Hakikat Cinta
Oleh: HozaimahHakikat cintaku hanya untuk-Mu
Selamanya... Sampai dunia tak berbentuk
Sehingga aku menemukan kehidupan yang pasti
Cinta itu seperti misteri kata Sabrina, datang dan pergi tanpa permisi. Kamu tak perlu mencarinya karena cinta akan datang dengan sendirinya. Kamu tak dapat membelinya karena cinta tak dapat dihargai. Cinta akan lahir dengan sendirinya tanpa kita ketahui kapan dan tanpa kita ketahui kepada siapa ia akan hinggap. Seperti yang kita ketahui bahwa cinta itu akan hinggap pada siapapun yang dikehendakinya, namun cinta itu hanya bisa dirasakan, tak bisa disentuh dengan tangan, tapi disentuh oleh perasaan.
Cinta |
Cinta itu juga kadang membingungkan karena kita tak bisa memahami sebenarnya apa yang akan dikatakan oleh cinta lewat bahasanya. Apakah itu cinta sejati yang bersemayam dalam hati atau cinta buta. Cinta yang sejati selalu membawa pertumbuhan. Cinta bukan bersifat posesif yang obsesif. Artinya, cinta bukanlah keinginan memiliki yang dilandasi motivasi yang salah, yitu hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Yang dimaksud dengan pertumbuhan adalah bahwa cinta itu membawa kebaikan bagi orang yang sedang mencintai dan bagi orang yang dicintai. Cinta tidak membuat seseorang tertekan, dipaksa untuk mencintai, atau mengorbankan sesuatu secara salah dengan alasan cinta. Namun, apabila ada seseorang yang memaksakan kepada kita untuk mencintainya dan membuat seseorang tertekan bahkan mengorbankan sesuatu secara salah dengan alasan cinta, maka itu adalah cinta buta.
Karena cinta yang buta tak memandang sesuatu apapun yang terjadi baik itu buruk maupun itu baik. Sehingga mereka hanya menginginkan kepuasan nafsu semata. Lalu, apa sih hakikat atau makna terdalam dari cinta? Untuk memulai memahami hakikat cinta, perlu ditelusuri terlebih dahulu makna-makna yang berkaitan dengan kata “cinta”.
Kamus bahasa indonesia mengartikan cinta sebagai perasaan suka, sayang, kasih, terpikat, rasa ingin memiliki, rasa rindu, hingga sikap rela melakukan apapun terhadap sesuatu atau seseorang. Bila disederhanakan, makna cinta dalam bahasa indonesia adalah perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu untuk memiliki, mendapatkan, perasaan utnuk dapat bersama-sama, sehingga melahirkan sikap patuh, bahkan bersedia melakukan apa pun untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Dalam tradisi bahasa Yunani, misalnya paling tidak ada lima istilah tentang cinta, yaitu: Ephithymia (sensual love) adalah cinta yang bermakna “tidak berjumpa maka tak sayang”. Cinta jenis ini berkisar pada penggunaan indera untuk menimbulkan libido. Eros dipahami sebagai dorongan (motivasi) untuk bersatu dengan sesuatu atau seseorang yang menarik. Eros tidak sekadar muncul dari rangsangan atau dorongan seksual belaka. Meskipun unsur ephithymia masih dikategorikan dalam eros, namun tak selamanya keduanya menyatu. Dalam bahasa kini istilah ini lebih dikenal dengan ungkapan “dunia milik kita berdua, yang lain hanya menyewa kepada kita.”
Storge merupakan bentuk “kasih sayang sosok ibu”, yakni kasih sayang antara orang tua dan anak meski cinta model ini juga berlaku di luar ikatan keluarga, seperti ikatan teman dan persahabatan. Philia atau cinta persahabatan, adalah cinta yang dilandasi kesamaan pemikiran, ide, selera, hobi, juga kepentingan. Bahkan, kategori cinta ini bisa muncul karena perbedaan-perbedaan yang ada. Agape adalah kategori cinta yang tidak lagi memperhitungkan untung dan rugi. Cinta ini benar-benar murni dan tak bersyarat. Cinta agape tak mengenal timbal balik, tetapi suatu pengorbanan tanpa pamrih karena cintanya mutlak. Di sini keinginan untuk dicinta bisa saja ada, tetapi tidak dimutlakkan. (Sabrina Maharani, Filsafat Cinta)
Cinta menurut bahasa adalah suka atau kebalikan dari benci. Dalam bahasa Arab terdapat kata: al-hub, al-hib, al-mahabbah, al-mawaddah, dan al-widad. Semua kata ini mempunyai arti yang sama, yakni “cinta”. Demikian pula kata al-hub dan al-mawaddah adalah kata yang sangat dalam artinya ketika mengungkapkan ciri-ciri cinta yang positif dan sesuai syari’ah. (Mahmud Muhammad An-Naku’, Cinta dan Keindahan dalam Islam)
Boleh jadi cinta juga didefinisikan sebagai hubungan indah dan istimewa antara seseorang dengan yang dicintainya, baik manusia maupun selain manusia. Dengan selain manusia ini, maksudnya hubungan khusus serta penuh cinta dengan Penciptanya, sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an berikut yang artinya:
“...Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 54).
Cinta tidak hanya terbatas pada hubungan dua jenis manusia yang berbeda saja, namun cinta dapat dikembangkan dan ditanamkan pada berbagai obyek, baik kepada sesama muslim, dalam lingkungan keluarga, dalam hubungan antara penguasa dan rakyat, bahkan dapat ditebarkan kepada non-muslim. Lebih jauh lagi cinta dapat ditebarkan kepada alam semesta, baik berupa binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun mahluk lain ciptaan Allah. Inilah yang telah dikaruniakan oleh Allah di bumi ini berupa cinta tersebut.
Terlepas dari semua kecintaan yang disebutkan di atas, ada yang utama dan paling utama untuk kita cintai ialah Allah. Dialah yang memberikan cinta kepada manusia, menebarkan cinta di dunia sehingga manusia satu dengan manusia yang lainnya dapat saling mengenal, kemudian membentuk sebuah keluarga. Allah adalah pemilik cinta itu, Dialah satu-satunya tempat yang pada-Nya cinta itu bermuara agar keiindahan dan kesempurnaannya tercepai. Cinta yang diiringi ridha oleh Allah ialah cinta yang akan memberikan dampak positif, dan akan terpancar dalam diri manusia, sehingga dia bisa menjalankan cinta itu sesuai dengan fitrah cinta.
Orang yang lagi jatuh cinta akan bahagia jika cintanya bersambut. Sebaliknya, akan menderita jika tawaran cintanya tidak mendapat balasan. Begitulah cinta, mahluk Tuhan yang paling misterius yang jarang sekali orang akan menikmati keramahannya. Sebaliknya, ada banyak orang yang terluka karena salah memahami cinta.
Pesan cinta yang damai saling menghargai, dan menyayangi dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini ternyata begitu sulit tercapai. Hakikat cinta yang semestinya dirasakan manusia sebagai karunia Tuhan justru menjadi malapetaka ketika manusia merusak nilai cinta itu sendiri. Terlebih jika mereka berpandangan bahwa mencintai berarti harus memiliki. Mencintai harus menodai kesucian diri maupun orang yang dicintai. Hakikat cinta yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai agama, mengangkat harkat kemanusiaan, dan mengedepankan ahlak terpuji, entah kenapa kini seringkali ternoda oleh nafsu berlumur dosa. Akhirnya, cinta dan nafsu pun berjalan seiring, tanpa ada pembatas. (M. Hilmi As’ad, Hakikat (sebuah novel religius)).
Cinta yang semacam itulah yang harus dihindari dari para remaja, pelajar dan mahasiswa saat ini. Agar tidak terpuruk masa depannya. Cinta itu karunia, fitrah. Berbahagialah orang yang telah dirahmati cinta. Sengsaralah orang yang tidak memiliki cinta. Dan celakalah orang yang mempermainkan cinta dengan sesuatu yang berbau maksiat. Maka, jangan sekali-kali mempermainkan cinta, dan janganlah berlebih lebihan dalam memberikan cinta, dan jangan berlebihan pula jika membenci seseorang, seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad Saw. Yang artinya:
“Cintailah kekasihmu sekadarnya saja. Siapa tahu suatu saat nanti orang yang kau cintai itu menjadi orang yang kamu benci. Bencilah musuhmu itu sekadarnya saja. Siapa tahu suatu saat nanti orang yang kamu benci itu menjadi kekasihmu.”
Menurut Ibnu Arabi, cinta selalu identik dengan ketulusan dan kesucian dari segala sifat, sehingga tidak ada tujuan lain selain keinginan bersama yang dicintai (Allah). Hakikat cinta tertinggi dalam Islam adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta keinginan untuk senantiasa dekat dengan-Nya. Allah SWT berfirman,
“Katakan (wahai Muhammad) jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali-Imron: 31).
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman kelak pada hari kiamat,
“Di manakah orang-orang yang bercinta kasih karena keagungan-Ku. Pada hari ini (di Padang Mahsyar) Aku menaunginya dalam naungan-Ku, di saat tiada naungan kecuali naungan-Ku” (HR. Muslim).
Manusia yang mencintai Allah ialah manusia yang selalu senantiasa patuh dan tunduk terhadap perintah dan menjauhi segala laranganNya. Mencintai manusia lainnya karena Allah dan membenci karena Allah pula. Barang siapa yang telah ikhlas cintanya kepada Allah itu dengan menaati segala perintah-Nya karena iman, ibadah, dan tuntutan perilakunya, maka ia telah mencapai salah satu tujuan cinta ruhani. Cinta inilah yang akan meningkatkan derajat perilaku seseorang, maka setiap ucapan dan perbuatannya sebagai ketaatan kepada-Nya. Yang demikian ini juga diantara ciri amal shalih atau kebajikan yang meliputi segala hal. Allah berfirman yang artinya:
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: (165).
Perlu diingat bahwa Allah adalah pencipta manusia. Dia pula yang telah memuliakannya dengan akal, menjadikannya khalifah di muka bumi, melimpahkan nikmat lahir dan bathin, dan menundukkan segala sesuatu di langit dan di bumi baginya. Karena itu, atas semua nikmat inilah ia harus mencintai penciptanya, kemudian memperlihatkan cinta ini dengan perilaku yang menegaskan kepatuhan atas semua aturan-Nya dan atas kitab serta Rasul-Nya. Cinta yang membuahkan hasil itu adalah cinta yang diupayakan seorang muslim melalui ilmu, kesungguhan, dan kesabarannya, atas segala derita hidup.
Dengan demikian, ia akan menjadi hamba yang pandai bersyukur serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam surat At-Taubah terdapat ayat panjang yang menegaskan bahwa inti cinta itu adalah ketika mencintai Allah dan Rasul-Nya:
“Katakanlah: jika bapa-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah samapai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” (QS. At-Taubah [9]: 24).
Allah memberikan akal kepada manusia agar mereka berfikir, karena dengan berfikir dia akan memperoleh ilmu, dengan ilmunya itulah maka dia mengetahui hakikat cinta, dan menjalankan cinta sesuai dengan fitrah cinta itu sendiri. Yaitu, cinta yang dijalankan sesuai dengan ridha Allah. Sehingga dapat memberikan timbal balik yang positif terhadap penggunanya. Cinta jika dijaga dengan baik, maka dia akan berkembang dengan baik.
Untuk itu, jagalah cinta kamu masing-masing dengan baik dan jangan berikan cinta itu kepada orang yang tak pantas kau berikan, berikanlah cinta itu kepada orang yang pantas untuk menerimanya, yaitu jodohmu kelak. Namun jangan lupa, hakikat cinta itu adalah cinta yang sejati yang tak ada putusnya sampai kamu mati, yaitu cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam bisshowab. []
Cintailah Allah dengan sesungguh-sungguh kecintaan
March 11, 2012
hatikumiliktuhanku
BismillahirrahmanirrahimDengan nama Allah yg Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
Allah itu layaknya dicintai sepenuh hati. Apabila jiwa kosong syaitan cuba memenuhi segenap jiwa dengan kemaksiatan dan kelalaian.Apabila kita punya masa yg lapang isilah ia dengan mengingati Allah.Bacalah Al-Quran dengan penuh lemah lembut serta suara yg paling merdu sebagaimana kita bertutur dengan lemah-lembut kepada kedua ibu bapa kita yg sangat kita cintai.InsyaAllah ketenangan itu akan hadir
Pujuklah hati melakukan setiap perbuatan untuk mendapat redha Allah.Apabila belajar, hayatilah tiap bait baris kata-kata dalam buku itu hanya semata-mata untuk mendalami ilmu ALLAh insyaAllah hati akan menjadi lebih tenang.Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah kerana dilahirkan sebagai muslimah, aku rasa begitu bahagia tatkala ketenangan itu singgah di dalam hati.
Aku sedar tatkala fikiran ku berkecamuk , aku temui ketenangan melalui zikrullah.Sebutlah nama Allah dengan sebanyak-banyaknya dengan penuh pengharapan agar ketenangan itu akan datang.Ku baca baris al-quran dengan perlahan-lahan, ku lantunkan kalamullah dengan sedaya mungkin agar ia meresap masuk kedalam jiwa yg lalai ini.Alhamdulillah aku temui ketenangan.
Aku teringat akan satu ungkapan yg sering mencengah dalam benak fikiranku tatkala keserabutan menyelubungi diri “Carilah hatimu dalam tiga perkara yakni, solat malam, membaca al-quran dan zikrullah. Jika kamu tidak menemui hatimu di situ maka pintalah kepada Allah hati yg baru”
Sama-sama kita suburkan cinta kita kepada Allah azzawajalla
Wallahua’lam
Cintailah Allah dan Rasul-Nya
Cintailah Allah dan Rasul-Nya
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
(QS: At-Taubah Ayat: 24)
Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya maka kita di perintahkan untuk mencintai apa yang di cintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.
Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (Q.S. Luqman : 14)
Kita juga diperintahkan untuk selalu jujur, berbuat baik, dan menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى ٱللَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (Q.S. Luqman : 22)
Masihkah kita lebih mencintai apa yang ada di dunia ini sementara Allah lah yang mendatangkannya dan mencukupkannya untuk kita segala yang kita butuhkan. Masihkah kita meminta selain kepada-Nya sementara Dia yang menciptakan kita (manusia)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Q.S. Al-Mu’minun : 12-14)
Masihkah kita lebih mencintai seisi dunia ini sementara Allah Azza wa Jalla lah yang menciptakan semuanya. Masihkah kita meminta rezeki kepada selainnya sementara ia yang memberikan kita rezeki?.
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.(QS: Adz-Dzaariyat Ayat: 58))
Maka cintailah Allah dengan sebenar-benar cinta. Melebihi cintamu kepada dunia dan seisinya. Nikmatilah manisnya keimanan dengan kezuhudan, sesungguhnya hanya kepada Allah lah tempat kembali.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَٰلِقٍ غَيْرُ ٱللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?. (Q.S. Faathir : 3)
.♥.❀❤. CINTAILAH ALLAH DENGAN SEPENUH HATI♥.❀❤. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. .♥.BismillaahiRRahmaaniRRa
Cintailah Allah! Itulah Arti Cinta Sesungguhnya
HARIANACEH.co.id — Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; memba-tasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka ba-tasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.
Kebanyakan orang hanya membe-rikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)
Beberapa definisi cinta:
- Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).
- Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.
- Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.
- Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.
- Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.
Cinta ibadah
Ialah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya.
Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.
Cinta karena Allah
Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.
Cinta yang sesuai dengan tabi’at (manusiawi), yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:
- Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.
- Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.
- Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.
Keutamaan Mencintai Allah
Merupakan Pokok dan inti tauhid
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’dy, “Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menye-rahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman. (Al-Qaulus Sadid,hal 110)
Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: “Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi ,ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepada penuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami’ Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230)
Sebagai hiburan ketika tertimpa musibah
Berkata Ibn Qayyim, “Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38).
Menghalangi dari perbuatan maksiat
Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): “Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya.
Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbedaan antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya.
Sampai pada ucapan beliau, “Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya. (Thariqul Hijratain, hal 449-450)
Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was
Berkata Ibnu Qayyim, “Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbedaan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya.
Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)
Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan
Berkata Ibn Qayyim, “Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta’ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencin-tai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya.
Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya.”(Ighatsatul-Lahfan, hal 567)
Orang-orang yang Dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala
Allah Subhannahu wa Ta’ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Ma’idah: 54, yang artinya: “Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.”
Mereka yang dicintai Allah SWT:
- Attawabun (orang-orang yang bertau-bat), Al-Mutathahhirun (suka bersuci), Al-Muttaqun (bertaqwa), Al-Muhsinun (suka berbuat baik) Shabirun (bersa-bar), Al-Mutawakkilun (bertawakal ke-pada Allah) Al-Muqsithun (berbuat adil).
- Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.
- Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.
- Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.
- Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.
- Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.
- Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.
- Membaca Al-Qur’an dengan memikir-kan dan memahami maknanya.
- Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.
- Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.
- Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
- Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.
- Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.
- Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
- Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur’an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.
- Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da’i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembica-raan yang baik.
- Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala .
BAGAIMANA SEORANG MUSLIM MENAMBAHI KECINTAAN KEPADA ALLAH TA’ALA DAN TERHADAP AGAMANYA
Kenapa seseorang diharuskan mencintai Allah
Ta’ala? Saya tahu bahwa kita diharuskan mencintai Allah Subhanahu akan
tetapi (bagaimana) saya dapat menambah kecintaan ini begitu juga dengan
mencintai agamaku?
Alhamdulillah.
Pertama,
Sesungguhnya pertanyaan anda dengan redaksi seperti itu, sangat aneh sekali. Bukan aneh kita mencintai Allah, tidak juga mencintai melebihi dari diri kita. Akan tetapi yang aneh adalah seseorang mempercayai bahwa dia punya Tuhan Pencipta kemudian dia tidak mencintai-Nya, tidak mengedepankan cinta-Nya daripada cinta pada diri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Semua keindahan disenangai, karena itu orang-orang pada senang. Maka hanya dari Allah saja. Allah Jalla Jalaluhu Maha Indah, dan Dia mempunyai keindahan yang layak untuk dirinya di tempat tertinggi.
Setiap ketinggian disenangi, karena itu orang-orang pada senang. Maka Allah Maha Besar dari semua yang besar dan paling Tinggi dari semua yang agung.
Dan semua kesempurnaan, orang-orang pada senang. Maka milik Allah Ta’ala kesempurnaan yang maha tinggi dan tempat tertinggi.
Setiap kebaikan dan keutamaan, orang-orang ihsan menyenanginya. Dari pemberian dan ihsan-Nya, bagaimana tidak disenangi Tuhan dalam masalah ini, dan Dialah Tuhan di tempat seperti.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah, bahwa macam kecintaan yang paling bermanfaat secara mutlak, yang lebih ditekankan, paling tinggi dan paling mulia adalah kecintaan yang hatinya diberikan untuk mencintai-Nya. Dan diberi fitrah penciptaannya untuk penyembahan. Dengannya bumi dan langit ditegakkan. Dengannya para makhluk diberi fitrah dan ini adalah rahasia Syahdah (persaksian) tiada Tuhan melainkan Allah. karena Tuhan adalah yang disembah oleh hati dengan kecintaan, ketinggian, keagungan, kehinaan, merendahkan diri serta beribadah. Dan ibadah tidak layak melainkan untuk-Nya saja. Dan ibadah adalah kesempurnaan cinta disertai dengan kesempurnaan merendah dan hina. Sementara kesyirikan dalam ubudiyah ini termasuk bentuk kedholiman terbesar yang Allah tidak akan mengampuninya. Allah Ta’ala mencintai untuk Dzat-Nya dari semua sisi, sementara lainnya hanyalah mengikuti dari kecintaan kepada-Nya.
Telah ada yang menunjukkan kewajiban kecintaat kepada-Nya Subhana semua kitab yang diturunkan, dan dakwah para rasul, serta fitrah yang (Allah) berikan fitrah kepada para hamba-Nya. Dan apa yang dipasang di akal, serta semua kenikmatan yang diberikan. Maka hati secara fitrah mencintai kepada yang memberi nikmat kepadanya, berbuat baik kepadanya. Bagaimana lagi bagi orang yang telah berbuat baik darinya? Apa saja dari kenikmatan yang ada pada makhluk, maka itu semua dari-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
( وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ ) [ سُورَةُ النَّحْلِ : 53 )
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.’ SQ. An-Nahl: 53.
Dan apa yang dikenal para hamba-Nya dari nama-nama-Nya nan Indah dan sifat yang tinggi, serta apa yang menunjukkan dampak dari penciptaan-Nya adalah kesempurnaan dan akhir dari ketinggian dan keagungan-Nya. Kecintaan dengannya ada dua faktor, keindahan dan ijmal (berbuat baik dan memberi kenikmatan). Dan Tuhan Ta’ala mempunyai kesempurnaan mutlak akan hal itu. karena Dia adalah Maha Indah senang terhadap keindahan. Bahkan semua keindahan adalah milik-Nya. Dan kebaikan semuanya adalah dari-Nya. Maka tidak berhak selain Dia untuk dicintainya dari segala sisi.
Sungguh orang yang menyamakan antara Dia dengan lainnya dalam mahabbah (kecintaan) telah mengingkarinya. Dan (Allah) telah memberitahukan bahwa orang yang melakukan seperti itu telah menjadikan selain Dia sebagai tandingan, mereka mencintai seperti kecintaan kepada Allah, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ) [ سُورَةُ الْبَقَرَةِ : 165 )
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” SQ. Al-Baqarah: 165.
(Allah) memberitahukan kepada orang yang menyamakan antara Dia dengan tandingan dalam kecintaan, bahwa mereka akan mengatakan ketika di neraka kepada sesembahannya, ‘"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam." SQ. As-Syuara’: 97-98.
Dengan Tauhid (penuh dengan) kecintaan, maka Allah Subhana mengutus semua Rasul-Nya, menurunkan semua kitab-Nya dan mencakup semua utusan-Nya dari awal sampai terakhir. Karena (kecintaan) diciptakan langit, bumi, surga dan neraka. Menjadikan surga untuk penghuninya dan neraka untuk orang-orang musyrik di dalamnya.
Sungguh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa, ‘Tidak sempurna keimanan seorang hamba sampai Dia (Allah) lebih dicintai dari anak, orang tua, dan seluruh manusia. Bagaimana dengan kecintaan Tuhan Jalla Jalaluhu?
Kalau Nabi sallallahu’alaihi wa sallam lebih utama dari kita dan diri kita dalam kecintaan serta kelazimannya. Bukankah Tuhan Jalla Jalaluhu, maha suci Nama-Nya lebih utama untuk dicintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya dari diri mereka. Dan semua hal dari-Nya untuk hamba-Nya yang beriman mengajak kepada kecintaan-Nya. Dari apa yang dicintai dan dibenci seorang hamba, pemberian dan pelarangan-Nya, kesehatan dan cobaan-Nya, digenggam dan dilapangkan, keadilan dan keutamaan, mematikan dan menghidupkan, kasih sayang dan kebaikan, rahmat dan kebaikan, ditutupi dan pengampunan-Nya, kasih sayang dan sabarnya kepada hamba-Nya, mengabulkan doanya, menghilangkan kesusahan, membantu yang membutuhkan, melepaskan kesulitan tanpa minta imbalan darinya, bahkan tanpa membutuhkan sama sekali dari seluruh sisi. Semuanya itu mengajak hati untuk menuhankan dan mencintainya. Bahkan memberikan kesempatan hamba melakukan kemaksiatan kepadanya serta membantu atasnya serta menutupinya sampai selesai keinginannya, menjaganya sampai selesai keinginan berbuat kemaksiatannya, dibantunya dengan kenikamatan. Merupakan faktor terkuat untuk mencintai-Nya. Kalau sekiranya seorang makhluk melakukan sedikit saja hal itu kepada makhluk lainnya, maka hatinya tidak dapat menguasi untuk mencintainya. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mencintai dengan sepenuh hati dan jiwa raganya kepada orang yang berbuat baik kepadanya secara berkesinambungan sebanyak hembusan nafas. Dengan melakukan kejelekan kepada-Nya. Kebaikannya turun, kejelekannya naik, mencoba mencintai dengan kenikmatannya sementara Dia tidak membutuhkan, seorang hamba marah kepadanya dengan melakukan kemaksiatan, sementara dia sangat membutukan kepadanya. Maka kebaikan, bakti serta kenikmatannya tetap diberikan kepadanya, tidak mengahalangi dengan kemaksiatannya. Begitu juga kemaksiatan dan kejelekan seorang hamba tidak memutuskan kebaikan Tuhannya kepadanya.
Yang jadi celaan, hatinya tidak mencintai dari urusan ini, sementara kecintaannya tergantung dengan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang anda cintai dari makhluk, atau mencintai anda. Sesungguhnya dia menginginkan anda untuk dirinya, dan menawarkan kepada anda. Sementara Allah subhana Wata’ala menginginkan anda untuk anda. Sebagaimana dalam atsar ilahi, ‘Hamba-Ku semuanya menginginkan anda untuk dirinya. dan Saya menginginkan anda untuk anda’. Bagaimana seorang hamba tidak malu bahwa Tuhannya dengan posisi seperti ini. Sementara dia berpaling dari-Nya, sibuk dengan mencintai lainnya, tenggelam hatinya dengan kecintaan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang berinteraksi dari makhluk, kalau dia tidak untung, maka dia tidak akan berinteraksi dengan anda. Harus ada salah satu bentuk keuntungan. Sementara Tuhan Ta’ala sesungguhnya, berinteraksi dengan anda, agar keuntungan untuk anda dengan sebanyak dan setinggi keuntungan. Satu dirham dilipatkan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat. Sementara kejelekan satu, amat cepat sekali terhapuskan.
Begitu juga Dia Subhanahu menciptakan anda untuk dirinya, menciptakan segala sesuatu untuk anda di dunia dan akhirat. Maka siapakah yang lebih utama dicurahkan untuk kecintaan dan mencurahkan semangat dalam (menggapai) keredhoan-Nya?
Begitu juga keinginan anda bahkan keinginan semua makhluk –kepada-Nya- dan Dia paling dermawan, paling mulia. Memberikan kepada hamba-Nya sebelum dia memintanya melebihi dari harapannya, mensyukuri sedikit amalannya dan akan menambahkan. Memaafkan banyak kesalahan dan menghapuskan.
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ. الرحمن :29
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” SQ. Ar-Rahman: 29.
Tidak tersibukkan pendengaran dari pendengaran (hamba), tidak salah dari banyaknya permintaan. Tidak sumpek rengekan orang yang meminta, bahkan senang dengan orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa. Senang diminta, marah kalau tidak meminta. Malu kepada hamba-Nya dimana seorang hamba tidak malu kepada-Nya. Menutupi dimana dia tidak menutupi dirinya. menyayangi dimana Dia tidak menyayangi dirinya. Dipanggil dengan kenikmatan dan kebaikannya menuju kemulyaan dan keredhoan-Nya tapi menolaknya. Mengutus utusan-Nya ketika memintanya, diutus bersamanya janjinya. Kemudian Allah subhanahu turun sendiri dan berfirman, ‘Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Saya beri. Dan barangsiapa yang memohon ampunan, maka Saya ampuni?
Bagaiamana tidak dicintai sementara hati, kebaikan tidak datang kecuali dari-Nya. Tidak menghilangkan kejelekan kecuali Dia, tidak mengabulkan doa, mengalihkan kesalahan, memaafkan dosa-dosa, menutupi aurat, menghilangkan kesusahan, menolong yang membutuhkan, sementara ingin mendapatkan keinginan selain dari-Nya? ‘selesai dari kitab Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 534-538.
Kalau sekiranya dibuka penutup kasih sayang Allah Ta’ala, kebaikan, perbuatan kepada hamba-Nya dari yang diketahui dan tidak diketahui, maka hati meleleh dengan kecintaan dan kerinduan kepada-Nya. Akan tetapi hati ditutup untuk melihat itu semua. Tenggelam ke alam syahwat, bergantung dengan sebab-sebab. Maka menutup kesempurnaan kenikmatannya. Dan itu ketentuan (Allah) Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Kalau tidak, hati mana yang meleleh menikmati manisnya pengetahuan kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Kemudian memberikan (kecintaan) kepada yang lainnya, dan merasa tenang dengan yang lain. Dan ini tidak akan mungkin selamanya.’ ‘Toriq Al-Hijrotain, hal. 281.
Kedua,
Allah telah menjelaskan kepada hamba-Nya jalan menuju kepada kecintaan-Nya Subhanahu, dengan berfirman:
( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ) آل عمران / 31-32.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." SQ. Ali Imron: 31-32.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘" ( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ ) yakni kamu akan mendapatkan diatas apa yang kamu minta dari kecintaan kamu kepada-Nya. Yaitu kecintaan Dia kepada kamu semua. Dan ini lebih agung daripada yang pertama. Sebagaimana perkataan sebagian ahli hikmah dan ulama’, ‘Urusan bukan mencintai, akan tetapi urusannya adalah dicintai.’ Hasan al-Basri dan ulama’ salaf lainnya mengatakan, ‘Suatu kaum menyangka mereka mencintai Allah, maka Allah uji mereka dengan ayat ini.
( فَإِنْ تَوَلَّوْا ) yakni menyalahi perintah-Nya, ( فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ). Hal itu menunjukkan menyalahi jalan-Nya itu kufur. Dan Allah tidak menyukai orang yang mempunyai sifat seperti itu. meskipun dia mendakwakan dan menyangka dirinya mencintai karena Allah dan mendekatkan kepada-Nya. Sampai dia harus mengikuti Rasul Nabi Ummi (buta aksara) penutup seluruh Rasul dan utusan Allah untuk seluruh makhluk jin dan manusia.’ Selesai ‘Tafsir Ibnu Katsir, 2/32.
As-Sa’dy rahimahullah berkata dalam mentafsirkan ayat ini, ‘Ayat ini di dalamnya ada kewajiban mencintai Allah. Begitu juga tanda, hasil dan buahnya. Maka Allah berfirman, ‘قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ ‘ yakni dakwaan anda semua dengan tempat yang tinggi, dimana tingkatan yang diatasnya tidak ada lagi tingkatan. Maka tidak cukup dengan hanya dakwaan, akan tetapi harus dibuktikan. Dan tanda kejujurannya adalah mengikuti Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam pada semua kondisi, ucapan dan perbuatannya. Pada pokok dan cabang agama, yang nampak maupun yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengikuti Rasul, hal itu menunjukkan kejujuran dakwaannya mencintai Allah Ta’ala. Allah mencintai dan memaafkan dosanya. Mengasihi dan menguatkan semua gerakan dan diamnya. Barangsiapa yang tidak mengikuti Rasul, maka tidak mencintai Allah Ta’ala. Karena kecintaan kepada Allah, mengharuskan mengikuti Rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak ada hal itu, menunjukkan ketiadaan (kecintaan) bahwa dia itu pembohong kalau sekiranya dia menyangka (mencintai Allah). meskipun kalau sekiranya ditakdirkan ada (kecintaan itu), maka tidak bermanfaat kalau tanpa ada syaratnya. Dengan ayat ini, semua makhluk ditimbang, sejauh mana bagian dia mengikuti Rasul, maka keimanan dan kecintaan untuk Allah (seperti itu juga). Dan kalau berkurang, maka berkurang juga.’ Selesai ‘tafsir As-Sa’dy, hal. 128.
و فد روي البخاري (6502) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ اللَّهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ ) .
Diriwayatkan oleh Bukhori, 6502 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku (wali), maka saya telah izinkan untuk diperangi. Dan apa yang didekatkan oleh hamba-Ku yang lebih Saya senangi dengan apa yang Saya wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan (melakukan amalan-amalan) sunnah sampai Saya mencintainya. Kalau Saya telah mencintainya, maka Saya adalah kuping yang digunakan untuk mendengarkan. Dan mata yang digunakan untuk melihatnya. Tangan yang digunakan untuk memukulnya serta kaki yang digunakan untuk berjalan. Kalau dia meminta-Ku, (pasti) akan Saya beri. Kalau dia meminta perlindungan, (pasti) Aku lindungi.
Maka dalam hadits qudsi yang agung itu menjelaskan bahwa barangsiapa yang mencintai Allah, maka dia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan apa yang dicintai-Nya. Dari menunaikan kewajiban dan sunnah-sunnah. Maka hal itu seorang hamba akan mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ‘Dan Kecintaan Allah tumbuh dari mengenal-Nya. Dan kesempurnaan pengenalan-Nya didapatkan dengan mengenal nama, sifat dan pekerjaan-Nya yang mulia. Serta memikirkan penciptaan-Nya yang mana didalamnya ada kecanggihan, hikmah dan penuh keajaiban. Maka hal itu menunjukkan kesempurnaan, kekuasaan, hikmah, ilmu dan rahmat-Nya.
Terkadang tumbuh dari memperhatikan nikmat-nikmat. Dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (marfu’an),
( أحبوا الله لما يغدوكم من نعمه ، وأحبوني لحب الله ) . خرجه الترمذي في بعض نسخ كتابه [ضعفه الألباني] .
“Cintailah Allah dikarenakan memberikan kepada kamu dari kenikmatan-kenikmatan-Nya. Dan cintailah aku karena kecintaan kepada Allah.’ HR. Tirmizi dalam sebagian naskah kitabnya, dan dilemahkan oleh Al-Albany.
Sebagian ulama’ salaf berkata, ‘Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa yang mencintainya, maka dia akan mentaati. Karena kecintaan itu mengandung ketaatan. Sebagaimana ungkapan sebagian ahli makrifah, ‘Sesuai dalam segala kondisi.’
Kecintaan kepada Allah itu ada dua derajat,
Salah satunya fardu (wajib) yaitu kecintaan yang terkandung melakukan perintah wajib dan meninggalkan dari larangan yang diharamkan. Sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Batasan ini merupakan suatu keharusan dalam mencintai Allah. barangsiapa yang kecintaannya bukan dalam taraf ini, maka dia pembohong mendakwakan kecintaan kepada Allah. sebagaimana perkataan ahli makrifah, ‘Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah sementara tidak menjaga batasan-batasan-Nya, maka dia pembohong. Barangsiapa yang jatuh melakukan sesuatu yang diharamkan atau kurang dalam melaksanakan kewajiban, maka kecintaan kepada Allah berkurang. Dimana dia lebih mengedepankan kecintaan kepada diri dan hawa nafsunya dibandingkan kecintaan kepada Allah. Karena kecintaan kepada Allah, kalau sempurna. Akan menghalangi terjerumus dari sesuatu yang tidak disukainya. Sesungguhnya terjerumus dari apa yang tidak disukainya dikarenakan kurangnya kecintaan yang wajib dalam hati. Mengedepankan hawa nafsu dari pada kecintaan kepada-Nya. Oleh karena itu keimanannya berkurang. Sebagaiamana sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, ‘Tidaklah orang akan berzina ketika dia berzina sementara dia dalam kondisi beriman.’ Al-Hadits
Derajat kedua dari kecintaan, yaitu sunnah. Menaikkan kecintaan itu dengan mendekatkan diri melakukan ketaatan yang sunnah. Menahan dari (terjerumus) syubhat dan makruh yang kecil. Redho dengan qadho yang menyakitkan. Sebagaimana perkataan ‘Amir bin Abdul Qais, ‘Saya mencintai Allah dengan kecintaan yang meringankan diriku pada semua musibah. Saya redho dengan semua bencana, saya tidak perduli dengan kecintaanku dalam kondisi apa waktu pagi dan petangku.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Saya waktu pagi hari tidak ada kesenangan kecuali pada ketentuan qada’ dan qadar. Ketika anaknya yang sholeh meninggal beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambilnya. Dan saya berlindung dengan (nama) Allah saya mempunyai kecintaan yang menyalahi kecintaan kepada Allah. sebagian tabiin berkata dalam kondisi sakitnya, ‘Dia mencintai diriku, maka saya mencintai-Nya.’ Selesai dari ‘Fathul Bari, karangan Ibn uRajab, 1/46-48.
Wallahu’alam .
Pertama,
Sesungguhnya pertanyaan anda dengan redaksi seperti itu, sangat aneh sekali. Bukan aneh kita mencintai Allah, tidak juga mencintai melebihi dari diri kita. Akan tetapi yang aneh adalah seseorang mempercayai bahwa dia punya Tuhan Pencipta kemudian dia tidak mencintai-Nya, tidak mengedepankan cinta-Nya daripada cinta pada diri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Semua keindahan disenangai, karena itu orang-orang pada senang. Maka hanya dari Allah saja. Allah Jalla Jalaluhu Maha Indah, dan Dia mempunyai keindahan yang layak untuk dirinya di tempat tertinggi.
Setiap ketinggian disenangi, karena itu orang-orang pada senang. Maka Allah Maha Besar dari semua yang besar dan paling Tinggi dari semua yang agung.
Dan semua kesempurnaan, orang-orang pada senang. Maka milik Allah Ta’ala kesempurnaan yang maha tinggi dan tempat tertinggi.
Setiap kebaikan dan keutamaan, orang-orang ihsan menyenanginya. Dari pemberian dan ihsan-Nya, bagaimana tidak disenangi Tuhan dalam masalah ini, dan Dialah Tuhan di tempat seperti.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah, bahwa macam kecintaan yang paling bermanfaat secara mutlak, yang lebih ditekankan, paling tinggi dan paling mulia adalah kecintaan yang hatinya diberikan untuk mencintai-Nya. Dan diberi fitrah penciptaannya untuk penyembahan. Dengannya bumi dan langit ditegakkan. Dengannya para makhluk diberi fitrah dan ini adalah rahasia Syahdah (persaksian) tiada Tuhan melainkan Allah. karena Tuhan adalah yang disembah oleh hati dengan kecintaan, ketinggian, keagungan, kehinaan, merendahkan diri serta beribadah. Dan ibadah tidak layak melainkan untuk-Nya saja. Dan ibadah adalah kesempurnaan cinta disertai dengan kesempurnaan merendah dan hina. Sementara kesyirikan dalam ubudiyah ini termasuk bentuk kedholiman terbesar yang Allah tidak akan mengampuninya. Allah Ta’ala mencintai untuk Dzat-Nya dari semua sisi, sementara lainnya hanyalah mengikuti dari kecintaan kepada-Nya.
Telah ada yang menunjukkan kewajiban kecintaat kepada-Nya Subhana semua kitab yang diturunkan, dan dakwah para rasul, serta fitrah yang (Allah) berikan fitrah kepada para hamba-Nya. Dan apa yang dipasang di akal, serta semua kenikmatan yang diberikan. Maka hati secara fitrah mencintai kepada yang memberi nikmat kepadanya, berbuat baik kepadanya. Bagaimana lagi bagi orang yang telah berbuat baik darinya? Apa saja dari kenikmatan yang ada pada makhluk, maka itu semua dari-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
( وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ ) [ سُورَةُ النَّحْلِ : 53 )
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.’ SQ. An-Nahl: 53.
Dan apa yang dikenal para hamba-Nya dari nama-nama-Nya nan Indah dan sifat yang tinggi, serta apa yang menunjukkan dampak dari penciptaan-Nya adalah kesempurnaan dan akhir dari ketinggian dan keagungan-Nya. Kecintaan dengannya ada dua faktor, keindahan dan ijmal (berbuat baik dan memberi kenikmatan). Dan Tuhan Ta’ala mempunyai kesempurnaan mutlak akan hal itu. karena Dia adalah Maha Indah senang terhadap keindahan. Bahkan semua keindahan adalah milik-Nya. Dan kebaikan semuanya adalah dari-Nya. Maka tidak berhak selain Dia untuk dicintainya dari segala sisi.
Sungguh orang yang menyamakan antara Dia dengan lainnya dalam mahabbah (kecintaan) telah mengingkarinya. Dan (Allah) telah memberitahukan bahwa orang yang melakukan seperti itu telah menjadikan selain Dia sebagai tandingan, mereka mencintai seperti kecintaan kepada Allah, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ) [ سُورَةُ الْبَقَرَةِ : 165 )
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” SQ. Al-Baqarah: 165.
(Allah) memberitahukan kepada orang yang menyamakan antara Dia dengan tandingan dalam kecintaan, bahwa mereka akan mengatakan ketika di neraka kepada sesembahannya, ‘"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam." SQ. As-Syuara’: 97-98.
Dengan Tauhid (penuh dengan) kecintaan, maka Allah Subhana mengutus semua Rasul-Nya, menurunkan semua kitab-Nya dan mencakup semua utusan-Nya dari awal sampai terakhir. Karena (kecintaan) diciptakan langit, bumi, surga dan neraka. Menjadikan surga untuk penghuninya dan neraka untuk orang-orang musyrik di dalamnya.
Sungguh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa, ‘Tidak sempurna keimanan seorang hamba sampai Dia (Allah) lebih dicintai dari anak, orang tua, dan seluruh manusia. Bagaimana dengan kecintaan Tuhan Jalla Jalaluhu?
Kalau Nabi sallallahu’alaihi wa sallam lebih utama dari kita dan diri kita dalam kecintaan serta kelazimannya. Bukankah Tuhan Jalla Jalaluhu, maha suci Nama-Nya lebih utama untuk dicintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya dari diri mereka. Dan semua hal dari-Nya untuk hamba-Nya yang beriman mengajak kepada kecintaan-Nya. Dari apa yang dicintai dan dibenci seorang hamba, pemberian dan pelarangan-Nya, kesehatan dan cobaan-Nya, digenggam dan dilapangkan, keadilan dan keutamaan, mematikan dan menghidupkan, kasih sayang dan kebaikan, rahmat dan kebaikan, ditutupi dan pengampunan-Nya, kasih sayang dan sabarnya kepada hamba-Nya, mengabulkan doanya, menghilangkan kesusahan, membantu yang membutuhkan, melepaskan kesulitan tanpa minta imbalan darinya, bahkan tanpa membutuhkan sama sekali dari seluruh sisi. Semuanya itu mengajak hati untuk menuhankan dan mencintainya. Bahkan memberikan kesempatan hamba melakukan kemaksiatan kepadanya serta membantu atasnya serta menutupinya sampai selesai keinginannya, menjaganya sampai selesai keinginan berbuat kemaksiatannya, dibantunya dengan kenikamatan. Merupakan faktor terkuat untuk mencintai-Nya. Kalau sekiranya seorang makhluk melakukan sedikit saja hal itu kepada makhluk lainnya, maka hatinya tidak dapat menguasi untuk mencintainya. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mencintai dengan sepenuh hati dan jiwa raganya kepada orang yang berbuat baik kepadanya secara berkesinambungan sebanyak hembusan nafas. Dengan melakukan kejelekan kepada-Nya. Kebaikannya turun, kejelekannya naik, mencoba mencintai dengan kenikmatannya sementara Dia tidak membutuhkan, seorang hamba marah kepadanya dengan melakukan kemaksiatan, sementara dia sangat membutukan kepadanya. Maka kebaikan, bakti serta kenikmatannya tetap diberikan kepadanya, tidak mengahalangi dengan kemaksiatannya. Begitu juga kemaksiatan dan kejelekan seorang hamba tidak memutuskan kebaikan Tuhannya kepadanya.
Yang jadi celaan, hatinya tidak mencintai dari urusan ini, sementara kecintaannya tergantung dengan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang anda cintai dari makhluk, atau mencintai anda. Sesungguhnya dia menginginkan anda untuk dirinya, dan menawarkan kepada anda. Sementara Allah subhana Wata’ala menginginkan anda untuk anda. Sebagaimana dalam atsar ilahi, ‘Hamba-Ku semuanya menginginkan anda untuk dirinya. dan Saya menginginkan anda untuk anda’. Bagaimana seorang hamba tidak malu bahwa Tuhannya dengan posisi seperti ini. Sementara dia berpaling dari-Nya, sibuk dengan mencintai lainnya, tenggelam hatinya dengan kecintaan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang berinteraksi dari makhluk, kalau dia tidak untung, maka dia tidak akan berinteraksi dengan anda. Harus ada salah satu bentuk keuntungan. Sementara Tuhan Ta’ala sesungguhnya, berinteraksi dengan anda, agar keuntungan untuk anda dengan sebanyak dan setinggi keuntungan. Satu dirham dilipatkan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat. Sementara kejelekan satu, amat cepat sekali terhapuskan.
Begitu juga Dia Subhanahu menciptakan anda untuk dirinya, menciptakan segala sesuatu untuk anda di dunia dan akhirat. Maka siapakah yang lebih utama dicurahkan untuk kecintaan dan mencurahkan semangat dalam (menggapai) keredhoan-Nya?
Begitu juga keinginan anda bahkan keinginan semua makhluk –kepada-Nya- dan Dia paling dermawan, paling mulia. Memberikan kepada hamba-Nya sebelum dia memintanya melebihi dari harapannya, mensyukuri sedikit amalannya dan akan menambahkan. Memaafkan banyak kesalahan dan menghapuskan.
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ. الرحمن :29
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” SQ. Ar-Rahman: 29.
Tidak tersibukkan pendengaran dari pendengaran (hamba), tidak salah dari banyaknya permintaan. Tidak sumpek rengekan orang yang meminta, bahkan senang dengan orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa. Senang diminta, marah kalau tidak meminta. Malu kepada hamba-Nya dimana seorang hamba tidak malu kepada-Nya. Menutupi dimana dia tidak menutupi dirinya. menyayangi dimana Dia tidak menyayangi dirinya. Dipanggil dengan kenikmatan dan kebaikannya menuju kemulyaan dan keredhoan-Nya tapi menolaknya. Mengutus utusan-Nya ketika memintanya, diutus bersamanya janjinya. Kemudian Allah subhanahu turun sendiri dan berfirman, ‘Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Saya beri. Dan barangsiapa yang memohon ampunan, maka Saya ampuni?
Bagaiamana tidak dicintai sementara hati, kebaikan tidak datang kecuali dari-Nya. Tidak menghilangkan kejelekan kecuali Dia, tidak mengabulkan doa, mengalihkan kesalahan, memaafkan dosa-dosa, menutupi aurat, menghilangkan kesusahan, menolong yang membutuhkan, sementara ingin mendapatkan keinginan selain dari-Nya? ‘selesai dari kitab Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 534-538.
Kalau sekiranya dibuka penutup kasih sayang Allah Ta’ala, kebaikan, perbuatan kepada hamba-Nya dari yang diketahui dan tidak diketahui, maka hati meleleh dengan kecintaan dan kerinduan kepada-Nya. Akan tetapi hati ditutup untuk melihat itu semua. Tenggelam ke alam syahwat, bergantung dengan sebab-sebab. Maka menutup kesempurnaan kenikmatannya. Dan itu ketentuan (Allah) Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Kalau tidak, hati mana yang meleleh menikmati manisnya pengetahuan kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Kemudian memberikan (kecintaan) kepada yang lainnya, dan merasa tenang dengan yang lain. Dan ini tidak akan mungkin selamanya.’ ‘Toriq Al-Hijrotain, hal. 281.
Kedua,
Allah telah menjelaskan kepada hamba-Nya jalan menuju kepada kecintaan-Nya Subhanahu, dengan berfirman:
( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ) آل عمران / 31-32.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." SQ. Ali Imron: 31-32.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘" ( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ ) yakni kamu akan mendapatkan diatas apa yang kamu minta dari kecintaan kamu kepada-Nya. Yaitu kecintaan Dia kepada kamu semua. Dan ini lebih agung daripada yang pertama. Sebagaimana perkataan sebagian ahli hikmah dan ulama’, ‘Urusan bukan mencintai, akan tetapi urusannya adalah dicintai.’ Hasan al-Basri dan ulama’ salaf lainnya mengatakan, ‘Suatu kaum menyangka mereka mencintai Allah, maka Allah uji mereka dengan ayat ini.
( فَإِنْ تَوَلَّوْا ) yakni menyalahi perintah-Nya, ( فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ). Hal itu menunjukkan menyalahi jalan-Nya itu kufur. Dan Allah tidak menyukai orang yang mempunyai sifat seperti itu. meskipun dia mendakwakan dan menyangka dirinya mencintai karena Allah dan mendekatkan kepada-Nya. Sampai dia harus mengikuti Rasul Nabi Ummi (buta aksara) penutup seluruh Rasul dan utusan Allah untuk seluruh makhluk jin dan manusia.’ Selesai ‘Tafsir Ibnu Katsir, 2/32.
As-Sa’dy rahimahullah berkata dalam mentafsirkan ayat ini, ‘Ayat ini di dalamnya ada kewajiban mencintai Allah. Begitu juga tanda, hasil dan buahnya. Maka Allah berfirman, ‘قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ ‘ yakni dakwaan anda semua dengan tempat yang tinggi, dimana tingkatan yang diatasnya tidak ada lagi tingkatan. Maka tidak cukup dengan hanya dakwaan, akan tetapi harus dibuktikan. Dan tanda kejujurannya adalah mengikuti Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam pada semua kondisi, ucapan dan perbuatannya. Pada pokok dan cabang agama, yang nampak maupun yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengikuti Rasul, hal itu menunjukkan kejujuran dakwaannya mencintai Allah Ta’ala. Allah mencintai dan memaafkan dosanya. Mengasihi dan menguatkan semua gerakan dan diamnya. Barangsiapa yang tidak mengikuti Rasul, maka tidak mencintai Allah Ta’ala. Karena kecintaan kepada Allah, mengharuskan mengikuti Rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak ada hal itu, menunjukkan ketiadaan (kecintaan) bahwa dia itu pembohong kalau sekiranya dia menyangka (mencintai Allah). meskipun kalau sekiranya ditakdirkan ada (kecintaan itu), maka tidak bermanfaat kalau tanpa ada syaratnya. Dengan ayat ini, semua makhluk ditimbang, sejauh mana bagian dia mengikuti Rasul, maka keimanan dan kecintaan untuk Allah (seperti itu juga). Dan kalau berkurang, maka berkurang juga.’ Selesai ‘tafsir As-Sa’dy, hal. 128.
و فد روي البخاري (6502) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ اللَّهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ ) .
Diriwayatkan oleh Bukhori, 6502 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku (wali), maka saya telah izinkan untuk diperangi. Dan apa yang didekatkan oleh hamba-Ku yang lebih Saya senangi dengan apa yang Saya wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan (melakukan amalan-amalan) sunnah sampai Saya mencintainya. Kalau Saya telah mencintainya, maka Saya adalah kuping yang digunakan untuk mendengarkan. Dan mata yang digunakan untuk melihatnya. Tangan yang digunakan untuk memukulnya serta kaki yang digunakan untuk berjalan. Kalau dia meminta-Ku, (pasti) akan Saya beri. Kalau dia meminta perlindungan, (pasti) Aku lindungi.
Maka dalam hadits qudsi yang agung itu menjelaskan bahwa barangsiapa yang mencintai Allah, maka dia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan apa yang dicintai-Nya. Dari menunaikan kewajiban dan sunnah-sunnah. Maka hal itu seorang hamba akan mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ‘Dan Kecintaan Allah tumbuh dari mengenal-Nya. Dan kesempurnaan pengenalan-Nya didapatkan dengan mengenal nama, sifat dan pekerjaan-Nya yang mulia. Serta memikirkan penciptaan-Nya yang mana didalamnya ada kecanggihan, hikmah dan penuh keajaiban. Maka hal itu menunjukkan kesempurnaan, kekuasaan, hikmah, ilmu dan rahmat-Nya.
Terkadang tumbuh dari memperhatikan nikmat-nikmat. Dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (marfu’an),
( أحبوا الله لما يغدوكم من نعمه ، وأحبوني لحب الله ) . خرجه الترمذي في بعض نسخ كتابه [ضعفه الألباني] .
“Cintailah Allah dikarenakan memberikan kepada kamu dari kenikmatan-kenikmatan-Nya. Dan cintailah aku karena kecintaan kepada Allah.’ HR. Tirmizi dalam sebagian naskah kitabnya, dan dilemahkan oleh Al-Albany.
Sebagian ulama’ salaf berkata, ‘Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa yang mencintainya, maka dia akan mentaati. Karena kecintaan itu mengandung ketaatan. Sebagaimana ungkapan sebagian ahli makrifah, ‘Sesuai dalam segala kondisi.’
Kecintaan kepada Allah itu ada dua derajat,
Salah satunya fardu (wajib) yaitu kecintaan yang terkandung melakukan perintah wajib dan meninggalkan dari larangan yang diharamkan. Sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Batasan ini merupakan suatu keharusan dalam mencintai Allah. barangsiapa yang kecintaannya bukan dalam taraf ini, maka dia pembohong mendakwakan kecintaan kepada Allah. sebagaimana perkataan ahli makrifah, ‘Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah sementara tidak menjaga batasan-batasan-Nya, maka dia pembohong. Barangsiapa yang jatuh melakukan sesuatu yang diharamkan atau kurang dalam melaksanakan kewajiban, maka kecintaan kepada Allah berkurang. Dimana dia lebih mengedepankan kecintaan kepada diri dan hawa nafsunya dibandingkan kecintaan kepada Allah. Karena kecintaan kepada Allah, kalau sempurna. Akan menghalangi terjerumus dari sesuatu yang tidak disukainya. Sesungguhnya terjerumus dari apa yang tidak disukainya dikarenakan kurangnya kecintaan yang wajib dalam hati. Mengedepankan hawa nafsu dari pada kecintaan kepada-Nya. Oleh karena itu keimanannya berkurang. Sebagaiamana sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, ‘Tidaklah orang akan berzina ketika dia berzina sementara dia dalam kondisi beriman.’ Al-Hadits
Derajat kedua dari kecintaan, yaitu sunnah. Menaikkan kecintaan itu dengan mendekatkan diri melakukan ketaatan yang sunnah. Menahan dari (terjerumus) syubhat dan makruh yang kecil. Redho dengan qadho yang menyakitkan. Sebagaimana perkataan ‘Amir bin Abdul Qais, ‘Saya mencintai Allah dengan kecintaan yang meringankan diriku pada semua musibah. Saya redho dengan semua bencana, saya tidak perduli dengan kecintaanku dalam kondisi apa waktu pagi dan petangku.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Saya waktu pagi hari tidak ada kesenangan kecuali pada ketentuan qada’ dan qadar. Ketika anaknya yang sholeh meninggal beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambilnya. Dan saya berlindung dengan (nama) Allah saya mempunyai kecintaan yang menyalahi kecintaan kepada Allah. sebagian tabiin berkata dalam kondisi sakitnya, ‘Dia mencintai diriku, maka saya mencintai-Nya.’ Selesai dari ‘Fathul Bari, karangan Ibn uRajab, 1/46-48.
Wallahu’alam .
Cintailah Mereka, Karena Mereka Telah Dicintai Allah
Allah berfirman (artinya):
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Di antara wujud ketundukan dan loyalitas
seorang muslim kepada Allah adalah ia mencintai sesuatu yang dicintai
oleh Allah dan membenci segala yang dibenci oleh-Nya. Ketika Allah telah
mengabarkan tentang keridhaan-Nya kepada para shahabat Muhajirin dan
Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka sudah
pasti mereka juga dicintai oleh-Nya. Oleh karena itulah, merupakan
keharusan bagi setiap pribadi muslim untuk mencintai mereka. Kecintaan
kepada para shahabat Nabi harus menjadi bagian dari prinsip hidup
beragamanya.
Mengenal Keistimewaan Para shahabat Nabi
Sungguh para shahabat Nabi adalah orang-orang istimewa. Mereka adalah manusia terbaik dan termulia di muka bumi ini setelah para Nabi dan Rasul. Yang paling utama dari mereka adalah empat al-Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian Umar bin al-Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, kemudian para shahabat yang diberi kabar gembira bahwa mereka adalah para penghuni surga (selain keempat shahabat tadi), yaitu Abdurrahman bin Auf, az-Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan seterusnya. Masih banyak para shahabat Nabi yang terbukti nyata telah memberikan andil yang besar dalam membela, memperjuangkan, dan mendakwahkan Islam bersama junjungan mereka, Rasulullah.
Sungguh para shahabat Nabi adalah orang-orang istimewa. Mereka adalah manusia terbaik dan termulia di muka bumi ini setelah para Nabi dan Rasul. Yang paling utama dari mereka adalah empat al-Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, kemudian Umar bin al-Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, kemudian para shahabat yang diberi kabar gembira bahwa mereka adalah para penghuni surga (selain keempat shahabat tadi), yaitu Abdurrahman bin Auf, az-Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan seterusnya. Masih banyak para shahabat Nabi yang terbukti nyata telah memberikan andil yang besar dalam membela, memperjuangkan, dan mendakwahkan Islam bersama junjungan mereka, Rasulullah.
Mereka adalah orang-orang yang wajib
untuk dicintai, dimuliakan, dan dijunjung tinggi kehormatannya.
Bagaimana tidak? Mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan
jaminan keridhaan dari Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya.
Allah melihat dan mengetahui kadar keimanan dan keikhlasan mereka yang
dengan itulah mereka dipilih oleh Allah untuk menjadi shahabat Nabi yang
senantiasa menyertai, membela, dan menolong beliau. Mereka juga
memperjuangkan dan mendakwahkan Islam ke berbagai penjuru.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan (artinya), “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba, maka Allah pun mendapati hati Nabi Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, sehingga Dia memilih Nabi Muhammad untuk diri-Nya dan Allah mengutusnya untuk menyampaikan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Nabi Muhammad, maka Allah mendapati hati para shahabat beliau adalah sebaik-baik hati dari para hamba, sehingga Allah jadikan mereka sebagai pembantu dan penolong Nabi-Nya yang berperang membela agama-Nya. Apa-apa yang menurut kaum muslimin (para shahabat) suatu kebaikan, maka di sisi Allah itu adalah suatu kebaikan. Dan apa-apa yang menurut mereka suatu kejelekan, maka di sisi Allah itu pun adalah suatu kejelekan.” (HR. Ahmad, no. 3418)
Abdullah bin Mas’ud mengatakan (artinya), “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba, maka Allah pun mendapati hati Nabi Muhammad adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, sehingga Dia memilih Nabi Muhammad untuk diri-Nya dan Allah mengutusnya untuk menyampaikan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Nabi Muhammad, maka Allah mendapati hati para shahabat beliau adalah sebaik-baik hati dari para hamba, sehingga Allah jadikan mereka sebagai pembantu dan penolong Nabi-Nya yang berperang membela agama-Nya. Apa-apa yang menurut kaum muslimin (para shahabat) suatu kebaikan, maka di sisi Allah itu adalah suatu kebaikan. Dan apa-apa yang menurut mereka suatu kejelekan, maka di sisi Allah itu pun adalah suatu kejelekan.” (HR. Ahmad, no. 3418)
Ketika mengetahui betapa tingginya
kemuliaan para shahabat, maka tidak ada lagi ganjalan bagi setiap
pribadi muslim untuk memberikan tempat di hatinya dalam rangka mencintai
dan memuliakan shahabat Nabi. Sebagaimana Allah l telah meridhai
mereka, maka kita pun harus ridha terhadap mereka. Satu hal penting yang
harus diperhatikan adalah jangan sampai kecintaan dan pemuliaan kepada
para shahabat Nabi tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa para shahabat
(baik dari kalangan Ahlul Bait maupun yang selainnya) adalah orang-orang
ma’shum (yang bersih dan terbebas dari kesalahan).
Mereka adalah manusia biasa yang
terkadang terjatuh ke dalam kesalahan. Namun kesalahan mereka amat
sangat kecil dibandingkan besarnya kebaikan yang ada pada mereka.
Kekeliruan mereka tertutupi dengan iman dan amal shalih yang senantiasa
mereka jaga. Kekurangan mereka tidaklah ada apa-apanya jika ditimbang
dengan tingginya keutamaan yang telah Allah anugerahkan kepada mereka.
Tidak sepantasnya seorang muslim memperbincangkan atau menggunjingkan
kesalahan maupun perselisihan yang terjadi di antara mereka. Sungguh,
perselisihan apapun yang terjadi, mereka tetap saling mencintai dan
menyayangi di antara mereka. Rasa kasih sayang di antara mereka
sekali-kali tidak akan luntur. Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati
hamba-Nya lah yang telah memberitakan hal itu (artinya),
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang (para shahabat) yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang (para shahabat) yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)
Para shahabat Rasulullah adalah manusia
terbaik sepeninggal beliau. Tidak ada lagi generasi yang semisal dengan
mereka tingkat keimanan dan ketakwaannya, selamanya. Rasulullah
bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baik umat manusia adalah
generasiku (yakni para shahabat), kemudian generasi setelah mereka
(tabi’in), kemudian generasi setelah mereka (atba’ at-Tabi’in).” (HR. al-Bukhari no. 2458, Muslim no. 4600)
Jangan Mencela dan Memusuhi Para shahabat Nabi
Walaupun keutamaan dan keistimewaan para shahabat Nabi telah demikian jelas dan gamblangnya, masih saja ada sekelompok orang yang mengaku Islam namun ternyata memendam kebencian dan permusuhan yang luar biasa terhadap para shahabat Rasulullah. Ada pula di antara mereka yang mencela, menghinakan, menjatuhkan kehormatan, melaknat, dan bahkan membunuh orang-orang yang telah diridhai oleh Allah tersebut. Sikap yang lancang seperti ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di sisi Allah, para shahabat adalah orang-orang yang terpuji.
Walaupun keutamaan dan keistimewaan para shahabat Nabi telah demikian jelas dan gamblangnya, masih saja ada sekelompok orang yang mengaku Islam namun ternyata memendam kebencian dan permusuhan yang luar biasa terhadap para shahabat Rasulullah. Ada pula di antara mereka yang mencela, menghinakan, menjatuhkan kehormatan, melaknat, dan bahkan membunuh orang-orang yang telah diridhai oleh Allah tersebut. Sikap yang lancang seperti ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di sisi Allah, para shahabat adalah orang-orang yang terpuji.
Terkait dengan ayat ke-100 dari surat
At-Taubah di atas, Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sungguh Allah Yang
Maha Agung telah mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang
terdahulu yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan shahabat Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka
sungguh celaka orang yang membenci dan mencela mereka, atau membenci dan
mencela sebagian dari mereka, terlebih lagi celaan terhadap pemuka
shahabat, tokoh terbaik dan termulia setelah Rasul, yaitu ash-Shiddiq
al-Akbar, Khalifah yang paling agung, Abu Bakar bin Abi Quhafah.
Sesungguhnya ada satu kelompok sempalan
yang hina dari kalangan (Syiah) Rafidhah, mereka memusuhi para shahabat
yang paling utama, membenci, dan mencela mereka, -kita berlindung kepada
Allah darinya-. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati
mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap al-Qur’an
ketika mereka mencela dan mencaci orang-orang yang telah diridhai oleh
Allah?
Adapun Ahlussunnah, sesungguhnya mereka
menyebutkan keridhaan mereka kepada orang-orang yang diridhai oleh
Allah, mencela orang-orang yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya,
memberikan loyalitas kepada orang-orang yang setia dan taat kepada
Allah, serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah. Ahlussunnah
adalah orang-orang yang senantiasa ittiba’ (mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya), bukan orang-orang yang mengada-adakan perkara baru dalam
agama di luar petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Ahlussunnah adalah orang-orang yang
meneladani (setiap bimbingan Allah dan Rasul-Nya), dan bukan orang-orang
mendahului (lancang dan melanggar bimbingan Allah dan Rasul-Nya). Oleh
karena itulah, mereka (Ahlussunnah) adalah Hizbullah (golongan Allah)
yang meraih kemenangan dan termasuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
(Tafsir Ibnu Katsir)
Benar apa yang dikatakan oleh al-Imam
Ibnu Katsir ini. Orang-orang Syiah Rafidhah adalah salah satu dari sekte
sempalan yang sangat getol mencela para shahabat Nabi. Dari dulu hingga
sekarang dan di masa mendatang -semoga Allah segerakan kehancuran
mereka-, mereka akan terus mengibarkan bendera permusuhan terhadap para
shahabat Rasulullah. Dengan berkedok ajakan dan seruan untuk mencintai
Ahlul Bait (keluarga dan kerabat Nabi), mereka terus menikam para
pendamping dan pembela Rasulullah tersebut dengan celaan, cacian, dan
laknat. Lalu, mereka hendak kemanakan ayat al-Qur’an yang memuji para
shahabat? Di mana pula kesetiaan dan ketaatan mereka kepada Nabi yang
telah bersabda,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ.
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ.
“Janganlah kalian mencela para
shahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian berinfak emas
sebesar gunung Uhud, maka tidak akan mampu menyamai infak satu mud salah
seorang di antara mereka (shahabat Nabi) dan tidak pula menyamai
setengahnya.” (HR. al-Bukhari no. 3397, Muslim no. 4610)
Disebabkan kelancangan sikap mereka
inilah, maka sangatlah pantas untuk dikatakan bahwa kelompok Syiah
Rafidhah merupakan golongan menyimpang yang sangat hina dan layak untuk
dihinakan. Tidak kalah sengitnya dalam memusuhi dan membenci para
shahabat adalah kelompok Khawarij. Tercatat dalam sejarah, kelompok yang
di zaman ini teridentifikasi sebagai kaum teroris itu telah memendam
permusuhan dan kebencian luar biasa kepada para shahabat. Lebih dari
itu, mereka juga berani menumpahkan darah orang-orang yang telah
diridhai Allah. Puncaknya adalah pembunuhan yang dilakukan oleh salah
satu tokoh besar Khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam terhadap manusia
terbaik di muka bumi ketika itu, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Sungguh aneh tapi nyata. Kebencian dan
permusuhan itu tetap membara di hati mereka. Padahal para shahabat telah
dijamin mendapatkan ridha Allah. Keutamaan mereka terabadikan dalam
kitab suci-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Dan pasti surga itulah yang akan
menjadi tempat kembali mereka. Tidak diragukan lagi, para shahabat Nabi
adalah para wali Allah. Barangsiapa yang memusuhi dan mencela mereka,
maka ia akan berhadapan dengan Allah. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah
berfirman,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ.
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ.
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku akan umumkan peperangan terhadapnya.” (HR. al-Bukhari no. 6021)
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk mencintai para shahabat Nabi dan melindungi hati kita dari kebencian terhadap mereka.
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk mencintai para shahabat Nabi dan melindungi hati kita dari kebencian terhadap mereka.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah
KHAS BUAT MAI....
Penulis: Ustadz Abu Abdillah
KHAS BUAT MAI....