Awas Ulama’ Jahat
Awas Ulama’ Jahat
Idris haji Ahmad
3/5/12
Ulamak ialah pewaris Nabi SAW dan memegang amanah agama setelah ketiadaan para Rasul. Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir, maka tidak ada lagi Rasul yang diutuskan. Urusan ini akan diambil peranan oleh para ulama’
Ulamak ialah mereka yang menguasai ilmu agama dengan meluas. Mereka mesti menguasai ilmu bahasa Arab, Ulum Hadis, Ulum Tafsir, Akhlak, Feqah, Usul Feqh, Tafsir, Tarikh Tashrik, Qawaid Feqhiah,ilmu balaghah dan memahami isu semasa. Seorang ulmak wajib takut hanya kepada Allah SWT sahaja. Jika seorang yang mempunyai ketinggian ilmu tetapi takut kepada manusia maka ia bukan digolong sebagai ulamak.
Ulama mesti beramal dengan ilmunya dan mengajar pula kepada orang lain, dialah dikira sebagai orang yang mewarisi para nabi. Jika berlaku sebaliknya maka ia mewarisi kerja syaitan
Manakala ulamak al-Su’ (jahat) ialah ulamak yang memutar belitkan tujuan agama yang benar kepada yang lain demi kemaslahatan dirinya dan pemerintah walaupun bertentangan dengan agama.
Nabi SAW telah mengigatkan tentang bahayanya ulama’ jahat di dalam sabdanya
“Aku bimbang ke atas kamu orang yang lebih dahsyat dari dajjal. BIla ditanya : siapa mereka itu? Jawab Baginda :ulama’ su’.
Ulamak jahat juga seorang munafik yang durjana kerana dia sendiri tidak dapat manfaatkan ilmunya dan ia pula memudaratkan orang lain.
Awas! kita hendaklah membezakan antara ulamak jahat dengan ulamak akhirat.
Orang alim yang bersikap demikian ialah syaitan yang durjana yang bertopengkan manusia dan paling bahaya kepada agama Allah. Merekalah virus perosak yang paling merbahaya untuk membinasakan iman umat.
Kejahatan orang awam kesannya tidak seteruk kejahatan orang alim , kerana mereka menjadi suri teladan kepada orang lain. Segala fatwa mereka akan mempengaruhi cara hidup dan pemikiran orang lain. Jika seorang doktor silap memberi ubat maka ia hanya boleh mematikan seorang pesakit sahaja.
Sebenarnya ulamak jahat ia telah dilantik oleh syaitan menjadi wakil mereka untuk menyesatkan mereka dan memudah kerja syaitan untuk menyesatkan orang ramai. Ulamak jahat ini dipandang dan oleh Allah seperti keldai dan anjing
Firman Allah SWT
“Perumpamaan orang yang dipikulkan kepadanya kitab Taurat, tetapi mereka tiada memikulnya, bagaikan keldai yang memikul kitab-kitab. Amatlah buruk kaum yang mendustkan keterangan-keterangan Allah, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang menginaya dirinya”( Surah al-Jumaah:5”
Firman Allah SWT
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang kami berikan keterangan-keterangan kami kepadanya, lalu dibuangnya. Sebab itu mereka didatangai syaitan dan syaitan itu termasuk orang-orang yang sesat” (al-Araf 175)
Allah mengibaratkan ulamak yang jahat seperti anjing
“Perumpamaannya sebagai anjing, kalau engkau mengahalaunya dihulurkan lidahnya, dan jika engkau biarkan dihulurkan juga lidahnya” (Al-Araf 176)
Ulamak jahat ini muncul; sepanjang zaman kerana mereka ini akan hidup sama hayat dengan kehidupan manusia untuk menyesatkan manusia. Kita mudah untuk berhadapan dengan syaitan, sudah cukup dengan membaca ayat kursi dan Auzubillah. Tetapi syaitan manusia yang bertopengkan agama ini agak sukar untuk kita menghadapinya, kerana mereka juga boleh membaca al-Quran.
Ulamak jahat ini mereka berbicara seolah-olah mereka tidak takut kepada pembalasan Allah SWT. Mereka boleh mempermainkan ayat dan hadis tanpa sandaran yang kukuh.
Mereka akan cuba mencara dalil untuk menghalalkan tindakan pemerintah yang rakus semata-mata untuk kepentingan dunia mereka. Walaupun hati kecil mereka tidak boleh menerima apa yang mereka memberi pandangan tersebut kerana ia bertentangan dengan disiplin ilmunya. Tetapi oleh kerana dunia dan kedudukan mengatasi segala-galanya maka kesemua itu diketepikan.
Realiti yang berlaku kehidupan ulama’ jahat ini akan dihina ketika berada di atas dunia lagi. Pihak pemerintah hanya menyanjung mereka ketika mereka mampu mencari ayat yang menghalalkan tidakan mereka. Tetapi apabila mereka sudah tidak mampu mengeluarkan ayat-ayat yang meyenangkan pemimpin ynag zalim mereka juga akan diketepikan. Akhirnya hidup mereka berada di dalam keadaan yang hina sehingga akhir hayat mereka. Apa makna kehidupan sebegitu rupa, jika di dunia sudah tidak mampu mendapat darjat kedudukan yang baik maka di akhirat nanti akan menerima pembalasan daripada Allah SWT.
Di antara ciri-ciri ulamak jahat ialah takbur dengan pandangannya walaupun tidak betul dari segi kaedah pengambilan hukum. Melebihkan dunia sehingga mengabai tugas akhirat. Takut kepada manusia, tetapi tidak takut kepada Allah dan tidak merasa bimbang dengan apa yang mereka lakukan kepada Allah SWT. Tamak kepada dunia dan pangkat. Pengampu kepada pemerintah yang zalim. Takut memberi nasihat kepada pemimpin yang zalim. Tidak ada rasa sensitif terhadap penyelewingan yang dilakukan oleh pemerintah seperti rasuah dan penindasan. Mereka hanya memikirkan tentang kepentingan perutnya sahaja, biarlah agama dicerca. Bijak bermadah punjangga untuk menarik perhatian orang ramai walaupun salah dari segi fakta. Bercakap tidak serupa dengan bikin. Tidak memaparkan akhlak Islam yang sepatut ada kepada seorang yang ada ilmu agama. Keluarganya tidak menunjuk contoh suri teladan yang baik seperti anak isteri tidak memelihara aurat.
Ulama Dunia
9/1/2013
“Janganlah
kamu mempelajari ilmu supaya kamu dapat saling berbangga dengan sesama
orang berilmu dan supaya bertengkar orang-orang bodoh serta supaya
menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barangsiapa yang berbuat seperti
itu, ia berada di neraka.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ibn Hiban, al-Baihaqi dan
al-Hakim dengan sanad yang sahih. Al-Muttaqi al-Hindi meriwayatkan hadis
ini dan banyak hadis semacam ini dalam bab yang berjudul “Kejelekan
ilmu dan peringatan bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya” (Kanz al-‘Ummal, 10:183-217). Zakiy al-Din al-Mundziri mengutip hadis ini dalam bab “Ancaman bagi orang-orang yang mencari ilmu bukan karena Allah” (al-Targhib wa al-Tarhib 1:115-128).
Al-Ghazali memuat hadis ini pada bab yang berjudul “Tentang kejelekan
ilmu dan penjelasan tanda-tanda ulama akhirat dan ulama buruk” (Ihya ‘Ulum al-Din, 1:73). Judulnya bermacam-macam, tetapi semuanya mendaftarkan hadis tentang ulama jelek.
Al-Ghazali membedakan dua macam ulama: ulama dunia dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama buruk –ulama su’- yang menggunakan ilmunya untuk bersenang-senang dengan dunia atau untuk memperoleh kedudukan dan posisi. Yang kedua, ulama yang dimuliakan Islam. Al-Ghazali secara terperinci menjelaskan 12 karakteristik mereka. Dengan merujuk pada –tapi tidak sepenuhnya mengikuti- Ihya ‘Ulum al-Din 1:73-98 dan sumber-sumber lain seperti Kanz al-‘Ummal dan Al-Targhib, di sini kita justru mendaftar tiga karakteristik ulama dunia.
Bila Hanya untuk Duniawi. Misi ulama, menurut Sunnah Rasulullah SAW, ialah meneruskan misi para Rasul. Ia mencari, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu demi ridha Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW mengecam dengan keras ulama yang menjadikan tujuan hidupnya pada kehidupan mewah, popularitas atau kedudukan.
Tentang ulama yang mencari kemewahan dunia, Al-Ghazali menegaskan bahwa sebetulnya ulama sejati tidak akan mencintai dunia. Dengan kecintaannya kepada ilmu, dunia tidak lagi berarti baginya. Pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat ulama yang mengorbankan agama dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” (Al-Targhib, 1:115). Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda: “Celakalah umatku karena ulama buruk yang mengambil ilmu ini sebagai perdagangan. Mereka menjualnya kepada penguasa di zamannya untuk memperoleh keuntungan buat dirinya. Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan mereka!” (Kanz al-‘Ummal, hadis 29084).
Para ulama yang memperlakukan ilmunya sebagai komoditas, untuk tujuan komersial, menderita kehinaanlah ia pada hari kiamat. Di dunia, Tuhan akan menghilangkan dari dirinya kelezatan untuk bermunajat dengan Dia. Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua kelompok ulama umatku. Yang satu dianugerahi Allah ilmu, kemudian ia memberikan ilmunya kepada manusia dan tidak mengambil dunia dengan rakus dan tidak memperjualbelikannya. Kepada ulama yang demikian itu, akan berdoa semua burung di udara, ikan dalam air, binatang di permukaan bumi dan para malaikat yang mulia yang menulis amal manusia. Pada hari kiamat, ia akan dihadapkan kepada Allah sebagai penghulu yang mulia sehingga bergabung dengan para utusan. Sementara yang lain, yang dianugerahi ilmu di dunia ini, tetapi kikir dengan ilmunya itu sehingga tidak memberikannya kepada hamba-hamba Allah. Ia menggunakan ilmunya untuk mengambil dunia dengan rakus dan memperjualbelikannya. Ulama yang demikian itu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan dikekang dengan kekang api neraka” (Ihya, 1:76).
Dalam hadis Qudsi, Tuhan bersabda kepada Nabi Daud as: Serendah-rendahnya yang Kulakukan kepada seseorang yang berilmu, yang mengutamakan nafsunya di atas kecintaan kepada-Ku, ialah menghilangkan darinya kelezatan bermunajat kepada-Ku. Hai Daud, janganlah bertanya kepada-Ku tentang seorang berilmu yang telah mabuk dunia. Lalu ia memalingkan kamu dari jalan menuju-Ku. Para ulama seperti itu adalah perampok yang menghadang di jalan-jalan hamba-Ku. Hai Daud, jika kamu melihat orang yang mencari ilmu karena Aku, jadilah kamu pembantunya. (Ihya, 1:75).
Karena hadis-hadis seperti itu, para ulama salaf hidup sederhana. Karena tidak mencari dunia, mereka tidak bergantung pada penguasa atau orang-orang kaya. Mereka berani menyampaikan kebenaran dan menyuarakan penderitaan umatnya. Mereka tidak memoles pesan-pesan agama untuk menyenangkan para sponsornya. Setelah terikat dengan kepentingan dunia, terjadilah degradasi pada integritas ulama dan pesan agama yang disampaikannya. Ulama kehilangan keberaniannya. Mereka mengonstruksi agama dengan memperhatikan pangsa pasar. Pesan agama diturunkan dari “high culture” menjadi “pop culture”. Ulama tidak menuntun, tetapi dituntun oleh umatnya. Ketika umat menyukai pesan agama yang menghibur, para ulama menjadi qashahun (tukang-tukang dongeng).
Al-Ghazali membedakan dua macam ulama: ulama dunia dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama buruk –ulama su’- yang menggunakan ilmunya untuk bersenang-senang dengan dunia atau untuk memperoleh kedudukan dan posisi. Yang kedua, ulama yang dimuliakan Islam. Al-Ghazali secara terperinci menjelaskan 12 karakteristik mereka. Dengan merujuk pada –tapi tidak sepenuhnya mengikuti- Ihya ‘Ulum al-Din 1:73-98 dan sumber-sumber lain seperti Kanz al-‘Ummal dan Al-Targhib, di sini kita justru mendaftar tiga karakteristik ulama dunia.
Bila Hanya untuk Duniawi. Misi ulama, menurut Sunnah Rasulullah SAW, ialah meneruskan misi para Rasul. Ia mencari, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu demi ridha Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW mengecam dengan keras ulama yang menjadikan tujuan hidupnya pada kehidupan mewah, popularitas atau kedudukan.
Tentang ulama yang mencari kemewahan dunia, Al-Ghazali menegaskan bahwa sebetulnya ulama sejati tidak akan mencintai dunia. Dengan kecintaannya kepada ilmu, dunia tidak lagi berarti baginya. Pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat ulama yang mengorbankan agama dan ilmunya untuk kepentingan dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” (Al-Targhib, 1:115). Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda: “Celakalah umatku karena ulama buruk yang mengambil ilmu ini sebagai perdagangan. Mereka menjualnya kepada penguasa di zamannya untuk memperoleh keuntungan buat dirinya. Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdagangan mereka!” (Kanz al-‘Ummal, hadis 29084).
Para ulama yang memperlakukan ilmunya sebagai komoditas, untuk tujuan komersial, menderita kehinaanlah ia pada hari kiamat. Di dunia, Tuhan akan menghilangkan dari dirinya kelezatan untuk bermunajat dengan Dia. Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua kelompok ulama umatku. Yang satu dianugerahi Allah ilmu, kemudian ia memberikan ilmunya kepada manusia dan tidak mengambil dunia dengan rakus dan tidak memperjualbelikannya. Kepada ulama yang demikian itu, akan berdoa semua burung di udara, ikan dalam air, binatang di permukaan bumi dan para malaikat yang mulia yang menulis amal manusia. Pada hari kiamat, ia akan dihadapkan kepada Allah sebagai penghulu yang mulia sehingga bergabung dengan para utusan. Sementara yang lain, yang dianugerahi ilmu di dunia ini, tetapi kikir dengan ilmunya itu sehingga tidak memberikannya kepada hamba-hamba Allah. Ia menggunakan ilmunya untuk mengambil dunia dengan rakus dan memperjualbelikannya. Ulama yang demikian itu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan dikekang dengan kekang api neraka” (Ihya, 1:76).
Dalam hadis Qudsi, Tuhan bersabda kepada Nabi Daud as: Serendah-rendahnya yang Kulakukan kepada seseorang yang berilmu, yang mengutamakan nafsunya di atas kecintaan kepada-Ku, ialah menghilangkan darinya kelezatan bermunajat kepada-Ku. Hai Daud, janganlah bertanya kepada-Ku tentang seorang berilmu yang telah mabuk dunia. Lalu ia memalingkan kamu dari jalan menuju-Ku. Para ulama seperti itu adalah perampok yang menghadang di jalan-jalan hamba-Ku. Hai Daud, jika kamu melihat orang yang mencari ilmu karena Aku, jadilah kamu pembantunya. (Ihya, 1:75).
Karena hadis-hadis seperti itu, para ulama salaf hidup sederhana. Karena tidak mencari dunia, mereka tidak bergantung pada penguasa atau orang-orang kaya. Mereka berani menyampaikan kebenaran dan menyuarakan penderitaan umatnya. Mereka tidak memoles pesan-pesan agama untuk menyenangkan para sponsornya. Setelah terikat dengan kepentingan dunia, terjadilah degradasi pada integritas ulama dan pesan agama yang disampaikannya. Ulama kehilangan keberaniannya. Mereka mengonstruksi agama dengan memperhatikan pangsa pasar. Pesan agama diturunkan dari “high culture” menjadi “pop culture”. Ulama tidak menuntun, tetapi dituntun oleh umatnya. Ketika umat menyukai pesan agama yang menghibur, para ulama menjadi qashahun (tukang-tukang dongeng).
Mendekati Penguasa Lalim. Pada
mulanya, agak mengherankan melihat para pengumpul hadis melarang ulama
mendekati penguasa. Al-Ghazali menulis, “Di antara tanda-tanda ulama
akhirat ialah menjauhkan diri dari para penguasa. Ia tidak mau masuk ke
lingkungan penguasa selama ia bisa menghindarkannya. Bahkan sepatutnya
ia menjaga diri, tidak bergaul dengan mereka, meskipun mereka datang
| Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dilakukan untuk mencari keridhaan Allah, ia mempelajari ilmu-ilmu itu untuk memperoleh harta-harta duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” |
Berikut ini kita kutipkan hadis-hadis yang relevan dengan merujuk pada Kanz al-‘Ummal 10:183-194: Ulama adalah kepercayaan para Rasul selama mereka tidak bergaul dekat dengan penguasa. Jika mereka sudah bergaul dekat dengan penguasa, dan masuk ke dalam dunia, maka mereka sudah mengkhianati para Rasul. Berhati-hatilah kepada mereka (28953). Fuqaha adalah kepercayaan para Rasul selama tidak memasuki dunia dan mengikuti penguasa. Jika mereka melakukan itu, berhati-hatilah kalian menghadapinya (28954). Rusaknya agama karena tiga orang: faqih yang durhaka, pemimpin yang zalim, dan mujtahid yang jahil (28954). Jika kamu melihat orang berilmu yang banyak bergaul dengan para penguasa, ketahuilah ia pasti pencuri (28973).
Dan inilah hadis-hadis semacam yang dikutip Al-Ghazali: Akan datang kepada kalian penguasa yang kamu kenal dan kamu tentang. Maka barangsiapa menentangnya, ia terlepas darinya. Barangsiapa yang membencinya, ia selamat. Tetapi barangsiapa yang senang kepadanya dan mengikutinya, ia dijauhkan dari Allah SWT. Para sahabat bertanya: “Bolehkah kami perangi mereka?” Rasulullah SAW berkata: “Jangan, selama mereka melakukan shalat.”
Diriwayatkan, Hudzaifah berkata: “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Ketika ditanyakan tentang apa tempat-tempat itu, ia menjawab: “Pintu-pintu para penguasa. Ia membenarkan kebohongan penguasa itu dan berkata yang tidak sebenarnya” (Ihya, 1:83). Kepada Al-A’masy, orang berkata: “Engkau sudah menghidupkan ilmu dengan banyaknya orang yang berguru kepadamu.” Al-A’masy berkata: “Jangan tergesa-gesa memberikan penilaian! Sepertiga dari mereka mati sebelum mengerti. Sepertiga lagi banyak berkunjung kepada para penguasa sehingga jadilah mereka makhluk yang paling jelek. Sepertiga sisanya tidak beruntung, kecuali sedikit saja di antara mereka.” Karena itulah, Sa’id bin Musayyab berkata: “Jika kamu melihat seorang berilmu berjalan ke tempat para penguasa, berjaga-jagalah. Ia itu pencuri!” (Ihya, 1:84).
Al-Ghazali menutup pembicaraan tentang bahaya bergaul dengan penguasa, dengan berkata: “Inilah fitnah besar bagi ulama dan alat setan yang paling berat dilawan penguasa. Terutama sekali bagi ulama yang mempunyai cara berbicara yang disukai orang dan tutur katanya memikat. Setan tidak henti-hentinya berbisik kepada mereka: Nasihatmu kepada para penguasa dan pergaulanmu dengan mereka akan mencegah mereka berbuat zalim dan menyemarakkan syiar agama. Akhirnya dikhayalkanlah kepada mereka bahwa pergaulan dengan para penguasa itu bagian dari perjuangan agama. Kemudian, setelah dekat dengan penguasa, ulama itu pun mulai bersikap lemah-lembut dalam pembicaraan, berminyak air, menjilat dan mencari muka. Di sinilah hancurnya agama” (Ihya, 1:84).
Cepat Menjatuhkan Vonis. Salah satu ciri ulama dunia ialah tergesa-gesa memberikan fatwa. Sebelum ia menyelidik Al-Qur’an dan Sunnah, sebelum cukup informasi, ia sudah menjatuhkan vonis. Ulama akhirat, seperti dicontohkan para sahabat lulusan “madrasah” Rasulullah SAW, sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Makin tinggi ilmunya, makin berhati-hati ia dalam memberikan fatwa. Ia tidak akan mudah mengkafirkan golongan yang lain, sebelum ia mendalami paham golongan itu. Ia tidak merasa dirinya yang paling benar, karena ia tahu betapa luasnya ilmu Tuhan. Ia sering menjawab pertanyaan orang dengan “Saya tidak tahu!” Sebaliknya, makin jahil seseorang, makin cepat ia mengeluarkan fatwa. Ia pun makin merasa tahu dan makin berani menjawab pertanyaan. Al-Ghazali mengutip pendapat sebagian ulama: “Orang yang paling cepat memberikan fatwa ialah orang yang paling sedikit ilmunya. Orang yang paling keras menolak memberikan fatwa ialah orang yang paling menjaga diri.”
Menurut Rasulullah SAW, orang yang cepat berfatwa sebenarnya tidak disebut ulama. Beliau menyebut mereka “ruasa-a juhala” (tokoh-tokoh jahil). Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu begitu saja dengan mencabutnya dari manusia. Tetapi Ia mematikan para ulama. Ketika ulama sudah tiada, manusia mengambil tokoh-tokoh jahil. Mereka ditanya, lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Akan keluar pada akhir zaman sekelompok tokoh jahil. Mereka memberikan fatwa kepada manusia. Mereka sesat dan menyesatkan.” (Kanz al-‘Ummal, 29096, 29115). “Kalian –maksudnya sahabat-sahabat Nabi- hidup dalam suatu zaman ketika fuqaha (orang yang mengerti) banyak, tapi para pembaca (qura-uh) dan pengkhotbah sedikit. Sedikit yang bertanya dan banyak yang memberi. Pada zaman seperti ini, amal lebih baik daripada ilmu. Nanti akan datang suatu zaman ketika fuqaha-nya sedikit. Tapi para pengkhotbahnya banyak. Sedikit yang dapat memberikan ilmu, tapi banyak yang memintanya. Pada waktu itu, ilmu lebih baik daripada amal” (Ihya, 1:17). [JR]
Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Ulama Dunia”
Tuesday, 25 June 2013
Sedikit Hadis Nabi SAW Mengenai Keadaan Akhir Zaman
Orang Yang Tak
Sedarkan Diri
Daripada Abu Hurairah
r.a. bahawasanya Rasulullah SAW bersabda "Jika ada seseorang berkata,
ramai orang telah rosak, maka orang yang berkata itu sendiri yang paling rosak
di antara mereka" (HR Muslim)
Menjual Agama Kerana
Dunia
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Akan keluar pada akhir zaman
orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual agama. Mereka
berpakaian di hadapan orang lain dengan pakaian yang diperbuat daripada kulit
kambing (berpura-pura zuhud dari dunia) untuk mendapat simpati orang ramai, dan
perkataan mereka lebih manis daripada gula, padahal hati mereka adalah hati
serigala. Allah SWT berfirman kepada mereka "Apakah kamu tertipu dengan
kelembutanKu? Ataukah kamu terlalu berani berbohong kepadaKu? Demi kebesaranKu,
Aku bersumpah akan menurunkan suatu fitnah yang akan terjadi di kalangan mereka
sendiri, sehingga orang yang alim (cendekiawan) pun akan menjadi bingung"
(HR Tirmizi)
Pendusta Dan
Pengkhianat
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Akan datang kepada manusia
tahun-tahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu itu si pendusta dikatakan
benar dan orang yang benar dikatakan dusta. Pengkhianat akan disuruh memegang
amanah dan orang yang amanah dikatakan pengkhianat. Dan yang berkesempatan
berbicara (cuba membetulkan) hanyalah golongan "Ruwaibidhah". Sahabat
bertanya "Apakah Ruwaibidhah itu wahai Rasulullah?" Nabi SAW menjawab
"Orang kerdil, hina, dan tidak mengetahui bagaimana hendak mengurus orang
ramai" (HR Ibnu Majah)
Penindasan Terhadap
Umat Islam
Daripada Tsauban r.a.
beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Hampir tiba suatu zaman di mana
bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan
orang-orang yang kelaparan mengerumuni bekas hidangan mereka" Maka salah
seorang sahabat bertanya "Apakah kerana kami sedikit pada hari itu?"
Nabi SAW menjawab "Bahkan kamu pada hari itu terlalu ramai, tetapi kamu
umpama buih pada waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap
kamu daripada hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati
kamu penyakit 'wahan'. Seorang sahabat bertanya "Apakah 'wahan' itu, wahai
Rasulullah?" Rasulullah menjawab "Cinta dunia dan takut mati"
(HR Abu Daud)
Namanya Saja Islam
Daripada Ali bin Abi
Thalib r.a. beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW "Telah hampir
tiba suatu zaman, di mana tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan
tidak ada lagi dari Al-Quran kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka
indah, tetapi kosong daripada hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat
makhluk yang ada di bawah langit. Daripada merekalah keluar fitnah, dan kepada
mereka jua fitnah itu akan kembali " (HR Al-Baihaqi)
Budaya Barat Ikutan
Umat Islam Kini
Daripada Abu Sa'id
Al-Khudri r.a. beliau berkata, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda “Kamu akan
mengikut jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lubang biawak sekalipun
kamu akan mengikut mereka" Sahabat bertanya "Ya Rasulullah! Apakah
Yahudi dan Nasrani yang Tuan maksudkan?" Nabi SAW menjawab "Siapa
lagi?" (HR Muslim)
Ulama Tidak
Dipedulikan
Daripada Sahl bin
Saad as-Sa 'idi r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Ya Allah!
Janganlah Engkau menemukan daku dan mudah-mudahan kamu juga tidak bertemu
dengan suatu zaman di mana para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang
penyantun sudah tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam,
lidah mereka seperti lidah orang Arab" (HR Ahmad)
Ulama Agama Semakin
Berkurang
Daripada Abdullah bin
Amr bin 'Ash r.a. beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda
"Bahawasanya Allah SWT tidak akan mencabut (menghilangkan) ilmu dengan
sekali gus daripada manusia. Tetapi Allah SWT menghilangkan ilmu agama dengan
mematikan para ulama. Apabila telah ditiadakan para ulama, orang ramai akan
memilih orang-orang jahil sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang jahil itu
ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan
menyesatkan orang lain" (HR Muslim)
Golongan Anti Hadis
Daripada Miqdam bin
Ma'dikariba r.a. beliau berkata, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda
"Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk
bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan kepadanya sebuah hadis
dari hadisku maka dia berkata "Pegangan kami dan kamu hanyalah kitab Allah
sahaja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Quran kami halalkan, dan apa yang ia
haramkan kami haramkan" (Kemudian Nabi SAW melanjutkan sabdanya)
"Padahal apa yang diharamkan Rasulullah SAW itu samalah hukumnya dengan
apa yang diharamkan Allah SWT" (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Berbangga-Bangga
Dengan Masjid
Daripada Anas bin
Malik r.a. bahawasanya Rasulullah SAW bersabda "Tidak terjadi hari Kiamat
sehingga umatku bermegah-megah dengan bangunan masjid" (HR Abu Daud)
Tak Ada Imam Untuk
Solat Berjemaah
Daripada Salamah
binti al-Hurr r.a. beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda
"Akan datang suatu zaman, pada waktu itu orang banyak berdiri tegak
beberapa lama, kerana mereka tidak mendapatkan orang yang dapat mengimami
mereka solat" (HR Ibnu Majah)
Penyakit Umat Islam
Masa Kini
Daripada Abu Hurairah
r.a. katanya, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda "Umatku akan ditimpa
penyakit-penyakit yang pernah menimpa umat-umat terdahulu" Sahabat
bertanya "Apakah penyakit-penyakit umat-umat terdahulu itu?" Nabi SAW
menjawab "Penyakit-penyakit itu adalah, 1.Terlalu sombong, 2.Terlalu
mewah, 3.Mengumpulkan harta sebanyak mungkin, 4.Tipu menipu dalam merebut harta
benda dunia, 5.Saling memarahi, 6.Dengki-mendengki sehingga menjadi zalim
menzalimi" (HR Hakim)
Perangkap Riba
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Akan tiba suatu zaman, tidak
ada seorang pun kecuali dia terlibat dalam memakan harta riba. Kalau dia tidak
memakannya secara langsung, dia akan terkena debunya" (HR Ibnu Majah)
Manusia Tak Peduli
Mengenai Sumber Pendapatannya
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, bersabda Rasulullah SAW, "Akan datang suatu zaman
seseorang tidak mempedulikan daripada mana dia mendapatkan harta, apakah
daripada sumber yang halal atau pun haram" (Riwayat Muslim)
Khamar
Daripada Abu Malik
Al-Asy'ari r.a. katanya Rasulullah SAW bersabda "Sesungguhnya akan ada
sebahagian dari umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan nama
yang lain, sambil diiringi dengan alunan muzik dan suara biduanita. Allah SWT
akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan Allah SWT akan mengubah mereka
menjadi kera atau babi" (HR Ibnu Majah)
Banyaknya Perzinaan
Daripada Anas r.a. beliau
berkata "Aku akan menceritakan kepada kamu sebuah Hadis yang tidak ada
orang lain yang akan menceritakannya setelah aku. Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda "Di antara tanda kiamat ialah sedikit ilmu, banyak kejahilan,
banyak perzinaan, banyak kaum perempuan dan sedikit kaum lelaki, sehingga nanti
seorang lelaki akan mengurus lima puluh orang perempuan" (HR Bukhari
Muslim)
Berpakaian Tetapi
Telanjang
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda ''Ada dua golongan yang akan
menjadi penghuni Neraka, keduanya belum pernah aku melihat mereka. Pertama,
golongan (penguasa) yang mempunyai cambuk bagaikan ekor sapi yang digunakan
untuk memukul orang. Kedua, perempuan yang berpakaian tetapi telanjang,
lenggang-lenggok sewaktu berjalan, mengayun-ayunkan bahu. Kepala mereka
bagaikan bonggol (belakang unta). Kedua golongan ini tidak akan masuk syurga,
bahkan tidak akan dapat mencium bau harumnya. Sesungguhnya keharuman syurga itu
akan terhidu dari jarak perjalanan yang sangat jauh (HR Muslim)
Perilaku Manusia Masa
Kini
Daripada Aisyah r.a.
beliau berkata "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda "Tidak akan
terjadi hari kiamat sehingga seorang anak menjadi sebab kemarahan (bagi ibu
bapanya), hujan akan menjadi panas, akan bertambah banyak orang yang tercela
dan akan berkurang orang yang baik, anak-anak menjadi berani melawan orang tua,
dan orang yang jahat berani melawan orang-orang baik” (HR Thabrani)
Anak Menjadi Tuan
Kepada Ibunya
Daripada Umar bin
al-Khattab r.a. (dalam sebuah hadis yang panjang),; …kemudian Jibrail bertanya
kepada Rasulullah SAW " Maka khabarkan kepadaku tentang hari kiamat?"
Lalu Nabi SAW menjawab, "Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui
daripada orang yang bertanya” Maka Jibrail berkata "Kalau begitu cuba
khabarkan kepadaku tanda-tandanya" maka Nabi SAW menjawab "Bahawa
hamba akan melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang berjalan tanpa kasut,
dan orang yang bertelanjang lagi miskin yang hanya menggembala kambing itu
berlumba-lumba untuk membuat binaan" (Riwayat Muslim)
Peperangan Demi
Peperangan
Daripada Abu Hurairah
r.a, katanya Rasulullah SAW bersabda "Hari kiamat tidak akan terjadi
sehingga harta benda melimpah ruah dan timbul banyak fitnah dan sering terjadi
al-Harj. Sahabat bertanya "Apakah al-Harj itu wahai Rasulullah?" Nabi
SAW menjawab "Peperangan, peperangan, peperangan” Beliau mengucapkannya
tiga kali. (HR Ibnu Majah)
Perang Di Sekitar
Sungai Furat (Iraq) Kerana Berebut Kekayaan
Daripada Abu Hurairah
r.a, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda "Tidak terjadi hari kiamat
sehingga Sungai Furat (Sungai Euphrates, Iraq) menjadi surut airnya sehingga
kelihatan sebuah gunung dari emas. Banyak orang yang terbunuh kerana
merebutnya. Maka terbunuhlah sembilan puluh sembilan daripada seratus orang
yang berperang, dan masing-masing yang terlibat berkata "Mudah-mudahan
akulah orang yang selamat itu" Dalam riwayat lain disebutkan "Sudah
dekat suatu masa di mana Sungai Furat akan menjadi surut airnya lalu kelihatan
perbendaharaan dari emas, maka sesiapa sahaja yang hadir di situ janganlah dia
mengambil sesuatu pun dari harta tersebut" (HR Bukhari Muslim)
[Terdapat sebahagian
pihak yang menyatakan bahawa perkataan emas dalam Hadis ini merujuk kepada
petroleum]
Islam Akan Pudar
Secara Perlahan-Lahan
Daripada Huzaifah bin
al-Yaman r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Islam akan lenyap
seperti hilangnya corak pada pakaian, sehingga orang tidak mengetahui apakah
yang dimaksudkan dengan puasa, apakah yang dimaksudkan dengan solat, apakah
yang dimaksudkan dengan nusuk (ibadah), dan apakah yang dimaksudkan dengan
sedekah. Al-Quran akan hilang semuanya pada satu malam sahaja, maka tidak ada
yang tertinggal di permukaan bumi ini daripadanya walaupun hanya satu ayat.
Sesungguhnya yang ada hanya beberapa kelompok manusia, di antaranya orang tua,
lelaki, dan perempuan. Mereka hanya dapat berkata, Kami sempat menemui nenek
moyang kami mengucapkan kalimat LAILAHAILLALLAH, lalu kami pun mengucapkannya
juga” (HR Ibnu Majah)
Perselisihan Yang
Banyak
Daripada Abi Nijih
'Irbadh bin Sariyah r.a. beliau berkata "Telah menasihati kami Rasulullah
SAW akan satu nasihat yang menggetarkan hati kami dan menitiskan air mata kami
ketika mendengarnya, lalu kami berkata, Ya Rasulullah! Seolah-olah ini adalah
nasihat yang terakhir sekali maka berikanlah pesanan kepada kami" Lalu
baginda pun bersabda "Aku berwasiat akan kamu supaya sentiasa bertakwa
kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) sekali pun yang
memimpin kamu itu hanya seorang hamba. Sesungguhnya sesiapa yang panjang
umurnya daripada kamu pasti dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka
hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa Ar
Rasyidin Al Mahdiyin (Khalifah-khalifah yang mengetahui kebenaran dan mendapat
pimpinan ke jalan yang benar) dan gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi geraham
dan jauhilah perkara-perkara yang baru (bid'ah) yang diada-adakan, kerana sesungguhnya
tiap-tiap bid'ah itu adalah sesat" (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi)
Golongan Yang Selamat
Daripada 'Auf bin
Malik r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Umat Yahudi telah
berpecah-belah menjadi tujuh puluh satu golongan, maka hanya satu golongan
sahaja yang masuk syurga dan yang tujuh puluh akan masuk neraka. Umat Nasrani
telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, maka tujuh puluh satu
golongan masuk neraka dan hanya satu golongan sahaja yang masuk syurga. Demi
Tuhan yang diriku dalam kekuasaanNya, umatku akan berpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, hanya satu golongan sahaja yang masuk syurga dan tujuh
puluh dua akan masuk neraka. Sahabat bertanya "Golongan mana yang
selamat?" Nabi SAW menjawab "Mereka adalah jemaah” (HR Ibnu Majah)
Orang Asing
Daripada Abu Hurairah
r.a. beliau berkata, Bersabda Rasulullah SAW "Islam mula berkembang dalam
keadaan asing, dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang-orang
yang asing" (HR Muslim)
Kepayahan Orang Yang
Beriman
Daripada Anas r.a.
Rasulullah SAW bersabda ''Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana orang
yang berpegang teguh di antara mereka kepada agamanya laksana orang yang
memegang bara api. (HR Tarmizi)
Kesusahan Itu Lebih
Baik Daripada Kesenangan
Daripada Ali bin Abi
Thalib r.a. "Bahawasanya kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW di dalam
masjid. Tiba-tiba datang Mus'ab bin Umair r.a. Dan tidak ada di badannya
kecuali hanya selembar selendang yang bertampal dengan kulit. Tatkala
Rasulullah SAW melihat kepadanya. Baginda menangis dan menitiskan air mata
kerana mengenangkan kemewahan Mus'ab ketika berada di Mekah dahulu (kerana
sangat dimanjakan oleh ibunya), dan kerana memandang nasib Mus'ab sekarang
(ketika berada di Madinah sebagai seorang Muhajirin yang meninggalkan segala
harta benda dan kekayaan di Mekah). Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda
"Bagaimanakah keadaan kamu pada suatu hari nanti, pergi pada waktu pagi
dengan satu pakaian, dan pergi pada waktu petang dengan pakaian yang lain pula.
Dan apabila diberikan satu hidangan, diletakkan pula satu hidangan yang lain.
Dan kamu menutupi (menghiasi) rumah kamu sebagaimana kamu memasang kelambu
Kaabah?” Maka jawab sahabat "Wahai Rasulullah, tentunya keadaan kami pada
waktu itu lebih baik daripada keadaan kami pada hari ini. Kami akan memberikan
perhatian sepenuhnya kepada masalah ibadat sahaja dan tidak bersusah payah lagi
untuk mencari rezeki" Lalu Nabi SAW bersabda "Tidak! Keadaan kamu
hari ini adalah lebih baik daripada keadaan kamu pada hari itu" (HR Tirmizi)
Golongan Yang
Sentiasa Menang
Daripada Mughirah bin
Syu'bah r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda "Sentiasa di kalangan
umatku ada golongan yang sentiasa menang (dalam perjuangan mereka), sehingga
tiba pada suatu waktu yang dikehendaki Allah SWT. Mereka senantiasa menang. (HR
Bukhari)
Pertempuran Dengan
Dajal
Daripada Nafi' bin
Utbah r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda “Kamu akan bertempur dengan
Jazirah Arab, dan Allah akan memberi kemenangan kepada kamu, kemudian kamu akan
bertempur dengan Parsi, dan Allah akan memberi kemenangan kepada kamu; Kemudian
kamu akan bertempur dengan Rom, dan Allah akan memberi kemenangan kepada kamu;
Kemudian kamu akan bertempur dengan Dajjal, dan Allah akan memberi kemenangan
kepada kamu.” (HR Muslim)
Thursday, August 26, 2010
CIRI-CIRI DAN ADAB-ADAB SEORANG ULAMA
buluh.iluvislam.com
Posted by admin on November 7th, 2009
Assalamualaikum Warahmatullah.
PENGENALAN
Memandangkan terdapat beberapa ahli iLuvislam yang PM saya bertanyakan tentang ulama, maka saya mengambil kesempatan yang singkat ini untuk menjelaskannya secara ringkas mengenai ciri-ciri ulama. Selain itu juga, beberapa thread di iLuvislam juga turut membincangkan perkara ini dan saya melihat tiada kesudahan yang baik pada thread-thread berikut. Oleh itu, saya mengambil kesempatan ini untuk menjelaskan perkara ini agar semua pihak dapat mengambil manfaatnya. InsyaAllah.
MAKSUD PERKATAAN ULAMA
Perkataan ulama merupakan kata jamak dari kata dasar alim bermaksud seseorang mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat mendalam. Ini berbeza dengan perkataan alim yang beerti orang yang mengetahui akan tetapi belum tentu orang itu mendalami. Perkataan ulama ini telah disebutkan pada beberapa tempat di dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. samaada secara langsung ataupun tidak yang menunjukkan bahawa ulama adalah individu-individu terpilih yang menguasai ilmu Allah Taala dengan mendalam dan memiliki akhlak terpuji. Oleh itu, ulama yang saya maksudkan di sini ialah seseorang pakar yang mempunyai ilmu pengetahuan berkenaan dengan agama Islam secara mendalam dengan syarat-syarat tertentu sebagai ulama.
Para ulama ialah mereka yang mampu menyingkap dan memahami dalil-dalil daripada al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. dengan sempurna. Mereka sentiasa istiqamah dan melazimi ilmu-ilmu yang mereka perolehi itu dengan ikhlas yang diajarkan kepada mereka bersumberkan dari Rasulullah S.A.W. Agama Islam telah mengiktiraf ulama sebagai pewaris para nabi sepertimana yang terdapat di dalam sebuah hadis:
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil (warisan ilmu) tersebut ia telah mengambil habuan yang paling sempurna.
(Riwayat Ahmad, Tarmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah).
CIRI-CIRI RINGKAS ULAMA
Jikalau hendak disenaraikan ciri-ciri ulama satu persatu, sudah tentulah tidak terhitung banyaknya. Jadi saya nyatakan secara ringkasnya sahaja ciri-ciri seorang ulama sepertimana berikut:
- Sentiasa melakukan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya.
- Mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat mendalam berkenaan agama Islam di dalam segenap sudut.
- Beramal dengan segala ilmu yang dimilikinya.
- Berakhlak mulia.
- Tidak gentar untuk menegur dan berkata benar kepada sesiapa sahaja.
- Mempunyai sifat-sifat terpuji seperti: Zuhud, warak, sabar, jujur, ikhlas dan sebagainya lagi.
- Meninggalkan perkara-perkara mazmumah seperti: Riyak, takabur, sombong, angkuh dan sebagainya lagi.
- Sentiasa menyampaikan ilmu pengetahuan dan menyeru manusia kepada Islam.
- Dan banyak lagi.
ADAB-ADAB SEORANG ULAMA ATAU GURU
Seperti yang saya telah sebutkan di atas, jika hendak disenaraikan satu persatu ciri-ciri ulama, sudah tentulah akan mengambil masa yang panjang. Oleh itu, di sini saya nyatakan pula adab-adab bagi seorang ulama atau alim serta guru sepertimana yang telah diperkatakan oleh Imam Ghazali di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah:
- Mampu menanggung kesusahan.
- Bersabar dengan kesulitan.
- Duduk dengan rasa hormat serta berkelakuan tenang ketika bersama manusia.
- Meninggalkan takbur di atas sekalian hambaNya kecuali terhadap orang yang zalim.
- Mencegah daripada kezaliman.
- Memilih tawaduk pada perhimpunan dan pada majlis orang ramai.
- Meninggalkan gurau-senda dan bermain-main.
- Melayan dengan baik pelajar yang kurang pandai.
- Membimbing pelajar yang angkuh.
- Memperbaiki pelajar yang bodoh dengan tunjuk ajar yang baik.
- Tidak marah kepada pelajar yang bodoh.
- Tidak malu daripada berkata ‘aku tidak tahu’.
- Memberikan perhatian kepada pertanyaan.
- Memahami soalannya.
- Menerima hujjah.
- Tunduk kepada kebenaran dengan kembali kepadanya ketika bersalah.
- Melarang pelajar daripada setiap ilmu merbahaya.
- Melarang pelajar daripada menghendaki dengan ilmu selain dari Allah Taala.
- Melarang pelajar daripada sibuk menuntut ilmu fardhu kifayah sebelum selesai menuntut ilmu fardhu ain. Ilmu fardhu ain ialah berkenaan dengan membaikkan zahir dan batin dengan takwa.
- Memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu dengan takwa, supaya dapat mencontohi amalannya dan mengambil manfaat daripada percakapannya.
CIRI-CIRI ULAMA DUNIA
Berikut saya nyatakan juga ciri-ciri ulama dunia. Saya senaraikan di sini berdasarkan kitab Ulama al-Suq Ulama al-Dunya karangan al-Amin al-Haj Muhammad Ahmad sepertimana berikut:
- Menyembunyikan ilmu dan kebenaran.
- Cintakan dunia dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya.
- Mengikut hawa nafsu.
- Berkeinginan untuk mendampingi dan mendekati pemerintah.
- Berpura-pura di dalam masyarakat.
- Menjanjikan akhirat dengan dunia mereka dan di dalam kehidupan mereka melebihkan perkara-perkara dunia serta lainnya.
- Mengkaji dan menyelidik dengan kesalahan dan kekurangan.
- Fatwa dengan mengikut syahwat.
- Dengki dan benci serta tidak insaf.
- Berbeza amalannya dan kata-katanya.
- Berdolak-dalih dan berhelah.
- Menjawab sesuatu dengan akal dan mengingkari serta bongkak untuk menerima kebenaran.
PERANAN DAN KEPENTINGAN ULAMA
Semenjak kebelakangan ini kedengaran suara-suara sumbang daripada segolongan pihak yang cuba merendah-rendahkan keilmuan dan kemuliaan para ulama. Mereka ini berkata bahawa para ulama bukanlah maksum seperti Rasulullah S.A.W. Oleh itu, mereka menyarankan agar tidak perlu mengikut tunjuk ajar daripada ulama untuk memahami urusan agama Islam ini. Mereka berkata lagi bahawa boleh sahaja untuk mengambil terus daripada dalil-dalil al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. dengan kefahaman sendiri. Adakah tindakan ini bertepatan dengan Islam?
Firman Allah Taala bermaksud:
Maka hendaklah kamu bertanya kepada ahli zikir (ulama) seandainya kamu tidak mengetahuinya.
(Surah al-Nahl: Ayat 43).
Oleh itu, saya ingin mengajak para pembaca termasuklah diri saya sendiri bermuhasabah terlebih dahulu sebelum hendak mengatakan sesuatu kepada para ulama. Sila baca dan jawab dengan ikhlas soalan-soalan berikut:
Berapa banyak ayat al-Quran al-Karim yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak hadis Rasulullah S.A.W. yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak kitab-kitab dari ulama muktabar yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak ilmu agama yang kita dalami dan fahami?
Berapa banyak ulama dan guru yang sentiasa kita lazimi untuk mendalami ilmu agama secara bersanad dan bertalaqi?
Dan pelbagai soalan lagi.
Jadi apakah jawapan kita terhadap soalan-soalan di atas? Mampukah kita duduk sama taraf dengan para ulama? Sedangkan mereka jauh lebih alim dan mengetahui daripada kita berkenaan agama Islam. Mereka memiliki segala ilmu yang cukup bagi membolehkan mereka mengeluarkan hukum-hakam agama untuk keperluan manusia. Mereka jugalah adalah dari kalangan hamba yang amat takutkan Allah Taala.
Firman Allah Taala bermaksud:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah Taala di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.
(Surah Faathir: Ayat 28).
PERINGATAN PENTING
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Sesungguhnya Allah Taala tidak menghilangkan ilmu agama itu dengan dicabutkan sekaligus daripada manusia, tetapi Allah Taala akan menghilangkan ilmu itu dengan mematikan para ulama. Sehingga apabila sudah tiada para ulama, manusia akan melantik pemimpin mereka dari kalangan orang-orang yang jahil lalu mereka akan ditanya hukum sesuatu masalah maka mereka menjawab atau berfatwa tanpa ilmu pengetahuan maka mereka sesat dan menyesatkan orang lain.
(Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi).
Kita mesti mengakui bahawa para ulama bukannya maksum dan mereka tidak boleh lari dari melakukan kesilapan yang tidak disengajakan. Namun jika hendak dibandingkan dengan kita, sudah tentulah mereka lebih layak untuk mengeluarkan hukum-hakam kerana mereka telah memahami ilmu agama dengan mendalam. Oleh itu, kita sebagai masyarakat awam ini, tidak perlulah kita merasa diri terlalu hebat daripada para ulama yang sentiasa mendapat petunjuk daripada Allah Taala. Hormatilah para ulama dengan sebaiknya. Berakhlaklah kita kepada mereka jikalaupun mereka telah tersalah di dalam mengeluarkan pandangan.
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang dewasa kami, menyanyangi anak kecil kami dan menghormati ulama kami.
(Riwayat Ahmad).
Kadang-kala kerana terlalu ghairah segolongan puak ini melaungkan kata-kata ‘tidak perlukan para ulama’, mungkin mereka terlupa bahawa para ulama ini turut disebutkan di dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. Tidakkah tindakan mereka ini sebagai menolak ayat-ayat al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. juga? Oleh itu, saya sarankan agar serahkan urusan agama Islam ini kepada para ulama untuk menjelaskannya. Ingatlah peringatan dari Allah Taala ini:
Firman Allah Taala bermaksud:
Dan (diharamkanNya) kamu memperkatakan terhadap Allah Taala sesuatu yang kamu tidak ketahui.
(Surah al-Aaraf: Ayat 33).
PENUTUP
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Ulama itu ada tiga jenis.
(Pertama) orang yang alim yang hidup dengan ilmunya (mengamalkan ilmunya) dan masyarakat juga hidup dengan ilmunya.
(Kedua) orang yang alim yang masyarakat mengambil manfaat dengan ilmunya tetapi dia sendiri membinasakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya).
(Ketiga) orang alim yang hidup dengan ilmunya (mengamalkan ilmunya) tetapi orang lain tidak mengambil manfaat dari ilmunya.
(Riwayat ad-Dailami).
Saya berharap kita semua dapat menghormati ulama sebagai pewaris para nabi. Beradablah dengan mereka terutamanya ketika kita hendak memberikan pendapat yang berbeza dengan mereka dan bawakan sekali pendapat ulama lain untuk menyokong pendapat kita. Bagi sesiapa yang merasa diri terlalu hebat ataupun malas untuk menuntut ilmu, di sini saya ingin sarankan sebuah kitab bertajuk Safahat Min Sabr al-Ulama karangan Syeikh Abdul Fatah Abu Udah. Setelah membaca kitab kita, saya katakan bahawa betapa lemahnya dan kerdilnya kita berbanding para ulama yang sentiasa dibimbing oleh Allah Taala. Semoga aku boleh menjejak langkah mereka ini! Aminnn.
Sila rujuk link berikut untuk penjelasan tambahan:
http://buluh.iluvislam.com/?p=52
buluh.iluvislam.com
Wallahualam.
Posted in Akhlak / Tasawuf, Ulama / Tokoh
« Musuh-Musuh Tasawuf dan Tarikat
Peringatan Kepada Golongan Yang Tidak Bermazhab »
9 Responses to “Ciri-Ciri dan Adab-Adab Seorang Ulama”
JAWAPAN : admin says:
November 11, 2009 at 3:03 pm
Assalamualaikum Warahmatullah.
Terima kasih kepada sudi mengunjungi blog saya yang tidak seberapa ini. Memandangkan saudara/ri inginkan pendapat dari saya sendiri mengenai temuramah ini maka saya gagahi juga menulis sedikit pandangan peribadi saya mengenai perkara ini. Walaupun sebenarnya saya kurang berminat untuk membahaskan tentang peribadi seseorang itu tanpa keperluan.
Saya sama sekali tidak pernah mendakwa bahawa agama Islam adalah hak mutlak para ulama sahaja. Jauh sekali untuk saya mengatakan seperti itu. Namun apa yang saya selalu tekankan di sini adalah para ulama sahajalah yang lebih memahami agama Islam ini jika hendak dibandingkan dengan masyarakat awam. Bagaimanakah jika urusan agama ini dibahaskan oleh seseorang yang jahil? Bukankah akan merosakkan kesucian agama Islam itu sendiri? Saya kira tulisan saya di atas dan link yang saya berikan itu sudah menjawab persoalan ini. Persoalan lagi: Adakah kita merasa diri terlebih hebat daripada para ulama sekadar memiliki PhD di bidang agama?
Sedangkan kita juga mengetahui bahawa tiada seorang ulama muktabar pada zaman silam yang memiliki PhD akan tetapi ilmu mereka memenuhi timur dan barat. Maka gelaran paling layak bagi para ulama ini adalah imam atau al-allamah dan sebagainya lagi. Jom bermuhasabah diri terlebih dahulu dengan persoalan-persoalan yang saya kemukakan di dalam artikel saya di atas. Layakkah kita bergelar ulama dengan hanya memiliki sekeping PhD?
Berkenaan dengan isu tauliah, saya mencadangkan agar Dr. Asri melihat terlebih dahulu undang-undang agama negeri Perlis semasa beliau menjadi mufti dahulu sebelum beliau mengeluarkan sebarang pandangannya. Adakah undang-undang tauliah ini turut digunapakai di Perlis pada ketika itu? Jika undang-undang itu digunapakai, kenapakah beliau tidak menghapuskan undang-undang itu dahulu semasa beliau menjadi mufti? Bukankah ini tidak adil namanya di dalam memperkatakan berkenaan sesuatu perkara?
Saya melihat Dr.Asri cuba mengatakan bahawa ajaran yang dibawa olehnya adalah betul semuanya dan sesiapa yang menentangnya adalah menentang agama (walaupun beliau tidak mengatakan secara jelas). Namun persoalan yang perlu kita fikirkan sejenak, kenapakah terlalu ramai golongan agamawan menentang beliau? Jika penyampaiannya betul semuanya, pada pandangan kita, adakah golongan agamawan ini turut menentang beliau? Adakah semua golongan agamawan yang menentang beliau adalah jumud? Bukankah ini sesuatu yang pelik untuk mendakwa dirinya adalah benar semuanya? Bahkan golongan agamawan yang menentang beliau terdiri daripada alim ulama tempatan yang begitu memahami agama Islam ini berbanding beliau. Bukankah para ulama tidak akan berhimpun di atas kesesatan dan kebatilan?
Berkenaan dengan Wahabi ini, saya kira semua orang telah mengetahui apakah fahaman Wahabi ini dan tidak perlulah dipanjangkan pertanyaan lagi untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Dunia sekarang tanpa sempadan. Search sahaja di internet ini semuanya telah dijelaskan. Namun saya berpandangan Dr. Asri amat jarang menjawab segala bukti yang telah diletakkan di blog-blog atau di website-website. Bahkan beliau lebih gemar mengambil kesempatan melalui saluran media untuk memperbesarkan sesuatu isu serta mempengaruhi pemikiran orang lain dengan fahaman Wahabi yang dibawanya. Saya juga telah menulis mengenai ciri-ciri ringkas bagi fahaman Wahabi ini di sini:
http://buluh.iluvislam.com/?p=41
Saya amat pelik di dengan golongan profesioanal termasuklah beberapa menteri yang kurang basic agama yang begitu menyokong Dr. Asri ini. Pada saya, jika seseorang itu telah membuat kesilapan di dalam urusan agama, sudah pastilah golongan agamawan sahaja yang mengetahui akan kesilapannya itu. Akan tetapi, jika dilihat sekarang ini, golongan bukan agamawan pula yang berlagak menunjukkan kebijaksaan mereka di dalam perihal perbahasan manhaj ini. Bukankah mereka juga akan marah jika kami (golongan agamawan) memberikan komentar terhadap bidang mereka? Lagi-lagi jika komentar itu bersalahan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Sebagai contoh, bukankah hanya akauntan sahaja boleh mengetahui kesilapan dan penyelewengan dari akauntan lain bukan?
Perihal fahaman Wahabi ini telah dijelaskan oleh para ulama muktabar sejak sekian lama lagi. Persoalannya, hendakkah kita menerima segala penerangan dan penjelasan para ulama mengenai Wahabi ini? Bukankah para ulama lebih memahaminya? Tidak ilmiahkah penjelasan para ulama? Masing-masing kita sendiri boleh menjawab di dalam hati. Selain itu juga, saya melihat Dr. Asri begitu pandai bermuka-muka ketika bersama media. Jika kita perhatikan, lain katanya ketika menyampaikan kuliah-kuliah, lain pula ketika bersama media. Pada saya, fahaman Wahabi ini bukan setakat isu qunut atau talkin sahaja, bahkan lebih dari itu. Sila rujuk link yang telah saya berikan di atas mengenai ciri-ciri ringkas fahaman Wahabi.
Betul ke Dr. Asri tidak pernah merendah-rendahkan ulama? Jangan pandai suruh orang lain klik internet untuk mencari hujjah menyokong diri sahaja, orang lain juga boleh mencari kata-kata dan tulisan-tulisan anda yang merendah-rendakkan ulama. Bagaimana tulisan anda terhadap Imam Ghazali? Bagaimana ceramah anda tentang Imam pengasas berzanji? Dan lain-lain lagi? Saya berharap Dr. Asri menyemak semula diri sebelum mengeluarkan kata-kata sedemikian rupa.
Pada saya, pertembungan fikiran di antara ulama sentiasa berlaku di mana-mana sahaja termasuklah di Malaysia dan ini sudah tentulah membawa kebaikkan kepada umat Islam. Tetapi kelihatan pertembungan di antara Dr. Asri dan para alim ulama lain telah mengeruhkan lagi keadaan dan bukan menambahkan kebaikkan. Walaupun ada kebaikkanya, namun apa yang lebih banyak terserlah adalah kerosakkan pemikiran dan kesatuan masyarakat.
Pohon maaf kerana pada waktu ini saya masih tidak berminat untuk menyentuh perihal isu-isu seperti khalwat, prosedur nikah cerai ataupun berkaitan dengan memorandum Persatuan Peguam Syarie Malaysia.
Walaubagaimanapun, saya tetap bersetuju dengan beberapa pandangan serta ketegasan beliau di dalam beberapa isu semasa tanahair. Saya bukanlah menolak semua pendapat beliau secara pukul rata tanpa mengkaji dan meneliti terlebih dahulu. Sekiranya saya berbuat demikian, saya juga turut tergolong di dalam golongan yang tidak adil meletakkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya. Namun jikalau pandangannya yang perlu diperbetulkan maka saya tetap akan perkatakan walaupun tidak sedap didengari oleh masyarakat.
Dr. Asri juga perlu bermuhasabah diri kembali. Bukan sekadar hanya pandai menyuruh orang lain bermuhasabah sahaja. Marilah kita sama-sama bermuhasabah diri.
Sila rujuk sini:
http://buluh.iluvislam.com/?p=54
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Barangsiapa mencari ilmu untuk menandingi para ulama atau mengalahkan orang-orang jahil atau untuk memusatkan perhatian manusia kepadanya maka orang itu akan dimasukkan Allah Taala ke dalam api neraka.
(Riwayat Tarmizi).
Wallahualam.
Posted by admin on November 7th, 2009
Assalamualaikum Warahmatullah.
PENGENALAN
Memandangkan terdapat beberapa ahli iLuvislam yang PM saya bertanyakan tentang ulama, maka saya mengambil kesempatan yang singkat ini untuk menjelaskannya secara ringkas mengenai ciri-ciri ulama. Selain itu juga, beberapa thread di iLuvislam juga turut membincangkan perkara ini dan saya melihat tiada kesudahan yang baik pada thread-thread berikut. Oleh itu, saya mengambil kesempatan ini untuk menjelaskan perkara ini agar semua pihak dapat mengambil manfaatnya. InsyaAllah.
MAKSUD PERKATAAN ULAMA
Perkataan ulama merupakan kata jamak dari kata dasar alim bermaksud seseorang mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat mendalam. Ini berbeza dengan perkataan alim yang beerti orang yang mengetahui akan tetapi belum tentu orang itu mendalami. Perkataan ulama ini telah disebutkan pada beberapa tempat di dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. samaada secara langsung ataupun tidak yang menunjukkan bahawa ulama adalah individu-individu terpilih yang menguasai ilmu Allah Taala dengan mendalam dan memiliki akhlak terpuji. Oleh itu, ulama yang saya maksudkan di sini ialah seseorang pakar yang mempunyai ilmu pengetahuan berkenaan dengan agama Islam secara mendalam dengan syarat-syarat tertentu sebagai ulama.
Para ulama ialah mereka yang mampu menyingkap dan memahami dalil-dalil daripada al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. dengan sempurna. Mereka sentiasa istiqamah dan melazimi ilmu-ilmu yang mereka perolehi itu dengan ikhlas yang diajarkan kepada mereka bersumberkan dari Rasulullah S.A.W. Agama Islam telah mengiktiraf ulama sebagai pewaris para nabi sepertimana yang terdapat di dalam sebuah hadis:
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambil (warisan ilmu) tersebut ia telah mengambil habuan yang paling sempurna.
(Riwayat Ahmad, Tarmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah).
CIRI-CIRI RINGKAS ULAMA
Jikalau hendak disenaraikan ciri-ciri ulama satu persatu, sudah tentulah tidak terhitung banyaknya. Jadi saya nyatakan secara ringkasnya sahaja ciri-ciri seorang ulama sepertimana berikut:
- Sentiasa melakukan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya.
- Mempunyai ilmu pengetahuan yang sangat mendalam berkenaan agama Islam di dalam segenap sudut.
- Beramal dengan segala ilmu yang dimilikinya.
- Berakhlak mulia.
- Tidak gentar untuk menegur dan berkata benar kepada sesiapa sahaja.
- Mempunyai sifat-sifat terpuji seperti: Zuhud, warak, sabar, jujur, ikhlas dan sebagainya lagi.
- Meninggalkan perkara-perkara mazmumah seperti: Riyak, takabur, sombong, angkuh dan sebagainya lagi.
- Sentiasa menyampaikan ilmu pengetahuan dan menyeru manusia kepada Islam.
- Dan banyak lagi.
ADAB-ADAB SEORANG ULAMA ATAU GURU
Seperti yang saya telah sebutkan di atas, jika hendak disenaraikan satu persatu ciri-ciri ulama, sudah tentulah akan mengambil masa yang panjang. Oleh itu, di sini saya nyatakan pula adab-adab bagi seorang ulama atau alim serta guru sepertimana yang telah diperkatakan oleh Imam Ghazali di dalam kitabnya Bidayah al-Hidayah:
- Mampu menanggung kesusahan.
- Bersabar dengan kesulitan.
- Duduk dengan rasa hormat serta berkelakuan tenang ketika bersama manusia.
- Meninggalkan takbur di atas sekalian hambaNya kecuali terhadap orang yang zalim.
- Mencegah daripada kezaliman.
- Memilih tawaduk pada perhimpunan dan pada majlis orang ramai.
- Meninggalkan gurau-senda dan bermain-main.
- Melayan dengan baik pelajar yang kurang pandai.
- Membimbing pelajar yang angkuh.
- Memperbaiki pelajar yang bodoh dengan tunjuk ajar yang baik.
- Tidak marah kepada pelajar yang bodoh.
- Tidak malu daripada berkata ‘aku tidak tahu’.
- Memberikan perhatian kepada pertanyaan.
- Memahami soalannya.
- Menerima hujjah.
- Tunduk kepada kebenaran dengan kembali kepadanya ketika bersalah.
- Melarang pelajar daripada setiap ilmu merbahaya.
- Melarang pelajar daripada menghendaki dengan ilmu selain dari Allah Taala.
- Melarang pelajar daripada sibuk menuntut ilmu fardhu kifayah sebelum selesai menuntut ilmu fardhu ain. Ilmu fardhu ain ialah berkenaan dengan membaikkan zahir dan batin dengan takwa.
- Memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu dengan takwa, supaya dapat mencontohi amalannya dan mengambil manfaat daripada percakapannya.
CIRI-CIRI ULAMA DUNIA
Berikut saya nyatakan juga ciri-ciri ulama dunia. Saya senaraikan di sini berdasarkan kitab Ulama al-Suq Ulama al-Dunya karangan al-Amin al-Haj Muhammad Ahmad sepertimana berikut:
- Menyembunyikan ilmu dan kebenaran.
- Cintakan dunia dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya.
- Mengikut hawa nafsu.
- Berkeinginan untuk mendampingi dan mendekati pemerintah.
- Berpura-pura di dalam masyarakat.
- Menjanjikan akhirat dengan dunia mereka dan di dalam kehidupan mereka melebihkan perkara-perkara dunia serta lainnya.
- Mengkaji dan menyelidik dengan kesalahan dan kekurangan.
- Fatwa dengan mengikut syahwat.
- Dengki dan benci serta tidak insaf.
- Berbeza amalannya dan kata-katanya.
- Berdolak-dalih dan berhelah.
- Menjawab sesuatu dengan akal dan mengingkari serta bongkak untuk menerima kebenaran.
PERANAN DAN KEPENTINGAN ULAMA
Semenjak kebelakangan ini kedengaran suara-suara sumbang daripada segolongan pihak yang cuba merendah-rendahkan keilmuan dan kemuliaan para ulama. Mereka ini berkata bahawa para ulama bukanlah maksum seperti Rasulullah S.A.W. Oleh itu, mereka menyarankan agar tidak perlu mengikut tunjuk ajar daripada ulama untuk memahami urusan agama Islam ini. Mereka berkata lagi bahawa boleh sahaja untuk mengambil terus daripada dalil-dalil al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. dengan kefahaman sendiri. Adakah tindakan ini bertepatan dengan Islam?
Firman Allah Taala bermaksud:
Maka hendaklah kamu bertanya kepada ahli zikir (ulama) seandainya kamu tidak mengetahuinya.
(Surah al-Nahl: Ayat 43).
Oleh itu, saya ingin mengajak para pembaca termasuklah diri saya sendiri bermuhasabah terlebih dahulu sebelum hendak mengatakan sesuatu kepada para ulama. Sila baca dan jawab dengan ikhlas soalan-soalan berikut:
Berapa banyak ayat al-Quran al-Karim yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak hadis Rasulullah S.A.W. yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak kitab-kitab dari ulama muktabar yang kita faham dan hafal?
Berapa banyak ilmu agama yang kita dalami dan fahami?
Berapa banyak ulama dan guru yang sentiasa kita lazimi untuk mendalami ilmu agama secara bersanad dan bertalaqi?
Dan pelbagai soalan lagi.
Jadi apakah jawapan kita terhadap soalan-soalan di atas? Mampukah kita duduk sama taraf dengan para ulama? Sedangkan mereka jauh lebih alim dan mengetahui daripada kita berkenaan agama Islam. Mereka memiliki segala ilmu yang cukup bagi membolehkan mereka mengeluarkan hukum-hakam agama untuk keperluan manusia. Mereka jugalah adalah dari kalangan hamba yang amat takutkan Allah Taala.
Firman Allah Taala bermaksud:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah Taala di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.
(Surah Faathir: Ayat 28).
PERINGATAN PENTING
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Sesungguhnya Allah Taala tidak menghilangkan ilmu agama itu dengan dicabutkan sekaligus daripada manusia, tetapi Allah Taala akan menghilangkan ilmu itu dengan mematikan para ulama. Sehingga apabila sudah tiada para ulama, manusia akan melantik pemimpin mereka dari kalangan orang-orang yang jahil lalu mereka akan ditanya hukum sesuatu masalah maka mereka menjawab atau berfatwa tanpa ilmu pengetahuan maka mereka sesat dan menyesatkan orang lain.
(Riwayat Bukhari, Muslim dan Tarmizi).
Kita mesti mengakui bahawa para ulama bukannya maksum dan mereka tidak boleh lari dari melakukan kesilapan yang tidak disengajakan. Namun jika hendak dibandingkan dengan kita, sudah tentulah mereka lebih layak untuk mengeluarkan hukum-hakam kerana mereka telah memahami ilmu agama dengan mendalam. Oleh itu, kita sebagai masyarakat awam ini, tidak perlulah kita merasa diri terlalu hebat daripada para ulama yang sentiasa mendapat petunjuk daripada Allah Taala. Hormatilah para ulama dengan sebaiknya. Berakhlaklah kita kepada mereka jikalaupun mereka telah tersalah di dalam mengeluarkan pandangan.
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang dewasa kami, menyanyangi anak kecil kami dan menghormati ulama kami.
(Riwayat Ahmad).
Kadang-kala kerana terlalu ghairah segolongan puak ini melaungkan kata-kata ‘tidak perlukan para ulama’, mungkin mereka terlupa bahawa para ulama ini turut disebutkan di dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. Tidakkah tindakan mereka ini sebagai menolak ayat-ayat al-Quran al-Karim dan al-Hadis S.A.W. juga? Oleh itu, saya sarankan agar serahkan urusan agama Islam ini kepada para ulama untuk menjelaskannya. Ingatlah peringatan dari Allah Taala ini:
Firman Allah Taala bermaksud:
Dan (diharamkanNya) kamu memperkatakan terhadap Allah Taala sesuatu yang kamu tidak ketahui.
(Surah al-Aaraf: Ayat 33).
PENUTUP
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Ulama itu ada tiga jenis.
(Pertama) orang yang alim yang hidup dengan ilmunya (mengamalkan ilmunya) dan masyarakat juga hidup dengan ilmunya.
(Kedua) orang yang alim yang masyarakat mengambil manfaat dengan ilmunya tetapi dia sendiri membinasakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya).
(Ketiga) orang alim yang hidup dengan ilmunya (mengamalkan ilmunya) tetapi orang lain tidak mengambil manfaat dari ilmunya.
(Riwayat ad-Dailami).
Saya berharap kita semua dapat menghormati ulama sebagai pewaris para nabi. Beradablah dengan mereka terutamanya ketika kita hendak memberikan pendapat yang berbeza dengan mereka dan bawakan sekali pendapat ulama lain untuk menyokong pendapat kita. Bagi sesiapa yang merasa diri terlalu hebat ataupun malas untuk menuntut ilmu, di sini saya ingin sarankan sebuah kitab bertajuk Safahat Min Sabr al-Ulama karangan Syeikh Abdul Fatah Abu Udah. Setelah membaca kitab kita, saya katakan bahawa betapa lemahnya dan kerdilnya kita berbanding para ulama yang sentiasa dibimbing oleh Allah Taala. Semoga aku boleh menjejak langkah mereka ini! Aminnn.
Sila rujuk link berikut untuk penjelasan tambahan:
http://buluh.iluvislam.com/?p=52
buluh.iluvislam.com
Wallahualam.
Posted in Akhlak / Tasawuf, Ulama / Tokoh
« Musuh-Musuh Tasawuf dan Tarikat
Peringatan Kepada Golongan Yang Tidak Bermazhab »
9 Responses to “Ciri-Ciri dan Adab-Adab Seorang Ulama”
JAWAPAN : admin says:
November 11, 2009 at 3:03 pm
Assalamualaikum Warahmatullah.
Terima kasih kepada sudi mengunjungi blog saya yang tidak seberapa ini. Memandangkan saudara/ri inginkan pendapat dari saya sendiri mengenai temuramah ini maka saya gagahi juga menulis sedikit pandangan peribadi saya mengenai perkara ini. Walaupun sebenarnya saya kurang berminat untuk membahaskan tentang peribadi seseorang itu tanpa keperluan.
Saya sama sekali tidak pernah mendakwa bahawa agama Islam adalah hak mutlak para ulama sahaja. Jauh sekali untuk saya mengatakan seperti itu. Namun apa yang saya selalu tekankan di sini adalah para ulama sahajalah yang lebih memahami agama Islam ini jika hendak dibandingkan dengan masyarakat awam. Bagaimanakah jika urusan agama ini dibahaskan oleh seseorang yang jahil? Bukankah akan merosakkan kesucian agama Islam itu sendiri? Saya kira tulisan saya di atas dan link yang saya berikan itu sudah menjawab persoalan ini. Persoalan lagi: Adakah kita merasa diri terlebih hebat daripada para ulama sekadar memiliki PhD di bidang agama?
Sedangkan kita juga mengetahui bahawa tiada seorang ulama muktabar pada zaman silam yang memiliki PhD akan tetapi ilmu mereka memenuhi timur dan barat. Maka gelaran paling layak bagi para ulama ini adalah imam atau al-allamah dan sebagainya lagi. Jom bermuhasabah diri terlebih dahulu dengan persoalan-persoalan yang saya kemukakan di dalam artikel saya di atas. Layakkah kita bergelar ulama dengan hanya memiliki sekeping PhD?
Berkenaan dengan isu tauliah, saya mencadangkan agar Dr. Asri melihat terlebih dahulu undang-undang agama negeri Perlis semasa beliau menjadi mufti dahulu sebelum beliau mengeluarkan sebarang pandangannya. Adakah undang-undang tauliah ini turut digunapakai di Perlis pada ketika itu? Jika undang-undang itu digunapakai, kenapakah beliau tidak menghapuskan undang-undang itu dahulu semasa beliau menjadi mufti? Bukankah ini tidak adil namanya di dalam memperkatakan berkenaan sesuatu perkara?
Saya melihat Dr.Asri cuba mengatakan bahawa ajaran yang dibawa olehnya adalah betul semuanya dan sesiapa yang menentangnya adalah menentang agama (walaupun beliau tidak mengatakan secara jelas). Namun persoalan yang perlu kita fikirkan sejenak, kenapakah terlalu ramai golongan agamawan menentang beliau? Jika penyampaiannya betul semuanya, pada pandangan kita, adakah golongan agamawan ini turut menentang beliau? Adakah semua golongan agamawan yang menentang beliau adalah jumud? Bukankah ini sesuatu yang pelik untuk mendakwa dirinya adalah benar semuanya? Bahkan golongan agamawan yang menentang beliau terdiri daripada alim ulama tempatan yang begitu memahami agama Islam ini berbanding beliau. Bukankah para ulama tidak akan berhimpun di atas kesesatan dan kebatilan?
Berkenaan dengan Wahabi ini, saya kira semua orang telah mengetahui apakah fahaman Wahabi ini dan tidak perlulah dipanjangkan pertanyaan lagi untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Dunia sekarang tanpa sempadan. Search sahaja di internet ini semuanya telah dijelaskan. Namun saya berpandangan Dr. Asri amat jarang menjawab segala bukti yang telah diletakkan di blog-blog atau di website-website. Bahkan beliau lebih gemar mengambil kesempatan melalui saluran media untuk memperbesarkan sesuatu isu serta mempengaruhi pemikiran orang lain dengan fahaman Wahabi yang dibawanya. Saya juga telah menulis mengenai ciri-ciri ringkas bagi fahaman Wahabi ini di sini:
http://buluh.iluvislam.com/?p=41
Saya amat pelik di dengan golongan profesioanal termasuklah beberapa menteri yang kurang basic agama yang begitu menyokong Dr. Asri ini. Pada saya, jika seseorang itu telah membuat kesilapan di dalam urusan agama, sudah pastilah golongan agamawan sahaja yang mengetahui akan kesilapannya itu. Akan tetapi, jika dilihat sekarang ini, golongan bukan agamawan pula yang berlagak menunjukkan kebijaksaan mereka di dalam perihal perbahasan manhaj ini. Bukankah mereka juga akan marah jika kami (golongan agamawan) memberikan komentar terhadap bidang mereka? Lagi-lagi jika komentar itu bersalahan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Sebagai contoh, bukankah hanya akauntan sahaja boleh mengetahui kesilapan dan penyelewengan dari akauntan lain bukan?
Perihal fahaman Wahabi ini telah dijelaskan oleh para ulama muktabar sejak sekian lama lagi. Persoalannya, hendakkah kita menerima segala penerangan dan penjelasan para ulama mengenai Wahabi ini? Bukankah para ulama lebih memahaminya? Tidak ilmiahkah penjelasan para ulama? Masing-masing kita sendiri boleh menjawab di dalam hati. Selain itu juga, saya melihat Dr. Asri begitu pandai bermuka-muka ketika bersama media. Jika kita perhatikan, lain katanya ketika menyampaikan kuliah-kuliah, lain pula ketika bersama media. Pada saya, fahaman Wahabi ini bukan setakat isu qunut atau talkin sahaja, bahkan lebih dari itu. Sila rujuk link yang telah saya berikan di atas mengenai ciri-ciri ringkas fahaman Wahabi.
Betul ke Dr. Asri tidak pernah merendah-rendahkan ulama? Jangan pandai suruh orang lain klik internet untuk mencari hujjah menyokong diri sahaja, orang lain juga boleh mencari kata-kata dan tulisan-tulisan anda yang merendah-rendakkan ulama. Bagaimana tulisan anda terhadap Imam Ghazali? Bagaimana ceramah anda tentang Imam pengasas berzanji? Dan lain-lain lagi? Saya berharap Dr. Asri menyemak semula diri sebelum mengeluarkan kata-kata sedemikian rupa.
Pada saya, pertembungan fikiran di antara ulama sentiasa berlaku di mana-mana sahaja termasuklah di Malaysia dan ini sudah tentulah membawa kebaikkan kepada umat Islam. Tetapi kelihatan pertembungan di antara Dr. Asri dan para alim ulama lain telah mengeruhkan lagi keadaan dan bukan menambahkan kebaikkan. Walaupun ada kebaikkanya, namun apa yang lebih banyak terserlah adalah kerosakkan pemikiran dan kesatuan masyarakat.
Pohon maaf kerana pada waktu ini saya masih tidak berminat untuk menyentuh perihal isu-isu seperti khalwat, prosedur nikah cerai ataupun berkaitan dengan memorandum Persatuan Peguam Syarie Malaysia.
Walaubagaimanapun, saya tetap bersetuju dengan beberapa pandangan serta ketegasan beliau di dalam beberapa isu semasa tanahair. Saya bukanlah menolak semua pendapat beliau secara pukul rata tanpa mengkaji dan meneliti terlebih dahulu. Sekiranya saya berbuat demikian, saya juga turut tergolong di dalam golongan yang tidak adil meletakkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya. Namun jikalau pandangannya yang perlu diperbetulkan maka saya tetap akan perkatakan walaupun tidak sedap didengari oleh masyarakat.
Dr. Asri juga perlu bermuhasabah diri kembali. Bukan sekadar hanya pandai menyuruh orang lain bermuhasabah sahaja. Marilah kita sama-sama bermuhasabah diri.
Sila rujuk sini:
http://buluh.iluvislam.com/?p=54
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:
Barangsiapa mencari ilmu untuk menandingi para ulama atau mengalahkan orang-orang jahil atau untuk memusatkan perhatian manusia kepadanya maka orang itu akan dimasukkan Allah Taala ke dalam api neraka.
(Riwayat Tarmizi).
Wallahualam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan