ulama dan orang awam. (Mustafa al-Khin. 1996 : 466)

Manakala mengingkari hukum yang tidak diijmakkan padanya, atau hukum yang diijmakkan padanya tetapi tersembunyi pengetahuannya daripada kebanyakan manusia, maka keengkarannya terhadap perkara tersebut tidak menyebabkan seseorang itu menjadi kufur, seperti mengengkari pensyariatan solat duha, mengingkari haramnya berkahwin dengan perempuan yang diceraikan sebelum tamat tempoh eddahnya dan lain-lain lagi (Mustafa al-Khin. 1996 : 467).


Kedua : Melakukan perbuatan yang merupakan perbuatan khusus bagi orang-orang kafir seperti sujud kepada berhala, melakukan sesuatu yang merupakan ibadah khusus orang-orang kafir atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan pegangan seorang muslim seperti melemparkan al-quran dengan sengaja ke tempat yang kotor, melemparkan kitab-kitab hadis dan tafsir. Walaubagaimanapun hukum ini tertakluk dengan syarat seseorang itu melakukannya dengan sukarela dan bukan dengan paksaan (Mustafa al-Khin. 1996 : 467).

Ketiga : Mengucapkan perkataan yang bertentangan dengan pegangan hidup seorang muslim samada pengucapan itu dengan iktikad atau degil atau dengan tujuan gurau senda semata-mata seperti mencela agama, mencela Allah, mencela salah seorang Nabi dan sebagainya. Seseorang yang mengucapkan perkataan seperti; Islam tidak sesuai untuk dilaksanakan dalam tamadun manusia, Allah tidak wujud, pemakaian hijab adalah membawa kepada kemunduran, dan sebagainya adalah menyebabkan kekufuran samada ianya didorong oleh faktor iktikad, marah atau kerana degil. Pengucapan perkataan yang bertentangan dengan pegangan muslim adalah menyebabkan kekufuran sekalipun dengan tujuan gurau senda seperti seseorang itu berkata kepada orang yang menasihatinya : jikalau kamu masuk ke dalam syurga, tutuplah pintuya supaya aku tak boleh masuk bersama kamu (Mustafa al-Khin. 1996 : 467).

Keempat : Murtad kerana meninggalkan sesuatu perkara yang diperintahkan oleh Allah SWT. Perbuatan ini dianggap murtad apabila seseorang itu meninggalkan perintah Allah SWT dengan tujuan mengingkari dan menzahirkan penentangan terhadap perintah tersebut. Sebagai contoh : Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat :
(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) ; menjelaskan bahawa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT kerana menolak al-Quran dan menentang sabda Nabi SAW maka dia adalah kafir. Ibn Masud menjelaskan bahawa ayat ini adalah umum bagi sesiapa sahaja yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT samada dari golongan orang Islam, orang Yahudi dan orang-orang kafir. Sesiapa yang tidak berhukum dengannya tetapi tidak mengingkarinya maka dia telah melakukan perkara yang haram dan dia tetap tergolong dalam golongan orang-orang fasik dan urusannya terserah kepada Allah SWT (Abdul Karim Zaidan. 1994 : 313-314)


1.5 Kesan-kesan ke atas orang yang Murtad

Apabila seseorang muslim telah murtad, maka beberapa kesan akan timbul (Mustafa al-Khin. 1996 : 469) iaitu;

Pertama : Ditegah sepenuhnya dari menggunakan hartanya. Sehubungan itu, harta tersebut diletakkan di bawah pengawasan pemerintah dan digunakan untuk memenuhi keperluannya yang daruri. Sekiranya dia kembali kepada Islam, maka tegahan tersebut tidak dilaksanakan lagi dan dikembalikan harta tersebut kepadanya. Sekiranya tidak bertaubat, harta tersebut dianggap bukan miliknya sejak permulaan tarikh murtad.

Kedua : Terputus hak pewarisan di antaranya dengan kaum kerabatnya. Sekiranya mati salah seorang kaum keluarganya dan dia masih murtad ketika itu, maka dia tidak dapat mewarisi harta tersebut berdasarkan hadis Nabi SAW : Tidak mewarisi orang muslim akan orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir akan orang muslim.

Ketiga : Terpisah dengan isterinya dan akad perkahwinan tersebut tergantung. Sekiranya orang murtad itu kembali kepada Islam dalam tempoh eddah maka dia boleh bersama semula dengan isterinya tanpa akad yang baru dan tanpa rujuk. Sekiranya dia berterusan murtad sehingga tamat eddah, maka akad perkahwinan terfasakh bermula tarikh murtadnya. Sekiranya selepas itu, dia ingin kembali kepada isterinya, maka hendaklah dengan akad dan mahar yang baru.

1.6 Hukuman ke atas orang-orang yang Murtad

Hukuman ke atas orang murtad adalah merangkumi lelaki dan wanita tanpa ada perbezaan antara keduanya (Mustafa al-Khin. 1996 : 468). Walaubagaimanapun, menurut pandangan mazhab Hanafi wanita yang murtad tidak boleh dibunuh tetapi hendaklah dipenjarakan dan diminta bertaubat pada setiap hari. Sekiranya wanita tersebut bertaubat, maka dia dibebaskan daripada penjara. Tetapi sekiranya dia tetap ingkar maka dia akan dipenjarakan semula dan begitulah yang akan dilakukan sehinggalah dia mati (Abdul Karim Zaidan. 1994 : 315). Apabila seseorang lelaki atau wanita melakukan perkara-perkara yang boleh menyebabkan kekufuran, maka hukum-hukum berikut adalah terlaksana ke atas mereka;

Pertama : Wajib meminta supaya bertaubat dengan segera, kerana berkemungkinan seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan kufur kerana syubhah, ataupun kerana kemarahan yang amat sangat, maka kewajipan pemerintah ketika itu ialah menasihatinya supaya bertaubat dan kembali kepada kebenaran (Mustafa al-Khin. 1996 : 468). Berdasarkan pandangan mazhab Syafie, hendaklah bertaubat dengan segera dan sekiranya tidak bertubat terus dibunuh (Abdul Karim Zaidan. 1994 : 322). Walaubagaimanapun menurut pandangan mazhab Hanafi meminta untuk bertaubat hanyalah sekadar sunat dan diberi tempoh untuk bertaubat selama tiga hari (Abdul Karim Zaidan. 1994 : 320)

Kedua : Memberikan amaran kepada orang yang murtad tersebut tentang hukuman berat yang akan menimpanya sekiranya dia berterusan dalam kekufurannya itu (Mustafa al-Khin. 1996 : 468).

Ketiga : Wajib dibunuh orang yang murtad itu sekiranya masih berdegil dan enggan bertaubat. Ini berdasarkan hadis Nabi SAW : Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia. Dalam hadis yang lain, sabda Nabi SAW : Tidak halal darah seorang muslim yang mengucap dua kalimah syahadah melainkan dengan tiga sebab : membunuh manusia, orang yang telah berkahwin dan melakukan zina dan orang yang meninggalkan agamanya (meninggalkan jamaah) (Mustafa al-Khin. 1996 : 468).


1.6.1 Syarat-syarat Pelaksanaan Hukuman ke atas Orang yang Murtad

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahawa orang yang murtad wajib dihukum bunuh dengan segera. Tetapi hukuman murtad tidak boleh dilaksanakan melainkan dengan syarat-syarat berikut ;

Pertama : Baligh dan berakal, maka kanak-kanak dan orang gila tidak dianggap murtad kerana mereka tidak dipertanggungjawabkan (tiada taklif). Walaubagaimanapun, hendaklah bagi wali kanak-kanak tersebut memberikan pengajaran kepadanya dan memintanya bertaubat (Mustafa al-Khin. 1996 : 469)

Kedua : Meminta orang yang murtad itu bertaubat. Tidak boleh menjatuhkan hukuman bunuh ke atasnya sebelum diminta bertaubat, tetapi hendaklah dibunuh dengan segera sekiranya tidak mahu bertaubat (Mustafa al-Khin. 1996 : 469).

Ketiga : Sabit perbuatan murtad tersebut samada dengan ikrarnya atau dengan kesaksian (Mustafa al-Khin. 1996 : 469). Sepakat jumhur ulama mengatakan bahawa kesaksian mestilah dialkukan oleh dua orang lelaki muslim yang adil (Abdul Karim Zaidan 1994 : 324).

1.6.2 Kesan Hukuman Bunuh ke atas orang yang Murtad

Terdapat beberapa kesan pelaksanaan hukuman bunuh ke atas orang yang murtad (Mustafa al-Khin. 1996 : 470) iaitu:

Haram memandikannya, mengkafankannya dan menyembahyangkannya kerana dia telah terkeluar daripada Islam.

Kedua : Haram dikebumikan di perkuburan orang Islam. Mayatnya hendaklah ditanam di satu tempat lain yang jauh dari perkuburan orang Islam.

Ketiga : Tidak boleh mewarisi harta peninggalannya.


1.7 Rumusan

Berdasarkan perbincangan yang telah dikemukakan,dapatlah difahami bahawa para ulama Islam telah bersepakat bahawa murtad merupakan antara kesalahan yang besar di dalam Islam. Ini bermakna, orang-orang yang murtad boleh dikenakan hukuman menurut undang-undang Islam. Ulama juga bersepakat bahawa murtad boleh berlaku sama ada melalui amalan hati (iktikad), perkataan atau perbuatan. Meskipun begitu,dalam konteks undang-undang takrif bagi kesalahan murtad hanya merangkumi perkataan dan perbuatan sahaja. Hal ini adalah kerana undang-undang tidak mungkin dapat membuktikan iktikad atau amalan hati seseorang yang sifatnya tersembunyi di dalam diri. Namun kedudukan ini sama sekali tidak menafikan hukum murtad yang tetap meliputi orang-orang yang berpegang dengan iktikad yang salah di sisi agama Islam.

Dalam menentukan bentuk hukuman kepada orang-orang yang murtad, para ulama telah berselisih pendapat mengenai pelaksanaan hukuman bunuh ke atas golongan wanita, adakah mereka turut dikenakan hukuman sepertimana yang dikenakan ke atas golongan lelaki. Tidak begitu jelas apakah sebenarnya perkara yang menjadi asas kepada perbezaan pendapat ulama dalam hal ini. Namun secara prinsipnya, ulama telah bersepakat bahawa orang-orang yang murtad sama ada lelaki atau wanita akan tetap dihukum setelah syarat-syarat yang ditetapkan telah dipenuhi. Apabila seseorang itu telah didapati murtad, maka beberapa kesan akan berlaku ke atasnya seperti terputusnya ikatan perkahwinan, hilang hak mempusakai dan sebagainya.

Demikianlah beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan hukum Islam ke atas orang-orang yang murtad atau keluar daripada Islam.




BAB 2 : GEJALA MURTAD DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM

2.1 Latarbelakang


Gerakan memurtadkan orang-orang Islam di bumi Malaysia ini dikatakan telah bermula setelah kejatuhan kerajaan Melaka. Kedatangan Portugis pada 1511 di Melaka yang diketuai oleh Alfonso de Albuqurque membawa bersama para pendakwah kristian dalam misi 3G (Goal, Gospel and Glory) di bumi yang dinamakan ´Semenanjung Emas´. Ekoran itu, terbina A Famosa sebagai kota tempat berlindung bagi orang-orang Portugis. Portugis meninggalkan kesan ´kristianisasi´ ke atas alam Melayu dan dianggap berjaya menyebarkan ajaran Kristian secara halus kepada penduduk ketika itu. Di dalam kota A Famosa, iaitu sebuah binaan bercirikan Portugis itu terdapat sebuah kubur milik Ketua Paderi Kristian di Melaka. (http://www.amos.yadim. com.my/Sosial/ )

2.2 Keseriusan gejala murtad

Gejala murtad di Malaysia dikatakan menjadi semakin serius. Menurut Peguam Zulkifli Nordin, murtad di kalangan orang Melayu kini sudah menjadi suatu ancaman yang perlu diberi perhatian. Berdasarkan Indeks Pencemaran Akidah yang dikeluarkan oleh Jabatan Statistik dan Perangkaan pada tahun 1989 sahaja, seramai 4776 orang Melayu memohon untuk menukar nama dari Melayu kepada bukan Melayu atas alasan keluar dari Islam.
Kes Aisyah Bukhari bukanlah kes pertama yang murtad di Malaysia, bahkan sebelumnya beratus kes dikatakan timbul tetapi ditutup oleh pihak tertentu. Setakat kes Aisyah, 40 fail murtad pernah dikendalikan oleh peguam Zulkifli Nordin (www.harakahdaily.net) 30 Mei 2007.
Berdasarkan laporan oleh Malaysiakini.com yang bertarikh 25 Mei 2005, seramai 50 000 orang remaja Melayu sedang memohon untuk murtad di Lembah Kelang sahaja.

Mufti Wilayah Persekutuan, Dato’ Hashim Yahaya dilaporkan berkata, terdapat lebih kurang 3 000 orang Islam memohon untuk keluar Islam di Wilayah Persekutuan sahaja, dan pihak berkuasa tidak boleh berbuat apa-apa kerana ketiadaan undang-undang yang menyekatnya. (Utusan Malaysia, Julai 1997)
Mufti Negeri Perak, Dato' Seri Haji Harussani Haji Zakaria dilaporkan berkata, terdapat hampir 250,000 umat Islam yang murtad di negara ini. Bilangan tersebut termasuklah kira-kira 100,000 orang-orang Melayu Islam yang telah mengistiharkan diri mereka masuk Kristian. Manakala 100,000 orang lagi sedang membuat permohonan untuk murtad. Selebihnya, tegas beliau, termasuk mereka yang memohon untuk menukar nama Islam di dalam kad pengenalan kepada nama fahaman lain.
Beliau juga dilaporkan menerima sepucuk surat dari Persatuan Mubaligh Kristian Amerika yang menuduh Pejabat Agama Islam di sini bersifat zalim kerana tidak membenarkan 30,000 orang Islam Melayu untuk masuk Kristian (www.harakahdaily.net)

Yang Dipertua Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (YADIM), Datuk Mohd Nakhaie Ahmad, menjelaskan bahawa berdasarkan satu kajian Yadim berhubung isu murtad tahun lalu mendapati gejala murtad di kalangan orang Melayu kini berada di tahap yang membimbangkan.
Menurut beliau, meskipun kajian itu mendapati gejala murtad di kalangan saudara baru mencatat jumlah tertinggi, tetapi jumlah orang Melayu yang murtad juga membimbangkan. Menurutnya;
“Walaupun kebanyakan orang yang murtad ini daripada saudara baru.. masuk agama Islam dan kemudian kembali ke agama asal, ada juga orang Melayu yang mula (memilih untuk murtad).
“Saya tak kata sedikit (jumlahnya), tetapi ia membimbangkan,” katanya yang tidak menyatakan jumlah orang Melayu yang murtad,” katanya. (Harian Metro, 28 Julai 2008)


2.2.1 Kes-kes Murtad

Terdapat beberapa kes yang berkaitan murtad di Malaysia antaranya;

a) Kes Natrah

Kes ini berlaku dalam tahun 1950. Natrah telah dipelihara oleh ibu angkatnya, Che Aminah sejak dari kecil lagi. Natrah dibesarkan sebagai seorang Islam dan tinggal di Kemaman, Terengganu sehingga berusia 13 tahun. Bapa Natrah telah membuat perancangan sehingga Che Aminah terpaksa pergi ke mahkamah Singapura. Setibanya di Singapura, Che Aminah diperintahkan oleh mahkamah untuk menyerahkan Natrah kepada Konsul Jeneral Belanda. Bagaimanapun masyarakat Islam menentang keras. Akhirnya Natrah diserahkan kembali kepada Che Aminah. Kerana takut peristiwa ini berulang, Natrah telah dikahwinkan ketika berusia 13 tahun dengan Mansor Adabi. Walaubagaimanapun, mengikut undang-undang Belanda, seorang anak yang berusia 16 tahun ke bawah, bapanya berhak menentukan kehidupannya.

Isunya dikatakan bermulanya, sama ada Natrah berhak dikahwinkan dan terus menganut agama Islam ataupun tidak. Akhirnya mahkamah membuat keputusan, selagi tidak mencapai umur 18 tahun ke atas, hanya penjaga yang berhak ke atasnya. Mahkamah tidak menyebut ibubapa tetapi penjaga. Tiba-tiba daripada isu agama bertukar bertukar kepada isu jagaan.
Dalam kes tersebut , mahkamah mengakui Natrah secara rela tanpa dipaksa oleh sesiapa hendak meneruskan kehidupan sebagai seorang muslim. Mahkamah mengatakan pula, siapa yang boleh menafikan hak Natrah daripada didedahkan kepada agama Kristian ? Bapanya lebih berhak ke atasnya.
Secara kesimpulannya bapanya diberi hak dalam menentukan agama anaknya.
Natrah telah dihantar pulang ke Belanda dan seterusnya dipaksa menjadi Kristian. Masyarakat orang Islam di Singapura ketika itu membantah, dan ramai yang mati syahid dalam pertempuran dengan tentera British (http://forum.ekpkm.com/viewtopic. php?f=88&t=1003).


b) Kes Azlina Jailani @ Lina Joy

Nama asalnya ialah Azlina Jailani. Berwajah typical Malay, berbangsa Melayu, keturunan Jawa dan berumur 42 tahun. Bekerja di ProQuest di Taipan, Subang Jaya dan menetap di Taman Dato’ Tan Yeiw Lai, Kuala Lumpur. Beliau pernah memohon untuk ditukar namanya kepada Azlina Lelani pada tahun 1997 tetapi ditolak disebabkan alasan telah bertukar agama Kristian. Permohonan kedua untuk menukar nama kepada Lina Joy pada 1999 tanpa menyatakan sebab pertukaran kepada agama Kristian telah diluluskan, dengan kad pengenalan baru tertera perkataan Agama Islam. Ayahnya bernama Jailani bin Shariff dan ibunya bernama Kalthum binti Omar, keduanya beragama Islam dan mengamalkan carahidup sebagai Muslim.

Azlina mengisytiharkan tidak pernah mempraktikkan Islam sejak lahir, beragama Kristian sepenuhnya sejak tahun 1990, mempunyai sijil baptis yang dikeluarkan pada 11 Mei 1998, dan pada tahun 2000 menyatakan hasrat untuk berkahwin dengan seorang India Kristian, dan meminta untuk didaftarkan perkahwinan tersebut untuk mengesahkan perkahwinan beliau. Beliau telah beberapa kali dipanggil dan dinasihatkan oleh Majlis Agama berkenaan kemurtadan beliau, tetapi beliau mempertahankan yang pilihan keluar dari Islam adalah kehendak sendiri dan telah dimaklumkan pada kedua ibu bapa.

Mengikut fakta kes, selepas berkahwin dengan seorang Kristian, beliau memohon untuk pendaftaran perkahwinan, tetapi tidak dibenarkan kerana di dalam Kad Pengenalannya masih tertulis beragama Islam walaupun beliau berjaya menukar nama dalam Kad Pengenalan kepada Lina Joy. Beliau berusaha untuk menghilangkan perkataan agama Islam tersebut dengan permohonan kepada Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) pada tahun 2000. Permohonannya tidak dibenarkan oleh JPN disebabkan tidak ada kebenaran dari Mahkamah Syariah yang membenarkan memperakui beliau keluar Islam. Mahkamah Syariah mengguna pakai undang-undang Islam yang tidak membenarkan seseorang Muslim keluar dari Islam (Murtad), dan Sijil Tukar Agama (Murtad) seperti yang dikehendaki oleh JPN tidak dapat dikeluarkan.

Permohonan dikemukakan di Mahkamah Tinggi tahun 2000, seterusnya ke Mahkamah Rayuan pada 19 September 2005, dan keduanya mengiktiraf bahawa kes adalah dalam kuasa Mahkamah Syariah untuk membenarkan beliau keluar dari Islam dan membolehkan dibuang perkataan Islam di dalam Kad Pengenalan. Setelah semuanya tidak berjaya, peguambela, Dato’ Dr Cyrus Das, juga bekas Presiden Majlis Peguam, berjaya mendapat kebenaran untuk kes dibawa kepada Mahkamah Persekutuan. Kes didengar oleh 3 Hakim (2 Muslim & 1 non-Muslim ~ Ketua Hakim Tun Fairuz, Dato’ Alauddin, & Dato’ Richard) pada dasarnya berpendirian yang sama menyokong tindakan Mahkamah Rayuan, hinggalah Majlis Peguam yang di ketuai oleh Peguam Malik Imtiaz Sarwar dan beberapa yang lain, yang hanya menjadi barisan peguam pemerhati beserta banyak lagi Pertubuhan bukan Kerajaan (NGOs) yang menyokong Lina Joy meminta untuk memberi hujah dan bersuara, dan dibenarkan oleh mahkamah yang terlibat.

Hujah yang dibawa oleh barisan peguam pemerhati yang diketuai oleh Majlis Peguam tersebut melarikan isu utama kes berkenaan daripada hak dan kuasa Mahkamah Syariah tetapi memberi hujah bahawa Lina Joy adalah berhak untuk mempraktikkan kepercayaannya dan dilindungi oleh perlembagaan sebagai hak individu seperti yang terkandung di dalam Artikel 11 Perlembagaan Persekutuan. Isu Mahkamah Syariah seperti yang diputuskan oleh mahkamah terdahulu sudah tidak releven lagi pada hujah Majlis Peguam, dan isu yang diperjuangkan oleh Kumpulan Artikel 11 & IFC dijadikan isu utama kes ini di Mahkamah Persekutuan. Isu yang diperjuangkan oleh kesebelas NGOs non-Mulsim atas nama kumpulan Artikel 11 & Inter-Faith Council (IFC) adalah untuk mendefinisikan perkataan "person" (individu) yang terkandung di dalam Artikel 11 tersebut untuk merujuk kepada individu as per sey, bukan lagi kumpulan atau agama secara umumnya.

Ini adalah kali pertamanya dalam sejarah Malaysia, dikatakan penghujahan yang sebegitu berani yang dilakukan untuk menghuraikan definisi tersebut bagi menguraikan ikatan Islam mengikut kefahaman peribadi seseorang penganut itu sendiri, dan menafikan hak Islam sebagai agama untuk mewajibkan umatnya mempraktikkan amalan dan syariat Islam seperti yang terkandung dalam undang-undang Islam. (www.peguampembelaislam.com)


c) Kes Siti Fatimah Abdul Karim

Siti Fatimah binti Ab Karim, 29 tahun dilahirkan pada tahun 1978, merupakan anak kepada pasangan India Muslim, Ab Karim Masoosai bin Abdullah dan Zaleha binti Mohd Ali. Beliau dibesarkan oleh ibubapa beliau mengikut agama Islam dan beliau sendiri mengamalkan ajaran Islam sehinggalah usia 20 tahun apabila beliau melarikan diri bersama teman lelakinya yang beragama Hindu. Namun begitu, dalam affidavitnya dan laporan yang diperolehi daripada laman web, http://blog.limkitsiang.com dan Jerusalem Post mendakwa bahawa beliau telah dibesarkan oleh neneknya yang beragama hindu sedangkan mengikut maklumat dari ibunya, nenek sebelah ibunya beragama Islam manakala nenek sebelah bapanya pula beragama Kristian.

Berdasarkan kenyataan dalam laman web juga pada tahun 2001, beliau telah membuat suatu deklarasi melalui ‘statutory declaration’ bahawa beliau seorang Hindu dan menukar nama kepada Revathi Masoosai tanpa membuat sebarang permohonan di Mahkamah Syariah untuk meninggalkan agama Islam. Oleh kerana itu, kad pengenalan diri beliau masih mencatatkan nama beliau sebagai Siti Fatimah binti Ab Karim dan agama beliau adalah Islam. Menurut ibunya, ibubapa serta keluarganya telah berusaha untuk mencarinya dan membawanya pulang ke pangkuan keluarga namun kesemua usaha itu gagal kerana mereka sering diancam oleh keluarga teman lelakinya dan pernah bapa dan adik lelakinya ditahan dalam lokap polis berpunca dari pergaduhan antara kedua-dua belah pihak.

Setelah beberapa tahun melarikan diri bersama teman lelakinya, pada tahun 2004, beliau telah berkahwin dengan teman lelakinya, Suresh a/l Veerappan, seorang Hindu mengikut upacara perkahwinan agama Hindu. Oleh kerana itu, perkahwinan tersebut tidak boleh didaftarkan mengikut mana-mana undang-undang yang berkuatkuasa kerana perbezaan agama.

Seterusnya, hasil daripada perkahwinan tersebut, pada 19 Disember 2005 beliau telah melahirkan seorang anak di Hospital Besar Melaka. Ibunya telah mendapatkan bantuan Jabatan Agama Islam Melaka untuk mendapatkan anak tersebut memandangkan Siti Fatimah masih seorang yang beragama Islam di sisi undang-undang.

Pada 23 Jun 2006, suatu permohonan untuk keluar daripada agama Islam oleh Siti Fatimah Binti Ab Karim telah dibuat di Mahkamah Tinggi Syariah Melaka (Kes Mal Bil. 04200-043-
0005 Tahun 2006). Permohonan tersebut telah didengar di hadapan Yang Arif Tuan Mohd Radzi Bin Hj. Abd Latif, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah Negeri Melaka dengan kehadiran
pemohon dan wakil Majlis Agama Islam Melaka.

Berikutan daripada permohonan tersebut, Mahkamah pada 8 Januari 2007 telah memerintahkan seperti berikut:

(i) Pemohon (Siti Fatimah Binti Abd Karim) K/P: 780615-04- 5118 ditahan di Pusat Bimbingan Islam yang di bawah seliaan Majlis Agama Islam Melaka selama 100 hari/ Pusat Pemurnian Akidah, Jabatan Agama Islam Selangor, Hulu Yam Bharu, 44300 Batang Kali, Hulu Selangor. Pemohon dibolehkan membawa anak Pemohon sekali selama pemohon berada di sana.

(ii) Pemohon tidak dibenarkan berjumpa dengan sesiapapun melainkan kedua ibubapa Pemohon dan Pegawai Jabatan Agama Islam Melaka.

(iii) Majlis Agama Islam Melaka boleh menggunakan apa sahaja cara demi menyelamatkan aqidah pihak Pemohon ini. MAIM juga perlu memantau keadaan pesalah ini semasa berada di sana.

Berdasarkan perintah tersebut, Siti Fatimah binti Ab. Karim telah dihantar ke Pusat Pemurnian Akidah Baitul Iman, Majlis Agama Islam Selangor. Walaubagaimanapun, beliau tidak menunjukkan perkembangan positif dalam pemulihannya. Oleh itu, pada 2 April 2007, Mahkamah Tinggi Syariah Melaka telah melanjutkan tempoh pemulihannya selama 80 hari lagi.

Puan Zaleha binti Mohamad Ali, ibu kepada Siti Fatimah telah memfailkan permohonan mendapatkan hak penjagaan sementara di Mahkamah Tinggi Syariah Melaka dan permohonan tersebut telah didengar pada 6 Mac 2007 di hadapan Yang Amat Arif, Datuk Mahamad Bin Ibrahim, Ketua Hakim Syarie, Mahkamah Syariah Negeri Melaka. Mahkamah telah membenarkan permohonan tersebut dengan membuat perintah antara lain seperti berikut:

(i) Ibu kepada Siti Fatimah (Pemohon) diberikan Hak Jagaan Sementara ke atas bayi tersebut (anak Siti Fatimah).

(ii) Siti Fatimah (Responden) atau wakilnya diperintah untuk menyerahkan anaknya kepada ibunya (Zaleha).

(iii) Ibu kepada Siti Fatimah dibenarkan menguruskan urusan pendaftaran sijil kelahiran dan bertindak sebagai penjaga kepada anak tersebut sehingga Perintah Kekal Hak Jagaan dikeluarkan.

Perintah Mahkamah tersebut berkuatkuasa mulai 6 Mac 2007 sehingga 6 April 2007 atau sehingga Tuntutan Hadhanah dibuat di Mahkamah tersebut. Dalam melaksanakan perintah tersebut, Puan Zaleha bersama-sama peguam beliau dan pihak polis daripada Balai Polis Daerah Melaka Tengah telah mengambil bayi tersebut daripada teman lelakinya.


d) Kes Nor Aishah Haji Bokhari

Nor Aishah dan Joseph Arnold Lee dikatakan bercinta dan bercadang melangsungkan perkahwinan. Namun ianya ditentang oleh bapa Nor Aishah iaitu Haji Bokhari. Kedua-duanya kemudiannya telah melarikan diri. Hj Bokhari akhirnya dapat mengembalikan Nor Aishahke pangkuan keluarganya dan ini sekaligus menyebabkan Joseph Arnold Lee cuba mengambil semua Nor Aishah agar dapat berkahwin semula dengannya.

Permohonan dibuat ke Mahkamah melalui seorang peguam iaitu Lee Min Choon. Dia adalah peguam kepada Joseph Arnold Lee. Secara tiba-tiba peguam Leonard Teoh (peguam lain) yang muncul membuat permohonan tersebut. Sepatutnya setiap permohonan melalui peguam mestilah menggunakan nama pemohon dan bukannya nama peguam.

Apa yang berlaku sekarang adalah sebaliknya. Walhal Lee Min Choon & Co sepatutnya melakukan perintah tersebut ke atas nama Joseph Arnold Lee. Tetapi permohonan ini dilakukan atas nama Leonard Teoh. Dalam permohonan ini, isu perkahwinan tidak disentuh langung, sebaliknya mengatakan Nor Aishah hendak memeluk agama Kristian. Inilah pertama kali seorang bukan Islam membuat permohonan ke mahkamah menyuruh seorang bapa beragama Islam menyerahkan anaknya supaya dengan itu anaknya dapat dikristiankan. (http://forum.ekpkm.com/viewtopic. php?f=88&t=1003).


e) Kes Jamaluddin @ Yoshua bin Othman

Jamaluddin @ Yoshua bin Othma Vs Menteri Dalam Negeri (Malaysian Current Law Journal, 1988, Vol1, muka surat 448 -451) Dalam tahun 1987, seorang berbangsa Melayu bernama Jamaluddin, dia bukan sahaja murtad, tetapi berusaha menyebarkan agama Kristian kepada remaja-remaja Melayu. Enam remaja Melayu telah berjaya dimurtadkan. Apabila kes berkenaan dirujukkan kepada polis, ia dianggap sebagai kes keselamatan dalam negeri dan Jamaludin telah ditahan di bawah peruntukan Akta Keselamatan Dalam Negeri (Internal Security Act- ISA).

Jamaluddin kemudiannya mengemukakan permohonan habeas corpus, yang antara hujahnya, pihak polis tiada hak untuk menahannya daripada mengamalkan agamanya sendiri kerana ia dijamin oleh perlembagaan berdasarkan Artikel 1 (11) Perlembagaan Persekutuan (kebebasan beragama). Akhirnya mahkamah membuat keputusan, memandangkan kebebasan untuk beragama Kristian diberi dalam Perlembagaan, Akta Keselamatan Dalam Negeri tidak boleh digunakan, dan beliau akhirnya dibebaskan. (http://forum.ekpkm.com/viewtopic. php?f=88&t=1003).


f) Kes Siti Fatimah Tan

Siti Fatimah Tan Abdullah @ Tan Abdullah, 39 tahun, telah mengemukakan permohonan di Mahkamah Tinggi Syariah Pulau Pinang untuk mendapatkan pengisytiharan keluar daripada agama Islam (murtad).
Menurut pernyataan tuntutannya, beliau tidak pernah yakin dengan ajaran Islam dan hanya memeluk agama itu sekadar untuk mencukupkan syarat bagi membolehkannya berkahwin dengan seorang lelaki warga negara Iran bernama Ferdoun Ashanian pada 16 September 2004.

Siti Fatimah, yang pernah bekerja sebagai tukang masak, memfailkan permohonan itu selepas ditinggalkan suaminya yang menghilangkan diri tanpa sebarang sebab.
Dalam tuntutannya juga, beliau menyatakan bahawa sepanjang memeluk agama Islam, dia masih lagi menyembah berhala Tok Pek Kong, berhala Kuang Tin Ne dan berhala Ti Kong (Dewa Langit) mengikut ajaran agama asalnya, Buddha dan memakan daging khinzir.

Bekas Hakim Mahkamah Tinggi Syariah Pulau Pinang yang mendengar kes itu dahulu, Othman Ibrahim, yang kini merupakan Ketua Hakim Syarie Perlis, membenarkan permohonan Siti Fatimah Tan Abdullah @ Tan Abdullah, 39, untuk mendapatkan pengisytiharan keluar daripada agama Islam (murtad). Beliau memutuskan demikian setelah mendapati plaintif tidak mengamalkan ajaran Islam sejak memeluk agama itu pada 25 Julai 1998.

Sehubungan itu, Hakim Othman memerintahkan Majlis Agama Islam Pulau Pinang (MAIPP) membatalkan sijil memeluk Islam wanita itu. Manakala untuk menukar status dalam kad pengenalan, Siti Fatimah diminta menguruskannya dengan Jabatan Pendaftaran Negara kerana itu di luar bidang kuasa mahkamah syariah
Keputusan tersebut dilaksanakan menurut undang-undang yang mula terpakai sejak 1 Januari 2006 lanjutan kepada Seksyen 61(3)b(X) di bawah Enakmen Aturcara Mal 2004, Mahkamah Syariah Pulau Pinang. (http://www.malaysianbar.org.my/ berita/komen_undang_undang)


2.3 Faktor-faktor berlakunya gejala Murtad

Terdapat banyak faktor yang menyumbang kepada gejala murtad di kalangan umat Islam (http://al-ulum.com/sinar-jun07-kurang.html) antaranya;


2.3.1 Jauh dari ajaran Islam yang sebenar

Umat Islam sendiri merasakan bahawa ajaran yang terkandung dalam Quran sebagai sumber hidup manusia adalah pelik dan tidak realistik mengikut peredaran zaman. Terdapat sebilangan umat Islam yang jauh daripada ajaran Islam yang sebenar, bahkan tidak dapat membezakan antara sistem yang ada dalam Islam dan yang datang dari Barat sehingga mencampuradukkan kedua-duanya. Perkara ini mendatangkan kerosakan pada akidah umat Islam tersebut yang tidak lagi dapat membezakan antara kesahihan ajaran yang ada dalam Islam dan kebatilan kebanyakan teori yang digunapakai oleh golongan bukan Islam.

Umat Islam yang bersungguh-sungguh mempertahankan ajaran Islam dan menegakkan syiar adalah menjadi musuh kepada mereka disebabkan kepelikan ajaran yang diamalkan dalam suasana yang menuntut kepada ketamadunan dunia. Maka, berlakulah perpecahan yang mengakibatkan lahir pemuka-pemuka yang merosakkan Islam. Sungguh benar apa yang dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam satu hadis yang bermaksud: Permulaan Islam itu dagang dan akan kembali dagang (di mata manusia) maka beruntunglah kepada orang-orang yang dagang.


2.3.2 Kejahilan umat Islam tentang keunggulan peraturan yang terkandung dalam agama Islam

Umat Islam tidak menyedari bahawa Islam diturunkan untuk menghapuskan penyembahan manusia terhadap manusia dalam segala bentuk manifestasinya, juga untuk mengesahkan penyembahan mereka hanyalah kepada Allah SWT. Sistem hidup yang lahir daripada agama Islam bukanlah sistem yang bersifat sejarah iaitu satu sistem yang terbatas pada satu period tertentu, ia juga bukanlah sistem yang bersifat kedaerahan yang hanya digunakan oleh sekumpulan generasi manusia tertentu, juga bukanlah sistem yang bersifat kaku danyang dipraktikkan dalam satu suasana atau keadaan tertentu, malahan ia merupakan satu sistem yang teguh dan utuh, diredhai Allah s.w.t. untuk dipraktikkan dalam seluruh kehidupan manusia di setiap tempat dan masa. Sistem ini bertujuan untuk mengekalkan kehidupan manusia di dunia agar berlegar di sekitar paksi yang diredhai Allah. Sistem ini juga bertujuan untuk mengekalkan kehidupan agar sentiasa dihiasi dengan nilai-nilai yang tinggi, yang dianjurkan oleh Allah s.w.t.

2.3.3 Lahir idealisme Barat yang menyesatkan dalam pemikiran umat Islam seumpama Sekularisme dan Orientalis

Faham sekular dari sudut politiknya telah mula dilaksanakan di Turki selepas penghapusan sistem Khilafah Islamiah Othmaniah pada tahun 1924. Fahaman ini seterusnya manjadi kaedah politik yang diamalkan di tanah air umat Islam. Doktrin ini jika difaham dari pentakrifannya iaitu satu doktrin yang menolak atau memisahkan agama, ciri-ciri keagamaan daripada urusan-urusan yang tidak bersangkutan dengan agama seperti pentadbiran awam dan lain-lain serta menganggap perkara keagamaan adalah satu tugas yang dilaksanakan oleh manusia untuk Tuhannya sahaja. Maka setiap manusia yang berpegang dengan doktrin ini yang menyokong dan mempertahankan keabsahan amalan yang tidak berkait dengan agama dipanggil manusia sekular.

Dengan ini, dapat kita lihat bahawa bahaya fahaman ini adalah merosak seterusnya menanggalkan aqidah umat Islam. Mereka yang menganut doktrin ini, secara automatik tidak mengiktiraf Rububiyyah Allah SWT yang Maha Pentadbir dan Penguasa seluruh alam.

Sementara fahaman nasionalisme adalah doktrin yang meletakkan kesetiaan dan ketaatan manusia kepada negara, dengan meletakkan kepentingan negaranya di atas segala kepentingan lain. Fahaman ini bertitik tolak dari andaian bahawa tumpuan utama bagi ikatan politik adalah terletak kepada bangsa. Akibatnya, perkara akidah dan agama yang paling asas diabaikan demi mengejar tuntutan bangsa dan negara.


2.3.4 Penyebaran Media Massa Barat Yang Bertebaran

Kini bertebaran media masa Barat yang bertujuan merosakan Islam dengan membuat tohmahan yang maha dahsyat kepada ajaran yang murni ini. Antara majalah dan artikel yang tersebar di Barat dan juga dibeberapa buah negara umat Islam mendakwa Nabi Muhammad SAW adalah pereka kepada cerita-cerita dongeng, manakal masyarakat Arab adalah golongan yang terlalu kuat seks. Oleh itu, ramai dikalangan mereka yang bertebaran diseluruh negara kerana ingin memuaskan nafsu syahwat mereka.

Islam juga dikatakan agama yang menganjurkan keganasan memandangkan di dalam perintah supaya umat Islam berjihad memerangi orang-orang kafir, selain syariat yang terkandung dalam Al-Quran dilabelkan sebagai zalim kerana padanya terdapat hukuman bunuh seumpama merejam orang yang berzina bagi yang telah berkahwin juga membunuh orang yang keluar dari agama Islam (murtad).
Hal ini sebenarnya tidak lain hanyalah untuk meragukan-ragukan seterusnya memesong fikiran umat Islam dari ajaran mereka sendiri.


2.3.5 Dakyah daripada Bukan Islam di Negara Umat Islam

Terdapat kalangan bukan Islam yang bernaung di negara umat Islam bersikap dengki dan berniat jahat terhadap agama Islam dan penganutnya. Setelah itu, mereka mula merancang beberapa strategi jahat untuk memurtadkan umat Islam daripada semua lapisan, sehingga didapati ramai penganut Islam yang keluar dari ajaran mereka.

2.3.6 Kurang Pentarbiahan dan Pendidikan Berasaskan Agama

Di antara kekuatan umat Islam terdahulu adalah hasil dari asas didikan dalam perkara agama. Generasi sahabat Rasulullah SAW, tabi’en dan salafussoleh yang melalui pendidikan dan tarbiah keimanan yang mantap sanggup menggadaikan diri mereka demi Islam. Kisah sahabat Nabi SAW yang bernama Khabbab ibnu Al-Arat, yang disiksa sehingga luruh daging-daging dari tubuhnya, Bilal bin Rabah yang dijemur ditengah panas terik dengan diletakan batu besar atas dadanya, kesemuanya adalah kerana mempertahankan aqidah dan ajaran Islam merupakan contoh tauladan dan ikutan untuk generasi sekarang dan akan datang.

Didikkan keimanan sepertimana golongan terdahulu kini kelihatan telah hilang sedikit demi sedikit dalam diri umat Islam. Akibatnya mereka mula meringan-ringankan perkara agama. Maksiat menjadi tabiat biasa untuk dilakukan disebabkan tidak adanya didikan dan tarbiah yang cukup tentang Islam. Inilah kekurangan juga kelemahan umat Islam yang menjadi punca hilang kekuatan pada diri mereka.


2.3.7 Rosaknya Akhlak Para Pemimpin dan Penguasa

Penguasa menggunakan kuasa sewenang-wenangnya terhadap masyarakat dan beranggapan bahawa golongan yang diperintah adalah hamba mereka semata-mata. Kerana itu, mereka berlaku zalim, menghukum orang-orang yang menentang mereka tanpa usul periksa dan cuba mengembalikan mereka agar akur di bawah kekuasaan mereka.

2.3.8 Ahli Agama Yang Menentang Pembaharuan

Terdapat kalangan ahli-ahli agama yang bersifat jumud lantas menentang pembaharuan kerana kejahilan mereka, selain ada pandangan yang membataskan Agama adalah semata-mata untuk ibadah dan bukannya memandu kearah pembaharuan dan mencapai kemajuan. Perkembangan teknologi yang serba canggih dianggap sebagai medan keseronokan ahli dunia semata-mata. Tanggapan sebegini sebenarnya adalah jauh daripada sifat dan tabiat yang ada pada Islam itu sendiri sebagai agama yang merangkumi keseluruhan perkara dunia dan akhirat.

2.3.9 Lahir Ulamak Jahat

Kefasadan yang ada pada ulamak yang mencari keuntungan untuk diri mereka sendiri dan sikap mengampu mereka kepada golongan pemerintah. Ulamak seperti ini bertindak mempertahankan golongan penguasa dari ditohmah oleh masyarakat dengan pengetahuan agama, walaupun pemerintah dengan jelas melakukan maksiat. Disamping ulamak pengampu ini juga menjadi orang suruhan pemerintah yang jahil dalam mengeluarkan hukum dan fatwa demi kemaslahatan mereka dan mengaut keuntungan duniawi.

2.4 Strategi memurtadkan Umat Islam

Ketua Gereja Presbiterian yang berasal dari Ghana, Dr. John Azumah (asalnya seorang Islam dan kemudian memeluk Kristian) telah membentangkan beberapa cara bagi memurtadkan umat Islam dalam satu Persidangan Antarabangsa Bagi Penganut Evangelis di California, Amerika Syarikat pada 20 Ogos 2008. Persidangan ini teah dianjurkan oleh US Presbiterian Global Fellowship. Menurutnya terdapat empat cara yang utama bagi memurtadkan umat Islam (http://www.eramuslim.com/berita/int/8821143817) iaitu:

Strategi pertama : berusaha mengetahui selok belok mengenai ajaran Islam dan masyarakat Islam. Tunjukkan minat untuk mengetahui apa yang menakutkan mereka, apa yang menggembirakan mereka dan ajaran-ajaran mereka.

Strategi kedua : Bagi menarik minat dan hati orang-orang Islam, para missionaries mesti bertindak sebagi “sinar” dan bukan sebagi lampu suluh. Saat ini ramai missionaries yang bertindak seperti lampu suluh. Mereka menyuluh terus ke dalam mata orang Islam yang akan menyebabkan mereka melindungi matanya dan mengalihkan pandangan mereka ke arah yang lain. Maksudnya jangan terus menggunakan ayat-ayat al-Kitab tetapi bertindaklah dengan menunjukkan bahawa anda menyayangi mereka dan mencintai mereka dan seterusnya mulalah dengan menggunakan ayat al-Kitab.

Strategi ketiga : Sentiasa menceritakan pengalaman peribadi bagaimana keyakinan kita terbina terhadap agama yang dianuti kepada orang muslim.

Strategi keempat : Setelah berusaha, tunggulah perubahan yang akan terjadi. Anda mempunyai keupayaan dan pengetahuan tetapi tunggulah sehingga Ruh al-Kudus datang.
Seterusnya beliau menambah, orang Kristian perlu lebih banyak berinteraksi dengan umat Islam dan sehubungan itu beliau menyarankan supaya missionaries pergi ke Negara umat Islam dan pelajarilah bahasa dan budaya mereka, jangan paksa mereka pelajari budaya dan bahasa anda.

Pada kesempatan tersebut, Setiausaha Agung European Evangelican Alliance (EEA), Gordon Showell Rogers menyeru supaya gerakan pemurtadan umat Islam seluruh Eropah diteruskan dan beliau menambah bahawa penghijrahan umat Islam ke benua Eropah adalah merupaan kesempatan yang paling utama bagi menjalankan gerakan pemurtadan ini.
Selain itu satu kajian telah mendapati bahawa terdapat beberapa strategi yang lain digunakan bagi tujuan memurtadkan umat Islam (http://www.pmium.org/v100/modules. php?name=News&file=print&sid=229) ialah :

Pertama : Berusaha memikat wanita melayu bagi tujuan perkahwinan. Bagi tujuan tersebut wanita itu perlulah terlebih dahulu murtad dari agama Islam.
Kedua : Berusaha melalaikan umat Islam dengan dadah, mat rempit, bohsia dan sebaginya.
Ketiga : Memecahbelahkan institusi masjid dan surau.
Keempat : Memecahbelahkan masyarakat Islam di antara yang berfahaman Islam fundamental, tasawwuf dan sebagainya.

Terdapat juga beberapa strategi yang digunakan oleh kumpulan memurtadkan umat Islam sepertimana yang dijelaskan oleh Pengerusi Jawatankuasa Surau Garden Homes, Seremban, Azman Basra pada 14 September 2006 (www.harakahdaily.net ) iaitu:

a) Kumpulan ini menjadikan golongan remaja sebagai sasaran kerana bagi mereka kelompok remaja lebih mudah didekati berbanding golongan dewasa yang lebih kuat pegangan akidahnya, kata Azman dalam satu pengumumannya di surau tersebut baru-baru ini.

b) Golongan Kristianisasi ini menawarkan ganjaran berupa wang saku kepada remaja yang mahu murtad, malah mereka juga ditawarkan khidmat seks (bagi yang lelaki akan mendapat perempuan, dan yang perempuan akan mendapat pasangan lelaki) dan telefon bimbit.


2.5 Gerakan Antarabangsa Memurtadkan Umat Islam di Malaysia
(http://www.amos.yadim.com. my/Sosial/SosialFull.asp?offset=125&Id=436)

Berdasarkan kajian terhadap perisian ´Windows 10/40´ yang merupakan sesuatu yang amat asing bagi masyarakat Malaysia khususnya masyarakat Islam, angka 10/40 yang tertera di belakang perkataan ´Windows´ itu terkandung satu rahsia yang harus dilihat secara ilmiah oleh semua umat Islam di Malaysia.

Pada peta dunia, Malaysia terletak pada garis lintang latitud dan magnitud 10 dan 40 . Majalah ´The Minaret´ yang diterbitkan oleh California Islamic Centre, Malaysia tersenarai dalam salah sebuah lokasi gerakan Kristianisasi terancang. Matlamat utama gerakan di sekitar latitud dan magnitud 10/40 itu untuk memesongkan akidah umat Islam supaya bertunjangkan ajaran Kristian dan inilah yang termaktub dalam gerakan 'Window 10/40'.

´Windows International Network´ (WIN) yang ditubuhkan pada 1999, bercadang menggerakkan 40 juta penganut Kristian untuk menyebarkan ajaran itu ke 67 buah negara. Sisters Beverly Pegues, pengarang ´WindoWatchman 1´ dan editor WindoWatchman II´ merupakan pengasas, Presiden dan CEO kepada gerakan ini. Pegangan utama Sisters Beverly Pegues dalam mentafsirkan gerakan ini berpandukan kepada Bible Genesis ayat 1:26; Rasul tertinggi yang dinyatakan kepada umat manusia bukanlah seperti yang dinyatakan umat Islam iaitu Nabi Muhmamad s.a.w sebaliknya adalah Jesus Christ (Isa Al-Masih) sebagai pembawa kebenaran.

Keinginan untuk menghapuskan Islam yang muncul sebagai agama paling dominan di dunia (penganut paling ramai) di samping agama Hindu dan Buddha menjadi teras perlaksanaan gerakan Windows 10/40. Menurut Bryant L Myers, faktor kemiskinan yang melanda di negara-negara sekitar 10/40 merupakan satu kelebihan untuk melebarkan gerakan Kristianisasi sebagai salah satu program pembasmian kemiskinan.

´Windows 10/40´ menggariskan empat panduan khusus kepada semua masyarakat Kristian di dunia. Matlamat utama mereka adalah menyebarkan dakyah Kristian kepada populasi bukan Kristian (majoritinya penganut Islam) di garisan latitud dan magnitud 10/40 seperti Afrika, benua Arab dan Asia. Antara panduan yang terkandung dalam manifesto ´Windows 10/40´, masyarakat Kristian seluruh dunia harus bersembahyang dan berdoa kepada Jesus supaya penduduk di kawasan sasaran menerima ´hidayah´ dan Kristian sebagai agama. Bagi melaksanakan impian tersebut, mereka disarankan supaya mendekati masyarakat di negara-negara yang terlibat melalui pelbagai cara seperti melancong ke negara-negara ´Windows 10/40´.

Justeru, untuk memudahkan penerimaan masyarakat yang majoritinya Muslim, penganut-penganut Kristian menggunakan pendekatan bijak dalam mendekati golongan sasaran. Berselindung atas nama badan-badan kebajikan dan seterusnya menghulurkan bantuan kemanusiaan, mewujudkan rumah-rumah kebajikan adalah cara terbaik yang diberikan oleh pengasas ´Windows 10/40´. Secara tidak langsung, individu yang menerima ´bantuan´ dan terpedaya dengan helah sedemikian rupa mudah dipujuk untuk beralih pegangan sekaligus dimurtadkan.

Golongan Misionaris Kristian merencanakan ´Windows 10/40´ secara terancang dan amat halus. Strategi utama yang ditancapkan pada setiap gerakan adalah berusaha memesongkan umat Islam daripada agama Islam melalui penyebaran risalah berbahasa Melayu, melodi dan irama hiburan yang pelbagai serta membuat agama palsu sebagai perbandingan antara Islam dan Kristian. Fokus utama dalam gerakan ´Windows 10/40´ ini adalah menghancurkan kesatuan umat Islam supaya terus menjauhkan diri daripada ajaran Islam yang sebenar.


2.6 Cabaran Penubuhan Suruhanjaya Antara Agama (IFC) terhadap Masyarakat Muslim di Malaysia
(www.harakahdaily.net. 30 Mei 2007)

Interfaith Commission yang nama asalnya ialah Inter Religious Council (IRC) adalah sebuah suruhanjaya yang dicadangkan penubuhannya seperti sebuah badan berkanun yang mempunyai kuasa undang-undang yang boleh mengubah ajaran sesetengah agama. Badan ini berfungsi mirip sebuah mahkamah dan segala keputusannya adalah muktamad ke atas agama yang bersabit. IFC juga akan berfungsi seperti SUHAKAM yang menerima dan melayan aduan-aduan berkaitan dengan agama.
IFC digagaskan penubuhannya oleh Majlis Perundingan Malaysia Agama Buddha, Kristian, Hindu dan Sikh (Malaysian Consultative Council Of Buddhism, Christianity, Hinduism dan Sikhism - MCCBCHS) melalui memorandumnya kepada Majlis Peguam bertarikh 21 Ogos 2001. Presiden MCCBCHS ialah V. Harcharan Singh.

Majlis Peguam terutamanya Jawatankuasa Kecil Hak Asasi Manusia amat kuat menyokong penubuhan IFC dan amat berharap ia akan berjaya. Pada 17 Mac 2003, satu bengkel untuk menimbang keperluan wujudnya IRC diadakan. Bengkel ini gagal apabila kesemua NGO Islam menarik diri daripada terlibat dengan penubuhan suruhanjaya ini iaitu ABIM, ACCIN, JUST dan Sisters In Islam (SIS) termasuk Dr. Chandra Muzaffar yang menjadi antara orang awal yang mencadangkan dialog antara kepercayaan. Bagaimanapun Sisters In Islam (SIS) kemudian menyertai semula dan menyokong penubuhan suruhanjaya ini. Pada pertengahan tahun 2004, satu persidangan mengenai penubuhan IFC diadakan. Bagi menunjukkan wujudnya sokongan, penganjur seminar telah melantik kesemua ahli Jawatankuasa Kecil Syariah Majlis Peguam sebagai ahli jawatankuasa penganjur tanpa pengetahuan mereka.

Mengemukakan deraf ketiga undang-undang penubuhan IFC bertarikh Januari 2005 kepada persidangan cadangan penubuhan IFC. Persidangan ini di anjurkan oleh suatu badan yayasan Kristian yang beribupejabat di Negara Jerman, iaitu Konrad Adeneuer Foundation (KAF).
Matlamat IFC ialah untuk meminda beberapa ajaran asas Islam yang akan merosakkan akidah orang Islam dan berpihak kepada kepentingan orang-orang bukan Islam. Antara tuntutan orang-orang bukan Islam yang dibuat melalui IFC ialah;

a) Seseorang anak yang dilahirkan oleh ibubapa Islam tidak seharusnya secara terus menjadi orang Islam.

b) Orang-orang bukan Islam yang telah memeluk agama Islam hendaklah diberikan kebebasan untuk kembali kepada agama asal mereka (murtad) dan tidak boleh dikenakan tindakan undang-undang.

c) Sebarang kes pertukaran agama orang Islam kepada bukan Islam tidak sepatutnya dikendalikan oleh mahkamah syariah tetapi dikendalikan oleh mahkamah sivil.

d) Tidak perlu dicatatkan di dalam kad pengenalan sesorang Muslim bahawa ia beragama Islam.

e) Orang bukan Islam tidak perlu dikehendaki menganut Islam sekiranya ingin berkahwin dengan orang Islam. Orang Islam hendaklah dibenarkan keluar daripada Islam (murtad) sekiranya ingin berkahwin dengan orang bukan Islam tanpa boleh dikenakan apa-apa tindakan undang-undang.

f) Seseorang atau pasangan suami isteri yang menukar agamanya dengan memeluk Islam tidak patut diberikan hak jagaan anak.

g) Orang-orang yang bukan Islam yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang yang memeluk Islam hendaklah diberikan hak menuntut harta pusakanya selepas kematiannya. viii. Kerajaan hendaklah menyediakan dana yang mencukupi untuk membina dan menyelenggara rumah-rumah ibadat orang bukan Islam sebagaimana kerajaan menyediakan dana yang serupa untuk masjid.

h) Orang-orang bukan Islam hendaklah dibenarkan dan tidak boleh dihalang daripada menggunakan perkataan-perkataan suci Islam dalam percakapan dan sebagainya.

i) Bible dalam Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia sepatutnya dibenarkan untuk diedarkan kepada umum secara terbuka.

j) Pelajaran agama bukan Islam untuk penganut agama itu hendaklah diajar di semua sekolah.

k) Program-program berunsur Islam dalam bahasa ibunda sesuatu kaum hendaklah ditiadakan. Program dakwah agama lain selain Islam pula hendaklah dibenarkan untuk disiarkan dalam bahasa ibunda masing-masing.

l) Orang-orang Islam yang membayar zakat tidak sepatutnya dikecualikan daripada membayar cukai pendapatan dan wang hasil zakat sepatutnya digunakan juga untuk keperluan orang-orang bukan Islam.

m) Sepatutnya Islam tidak disebut sebagai pilihan pertama masyarakat Malaysia seperti dalam soal pakaian menutup aurat kepada pelajar sekolah.


2.7 Undang-undang berkaitan Murtad

Mengenai murtad, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Sembilan) 2003, Seksyen 119, ada membuat peruntukan;

(1) Seseorang Islam tidak boleh keluar daripada Agama Islam atau disifatkan telah meninggalkan Agama Islam sebagai agamanya melainkan jika dan sehingga dia telah memperoleh suatu perisytiharan bagi maksud itu daripada Mahkamah Tinggi Syariah.

(2) Suatu permohonan bagi perisytiharan di bawah subseksyen (1) hendaklah dibuat secara ex parte kepada Hakim Mahkamah Tinggi Syariah dalam mahkamah terbuka oleh orang yang berhasrat untuk meninggalkan Agama Islam sebagai agamanya.

(3) Suatu permohonan di bawah subseksyen (2) hendaklah menyatakan alasan-alasan yang berdasarkannya pemohon berhasrat untuk meninggalkan Agama Islam sebagai agamanya dan hendaklah disokong oleh suatu afidavit yang menyatakan semua fakta yang menyokong alasan permohonan itu.

(4) Setelah diterima permohonan di bawah subseksyen (2), Hakim Mahkamah Tinggi Syariah yang mendengar permohonan tersebut hendaklah—

(a) menasihati orang itu supaya bertaubat, dan jika Hakim berpuas hati orang itu telah bertaubat mengikut Hukum Syarak, hendak merekodkan taubat orang itu; atau

(b) jika orang itu enggan bertaubat, sebelum membuat apa-apa perintah terhadap orang itu, menangguhkan pendengaran permohonan itu untuk tempoh 90 hari dan pada masa yang sama menghendaki pemohon untuk menjalani sesi runding cara dan bimbingan bagi maksud menasihati pemohon untuk menimbang semula Agama Islam sebagai agamanya.

(5) Jika pada bila-bila masa orang yang dikehendaki menjalani sesi runding cara dan bimbingan itu telah bertaubat, pegawai yang bertanggungjawab terhadapnya hendaklah menyediakan suatu laporan dengan secepat mungkin dan membawa orang itu ke hadapan Mahkamah Tinggi Syariah.

(6) Jika Hakim berpuas hati bahawa orang yang dikemukakan di hadapannya mengikut subseksyen (5) telah bertaubat mengikut Hukum Syarak, Hakim itu hendaklah merekodkan taubat orang itu.

(7) Jika setelah habis tempoh 90 hari yang disebut dalam perenggan (4)(b), orang itu masih enggan bertaubat, maka pegawai yang bertanggungjawab terhadapnya hendaklah menyediakan suatu laporan dengan secepat mungkin dan membawa orang itu ke hadapan Mahkamah Tinggi Syariah.

(8) Jika setelah diterima laporan yang disebut dalam subseksyen (7), Mahkamah berpendapat bahawa harapan masih ada untuk orang itu bertaubat, maka Mahkamah boleh menangguhkan pendengaran permohonan orang itu di bawah subseksyen (2) dan pada masa yang sama memerintahkan orang itu supaya menjalani sesi runding cara dan bimbingan yang selanjutnya selama tempoh yang tidak melebihi satu tahun.

(9) Jika selepas perintah di bawah subseksyen (8) dibuat, orang itu bertaubat, maka subseksyen (5) dan (6) terpakai.

(10) Jika setelah habis tempoh yang diperintahkan di bawah subseksyen (8) dan orang itu masih enggan bertaubat, pegawai yang bertanggungjawab terhadapnya hendaklah menyediakan suatu laporan dan membawa orang itu ke hadapan Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah boleh membuat keputusan untuk mengisytiharkan bahawa orang itu meninggalkan Agama Islam sebagai agamanya.

(11) Sebelum Mahkamah mengiytiharkan bahawa orang itu telah meninggalkan Agama Islam sebagai agamanya, Mahkamah hendaklah membuat perintah mengenai perkara yang berikut:

(a) pembubaran perkahwinan;

(b) pembahagian harta sepencarian;

(c) hak perwalian;

(d) hak pusaka; dan

(e) hadhanah.

Manakala Seksyen 48, Enakmen Jenayah Syariah, Negeri Sembilan ada membuat peruntukan seperti berikut;

Mana-mana orang Islam yang mendakwa dirinya sebagai seorang bukan Islam untuk mengelakkan dirinya dari diambil apa-apa tindakan di bawah Enakmen ini atau mana-mana Enakmen yang berkuatkuasa adalah bersalah atas suatu kesalahan dan hendaklah apabila disabitkan, dikenakan hukuman denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau penjara tidak melebihi tiga tahun atau kedua-duanya.

Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985, Negeri Kelantan, seksyen 24 (1) dan (2), ada memperuntukkan;

(1) Sesiapa yang mengatakan atau mengaitkan melalui kata-kata, sama ada bertutur atau tulisan, atau melalui isyarat, atau melalui gambaran yang boleh dilihat atau melalui apa-apa perbuatan, kegiatan atau kelakuan, atau dengan mengelola, mengalak atau memperaturkan apa-apa kegiatan, atau selainnya dengan apa jua cara bahawa mana-mana orang yang menganuti Agama Islam, atau orang-orang yang tergolong dalam mana-mana kumpulan, kelas atau perihalan orang-orang yang menganuti Agama Islam-

(i) adalah orang kafir, atau
(ii) telah berhenti menganuti Agama Islam, atau
(iii) tidak patut diterima, atau tidak dapat diterima, sebagai menganuti Agama Islam, atau
(iv) tidak mempercayai, mengikuti, menganuti atau tergolong dalam Agama Islam,

adalah bersalah atas suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, dikenakan hukum penjara selama tempoh tidak melebihi tiga tahun, atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau kedua-duanya;

Dengan syarat bahawa seksyen ini tidak boleh dipakai bagi; -

(a) apa-apa perkara yang dilakukan oleh mana-mana pihak berkuasa Agama yang ditubuhkan, dibentuk atau dilantik oleh atau di bawah mana-mana Undang-undang bertulis dan yang diberikan oleh Undang-undang yang bertulis dengan kuasa memberi atau mengeluarkan apa-apa fatwa atau keputusan atau apa-apa perkara mengenai Agama Islam;

(b) apa-apa perkara yang dilakukan oleh mana-mana orang menurut atau mengikut apa-apa fatwa atau keputusan yang diberi atau dikeluarkan oleh pihak berkuasa Agama itu, sama ada fatwa atau keputusan itu adalah secara bertulis ataupun tidak, atau jika secara bertulis, sama ada ianya disiarkan dalam Warta ataupun tidak.

(2) Sesiapa yang mentafsir secara menyeleweng mana-mana fatwa yang dikeluarkan oleh pihak berkuasa Agama adalah melakukan suatu kesalahan dan boleh, apabila disabitkan, dikenakan hukuman penjara selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau kedua-duanya.

Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kedah 1988, juga mempunyai peruntukan yang hampir sama dengan peruntukan Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985.

Manakala Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor, 1995, Bahagian II, Kesalahan yang berhubung dengan aqidah, seksyen 6, memperuntukkan;

(1) Tertakluk kepada subseksyen (2), seseorang yang mengatakan atau mengaitkan melalui kata-kata, sama ada secara lisan atau tulisan, atau dengan isyarat, atau dengan gambaran tampak, atau dengan apa-apa perbuatan, kegiatan atau kelakuan, atau dengan mengelolakan, menganjurkan atau mengaturkan apa-apa kegiatan, atau selainnya dengan apa-apa jua cara, bahawa mana-mana orang yang menganuti agama Islam, atau orang-orang yang tergolong dalam mana-mana kumpulan, kelas atau perihalan orang yang menganuti agama Islam;

(a) adalah orang kafir;
(b) telah berhenti menganuti agama Islam;
(c) tidak patut diterima, atau tidak dapat diterima sebagai menganuti agama Islam; atau
(d) tidak mempercayai, mengikuti, menganuti atau tergolong dalam agama Islam,

adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila disabitkan boleh didenda tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau kedua-duanya.

(2) Subseksyen (1) tidaklah terpakai bagi-

(a) apa-apa jua yang dilakukan oleh mana-mana Mahkamah atau pihak berkuasa agama yang ditubuhkan, dibentuk atau dilantik melalui atau di bawah mana-mana undang-undang bertulis dan yang diberi oleh undang-undang bertulis kuasa untuk memberikan atau mengeluarkan apa-apa fatwa atau keputusan tentang apa-apa perkara mengenai agama Islam; atau
(b) apa-apa jua yang dilakukan oleh mana-mana orang menurut atau mengikut apa-apa fatwa atau keputusan yang diberikan atau dikeluarkan oleh Mahkamah atau pihak berkuasa agama itu, sama ada atau tidak fatwa atau keputusan itu adalah secara bertulis atau, jika bertulis, sama ada atau tidak disiarkan dalam Warta.


2.8 Implikasi gejala Murtad terhadap Agama Islam dan Masyarakat Muslim

Dr. Yusof al-Qardawi dalam tulisannya “khuturah al-riddah wa muwajahah al-fitnah” telah menjelaskan bahawa terdapat beberapa implikasi murtad kepada masyarakat Islam, antaranya (http://www.islamonline.net/arabic/contemporary/2002/02/article2a.shtml):

Pertama : Murtad merupakan ancaman utama kepada survival dan kewujudan agama Islam itu sendiri. Ini kerana orang yang murtad bukan sekadar dianggap keluar daripada Islam sahaja tetapi dia sebenarnya telah cuba untuk menyerang agama Islam itu.

Kedua : Murtad menghapuskan identiti masyarakat muslim. Ini kerana seorang yang murtad sebenarnya telah masuk ke dalam identiti ummah yang lain, telah menukar ketaatannya dan telah mencabut identiti Islam darinya.

Ketiga : Murtad akan menyebabkan agama Islam dianggap seperti barang mainan semata-mata, iaitu boleh masuk apabila dikehendaki dan boleh keluar pada bila-bila masa apabila dikehendakinya. Ini akan menyebabkan masyarakat tidak lagi mementingkan identiti agama seseorang atau identiti sesuatu ummah. Kesan yang lebih besar akan timbul apabila masyarakat menganggap semua agama adalah sama dari segi identitinya

Selain itu, perbuatan murtad dari agama Islam akan menyebabkan golongan muslim yang lemah imannya akan merasa syak dan ragu-ragu tentang kebenaran Islam. Senjata “al-tasykik” inilah yang sedang digunapakai oleh golongan musuh Islam untuk merosakkan identiti masyarakat muslim dan umat Islam. Ini telah dijelaskan melalui kata-kata seorang pemimpin Yahudi : “berlakonlah seolah-olah kamu beriman di pagi hari dan kemudian keluarlah dari agama tersebut (Islam) pada waktu petangnya supaya golongan muslim berkata dalam hati mereka, keluarnya mereka dari Islam adalah bukti bahawa agama Islam itu tidak sesuai, ini kerana mereka adalah golongan yang telah diturunkan kitab dari langit terlebih dahulu dari kita dan sesungguhnya mereka lebih mengetahui” (http://www.alminbar.net/ malafilmy/3okobat/2.htm).

Dalam konteks masyarakat Islam di Malaysia, salah satu ciri khusus orang melayu seperti yang ditakrifkan dalam perlembagaan ialah beragama Islam. Peruntukan ini walaupun bukanlah menunjukkan hakikat yang sebenar, namun dari sudut yang positifnya dapat menjadi salah satu benteng daripada berleluasanya gejala murtad di kalangan orang Melayu. Justeru itu, kecenderungan orang-orang melayu untuk murtad atau meninggalkan Islam dibimbangi akan menyebabkan identiti Islam akan terhakis dan imej Islam akan dipandang negatif oleh kalangan orang bukan Islam di Negara ini.


2.9 Rumusan

Secara umumnya, gejala murtad yang berlaku di Malaysia telah menunjukkan satu trend peningkatan yang amat membimbangkan. Meskipun tidak ada statistik yang tepat mengenai jumlah sebenar umat Islam yang murtad, namun kes-kes yang dilaporkan oleh media massa, selain yang telah diputuskan oleh Mahkamah Syariah ternyata semakin bertambah. Sehingga kini boleh dikatakan belum ada satu penyelesaian yang benar-benar konkrit bagi membendung gejala murtad ini walaupun sesetengah negeri telah memasukkan peruntukan yang khusus mengenainya di dalam Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah seperti yang terdapat di Negeri Sembilan, Kelantan, Selangor dan beberapa negeri lain.



Sumber Facebook 

 http://www.scribd.com/doc/47101020/faktor-faktor-murtad

Tiada ulasan: