Apa Arti Fardhu
Apakah Fardhu itu?
Jawaban:
FardhuFardhu adalah kata dari bahasa arab. Fardhu artinya adalah apa yang Pembuat Hukum haruskan untuk dikerjakan dan yang sifat wajibnya dibuktikan dengan bukti yang definitif.
Orang yang melanggar yang wajib dianggap kafir, sebagaimana dia melanggar apa yang telah sangat jelas diterangkan dalam teks tertulis. Fardhu terbagi menjadi dua:
Fardhu ain (kewajiban perorangan)
Fardhu ain artinya kelompok kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu Muslim misalnya sholat lima waktu, hijab dan pergi haji ke Mekkah sekali seumur hidup.
Fardhu Kifayah:
Fardhu kifayah artinya kewajiban yang dibebankan pada seluruh ummat. Seseorang tidak diwajibkan melaksanakan suatu tugas jika ada cukup orang dalam kelompok masyarakat telah memenuhinya.
FARDHU AIN
Di dalam ajaran Islam, secara umum ilmu-ilmu Fardhu Ain yang penting itu boleh dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:
1. Usuluddin (aqidah)
2. Feqah (syariat)
3. Tasawuf (akhlak)
Dalam pengamalannya, setiap orang Islam mestilah melaksanakan secara serentak ketiga-tiga ilmu tadi. Sama ada dari segi teori mahupun praktikal, atau dari segi ilmiah dan amaliahnya.
Tiga ilmu ini merupakan tiga serangkai yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Kalau dipisah pisahkan salah satu daripada tiga serangkai itu, maka akibatnya rosaklah yang lainnya. Ertinya amalan Islam itu menjadi sah apabila ketiga-tiga ilmu tersebut dilaksanakan sekaligus dan serentak. Ia tidak boleh diamalkan satu-satu sahaja tanpa yang lain. Ber`feqah’ saja atau ber`usuluddin’ saja atau berakhlak saja, tentu akan merosakkan ke-Islaman seseorang. Jadi tiga serangkai ilmu ini tidak boleh dipisah-pisahkan dalam seluruh tindakan hidup. Kalau dipisahkan dalam pengamalan seharian, paling tidak seseorang itu akan jadi orang fasiq. Bahkan berkemungkinan ia akan jatuh kepada kafir tanpa ia sedar.
Dari ketiga-tiga ilmu ini, tapak atau asasnya adalah ilmu usuluddin. Di atas tapak ilmu yang menjadi pegangan dan keyakinan setiap orang Islam itu, maka ditegakkan syariat (feqah) dan akhlak (tasawuf). Kalau diibaratkan kepada sebuah bangunan, usuluddin itu adalah foundationnya. Bangunan rumah serta peralatanperalatannya itulah syariat dan akhlak. Kalau begitu rumah dan peralatan rumah itu tidak dapat ditegakkan sekiranya foundation rumah tersebut tidak ada. Atau ia tidak kukuh dan tidak kuat. Justeru itu, dalam ajaran Islam:
1. Usuluddin itu adalah asas Islam atau tapak Islam.
2. Syariat dan tasawuf ialah furu’ dan cabang-cabangnya.
Kalau begitu, ilmu usuluddin dalam ajaran Islam amat penting dan utama. Kerana ia mengesahkan syariat dan akhlak. Syariat dan akhlak tidak ada nilai di sisi ALLAH, kalau aqidah atau usuluddinnya telah rosak.
Perkara-perkara yang berkaitan dengan ilmu usuluddin ialah:
1. Keyakinan kita dengan ALLAH dan sifat-sifat-Nya sama ada
sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil atau sifat-sifat yang harus.
2. Keyakinan kita dengan para rasul dan sifat-sifatnya.
3. Keyakinan dengan kitab-kitab yang pernah diturunkan oleh ALLAH seperti Al Quran, Zabur, Injil dan Taurat.
4. Keyakinan kepada para malaikat.
5. Keyakinan pada Qadha dan Qadar ALLAH.
6. Yakin kepada Syurga dan Neraka serta perkara-perkara lain yang
merangkumi perkara di Alam Ghaib.
Maka ilmu usuluddin yang menjadi asas kepada ajaran Islam merupakan ilmu yang paling penting. Ia menjadi perkara utama dan pertama untuk setiap individu Islam yang mukallaf mempelajarinya. Belajar ilmu usuluddin ini hukumnya fardhu ain yakni wajib bagi setiap individu yang mukallaf. Bahkan jatuh berdosa besar bagi orang yang tidak mempelajarinya. Hatta boleh jatuh kufur secara tidak sedar kalau jahil tentang ilmu ini.
Ilmu usuluddin yang berkait dengan ALLAH dan sifat-sifat-Nya, kalau tidak dipelajari, paling mudah untuk menyebabkan terjatuh kepada kufur. Sebab itu dihukumkan wajib bagi setiap mukallaf mempelajarinya terlebih dahulu mendahului ilmu-ilmu yang lain.
Dalam Hadis, Rasulullah SAW ada menyebut: Awal-awal agama ialah mengenal ALLAH.
Oleh itu ilmu usuluddin itu tidak boleh dicuaikan dari mempelajarinya
supaya ia dapat dijadikan pegangan dan keyakinan yang mantap (teguh) di
hati tanpa dicelahi dengan unsur-unsur jahil, syak, zan dan waham.
Sekiranya dicelahi oleh jahil, syak, zan dan waham, atau salah satu
darinya, maka seluruh amal ibadah itu tidak sah atau tertolak. Ertinya
tidak dapat apa-apa di sisi ALLAH. Amalan itu hanya sia-sia sahaja.
Walau bagaimana baik dan kemas sekalipun ibadah yang dipersembahkan pada
ALLAH, sekiranya dicelahi oleh salah satu daripadanya, maka ibadah itu
akan dicampak semula ke muka pengamalnya.Mengikut kebiasaan, walaupun cantik amalan syariat atau akhlak, ia masih tetap bergantung kepada aqidah. Sekiranya aqidahnya baik, maka baiklah syariat dan akhlaknya. Tetapi kalau aqidahnya rosak, maka rosaklah syariat dan akhlaknya. Tamsilannya seperti sebatang pokok. Kalau pokoknya subur, itu adalah kesan daripada akar tunjang yang kuat tadi. Yang menjadikan ianya berdaun, menghijau, menghasilkan bunga cantik dan harum mewangi serta
buah yang banyak (lebat) lagi sedap rasanya. Sehingga menjadikan kepingin semua makhluk terutama manusia untuk mendekati dan bernaun’g di bawahnya serta mengambil manfaat darinya.
Begitulah juga bagi mereka yang aqidahnya baik, tentunya syariatnya jadi sempurna dan akhlaknya cantik. Semua hukum-hakam yang lima yakni yang wajib dan sunat dapat ditegakkan, yang haram dan makruh dapat dijauhi, dan yang harus (mubah) terpulang hingga ia mencorak hidup individu dan masyarakat.
Di sinilah pentingnya pelajaran aqidah atau usuluddin ini kerana ia boleh mencorakkan hati seseorang. Sehingga yang lahir dalam tindakan adalah gambaran hatinya itu. Alhasil, kalau sudah ramai yang aqidahnya tepat dan kuat, maka akan lahirlah negara yang aman makmur yang mendapat keampunan ALLAH. Kerana aqidah yang tepat dan kuat itu mendorong hamba-hamba-Nya bersyariat dan berakhlak atau menjadi orang yang bertaqwa.
Pemahaman Tepat Tentang Fardhu Kifayah dan Fardhu ‘Ain
Kewajiban
yang dituntut oleh Allah kepada manusia ada dua macam; kewajiban
individual dan kolektif. Macam yang pertama disebut dengan Fardlu ‘Ain dan yang kedua disebut dengan Fardlu Kifāyah. Dua macam ini merupakan pembagian hukum wajib dilihat dari segi siapa yang dikenai tuntutan untuk mengerjakannya.
Perbuatan yang Fardlu ‘ain adalah
perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada tiap-tiap orang mukallaf
agar dikerjakan. Setiap orang mukallaf dibebani perbuatan tersebut tanpa
bisa digantikan oleh yang lain. Termasuk kategori perbuatan ini adalah
mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadlan, dan lain semacamnya.[i]
.
Sedangkan perbuatan yang fardlu kifayah
adalah perbuatan yang dituntut oleh syariat kepada orang-orang mukallaf
secara kolektif. Artinya, jika ada salah seorang yang mengerjakan
perbuatan tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika
sama sekali tidak ada yang mengerjakan, maka berdosalah seluruhnya.
Termasuk kategori perbuatan ini adalah merawat mayyit (tajhīz al-mayyit),
melaksanakan jihad, melakukan amar makruf nahi mungkar, membangun
sekolah atau rumah sakit, menjabat sebagai presiden, dan lain
semacamnya.[ii]
Apa yang membedakan antara perbuatan yang
fardlu ‘ain dan fardlu kifayah? Pertama, dari sisi kepada siapa
perintah perbuatan tersebut ditujukan. Perintah untuk melaksanakan
perbuatan yang fardlu ‘ain ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf (al-kully al-afrādy).
Perintah Allah kepada manusia untuk melakukan shalat lima waktu,
misalnya, ditujukan kepada tiap-tiap orang mukallaf. Setiap orang
mukallaf dibebani untuk melaksanakannya tanpa bisa digantikan oleh yang
lain. Sedangkan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang fardlu
kifayah tidak ditujukan kepada masing-masing orang mukallaf, melainkan
keseluruhannya (al-kully al-majmū’iy/al-hai’ah al-ijtimā’iyah).[iii]
Perintah syariat agar ada pemimpin bagi suatu daerah tidak ditujukan
kepada tiap-tiap orang yang ada di daerah tersebut, melainkan secara
keseluruhan. Artinya, tidak setiap orang di daerah tersebut harus
menjadi pemimpin. Jika ada salah seorang di antara mereka yang dipilih
menjadi pemimpin, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.
Namun demikian, sebenarnya ulama berdebat
mengenai kepada siapa tuntutan untuk melakukan perbuatan fardlu
kifayah. Dalam contoh kewajiban merawat mayyit, misalnya, kepada siapa
tuntutan kewajiban untuk melaksanakannya ditujukan?
Pertama, tuntutan kewajiban itu
ditujukan kepada sebagian orang saja. Sebagian orang ini adalah mereka
yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
Jadi, yang dikenai kewajiban untuk merawat mayyit, misalnya, adalah
orang yang menduga bahwa orang lain tidak mengerjakannya. Jika ia
menduga sudah ada orang lain yang mengerjakan, maka ia tidak dikenai
kewajiban. Soal siapa sebagian itu, pendapat ini masih terbelah menjadi
tiga kubu. Ada yang mengatakan bahwa sebagian itu tidak tertentu atau mubham.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang sebagian itu sudah ditentukan oleh
Allah. Sedangkan yang lain menyatakan bahwa yang sebagian itu adalah
orang yang telah melaksanakannya.[iv]
Kelompok ini beralasan, perintah-perintah syariat yang menuntut untuk
melakukan perbuatan fardlu kifayah tidak ditujukan kepada seluruh
manusia, melainkan sebagian saja. Misalnya firman Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Ali Imrān [3]: 104)
Ayat di atas menuntut pelaksanaan amar
makruf nahi mungkar. Tuntutan kewajiban yang ada pada ayat tersebut
ditujukan kepada sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Hal tersebut
terbukti dengan adanya kata مِنْكُمْ . Kata min tersebut memberi pengertian tab’īdl,
yaitu sebagian. Di samping itu, kelompok ini juga beralasan, oleh
karena kewajiban fardlu kifayah ini gugur jika ada sebagian orang yang
mengerjakannya maka yang wajib mengerjakan hanya sebagian saja.
Kedua, kewajiban itu adalah untuk tiap-tiap orang (al-kully al-afrādy)
sebagaimana fardlu ‘ain, namun gugur bila ada sebagian yang
mengerjakannya. Pendapat ini berargumen dengan dua alasan; Pertama,
perintah yang menuntut untuk melakukan perbuatan yang fardlu kifayah
seringkali berbentuk umum. Misalnya firman Allah,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)
“Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 190)
Perbuatan jihad yang diperintahkan oleh
ayat di atas adalah perbuatan fardlu kifayah. Perintah dalam ayat
tersebut bersifat umum, mencakup kepada tiap-tiap orang mukallaf. Di
samping itu, argumen kedua dari kelompok ini adalah, bahwa apabila
perintah untuk melaksanakan perbuatan fardlu kifayah diabaikan, maka
semua orang berdosa. Ini menunjukkan, bahwa kewajiban untuk melakukan
perbuatan yang fardlu kifayah ditujukan kepada setiap orang mukallaf.[v]
Ketiga, kewajiban itu ditujukan kepada keseluruhan orang mukallaf (al-kully al-majmū’iy/al-ha’iah al-ijtimā’iyah)
dan gugur bila ada sebagian yang mengerjakannya. Mengapa demikian?
sebab jika kewajiban itu ditujukan kepada tiap-tiap orang sebagaimana
pendapat sebelumnya, berarti itu sama dengan menghapus kewajiban yang
telah ditetapkan. Menghapus kewajiban itu hanya bisa dilakukan dengan
dalil yang menghapus (nasakh) kewajiban tersebut. Sedangkan kewajiban fardlu kifayah ini sama sekali bukan menasakh suatu kewajiban.[vi]
Ketiga pendapat di atas memiliki argumen
yang kuat dan benar menurut masing-masing. Namun demikian, semuanya
sepakat, bahwa perbuatan fardlu kifayah, apabila dikerjakan oleh
sebagian orang maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan jika tidak
ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah seluruhnya.[vii]
Perbedaan fardlu ‘ain dan fardlu kifayah
yang kedua adalah, dalam perbuatan yang fardlu ‘ain, ada dua hal yang
diperhatikan, yaitu siapa yang mengerjakan dan ketercapaian maksud
perbuatannya. Sedangkan dalam fardlu kifayah, siapa yang mengerjakan
tidak menjadi perhatian utama, yang penting maksud dari perbuatan yang
diperintahkan bisa tercapai. Perbedaan ini dapat dilihat dari
pengertian, bahwa fardlu kifayah adalah,
مُهِمٌ يُقْصَدُ حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذّاتِ اِلى فَاعِلِهِ
“Perbuatan penting yang ingin dicapai (tujuannya) tanpa memperhatikan secara terutama terhadap pelakunya.”[viii]
Membangun rumah sakit di sebuah daerah,
misalnya, adalah perbuatan yang fardlu kifayah. Tujuannya adalah agar
orang-orang dapat berobat ketika sakit. Untuk mencapai tujuan ini, tidak
menjadi soal utama siapa yang mengerjakannya. Yang penting tujuan bisa
tercapai. Berbeda dengan shalat lima waktu. Tujuannya adalah tercapainya
kekhusyu’an sebagai bentuk ketundukan dan ketakwaan kepada Allah. Dalam
shalat ini, siapa pelakunya menjadi perhatian utama.
Perbedaan yang ketiga adalah dari sisi
maslahat yang dicapai. Maslahat yang dicapai dalam mengerjakan perbuatan
fardlu ‘ain bersifat individual, artinya, ketika perbuatan tersebut
dikerjakan, yang selamat dari dosa hanyalah orang yang mengerjakannya
saja. Berbeda dengan perbuatan fardlu kifayah, yang selamat dari dosa
tidak hanya orang yang mengerjakan saja. Dari sini, muncul perdebatan di
kalangan pakar ushul fiqh, soal lebih utama mana antara fardlu ‘ain dan
fardlu kifayah. Sebagian mengatakan lebih utama fardlu ‘ain, sebab dari
saking pentingnya, syariat mewajibkan kepada setiap orang mukallaf
untuk mengerjakannya. Sementara sebagian yang lain mengatakan lebih
utama fardlu kifayah, sebab jika perintahnya dilaksanakan oleh sebagian
orang, itu bisa menyelamatkan sebagian lain yang tidak megerjakan dari
dosa.[ix]
Selanjutnya, perbuatan yang fardlu
kifayah dapat berubah menjadi fardlu ‘ain. Hal tersebut disebabkan oleh
dua hal. Pertama, ketika yang mampu melaksanakan perbuatan fardlu
kifayah hanya satu orang. Misalnya, jika ada orang tenggelam, dan hanya
seorang yang mampu menyelamatkannya, maka ia hukumnya fardlu ‘ain untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam itu. Kedua, ketika perbuatan fardlu
kifayah itu telah dikerjakan. Jika telah mengerjakan perbuatan yang
fardlu kifayah, maka itu sama dengan fardlu ‘ain, artinya sama-sama
harus diselesaikan.[x]
Di samping fardlu ‘ain dan fardlu
kifayah, ada juga yang disebut dengan sunnah ‘ain dan sunnah kifayah.
Perbedaannya dengan fardlu adalah ketegasan perintahnya. Jika perintah
fardlu ‘ain dan kifayah bersifat tegas, sementara sunnah ‘ain dan sunnah
kifayah bersifat tidak tegas. Perbuatan sunnah ‘ain seperti shalat
dhuha. Sedangkan perbuatan yang sunnah kifayah seperti mendoakan orang
yang bersin (tasymīt). Wallahu a’lam.
[i] Wahbah az-Zuhaily, Ushūl al-Fiqh al-Islāmy, juz 1, h. 60.
[ii] Ali Hasballah, Ushūl at-Tasyrī’ al-Islāmy, h. 336.
[iii] Muhammad Hudlary Bik, Ushūl al-Fiqh, h. 40.
[iv] Jalaluddīn al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawāmi’, juz 1, h. 185-186.
[v] Muhammad Hudlary Bik, Ushūl al-Fiqh, h. 40.
[vi] Muhammad Hudlary Bik, Ushūl al-Fiqh, h. 40.
[vii]
Lebih jauh, Khudlary Bik menjelaskan, perbuatan yang fardlu kifayah ada
yang bisa dikerjakan oleh semua orang, ada pula yang hanya bisa
dikerjakan oleh orang yang mampu saja, misalnya mendirikan sekolah demi
kepentingan pendidikan masyarakat. Tentu tidak semua orang dapat
mendirikannya. Akan tetapi, baik orang yang mampu maupun yang tidak
mampu tetap mendapatkan kewajiban. Orang yang mampu mendapatkan
kewajiban untuk melaksanakannya, sedangkan yang tidak mampu mendapatkan
kewajiban untuk mendorong yang mampu agar melaksanakannya. Muhammad
Hudlary Bik, Ushūl al-Fiqh, h. 41-42.
[viii] Jalaluddīn al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawāmi’, juz 1, h. 183.
[ix] Jalaluddīn al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawāmi’, juz 1, h. 184-185.
[x] Wahbah az-Zuhaily, Ushūl al-Fiqh al-Islāmy, juz 1, h. 64; Jalaluddīn al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawāmi’, juz 1, h. 186-187.
Permulaan Ibadah- Mengenal Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah
Anda
semua tentu sekali pernah mendengar tentang fardhu ain dan fardhu
kifayah bukan? Ya, Tentu sekali pernah kerana ia diajar sejak kecil
kerana ia adalah asas yang penting dalam sesuatu ibadah bagi Umat Islam.
Sebelum kita melakukan sesuatu ibadah, kita hendaklah tahu akan ibadah
tersebut dalam fardhu ain atau fardhu kifayah. Setiap umat Islam
dipertanggunjawabkan untuk melaksanakan perkara-perkara yang dituntut
dan difardhukan sama ada fardhu ain atau fardhu kifayah.
Konsep Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah
Suka
untuk saya terangkan disini secara ringkasnya untuk kita sama-sama
faham dan boleh amalkan insyaAllah. Fardhu Ain ialah perkara yang wajib
ditunaikan oleh setiap umat Islam. Jika tidak ditunaikan maka berdosa.
contohnya seperti solat, puasa, zakat, cari ilmu dan sebagainya.
Ringkasnya fardhu ain ini wajib dibuat dan dilakukan oleh individu,
setiap dari kita yang bergelar Muslim.
solat lima waktu adalah contoh ibadah fardhu Ain
Fardhu
Kifayah pula ialah perkara yang wajib dilakukan oleh sebahagian anggota
masyarakat untuk menjaga kepentingan Umat Islam. Jika diabaikan atai
tiada siapa pun yang melakukannya maka seluruh masyarakat berdosa.
Contohnya menguasai ilmu atau kepakaran dalam sesuatu bidang seperti
pendidikan, teknologi, perubatan, kejuruteraan dan perkara lain yang
boleh mendatangkan kepentingan kepada Ummah. Malah pernah saya mendengar
kata-kata ilmuan agama dan ustaz yang mana sesebuah masyarakat yang ada
seorang hafiz atau hafizah telah terlepas dari fardhu kifayah. Jadi
kita tidak patut memandang hafiz dan hafizah ini sesuatu yang leceh atau
membazir masa bahkan ada segelintir dari kita yang memandang rendah
dengan melabelkan hafiz dan hafizah tidak setanding mereka yang menuntut
di Universiti atau kolej. Sungguh menyedihkan.
Menguruskan jenazah pun fardhu kifayah, kalau tiada siapa yang pandai siapa yang nak uruskan jenazah Muslim??
Beza Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah
Terdapat
perbezaan antara kedua-dua jenis fardhu ini, mungkin anda telah
mengetahuinya namun saya cuba untuk senaraikan dengan ringkas. Fardhu
Ain wajib dilakukan oleh setiap individu muslim manakala fardhu kifayah
pula menjadi kewajipab secara umum sahaja bagi golongan tertentu. Bagi
individu yang meninggalkan fardhu ain akan berdosa besar manakala
kewajipan telah tertunai sekiranya sabahagian telah menunaikan fardhu
kifayah. Fardhu ain meliputi ibadah secara langsung (direct) dengan
Allah S.W.T tetapi ibadah fardhu kifayah mempunyai pertalian dengan
masyarakat dan sesama manusia.
Akibat meninggalkan Fardhu Ain
1. Jiwa kita akan selalu rasa resah dan gelisah serta mudah terpengaruh dengan unsur negatif.
2. Kita akan mudah melakukan perkara yang dilarang oleh Allah @ melakukan dosa.
3. Tidak mendapat keberkatan dan keredhaan dari Allah S.W.T
4. Maruah diri kita menjadi buruk dan tidak mampu dijaga.
5. Akhlak akan sentiasa buruk dan sering melanggar batas dalam Islam.
Akibat meninggalkan Fardhu Kifayah
1. Masyarakat Islam pasti akan mundur dan terkebelakang berbanding masyrakat lain dalam pelbagai bidang.
2. Kita ( Umat Islam) akan mudah ditipu, dipengaruhi dan dipermainkan oleh Umat lain.
3. Umat islam akan hidup dalam kemelaratan kerana tidak mahir dalam sesuatu bidang ilmu untuk meningkatkan taraf hidup kita.
Penting ke Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah???
YA.
SANGAT PENTING bagi kita umat Islam. Umat Islam yang mantap dalam
fardhu ain pasti menjadi individu yang taat akan perintah Allah, berilmu
dan beramal dengan fikiran yang positif dan rasional. Umat Islam juga
akan peka dan lebih berdaya saing untuk meningkatkan taraf hidup dan
ekonomi. kita juga akan menjadi contoh yang baik kepada Umat lain dalam
kehidupan seharian disamping dapat menjaga hubungan baik dengan Allah
dan manusia. Syiar Islam dapat ditegakkan dan kemajuan dalam negara akan
bertambah dari masa ke semasa. Negara Islam akan disegani dan dihormati
bukan sahaja dari aspek ekonomi malah dalam pelbagai bidang ilmu dan
kemahiran yang ada.
Anda
sendiri nampak akan kesan dan betapa pentingnya Fardhu Ain dan Fardhu
Kifayah ini bukan? insyaAllah, sama-sama kita cuba terapkan dalam hidup
kita sehari-harian. Sekali lagi penulis tekankan bahawa ini hanyalah
ringkasan dan catatan ilmu yang sedikit sahaja, hanya untuk perkongsian
dengan sahabat sekalian dan lebih kepada peringatan kepada diri sendiri
yang dhoif. Anda bebas untuk sebarkan dan share dengan semua diluar sana
kerana bagi saya ilmu itu adalah milik Allah. Kita hanya meminjam nya
untuk sementara. Anda setuju bukan? insyaAllah..sama-sama kita dapat
manfaat yer, InsyaAllah.
Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (2): Ilmu Fardhu ‘Ain Dan Ilmu Fardhu Kifayah
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Setelah dijelaskan tentang definisi ilmu Fardhu ‘Ain,
maka pada bagian kedua ini Anda akan diajak memahami tentang
macam-macam ilmu Fardu ‘Ain , agar Anda bisa mengenal kewajiban Anda
dalam mempelajari agama Islam.
Pembagian ilmu Fardu ‘ain
Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan ilmu fadhu ‘ain :
وضابطه أن يتوقف عليه معرفة عبادة يريد فعلها أو معاملة يريد القيام بها , فإنه يجب عليه في هذه الحال أن يعرف كيف يتعبد الله بهذه العبادة , وكيف يقوم بهذه المعاملة , وما عدا ذلك من العلم ففرض كفاية
Dan
patokannya (ilmu fardhu ‘ain) adalah suatu ilmu yang menjadi syarat
bisa terlaksananya (dengan benar) sebuah ibadah yang hendak dilakukan
oleh seorang hamba atau mu’amalah (aktifitas dengan orang lain) yang
hendak dikerjakannya, maka pada keadaan ini wajib ia mengetahui (ilmu
tentang )bagaimana beribadah kepada Allah dengan ibadah itu, dan (ilmu
tentang )bagaimana bermu’amalah dengan aktifitas mu’amalah itu. Adapun
ilmu-ilmu selain itu, adalah ilmu fardhu kifayah”1
Dari
keterangan di atas kita ketahui bahwa ruang lingkup ilmu yang wajib
dipelajari oleh setiap muslim dan muslimah adalah perkara yang berkaitan
dengan ibadah,yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan mu’amalah, yaitu
hubungan manusia dengan manusia yang lain.
Padahal,
sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa diantara bentuk-bentuk ibadah
dan mu’amalah, ada yang sebagiannya sama-sama wajib dilakukan oleh
setiap orang , namun ada juga bentuk ibadah dan mu’amalah yang hanya
mampu dilakukan oleh sebagian orang saja tanpa sebagian orang yang lain
atau hanya sebagian orang saja yang berkepentingan untuk segera
melakukannya ketika itu, sehingga hanya sebagian orang tersebut saja
yang wajib mempelajari hukum-hukumnya, adapun bagi yang lain, tidaklah
wajib mempelajarinya.
Oleh karena itu, dari penjelasan Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu Fardu ‘ain terbagi menjadi dua:
1. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh seluruh mukallafiin (orang-orang yang baligh dan berakal sehat )dimanapun mereka berada dan kapanpun juga.
Jenis ilmu Fardu ‘ain inilah yang disebutkan contoh-contohnya oleh Imam Ahmad,An-Nawawi dan Ulama Lajnah Daimah KSA rahimahumullah, yang sudah dinukilkan fatwanya di artikel bagian ke-1, seperti :
Mengetahui
tauhid dan kebalikannya,yaitu syirik, pokok-pokok keimanan (Rukun Iman)
dan Rukun Islam, hukum-hukum sholat, tatacara wudhu`, bersuci dari
junub, dan yang semisalnya dan
termasuk juga dalam jenis ini, yaitu mengetahui perkara-perkara yang
diharomkan dalam Islam,seperti dalam masalah
makanan,minuman,pakaian,kehormatan,darah,harta,ucapan dan perbuatan.
2. Jenis ilmu Fardu ‘ain yang harus dipelajari oleh sebagian mukallafiin saja, yang memiliki kewajiban tertentu yang khusus baginya.
Sehingga orang lain yang tidak memiliki kewajiban tersebut, tidak harus mempelajari ilmu itu.
Penjelasan :
Jenis ilmu Fardu ‘ain yang satu ini, contoh-contohnya diantaranya adalah :
-
Ilmu tentang suatu ibadah tertentu bagi orang yang mampu mengerjakannya.Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan contoh-contoh ilmu fardhu ‘ain:
من كان عنده مال أن يتعلم أحكام الزكاة ……. من أراد أن يحج أن يتعلم أحكام الحج لأن هذه عبادات متلقاة من الشرع فلابد أن يعلم كيف شرعها الشارع ليعبد الله على بصيرةOrang yang memiliki harta wajib mempelajari hukum-hukum zakat…….. demikian pula orang yang hendak menunaikan ibadah haji, wajib baginya mempelajari hukum-hukum haji, karena ibadah itu sumbernya adalah Syari’at, maka wajib mempelajari tata cara ibadah yang disyari’atkan oleh Allah, agar seseorang bisa beribadah kepada-Nya berdasarkan ilmu 2 -
Ilmu tentang pekerjaan, profesi atau tugas, agar bisa menunaikan kewajiban pekerjaannya dan agar terhindar dari melakukan keharoman dalam pekerjaannya. Berkata Ibnu Hazm rahimahullah :
ثم فرض على قواد العساكر معرفة السِّير وأحكام الجهاد وقَسْم الغنائم والفيء. ثم فرض على الأمراء والقضاة تعلم الأحكام والأقضية والحدود، وليس تعلم ذلك فرضا على غيرهم.Selanjutnya, diwajibkan bagi para komandan pasukan untuk mengetahui ilmu tentang strategi mobilitas pasukan, hukum-hukum jihad, pembagian rampasan perang dan fai`.
Diwajibkan pula bagi para pejabat pemerintahan dan hakim untuk mempelajari hukum-hukum fikih peradilan dan hukuman hudud, akan tetapi mempelajari hal itu tidak wajib bagi selain mereka.3
-
Ilmu tentang mu’malah (aktivitas) yang hendak dilakukannya, agar bisa menghindari larangan yang haram dilakukan dan bisa menunaikan kewajibannya terhadap pihak lain. Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-Munajjid rahimahullah memberi contoh ilmu-ilmu yang termasuk fardhu ‘ain :
ومن ذلك تعلم أحكام البيع والشراء لمن أراد أن يتعامل بذلك ، وكذا أحكام النكاح والطلاق والأطعمة والأشربة وغيرها من المعاملات لمن أراد الإقدام على شيء منهاDan yang termasuk ilmu fardhu ‘ain adalah mempelajari hukum-hukum jualbeli bagi orang yang hendak melakukan aktifitas jualbeli, demikian pula hukum-hukum nikah, thalaq, makanan, minuman dan mu’amalah selainnya, bagi orang yang hendak melakukan salahsatu bentuk mu’amalah tersebut 4
-
Ilmu tentang hukum suatu kejadian kontemporer bagi yang mengalaminya. Berkata An-Nawawi rahimahullah:ويجب عليه الاستفتاء إذا نزلت به حادثة يجب عليه علم حكمها فإن لم يجد ببلده من يستفتيه وجب عليه الرحيل إلى من يفتيه وإن بَعُدت داره، وقد رحل خلائق من السلف في المسألة الواحدة الليالي والأيام“Wajab baginya (seseorang yg tidak tahu hukum suatu kejadian-pent) untuk meminta fatwa, jika mengalami kejadian kontemporer yang harus diketahui hukumnya. Jika di negrinya tidak didapatkan orang yang mampu berfatwa, maka wajib baginya pergi kepada orang yang mampu berfatwa walaupun jauh dari rumahnya. (Di dalam sejarah) beberapa orang Salaf dahulu pergi mencari ilmu tentang satu masalah sampai selama berhari-hari”5.
2. Ilmu Fardhu Kifayah
Yaitu sebuah
ilmu yang jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang mempelajarinya
dengan mencukupi,maka gugurlah kewajiban tersebut atas seluruh kaum
muslimin yang lainnya, namun disunnahkan bagi kaum muslimin yang lainnya
tersebut untuk mempelajarinya.
Berikut nukilan perkataan An-Nawawi rahimahullah :
( القسم الثاني )
فرض الكفاية ، وهو تحصيل ما لا بد للناس منه في إقامة دينهم من العلوم
الشرعية ، كحفظ القرآن ، والأحاديث ، وعلومهما ، والأصول ، والفقه ، والنحو
، واللغة ، والتصريف ، ومعرفة رواة الحديث ، والإجماع ، والخلاف ، وأما ما
ليس علما شرعيا ، ويحتاج إليه في قوام أمر الدنيا كالطب ، والحساب ففرض
كفاية أيضا
“Jenis Ilmu yang kedua adalah ilmu Fardu Kifayah, yaitu
ilmu yang dibutuhkan manusia demi tegaknya agama mereka yang sifatnya
harus ada, yaitu berupa ilmu-ilmu Syari’at, seperti : menghafal Alquran,
Hadits dan ilmu Hadits, ilmu Ushul, Fikih, Nahwu, Bahasa Arab, Shorof,
ilmu perowi Hadits, Ijma’ dan perselisihan Ulama.
Adapun
ilmu yang bukan ilmu Syari’at, namun dibutuhkan untuk tegaknya urusan
dunia, seperti kedokteran dan matematika, maka ini termasuk ilmu Fardhu
Kifayah juga“6.
Dengan demikian ilmu
Fardhu Kifayahpun terbagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan
ilmu-ilmu Syar’i dan yang terkait dengan ilmu-ilmu dunia.
Wallahu a’lam. Selanjutnya,
Apakah ilmu fardhu ain ?
Apakah ilmu fardhu ain ?
Ilmu agama yang dimaksudkan dengan ilmu fardhu ain ialah kadar yang
wajib dipelajari bagi setiap individu muslim yang bersangkutan dengan
ilmu iktiqad, permasalahan fekah, hukum-hakam yang berkaitan dengan
mu'amalat bagi mereka yang berurusan dengannya dan selainnya seperti
mengetahui perkara yang bersangkutan dengan maksiat-maksiat hati dan
anggota seperti lidah dan seumpamanya serta mengetahui secara ringkas
berkenaan dengan hukum zakat bagi mereka yang wajib mengeluarkannya dan
haji bagi mereka yang mampu.
Rasulullah bersabda :
" طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم ٍ "
Maksudnya : “ Mununtut ilmu itu wajib bagi setiap individu muslim "
( Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi)
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
|
PRIORITAS FARDHU 'AIN ATAS FARDHU KIFAYAH
TIDAK diperselisihkan lagi bahwa perkara fardhu mesti
didahulukan atas perkara yang hukumnya sunnah; tetapi
perkara-perkara yang fardhu itu sendiri memiliki berbagai
tingkatan.
Kita yakin betul bahwa fardhu ain harus didahulukan atas
fardhu kifayah. Karena fardhu kifayah kadangkala sudah ada
orang yang melakukannya, sehingga orang yang lain sudah tidak
menanggung dosa karena tidak melakukannya. Sedangkan fardhu
ain tidak dapat ditawar lagi, karena tidak ada orang lain yang
boleh menggantikan kewajiban yang telah ditetapkan atas
dirinya.
Banyak hadits Nabi yang menunjukkan bahwa kita harus
mendahulukan fardhu ain atas fardhu kifayah.
Contoh yang paling jelas untuk itu ialah perkara yang ada
kaitannya dengan berbuat baik terhadap kedua orangtua dan
berperang membela agama Allah, ketika perang merupakan fardhu
kifayah, karena peperangan untuk merebut suatu wilayah dan
bukan mempertahankan wilayah sendiri; yaitu peperangan untuk
merebut suatu wilayah yang diduduki oleh musuh. Kita harus
melakukan peperangan ketika tampak tanda-tanda musuh mengintai
kita dan hendak merebut wilayah yang lebih luas dari kita.
Dalam hal seperti ini hanya sebagian orang saja yang dituntut
untuk melakukannya, kecuali bila pemimpin negara menganjurkan
semua rakyatnya untuk pergi berperang.
Dalam peperangan seperti ini, berbakti kepada kedua orangtua
dan berkhidmat kepadanya adalah lebih wajib daripada bergabung
kepada pasukan tentara untuk berperang. Dan inilah yang
diingatkan oleh Rasulullah saw.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin Ash
r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi
saw. Dia meminta izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah
saw bertanya kepadanya, "Apakah kedua orangtuamu masih hidup
?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah saw bersabda, "Berjuanglah
untuk kepentingan mereka." 10
Dalam riwayat Muslim disebutkan, ada seorang lelaki datang
kepada Rasulullah saw kemudian berkata, "Aku hendak berjanji
setia untuk ikut hijrah bersamamu, dan berperang untuk
memperoleh pahala dari Allah SWT." Nabi saw berkata kepadanya:
"Apakah salah seorang di antara kedua orangtuamu masih hidup?"
Dia menjawab, "Ya. Bahkan keduanya masih hidup." Nabi saw
bersabda, "Engkau hendak mencari pahala dari Allah SWT?"
Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi saw kemudian bersabda,
"Kembalilah kepada kedua orangtuamu, perlakukanlah keduanya
dengan sebaik-baiknya."
Diriwayatkan dari Muslim bahwa ada seorang lelaki datang
kepada Rasulullah saw seraya berkata, "Aku datang ke sini
untuk menyatakan janji setia kepadamu untuk berhijrah, aku
telah meninggalkan kedua orangtuaku yang menangis karenanya."
Maka Nabi saw bersabda, "Kembalilah kepada keduanya, buatlah
mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka
menangis."
Diriwayatkan dari Anas r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki
datang kepada Rasulullah saw sambil berkata, "Sesungguhnya aku
sangat ingin ikut dalam peperangan, tetapi aku tidak mampu
melaksanakannya." Nabi saw bersabda, "Apakah salah seorang di
antara kedua orangtuamu masih ada yang hidup?" Dia menjawab,
"Ibuku." Nabi saw bersabda, "Temuilah Allah dengan melakukan
kebaikan kepadanya. Jika engkau melakukannya, maka engkau akan
mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang mengerjakan
ibadah haji, umrah, dan berjuang di jalan Allah." 2
Diriwayatkan dari Mu'awiyah bin Jahimah bahwasanya Jahimah
datang kepada Nabi saw kemudian berkata, "Wahai Rasulullah,
aku ingin ikut berperang, dan aku datang ke sini untuk meminta
pendapatmu." Maka Rasulullah saw bersabda, "Apakah engkau
masih mempunyai ibu?" Dia menjawab, "Ya." Rasulullah bersabda,
"Berbaktilah kepadanya, karena sesungguhnya surga berada di
bawah kakinya." 13
Thabrani meriwayatkan hadits itu dengan isnad yang baik, 14
dengan lafalnya sendiri bahwa Jahimah berkata, "Aku datang
kepada Nabi saw untuk meminta pendapat bila aku hendak ikut
berperang. Maka Nabi saw bersabda, 'Apakah kedua orangtuamu
masih ada?' Aku menjawab, 'Ya.' Maka Nabi saw bersabda,
'Tinggallah bersama mereka, karena sesungguhnya surga berada
di bawah telapak kaki mereka.'"
BEBERAPA TINGKAT FARDHU KIFAYAH
Saya ingin menjelaskan di sini bahwa sesungguhnya fardhu
kifayah juga mempunyai beberapa tingkatan. Ada fardhu kifayah
yang cukup hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan ada
pula fardhu kifayah yang dilakukan oleh orang banyak. Ada pula
fardhu-fardhu kifayah yang tidak begitu banyak orang yang
telah melakukannya, bahkan tidak ada seorangpun yang
melakukannya.
Pada zaman Imam Ghazali, orang-orang merasa aib bila mereka
tidak menuntut ilmu pengetahuan di bidang fiqh, padahal ia
merupakan fardhu kifayah, dan pada masa yang sama mereka
meninggalkan wajib kifayah yang lain; seperti ilmu kedokteran.
Sehingga di suatu negeri kadangkala ada lima puluh orang ahli
fiqh, dan tidak ada seorangpun dokter kecuali dari ahli
dzimmah. Padahal kedokteran pada saat itu sangat diperlukan,
di samping ia juga dapat dijadikan sebagai pintu masuk bagi
hukum-hukum dan urusan agama.
Oleh karena itu, fardhu kifayah yang hanya ada seorang yang
telah melakukannya adalah lebih utama daripada fardhu kifayah
yang telah dilakukan oleh banyak orang; walaupun jumlah yang
banyak ini belum menutup semua keperluan. Fardhu kifayah yang
belum cukup jumlah orang yang melakukannya, maka ia semakin
diperlukan.
Kadangkala fardhu kifayah dapat meningkat kepada fardhu ain
untuk kasus Zaid atau Amr, karena yang memiliki keahlian hanya
dia seorang, dan dia mempunyai kemungkinan untuk melakukannya,
serta tidak ada sesuatupun yang menjadi penghalang baginya
untuk melakukannya.
Misalnya, kalau negara memerlukan seorang faqih yang
ditugaskan untuk memberi fatwa, dan dia seorang yang telah
belajar fiqh, atau dia sendiri yang dapat menguasai ilmu
tersebut.
Contoh lainnya ialah guru, khatib, dokter, insinyur, dan
setiap orang yang memiliki keahlian tertentu yang sangat
diperlukan oleh manusia, dan keahlian ini tidak dimiliki oleh
orang lain.
Misal yang lain ialah apabila ada seorang yang mempunyai
pengalaman di bidang kemiliteran yang sangat khusus, dan
tentara kaum Muslimin memerlukannya, yang tidak dapat
digantikan oleh orang lain, maka wajib baginya untuk
mengajukan diri melakukan tugas tersebut.
Catatan kaki:
10 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Jihad; dan Muslim dalam
al-Birr. hadits no. 2549
11 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dalam al-Jihad
(2528): Ibn Majah (2782); dan disahihkan oleh Hakim.
4:152-153, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
12 Al-Mundziri berkata dalam kitab ar-Targhib wat-Tarhib: "Abu
Ya'la dan Thabrani meriwayatkan dalam as-Shaghir dan
al-Awsath, dengan isnad yang baik, Maimun bin Najih yang
dikuatkan oleh Ibn Hibban, dan rawi-rawi yang masyhur
(al-Muntaqa, 1474). Al-Haitsami mengatakan: "Orang-orang yang
meriwayatkannya adalah shahih, selain Maimun bin Najih tetapi
telah dikuatkan oleh Ibn Hibban." (Al-Majma', 8:138)
13 Diriwayatkan oleh Nasai dalam al-Jihad. 6: 111; Ibn Majah
(2781); Hakim men-shahih-kannya dan disepakati oleh
al-Dzahabi. 4:151.
14 Begitulah yang dikatakan aleh al-Mundziri (lihat
al-Muntaqa, 1475); al-Haitsami berkata: "Orang-orang yang
meriwayatkan hadits ini semuanya tsiqat." (Al-Majma', 8:138)
|
HUKUM JIHAD ANTARA FARDHU 'AIN DAN FARDHU KIFAYAH
__________
Hukum Jihad itu terbagi dua:
Fardu A'in dan Fardu Kifayah.
Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.
A. Fardu Kifayah:
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka.
Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
"Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad.
Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.
"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17)
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidakmemperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91)
"Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah 92)
"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan."
Imam Syafi'i mengatakan : "Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun."
Al-Qurtubi mengatakan: "Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dinullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah."
Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : "Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali.
Dan apa yang dikatakan oleh para Fuqaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi (jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun."
Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a'in.
Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, "Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad - dengan makna yang lebih umum - sebagai fardu a'in, maka beliau mengatakan :"Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a'in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya."
Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a'in, antara lain:
"Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan." (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)
"Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan."
Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : "Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan"sebelum hari qiamat." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)
Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad.
Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung menghadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.
Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a'in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan.
Dibawah ini akan dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a'in.
B. Fardu A'in
Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:
1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:
"Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)
Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah"
Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam."
2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan,maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". (QS Al-Anfal 15)
"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfal 16)
Rasulullah saw bersabda :"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, "Beliau saw ditanya: "Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?"Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).
3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.
Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi farduain bagi penghuni wilayah tst.
Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.
Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : "Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya,termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.
Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan: "..Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.
Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya.
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Danjuga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.
Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) mengatakan : "Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan.
Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan : "Jihad menjadi fardu 'ain didalam 3 keadaan:
a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan.
b. Apabila orang kafir telah masuk(menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka.
c. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajibberangkat.
C. Hukum Jihad pada masa sekarang.
Dari keterangan diatas kita memperoleh gambaran bahwa hukum jihad berubah ubah sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi.
Timbul pertanyaan:
Apakah hukum jihad pada masa sekarang ini? Apakah fardu 'ain atau fardu kifayah?
Ketetapan jumhur ulama bahwa hukum jihad itu fardu kifayah adalah fatwa mereka bagi kaum muslimin dalam keadaan khilafah Islamiyyah masih tegak, itupun dengan menetapkan pula adanya kondisi yang boleh menyebabkan berubahnya hukum jihad dari fardu kifayah menjadi fardu 'ain.
Sekarang keadaanya lain, bumi sudah berubah, situasi dan kondisipun telah berubah dengan lenyapnya kekuasaan Islam, dan khilafah Islamiyah. Keadaan seperti ini mewajibkan kita untuk meninjau kembali pokok masalahnya.
Abu Ibrahim Al-Misri menyatakan : "Kita mulai dengan ta'rif dua istilah ini
Fardu 'Ain : Yaitu kewajiban yang zatiah dibebankan kepada setiap muslim.
Fardu Kifayah : Yaitu perintah yang ditujukan kepada kaum muslimin secara umum, jika sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka berdosalah semua kaum muslimin.
Bertitik tolak dari fardu kifayah, membuahkan pertanyaan kepada kita tetapi jawabannya kita tangguhkan : Apakah perintah dalam urusan kita dan apakah tujuan jihad kita?
Pertanyaan tidak sempurna melainkan ditambah dengan pertanyaan lainnya:
Apakah tujuan Jihad itu akan tercapai dengan hanya melibatkan sebagian kaum muslimin atau tidak? ...Sesungguhnya fatwa yang ringkas dan jalan pintas bagi menetapkan hukum mengenai masalah ini, saya katakan:
Dengan mentakhrij pada usul fuqaha dan syarat-syarat yang ditetapkan mereka, orang muslim itu tidak dapat menyatakan melainkan bahwa telah terjadi Ijma para Fuqaha umat Islam bahwasannya Jihad itu adalah fardu 'ain pada zaman kita sekarang ini.
Berbagai keadaan yang menetapkan jihad menjadi fardu 'ain telah terkumpul pada zaman ini, bahkan telah berlipat ganda dengan sesuatu yang tidakterlintas dalam benak salah seorang mereka sekiranya ia tidak meninggalkan kesan di tengah-tengah penyimpangan dari hukum ini.
Imam Qurtubi bekata : "Setiaporang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuhnya, dan ia mengetahui bahwa musuhnya itu akan dapat mencapai mereka sementara ia pun memungkinkan untuk menolong mereka, maka ia harus keluar bersama mereka (menghadapi musuh tsb)
Imam Ibnu Taimiyyah berkata: "Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menolak musuh itu menjadi wajib atas semua orang yang menjadi sasaran musuh dan atas orang-orang yang tidak dijadikan sasaran mereka.
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan- hampir saja jiwa ini binasa karena kesedihan terhadap mereka
"Siapakah diantara kita yang tidak dituju dan tidak dijadikan sasaran makar (rencana) para pembuat makar.
Belahan bumi yang manakah sekarang ini yang selamat dari permainan para pembuat bencana?
Hamparan tanah yang manakah sekarang ini yang diatasnya panji Khilafah dan Kekuatan Islam ditinggikan?
Jika engkau tidak tahu maka tanyalah bumi ini, ia akan menjawab sambil mengadukan kepada Rabbnya kezhaliman para Thogut dan sikap masa bodo' nya kaum muslimin sesama mereka sendiri... maka adakah benar perbantahan orang-orang yang bermujadalah bahwa jihad itu fardu kifayah, bukan fardu 'ain?"
Kami ingin keluar dariapda perselisihan dan mengakhiri perbantahan, maka kami katakan: Apakah tujuan yang dituntut di dalam kewajiban Jihad atas pertimbangan bahwa sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka kewajiban itu gugur dari yang lain? Serahkan jawabannya pada Fuqaha kita...
Al-Kasani berkata : "Yang mewajibkan jihad ialah : Dakwah kepada Islam, meninggikan Ad-Dienyang hak, dan menolak kejahatan orang-orang kafir dan pemaksaan (paksaan) mereka."
Imam Ibnul Hammam mengatakan : "Sesungguhnya jihad itu diwajibkan hanyalah untuk meninggikan Dienullah dan menolak kejahatan manusia.
Maka jika tujuan itu berhasil dengan dilaksanakannya oleh sebagian kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, sama halnya seperti sholat jenazah danmenjawab salam."
Kami memohon ampun kepada Allah karena kami tidak patut mendahului Allah dan Rasul-Nya. sesungguhnya Allah telah menerangkan jauh sebelum ini danselanjutnya telah dirinci (dijelaskan) pula oleh Rasulullah saw mengenai tujuan jihad yang dimaksud ini.
"Perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.." (QS Al-Anfal 39)
"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani)
"Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali sebab haknya(mereka melakukan pelanggaran);sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Adakah Fitnah telah sirna? Adakah kejahatan, pemaksaan dan penguasaan orang- orang kafir telah sirna(hilang) dan semua agama itu semata-mata untuk Allah?
Maka bukan dipandang dari segi fardu 'ainnya jihad yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dan bukan pula dari segi fardu kifayahnya, sejumlah kaum muslimin telah lupa/malas/enggan berjihad sehingga mencapai kejayaan dan kekuasaan yang sangat minim (kecil) bagi kaum muslimin, yaitu berpuluh puluh tahun mereka tetap berada dalam kerendahan, kehinaan, dan dibawah pemaksaan musuh serta dalam keadaan tertindas.
"Maka kemanakah kalian hendak pergi? Al-Qur'an itu tiada lain sebagai peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus."
Dan sekiranya dalam kondisi gelapgulita yang mengancam umat secara individu dan kelompok ini, hukum jihad tidak menjadi fardu 'ain, maka bilakah tujuan itu akandapat tercapai? Adakah ia akan wujud seperti hidangan yang turun dari langit, yang pada hidangan itu ada mangkok Khilafah yang berisi ketentraman dan pertolongan rabbmu, serta berisi kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin lainnya? Ataukah sekiranya hidangan yang turun itu terlambat, hukum jihad akan menjadi fardu 'ain setelah musuh merampas negeri kaum muslimin, dan setelah perlengkapan untuk memikul agama ini sempurna? Padahal kita tahu bahwa Allah itu Maha Benar lagi Maha Menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.
Manakah toifah yang berperang untuk membela Dien ini, yang tidak akan dimudaratkan oleh orang yang menyalahinya dan oleh orang yang meremehkannya?
Manakah Rub'i bin Amir yangmengatakan :
"Allahlah yang telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusiadari penghambaan terhadap manusia menuju penghambaan terhadap rabb seluruh manusia, dari kezhaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat."
Manakah fuqaraul Muhajirin yang (mereka telah diusir dari kampunghalaman dan harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan karena menolong Allah dn Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yagn benar)?
Dan diantara ujian buruk dan lucu, ada seorang syaikh yang terhormat ditanya oleh salah seorang muridnya dalam keadaan kerhormatan kaum muslimin tengah dirusak dan bumi mereka tengah dirampas. Murid itu bertanya tentang kewajiban Jihad, kemudian ia menjawab:"Fardu Kifayah." Kemudian ia melanjutkan pertanyaan :"Bilakah Jihad menjadi Fardu 'ain?" Ia menjawab:"Ketika musuh memasuki negeri kita."
Maka salah seorang syaikh mujahid memberikan komentar dengan mengatakan : "Maha suci Rabbku, adakah ayat-ayat yang diturunkan tentang Jihad dan tentang mempertahankan bumi kaum muslimin dengan menetapkan hanya sebidang tanah ini? Bukan bumi Allah yang luas?"
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan: "Mungkin syaikh kita inibelum membaca apa yang dikatakan oelh Ibnu Taimiyyah tentang itu."
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
Dan diantara perkara yang menambah sakit dan kerugian seseorang itu jika dia tidak pernah mengetahui keadaan kaum muslimin, kehinaan mereka, dan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak dan kehormatan mereka baik dibarat maupun di timur. Itu adalah musibat, karena sesungguhnya orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin tidak mungkin dia akan termasuk dalamgolongan kaum muslimin. Dan sekiranya kamu mengetahui tapi tetap berdiam diri maka musibat itu jauh lebih besar lagi.
Kesimpulannya : Mesti diketahui bahwa yang dimaksud dengan fardu kifayah yang jika dilaksanakan oleh sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, keadaan kelompok tersebut haruslah memadai untuk melaksanakannya sehingga gugur kewajiban bagi yang lain.
Dan bukanlah yang dimaksud hanya sekelompok saja yang tampil/turun melaksanakannya tetapi tidak memadai(mencukupi).
Oleh itu tidak benar pengguguran kewajiban jihad dari semua kaum muslimin dengan tampilnya sekelompok pelaksana pada sebagian bumi walaupun ia mencukupi ditempat tersebut, sedangkan pada bagian-bagian bumi lainnya panji kekufuran tegak dengan megahnya.
Maka kaum muslimin yang berdekatan dengan kawasan-kawasan tersebut wajib berjihad menghadapi orang-orang kafir itusehingga dapat menguasai mereka.
Dan demikianlah seterusnya hingga tercapai keadaan yang mencukupi (memadai)
Di dalam hasyiyah Ibnu Abidin, ia berkata : janganlah kalian menyangka bahwa kewajiban jihad itu akan gugur dari penduduk India dengan sebab jihad itu dilaksanakan oleh penduduk Rum, misalnya.
Bahkan sebenarnya jihad itu wajib atas orang yang terdekat kepda musuh, kemudian atas orang yangterdekat berikutnya sehingga terjadilah keadaaan yang memadai. Maka sekiranya keadaan yang memadai itu tidak dapat wujud melainkan mesti dengan mengerahkan semua kaum muslimin, maka jihad menjadifardu 'ain seperti sholat dan puasa.
Orang yang memperhatikan keadaan kaum muslimin dan orang-orang kafir pada zaman sekarang ini tentu ia akan mendapatkan bahwa jihad adalah fardu 'ain atas setiap muslim yang mampu, bukan fardu kifayah.
Ini disebabkan karena sebagian kelompok kaum muslimin yang melaksanakan jihad menghadapi orang-orang kafir dibeberapa tempat, mereka tidak memadai utnuk mencukupi keperluan di tempat-tempat lainya yang di situ musuh tengah menyerbu kaum muslimin ditengah-tengah kampung halaman mereka sendiri,sementara ditempat itu tidak adakelompok yang bangkit melaksanakan kewajiban jihad untuk menghadapinya.
Berdasarkan keterangan di atas sungguh terang dan jelas bagi kita bahwa hukum jihad pada masa sekarang ini adalah FARDU 'AIN.
Ditulis oleh Mujahidah shaliha
__________
Hukum Jihad itu terbagi dua:
Fardu A'in dan Fardu Kifayah.
Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.
A. Fardu Kifayah:
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka.
Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
"Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.
Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad.
Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.
"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17)
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidakmemperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91)
"Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah 92)
"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan."
Imam Syafi'i mengatakan : "Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun."
Al-Qurtubi mengatakan: "Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dinullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah."
Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : "Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali.
Dan apa yang dikatakan oleh para Fuqaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi (jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun."
Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a'in.
Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, "Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad - dengan makna yang lebih umum - sebagai fardu a'in, maka beliau mengatakan :"Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a'in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya."
Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a'in, antara lain:
"Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan." (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)
"Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan."
Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : "Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan"sebelum hari qiamat." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)
Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad.
Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung menghadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.
Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a'in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan.
Dibawah ini akan dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a'in.
B. Fardu A'in
Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:
1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:
"Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)
Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah"
Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam."
2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan,maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". (QS Al-Anfal 15)
"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfal 16)
Rasulullah saw bersabda :"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, "Beliau saw ditanya: "Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?"Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).
3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.
Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi farduain bagi penghuni wilayah tst.
Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.
Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : "Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya,termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang.
Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan: "..Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad.
Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya.
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala
Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Danjuga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.
Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) mengatakan : "Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan.
Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan : "Jihad menjadi fardu 'ain didalam 3 keadaan:
a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan.
b. Apabila orang kafir telah masuk(menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka.
c. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajibberangkat.
C. Hukum Jihad pada masa sekarang.
Dari keterangan diatas kita memperoleh gambaran bahwa hukum jihad berubah ubah sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi.
Timbul pertanyaan:
Apakah hukum jihad pada masa sekarang ini? Apakah fardu 'ain atau fardu kifayah?
Ketetapan jumhur ulama bahwa hukum jihad itu fardu kifayah adalah fatwa mereka bagi kaum muslimin dalam keadaan khilafah Islamiyyah masih tegak, itupun dengan menetapkan pula adanya kondisi yang boleh menyebabkan berubahnya hukum jihad dari fardu kifayah menjadi fardu 'ain.
Sekarang keadaanya lain, bumi sudah berubah, situasi dan kondisipun telah berubah dengan lenyapnya kekuasaan Islam, dan khilafah Islamiyah. Keadaan seperti ini mewajibkan kita untuk meninjau kembali pokok masalahnya.
Abu Ibrahim Al-Misri menyatakan : "Kita mulai dengan ta'rif dua istilah ini
Fardu 'Ain : Yaitu kewajiban yang zatiah dibebankan kepada setiap muslim.
Fardu Kifayah : Yaitu perintah yang ditujukan kepada kaum muslimin secara umum, jika sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka berdosalah semua kaum muslimin.
Bertitik tolak dari fardu kifayah, membuahkan pertanyaan kepada kita tetapi jawabannya kita tangguhkan : Apakah perintah dalam urusan kita dan apakah tujuan jihad kita?
Pertanyaan tidak sempurna melainkan ditambah dengan pertanyaan lainnya:
Apakah tujuan Jihad itu akan tercapai dengan hanya melibatkan sebagian kaum muslimin atau tidak? ...Sesungguhnya fatwa yang ringkas dan jalan pintas bagi menetapkan hukum mengenai masalah ini, saya katakan:
Dengan mentakhrij pada usul fuqaha dan syarat-syarat yang ditetapkan mereka, orang muslim itu tidak dapat menyatakan melainkan bahwa telah terjadi Ijma para Fuqaha umat Islam bahwasannya Jihad itu adalah fardu 'ain pada zaman kita sekarang ini.
Berbagai keadaan yang menetapkan jihad menjadi fardu 'ain telah terkumpul pada zaman ini, bahkan telah berlipat ganda dengan sesuatu yang tidakterlintas dalam benak salah seorang mereka sekiranya ia tidak meninggalkan kesan di tengah-tengah penyimpangan dari hukum ini.
Imam Qurtubi bekata : "Setiaporang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuhnya, dan ia mengetahui bahwa musuhnya itu akan dapat mencapai mereka sementara ia pun memungkinkan untuk menolong mereka, maka ia harus keluar bersama mereka (menghadapi musuh tsb)
Imam Ibnu Taimiyyah berkata: "Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menolak musuh itu menjadi wajib atas semua orang yang menjadi sasaran musuh dan atas orang-orang yang tidak dijadikan sasaran mereka.
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan- hampir saja jiwa ini binasa karena kesedihan terhadap mereka
"Siapakah diantara kita yang tidak dituju dan tidak dijadikan sasaran makar (rencana) para pembuat makar.
Belahan bumi yang manakah sekarang ini yang selamat dari permainan para pembuat bencana?
Hamparan tanah yang manakah sekarang ini yang diatasnya panji Khilafah dan Kekuatan Islam ditinggikan?
Jika engkau tidak tahu maka tanyalah bumi ini, ia akan menjawab sambil mengadukan kepada Rabbnya kezhaliman para Thogut dan sikap masa bodo' nya kaum muslimin sesama mereka sendiri... maka adakah benar perbantahan orang-orang yang bermujadalah bahwa jihad itu fardu kifayah, bukan fardu 'ain?"
Kami ingin keluar dariapda perselisihan dan mengakhiri perbantahan, maka kami katakan: Apakah tujuan yang dituntut di dalam kewajiban Jihad atas pertimbangan bahwa sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka kewajiban itu gugur dari yang lain? Serahkan jawabannya pada Fuqaha kita...
Al-Kasani berkata : "Yang mewajibkan jihad ialah : Dakwah kepada Islam, meninggikan Ad-Dienyang hak, dan menolak kejahatan orang-orang kafir dan pemaksaan (paksaan) mereka."
Imam Ibnul Hammam mengatakan : "Sesungguhnya jihad itu diwajibkan hanyalah untuk meninggikan Dienullah dan menolak kejahatan manusia.
Maka jika tujuan itu berhasil dengan dilaksanakannya oleh sebagian kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, sama halnya seperti sholat jenazah danmenjawab salam."
Kami memohon ampun kepada Allah karena kami tidak patut mendahului Allah dan Rasul-Nya. sesungguhnya Allah telah menerangkan jauh sebelum ini danselanjutnya telah dirinci (dijelaskan) pula oleh Rasulullah saw mengenai tujuan jihad yang dimaksud ini.
"Perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.." (QS Al-Anfal 39)
"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani)
"Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali sebab haknya(mereka melakukan pelanggaran);sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Adakah Fitnah telah sirna? Adakah kejahatan, pemaksaan dan penguasaan orang- orang kafir telah sirna(hilang) dan semua agama itu semata-mata untuk Allah?
Maka bukan dipandang dari segi fardu 'ainnya jihad yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dan bukan pula dari segi fardu kifayahnya, sejumlah kaum muslimin telah lupa/malas/enggan berjihad sehingga mencapai kejayaan dan kekuasaan yang sangat minim (kecil) bagi kaum muslimin, yaitu berpuluh puluh tahun mereka tetap berada dalam kerendahan, kehinaan, dan dibawah pemaksaan musuh serta dalam keadaan tertindas.
"Maka kemanakah kalian hendak pergi? Al-Qur'an itu tiada lain sebagai peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus."
Dan sekiranya dalam kondisi gelapgulita yang mengancam umat secara individu dan kelompok ini, hukum jihad tidak menjadi fardu 'ain, maka bilakah tujuan itu akandapat tercapai? Adakah ia akan wujud seperti hidangan yang turun dari langit, yang pada hidangan itu ada mangkok Khilafah yang berisi ketentraman dan pertolongan rabbmu, serta berisi kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin lainnya? Ataukah sekiranya hidangan yang turun itu terlambat, hukum jihad akan menjadi fardu 'ain setelah musuh merampas negeri kaum muslimin, dan setelah perlengkapan untuk memikul agama ini sempurna? Padahal kita tahu bahwa Allah itu Maha Benar lagi Maha Menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.
Manakah toifah yang berperang untuk membela Dien ini, yang tidak akan dimudaratkan oleh orang yang menyalahinya dan oleh orang yang meremehkannya?
Manakah Rub'i bin Amir yangmengatakan :
"Allahlah yang telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusiadari penghambaan terhadap manusia menuju penghambaan terhadap rabb seluruh manusia, dari kezhaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat."
Manakah fuqaraul Muhajirin yang (mereka telah diusir dari kampunghalaman dan harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan karena menolong Allah dn Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yagn benar)?
Dan diantara ujian buruk dan lucu, ada seorang syaikh yang terhormat ditanya oleh salah seorang muridnya dalam keadaan kerhormatan kaum muslimin tengah dirusak dan bumi mereka tengah dirampas. Murid itu bertanya tentang kewajiban Jihad, kemudian ia menjawab:"Fardu Kifayah." Kemudian ia melanjutkan pertanyaan :"Bilakah Jihad menjadi Fardu 'ain?" Ia menjawab:"Ketika musuh memasuki negeri kita."
Maka salah seorang syaikh mujahid memberikan komentar dengan mengatakan : "Maha suci Rabbku, adakah ayat-ayat yang diturunkan tentang Jihad dan tentang mempertahankan bumi kaum muslimin dengan menetapkan hanya sebidang tanah ini? Bukan bumi Allah yang luas?"
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan: "Mungkin syaikh kita inibelum membaca apa yang dikatakan oelh Ibnu Taimiyyah tentang itu."
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
Dan diantara perkara yang menambah sakit dan kerugian seseorang itu jika dia tidak pernah mengetahui keadaan kaum muslimin, kehinaan mereka, dan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak dan kehormatan mereka baik dibarat maupun di timur. Itu adalah musibat, karena sesungguhnya orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin tidak mungkin dia akan termasuk dalamgolongan kaum muslimin. Dan sekiranya kamu mengetahui tapi tetap berdiam diri maka musibat itu jauh lebih besar lagi.
Kesimpulannya : Mesti diketahui bahwa yang dimaksud dengan fardu kifayah yang jika dilaksanakan oleh sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, keadaan kelompok tersebut haruslah memadai untuk melaksanakannya sehingga gugur kewajiban bagi yang lain.
Dan bukanlah yang dimaksud hanya sekelompok saja yang tampil/turun melaksanakannya tetapi tidak memadai(mencukupi).
Oleh itu tidak benar pengguguran kewajiban jihad dari semua kaum muslimin dengan tampilnya sekelompok pelaksana pada sebagian bumi walaupun ia mencukupi ditempat tersebut, sedangkan pada bagian-bagian bumi lainnya panji kekufuran tegak dengan megahnya.
Maka kaum muslimin yang berdekatan dengan kawasan-kawasan tersebut wajib berjihad menghadapi orang-orang kafir itusehingga dapat menguasai mereka.
Dan demikianlah seterusnya hingga tercapai keadaan yang mencukupi (memadai)
Di dalam hasyiyah Ibnu Abidin, ia berkata : janganlah kalian menyangka bahwa kewajiban jihad itu akan gugur dari penduduk India dengan sebab jihad itu dilaksanakan oleh penduduk Rum, misalnya.
Bahkan sebenarnya jihad itu wajib atas orang yang terdekat kepda musuh, kemudian atas orang yangterdekat berikutnya sehingga terjadilah keadaaan yang memadai. Maka sekiranya keadaan yang memadai itu tidak dapat wujud melainkan mesti dengan mengerahkan semua kaum muslimin, maka jihad menjadifardu 'ain seperti sholat dan puasa.
Orang yang memperhatikan keadaan kaum muslimin dan orang-orang kafir pada zaman sekarang ini tentu ia akan mendapatkan bahwa jihad adalah fardu 'ain atas setiap muslim yang mampu, bukan fardu kifayah.
Ini disebabkan karena sebagian kelompok kaum muslimin yang melaksanakan jihad menghadapi orang-orang kafir dibeberapa tempat, mereka tidak memadai utnuk mencukupi keperluan di tempat-tempat lainya yang di situ musuh tengah menyerbu kaum muslimin ditengah-tengah kampung halaman mereka sendiri,sementara ditempat itu tidak adakelompok yang bangkit melaksanakan kewajiban jihad untuk menghadapinya.
Berdasarkan keterangan di atas sungguh terang dan jelas bagi kita bahwa hukum jihad pada masa sekarang ini adalah FARDU 'AIN.
Ditulis oleh Mujahidah shaliha
Tiada ulasan:
Catat Ulasan