Isnin, 11 Mei 2015

CERAI@TALAK








Talak dan Gugat Cerai dalam Islam

Talak dan Gugat Cerai dalam Islam

Perceraian atau talak yang dikenal juga dengan istilah gugat cerai adalah pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan negara. Perceraian adalah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi sosial yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia dihindari. Namun Islam memberi jalan keluar apabila ia dapat menjadi jalan atau solusi terbaik bagi keduanya.

DAFTAR ISI

  1. Definisi Cerai Talak
  2. Dalil Dasar Hukum Perceraian Talak
  3. Kategori Hukum Perceraian Talak
    1. Talak Wajib
    2. Talak Haram
    3. Talak Sunnah
    4. Cerai Makruh
    5. Cerai Mubah
  4. Shighat (Ucapan) Talak
    1. Talak Sharih (Eksplisit)
    2. Talak Kinayah (Tidak Langsung)
  5. Rukun Perceraian Talak
    1. Rukun Talak Bagi Suami
    2. Rukun Cerai Bagi Istri
    3. Rukun Ucapan Teks Talak
  6. Jenis Cerai Talak
    1. Cerai Talak oleh Suami
      1. Talak Raj'i
      2. Talak Ba'in
      3. Talak Sunni
      4. Talak Bid'i
      5. Talak Taklik
    2. Gugat Cerai oleh Istri
      1. Fasakh
      2. Khuluk
      3. Apa itu Talak Ba'in Sughra (Kecil)
  7. Taklik Talak
    1. Taklik Talak Ada 2 Macam
    2. Sighat Taklik Talak KUA
    3. Hukum Mengucapkan Taklik Talak
  8. Iddah Masa Tunggu
  9. Beda Talak Raj'i, Bain Sughra, Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in
  10. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama
    1. Proses Cerai Talak oleh Suami di Pengadilan Agama
    2. Proses Cerai Gugat oleh Istri di Pengadilan Agama
  11. Cara Suami Rujuk
  12. Rujuk< Talak dengan Dua Saksi
  13. Talak Tidak Sah atau Tidak Terjadi
    1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datang
    2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya
    3. Bercerita tentang talak
    4. Talak Orang Marah Tingkat Kemarahan Tertinggi dan Menengah
  14. CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM

DEFINISI CERAI TALAK

Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

DALIL DASAR HUKUM PERCERAIAN TALAK

- QS Al-Baqarah 2:229
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

- QS At-Talaq 65:1-7
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا*

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*

وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*

ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(ayat 1)

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(ayat 2)

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(ayat 3)

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (ayat 4)

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (ayat 5)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(ayat 6)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(ayat 7)


SHIGHAT (UCAPAN) CERAI TALAK ADA DUA

Ditinjau dari segi shighat, lafadz, ucapan cerai talak dari seorang suami pada istri, talak ada dua macam yaitu talak sharih (langsung, jelas, eksplisit) dan talak kinayah (tidak langsung, sindiran, implisit). Kedua shighat talak ini memiliki hukum tersendiri dalam soal terjadinya talak atau tidak.


TALAK SHARIH (LANGSUNG)

Talak sharih adalah ucapan talak secara jelas dan eksplist yang apabila diucapan pada istri maka jatuhlah talak/perceraian walaupun suami tidak berniat untuk cerai. Lafadz talak sharih ada 3 (tiga) yaitu:
(a) Talak atau cerai. Seperti kata suami pada istri: "Aku menceraikanmu." atau "Kamu dicerai", dsb.
(b) Pisah (mufaraqah)
(c) Sarah (pisah)


TALAK KINAYAH(TIDAK LANGSUNG, IMPLISIT)

Yaitu kata yang mengandung nuansa atau makna percraian tapi tidak secara langsung. Seperti kata suami pada istri "Pulanglah pada orang tuamu!"

Termasuk talak kinayah adalah talak sharih tapi dibuat secara tertulis atau melalui SMS (short text message).


HUKUM CERAI/TALAK
Hukum talak/perceraian itu beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah. Rinciannya sbb:

TALAK ITU WAJIB APABILA:

a) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
b) Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
c) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik

Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami

PERCERAIAN ITU HARAM APABILA:

a) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
b) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
c) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
d) Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih

PERCERAIAN ITU HUKUMNYA SUNNAH APABILA:

a) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
b) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya

CERAI HUKUMNYA MAKRUH APABILA:

Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama

CERAI HUKUMNYA MUBAH APABILA

Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

RUKUN PERCERAIAN/ TALAK
Ada 2 faktor dalam perceraian yaitu suami dan istri. Masing-masing ada syarat sahnya perceraian.

Rukun Talak bagi Suami

- Berakal sehat
- Baligh
- Dengan kemauan sendiri

Rukun Talak bagi Isteri

- Akad nikah sah
- Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Lafadz/teks talak:

- Ucapan yang jelas menyatakan penceraiannya
- Dengan sengaja dan bukan paksaaan

JENIS PERCERAIAN ADA 2 (DUA)

Ditinjau dari pelaku perceraian, maka perceraian itu ada dua macam yaitu (a) cerai talak oleh suami kepada istri dan (b) gugat cerai oleh istri kepada suami.

A. CERAI TALAK OLEH SUAMI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri. Ini adalah perceraian/talak yang paling umum. Status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.

Talak atau gugat cerai yang dilakukan oleh suami terdiri dari 4 (empat) macam sbb:

Talak raj’i

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan (melafazkan) talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan merujuk melainkan dengan akad nikah baru.

Talak bain

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga atau melafazkan talak yang ketiga kepada isterinya. Isterinya tidak boleh dirujuk kembali. Si suami hanya boleh merujuk setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.

Talak sunni

Yaitu perceraian di mana suami mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya ketika dalam keadaan suci

Talak bid’i

Suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika dalam keadaan haid atau ketikasuci tapi sudah disetubuhi (berhubungan intim).


Talak taklik

Talak taklik ialah suami menceraikan isterinya secara bersyarat dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.


TAKLIK TALAK

Taklik talak atau talak taklik dibagi ke dalam dua macam, yaitu taklik qasami dan taklik syarthi.


TAKLIK TALAK ADA 2 MACAM

Taklik qasami

Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.

Taklik Syarthi

Taklik Syarthi yaitu taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya. Syarat sah taklik yang dimaksud tersebut ialah perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari, hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak dan ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharaan suami.


ISI SIGHAT TAKLIK TALAK

Bunyi redaksi atau sighat taklik taklak yang diucapkan pengantin pria setelah ijab kabul di KUA dan termuat dalam buku Akta Nikah adalah sbb:

SIGHAT TAKLIK TALAK

بسم الله الرحمن الرحيم

Sesudah akad nikah saya (nama_mempelai_pria) bin (nama_ayah_mempelai_pria) berjanji dengan sepenuh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama_mempelai_wanita) binti (nama_ayah_mempelai wanita) dengan baik (mu'asyarah bilma'ruf) manurut ajaran syari'at islam.

Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :

1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimas Islam dan Penyelengara Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

Suami


HUKUM UCAPAN TAKLIK TALAK

Mengucapkan talklik talak oleh pengantin pria sesaat setelah ijab kabul hukumnya tidak wajib. Boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Berdasarkan pada

(a) Fatwa MUI pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996 yang menyatakan bahwa:

Pengucapan sighat ta'liq talaq, yang menurut sejarahnya untuk melindungi hak-hak wanita ( isteri ) yang ketika itu belum ada peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut, sekarang ini pengucapan sighat ta'liq talaq tidak diperlukan lagi. Untuk pembinaan ke arah pembentukan keluarga bahagia sudah di bentuk BP4 dari
tingkat pusat sampai dengan tingkat kecamatan.

(b) KHI Kompilasi Hukum Islam pasal 46 ayat (3)

Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.


B. GUGAT CERAI OLEH ISTRI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.

Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. Fasakh

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:

- Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- uami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
- adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.

Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. Khulu’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229

APA ITU TALAK BA'IN SHUGHRA

Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).

Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.


IDDAH MASA TUNGGU

Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai. Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru. Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru.

Rincian masa iddah sbb:

1. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2. Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3. Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS Al-Baqarah 2:228).
4. Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
5. Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’ atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid.
6. Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.


BEDA TALAK RAJ'I, TALAK BA'IN SUGHRA, TALAK 3 (TIGA) BA'IN KUBRO

Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj'i, talak ba'in sughra (kecil) dan talak ba'in kubra atau talak 3 (tiga). Perbedaan ketiganya adalah sbb:

Talak Raj'i (Rujuk)

Adalah cerai talak oleh suami dengan level talak 1 (satu) dan talak 2 (dua). Dengan status talak raj'i, maka suami boleh rujuk atau kembali pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad nikah baru. Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis, maka harus diadakan akad nikah baru.

Talak Ba'in Sughra (Kecil)

Talak Ba'in Sughra adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi ini, maka (a) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah; dan (b) suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad nikah yang baru.

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in Kubro

Talak 3 (Tiga) atau Talak Ba'in saja adalah perceraian di mana suami sama sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa iddah sudah habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain dan beberapa saat (bulan/tahun) kemudian pria kedua tersebut menceraikannya.


PROSEDUR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

Ada beberapa tahapan dalam melakukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama baik menyangkut cerai talak oleh suami atau cerai gugat oleh istri sbb:

PROSES CERAI TALAK OLEH SUAMI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya:
1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah tentang tata cara membuat surat permohonan (Pasal 119 HIR, 143 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat permohonan dapat dirub`h sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
b. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah atas permohonan cerai talak sebagai berikut :
a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syarhah tersebut;
b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah tersebut;
c. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah memanggil Pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989);

PROSES GUGAT CERAI OLEH ISTRI DI PENGADILAN AGAMA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :
1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. a. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah;
b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
c. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’aah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.


CARA SUAMI RUJUK

Selama masa iddah belum habis, suami boleh rujuk pada istri yang ditalak raj'i (selain talak 3) kapan saja. Cara rujuk sbb:

a. Rujuk dapat dilakukan dengan mengatakan pada istri "Aku rujuk". Atau berkata pada orang lain "Aku rujuk pada istriku" atau "Aku kembali ke istriku.

b. Rujuknya juga dianggap sah dengan perbuatan. Seperti melakukan hubungan intim dengan diniati rujuk.


RUJUK DAN TALAK DENGAN DUA SAKSI

a. Sunnah hukumnya menghadirkan dua saksi saat melakukan talak atau rujuk.
b. Tapi sah hukum talak dan rujuk tanpa ada saksi
c. Rujuknya suami tidak memerlukan adanya wali, atau mahar, atau kerelaan istri atau atas sepengetahuan istri. Rujuk tetap sah walaupun istri tidak tahu atas hal itu.


TALAK YANG TIDAK TERJADI ATAU TIDAK SAH

Perkataan 'talak', 'pisah', atau 'cerai' tidak terjadi atau tidak sah apabla diucapkan dalam kondisi dan situasi berikut:


1. Diucapkan dalam kalimat yang bermakna masa yang akan datagn (future tense, zaman mustaqbal)

Talak dalam Future Tense (Masa akan datang) Tidak Terjadi

Kalimat talak atau cerai yang menunjukkan waktu masa depan (Inggris: future tense; Arab: mustaqbal) itu tidak dianggap talak sharih (eksplisit) tapi dianggap talak kinayah (implisit) karena dalam konteks ini ia seperti janji talak. Karena itu ia membutuhkan niat agar talak terjadi dan sah. Syarwani dalam Hasyiyah Syarwani atas kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj menyatakan:
لو قال لزوجته تكون طالقاً هل تطلق أو لا؟ لاحتمال هذا اللفظ الحال والاستقبال، وهل هو صريح، أو كناية؟ والظاهر أنه كناية، فإن أراد به وقوع الطلاق في الحال طلقت، أو التعليق احتاج إلى ذكر المعلق عليه، وإلا فهو وعد لا يقع به شيء

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya "Kamu akan menjadi istri yang tertalak" apakah jatuh talak atau tidak? Karena kata ini mengandung kemungkinan zaman hal (masa sekarang) atau istiqbal (masa akan datang). Secara zahir, ini talak kinayah. Apabila suami ingin menjatuhkan talak saat ini juga dengan kalimat itu maka terjadi talak; apabila bermaksud taklik (talak kondisional), maka suami harus menyebut muallaq alaih (yang dijadikan kondisi / syarat). Apabila tidak, maka kalimat ini adalah janji yang tidak terjadi apa-apa.


2. Talak yang diucapkan dalam kalimat tanya hukumnya tidak sah alias tidak terjadi

Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Alfadz al-Minhaj 3/302 menyatakan
ولو قال أنت طالق أو لا أو أنت طالق واحدة أو لا بإسكان الواو فيهما لم يقع به شيء لأنه استفهام لا إيقاع فكان كقوله هل أنت طالق إلا أن يريد بقوله أنت طالق إنشاء الطلاق فتطلق ولا يؤثر قوله بعده أو لا

Artinya: Apabila suami berkata pada istrinya: "Kamu tertalak atau tidak?" atau "Kamu tertalak satu atau tidak?" maka talak tidak terjadi karena itu kalimat tanya bukan penjatuhan talak. Kalimat tersebut sama dengan kalimat (suami pada istri): "Apakah kamu perempuan yang tertalak?" Namun demikian, apabila dengan kata-kata tersebut suami (yakni kalimat "Kamu tertalak atau tidak?") ada niat untuk mentalak istrinya, maka talak terjadi.


3. Bercerita tentang talak tidak berakibat jatuh talak. Misalnya, suami bercerita pada istrinya bahwa tetangga sebelah ditalak oleh suaminya.

Zakariya Al-Anshari dalam kitab Al-Ghurar Al-Bahiyyah fi Al-Bahjah Al-Wardiyyah IV/246 menyatakan:
قوله: وقصد. أي قصد لفظه لمعناه أي قصد لفظه ومعناه؛ إذ المعتبر قصدهما ليخرج حكاية طلاق الغير، وتصوير الفقيه، والنداء بطالق لمن اسمها طالق

Artinya: ... yang dianggap (dalam talak) adalah kesengajaan dalam kata dan makna. Tidak termasuk dari talak adalah bercerita tentang talak orang lain, dan penjelasan talak seorang ahli fiqih, dan panggilan dengan kata "Taliq" (orang yang dicerai) bagi wanita yang kebetulan bernama Taliq.

3. Apabila suami menceraikan istrinya dengan talak 1, lalu setelah habis masa iddahnya, suami mentalak yang kedua kalinya (tanpa adanya rujuk atau akad baru), maka itu tidak terjadi talak. Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan suami-istri sama sekali.

4. Kalimat talak dengan memakai kalimat perintah tidak terjadi talak. Ibnu Abil Fath dalam Al-Matlak ala Abwab al-Fiqh (mazhab Hanbali) menyatakan:

ولا يحصل الحكم بالمضارع ولا بالأمر، لأن المضارع وعد كقولك: أنا أعتق وأدبر وأطلق، والأمر لا يصلح للإنشاء ولا هو خبر فيؤاخذ المتكلم به

Artinya: ... cerai talak tidak terjadi dengan kalimat kata perintah (fi'il amar) karena ia bukan kalimat berita dan tidak pantas dijadikan pernyataan.


4. Talaknya Orang Marah dengan Kemarahan Tingkat Tertinggi atau Menengah

Abdurrohman Al-Jaziri yaitu Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, hlm. 4/142 membagi kemarahan suami yang marah menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai berikut:

أما طلاق الغضبان فاعلم أن بعض العلماء قد قسم الغضب إلى ثلاثة أقسام :
الأول : أن يكون الغضب في أول أمره فلا يغير عقل الغضبان بحيث يقصد ما يقوله ويعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى يقع طلاقه وتنفذ عباراته باتفاق الثاني : أن يكون الغضب في نهايته بحيث يغير عقل صاحبه ويجعله كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه ولا ريب في أن الغضبان بهذا المعنى لا يقع طلاقه لأنه هو والمجنون سواء الثالث : أن يكون الغضب وسطا بين الحالتين بأن يشتد ويخرج عن عادته ولكنه لا يكون كالمجنون الذي لا يقصد ما يقول ولا يعلمه والجمهور على أن القسم الثالث يقع به الطلاق

Artinya: Adapun talaknya orang yang marah maka sebagian ulama membaga kemarahan itu menjadi 3 (tiga) bagian:

Pertama, kemarahan tingkat pertama. Ia tidak merubah akal orang yang marah dalam arti ia sengaja mengucapkan apa yang dikatakan dan menyadarinya. Tidak diragukan bahwa marah dalam tingkat ini sah dan terjadi talaknya menurut kesepakatan ulama.

Kedua, kemarahan tingkat tertinggi yang dapat merubah akal sehingga seperti orang gila yang tidak bersengaja atas apa yang dikatakan dan tidak menyadarinya. Tidak diragukan bahwa kemarahan dalam tingkat ini tidak terjadi talaknya karena ia sama dengan orang gila.

Ketiga, kemarahan tingkat menengah antara tingkat pertama kedua yakni orang yang emosinya meningkat dan keluar dari kebiasaan akan tetapi tidak sampai pada tingkat orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Menurut jumhur (mayoritas ulama antar mazhab) kemarahan tipe ketiga ini sah dan terjadi talaknya.

Pada halaman 4/144 Al-Jaziri dalam kitab yang sama (Al-Fiqh alal Mazahib Al-Arba'ah) mengutip pendapat beberapa mazhab secara detail dan juga pendapat Ibnul Qayyim sbb:

"Mazhab Hanafi menyatakan yang melakukan pembagian marahnya suami menjadi tiga bagian itu adalah Ibnul Qayyim, seorang ulama mazhab Hambali. Ibnu Qayyim memilih pendapat bahwa talaknya orang yang marah dalam kategori ketiga tidak sah dan tidak terjadi talaknya. Pendapat yang tahqiq menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang yang marah yang kemarahannya keluar dari karakter dan kebiasaan aslinya sehingga merubah rasionalitasnya dalam perkataan dan perbuatannya maka talaknya tidak terjadi (tidak sah) walaupun ia sadar dan sengaja dengan apa yang dia katakan. Ia sedang dalam keadaan berubah pemahamannya karena itu maka kesengajaannya itu tidak didasarkan pada pemahaman yang benar, maka ia seperti orang gila. Orang gila tidaklah harus selalu dalam keadaan tidak menyadari apa yang dikatakannya.

Orang yang marah dengan kemarahan tingkat menengah ini sering berbicara rasional tapi tidak bisa terus menerus konsisten bicara logis. Jelas ini menguatkan pendapat Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa tingkat kemarahan si suami tidak seperti orang gila.. Walaupun Ibnul Qayyim bermazhab Hanbali, akan tetapi ulama mazhab Hanbali tidak mengakui pendapat ini.

Yang dapat difaham dari kaidah keempat mazhab adalah bahwa kemarahan yang tidak sampai merubah kesadaran seseorang dan tidak menjadikannya seperti orang gila maka talaknya sah dan terjadi tanpa keraguan. Begitu juga kemarahan pada tingkat menengah yaitu kemarahan yang sangat sampai ia keluar dari tabiat asal tapi tidak sampai pada tingkat seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang dikatakan. Talaknya orang ini juga sah dan terjadi. Adapun talak yang dapat merubah kesadaran sehingga ia menjadi seperti orang gila maka talaknya tidak dianggap dan tidak sah.

Ini adalah pendapat eksplisit dari ulama mazhab Hanafi. Akan tetapi berdasarkan pendapat dari sebagian mazhab Hanafi bahwa kemarahan apabila keluar dari kebiasaan dan membuat si suami tidak rasional dalam perilaku dan perkataan maka talaknya tidak sah dan tidak terjadi. Pendapat ini adalah pendapat yang baik karena dalam keadaan ini ia seperti orang mabuk yang hilang akal dan kesadarannya disebabkan oleh minum miniman non-alkohol maka mereka dihukumi talaknya tidak terjadi. Dengan demikian, maka orang yang marah sebaiknya dihukumi demikian juga.

Ada yang bertanya dengan argumen bahwa menganalogikan orang marah dengan orang mabuk karena minuman non-alkohol telah menjadikan hukum hanya terbatas pada orang yang dimurkai Allah seperti marah karena mempertahankan diri atau harta atau agama. Sedangkan orang yang marahnya karena sebab yang haram seperti marah karena dengki pada orang yang tidak setuju padanya atas perkara batil atau marah pada istrinya secara zalim dan permusuhan dan kemarahannya sampai pada batas ini maka talaknya sah dan terjadi karena kemarahannya membuat dia tidak rasional. Maka jawabannya adalah: bahwa marah adalah sifat personal yang ada pada setiap manusia yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Pada dasarnya marah tidak haram karena ia bersifat inheren pada diri manusia untuk mempertahankan diri dalam membela agama, harga diri, harta dan nyawa. Yang haram adalah menggunakan kemarahan di luar tujuan yang dibolehkan. Beda halnya dengan alkohol yang tidak dibolehkan bagi manusia untuk menggunakannya dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, terjadinya talak bagi orang yang mabuk itu sebagai pencegahan agar tidak melakukannya. Sedangkan marah itu tidak mungkin dilarang karena itu merupakan watak bawaan manusia. Karena itu maka tidak sah membandingkan kemarahan manusiawi dengan mabuk karena minuman keras atau hal lain yang haram yang wajib dijauhi."(Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh alal Mazahib al-Arbaah, 4/144). Untuk teks Arabnya lihat di sini.

Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama Mesir kontemporer seperti Ali Jum'ah (mantan mufti Mesir), Sayyid Sabiq, Jad al-Haq,

===============
RUJUKAN

- Al-Quran dan Al-Hadits
- Kitab Al-Umm oleh Imam Syafi'i
- Kitab Mukhtashar al-Fiqh al-Islami fi Dhau al-Quran was Sunnah
- Kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi khususnya Kitab al Khuluk dan Kitab at Talaq.
- فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب oleh Abu Zakariya Al Anshari.
- www.pa-negara.go.id


Jenis-Jenis Perceraian (Talaq) Dalam Islam

Number of View: 28136
cUlama’ telah bersepakat bahawa ikatan perkahwinan akan tamat dengan adanya lafaz talaq sama ada dengan bahasa Arab atau lain-lain, dan sama ada dengan lafaz atau dengan tulisan atau dengan syarat, secara soreh atau secara kinayah.[1] Talaq pada umumnya boleh dibahagikan kepada dua jenis iaitu talaq rajcie dan talaq ba’in.
 2.5.1        Talaq Secara Soreh dan Kinayah
Talaq secara lafaz soreh berlaku apabila suami melafazkan talaq dengan menggunakan perkataan tertentu seperti ‘talaq’, ‘firaq’, atau ‘sarah’ tanpa memerlukan niat suami.[2]
 Manakala talaq secara kinayah atau kiasan pula iaitu talaq yang lafazkan oleh suami yang boleh membawa makna talaq atau sebaliknya, seperti perkataan ‘kamu dilepaskan’ ‘kembalilah kepada keluargamu’ dan sebagainya. Lafaz yang dibuat secara kinayah ini memerlukan niat suami iaitu sama ada ingin menceraikan ataupun sebaliknya.[3]
 2.5.2        Talaq Rajcie dan Talaq Ba’in
Talaq rajcie adalah talaq yang suami berhak merujuk kembali isterinya kepada hubungan perkahwinan tanpa perlu kepada caqad perkahwinan yang baru selagi isteri yang diceraikan itu masih berada dalam ciddah walaupun isteri tidak meredainya. Sekiranya habis ciddah, maka talaq rajcie bertukar menjadi ba’in. Oleh itu, suami tidak berhak merujuk isterinya melainkan dengan caqad yang baru.[4] Talaq ba’in dibahagikan kepada dua iaitu talaq ba’in sughra[5] dan talaq ba’in kubra[6].
Talaq ba’in sughra berlaku apabila suami melafazkan cerai sebelum melakukan persetubuhan yang hakiki. Selain itu talaq ba’in sugra juga berlaku apabila berlakunya tebus talaq (khuluc), talaq yang dijatuhkan oleh Qadi (fasakh) dan juga ilaa’.[7] Manakala talaq ba’in kubra pula berlaku apabila suami menceraikan isteri dengan 3 talaq sama ada dijatuhkan secara berasingan ataupun sekali lafaz dengan tiga talaq.[8] Kepelbagaian jenis talaq yang disyaricatkan ini jelas menunjukkan keunikan dan kesempurnaan serta keadilan Islam berbanding agama-agama lain demi menjamin kemaslahatan setiap pasangan dalam sesebuah perkahwinan tersebut.
2.5.3        Perceraian dalam Peruntukan Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia
Peruntukan mengenai perceraian di kalangan pasangan beragama Islam turut di peruntukkan dalam Akta dan Enakmen Undang-undang Keluarga Islam di setiap negeri. Mengikut pengamalan perundangan Islam di Malaysia, pembubaran perkahwinan boleh berlaku melalui pelbagai cara iaitu talaq, tacliq, khuluc, fasakh dan lican[9]
 i)          Perceraian Secara Talaq
Perceraian secara talaq berlaku apabila kedua-dua pihak suami dan isteri bersetuju untuk bercerai secara baik, atau suami membuat keputusan untuk menceraikan isteri dengan lafaz talaq. Perceraian jenis ini perlulah dibuat permohonan terlebih dahulu di Mahkamah dan didaftarkan untuk direkodkan. Perceraian secara talaq ini di peruntukkan dalam Akta /Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri-negeri.[10]
ii)         Perceraian Secara Tacliq
Tacliq didefinisikan mengikut Undang-undang Keluarga Islam sebagai lafaz perjanjian yang dibuat oleh suami selepas caqad nikah.[11] Pengamalan perundangan Keluarga Islam di Malaysia mengklasifikasikan perceraian secara tacliq berlaku apabila suami melanggar tacliq yang dibuat olehnya semasa upacara caqad nikah. Amalan tacliq ini walaupun tidak wajib mengikut hukum Syarac, tetapi ia boleh diterima pakai berdasarkan kepada persetujuan kedua-dua pihak. Hal ini dihujahkan oleh Hakim Tan Sri Mohamed Azmi dalam kes Fakhariah bte Lokman lawan Johari bin Zakaria.[12] Lafaz tacliq yang dibuat oleh suami semasa upacara caqad nikah ini berbeza mengikut negeri. Peruntukan perceraian secara tacliq ini turut dinyatakan di dalam Akta /Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri-negeri.[13]
iii)        Perceraian Secara Khuluc
 Perceraian secara khuluc merupakan salah satu alternatif perceraian yang turut diperuntukkan di dalam Undang-undang Keluarga Islam yang diamalkan di Malaysia.[14] Perceraian secara khuluc boleh berlaku dengan penawaran oleh pihak isteri untuk bercerai dengan suaminya dengan menawarkan sejumlah wang atau harta sebagai pampasan. Perceraian berlaku dengan lafaz talaq oleh suami apabila dia bersetuju dengan pampasan tersebut. Perceraian jenis ini juga termasuk dalam kategori talaq ba’in sughra, oleh itu ia tidak boleh dirujuk.
iv)        Perceraian Secara Fasakh 
Fasakh merupakan pembubaran perkahwinan melalui kuasa yang diberikan kepada Hakim (judicial decree). Walaupun hak untuk memohon fasakh terpakai kepada kedua-dua suami dan isteri, namun secara amalannya hak fasakh diberikan kepada isteri memandangkan suami mempunyai hak untuk melafazkan talaq. Perceraian secara fasakh boleh berlaku apabila hakim memutuskan untuk memfasakhkan perkahwinan tersebut dengan alasan yang boleh memudaratkan pihak-pihak dalam perkahwinan tersebut dan ia tidak dapat diselamatkan lagi. Peruntukan mengenai fasakh ini turut dinyatakan di dalam undang-undang Keluarga Islam negeri-negeri.[15]
v)         Perceraian Secara Lican
Perceraian secara lican berlaku apabila suami menafikan anak yang dilahirkan oleh isterinya atau anak di dalam kandungan isterinya sebagai anaknya, atau menuduh isterinya berzina dengan lelaki lain tetapi tidak dapat membuktikan melalui penyaksian empat orang saksi.[16] Maka apabila pihak-pihak tersebut (suami dan isteri) telah mengangkat sumpah dengan cara lican, mengikut hukum Syarac di hadapan Hakim Syarcie, maka mereka akan difaraqkan. Kesannya kedua-dua pihak tidak boleh rujuk kembali atau berkahwin semula. Peruntukan mengenai lican turut diperuntukkan dalam Undang-undang Keluarga Islam negeri-negeri. [17]
Oleh:

Sofian binti Ahmad
Pen. Penasihat Undang-undang (Syariah)
Pejabat Penasihat Undang-undang Kelantan.

[1] Syaltut Muhammad dan Al Sayis, Muqaranah al Mazahib, Dar al-Kutub, Beirut, hlm., 104-108.
[2] Taqiyuddin Abi Bakr b Muhammad al Hussaini, Kifayatul Akhyar, Dar al Macrifah, Mesir, T.t, hlm., 52.
[3] Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damsyik, 1997, Jilid 9, hlm., 6899.
[4] Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damsyik, 1997, Jilid 9, hlm., 6955.
[5] Ba’in sughra iaitu keadaan dimana suami tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya kecuali dengan caqad dan mahar yang baru. (Ibid.)
[6] Ba’in kubra iaitu keadaan di mana suami tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya atau bernikah dengan caqad yang baru kecuali setelah isteri yang diceraikan itu berkahwin dengan lelaki yang lain secara sah dan suami itu menyetubuhinya dan kemudian lelaki itu menceraikannya atau meninggal dunia.(Ibid. hlm., 6956).
[7] Ibid., hlm., 6957-6959.( Ilaa’ berlaku apabila suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya dalam satu tempoh masa yang tertentu dan dia tidak menyetubuhi isterinya dalam tempoh tersebut).
[8] Ibid., hlm., 6959.
[9] Seksyen 2 Akta Kesalahan Jenayah Syariah (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1997 mentakrifkan lican sebagai sesuatu pengataan yang dibuat oleh seseorang lelaki dengan bersumpah mengikut Hukum Syarac bahawa isterinya telah melakukan zina.
[10] Seksyen 47 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Selangor (2003), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[11] Seksyen 2, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[12] Jurnal Hukum, 1994, 69, hlm.,70.
[13] Seksyen 50, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[14] Seksyen 49, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[15] Seksyen 53,  Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[16]Al Syarbini, Shamsuddin Muhammad bin Muhammad Khatib, Mughni al Muhtaj, Darul cilmiyyah, Beirut, 2000, Jilid 3, hlm., 367,382.
[17] Seksyen 51, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
[1] Syaltut Muhammad dan Al Sayis, Muqaranah al Mazahib, Dar al-Kutub, Beirut, hlm., 104-108.
2 Taqiyuddin Abi Bakr b Muhammad al Hussaini, Kifayatul Akhyar, Dar al Macrifah, Mesir, T.t, hlm., 52.
3 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damsyik, 1997, Jilid 9, hlm., 6899.
4 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqhu al Islami Wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damsyik, 1997, Jilid 9, hlm., 6955.
5Ba’in sughra iaitu keadaan dimana suami tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya kecuali dengan caqad dan mahar yang baru. (Ibid.)
6 Ba’in kubra iaitu keadaan di mana suami tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya atau bernikah dengan caqad yang baru kecuali setelah isteri yang diceraikan itu berkahwin dengan lelaki yang lain secara sah dan suami itu menyetubuhinya dan kemudian lelaki itu menceraikannya atau meninggal dunia.(Ibid. hlm., 6956).
7 Ibid., hlm., 6957-6959.( Ilaa’ berlaku apabila suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya dalam satu tempoh masa yang tertentu dan dia tidak menyetubuhi isterinya dalam tempoh tersebut).
8 Ibid., hlm., 6959.
9 Seksyen 2 Akta Kesalahan Jenayah Syariah (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1997 mentakrifkan lican sebagai sesuatu pengataan yang dibuat oleh seseorang lelaki dengan bersumpah mengikut Hukum Syarac bahawa isterinya telah melakukan zina.
10 Seksyen 47 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Selangor (2003), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
11Seksyen 2, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
12Jurnal Hukum, 1994, 69, hlm.,70.
13 Seksyen 50, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
14 Seksyen 49, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
15 Seksyen 53,  Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).
16Al Syarbini, Shamsuddin Muhammad bin Muhammad Khatib, Mughni al Muhtaj, Darul cilmiyyah, Beirut, 2000, Jilid 3, hlm., 367,382.
17 Seksyen 51, Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Sembilan (2003), Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan (1984), Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Melaka (2003).

Penjelasan Mengenai Talak 1, 2, dan 3

Filed under: Ensiklopedia Islam,Fiqh,Hikmah,Munakahat,Seri Kesalahan2 — Tausiyah 275 @ 6:00 am
Bismillah,
Saya pernah menulis artikel tentang perceraian (talak) di sini dan sini. Di kedua artikel tersebut, saya belum menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan talak 1, 2, dan 3. Di artikel ini, insya ALLOH saya akan menjelaskan lebih rinci mengenai hal tersebut.
Seringkali kita mendengar atau membaca “talak 3 telah dijatuhkan bla bla bla…”. Apa pengertian dari kalimat tersebut?
Talak adalah pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Bisa juga dikatakan sebagai putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
Talak pada umumnya dilakukan oleh suami, meski sebagaimana di artikel saya sebelumnya ditulis bahwa talak juga bisa diajukan oleh pihak istri.
Apabila talak dilakukan oleh suami, maka ada beberapa jenis talak:
Talak sunni, yakni perceraian yang dilakukan oleh suami yang mengucapkan cerai talak kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya (sang istri beradaa dalam keadaan suci).
Talak bid’i, suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika sang istri dalam keadaan haid atau berada dalam kondisi suci tapi sang istri sudah disetubuhi (berhubungan intim).
Talak raj’i, yakni perceraian ketika suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada isterinya. Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah. Jika waktu iddah telah habis, maka suami tidak dibenarkan melakukan rujuk dengan istrinya kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
Talak bain, perceraian pada saat suami mengucapkan atau melafazkan talak tiga (atau ketiga) kepada isterinya. Isterinya tidak boleh diajak rujuk kembali kecuali setelah isterinya menikah dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah habis iddah dengan suami barunya.
Talak taklik, yakni suami yang menceraikan isterinya dengan sesuatu sebab atau syarat. Apabila syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah talak (cerai) yang memungkinkan si suami untuk kembali rujuk (termasuk mengajak berhubungan intim) dengan istrinya selama masa iddah. Dari penjelasan di atas, maka talak 1 dan talak 2 masuk dalam kategori talak raj’i. Sementara jika seorang suami menyatakan talak 3 kepada istrinya, maka dia tidak boleh rujuk kecuali syarat yang telah disebut di talak bain di atas.
Lalu, apakah talak itu bersifat akumulatif? Maksudnya, jika si suami menyatakan talak 1 kemudian masa iddah si istri habis, maka otomatis langsung talak 2? Terus terang, saya tidak belum pernah menemukan dalil yg mendukung hal ini. Berdasarkan apa yg saya pelajari dan ketahui, talak 2 terjadi apabila suami telah rujuk dengan istri usai talak 1.
Jadi, misalkan suami A dan istri B menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut talak 1. Setelah 4 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A kembali mentalak B. Nah, ini disebut talak 2. Meski telah talak 2, A masih boleh rujuk dengan B. Namun jika A kembali mentalak B, yg otomatis menjadikan talak 3 telah jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B menikah dahulu dengan X, berhubungan intim, lalu si X mentalaknya (minimal talak 1), serta sudah habis masa iddahnya.
Barangkali ada yg bertanya,apakah boleh sekali talak langsung talak 3?
Pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Al Baqarah(2):229), banyak ulama yg berpendapat bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan setelah 2 kali talak dan 2 kali rujuk.
Meski demikian, ada yg berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak 3 dengan merujuk pada hadits berikut ini:
“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim no 1472)
Merujuk pada hadits di atas, boleh2 saja seorang suami langsung menjatuhkan talak 3 sekaligus. Namun, seperti yg Umar katakan, bahwa perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yg tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan aturan Islam yg dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2 kali talak dan 2 kali rujuk.
Karena jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari menyesal dan ingin rujuk, maka seperti penjelasan2 di atas, TIDAK DIPERBOLEHKAN RUJUK kecuali si istri telah menikah dengan orang lain, disetubuhi suami barunya, dan diceraikan (ditalak). Itu berarti mesti dilakukan akad nikah baru. Apabila si suami memaksa rujuk dan berhubungan intim, maka hal tersebut dilarang dan hubungan intimnya bisa dikategorikan sebagai zina karena dilakukan oleh pasangan yg tidak resmi (dikarenakan telah terjadi talak 3).
Silakan merujuk pada ayat.“Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al Baqarah(2):230)
Namun, seorang istri yang telah ditalak 3 tidak boleh melakukan pernikahan dan persetubuhan serta perceraian ‘pura2′ hanya agar bisa kembali ke suami sebelumnya. Hal ini juga dilarang! Pernikahan seperti ini disebut pernikahan muhalil. Akan dijelaskan di lain waktu.
Semoga bermanfaat.


PEMBUBARAN PERNIKAHAN / JENIS TALAQ /



PEMBUBARAN PERNIKAHAN
a.      Talaq
  • Melepaskan ikatan perkahwinan dengan menggunakan lafaz cerai, talaq atau seumpamanya oleh suami kepada isteri.
b.      Ta’liq
  • Suami mengaitkan talaq dengan sesuatu syarat yang telah ditetapkan dengan menggunakan perkataan syarat atau ta’liq seperti kata suami kepada isteri, “sekiranya engkau pulang ke rumah ibu bapa engkau, akan tercerailah engkau.”
c.       Khuluk ( tebus talaq )
  • Penceraian yang diminta oleh isteri daropada suami dengan memberikan wang atau harta benda kepada suami sebagai bayaran ganti rugi untuk menebus dirinya (isteri)
d.      Fasakh
  • Pembubaran perkahwinan disebabkan oleh sesuatu keadaan yang diharuskan oleh Hukum Syara dengan kuasa Mahkamah sama ada dikemukakan oleh suami atau isteri

e.      Li’an
  • Tuduhan suami kepada isteri melakukan zina ( jika dia mengetahui isterinya telah berzina atau mempunyai sangkaan yang kuat bahawa isterinya berzina )

JENIS TALAQ
a.      Talaq raj’i – talaq yang suami dapat merujuk kembali kepada bekas isterinya dalam tempoh ‘iddah tanpa memerlukan akad serta mahar yang baru.
b.      Talaq bain – terbahagi kepada dua iaitu :
i-                    Bain sughra :
talaq yang suami tidak bolehrujuk kembali kepada bekas isterinya melainkan dengan akad perkahwinan dan mahar yang baru.
Contoh : khuluk dan fasakh
ii-                  Bain kubra :
Talaq dengan li’an – terputus hubungan suami isteri selama-lamanya
Talq yang dijatuhkan sebanyak tiga kali ( secara berasingan atau tiga kali sekaligus ).suami dilarang berkahwin semula dengan bekas isterinya melainkan bekas isterinya telah berkahwin dengan lelaki lain ( dengan pernikahan yang sah dan telah disetubuhi ) kemudian diceraikan dan telah tamat tempoh ‘iddahnya.

Tiada ulasan: