Khamis, 21 April 2011

POLITIK DALAM ISLAM....BIAR IKUT@BERPANDU QURAN DAN HADIS....DAN PERJUANG UNTUK ALLAH SAJA...MENANG KALAH...KETENTUAN ALLAH SWT

Politik Islam


Politik Islam (bahasa Arab: سياسي إسلامي) adalah Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra ertinya dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.


Dalil Politik Islam

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :

"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda :

"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)

Pemikiran politik Islam

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tatacara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Bolehlah kita katakan pemikiran para pemikir Islam yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ini kerana, ketika sejak Revolusi Perancis agama Kristien relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara iaitu bahawa gereja harus terpisah dari negara. Namun begitu, Islam masih lagi tetap pada persoalan yang satu iaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.[1]

Gerakan politik Islam

Islam sebagai gerakan politik mempunyai sebuah ciri beraneka yang pada berlainan waktu menginkorporasikan elemen-elemen banyak gerakan politik lain, sementara pada waktu yang sama menggunakan pandangan-pandangan keagamaan fundamentalisme Islam, terutamanya pandangan Islam sebagai agama politik.

Suatu tema yang umum pada abad ke-20 adalah pertentangan terhadap perselisihan kaum, kolonialisme dan imperialisme, dalam pembentukan Empayar Turki Uthmaniyyah dan Empayar British (walaupun Empayar Uthmaniyyah itu sendiri adalah gerakan politik Islam). Akhirnya sosialisme sebagai suatu viable alternative dengan akhirnya Kesatuan Soviet dan Perang Dingin telah menambahkan appeal gerakan revolusi Islam, terutamanya dalam konteks rejim tidak-demokrasi dan korupsi sepanjang dunia Islam. Islamisme membesar sebagai reaksi pada trend-trend ini, dan sebagai suatu desire untuk membentukkan sebuah kerajaan berasaskan rukun-rukun Islam.

Pada jelasnya, skop politik Islam adalah sangat lebar ia mengencompass apa-apa jenis gerakan revolusi atau parti di mana-mana negara Islam. Invariably, ia bermakna bahawa ia menyampurkan sekali such a variety of gerakan nasionalis, Marxisme dan perkauman yang ia tidak ada lagi kandungan ideologi yang benar. Ciri-ciri satunya beristilah yang ia ada adalah nasionalisme dalam sebuah konteks Islam; tetapi ini dijelaskan secara sedikit. Walaubagaimanapun, dalam kitab al-Quran, tiada apa yang menyatakan bahawa Politik perlu digunakan untuk menubuhkan Islam. Jadi, ia mungkin adalah suatu benda yang bahaya dari pemandangan Islam bahawa seorang mengaplaikan Islam untuk mendapatkan kelebihan politik.

Pandangan Orientalis Barat tentang Politik Islam

  1. Dr. V. Fitzgerald berkata : "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad-dekad terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mendakwa diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahawa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras, yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain".[2]
  2. Prof. C. A. Nallino berkata : "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas wilayah negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".[3]
  3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama, ia juga mencerminkan teori-teori perundangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".[4]
  4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Kerana pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politik yang bijaksana, atau "negarawan".[5]
  5. Prof D.B. Macdonald berkata : "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama dalam undang-undang Islam".[6]
  6. Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang ketua agama dan ketua negara".[7]
  7. Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahawa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang bebas. Ia mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundangan dan institusi".[8]


Gerakan liberal dalam Islam biasanya mengistilahkan diri meraka dalam pembantakan ke gerakan politik Islam, tetapi sering memeluk banyak unsur-unsur anti-imperialisme.

Falsafah Islam moden, Islamisme, Islam Militan dan keganasan Islam membincangkan topik berkenaan.



POLITIK DALAM ISLAM, SUATU KEHARUSAN

oleh : Shofia M. Abdullah

" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran : 110).

Allah SWT telah menetapkan bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik diantara manusia. Status ini diberikan kepada kaum mulimin agar mereka menjadi pemimpin dan penuntun bagi umat-umat lain. Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an menafsirkan bahwa yang layak menjadi pemimpin umat manusia hanyalah "orang-orang yang berpredikat terbaik". Karena ingin meraih predikat umat terbaik itulah, umat Islam terdahulu tidak pernah berhenti ataupun lemah semangatnya dalam perjuangan menyebarkan risalah Islam ke seluruh permukaan bumi. Mereka yakin bahwa metode untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanyalah dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Islam dijadikan sebagai pola kehidupan yang menyeluruh. Umat Islam percaya dan yakin bahwa hanya Islam yang mampu memecahkan seluruh urusan manusia secara sempurna, menyeluruh, praktis dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan.

Namun saat ini umat Islam berada dalam kondisi dan situasi yang lemah serta paling rendah dalam memahami Islam. Kondisi ini telah terbukti menyebabkan segala bentuk pemikiran-pemikiran yang merusak menyusup kedalam tubuh umat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gangguan dan keresahan. Umat Islam cenderung mudah mengabaikan hukum-hukum Islam. Akhirnya kehidupan mereka merosot sampai ke taraf rendah. Dalam kondisi ini, umat Islam tidak memiliki peranan lagi dalam percaturan politik internasional.

Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat dan membangkitkannya kembali menempati kedudukan mulia, selain dari mengembalikan umat pada sifat yang menjadikannya umat terbaik, yakni beriman kepada Allah SWT, melaksanakan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar), sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat diatas.

Umat yang beriman kepada Allah SWT, konsekuensinya adalah menjadi umat yang tunduk hanya kepada Allah SWT. Yakni tunduk kepada ketentuan-Nya. Demikian pula umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti umat yang menegakkan tolok ukur segala sesuatu berdasarkan ridlo dan murka Allah atau baik dan buruk menurut Allah. Hal ini berarti kedudukan mulia sebagai umat terbaik akan bisa diraih kembali oleh umat Islam, bila mereka mendasarkan pengaturan segala urusannya, bahkan urusan umat manusia (lainnya) diatas perintah dan larangan Allah SWT, yang termaktub di dalam kitabbullah dan sunah Rasul-Nya.

Berpolitik Hukumnya Fardlu

Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat manapun. Ia merupakan upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Kalau kita memandang seseorang dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu yang hidup dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai seorang politikus. Di dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya sendiri, urusan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun negara yang memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah mereka) bisa disebut sebagai politikus. Kita bisa mengenali hal ini dari tabiat aktivitasnya, kehidupan yang mereka hadapi serta tanggung jawabnya.

Islam sebagai agama yang juga dianut oleh mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi ibadah mahdloh individu saja.

Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’ hukumnya fardlu (wajib)sebagaimana Rasulullah bersabda :

"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad SAW.

Firman Allah SWT:

"….maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (Al-Maidah : 48)

"…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". (Al-Maidah :44)

Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44,45, 47 dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah, yakni hukum syari’at Islam.

Terlaksananya urusan umat sesuai dengan hukum syari’at Islam tidak hanya meliputi urusan dalam negerinya saja, melainkan juga urusan luar negeri. Hal ini karena kaum muslimin juga melakukan interaksi dengan negara-negara lain, yang dalam setiap pelaksanaannya harus selalu terikat dengan syari’at Islam.

Bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat ini bisa berarti mengurusi kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, mengingkari kejahatan dan kezholiman penguasa, peduli terhadap kepentingan dan persoalan umat, menasehati pemimpin yang lalim, mendongkrak otoritas penguasa yang melanggar syari’at Islam, serta membeberkan makar-makar jahat negara-negara musuh serta hal-hal lain yang berkenaan dengan urusan umat.

Berpolitik Untuk Urusan Dalam dan Luar Negeri

Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.

Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?

Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.

Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.

Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan negara-negara lain.

Bila kita telaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib. Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib, sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.

Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :

"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"

lafazh (nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.

Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :

" Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".

Dari Abi Umamah, ia berkata :

" Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)

Menasehati penguasa yang lalim memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.


Da’wah dan Politik

Bila kemudian kita kembalikan kepada tanggung jawab umat yang harus mengemban da’wah Islam keseluruh dunia, maka aktivitas da’wah ini tidak akan bisa dilakukan dengan mudah kecuali bila umat memahami politik pemerintahan negeri-negeri tersebut, yaitu politik pemerintahan negara yang berkuasa (yang rakyatnya mereka da’wahi). Mengemban da’wah adalah fardlu. Dalam hal ini seseorang tidak akan berhasil kecuali dengan memahami masalah politik secara keseluruhan (dalam dan luar negeri), maka memahami masalah politik adalah fardlu pula bagi kaum muslimin. Sebagaimana kaidah sya’ra menyebutkan :

"apabila suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib"

Dengan demikian ketika kaum muslimin mendapat tanggung jawab mengemban da’wah Islam kepada seluruh manusia, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk selalu mengikuti perkembangan dunia dengan kesadaran penuh, memahami masalah-masalah dan berbagai kondisinya, mengenali kecenderungan negara dan rakyatnya, mengikuti aktivitas perpolitikan yang terjadi di dunia (internasional), memperhatikan rencana politik negara-negara mengenai strategi penerapan politik dan tata car hubungan antara sebagian negara dengan negara lainnya, termasuk manuver-manuver politik yang akan dilakukan suatu negara. Mereka (kaum muslimin) harus memahami percaturan politik dunia Islam dalam konstalasi percaturan politik internasional. Semua ini dilakukan agar kaum muslimin mudah untuk menetapkan cara-cara menegakkan, memapankan dan mempertahankan eksistensi negara mereka di tengah-tengah posisi internasional di dunia ini. Dengan demikian kaum muslimin akan dapat mengemban da’wah keseluruh penjuru bumi.

Bagaimana Dengan Kaum Muslimin Saat Ini ?

Pada kondisi seperti sekarang ini, kaum muslimin masih belum menyandarkan seluruh pengaturan kehidupannya dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada mereka. Secara umum umat Islam (termasuk di Indonesia) belum menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya. Yaitu menjadikan aqidah Islam sebagai landasan seluruh pengaturan urusan kehidupannya. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam adalah halal dan haram. Sedangkan metode operasional (untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut) adalah dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara’. Maka pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang yang halal, baik persoalan tersebut wajib, mandub (sunah), maupun mubah, akan diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh, akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.

Bila kita perhatikan saat ini aqidah Islam belum diambil dan dimiliki oleh kaum muslimin sebagai aqidah siyasiyah meskipun tetap dimiliki sebagai aqidah ruhuyah. Sehingga pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah tersebut tidak pernah diwujudkan dalam realitas kehidupan, sekalipun masih ada pada individu-individu muslim.

Upaya untuk membangkitkan umat dan mengembalikan kaum muslimin sehingga mampu meraih kemuliaannya kembali sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah SWT., tidak lain hanyalah dengan menyadarkan kaum muslimin bahwa Islam adalah aqidah ruhiyah dan siyasiyah. Kesadaran ini harus ditanamkan sampai benar-benar membekas dalam arti berpengaruh langsung terhadap kehidupannya. Mereka harus senantiasa mengkaitkan aqidah tersebut dengan pemikiran-pemikiran tentang keduniaan, termasuk pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan dunia. Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada Al Qur’an dan segala isinya. Mereka pun harus memperdalam makna keimanan kepada Al-qur’an yang diturunkan Allah SWT bagi seluruh umat manusia diakhir zaman ini.

Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Al-Qur’an dengan keimanan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Al-Qur’an. Demikian pula keimanan kepada sunnahnya. Kemudian setelah itu, beralih kepada upaya untuk merubah pandangan hidup mereka dengan suatu pandangan hidup yang dibangun di atas aqidah tersebut. Hal ini berarti beralihnya standar kehidupan kepada halal dan haram, bukan azas manfaat ataupun yang lainnya. Selanjutnya berupaya untuk mengatur seluruh aspek kehidupannya di dunia ini sesuai dengan standar halal haram tersebut.

Demikian kerangka pandang politik didalam Islam. Standar ini bersifat tetap dan pasti yang berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kiamat nanti. Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi suatu kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islam sebagi cara pandang untuk memelihara dan mengurusi segala urusan hidupnya. Kesadaran inilah yang harus ditumbuhkan pada kaum muslimin saat ini. Bahkan menjadi suatu hal yang ‘amat penting’, mengingat bila kaum muslimin meninggalkan persoalan ini, maka mereka akan berdosa. Sebagaimana dosa-dosa mereka karena meninggalkan kewajiban yang lain.

Selain kewajiban bagi setiap individu muslim untuk memiliki kesadaran politik yang berlandaskan Islam, secara syar’I kaum mulimin juga diperintahkan untuk mewujudkan kelompok (dalam hal ini adalah Kutlah Siyasi) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Allah SWT berfirman :

"Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada kema’rufan serta mencegah dari kemungkaran,. Dan merekalah orang-orang yang beruntung". (QS : Ali Iran :104)

Dengan dalil ini berarti Allah SWT telah memfardlukan kaum muslimin agar bergabung dalam Kutlah siyasi yang mengemban dakwah Islam, dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam (isti’nafil hayah al Islamiyah). Di dalam ayat tersebut,Allah SWT telah menjelaskan metode yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.

Mengambil pengaturan urusan kaum muslimin dengan selain aturan yang diturunkan Allah merupakan kemungkaran yang telah jelas. Sedangkan mewujudkan pengaturan urusan kaum muslimin dengan aturan yang diturunkan Allah SWT merupakan amar ma’ruf yang lebih agung. Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslimin agar mereka melaksanakan kaum muslimin.

Apa lagi, yang bisa dilakukan kaum muslimin kini selain dari kembali kepada kesadaran politik dengan perspektif (kerangka pandang) yang sesungguhnya kemudian berupaya mewujudkan kelompok-kelompok (ahjab siyasiyah) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam ? Demikian bila kaum muslimin mau kembali pada makna politik yang sesungguhnnya.

Wallahu a’lam bisshowab



Politik Menurut Kacamata Islam


Assalamu'alaikum wr,wb.

Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah mengganggu aktivitas ustadz.

oiya... saya mau bertannya nih tentang politik dipandang dari agama Islam.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Pemilu sudah kita laksanakan, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Pilpres. Ketika kampanye berlangsung, banyak sekali para calon yang menguraikan janji-janjinya demi tercapainya suatu maksud tertentu. Tetapi, seperti yang sudah-sudah, banyak sekali calon yang jadi/ menduduki kursi tersebut seolah-olah ataupun dengan sengaja melupakan janji-janjinya tersebut.

Menurut ustadz, apa sih hukumnya menurut Islam jika orang-orang tersebut tidak memenuhi janjinya?. Apakah di dalam Islam juga dianjurkan kita untuk berpolitik?,kalau iya, bagaimana caranya berpolitik yang baik menurut Islam?.

Saya mohon penjelasan dari ustadz atas pertanyaan tersebut.

Terima kasih...

Wassalamu'alaikum wr,wb.

Ruri Sandi


Waalaikumussalam Wr Wb

Janji Para Caleg

Cara klasik yang hingga saat ini masih dianggap ampuh dalam menarik dukungan rakyat baik pada pileg maupun pilpres adalah dengan mengumbar janji-janji manis yang seringkali tidak menjejak ke bumi.

Tentunya janji-janji yang sebagian besar berupa ucapan-ucapan membuai atau iming-iming yang melenakan bukanlah sebatas janji antara para kandidat itu dengan rakyat akan tetapi juga antara mereka dngan Allah swt.

Janji didalam bahasa arab bisa berarti ‘ahd atau wa’d. Diantara para ulama ada yang menyamakan antara ‘ahd dengan wa’d, ada yang mengatakan bahwa keduanya berbeda, mereka mengkhususkan ‘ahd adalah janji terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah swt sedangkan wa’d adalah selainnya.

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ‘ahd adalah wa’d yang disertai dengan persyaratan, seperti : “jika kamu melakukan ini maka aku akan melakukan itu”
Islam mengharuskan seseorang yang berjanji untuk berpegang teguh dengannya dan tidak mengingkarinya baik janjinya kepada Allah swt maupun kepada manusia, sebagaimana firman-Nya :


Artinya : “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji.” (QS. An Nahl)

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ


Artinya : “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al mukminun : 8)

Al Baghowi mengatakan bahwa makna dari “mereka memelihara janji-janjinya” adalah memelihara apa-apa yang diamanahkan kepada mereka serta menunaikan janji-janji yang diutarakannya kepada manusia.” (Tafsir al Baghowi juz V hal 410)

Sementara itu Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa amanah adalah apa yang diamanahkan kepada mereka sedangkan janji (‘ahd) adalah apa yang telah dijanjikan antara dririnya dengan Allah swt atau antara sesama manusia. Dan didalam ayat ini digabungkan antara janji dan amanah, keduanya adalah beban yang dipikul manusia baik urusan-urusan agama maupun dunia. Amanah lebih umum daripada janji, setiap janji adalah amanah. (Fathul Qodir juz III hal 679)

Sedangkan pelanggaran janji ini bisa disebut dengan ikhlaf (pengingkaran) atau kadzib (dusta). Ikhlaf berarti ‘admul wafaa bil ‘ahdi (tidak memenuhi janji). Sedangkan kadzib, diantara fuqaha ada yang menyamakannya dengan ikhlaf namun dari mereka ada yang memisahkan diantara keduanya, yaitu kadzib (dusta) adalah terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu dan saat ini sedangkan ikhlaful wa’d (mengingkari janji) adalah untuk sesuatu yang berkaitan dengan masa datang.

Adapun hukum dari menyalahi ‘ahd atau wa’d menurut mereka yang membedakan antara keduanya—‘ahd adalah terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah sedangkan wa’d adalah selainnya—maka menyalahi ‘ahd adalah haram sedangkan hukum menyalahi wa’d maka Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah berspakat apabila seseorang telah berjanji (wa’d) tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka seharusnya dia menepati janjinya itu. Namun apakah ini wajib atau sunnah ? maka terdapat perbedaan ulama :

Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah, apabila orang itu mengingkarinya maka ia telah kehilangan keutamaan dan termasuk perbuatan yang makruh sekali akan tetapi orang itu tidak berdosa.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa penunaian wa’d adalah wajib, Imam Abu Bakar bin ala Arobi al Maliki mengatakan bahwa orang yang paling terkenal berpendapat seperti ini adalah Umar bin Abdul Aziz.

Demikianlah, namun barangsiapa yang berjanji sementara itu dia berniat untuk mengingkarinya maka sudah dipastikan bahwa orang itu berdosa dan didalam dirinya terdapat cabang dari kemunafikan, sabda Rasulullah saw,”Tanda-tanda kemunafikan adalah tiga : jika berbicara maka dia berbohong, jika berjanji dia ingkari dan jika dia diberi amanah maka dia khianat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 715)

Politik Dalam Islam

Tentunya sebagai agama yang mencakup semua aspek kehidupan, islam tidaklah melupakan atau meninggalkan permasalahan politik, yang dikenal dengan istilah “siyasah”.

Jika dikatakan saasal waliy ar ro’iyah berarti pemimpin itu memerintahkan, melarang dan mengendalikan rakyatnya. Karena itu menurut terminologi bahasa siyasah menunjukkan arti mengatur, memperbaiki dan mendidik.

Sedangkan menurut etimologi, siyasah (politik) memiliki makna yang berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Disebutkan bahwa ia adalah upaya memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka. Al Bujairumiy mengatakan bahwa politik adalah memperbaiki urusan-urusan rakyat dan mengatur perkara-perkara mereka.

Politik dengan makna seperti ini merupakan dasar hukum, karena itu tindakan-tindakan para penguasa negara yang terkait dengan kekuasaan disebut dengan politik. . Ilmu politik adalah ilmu yang mengetahui tentang macam-macam kekuasaan, perpolitikan sosial dan sipil, keadaan-keadaannya : seperti keadaan para penguasa, raja-raja, pemimpin, hakim, ulama, ekonom, penanggung jawab baitul mal dan yang lainnya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 8963)

Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa islam bukanlah melulu aqidah teologis atau syiar-syiar peribadatan, ia bukan semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara.

Tidak, tidak demikian…islam adalah akidah dan ibadah, akhlak dan syariat yang lengkap. Dengan kata lain, islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.

Bahkan bagian ibadah dalam fiqih itu pun tidak lepas dari politik… Islam memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum dan pengarahan-pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani. (Fatwa-fatwa Kontemporer jlid 2 hal 897 – 898)

Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Abul Wafa’ ibnu ‘Aqil al Hambali bahwa politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara’.

Ibnul Qoyyim juga mengatakan bahwa sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara’ bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal ini kami menyebutnya dengan politik (siyasah) karena mengikuti istilah mereka. Padahal, sebenarnya dia adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. (at Thuruq al Hukmiyah hal 17 – 19)

Islam adalah agama yang mengikat segala sesuatunya dengan aturan agama, begitupula didalam urusan politik ini. Islam tidak mengenal adanya penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, meskipun tujuan itu mulia. Islam tidak hanya melihat hasil tetapi juga proses untuk mendapatkan hasil.

Oleh karena itu didalam berpolitik pun seorang politisi maupun pemimpin islam diharuskan berpegang dengan rambu-rambu syariah dan akhlak mulia. Dengan kata lain bahwa segala cara berpolitik yang bertentangan dengan syariah atau melanggar norma-norma agama dan akhlak islam maka ia dilarang.

Wallahu A’lam


POLITIK ISLAM:ANTARA DEMOKRASI DAN TEOKRASI



Ditulis Oleh Khalif Muammar

Masyarakat dunia hari ini dihadapkan dengan dua pilihan: sistem demokrasi atau sistem teokrasi, yang pertama produk sekular dan yang kedua produk 'agama'. Karena pilihan ini diberikan oleh kuasa dunia yang memimpin dunia, pilihan ini menjadi polemik di kalangan cendekiawan Muslim. Tamadun Barat yang telah maju, setelah berusaha membebaskan diri dari cengkraman 'agama' (gereja), tentunya akan bangga dengan kejayaannya sekarang dan melihat penyebab kemajuannya adalah berkat keberhasilan sekularisasi di dunia Barat. Pada Hari ini, dalam dunia yang serba serbinya diwarnai dengan materialisme dan dualisme, pilihan ini diberikan atas nama kemajuan dan pembangunan, pihak kedua hanya bisa menerima atau menolak tentunya dengan konsekwensi; menyokong sebagai kawan atau menentang sebagai lawan "you are either with us or you are against us" demikianlah seperti telah diungkapkan oleh George W. Bush ketika melancarkan perang terhadap terorisme.

Pemikiran Barat telah lama dikongkong oleh cara berfikir dikotomis; agama atau sekular, dunia atau akhirat, manusia atau Tuhan. Cara berfikir dikotomis ini lahir akibat daripada dualisme yang merupakan elemen penting dalam sekularisme. Dengan metodologi seperti ini juga Abu Zayd memberi dua alternative kepada umat Islam: al-khit}a>b al-di>ni> (diskursus agama) atau al-khit}a>b al-‘ilma>ni>(diskursus sekular). Dengan segala keburukan yang ada pada diskursus agama (demikianlah digambarkannya) maka bagi beliau pilihan satu-satunya adalah diskursus sekular.[1] Dalam framework berfikir Barat seperti ini tidak mungkin ada jalan keluar daripada dualisme; tidak ada third alternative; tidak ada sistem yang dapat menggabungkan dunia dengan akhirat, agama dengan keduniaan, produk manusia dengan produk Tuhan.


Akibat putus asa dengan pendekatan modernisme yang monolitik ini lahirlah pemikiran postmodernism (pascamodenisme) yang mengkritisi hebat modernisme tetapi meneruskan tradisi sekularisme dan anti-agamanya. Dalam kebuntuan dan kerancuan pemikiran Barat ini, Islam sebenarnya telah lama memberikan penyelesaian atau solusi bagi segala persoalan manusia, tapi sayangnya manusia terlalu angkuh dan lupa diri. Sebenarnya manusia tidak hanya mempunyai dua pilihan; ada banyak pilihan lain yang terbuka untuk dinilai dengan akal yang sehat. Al-Qur’an mendorong manusia berfikir secara lateral dan konstruktif bukan reaktif dan hanya mencari kesalahan ide-ide lain.


Problematika Demokrasi.

Demokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda; wajah ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Sebagai produk sekularisme, demokrasi lahir hasil pergelutan di antara rasionalitas dan kuasa gereja. Akibat pergelutan yang dahsyat dan panjang ini minda bawah sedar masyarakat Barat telah terpatri dengan kesimpulan bahawa pemerintahan agama hanya akan berdampak kemunduran. Bentuk pemerintahan sekular, liberal dan pluralis adalah satu-satunya solusi agar tidak berlaku lagi pemerintahan despotik dan autoritarian. Dan pada kenyataannya sistem politik ini yang telah dibangun oleh pemikir-pemikir politik Barat telah berhasil membangun ekonomi dan sosio-politik masyarakat Barat.


Wajah manis demokrasi terlihat ketika menyuarakan "government of the people, by the people, for the people". Demokrasi yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Terjaminnya kebebasan, persamaan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Dan yang paling penting sekali wujudnya pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung-jawab kepada rakyat. Demokrasi menjadi semakin penting dan relevan untuk menghindari pemerintahan despotik, kuku besi, dan otoritarian. Wajah manis inilah yang berhasil menarik minat sebahagian intelektual Muslim untuk mengadopsi sepenuhnya demokrasi Barat.


Akan tetapi tidak sedikit para intelektual yang menyedari bahwa demokrasi sebenar hanya tinggal slogan dan retorika. Terlalu ramai yang tidak menyedari wajah hodoh demokrasi 'the ugly face of democracy'. Ini karena keburukan demokrasi akan hanya terlihat dengan minda yang bersih dari sekularisasi. Kritik pedas terhadap demokrasi ini banyak juga dilaungkan oleh cendikiawan Barat sendiri. Dalam bukunya Reaganism and the Death of Representative Democracy, Walter William seorang professor emeritus dari Universiti Washington, mengatakan bahwa pemerintahan Amerika semenjak zaman Reagan hingga saat ini adalah "Government of the Wealthy, for the wealthy"[2](pemerintahan si kaya untuk kepentingan si kaya) Perubahan nilai dalam demokrasi ini disebabkan adanya sistem lobbi yang memberi peluang bagi kapitalis-kapitalis, yang mayoritasnya Yahudi, untuk menentukan segala kebijaksanaan pemerintah.


Kritikan lebih pedas lagi diutarakan oleh Chomsky, beliau mengatakan bahwa Amerika tidak kurang terorisnya berbanding mana-mana negara yang diklaim sebagai teroris. Karena Amerika berambisi untuk mewujudkan empayar dunia dan semua konspirasi dilakukan untuk merealisasikan "imperial grand strategy"(strategi penjajahan yang besar).[3] Antara konspirasi yang sudah tidak asing lagi adalah konspirasi 11 september yang menjadi lesen perang terhadap keganasan umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Mathias Brockers, penulis Jerman yang berhasil mendedahkan konspirasi Amerika agar dunia percaya ia dilakukan oleh teroris.[4]


Demokrasi mempunyai banyak kelemahan. Sesiapapun yang mengkaji demokrasi secara substantif dan kritis akan dapat melihat kelemahan dan kerancuan dalam sistem ini. Dalam sistem liberal demokrasi, berbanding dengan sistem Islam, terdapat kekaburan otoritas, pada teorinya rakyat berdaulat kedaulatan rakyat. Namun rakyat hanya berdaulat beberapa tahun sekali. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam system demokrasi terlalu banyak slogan yang jauh dari kenyataan, pada kenyataannya kepentingan golongan elit lebih diutamakan berbanding kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat tetapi mewakili diri sendiri dan golongan tertentu (pendanan partai). Politik uang dan penipuan (immoralitas) diterima sebagai sebagian dari sistem politik yang sekular.

Terdapat kecendrungan sebagian cendekiawan muslim untuk menerima bahkan mengagungkan dan mensakralkan demokrasi walhal tiada produk manusia yang sempurna bisa ditengarai sebagai kesan inferiority complex. Sebagian yang lain setelah menolak eksistensi politik Islam terpaksa menyerah sepenuhnya kepada produk Barat yang sekular. sebagian intellektual muslim yang mengusulkan garis persamaan antara Islam dengan demokrasi sebenarnya tanpa disadari telah mengambil jalan pintas dan tidak ingin pusing membangun sistem politik Islam. Di indonesia mayoritas intelektual menerima sistem demokrasi liberal tanpa syarat dan kritikan. Nurcholish Madjid, Amin Rais, Syafi‘i Ma’arif, Munawir Syadzali dan Abdurrahman Wahid di antara yang menyuarakan ide demokratisasi Indonesia sepenuhnya mengikuti pemikiran politik sekuler.[5] Bagi Nurcholish, demokrasi Barat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. [6]

Memang demokrasi mempunyai idealisme-idealisme yang sangat baik walaupun tidak sempurna. Akan tetapi pada realitinya demokrasi biasa digunakan untuk mengaburi mata rakyat agar percaya pada pemerintah. Teori yang baik akan tinggal slogan dan retorika kalau orang yang terlibat tidak jujur dan amanah. Perkara yang sama juga bias berlaku pada politik Islam, Islam memiliki dasar-dasar politik yang sangat baik walaupun masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkannya. Teori politik Islam akan kekal menjadi teori dan retorika seandainya keilmuan dan kesadaran umat Islam masih rendah.

Setelah segala apa yang dilakukan oleh negara demokrasi (Amerika) contoh terhadap setiap negara dan masyarakat yang tidak sehaluan dengannya maka apa masih boleh dikatakan negara demokrasi menjamin keadilan dan hak-hak asasi manusia? Rakyat sudah tidak lagi menjadi penentu dan pemimpin bukan lagi mewakili rakyat. Pemerintah yang menggunakan demokrasi sebagai alat untuk berkuasa hanya mewakili dan mendengar dari satu golongan saja, yaitu para kapitalis dan orang-orang yang berkepentingan dari dalam maupun luar negeri.


Tipologi ‘Islam Politik’

Sejak awal lapan puluhan, timbul istilah 'Islam politik', sebagai satu versi Islam yang dicipta oleh golongan ‘fundamentalis’. Muhammad Said al-Ashmawi di antara orang yang mempopulerkan terma ini. Dalam bukunya yang sangat controversial tetapi sebenarnya hanya menyambung ide Ali Abd al-Raziq, beliau menggunakan istilah al-Islam al-Siyasi sebagai Islam bentuk baru yang diada-adakan oleh kaum fundamentalis.[7] Oleh kaum liberal, mengikuti para Orientalis, digambarkan seolah-olah ada banyak versi Islam, karena masing-masing tidak boleh mengklaim Islamnya yang paling betul, maka dikatakan semuanya valid. Ada Islam ritual, Islam sufi, Islam literal, Islam progressif dsb. Islam menjadi subjek yang relatif dan terbuka kepada penafsiran manusia. Tipologi dan kategorisasi seperti ini tidak seharusnya diterima oleh umat Islam.


Namun sayangnya, tipologi seperti ini sudah menular dan mengakar dalam diri intelektual Muslim. Sehingga ia menjadi lumrah dalam diskursus pemikiran Islam kontemporari. Bagi Azyumardi Azra misalnya, beliau punya alasan yang kuat untuk mengkategorikan Islam ritual, Islam kultural, dan Islam politik karena beliau melihat dari sudut sosiologi dan antropologi.[8] Walaubagaimanapun, ini tidak sama sekali menjustifikasikan pelabelan tersebut memandangkan hal ini berkaitan dengan prinsip no-versions dan anti-dikotomi dalam Islam.


Disamping karena hasil olahan Barat, kategorisasi seperti ini tidak relevan langsung dengan umat Islam. Ini karena berbeda dengan agama lain, Islam bukan produk manusia. Dengan pemahaman Islam yang mendalam akan tanpak dengan jelas bahawa Islam tidak memerlukan inovasi untuk memperbaiki dan meningkatkan agama sendiri. Islam yang asli daripada Allah telah sempurna dan sesuai sepanjang zaman. Tinggal lagi persoalannya adalah sejauhmana kita memahami Islam, bukan apa bentuk Islam yang kita inginkan? Kekeliruan ini timbul akibat krisis otoritas. Umat pada umumnya tidak lagi dapat membedakan yang mana rujukan yang sah dan mana rujukan yang perlu ditolak. Ini karena ramai yang berbicara tentang Islam tidak lagi bersandarkan kepada otoritas. Yusuf al-Qaradawi, yang dianggap moderat oleh masyarakat dunia, mengkritik habis-habisan pelabelan Islam politik kepada golongan Islamis. Bagi beliau terma itu dibuat untuk memojokkan umat Islam dan mengasingkan masyarakat dari terlibat dan menyokong perjuangan Islam melalui kaedah demokratis yang sah.[9]


Namun demikian, di kalangan kaum liberal khususnya, buah pemikiran Ashmawi diterima dengan baik walaupun bukunya al-Islam al-Siyasi bukan satu karya yang berdasarkan kajian ilmiah. Ia hanyalah refleksi beliau terhadap situasi dan kondisi Islam di Mesir. Perbincangan mengenai Syari’ah misalnya tidak sama sekali merujuk kepada definisi para pakar Shari’ah. Buku yang tidak mengandungi bibliografi dan catatan kaki (kecuali ayat al-Qur’an dan satu dua buku) tidak pantas dianggap sebagai buku ilmiah dan kajian objektif terhadap Islam maupun pemikiran Islam apalagi menjadi rujukan dalam memahami Islam. Ironisnya, beliau kini dianggap salah seorang guru besar Islam liberal.[10]



Antara Depolitisasi Islam dan Politisasi Islam

Di mesir perdebatan di antara golongan Islamis dan sekularis cukup hangat dan seringkali berakhir dengan tragedi. Tokoh-tokoh sekular walaupun sebagiannya mempunyai latarbelakang agama yang cukup kuat seperti Ali Abd al-Raziq yang menentang keras dikaitkannya Islam dengan politik. Menurutnya, Islam hanya sebuah agama ritual, tidak ada sistem politik dalam Islam. Sistem politik Islam dikatakan rekayasa para ulama di zaman 'pertengahan'. Bagi menjawab kedudukan Rasulullah sebagai pemimpin dan pengasas Negara Islam Madinah, mereka mengatakan bahawa itu hanya satu kebetulan. [11]


Nurcholish Madjid sejak tahun 70an telah menyarankan sekularisasi. Baginya Islam tidak lebih dari sekadar agama seperti agama-agama lain yang wujud di dunia.[12] Atas dasar ini, agama perlu dibedakan dan dipisahkan daripada politik. Oleh karena itu, menurut Nurcholish tidak ada politik Islam, ekonomi Islam pendidikan Islam dsb. Baginya negara hanyalah bagian dari aspek keduniaan yang bergantung sepenuhnya kepada nalar dan masyarakat, sedangkan agama berasal dari alam ghaib yang hanya berdimensikan spiritual dan personal. [13]

Ashmawi, mengikuti jejak langkah Ali ‘Abd al-Raziq, menyatakan bahwa Tuhan menginginkan Islam sebagai agama tetapi manusia menginginkannya menjadi politik (ara>da Alla>h li al-Isla>m an yaku>na di>nan, wa ara>da bihi al-na>s an yaku>na siya>satan).[14] Baginya agama itu universal sifatnya, sedangkan politik itu partikular dan temporal. Maka keduanya tidak mungkin bersatu.

Untuk menjawab keraguan yang ditimbulkan oleh Ashmawi ini perlu diklarifikasikan definisi din atau agama. Nyatanya bagi kaum liberal yang dimaksudkan dengan din dan agama adalah hal yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, maka agama tidak lebih dari sekadar urusan spiritual dan ritual demikianlah dinyatakan oleh para ahli filsafat, antropologis dan sosiologis. Lalu mengapakah Islam harus tunduk kepada kerangka pemikiran yang dibentuk oleh Barat yang sekular. Pada hakikatnya, Islam tidak hanya menyangkut perkara spiritual dan ritual tetapi juga segala bidang kehidupan manusia. Persoalan yang perlu dijawab adalah mengapa Islam harus dibatasi oleh konsepsi dan definisi yang dicipta oleh orang bukan Islam? Tidak mungkinkah Islam dinilai dan dirujuk mengikut kehendak Tuhan bukan keinginan manusia? Dalam framework pemikiran Islam, Islam yang primordial dan universal sifatnya mengatur dan memberi petunjuk pada perkara temporal dan partikular, dengan konsepsi sedemikian ajaran Islam secara hakikatnya membumi dan realistik.

Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni menyedari perbedaan konsep agama dan implikasinya terhadap hubungan antara agama dan politik. Dalam bukunya, Khas}a’is} al-Tashri>‘ al-Isla>mi> fi al-Siya>sah wa al-H}ukm, al-Durayni berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama.[15] Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.[16] Ini sejajar dengan ungkapan Ibn Taymiyyah min a‘z}am wa>jiba>t al-di>n[17] (satu kewajiban agama yang utama).

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang menurut Kurzman adalah salah seorang tokoh Islam Liberal.[18] Beliau mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.[19]

Memang Rasulullah s.a.w. bukan diutus sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai Rasul. Tetapi perlu diketahui konsep kerasulan beliau tidak sebatas menyampaikan mesej Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh dan tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life). Rasulullah membawa mesej perubahan, karena Islam yang dibawanya Islam yang mempunyai 'civilizing force'. Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi ketamadunan di mana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah, membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial dan membangun ekonomi, politik, sosial umat Islam di Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan pendapat prof. Muhammad Hamidullah yang mengatakan piagam Madinah yang dirumus oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena ia dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law).[20] Ini tentunya bukan satu kebetulan.


Sistem politik Islam memang sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Qur’an tidak menjabarkan secara detail tentang bentuk pemerintahan, mekanisma dan pelaksanaan lapangan. Tetapi cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan yang perlu menjadi pedoman dalam berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam dan membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang despotik, teokratik dsb. Selain daripada prinsip dan garis panduan yang diberikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, Islam memberi kelonggaran untuk memikirkan sendiri kaedah dan bentuk pemerintahan yang diinginkan sesuai tuntutan zaman. Kelonggaran ini benar-benar mencerminkan dinamika Syari’ah dan rasionalitas Islam. Ia juga sesuai dengan objektif syari’ah untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan manusia.[21] Oleh itu, tantangan para ilmuan Islam adalah untuk membangun teori politik Islam yang berpijak pada kenyataan situasi dan kondisi hari ini tanpa membuang pedoman yang sudah diberikan oleh nas-nas yang qat’i(teks-teks agama yang definitif).


Mungkin perlu dipertanyakan kepada kaum sekularis dan liberal, kalau pemisahan politik daripada Islam diterima mau di kemanakan prinsip-prinsip politik yang dijabarkan oleh al-Qur’an? Seperti kedaulatan Shari‘ah (12:40, 4:65, 5:44), prinsip Syura (3:159, 42:38), prinsip keadilan (4:58, 5:8, 57:25), prinsip kebebasan bersuara dan berpendapat (27:64, 16:125, 10:99), prinsip persamaan (49:13) dan pertanggungjawaban pemimpin (3:104). Di samping ratusan hadis yang menjelaskan banyak perkara yang berkaitan dengan politik. Pemisahan politik daripada Islam, pada akhirnya, bermakna menjadikan Islam agama kerohanian semata dan konsekwensinya pada penganut yang submissif, tunduk kepada apa jua bentuk pemerintahan dan tidak mempunyai visi perubahan. Islam seperti ini tidak ada bedanya dengan agama-agama lain, dan ini bermakna akan sia-sia Allah menurunkan Islam sebagai agama penutup dan rahmat bagi seluruh alam. Sudah tentu Islam yang lemah ini bukan Islam yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Karena dengan pimpinan Rasulullah s.a.w. Islam mengubah masyarakat, mencipta sejarah dan membina tamadun yang gemilang. Islam pada masa itu membentuk manusia dan bukan dibentuk oleh manusia, menjadi subjek bukan objek, ya‘lu wala yu‘la ‘alayh.



Kecendrungan sebagian orang menerima depolitisasi Islam adalah akibat daripada cara berfikir dikotomis. Yaitu untuk menolak politisasi Islam maka seseorang perlu menerima 'depolitisasi Islam'. Persoalannya apakah ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan dikotomi ini. Yang jelas umat Islam tidak perlu mempolitikkan Islam hanya semata-mata untuk berkuasa, karena dengan melaksanakan Islam sepenuhnya mereka dengan semula jadi akan memimpin dunia dan bukan dipimpin. Tidak perlu juga menolak hubungan politik dengan Islam karena politik menjadi alat yang sah dan mesti dimiliki untuk melakukan perubahan. Dengan memahami Islam sebagai satu cara hidup yang komprehensif di mana politik adalah satu aspek daripada beberapa aspek yang perlu disesuaikan dengan ajaran Islam maka tidak perlu istilah Islam politik atau Islam ritual dsb.


Adanya politik dalam Islam bukan lesen bagi mana-mana golongan untuk mempolitikkan Islam. Penggunaan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk kepentingan sendiri perlu dihindari.[22] Terjadinya perkara seumpama itu adalah lumrah kefanatikan terhadap ideologi atau agama tertentu. Penggunaan agama biasa dilakukan bukan saja oleh parti Islam yang hauskan sokongan, tetapi seringkali dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan legitimasi dan mandat rakyat. Ringkasnya, umat Islam tidak harus memilih di antara politisasi Islam atau depolitisasi Islam seperti dalam pemikiran liberal.



Mitos Teokrasi Islam

Perdebatan di antara Islamis dan sekularis tentang politik Islam sentiasa bergulir di Mesir, Pakistan dan berbagai Negara Islam lainnya. Di antara tuduhan yang diungkapkan terhadap pendukung politik Islam adalah bahwa system politik Islam adalah sistem teokrasi yang despotic dan authoritarian. Asghar Ali Engineer, seorang lagi pemikir Islam Liberal, menuduh gerakan Jama’at-e-Islami yang dipimpin oleh Mawdudi berusaha mendirikan Negara teokrasi seperti yang telah didirikan di Iran.[23]

Kebencian mereka terhadap teokrasi bisa dipahami, karena sistem tersebut memang sistem yang berdiri di atas legitimasi yang palsu. Klaim kesucian dan kebenaran oleh para pendeta gereja hanya berdasarkan dogma, dan sangat bertentangan dengan logika dan rasional. Nyatanya tidak ada hubungan dan komunikasi antara golongan ini dengan Tuhan. Oleh itu, klaim bahwa golongan clergy ini mempunyai kedua-dua kuasa temporal (politik) dan ecclesiastical (kuasa kerohanian) adalah tidak berasas sama sekali.

Sejarah mencatat pemerintahan teokrasi di Barat pada zaman pertengahan sebagai satu pengalaman pahit yang menghantui masyarakat Barat hingga ke hari ini. Abad ketujuhbelas mencatat penolakan yang keras terhadap otoritas gereja, Pemerintahan teokratik dan despotik gereja selama hampir seribu tahun menjadi pengalaman pahit Barat berada dalam pemerintahan agama. Tak pelak lagi, pengalaman pahit ini membuahkan kebencian masyarakat terhadap agama pada umumnya, dan kebencian terhadap pemerintahan agama (teokrasi) khususnya. Seorang sejarawan renaisans, Gucciardini, pada tahun 1529 menulis:

Tidak ada orang yang lebih jijik pada diri saya selain dari ambisi, ketamakan, dan kejangakan para wakil Tuhan ini. Bukan hanya karena masing-masing di antara mereka ini menjengkelkan, tetapi karena setiap dan semuanya tidak pantas menjadi orang yang menyatakan diri mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan….seandainya tidak demikian keadaannya, saya akan membela Martin Luther layaknya membela diri saya sendiri, bukan untuk membebaskan diri saya dari ketentuan-ketentuan yang, sebagaimana umumnya dipahami dan dijelaskan, diajarkan agama Kristen pada kami, tetapi untuk menjadikan sekawanan bangsat ini kembali ke tempat yang semestinya, sehingga mereka bisa dipaksa untuk hidup tanpa peran sebagai wakil Tuhan atau tanpa kekuasaan.[24]


Klaim-klaim kesucian dan kependetaan seperti di atas tidak wujud dalam Islam, maka dari itu ketakutan golongan sekularis dan liberal hanya berdasarkan prasangka. Dalam Islam tidak ada institusi clergy (golongan agama), terma clergy tidak dikenal dalam sejarah Islam. keilmuan Islam terbuka untuk siapa saja. Seseorang itu diangkat menjadi yang berotoritas dalam bidang keilmuan tertentu oleh komunitas ilmuan dan masyarakat. Ulama tidak berkuasa untuk memaksakan ketaatan, memonopoli kebenaran dan mengklaim berbicara atas nama tuhan. Maka dari itu tidak ada yang mensyaratkan seorang imam atau pemimpin negara Islam mestilah dari golongan ulama. Tetapi hanya mensyaratkan mestilah dari orang-orang yang berilmu.

Seandainya bisa dibuktikan adanya ajaran Islam yang sama dengan teokrasi, sebagaimana dalam sejarah kristiani, barulah tuduhan teokrasi terhadap sistem pemerintahan Islam mempunyai asas yang kuat. Tanpa adanya pembuktian tersebut maka kaum sekularis dan liberal telah berlaku tidak adil dan objektif terhadap Islam.
Sudah terlalu biasa pada hari ini Islam disalah tafsir dan dizalimi. Hegemoni tamadun Barat yang areligius menjadikan umat Islam, khususnya pejuang Islam, tersepit dan terisolasi. Usaha westernisasi ini tidak akan berhasil seandainya tidak ada di kalangan intelektual muslim yang mendukung obsesi Barat ini.

Berbeda dengan agama kristen, Islam tidak pernah secara eksplisit maupun implisit mendukung sistem teokrasi. Dalam al-Qur'an titel khalifah Allah diberikan kepada umat manusia yang sanggup mengemban misi tersebut.2:31. Sejarah Islam juga mencatatkan Rasulullah dengan jelas menolak kependetaan yang menjadi ciri kehidupan gereja. Demikian juga Abu Bakar menolak untuk diberikan titel khali>fatulla>h sebaliknya beliau hanya ingin dipanggil khali>fat Rasu>lillah.

Di samping itu, Islam tidak menerima konsep kehidupan suci vis-a-vis kehidupan profan. Golongan agama sebagai orang-orang suci dan yang lainnya tidak suci. Kesucian seseorang tidak diukur dari luaran dan dimana dia berada, bahkan amalannya sekalipun tidak bisa memastikan seseorang masuk surga, karena Allah saja yang tahu apa yang ada dalam hatinya. Kemuliaan disisi Allah diberikan kepada orang yang bertaqwa. Walauapapun profesinya di manapun dia berada selagi dia memiliki ketinggian iman dan taqwa maka dialah orang yang mulia di sisi Allah. Sebaliknya seorang yang menghabiskan umurnya dalam tempat ibadah belum tentu memiliki hati yang bersih dan suci.

Berbeda dengan agama lain, konsep Ibadah dalam Islam tidak terbatas hanya pada amalan ritual akan tetapi merangkumi kehidupan seharian seorang muslim yang menunjukkan keikhlasan dan ketaatannya pada Allah SWT. Dalam Islam tantangan besar seorang muslim bukan mengamalkan amalan tertentu di tempat tertentu akan tetapi bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Amanah ini hanya bisa diemban dengan mengimbangi keperluan rohani dan jasmani, spiritual dan material. Menfokuskan dan menyalurkan seluruh usaha untuk pembangunan spiritual semata hanya akan mengakibatkan kehidupan yang pincang. Demikianlah rahasia mengapa Rasulullah menolak rahba>niyyah (kependetaan) dalam Islam, prinsip ini juga bertepatan dengan mesej yang ingin disampaikan oleh al-Qur'an: “warahba>niyyatan ibtada'u>ha ma katabna>ha> 'alayhim” (dan kependetaan yang mereka ciptakan, sesuatu yang tidak pernah Kami turunkan) (al-Hadid, 57:27, al-A‘raf 7:32)

Dalam tulisannya, Muhammad al-Ghazali bahkan mengkritisi kecenderungan sebagian orang Islam yang mencoba melepaskan diri material dan keduniaan atas anggapan perhiasan dunia itu bisa menghalangnya dari jalan Allah, beliau mengatakan justru untuk berjuang di jalan Allah harta benda sangat penting untuk dimiliki, baginya konsep zuhud yang benar tidak menjadikan hidup kita mundur.[25]

Polemik Islam dan Demokrasi

Dalam menangani isu demokrasi para sarjana Muslim pada dasarnya terbagi kepada dua golongan. Golongan radikal menolak demokrasi atas beberapa alasan utamanya adalah bahwa dalam sistem seperti ini kedaulatan mutlak diberikan kepada rakyat khususnya dalam membuat undang-undang. Ini bertentangan dengan sistem politik Islam yang menuntut kedaulatan mutlak diberikan kepada Allah (al-h}a>kimiyyah lilla>h) dengan menjadikan Shari'ah sumber utama perundangan (supremacy of the Shari'ah). Pengkritik keras demokrasi, seperti Mawdudi dan Sayyid Qutb, setelah menolak demokrasi Barat tidak pula menjadikan teokrasi sebagai bentuk pemerintahan Islam. Qutb menjelaskan bahwa Islam menolak sistem teokrasi yang pernah berlaku di Barat pada era kegelapan. Karna kuasa Tuhan tidak boleh diwakili oleh satu golongan yang mengklaim ada hubungan komunikasi dengan Tuhan.[26] Mawdudi malah mengatakan bahwa Islam berada di tengah-tengah antara keduanya. Oleh itu, kesan dari pengaruh dan dominasi terminologi Barat, beliau mencipta nama baru bagi sistem politik Islam yaitu theodemocracy yaitu campuran dan jalan tengah di antara theocracy dan demokrasi.[27]


Golongan moderat yang diwakili oleh Yusuf al-Qaradawi, al-Ghannushi dan Fathi Osman, menerima demokrasi dengan beberapa catatan. Demokrasi tersebut mesti disesuaikan dengan Shari'at Islam dan tidak menjadikan nasionalisme dan perkauman lebih utama berbanding dengan keIslaman. Golongan ini meyakini pada dasarnya prinsip-prinsip demokrasi telah ada dalam Shari’ah Islam seperti kekuasaan mayoritas, kedaulatan undang-undang, dan pemerintahan perwakilan. Bahkan al-Ghannushi dan Huwaidi menyatakan bahwa sebenarnya Barat telah menghasilkan sistem pemerintahan yang sebagian besar elemennya dicedok daripada khazanah keilmuan umat Islam (seperti juga ilmu kedokteran dan matematik) di Andalusia pada Abad ke 14-15M. Oleh itu tidak ada salahnya umat Islam pada hari ini memanfaatkan kembali hasil eksperimen Barat yang teorinya berasal dari khazanah mereka sendiri.


Apapun kecendrungan sarjana Muslim dalam menghadapi demokrasi, mereka semua berpegang kepada prinsip supremacy of the Shari'ah: bahwa dalam bentuk apapun sebuah Negara Islam itu yang paling penting adalah Shari‘ah mesti berdaulat. Kedaulatan Shari‘ah ini pada prinsipnya akan tidak memberi ruang kepada pemerintahan despotik dan dapat menghapuskan dengan tuntas kezaliman, diskriminasi dan korupsi. Para sarjana Muslim juga setuju bahwa sistem politik Islam amat bertentangan dengan sistem teokrasi. Dalam sejarah Barat pemerintahan teokrasi yang memberikan Gereja kuasa mutlak adalah bentuk pemerintahan yang tidak rasional, anti sains dan anti kemajuan. Sedangkan pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh para Sahabat adalah pemerintahan yang rasional dan mendukung kemajuan dalam bidang apapun. Jadi amat jelas tuduhan musuh-musuh Islam yang menyamakan pemerintahan Islam dengan teokrasi tidak berasas sama sekali. Dalam kepimpinan sayyidina Umar saja terlalu banyak fakta sejarah yang membuktikannya.


*Penulis adalah Alumni ISTAC dan kandidat Ph.D. di tempat yang sama. Beliau bertugas sebagai peneliti di Akademi Kajian Ketamadunan dan Dosen Kolej Dar al-Hikmah, Malaysia. Beliau bisa dihubungi melalui e-mail: muammar_km@yahoo.com.



[1] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Kaherah: Sina publication, 1994),37.
[2] William Walter. Reaganism and the Death of Representative Democracy (Georgetown Univ. Press, 2003), 27-33; Noreena Hertz. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy (New York: Harper Bussiness, 2003), 11-20.
[3] Noam Chomsky. Hegemony or Survival: American Quest for Global Dominance (Metropolitan Books, 2003). Pp.13-23.
[4] Mathias Brockers. Konspirasi, Teori-teori Konspirasi dan Rahasia 11.9, (terj.).( Jakarta: Ina Publikatama, 2003), 264-9
[5] Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 66
[6] Nurcholish Madjid, “Beberapa Pemikiran Ke Arah Investasi Demokrasi” dalam Mun’im Sirri (ed.) Islam Liberalisme Demokrasi (Jakarta: Paramadina, 2002), 277-294
[7] Muhammad Said al-‘Ashmawi , Al-Isla>m al-Siya>si>, Kaherah: al-Intisha>r al-‘Arabi>, 412.
[8] Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000),155-156.
[9] Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Isla>m (Kaherah: Dar al-Shuruq, 1996), 88-89.
[10] Ini bisa dilihat dalam buku yang diterbitkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal): syari’at islam: Pandangan Muslim Liberal. Editor Burhanuddin. (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, 2003).
[11] Ali ‘Abd al-Raziq, Al-Islam wa Usul al-Hukm: Bahth fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Kaherah: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1925), 32-63.
[12] Nurcholish Madjid, “The Necessity of Renewing Islamic Thought and Reinvigorating Religious Understanding”, dalam Liberal Islam, 293
[13] Ibid., 294.
[14] Muhammad Said al-‘Ashmawi, al-Isla>m al-Siya>si>, Kaherah: al-Intisha>r al-‘Arabi, 27.
[15] Fath}i> al-Durayni>, Khas}a>’is} al-Tashri>‘ al-Isla>mi> fi al-Siya>sah wa al-H}ukm, cet. Ke-2 (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1987), 14.
[16] Ibid, 15.
[17] Ibn Taymiyyah, al-Siya>sah al-Shar‘iyyah fi Is}la>h al-Ra‘i> wa al-Ra‘iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, n.d.), 137
[18] Satu pandangan yang mengelirukan dan tidak dapat diterima oleh mayoritas masyarakat dunia. Justru di kalangan masyarakat Barat sendiri beliau dicap fundamentalis. Lihat Liberal Islam (Oxford University Press, 1998), 196.
[19] Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, 26
[20] Muhamamd Salim al-Awwa., Fi al-Niza>m al-Siyasi li al-Dawlah al-Islamiyyah (Kaherah: Dar al-Shuruq, 1989), 137.
[21] Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah,.Al-T}uruq al-H}ukmiyyah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995),11-18.
[22] Mengenai politisasi Islam ini digambarkan dengan jelas oleh Azyumardi Azra dalam Islam Substantif. ,133.
[23] Asghar Ali Engineer, The Islamic State (New Delhi: Vikas Publishing, 1996), 133-135.
[24] Bertrand Russel, History of Western Philosophy. Edisi terjemahan Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 659.
[25] Muhammad al-Ghazali, Ha>dha Di>nuna> (Dawhah: Dar al-Thaqafah, 1985), 47.
[26] Sayyid Qutb. Ma'a>lim fi al-Tariq (Beirut: Dar al-Shuruq, 1982), 68, 118.
[27] Abul A'la Mawdudi, Islamic Law and Constitution ed. Khurshid Ahmad. (Lahore: Islamic Publication, 1967),147-148.

Politik Islam dan Politik Jahiliyyah


Dalam buku Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menulis: ”Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.”

Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state (negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, yaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).

Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual maupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus dikesampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.

Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu, membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.

Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan.

Dua bentuk itu adalah SYIRIK yang bisa menyebabkan manusia keluar dari agama Allah. Padahal para Rasul sudah mengenalkan Allah swt. kepada mereka. Tapi, mereka mengingkariNya setelah berlalu beberapa masa dan generasi. Mereka pun kembali ke alam jahiliyah, kemudian kembali mensyirikkan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadat, atau dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan, atau pun di dalam dua bentuk itu sekaligus.

Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “ISLAM (MENYERAH)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”

Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”

Sebuah masyarakat Islam berbeda samasekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi maupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan sebuah masyarakat Jahiliyyah berdiri di atas fondasi bahwa sesama manusia pantas untuk dipuji, dipuja, dimintai pertolongannya, diserahkan kepatuhan dan loyalitas kepadanya. Oleh karenanya di dalam masyarakat seperti ini akan selalu hadir para thaghut, yaitu fihak yang sedikit saja memperoleh kekuasaan lalu berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan dari para rakyatnya, pengikutnya, muridnya, bawahannya. Dalam sejarah kemanusiaan Allah abadikan di dalam AlQur’an gambaran sosok thaghut paling ideal yaitu Fir’aun. Fir’aun telah sedemikian rupa berlaku sombong sehingga sampai hati memproklamirkan dirinya di hadapan rakyat Mesir yang ia pimpin dengan kalimat: ”Akulah tuhan kalian yang Maha Mulia.”

Tetapi Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi". (QS AnNaziat ayat 21-24)

Itulah sebabnya mengapa segenap para Nabi dan Rasul utusan Allah menyampaikan suatu seruan universal yang berlaku sepanjang zaman. Yaitu seruan kepada umatnya masing-masing agar menyembah Allah semata dan menjauhkan diri dari para thaghut.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS An-Nahl ayat 36)

Politik Islam adalah politik syar’i. Ia merupakan politik yang berlandaskan konsepsi mendasar aqidah Islamiyyah, yaitu La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan loyalitas total. Politik Islam pasti akan menghantarkan masyarakat untuk membentuk diri menjadi masyarakat Islam. Sedangkan politik jahiliyyah merupakan politik yang tidak syar’i. Politik jahiliyyah akan menghasilkan tumbuhnya sebuah masyarakat jahiliyyah lengkap dengan suburnya eksistensi para thaghut di dalamnya. Politik seperti ini akan menyebabkan manusia sadar tidak sadar menghamba kepada sesama manusia.

Mengomentari kondisi realita umat Islam dewasa ini semenjak tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Khilafah Islamiyyah yang telah runtuh 85 tahun yang lalu, maka Said Hawwa dalam kitabnya Jundullah menulis:Akibatnya, hilanglah Islam dari kehidupan manusia secarahampir sempurna. Hilanglah sistem politiknya, dan hilanglah konsepnya dari umat, untuk digantikan dengan konsep nasionalisme. Konsepnya hilang dari negara, untuk digantikan dengan konsep lain. Juga hilang dari ruang pengadilan, untuk digantikan yang lain. Syariatnya hilang digantikan dengan perundangan lain. Konsepnya hilang dari ruang-ruang permusyawaratan, untuk digantikan konsep demokrasi Timur atau Barat. Konsepnya hilang dari kekuasaan eksekutif untukdigantikan dengan konsep jahiliah secara total. Konsepnya hilang dari partai-partai yang Rabbani untuk digantikan oleh sistem kepartaian jahiliah.”

Saudaraku, marilah dengan penuh kesabaran kita meniti kembali jalan perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat ketika mereka masih tertindas di kota Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Marilah kita pelajari kembali bagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berjuang tanpa sedikitpun berfikir untuk berkompromi dengan sistem jahiliyyah dan para thaghutnya ketika mereka masih lemah sekalipun. Sebab mereka hanya punya satu cita-cita, yaitu mengembalikan hati manusia ke dalam pangkuan aqidah kalimat tauhid dimana manusia diajak untuk hanya menghamba kepada Allah dan tunduk kepada syariatNya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat tidak pernah sejenakpun bertoleransi dengan aqidah kemusyrikan dan tunduk kepada sistem jahiliyyah yang berlaku, betapapun resikonya mereka terpaksa mengalami berbagai ujian, tekanan, penyiksaan, penindasan bahkan pembunuhan.

Saudaraku, bagaimanapun kita perlu memahami bahwa Politik Islam tidaklah sama dengan Politik Jahiliyyah. Berbeda satu sama lain dalam hal landasan keyakinannya, semangatnya, fikrah-ideologinya, sistem pembentukannya, budayanya, tingkah-laku para pelakunya. Yang jelas, keduanya sangat berbeda secara fundamental dalam hal siapa yang dijadikan pusat kesetiaan, penghambaan dan ketergantungan. Politik Islam sejak hari pertama telah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah mega-proyek untuk pembebasan manusia dari penghambaan sesama manusia untuk hanya menghamba kepada Allah semata. Sedangkan Politik Jahiliyyah menjadikan sesama manusia sebagai tempat menyerahkan loyalitas, ketaatan dan ketergantungan sehingga suburlah di dalamnya para thaghut...!!

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya. Amin.-

POLITIK ISLAM




Politik Islam (bahasa Arab: سياسي إسلامي) adalah Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra ertinya dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara). Bererti secara ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam.

Dalil Politik Islam

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Jelaslah bahawa politik atau siyasah itu bermakna adalah mengurusi urusan masyarakat.
Rasulullah SAW. bersabda :
"Siapa saja yang bangun di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (iaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani) ”

Pemikiran politik Islam

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tatacara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Bolehlah kita katakan pemikiran para pemikir Islam yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ini kerana, ketika sejak Revolusi Perancis agama Kristien relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara iaitu bahawa gereja harus terpisah dari negara. Namun begitu, Islam masih lagi tetap pada persoalan yang satu iaitu penyatuan Islam dan politik sejak zaman Nabi hingga zaman kini.

Gerakan politik Islam

Islam sebagai gerakan politik mempunyai sebuah ciri beraneka yang pada berlainan waktu menginkorporasikan elemen-elemen banyak gerakan politik lain, sementara pada waktu yang sama menggunakan pandangan-pandangan keagamaan fundamentalisme Islam, terutamanya pandangan Islam sebagai agama politik.
Suatu tema yang umum pada abad ke-20 adalah pertentangan terhadap perselisihan kaum, kolonialisme dan imperialisme, dalam pembentukan Empayar Turki Uthmaniyyah dan Empayar British (walaupun Empayar Uthmaniyyah itu sendiri adalah gerakan politik Islam). Akhirnya sosialisme sebagai suatu viable alternative dengan akhirnya Kesatuan Soviet dan Perang Dingin telah menambahkan appeal gerakan revolusi Islam, terutamanya dalam konteks rejim tidak-demokrasi dan korupsi sepanjang dunia Islam. Islamisme membesar sebagai reaksi pada trend-trend ini, dan sebagai suatu desire untuk membentukkan sebuah kerajaan berasaskan rukun-rukun Islam.

Pada jelasnya, skop politik Islam adalah sangat lebar ia mengencompass apa-apa jenis gerakan revolusi atau parti di mana-mana negara Islam. Invariably, ia bermakna bahawa ia menyampurkan sekali such a variety of gerakan nasionalis, Marxisme dan perkauman yang ia tidak ada lagi kandungan ideologi yang benar. Ciri-ciri satunya beristilah yang ia ada adalah nasionalisme dalam sebuah konteks Islam; tetapi ini dijelaskan secara sedikit. Walaubagaimanapun, dalam kitab al-Quran, tiada apa yang menyatakan bahawa Politik perlu digunakan untuk menubuhkan Islam. Jadi, ia mungkin adalah suatu benda yang bahaya dari pemandangan Islam bahawa seorang mengaplaikan Islam untuk mendapatkan kelebihan politik.

Pandangan Orientalis Barat tentang Politik Islam

1. Dr. V. Fitzgerald berkata : "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad-dekad terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mendakwa diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahawa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras, yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain".

2. Prof. C. A. Nallino berkata : "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas wilayah negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".

3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama, ia juga mencerminkan teori-teori perundangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".

4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Kerana pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politik yang bijaksana, atau "negarawan".

5. Prof D.B. Macdonald berkata : "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama dalam undang-undang Islam".

6. Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang ketua agama dan ketua negara".

7. Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahawa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang bebas. Ia mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundangan dan institusi".

Gerakan liberal dalam Islam biasanya mengistilahkan diri meraka dalam pembantakan ke gerakan politik Islam, tetapi sering memeluk banyak unsur-unsur anti-imperialisme.





















Tiada ulasan: