Ahad, 24 April 2011

TAJWID 3

Sejarah Pemberian Tanda Baca dan Tajwid

Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit tabiin.Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Alquran.dia/sya/berbagai sumber

Pemeliharaan Alquran dari Masa ke Masa
Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Alquran selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah SAW, yang hafal Alquran. Dengan adanya umat yang hafal Alquran, Alquran pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca Alquran dengan baik, mushaf Alquran pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal Alquran). Alquran pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Alquran yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak Alquran di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Lihat RS Abdul Aziz, Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Kini, Alquran telah dicetak di berbagai negara di dunia.
Pemeliharaan Alquran tak berhenti sampai di situ. Di sejumlah negara, didirikan lembaga pendidikan yang dikhususkan mempelajari Ulum Alquran (ilmu-ilmu tentang Alquran). Salah satu materi pelajaran yang diajarkan adalah hafalan Alquran. Di Indonesia, terdapat banyak lembaga pendidikan yang mengajak penuntut ilmu ini untuk menghafal Alquran, mulai dari pendidikan tinggi, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ) hingga pesantren yang mengkhususkan santrinya menghafal Alquran, di antaranya Pesantren Yanbuul Quran di Kudus (Jateng).
Demi memotivasi umat untuk meningkatkan hafalannya, kini diselenggarakan Musabaqah Hifzhil Quran (MHQ), dari tingkatan satu juz, lima juz, 10 juz, hingga 30 juz. ”Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari). Adanya lembaga penghafal Alquran ini maka kemurnian dan keaslian Alquran akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, para penghafal Alquran ini akan ditempatkan di surga. Wa Allahu A’lam.

Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Alquran berasal dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata ‘Alquran’ adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja (fi’il madli) qaraa yang artinya membaca.
Para pakar mendefinisikan Alquran sebagai kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir dan bagi orang yang membacanya termasuk ibadah. Al-Qur’anu huwa al-kitabu al-Mu’jiz al-Munazzalu ‘ala Muhammadin bi wasithah sam’in aw ghairihi aw bilaa wasithah.
Ada juga yang mendefinisikannya sebagai firman Allah yang tiada tandingannya. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul, dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir yang dimulai dengan surat Alfatihah dan ditutup dengan surat Annas.
Alquran terdiri atas 114 surat serta 30 juz dengan jumlah ayat lebih dari 6.000 ayat. Kalangan ulama masih berbeda pendapat mengenai jumlah ayat Alquran. Ada yang menyebutkan jumlahnya sebanyak 6.236 ayat, 6.666 ayat, 6.553 ayat, dan sebagainya. Perbedaan penghitungan jumlah ayat ini karena banyak ulama yang belum sepakat apakah kalimat Bismillahirrahmanirrahim yang ada di pembukaan surah dan huruf Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Yaa Sin, Shad, dan Qaaf termasuk ayat atau bukan. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan mengenai jumlah ayat. Namun demikian, hal itu tidak menimbulkan perpecahan di antara umat.
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Para ulama membagi masa penurunan ini menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW. Sementara itu, periode Madinah dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun.
Sedangkan, menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi kepada surat-surat Makkiyah (ayat-ayat Alquran yang turun di Makkah) dan Madaniyah (diturunkan di Madinah). Surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah, sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Sementara itu, dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada dalam Alquran terbagi menjadi empat bagian. Pertama, As-Sab’u al-Thiwaal (tujuh surat yang panjang), yaitu Albaqarah, Ali Imran, Annisa’, Al A’raf, Al An’am, Almaidah, dan Yunus. Kedua, surat-surat yang memiliki seratus ayat lebih (Al Miuun), seperti surat Hud, Yusuf, Mu’min, dan sebagainya.
Ketiga, surat-surat yang jumlah ayatnya kurang dari seratus ayat (Al Matsaani), seperti surat Al Anfal, Alhijr, dan sebagainya. Keempat, surat-surat pendek (Al-Mufashshal), seperti surat Adhdhuha, Al Ikhlas, Alfalaq, Annas, dan sebagainya.

Copy dari : http://dinrip.blog.com/2010/04/20/sejarah-pemberian-tanda-baca-dan-tajwid/


ISTILAH HUKUM DALAM ILMU TAJWID

Didalam ilmu tajwid terdapat juga istilah hukum lazim, wajib, haram, dan jaiz seperti dalam fiqih. Apakah istilah-istilah ini juga mempunya sangsi atau akibat hukum seperti dalam hukum fiqih atau ia hanya merupakan istilah saja dikalangan ahli tajwid (shina’iy) sehingga tidak berakibat pahala dan dosa. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat sebagai berikut :

a. a. Ulama Mutaqaddimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’I, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian setiap kesalahan baik dalam kelompok jaliy maupun yang khofiy membawa akibat haram syar’i. alasan yang dikemukakan adalah bahwa perintah Allah tentang membaca Al Quran dengan tartil mengandung hukum wajib, oleh karena itu semua peraturan yang mengatur tentang tata cara mentajwidkan Al Quran termasuk dalam perintah wajib.

b. b. Ulama Muta’akhirin berpendapat bahwa akibat hukum dalam ilmu tajwid itu terbagi dua, ada yang berakibat syar’I dan adapula yang shina’I, apabila menyangkut pemeliharaan bentuk huruf atau harakat hingga tidak merubah bunyi suara atau merusak makna, maka disebutkan dengan wajib syar’I, pelanggarannya disebut haram syar’i. Tetapi apabila menyangkut bidang pemeliharaan ketentuan hukum lain, seperti wajib idgham, wajib mad dan sebagainya, maka masuk dalam wajib shina’i. Pendapat ini cenderung menjadikan kelompok kesalahan yang jelas sebagai haram syar’I dan kesalahan samar sebagai haram shina’i.

c. c. Imam Ibnu Ghozi pada prinsipnya memberikan pendapat yang sama dengan Muta’akhirin, hanya berbeda dalam memberikan klasifikasinya. Menurut beliau yang masuk wajib syar’I adalah apabila menyangkut semua ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli Qiraat. Sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan dalam menggunakan ketentuan waqaf atau karena mengikuti petunjuk guru, sepanjang ada keyakinan tentang kebenarannya, maka termasuk wajib shina’i.

Dari ketiga pendapat diatas, pendapat Muta’akhirin yang lebih cocok diterapkan. Menetapkan semua ketentuan tajwid menjadi syar’I jelas bukan suatu hal yang mudah diterapkan oleh umat islam. Pendapat Ibnu Ghozi yang cukup terperinci itupun masih terlalu berat, karena untuk dapat mengetahui mana ketentuan yang disepakati dan mana yang tidak tentu memerlukan pengetahuan yang cukup jelas. Oleh karena itu lebih tepat pendapat Muta’akhirin yang menganggap ketentuan-ketentuan yang bukan termamsuk kesalahan jali, bagi pelanggarnya adalah shina’I yang tidak berakibat dosa, tetapi hanya cacat menurut dunia Qiraat. Walaupun sangsi syara’ tidak ada, tapi bagi seorang qari’ yang dikenal telah berilmu, sangsi cacat atau aib sudah cukup berat. Disamping itu tidak juga terlalu menakutkan bagi masyarakat awam untuk membaca Al Quran.


Apa itu Tajwid ?

1. Definisi Ilmu tajwid :

Ilmu Tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah dan tata cara membaca Al Quran dengan baik dan benar.


2. Tujuan Mempelajari Ilmu tajwid :

Untuk senantiasa memelihara dan menjaga bacaan-bacaan Al Quran dari kekeliruan, kesalahan dan perubahan. Disamping itu juga agar senantiasa memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca Makhrijul huruf maupun Panjang-pendeknya (Mad).


3. Ruang Lingkup Bahasan Ilmu Tajwid :

Mempelajari dan mengenal huruf hijaiyah (ada yang yang menyutkan berjumlah 28 dan ada juga yang 29 dan ada juga yang 30 ), ada dasarnya masing-masing.

a. Yang menyebutkan huruf hijaiyah hanya 28 yaitu “Lam-Alif ” dan “Hamzah ” tidak diikut sertakan karena “lam-Alif ” sudah terwakilkan oleh “Lam ” dan “Alif ” yang disatukan, sedangkan “Hamzah ” sudah terwakilkan oleh “Alif ”.

b. Yang menyebutkan huruf hijaiyah 29 yaitu yang tidak disertakan hanya “Hamzah ”.

c. Yang menyebutkan huruf hijaiyah 30 yaitu keseluruhan huruf hijaiyah termasuk huruf hijaiyah yang tidak diikut sertakan diatas.

Melihat dari pendapat-pendapat diatas kita tidak perlu mempermasalahkannya dan memperdebatkannya, yang perlu kita ketahui bahwa walaupun ada yang meyebutkan huruf hijaiyah 28, 29 atau 30 sekalipun tetap kaidah dan tata cara membacanya sama dan keseluruhan huruf hijaiyah tetap dipergunakan.


4. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Bagi ummat islam belajar ilmu tajwid adalah fardhu kifayah , ada pun membaca Al Quran dengan baik dan benar (sesuai dengan kaidah ilmu tajwid) hukumnya adalah fardhu ‘ain.






Sejarah Pemberian Tanda Baca dan Tajwid

Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, thoâ, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya. selengkapnya...

Tanda-Tanda Baris

# Baris di atas (Fathah)
Memberikan bunyi vokal 'a', contoh: (ba)
# Baris di bawah (Kasrah)
Memberikan bunyi vocal 'i', contoh: (bi)
# Baris di hadapan (Dhammah)
Memberikan bunyi vokal 'u', contoh: (bu)
# Tanda mati (Sukun)



Tanda-Tanda Baris

  1. Baris di atas (Fathah)
    Memberikan bunyi vokal 'a', contoh: (ba)
  2. Baris di bawah (Kasrah)
    Memberikan bunyi vocal 'i', contoh: (bi)
  3. Baris di hadapan (Dhammah)
    Memberikan bunyi vokal 'u', contoh: (bu)
  4. Tanda mati (Sukun)
    Tanda sukun di atas sebuah huruf berarti huruf itu mati, contoh: (ab)
  5. Baris dua di atas (Fathatain)
    Memberikan bunyi 'an', contoh: (ban).
  6. Baris dua di bawah (Kasratain)
    Memberikan bunyi 'in', contoh: (bin).
  7. Baris dua di hadapan (Dhammatain)
    Memberikan bunyi 'un', contoh: (bun).
  8. Sabdu di atas (Syaddah Fathah)
    Contoh: (abba).
  9. Sabdu di bawah (Syaddah Kasrah)
    Contoh: (abbi).
  10. Sabdu di hadapan (Syaddah Dhammah)
    Contoh: (abbu).
  11. Sabdu dua di atas (Syaddah Fathatain)
    Contoh: (abban).
  12. Sabdu dua di bawah (Syaddah Kasratain)
    Contoh: (abbin).
  13. Sabdu dua di hadapan (Syaddah Dhammatain)
    Contoh: (abbun).
  14. Fathah-alif dibaca panjang 2 harakat (hitungan)
    Contoh: (baa).
  15. Kasrah-alif dibaca panjang 2 harakat (hitungan)
    Contoh: (bii).
  16. Dhammah terbalik dibaca panjang 2 harakat (hitungan)
    Contoh: (buu).
  17. Maddah dibaca panjang antara 3 sampai dengan 4 harakat (hitungan)
    Contoh: (baaa) .


Izh-Har

1. Pengertian

Muhammad Mahmud menyatakan, bahwa dalam arti bahasa izh-har berarti “Al-Bayan” artinya terang, jelas dan tampak. Sedang menurut istilah adalah : “Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya, tanpa disertai berdengung”.

Pengertian ini menjelaskan agar cara membaca nun mati atau tanwin jelas dan terang, tanpa disertai dengung jika bertemu dengan huruf izh-har.

2. Huruf-Huruf Izh-har

Huruf Izh-har ada 6 (enam) macam, keenam huruf itu disebut juga huruf Halqi (Tenggorokkan), karena Makhraj Huruf Izh-har pada Halqi. Adapun huruf-huruf Halqi tersebut adalah : Hamzah (ء) , Ha’ (ح) , Kha’ (خ) , ‘Ain (ع) , Ghain (غ) , dan Ha’ ( هـ) . Dengan keenam huruf tersebut, maka bacaan ini disebut sebagai Izh-Har Halqi.



Ikhfa'

1. Pengertian

Menurut Muhammad Mahmud, Ikhfa’ dalam arti bahasa adalah : “Assatru”, artinya menutupi atau menyembunyikan. Sedangkan menurut istilah adalah : “Ikhfa’ adalah pengungkapan huruf yang mati dan tersembunyi atau sunyi dari tasydid pada bacaan antara terang (Idh-Har) dan memasukkan dengan mendengungkan (Idgham) pada huruf pertama”.

Pengertian tersebut tampak jelas, bahwa bacaan Ikhfa’ itu bacaan yang samar-samar antara Izh-Har (terang) dengan Idgham (memasukkan) disertai mendengung.



2. Huruf-Huruf Ikhfa’

Huruf-huruf Ikhfa’ ada 15 (limabelas) macam, selain dari pada huruf-huruf Izh-Har, Idgham, dan Iqlab diatas. Yaitu : Ta’ (ت) , Tsa’ (ث) , Jim (ج) , Dal (د) , Dzal (ذ) , Zai (ز) , Sin (س) , Syin (ش) , Shad (ص) , Dhad (ض) , Tha’ (ط) , Zha’ (ظ) , Fa’ (ف) , Qaf (ق) dan Kaf (ك) .


Idgham

1. Pengertian

Menurut Muhammad Mahmud, Idgham dalam arti bahasa berarti : “Memasukkan sesuatu pada sesuatu”. Arti ini jika dikembangkan, berarti memasukkan huruf nun mati pada huruf Idgham. Sedangkan menurut istilah adalah : “Pertemuan huruf yang mati dengan huruf yang hidup, sehingga huruf itu menjadi satu huruf yang di Tasydid”.

Pada pengertian itu tampak, bahwa cara membaca bacaan Idgham adalah memasukkan nun mati atau tanwin pada huruf-huruf Idgham, dan seakan-akan kedua huruf itu menjadi satu, seperti huruf-huruf yang di Tasydid, walaupun asal kedua huruf tersebut tidak bertasydid.

2. Huruf-Huruf Idgham

Huruf-huruf Idgham ada 6 (enam) macam, yaitu : Ya’ (ي) , Nun (ن) , Mim (م) , Wawu (و) , Lam (ل) , dan Ro’ (ر) . Sehingga jika ada nun mati atau tanwin bertemu dengan salah satu keenam huruf tersebut, maka nun mati atau tanwin tersebut harus dimasukkan padanya.


3. Pembagian Idgham

Dilihat dari pembagian huruf Idgham, maka Idgham dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :


a. 1. Idgham Bi-Ghunnah

Huruf-huruf Idgham Bi-Ghunnah sepeti yang tertera diatas hanya terdiri dari 4 (empat) huruf, yaitu : Ya’ (ي) , Nun (ن) , Mim (م) ,dan Wawu (و) , sisanya termasuk huruf Idgham Bila-Ghunnah.

Idgham Bi-Ghunnah adalah membunyikan nun mati atau tanwin dengan memasukkan pada huruf Idgham Bi-Ghunnah disertai dengan mendengung. Dengan catatan tidak dalam satu kalimat, apabila dalam satu kalimat maka, cara bacanya berubah menjadi Izh-har (Terang). Ulama tajwid menyebutnya Izh-Har Kilmi, atau disebut juga Izh-Har Wajib.


b. 2. Idgham Bila-Ghunnah

Huruf-huruf Idgham Bi-Ghunnah sepeti yang tertera diatas hanya terdiri dari 4 (empat) huruf, yaitu : Lam (ل) dan Ro’ (ر) .

Idgham Bila-Ghunnah yaitu cara membaca nun mati atau tanwin dengan memasukkannya pada huruf Lam atau Ro’, tanpa mendengung. Jika ada nun mati atau tanwin bertemu dengan salah satu dari kedua huruf itu, maka wajib dimasukkan padanya tanpa mendengung.

Huruf idgham ada 6, yaitu yang tergabung dalam kalimat:

Fathatain



Iqlab

Pengertian Iqlab

Menurut Muhammad Mahmud, Iqlab dalam arti bahasa adalah : “Mengubah bentuk sesutu dari asalnya”. Yaitu mengubah huruf nun mati atau tanwin pada huruf Iqlab. Sedangkan menurut istilah adalah : “Menjadikan huruf satu pada ketentuan huruf lain disertai mendengung”.

Apabila nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf Iqlab, maka nun mati atau tanwin itu harus dibaca sebagaimana bacaan Iqlab disertai dengan mendengung.


Huruf Iqlab

Huruf Iqlab hanya ada satu, yaitu : Ba’ (ب) . Maka apabila ada nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf Ba’, maka nun mati atau tanwin itu harus dibaca menjadi Mim (م) , karena bacaan Iqlanb.



Al-Hadiid (57): 6

Tiada ulasan: