Isnin, 4 Mei 2015

MAJLIS2 ILMU@PENGAJIAN2 DISURAU DAN MASJID DIPANDANG SEPI@DIABAIKAN...WALAUPUN IA PERJUANG@PENDOKONG ISLAM...KUMPULAN PENDAKWAH2...AHLI2 TAREKAT DLL...MEREKA SUKA CERAMAH@SYARAHAN.... AKTIVITI2 GULUNGAN MEREKA SAJA...TINGGALLAH YANG MENDENGAR WARGA2 EMAS...TAKUT KITA DITIPU SYAITAN...AKTIVITI BIASA TERTUMPU HARI CUTI...TAK CUTI MAKNA TAK DE AKTIVITI HADIRLAH KE MAJLIS2 ILMU...TAPI PAYAH KOD...SUSAH KALAU TAK MAU PERGI KE TAMAN2 SYURGA...TAMAN2 SYURGA DIDUNIA TAK NAK...AGAK2NYA SENANG KE UNTUK MASUK SYURGA...BHG 3
















10 Keutamaan Mencari Ilmu

Selasa 21 Jamadilakhir 1435 / 22 April 2014 23:55kakek uban quran
MENCARI ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR Bukhari dan Muslim).
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surge,” (HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR Bukhari )
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah). [rika/islampos/sumber:daysabakugara]

Keutamaan Ilmu



Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, begitu Nabi bersabda.
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim (Muslim lelaki dan Muslim perempuan).” (HR. Ibnu Majah)
Kita harus mempelajari ilmu sebelum kita berbicara dan beramal tentang itu:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah…” [Muhammad 19]
Dalam menyampaikan ilmu, Nabi biasanya mengulang hingga 3x:
“Anas r.a. mengatakan bahwa apabila Nabi saw. mengatakan suatu perkataan beliau mengulanginya tiga kali sehingga dimengerti. Apabila beliau datang pada suatu kaum, maka beliau memberi salam kepada mereka tiga kali.” [HR Bukhari]
Ilmu membuat seseorang jadi mulia, baik di hadapan manusia juga di hadapan Allah:
” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (TQS.Fathir [35]: 28)
„Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (Az-Zumar:9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11)
Pada surat Ali ‘Imran: 18 Allah SWT bahkan memulai dengan dirinya, lalu dengan malaikatnya, dan kemudian dengan orang-orang yang berilmu. Jelas kalau Allah menghargai orang-orang yang berilmu.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” (Ali Imran:18)
Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan Allah untuk manusia.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)
Hendaknya kita berdoa agar ilmu kita senantiasa ditambah:
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmuku.” (Thaha: 114)
Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)
Dalam Kitab Ihya ‚Uluumuddiin susunan Imam Al Ghazali disebut bahwa Nabi berkata: „Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada. Ternyata yang lebih berat adalah tinta ulama!“
Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.
Bahkan Nabi tidak tanggung2 lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah. “Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani)
Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu2 bisa tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
Itulah kemulian orang yang berilmu!
Menuntut ilmu itu pahalanya begitu besar:
“Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu tanda ridha dengan yang dia perbuat. (Dari hadits yang panjang riwayat Muslim)
“Barangsiapa keluar dalam rangka thalabul ilmu (mencari ilmu), maka dia berada dalam sabilillah hingga kembali.” (HR. Tirmidzi, hasan)
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam (masalah) dien (agama).” (HR.Bukhari)
Menuntut ilmu itu wajib selama kita masih hidup:

اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد.

“Carilah ilmu semenjak dari ayunan sampai liang lahat” [HR Bukhari]
Dalam hadits lainnya dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang bermanfaat. Yang bukan hanya benar, tapi juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dan dapat memberi kebahagiaan bagi kita, keluarga, dan masyarakat baik di dunia mau pun di akhirat.
Rasulullah saw bersabda: “Apabila anak cucu adam itu wafat, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan orangtuanya.” (HR.Muslim, dari Abu Hurairah ra)
Allah berfirman, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS Lukman [31] : 27)
Ilmu itu begitu luas, dari yang bermanfaat hingga yang tidak bermanfaat. Contoh ilmu yang bermanfaat adalah ilmu agama, ilmu fisika, ilmu komputer, dsb. Contoh ilmu yang tidak bermanfaat bahkan terlarang adalah ilmu sihir, ilmu meramal/astrologi, dsb. Begitu banyak ilmu namun waktu kita begitu sedikit. Oleh karena itu hendaknya dipakai untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah memohon dalam doanya, “Allaahumma inni a’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’u”. ‘Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.’
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah SWT Memberi wahyu kepada Nabi Dawud a.s. Firman-Nya, “Wahai, Dawud. Pelajarilah olehmu ilmu yang bermanfaat.”
“Ya, Rabbi. apakah ilmu yang bermanfaat itu ? ” tanya Nabi Daud.
“Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu.Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku.”
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ar Rabi-i’, Rasulullah SAW bersabda, “Tuntutlah ilmu. Sesungguhnya, menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sedangkan Mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya didunia dan akhirat.”
Ternyata ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang menyebabkan kita semakin dapat mengenal Allah, yang dapat kita amalkan, yang membuat kita rendah hati serta terhindar dari sifat takabur..
Ilmu selain diyakini kebenarannya juga harus diamalkan. Sebab ilmu tanpa amal, seperti pohon yang tidak berbuah.
“Barangsiapa mengamalkan apa-apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya, dan Allah akan menolong dia dalam amalan nya sehingga ia mendapatkan surga. Dan barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmunya maka ia tersesat oleh ilmunya itu. Dan Allah tidak menolong dia dalam amalannya sehingga ia akan mendapatkan neraka “. (hadits)
Tidak pantas bagi orang Islam/Ulama mengajarkan orang melakukan sesuatu sementara dia sendiri tidak melaksanakannya:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
“Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)
Ilmu atau ayat Al Qur’an yang tidak diamalkan akan jadi beban bagi kita di akhirat:
“Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)”
“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” [HR Abu Barzah]
Dari Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.” [HR Bukhari dan Muslim]
Begitu juga amal tanpa ilmu, hanya akan membawa kehancuran. Contohnya orang tidak pernah belajar menerbangkan pesawat tentu akan berbahaya jika dia menerbangkan pesawat. Setelah diamalkan, maka disunnahkan bagi kita untuk mengajarkan ilmu tersebut ke orang lain yang belum mengetahui.
Kita menuntut ilmu dunia selama 12 tahun dari SD hingga SMA. Setiap hari paling tidak 5 jam kita mempelajari ilmu dunia. Tapi pernahkah kita menghitung berapa lama kita belajar ilmu agama? Adakah sejam sehari?
Jika tidak, sungguh malang nasib kita, padahal ilmu agama penting bagi kita guna mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Bukankah kebahagiaan di akhirat lebih baik dan lebih kekal? Bukankah hidup di dunia hanya sekejap saja (Cuma sekitar 63 tahun)?
Meski dia profesor Fisika atau Pakar Komputer, tapi jika tidak tahu ilmu agama sehingga sholat, puasa, zakat, dsb tidak benar niscaya dia akan masuk neraka.
Pada awal masa Islam, ummat Islam melaksanakan ajaran tsb dengan sungguh2. Mereka giat menuntut ilmu. Hadits2 seperti “Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan, ia berada di jalan Allah”, “Tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang syahid (martir)”, memberikan motivasi yang kuat untuk belajar.
Ummat Islam belajar dari orang Cina teknik membuat kertas. Pabrik kertas pertama didirikan di Baghdad tahun 800, dan perpustakaan pun tumbu dengan subur di seluruh negeri Arab (baca: Islam) yang dulu dikenal sebagai bangsa nomad yang buta huruf dan cuma bisa mengangon kambing.
Direktur observatorium Maragha, Nasiruddin At Tousi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Kordoba (Spanyol) pada abad 10, Khalifah Al Hakim memiliki suatu perpustakaan yang berisi 400.000 buku, sedangkan 4 abad sesudahnya raja Perancis Charles yang bijaksana (artinya: pandai) hanya memiliki koleksi 900 buku. Bahkan Khalifah Al Aziz di Mesir memiliki perpustakaan dengan 1.600.000 buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat.
Pada masa awal Islam dibangun badan2 pendidikan dan penelitian yang terpadu. Observatorium pertama didirikan di Damaskus pada tahun 707 oleh Khalifah Amawi Abdul Malik. Universitas Eropa 2 atau 3 abad kemudian seperti Universitas Paris dan Univesitas Oxford semuanya didirikan menurut model Islam.
Para ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi memperkenalkan “Angka Arab” (Arabic Numeral) untuk menggantikan sistem bilangan Romawi yang kaku. Bayangkan bagaimana ilmu Matematika atau Akunting bisa berkembang tanpa adanya sistem “Angka Arab” yang diperkenalkan oleh ummat Islam ke Eropa. Kita mungkin bisa menuliskan angka 3 dengan mudah memakai angka Romawi, yaitu “III,” tapi coba tulis angka 879.094.234.453.340 ke dalam angka Romawi. Bingungkan? Jadi para ahli matematika dan akuntan haruslah berterimakasih pada orang-orang Islam, he he he..:) Selain itu berkat Islam pulalah maka para ilmuwan sekarang bisa menemukan komputer yang menggunakan binary digit (0 dan 1) sebagai basis perhitungannya, kalau dengan angka Romawi (yang tak mengenal angka 0), tak mungkin hal itu bisa terjadi.
Selain itu Al Khawarizmi juga memperkenalkan ilmu Algorithm (yang diambil dari namanya) dan juga Aljabar (Algebra).
Omar Khayam menciptakan teori tentang angka2 “irrational” serta menulis suatu buku sistematik tentang Mu’adalah (equation).
Di dalam ilmu Astronomi ummat Islam juga maju. Al Batani menghitung enklinasi ekleptik: 23.35 derajad (pengukuran sekarang 23,27 derajad).
Dunia juga mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya Al Qanun fit Thibbi diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone (meninggal tahun 1187), yang sampai zaman Renaissance tetap jadi textbook di fakultas kedokteran Eropa.
Ar Razi (Razes) adalah seorang jenius multidisiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof, ahli theologi, dan ahli syair. Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes) yang ahli dalam filsafat.
Dan masih banyak lagi kemajuan yang dicapai oleh ummat Islam di bidang ilmu pengetahuan. Ketika terjadi perang salib antara raja Richard the Lion Heart dan Sultan Saladdin, boleh dikata itu adalah pertempuran antara bangsa barbar dengan bangsa beradab. Raja Richard yang terkenal itu ternyata seorang buta huruf, (kalau rajanya buta huruf, bagaimana rakyat Eropa ketika itu) sedangkan Sultan Saladin bukan saja seorang yang literate, tapi juga seorang ahli di bidang kedokteran. Ketika raja Richard sakit parah dan tak seorangpun dokter ahli Eropa yang mampu mengobatinya, Sultan Saladin mempertaruhkan nyawanya dan menyelinap di antara pasukan raja Richard dan mengobatinya. Itulah bangsa Islam ketika itu, bukan saja pintar, tapi juga welas asih. Jika kita menonton film Robin Hood the Prince of Thieves yang dibintangi Kevin Kostner, tentu kita maklum bagaimana Robin Hood terkejut dengan kecanggihan teknologi bangsa Moor seperti teropong.
Tapi itu sekarang tinggal sejarah. Ummat Islam sekarang tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan tak heran jika mereka jadi bangsa yang terbelakang. Hanya dengan menghidupkan ajaran Islam-lah kita bisa maju lagi.
Ummat Islam harus kembali giat menuntut ilmu. Menurut Al Ghazali, sesungguhnya menuntut ilmu itu ada yang fardu ‘ain (wajib bagi setiap Muslim) ada juga yang fardu kifayah (paling tidak ada segolongan ummat Islam yang mempelajarinya.
Jika sebagian muslim sudah mempelajarinya (misalnya ada beberapa orang yang belajar ilmu kedokteran), maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lainnya. Tapi mempelajari ilmu agama adalah fardu ‘ain, kewajiban bagi setiap Muslim. Tanpa ilmu, maka semua amalnya akan ditolak.
Ilmu agama tentang mana yang wajib dan mana yang halal seperti cara shalat yang benar itu adalah wajib bagi setiap muslim. Jangan sampai ada seorang ahli Matematika, tapi cara shalat ataupun mengaji dia tidak tahu. Jadi ilmu agama yang pokok agar setiap muslim bisa mengerjakan 5 rukun Islam dan menghayati 6 rukun Iman serta mengetahui kewajiban dan larangan Allah harus dipelajari oleh setiap muslim. Untuk apa kita jadi ahli komputer, kalau kita akhirnya masuk neraka karena tidak pernah mengetahui cara shalat?
Adapun ilmu yang memberikan manfaat bagi ummat Islam seperti kedokteran yang mampu menyelamatkan jiwa manusia, ataupun ilmu teknologi persenjataan seperti pembuatan tank dan pesawat tempur agar ummat Islam bisa mempertahankan diri dari serangan musuh adalah fardu kifayah. Paling tidak ada segolongan muslim yang menguasainya.
Yang pertama harus kita pelajari adalah aqidah atau tauhid yang juga disebut “Ushuluuddiin” (Dasar-dasar Agama). Ini adalah fondasi yang harus kita kuasai. Kita bukan cuma tahu bahwa rukun iman ada 6, tapi juga tahu dalil-dalilnya. Sebagai contoh, beriman kepada Allah. Kita juga harus tahu sifat-sifat Allah seperti wujud (ada). Kita tidak bisa cuma bilang bahwa Tuhan itu ada. Tapi juga harus bisa membuktikan/menjelaskan dalil-dalil bahwa Tuhan itu memang ada.
Tanpa aqidah yang kuat, maka seseorang yang ibadahnya rajin dapat tersesat atau murtad dengan mudah.
Setelah aqidah kita kuat dan dilandasi dengan ilmu, baru kita mempelajari Fiqih. Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan cara-cara beribadah kepada Allah seperti sholat, puasa, zakat, hubungan dengan sesama manusia, dan sebagainya. Banyak kewajiban mau pun larangan yang harus kita ketahui, ada di kitab-kitab Fiqih.
Yang harus kita ketahui lagi adalah, ilmu agama harus berlandaskan Al Qur’an dan Hadits yang shahih. Jika satu masalah tidak tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits, baru dilakukan ijtihad. Tapi ijtihad ini pun tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits.
Menuntut ilmu juga niatnya harus untuk Allah semata. Bukan untuk kepentingan pribadi.
Dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al Ghazali menulis sebagai berikut : “Wahai, hamba Allah yang rajin menuntut ilmu. Jika kalian menuntut ilmu, hendaknya dengan niat yang ikhlas karena Allah semata-mata. Di samping itu, juga dengan niat karena melaksanakan kewajiban karena menuntut ilmu wajib hukumnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki maupun perempuan” [HR Ibnu Abdul barr]
Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megahan, sombong, berbantah-bantahan, menandingi dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu. Jangan pula engkau menuntut ilmu untuk dijadikan sarana mengumpulkan harta benda kekayaan duniawi. Yang demikian itu berarti merusak agama dan mudah membinasakan dirimu sendiri.
Nabi SAW mencegah hal seperti itu dengan sabdanya. “Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali hanya untuk Mendapatkan harta benda keduniaan, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya surga pada hari kiamat. ” [HR Abu Dawud]
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu, maka baginya neraka…neraka.” [HR Tirmidzi & Ibnu Majah]
“Seorang ‘alim apabila menghendaki dengan ilmunya keridhaan Allah, maka dia akan ditakuti oleh segalanya. Akan tetapi, jika dia bermaksud untuk menumpuk harta, maka dia akan takut dari segala sesuatu.” [HR. Ad Dailami]
Sedikit nasehat dalam belajar: Biasakan usai belajar di sekolah/madrasah, dibaca/pelajari lagi apa yang baru dipelajari. Kemudian saat akan belajar di sekolah juga baca/pelajari apa yang akan dipelajari. Dengan cara ini, ilmu akan lebih melekat ketimbang dengan memakai “sistem” SKS (Sistem Kebut Semalam) yang dalam waktu 1-2 minggu juga bisa hilang lagi hafalan/ilmunya.
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]
Dirangkum dari berbagai tulisan seperti “Ilmu yang bermanfaat” (Aa Gym), “Ihya ‘Uluumuddiin” (Imam Al Ghazali)
Semoga kita semua bisa mengamalkan ajaran Islam dan bisa menegakkan kalimah Allah.
A Nizami
Referensi:
http://muslim.or.id/manhaj/ilmu-melahirkan-amalan.html

ANTARA BID'AH DAN ILMU PENGETAHUAN

  1. PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Ta'alaa atas karunia ini semua, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SHALALLAHU 'ALAIHI WASALLAM . ahlan wa sahlan antum semuanya, selamat datang di CATATAN ini , semoga semua apa yang tertuang di CATATAN ini bermanfaat bagi PAPA MIMIN  pribadi dan juga antum semuanya, jika ada salahnya mohon saran dan kritik dari antum semuanya. selamat membaca dan menikmat.

Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.” Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.
Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.

1. Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)
Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan.

DALIL-DALIL AL QUR'AN & HADIST SERTA ATSYAR YANG MENJELASKAN BETAPA SESAT & TERCELANYA BID'AH DALAM AGAMA.
Larangan dari melakukan bid'ah adalah larangan dari pembuat syari'at karana larangan tersebut disertai dengan berbagai-bagai ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya. Diantara yang paling tegas ialah larangan akan berlaku kesesatan dan pelanggaran batas hukum (hudud) yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam syari'at yang akhirnya membawa kepada kefasikan dan mengkufuri agama serta ayat-ayat Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh allah & RasulNya sallallahu 'alaihi wa sallam diantaranya
A. DALIL DARI AL QUR'AN:
Dalil dari al qur'an:
{ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ }
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ( QS Al-Imran : 31) dalam ayat ini di perintahkan bagi kita untuk mengikuti ( itiba') Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.
وقوله -جل وعلا-: { وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ }
“Dan ikutilah Dia ( muhammad ) supaya kamu mendapat petunjuk".( QS Al-A'raf : 158 )
وقوله سبحانه: { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” ( QS al ahzab:21 )
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ }
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. QS Al-An'am (6) : 153
Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky(1), menafsirkan ولا تتبعوا السبل (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
B. DALIL DARI AS SUNNAH
اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا ، فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِى تَمَسَّكُوابِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya siapa saja yang hidup (selepas ini) di antara kamu sekalian selepasku akan melihat perselisihan yang banyak, maka kembalilah (berpeganglah) kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin selepas peninggalanku, berpegang teguhlah dengannya, maka gigitlah dengan gigi geraham, kemudian berhati-hatilah dengan hal yang baru (dicipta dalam agama) sesungguhnya setiap ciptaan yang baru itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat". (Hadis Riwayat Ahmad (1653). At-Tirmizi (2600). Musnad Abu Daud (3991). As-Sunnan Ibn Majah (42))
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap yang diada-adakan itu bid'ah, setiap yang bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu adalah ke dalam neraka". (Hadis Riwayat Muslim)
فِى خُطْبَةِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَمَّا بَـعْدُ: فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْـثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدَْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ ، وَشَرَّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Dalam khutbah Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baginda bersabda: Kemudian dari itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan sekeji-keji perkara (perbuatan) ialah mengada-adakan yang baru dan setiap bid'ah (yang baru itu) adalah sesat dan setiap yang sesat ke neraka". (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah)

__________________________________________
(1) Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya


Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menjelaskan secara gamblang bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat). Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh اسم ناقرة ism naaqirah (obyek indefinitif) bukan اسم معرفة ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya استثناءistitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut. Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.
عَنْ حُذَيْـفَةَ قَالَ: لاَيـقْـبَـلُ اللهُ لِصَاحِبِ الْبِدْعَةِ صَلاَةً وَلاَصَوْمًا وَلاَ صَدَقَـةً وَلاَ حَاجًا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَصَـرَفًا وَلاَعَدْلاً ، يَخْـرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَا يَخْرُجُ الشَّـعْرَةَ مِنَ الْعَجِيْنِ. رواه ابن ماجه
"Dari Huzaifah radhiallahu 'anhu baginda berkata: Allah tidak akan menerima dari pembuat bid'ah puasa, sembahyang, haji, umrah, jihad, kebaikan dan keadilan (yang dikerjakannya). Dia akan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya rambut dari tepung". (Hadis Riwayat Ibn Majah. Lihat: فتح البارى jld. 17. hlm. 10. Hadis ini lemah dan sebahagian ulama hadis mendapati hadis ini adalah hadis mungkar)
اَبَى اللهُ اَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِب بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah hingga ditinggalkan bid'ah tersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah (49) Muqaddimah)
مَا اَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً اِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ فَتَمَسَّكُ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu-satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah) satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik dari melakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad (16356))
مَنْ اَحْدَثَ فِىاَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mencipta (mengada-adakan) yang baru dalam urusan (agama) Kami ini, maka itu tertolak". (Hadis Riwayat Ahmad (24840). Bukhari (2499) as-Soleh. Muslim (3242) al-Aqdhiah. Abu Daud (3990) as-Sunnan. Ibn Majah (14) Muqaddimah)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi: "Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul Bari)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : "Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melakukan (mengerjakan) satu amal yang bukan dari perintah Kami, maka (amalan itu) tertolak". (Maksud tertolak ialah bermakna “bid'ah” بالبدعة المسمى هو "Ia dinamakan bid'ah". Lihat: علم اصول البدع hlm. 29. Ali Hasan)
Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama". (Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak". Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.
Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَىْ غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan yang bukan dari perintah kami, maka ia tertolak". (Hadis Riwayat Ibn Majah)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ متفق عليه
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Maka barangsiapa yang menyimpang dari Sunnahku, maka bukanlah dia dari golonganku". Muttafaq 'Alaih.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَّرَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فَقَدْ اَعَانَ عَلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ. حديث مرفوع
"Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: siapa yang memuliakan aktivis/pelaku bid'ah, maka dia telah menolong untuk menghancurkan Islam" (Hadis Riwayat Ahmad. Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 14. Menurut Syeikh Ali Hasan: Hadis ini adalah hadist hasan isnadnya. Lihat: المنتقى النفس hlm. 37. Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اهل السنة (1/139)) Hadis Marfu'. (Ibn Asakir dalam تاريخ دمشق: ترجمة "العباس بن يوسف الشكلى. Hlm. 286)
اِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَثَمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى
"Sesungguhnya pada setiap amal terdapat kegiatan, dan pada amal ada fitrahnya. Barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan bid'ah maka dia telah sesat dan barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan sunnah maka dia telah mendapat petunjuk". (Hadis Riwayat Ahmad (22376), Musnad. Hadis sahih. Lihat: الاتمام (23521). Lihat: اتباع السنن (8))
Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula.

C. DARI ATSAR PARA SALAFUS SHALEH
Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang begitu terkenal dengan keilmuan dan kefahamannya dalam agama. al-Imam al-Darimi rahimahullah (255H) meriwayatkan bantahan beliau terhadap bid‘ah berzikir secara berjama'ah yang muncul pada zamannya:
عَنْ عمرو بن سلمة قَالَ: كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فَقَالَ أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْد؟ُ قُلْنَا: لاَ! فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا.
فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْرًا. قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ, فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ, فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ وَفِي أَيْدِيهِمْ حَصًى, فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً, فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً. فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً. فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً. وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً. فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ وَانْتِظَارَ أَمْرِكَ.
قَالَ: أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ, وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ: مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ, فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ, وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ! هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ, وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ, وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ, أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلاَلَةٍ؟!
قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
Dari ‘Amr bin Salamah(1) katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum sholat subuh. Apabila dia keluar, kami berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman (2) telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya. Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak setuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan hal itu baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu kaum, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu sholat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu (kerikil ). Apabila lelaki itu berkata :
_______________________________
(1)Beliau adalah seorang tabi`in, anak murid ‘Abd Allah bin Masud. Meninggal dunia pada 85H.
(2)Gelar untuk `Abd Allah bin Mas`ud.


Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kamu katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak berkata apa-apa kepada mereka karana menanti pendapatdan perintahmu”.
Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka menghitung dosa mereka dan engkau jaminkan bahwa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. hingga dia tiba kepada salah satu dari kaum tersebut. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang sedang kamu lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih banyak (hidup) , baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.(1) Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya(2) , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa banyak orang yang bertujuan baik, tetapi tidak mendapatkannya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka(3) Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”(4)
Lihatlah bagaimana ‘Abd Allah bin Mas‘ud radhiallahu 'anh membantah perbuatan ibadah kumpulan ini walaupun mereka pada asalnya memiliki niat dan pandangan yang baik. Pada dzahirnya tiada yang buruk pada perbuatan mereka. Namun oleh kerana ia merupakan ibadah yang tidak ada contoh daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka ia ditolak. Bahkan ‘Abd Allah bin Mas‘ud memberi amaran betapa perbuatan bid‘ah yang kecil akan mengheret seseorang kepada bid‘ah yang lebih besar. ‘Abd Allah bin Mas‘ud menggambarkan mereka akan menyertai Khawarij yang sesat.
___________________________________________________________
(1)Maksudnya baginda shallallahu ‘alaihi wasallam baru sahaja wafat, tetapi mereka telah melakukan bid`ah.
(2) Maksudnya Allah.
(3)Ini salah satu sifat Khawarij yang disebut dalam hadith-hadith.
(4) Riwayat al-Darimi di dalam Musnadnya dengan sanad yang dinilai sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.

Justeru itu ‘Abd Allah bin Mas‘ud juga pernah menyebutkan:(1)
اقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة.
Sederhana dalam sesuatu sunnah lebih baik daripada bersungguh sungguh dalam sesuatu bid‘ah .
إن البدعة الصغيرة بريد إلى البدعة الكبيرة.
Sesungguhnya bid‘ah yang kecil adalah pembawa kepada bid‘ah yang besar.
Seorang lelaki telah datang kepada al-Imam Malik rahimahullah (179H)(2) dan berkata:(3)
“Wahai Abu ‘Abd Allah (gelar al-Imam Malik) dari mana aku patut berihram?” Jawab al-Imam Malik: “Dari Zu Hulaifah (ذو حليفة) di mana tempat yang Rasulullah berihram.” Kata lelaki itu: “Aku ingin berihram dari Masjid Nabi (medinah).” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu.” Kata lelaki itu lagi: “Aku ingin berihram dari kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Jawab al-Imam Malik: “Jangan buat demikian itu, aku takut fitnah akanmenimpa dirimu.” Tanya lelaki itu: “Apa fitnahnya? Ia hanya jarak yang aku tambah.” Jawab al-Imam Malik:
وأي فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إلى فضيلة قصّر عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإني سمعت الله يقول: فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Apakah lagi fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahwa engkau telah mendahului satu kelebihan yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menguranginya. Sesungguhnya aku telah mendengar Allah berfirman: (maksudnya) “Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya, beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]
Perhatikan bahwa sekalipun lelaki tersebut ingin berihram dari tempat yang begitu baik yaitu Masjid Nabi atau kubur baginda shallallahu 'alaihi wasallam, al-Imam Malik rahimahullah membantahnya disebabkan ia adalah ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau menyatakan ini adalah fitnah karena seakan-akan lelaki itu menganggap dia dapat melakukan ibadah yang lebih baik daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
_________________________________________
(1)Lihat: Silsilah al-Ahadith al-Sahihah, jld. 5, m.s. 11.
(2) Beliau ialah imam Mazhab Maliki, pembesar Atba’ al-Tabi‘in. Guru al-Imam al-Syafi'i. Tokoh fekah dan hadith yang tiada bandingnya. Karya beliau yang agung ialah kitab al-Muwattha’. Berkata al-Imam al-Sayuti: “Beliau guru para imam, Imam Dar al-Hijrah (Madinah), mengambil hadith darinya al-Syafi‘i dan banyak lagi. Berkata al-Syafi’i: ‘Apabila datangnya athar, maka Malik adalah bintang’.” (al-Imam al-Sayuti, Tabaqat al-Huffaz, jld. 1, m.s. 96)
(3) al-Syatibi, al-I’tishom, m.s. 102
Imam Abu Syamah al-Muqaddisi berkata:
وَقَدْ حَذَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَصْحَابهُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ اَهْلَ زَمَانِهِمْ الْبِدَعِ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُوْرِ ، وَاَمَرُوْهُمْ بِالاتِّبَاعِ الَّذِيْ فِيْهِ النَّجَاةُ مِنْ كُلِّ مَحْذُوْرٍ
"Nabi Sallallahu 'alaihi wa-sallam telah memberi peringatan kepada sekalian para sahabatnya, dan orang-orang selepas zaman mereka dari melakukan bid'ah dan ciptaan-ciptaan yang baru (dalam agama). Mereka sekalian diperintahkan agar ittiba' karena dengannya akan mendapat kejayaan (dan terselamat) dari setiap yang telah diperingatkan (oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam)". (Lihat: الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 11)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلاِسْتَقَامَةِ اِتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ
"Dari Ibn Abbas beliau berkata: Hendaklah kamu takut (takwa) kepada Allah dan sentiasa istiqamah (sentiasa dalam ketaatan), hendaklah kamu mengikut (al-Quran dan as Sunnah) dan janganlah berbuat bid'ah".
قَالَ عُمَربْن الْخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَاِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةٌ
"Setiap bid'ah itu sesat, walaupun (semua) manusia telah berpendapat & melihat bid'ah (yang mereka lakukan itu) hasanah (baik)". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (162). Ibn Battah (205). Baihaqi dalam المدخل الى السنن (191) dan Ibn Nasr dalam السنة (70) sanadnya sahih)
قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلاِقْتِصَادُ فِى السُّنَّةِ اَحْسَنُ مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فِى الْبِدْعَةِ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam mengerjakan bid'ah". (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة (114-115). As-Sunnah, hlm. 27-28 Ibn Nasr. Al-Ibanah (1/230) Ibn Battah)
Di riwayat yang lain pula:
وَاِنَّ اِقْتِصَادًا فِى سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِجْتِهَادٍ فِى خِلاَفِ سَبِيْلِ سُنَّةٍ فَانْظُرُوْا اَنْ يَكُوْنَ عَمَلُكُمْ اِنْ كَانَ اِجْتِهَادًا اَوْ اِقْتِصَادًا اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ عَلَى مِنْهَاجِ اْلاَنْبِيَاءِ وَسُـنَّتِهِمْ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ
"sedikit ( biasa saja ) dalam mengikuti jalan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam melakukan perkara yang bertentangan dengan jalan sunnah. Lihatlah apa yang akan kamu lakukan, jika ia termasuk yang bersungguh-sungguh atau yang biasa hendaklah mengikut panduan manhaj para nabi dan sunnah mereka sallallahu 'alaihi wa sallam". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (11). Ibn Mubarak dalam Az-Zuhud. Jld. 2. hlm. 12. dan Abu Na'im dalam Al-Hilyah. Jld. 1. Hlm. 252)
Al-Hafiz Fudhail bin 'Iyad rahimahullah menyatakan:
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فِى سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فِى بِدْعَةٍ
"Amal yang sedikit (tetapi) dalam perkara sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak (tetapi dalam perkara yang) bid'ah." (Lihat: الابانة عن شريعة الدينية Jld. 1. hlm. 395. (249))
Imam Malik rahimallahu ‘anhu seorang imam Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh amat tegas terhadap bid'ah. Beliau menganggap aktivis bid'ah sebagai orang yang mengkhianati kesempurnaan risalah (al-Quran dan al-Hadist) yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam kepada ummahnya. Beliau pernah mengeluarkan ucapannya yang tegas terhadap pembuat bid'ah:
مَنِ ابْتَدَعَ فِى اْلاِسْلاَمِ بِدْعَةٌ وَيَرَاهَا حَسَنَةٌ فَقَدْ زَعَمَ اَنَّ مُحَمَّدٌ قَدْ خَانَ الرِّسَالَةَِلاَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: "اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَاكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيْنًا" فَمَالَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
"Siapa yang melakukan bid'ah di dalam Islam kemudian disangkanya baik, maka dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati al-Risalah karena telah jelas Allah berfirman: (Hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu dan Aku cukupkan nikmat kamu dan Aku hanya meridai Islam sebagai agamamu). Apa yang tidak dapat dianggap sebagai agama pada masa itu (masa Nabi), maka pada masa ini ia juga tidak boleh dianggap sebagai agama." (Hadist Riwayat Malik)
قَالَ فَـيْصَلُ بْـنُ عِـيَاضٍ رَحِمَ هُ اللهُ: مَنْ اَحَبَّ صَاحِبَ بِـدْعَةٍ اَحْـبَـطَ اللهُ عَمَلَهُ وَاخْرَجَ نُـوْرَ اْلاِسْلاَمِ مِنْ قَلْبِهِ
"Berkata Faisal bin 'Eyadz: Siapa yang menyukai pembuat bid'ah, Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan akan dicabut cahaya Islam dari hatinya". (Lihat: تلبيس ابليس Ibn Qaiyim, hlm 84. Dan lihat: شرح السنة hlm. 138. Dikeluarkan juga oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول الاعتقاد اهل السنة. Jld. 1. Hlm. 139)
وَقَالَ: مَنْ جَلَسَ اِلَى صَاحِبِ بِدْعَةٍ اَحْبَطَ الله عَمَلَهُ وَاَخْرَجَ نُوْرَ اْلاِيْمَان - اَوْ قَالَ الاِسْلاَمِ - مِنْ قَلْبِهِ
"Beliau juga pernah berkata: siapa yang duduk di majlis orang bid'ah Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan mengeluarkan nur (cahaya) iman - atau ia berkata - keluar nur Islam dari hatinya." (Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اعتقاد اهل السنة (1/132). Dan Ali bin al-J'ad. dalam "Musnad" (1885))
اَنَّ صَاحِبَ الْبِدْعَةِ يَزْدَادُ مِنَ اللهِ بُعْدًا كُلَّمَا بَالَغَ فِى الطَّاعَةِ والْعِبَادَةِ
"Pembuat bid'ah akan bertambah-tambah jauh dari Allah sekalipun bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan kuat ibadahnya". (Lihat: Fathul al-Qadir, jld. 1, hlm. 10)
اِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بَدْعَتَهُ
"Sesungguhnya Allah menghijab (tidak menerima) taubat setiap pembuat bid'ah hingga ia meninggalkan bid'ahnya". (Hadis Riwayat at-Thabrani dengan sanad yang sahih. Dan dihasankan oleh al-Munziri. Lihat: مدارج السالكين (1/84) Ibn Qaiyim)
Imam Ibn Rajab rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh menyebut keburukan ahlul bid'ah (مبتدع) dalam usaha menyadarkan ummah agar menjauhi mereka? Beliau menjawab:
"Adapun Ahli Bid'ah itu sesat begitu juga orang-orang yang beserta dengannya yang seakan-akan ulama. Maka boleh menjelaskan kejahilan, kecacatan atau kejahatan mereka dalam rangka memperingatkan ummah agar tidak mengikuti mereka". (Lihat: شرح السنة , al-Barbahari, hlm. 138. Tahqiq Abu Yasir ar-Rodadi)
Penjelasan Imam Ibn Rejab di atas menunjukkan bahwa menyebut dan membongkar perbuatan bid'ah yang diseru dan dilakukan oleh para penyeru bid'ah tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Malah wajib dijelaskan kepada khalayak umum jika tujuan dan niat seseorang yang bertindak sedemikian demi untuk menjauhkan atau menyelamatkan ummah agar tidak terlibat dan tidak terpengaruh dengan perbuatan dan hasutan ahli bid'ah.
semua nash-nash di atas mengharamkan umat Islam dari melakukan perbuatan bid'ah. Selain amalan yang berbentuk bid'ah itu ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala karena ia menyesatkan, ternyata bid'ah ini juga amat ditakuti oleh orang-orang beriman yang berilmu. Ini disebabkan setiap amalan bid'ah terutama yang melibatkan akidah, pasti akan menyebabkan pembuatnya menjadi sesat dan di akhirat kelak akan menjadi golongan yang merugi karana akan dilemparkan ke neraka. Malah seseorang itu akan dikekalkan di dalam neraka jika semasa hidupnya ia terlibat dalam perbuatan bid'ah di segi akidah yang menyebabkan kesyirikan.
Setiap orang yang beriman sepatutnya memperhatikan dengan akal jernih terhadap ancaman dari hadist-hadist di atas sehingga dapat memberi kesan menakutkan yang mendalam di hati sanubari atau perasaan mereka.
Para sahabat dan jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as Soleh terlalu berjaga-jaga dari terlibat dengan segala perbuatan yang berbentuk atau berunsur bid'ah. Ketegasan mereka dalam perkara ini telah diuraikan melalui kata-kata mereka tersebut.
Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah
192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al Asy’ari.” Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini. Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya siapa laki-laki tadi?”Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu) Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)
Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.
Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi.

IBLIS YANG MENANGKAP AMALAN YANG DITOLAK ALLAH TA'ALA


Ada seorang pemuda yang alim dalam ibadah, dzikirnya kuat dan sholat malamnya rajin, pada suatu malam dia berbimpi ditemui oleh seorang yang bercahaya berjanggut panjang dan berjubah putih, orang itu mengaku Sunan Gunung Jati, Lalu Sunan itu menasihatinya agar banyak beribadah, lebih rajin lagi dzikir dan sholat malam, diakhir pertemuan Sunan itu memberikannya amalan membaca dzikir Ya Lathif sebanyak 1000x yang wajib dibacanya tiap malam agar dia mendapatkan kemampuan khasyaf dan sunan itu memberikan bekal sebuah cincin merah delima. Lalu pemuda itu terbangun dan mendapatkan cincin merah delimanya ditangan kanannya. Setelah mimpi itu pemuda alim ini yakin bahwa yang ditemuinya adalah Sunan Gunung Jati. Lalu pemuda ini secara istiqamah mengamalkan dzikir ya Lathifu sebanyak 1000x setiap malam , baru mengamalkan seminggu pemuda ini bisa melihat alam jin, bisa mengobati orang sakit. Lalu pada malam kesekian pemuda ini ditemui lagi oleh Sunan Gunung Jati, sunan itu mengatakan agar ilmunya tidak hilang harus rajin ibadah dan sholat juga dzikir dan harus memakai cincin pemberiannya. 
Hari- demi hari berganti pemuda ini menjadi terkenal karena kesaktiannya dia semakin sakti dan semakin banyak ibadah.......Namun..... niatnya sudah melenceng dari niat murni karena Allah menjadi menduakan Allah dia beribadah agar ilmu kesaktian/ghoibnya tidak hilang dan dia telah berbuat syirik pada Allah karena meyakini adanya kekuatan ghoib pada batu cincin yang dikenakannya......
Sesatlah pemuda itu karena ditipu Iblis yang menyamar menjadi Sunan Gunung jati, berubahlah niat dan tatacara dari dzikir yang murni ikhlas karena Allah mulai ditambahi bid'ah idhafiyah .

Bid’ah idhafiyah, ialah bentuk-bentuk bid’ah dengan menambahkan, menentukan dan meyakini cara-cara, format-format, bilangan-bilangan, fadhilah-fadhilah, waktu-waktu, atau tempat-tempat khusus pada ibadah-ibadah tertentu yang semula (berdasarkan dalil-dalilnya) bersifat umum tanpa disertai adanya ketentuan-ketentuan khusus terkait dengan hal-hal itu.  Contohnya : menetapkan tata cara, format, bilangan, tempat atau waktu khusus yang bersifat baku dalam melakukan dzikir ALA sufi/ dzikir amalan mencari ilmu kesaktian/ghoib disertai adanya keyakinan tentang fadhilah dan keutamaan tertentu dari pengkhususan-pengkhususan tersebut (tentu saja tanpa adanya dasar yang dibenarkan secara dalil syar’i atau ’aqli/logika), dan lain-lain.
Setiap amalan ibadah juga dzikir akan menghasilkan nur/cahaya yang berbentuk nafs, cahaya ibadah yang murni karena Allah dan tidak tercampuri dengan syirik dan bid’ah akan diterima Allah namun jika sudah tercemari oleh syirik dan bid’ah maka tidak akan sanggup melawati penyaringan di tiap lapisan langit dan akan diretur oleh malaikat lalu amalan yang berkualitas tinggi itu akan jatuh dari langit lalu disambar oleh Iblis. Oleh Iblis amalan ini akan “diolah” untuk menjadi sumber kekuatan mereka sampai batas waktu tertentu. Begitulah akibatnya jika mengamalkan amalan yang tidak ada tuntunan syari’ah dan tidak murni kerena Allah, nafs kita akan dibarter oleh Iblis, selama dia mengamalkan amalan bid’ah selama itu pula akan menghasilkan nafs bercahaya yang berkualitas yang akan diambil Iblis dan Iblis akan selalu membantu manusia tersebut. Ada sangat banyak umat Islam (terutama kalangan tarekat sufiyah, bathiniyah) yang sudah tertipu dengan segela kelebihan / kesaktian/ilmu ghoib yang dimiliki yang mereka mengira amalan ibadah bid'ahnya diterima Allah padahal sesungguhnya yang menerima adalah setan .
Kenapa yang menerima adalah setan? Ibadah bid’ah pada hakekatnya merupakan ibadah kepada syetan. Karena dilihat dari peruntukkannya, ibadah itu hanya terbagi dua yakni: ibadah kepada Allah dan ibadah kepada syetan. (QS.36 : 60-61). Maka setiap bentuk amal ibadah yang tidak memenuhi syarat sah ibadah kepada Allah, berarti termasuk dalam kategori ibadah yang kedua, yaitu ibadah kepada syetan, disadari atau tidak, diketahui atau tidak, dan diniatkan atau tidak oleh pelakunya.

Dalil bahwa amalan ibadah dan zikir kita berbentuk cahaya :
Rasulullah Saw bersabda: “Hai Mu’adz, Allah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Pada setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu, dan tiap-tiap pintu langit itu dijaga oleh malaikat yang bertugas untuk selalu menjaga pintu sesuai kadar pintu dan keagungannya. Maka, malaikat Hafazhah (malaikat yang memelihara dan mencatat amal seseorang) naik ke langit dengan membawa amal seseorang yang cahayanya bersinar-sinar bagaikan cahaya matahari. Ia, yang menganggap amal orang tersebut itu banyak, mamuji amal-amal orang itu. Tapi sampai di pintu langit pertama, berkata malaikat penjaga pintu langit itu kepada malaikat hafazhah: ‘Tamparkanlah amal ini ke wajah pemiliknya, aku ini penjaga tukang pengumpat, akau diperintahkan untuk tidak menerima masuk tukang mengumpat oranglain, jangan sampai amal ini melewatiku untuk mencapai langit berikutnya.’ 
Keesokan harinya, ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit dengan membawa amal sholeh seorang lainnya yang cahayanya berkilauan, ia juga memuji lantaran begitu banyaknya amal tersebut. Namun malaikat langit kedua mengatakan: ‘Berhentilah, dan tamparkan amal ini ke wajah pemiliknya, sebab dengan amalnya itu dia mengharap keduniawian. Allah memerintahkan aku untuk menahan amal ini, jangan sampai lewat hingga langit berikutnya’. Maka seluruh malaikat pun melaknat orang tersebut sampai sore hari.

Kemudian ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit dengan membawa amal hamba Allah yang sangat memuaskan, penuh amal sedekah, puasa dan bermacam-macam kebaikan yang oleh malaikat hafazhah dianggap demikian banyak dan terpuji. Namun saat sampai dilangit ketiga, berkata malaikat penjaga pintu langit yang ketiga: ‘Tamparkan amal ini ke wajah pemiliknya, akulah malaikat penjaga orang yang sombong. Allah memerintahkan untuk tidak menerima orang sombong masuk. Jangan sampai amal ini melewatiku untuk mencapai langit berikutnya. Salahnya sendiri ia menyombongkan diri di tengah-tengah orang lain.’ 
Kemudian ada lagi malaikat hafazhah yang naik ke langit keempat, membawa amal seseorang yang bersinar bagaikan bintang yang paling besar, suaranya bergemuruh, penuh dengan tasbih, puasa, sholat, berhaji, dan umrah. Tapi ketika sampai di langit keempat, malaikat penjaga pintu langit keempat mengatakan kepada malaikat hafazhah: ‘Berhentilah, jangan dilanjutkan. Tamparkan amal ini kewajah pemiliknya, aku ini penjaga orang-orang yang suka ujub (membangga-banggakan diri). Aku diperintahkan untuk tidak menerima masuk amal tukang ujub. Jangan sampai amal itu melewatiku untuk mencapai langit yang berikutnya, sebab ia kalau beramal selalu ujub.’
Kemudian naik lagi malaikat hafazhah ke langit kelima, membawa amal hamba yang diarak bagaikan pengantin wanita diiring kepada suaminya, amal yang begitu bagus seperti amal jihad, ibadah haji, ibadah umrah. Cahaya amal itu bagaikan matahari. Namun, begitu sampai di langit kelima, berkata malaikat penjaga pintu langit kelima: ‘Aku ini penjaga sifat hasud (dengki, iri hati). Pemilik amal ini, yang amalnya sedemikian bagus, suka hasud kepada orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya. Sungguh ia benci kepada apa yang diridhoi Allah SWT. Saya diperintahkan agar tidak membiarkan amal orang seperti ini untuk melewati pintu ku menuju pintu langit selanjutnya.’ 
Kemudian ada lagi malaikat hafazhah dengan membawa amal lain berupa wudhu yang sempurna, sholat yang banyak, puasa, haji, dan umrah. Tapi saat di langit keenam, malaikat ini mengatakan: ‘Aku ini malaikat penjaga rahmat. Amal yang seolah-olah bagus ini, tamparkanlah ke wajah pemiliknya. Salah sendiri ia tidak pernah mengasihi orang. Apabila oranglain yang mendapat musibah, ia merasa senang. Aku diperintahkan agar amal seperti ini tidak melewatiku hingga dapat sampai pintu berikutnya.’
 
Kemudian ada lagi malaikat hafazhah naik ke langit ketujuh dengan membawa amal seorang hamba berupa bermacam-macam sedekah, puasa, sholat, jihad, dan kewara’an. Suaranya pun bergemuruh bagaikan geledek. Cahayanya bagaikan kilat. Namun tatkala sampai di langit ke tujuh, malaikat penjaga langit ke tujuh mengatakan: ‘Aku ini penjaga sum’at (ingin terkenal). Sesunguhnya orang ini ingin dikenal didalam kumpulan-kumpulan, selalu ingin terlihat lebih unggul di saat berkumpul, dan ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Allah memerintahkan aku agar amal itu tidak sampai melewatiku. Setiap amal yang tidak bersih karena Allah Ta’ala, itulah yang disebut dengan riya’. Allah tak akan menerima amal orang-orang yang riya’.
Kemudian ada lagi malaikat hafazhah naik membawa amal seorang hamba yang selalu sholat, zakat, shaum, haji, umrah, akhlaq yang baik, pendiam, tidak banyak bicara, dzikir kepada Allah. Amalnya itu diiringi para malaikat hingga langit ke tujuh, bahkan sampai menerobos memasuki hijab-hijab dan sampailah ke hadirat Allah SWT. 
Para malaikat itu berdiri di hadapan Allah. Semua menyaksikan bahwa amal ini adalah amal yang sholeh dan ikhlas karena Allah Swt, Namun Allah befirman: ‘Kalian adalah hafazhah, pencatat amal-amal hamba-Ku. Sedangkan akulah yang mengintip hatinya. Amal ini tidak karena-Ku. Yang dimaksud oleh si pemilik amal ini bukanlah Aku. Amal ini tidak di ikhlaskan demi Aku. Aku lebih mengetahui dari kalian apa yang dimaksud olehnya  dengan amalan itu. Aku laknat dia, karena menipu orang lain, dan juga menipu kalian (para malaikat hafazhah). Tapi Aku takkan tertipu olehnya. Aku ini Yang Paling Tahu akan ha-hal yang ghaib. Akulah yang melihat isi hatinya, dan tidak akan samar kepada-Ku setiap apapun yang samar. Tidak akan tersembunyi bagi-Ku seetiap apapun yang tersembunyi. Pengetahuan-Ku atas apa yang terjadi sama dengan pengetahuan-Ku akan apa yang akan terjadi. Pengetahuan-Ku atas apa yang telah lewat sama dengan pengetahuan-Ku atas apa yang akan datang. Pengetahuan-Ku kepada orang-orang terduhulu sebagaimana pengetahuan-Ku kepada orang-orang yang kemudian. Aku lebih tahu atas apa pun yang lebih samar daripada rahasia. Bagaimana bisa amal hamba-Ku menipu-Ku. Dia bisa menipu makhluk-makhluk, yang tidak tahu, sedangkan Aku ini Yang Mengetahui hal-hal yang ghaib. Laknat-Ku tetap kepadanya!’. Tujuh malaikat hafazhah yang ada pada saat itu dan 3000 malaikat lain yang mengiringinya menimpali: ‘Wahai Tuhan kami, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami kepadanya’. Maka semua yang ada di langit pun mengatakan: ‘Tetaplah laknat Allah dan laknat mereka yang melaknat kepadanya’!”.
SASIKANLAH WAHAI UMAT ISLAM, AMALAN YANG TIDAK KARENA ALLAH AKAN TERSARING SETELAH MELAWATI LANGIT KETUJUH DAN SAMPAI KEPADA ALLAH TA’ALA, AMALAN YANG TIDAK MURNI KARENA ALLAH AKAN DITOLAK OLEH ALLAH TA’ALA!
Dalil Amal Ibadah kita berbentuk nafs (jiwa) yang memiliki jasad :
Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Musnad menyebutkan bahwa Al-Bara’ ibn ‘Azib menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang hamba yang beriman telah meninggal dunia dan menghadap ke akhirat, akan turun kepadanya sejumlah malaikat dari langit yang berwajah putih bersih seakan-akan matahari. Mereka membawa kafan dari kafan-kafan penghuni surga dan juga wewangian dari surga. Mereka kemudian duduk di suatu tempat yang dapat dilihat oleh sejauh mata memandang. Kemudian datang malaikat pencabut nyawa, lalu duduk di dekat kepalanya sambil berkata, “Keluarlah, wahai jiwa yang tenang, keluarlah untuk menuju ampunan dan keridhaan Allah.”
Lantas keluarlah nyawanya dengan mengalir bagaikan mengalirnya air yang menetes dari tempat air. Malaikat pencabut nyawa kemudian mengambil ruh orang tersebut dan membungkusnya dengan kain kafan yang telah ditaburi wewangian dari surga.
Dari kafan itu tercium semerbak bau wangi yang melebihi bau wangi misik yang pernah ditemui di bumi. Para malaikat kemudian naik ke langit dengan membawa kafan tersebut.
Mereka tidak pernah melewati satu malaikat pun dari para malaikat penduduk langit melainkan mereka ditanya, “Ruh siapakah yang berbau wangi itu?”
Para malaikat pembawa ruh itu menjawab, “Ini adalah ruh Fulan bin Fulan, “Berkat nama-namanya yang paling baik yang mereka sebutkan sewaktu berada di dunia, mereka kemudian memohon agar dibukakan pintu langit untuknya“, Lalu terbukalah pintu langit itu. Dari setiap langit, semua malaikat yang dekat dengan Allah mengantarkannya sampai ke langit berikutnya hingga mereka sampai ke langit yang ke tujuh.
Setelah mereka sampai ke langit yang ke tujuh, Allah berfirman: “Tulislah kitab hamba-Ku ini di dalam ‘Illiyyin lalu kembalikanlah dia ke bumi karena Kami telah menciptakan mereka dari bumi (tanah). Kepadanya Aku kembalikan mereka dan dari dalamnya Aku mengeluarkannya sekali lagi.”
Ruhnya kemudian dikembalikan ke bumi, lalu datanglah dua orang malaikat yang kemudian mendudukkannya, Mereka lantas bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhan Anda ?” Ia menjawab, “Tuhanku adalah Allah .”
Kedua malaikat itu bertanya lagi, “Apakah agama Anda?” Ia menjawab, “Agamaku adalah Islam.”
Kedua malaikat itu bertanya lagi, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada Anda?”
Jawabnya, “Beliau adalah (Muhammad) Rasulullah.” Malaikat itu bertanya, “Dari mana Anda tahu ?” Ia menjawab, “Aku telah membaca Kitab Allah. Aku mengimani dan membenarkannya.”
Lalu terdengarlah sebuah panggilan dari langit, “Jika memang hamba-Ku ini benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.” Kemudian ruh orang yang beriman dikembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu diluaskan kuburannya sejauh mata memandang.
Selanjutnya datanglah seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata, “Berbahagialah dengan segala yang membahagiakan Anda. Ini adalah hari kebahagiaan Anda yang telah Allah janjikan.” Orang beriman tersebut bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu tampan sekali.” Ia menjawab, “Aku adalah amal saleh Anda.”
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa bentuk seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum yang mengatakan dirinya “Aku adalah amal saleh Anda” adalah bentuk Nafs berjasad yang dihasilkan dari amalan sholeh muslim yang meraih maqom disisiNya.

Akhir Tulisan

Artikel ini saya buat karena terinspirasi dari Bukunya Pak Jusuf hakim , yang berjudul "mendiagnosis penyakit non medis" dan "Sembuh Seketika Bukan Mu'jizat atau keajaiban"  yang khusus membahas tentang nafs manusia dan hubungannya dengan dunia jin. Buku ini cukup penting untuk dimiliki seorang penerapis yang sering "bentrok" dengan jin dan sihir. Namun pandai-pandailah memilah penjelasan dalam buku ini sebab ada beberapa bagian yang mengandung unsur syubhat, timbanglah dari sisi syari'at jika menyimpang tinggalkan. begitu pula dengan penjelasan saya diatas.

Wallahua'lam...

Hadist Tentang Ilmu

A. Definisi Ilmu

Ilmu ditafsirkan dengan sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang maka menjadi jelaslah apa yang terlintas didalam pengertiannya.

Figih adalah pengetahuan tentang kelembutan-kelembutan ilmu.ujar Abu Hanifah: fiqih adalah pengetahuan hal-hal yang berguna, yang berbahaya bagi diri seseorang. Ujarnya lagi : ilmu itu hanya untuk diamalkan nya, sedang mengamalkan disini berarti meninggalkan orientasi dunia demi akhirat. Maka seyogyanya manusia jangan sampai lengah diri dari hal-hal bermanfaat dan berbahaya didunia dan diakhirat dengan demikian ia akan mengambil mana yang bermanfaat dan manjauhi mana yang berbahaya, agar supaya baik akal dan ilmunya tidak menjadi beban pemberat atas dirinya dan menambah siksaan nya.

Dalam masalah kebaikan keistimewaan dan keutamaan ilmu itu banyak lah ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadist-hadist shohih dan masyur yang mengemukakannya.

B. Ilmu Yang Fardu Kifayah dan Yang Haram di Pelajari

Adapun mempelajari ilmu yang keperluannya hanya dalam waktu-waktu tertentu , hukumnya adalah fardu kifayah . berarti bila dalam suatu daerah telah terdapat orang yang ,mengetahuinya, maka cukuplah bagi orang lain, tetapi kalau sama sekali tidak ada, maka seluruh penduduk daerah menanggung dosanya .


Ada dikatakan orang :
“ mengetahui ilmu yang diperlukan setiap orang pada setiap saat adalah ibarat makan (dalam arti diperlukan setiap orang disetiap saatnya) dimana wajib atas setiap orang, sedang yang diperlukan dalam waktu-waktu tertentu saja, adalah bagaikan obat dimana diperlukannya pada masa-masa tertentu belaka”.

Ilmu kedokteran itu menjadi salah satu sarana penyebab terwujudnya kesehatan . karena itu boleh dipelajari sebagaimana penyebab-penyebab yang lain. Disamping itu, Nabi SAW sendiri pun pernah berobat hikayat Asy-Syafi’iy pernah berkata:

“ Ilmu itu ada dua macam yaitu ilmu fiqihuntuk kehidupan agama dan ilmu kedokteran untuk kehidupan kesehatan badan , sedang selain itu merupakan pelengkap majelis jua”

C. Keutamaan Ilmu

Keutamaan-keutamaan Ilmu:

1. Ilmu adalah pusaka para nabi,
2. pemilik ilmu temannya banyak,
3. ilmu semakin diamalkan semakin bertambah,
4. pemilik ilmu dipanggil dengan nama keagungan dan kemuliaan,
5. ilmu tidak akan berkarat dan tidak rusak karena umur,
6. ilmu bisa menerangi hati.

D. Keutamaan Menuntut Ilmu

Sesungguhnya Islam adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan Allah sendiri lewat Al Qur’an meninggikan orang-orang yang berilmu dibanding orang-orang awam beberapa derajat. “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad.” (Al Mujadilah: 11)

Pada surat Ali ‘Imran: 18 Allah SWT bahkan memulai dengan diri-Nya, lalu dengan malaikat-Nya, dan kemudian dengan orang-orang yang berilmu. Jelas kalau Allah menghargai orang-orang yang berilmu. “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” (Ali Imran:18)

Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan Allah untuk manusia. “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43). Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an. “Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)

Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR. Abu Dawud. Bahkan Nabi tidak tanggung-tanggung lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah. “Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani) . Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa tersesat karena kurangnya ilmu.

“Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR Tirmidzi)”.

Nabi Muhammad mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.”

Jelas Islam menghargai ilmu pengetahuan dan mewajibkan seluruh ummat Islam untuk mempelajarinya. Karena itu pendapat mayoritas ummat Islam (terutama di pedesaan) yang menganggap bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, soalnya nanti tinggalnya juga di dapur jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu Nabi juga menyuruh agar ummat Islam menuntut ilmu berkelanjutan hingga ajalnya. Karena itu seorang muslim haruslah berusaha belajar setinggi-tingginya. Jangan sampai kalah dengan orang kafir. Ummat Islam jangan cuma mencukupkan belajar sampai SMA saja, tapi berusahalah hingga Sarjana, Master, bahkan Doktor jika mampu. Jika ada yang tak mampu secara financial, adalah kewajiban kita yang berkecukupan untuk membantunya jika dia ternyata adalah orang yang berbakat.

Sekarang ini, tingkat pengetahuan ummat Islam malah kalah dibandingkan dengan orang-orang kafir. Ternyata justru orang-orang kafir itulah yang mengamalkan ajaran Islam seperti kewajiban menuntut Ilmu setinggi-tingginya. Jarang kita menemukan ilmuwan di antara ummat Islam. Sebaliknya, tingkat buta huruf sangat tinggi di negara-negara Islam. Hal itu jelas menunjukkan bahwa kemunduran ummat Islam bukan karena ajaran Islam, tapi karena ulah ummat Islam sendiri yang tidak mengamalkan perintah agamanya. Ayat pertama dalam Islam adalah “Iqra!” Bacalah! Di situ Allah memperintahkan ummat Islam untuk membaca, tapi ternyata tingkat buta huruf justru paling tinggi di negara-negara Islam. Ini karena kita tidak konsekuen dengan ajaran Islam.

Nabi juga mengatakan, bahwa ilmu yang bermanfaat akan mendapat pahala dari Allah SWT, dan pahalanya berlangsung terus-menerus selama masyarakat menerima manfaat dari ilmunya..

“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga, yaitu ilmu yang bermanfaat, Amal Jariah, dan Anak sholeh.”(HR Muslim)

Pada awal masa Islam, ummat Islam melaksanakan ajaran tersebut dengan sungguh-sungguh, mereka giat menuntut ilmu. Hadits-hadits seperti “Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan, ia berada di jalan Allah”, “Tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang syahid (martir)”, memberikan motivasi yang kuat untuk belajar. Tapi itu sekarang tinggal sejarah. Ummat Islam sekarang tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan tak heran jika mereka jadi bangsa yang terbelakang. Hanya dengan menghidupkan ajaran Islam-lah kita bisa maju lagi. Ummat Islam harus kembali giat menuntut ilmu. Menurut Al Ghazali, sesungguhnya menuntut ilmu itu ada yang fardu ‘ain (wajib bagi setiap Muslim) ada juga yang fardu kifayah (paling tidak ada segolongan ummat Islam yang mempelajarinya.

Ilmu agama tentang mana yang wajib dan mana yang halal seperti cara shalat yang benar itu adalah wajib bagi setiap muslim. Jangan sampai ada seorang ahli Matematika, tapi cara shalat ataupun mengaji dia tidak tahu. Jadi ilmu agama yang pokok agar setiap muslim bisa mengerjakan 5 rukun Islam dan menghayati 6 rukun Iman serta mengetahui kewajiban dan larangan Allah harus dipelajari oleh setiap muslim.

Adapun ilmu yang memberikan manfaat bagi ummat Islam seperti kedokteran yang mampu menyelamatkan jiwa manusia, ataupun ilmu teknologi persenjataan seperti pembuatan tank dan pesawat tempur agar ummat Islam bisa mempertahankan diri dari serangan musuh adalah fardu kifayah. Paling tidak ada segolongan muslim yang menguasainya.

E. Hadist – Hadist Tentang Ilmu

Hadis-Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu

a. اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
“Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.”

“segala sesuatu yang ada jalannya dan jalan menuju surga adalah ilmu”(hr.dailany) “orang yang paling utama diantara manusia adalah orang mukmin yang mempunyai ilmu,dimana kalau dibutuhkan (orang) dia membawa manfaat /memberi petunjuk dan dikala sedang tidak dibutuhkan dia memperkaya /menambah sendiri pengetahuannya”.(HR.baihaqi)

b. (داود أبو) الْجَنَّةِ إِلَى طِرِيْقًا بِهِ اللَّهُ سَهَّلَ ، عِلْمًا فِيْهِ يَلْتَمِسُ طَرِيْقًا سَلَكَ مَنْ
“Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

c. ، رَكْعَةٍ مِائَةَ تُصَلِّيَ اَنْ مِنْ لَّكَ خَيْرٌ اللَّهِ كِتَابِ مِنْ اَيَةً فَتُعَلِّمَ تَغْدَوْا لَأَنْ ، أَبَاذَرٍّ يَا
(ماجة ابن) رَكْعَةٍ أَلْفَ تُصَلِّيَ اَنْ مِنْ خَيْرٌ ،يُعْمَلْ لَمْ اَوْ بِهِ عُمِلَ الْعِلْمِ مِنَ بَابًا فَتُعَلِّمَ تَغْدُوْا وَلَأَنْ
“Hai Abu Dzar, Apabila kamu pergi dan menuntut ilmu satu ayat saja dari Al-Qur’an, itu lebih baik dari pada sholat 100 rakaat,dan sesungguhnya apabila kamu menuntut ilmu satu bab yang kamu ketahui, baik diamalkan atau tidak, lebih baik bagi mu dari pada sholat 1000 rakaat”.(HR. Ibnu Majah).

F. Hukum Menuntut Ilmu

Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadist, maka terdapatlah beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan menanya, melihat atau mendengar. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadist Nabi Muhammad saw :

Artinya : "Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan". (HR. Ibn Abdulbari).

Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dangan 'aqaid dan ibadat, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
Nabi Muhammad saw.bersabda:
وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ،وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ ،مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Artinya : "Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barang siapa yang meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.Bukhari dan Muslim)

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik ; dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah swt. Rasulullah Saw., bersabda:
مُسْلِمٍ كُلِّ عَلَى فَرِيْضَةٌ الْعِلْمِ طَلَبُ

“Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam”
(Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)

Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa 'arab, ilmu sains seperti perubatan, kejuruteraan, ilmu perundangan dan sebagainya adalah termasuk dalam ilmu yg tidak diwajibkan untuk dituntuti tetapi tidaklah dikatakan tidak perlu, karena ia adalah daripada ilmu fardhu kifayah. Begitu juga dengan ilmu berkaitan dengan tarekat ia adalah sunat dipelajari tetapi perlu difahami bahwa yang paling utama ialah mempelajari ilmu fardhu 'ain terlebih dahulu. Tidak mempelajari ilmu fardhu 'ain adalah suatu dosa karena ia adalah perkara yg wajib bagi kita untuk dilaksanakan dan mempelajari ilmu selainnya tiadalah menjadi dosa jika tidak dituntuti, walau bagaimanapun mempelajarinya amat digalakkan Ilmu yang diamalkan sesuai dengan perintah-perintah syara'. Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah. Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin, dan yang perlu di ketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

G. Menuntut Ilmu Sebagai Ibadah

Dilihat dari segi ibadah, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai dan pahalanya, Nabi Muhammad SAW bersabda ;

Artinya : "Sungguh sekiranya engkau melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun petang), kemudian mempelajari satu ayat dari Kitab Allah (Al-Quran), maka pahalanya lebih baik daripada ibadat satu tahun".

Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah? Karena amal ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu, akan sia-sialah amalnya.

Syaikh Ibnu Ruslan dalam hal ini menyatakan :

Artinya : "Siapa saja yang beramal (melaksanakan amal ibadat) tanpa ilmu, maka segala amalnya akan ditolak, yakni tidak diterima".

H. Keutamaan orang berilmu

Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan makhluk-Nya.

Mereka digelari sebagai "al-Raasikhun fil Ilm" (Al Imran : 7), "Ulul al-Ilmi" (Al Imran : 18), "Ulul al-Bab" (Al Imran : 190), "al-Basir" dan "as-Sami' " (Hud : 24), "al-A'limun" (al-A'nkabut : 43), "al-Ulama" (Fatir : 28), "al-Ahya' " (Fatir : 35) dan berbagai nama baik dan gelaran mulia lain.

Daya usaha untuk memperoleh ilmu melalui berbagai sumber dan panca indera yang dikaruniakan Allah SWT membimbing seseorang ke arah mengenal dan mengakui ketauhidan Rabbul Jalil.
Ini memberi satu isyarat dan petunjuk yang penting bahwa ilmu mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan dasar akidah tauhid. Orang yang memiliki ilmu sepatutnya mengenal dan mengakui keesaan Allah SWT dan keagungan-Nya. Hasilnya, orang yang berilmu akan tunduk, kerdil, dan hina berhadapan dengan kekuasaan dan keagungan Allah SWT.

Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman:

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir membuat suatu rumusan yang menarik bahwa apabila Allah SWT menyandingkan "diri-Nya" dengan para malaikat dan orang yang berilmu tentang penyaksian "keesaan Allah SWT dan kemutlakan-Nya sebagai Tuhan yang layak disembah", hal tersebut adalah suatu penghormatan agung secara khusus kepada orang-orang yang berilmu yang sentiasa bergerak di atas rel kebenaran dan menjunjung tinggi prinsip ini serta berpegang teguh dengannya dalam semua keadaan dan suasana.

Rekaman penghormatan ini kekal sebagaimana kekalnya kitab wahyu ini sebagai peringatan kepada golongan berilmu bahwa mereka amat istimewa di sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para malaikat yang menjadi saksi Keesaan Allah SWT. Mereka memikul amanah Allah SWT karena mereka adalah pewaris para nabi.

Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta senantiasa istiqamah akan selalu ada dalam diri orang yang berilmu. Mereka tidak mengharapkan ganjaran, sanjungan, dan pujian dari manusia. Keikhlasan mereka adalah hasil daripada ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip kebenaran yang menjadi tonggak pegangan mereka.

Orang yang berilmu amat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Mereka tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula merasa kebenaran hanya mutlak ada pada dirinya. Berlapang dada dan merendah diri adalah akhlak murni orang yang berilmu.

Mereka tidak melihat dari siapa atau dari golongan mana kebenaran tersebut berasal. Kebenaran sejati yang menjadi pegangan mereka adalah apabila datangnya daripada nash al-Quran al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah.

Keberanian orang yang berilmu adalah hasil keyakinan teguh kepada
kekuatan dan kekuasaan Allah Rabbul Jalil. Firman Allah SWT:

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama [Orang-orang yang berilmu]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Fatir: 28)

Orang-orang yang berilmu memiliki keyakinan bahwa hanya Allah yang Maha Berkuasa atas sekalian makhluk-Nya. Kehinaan di sisi manusia karena mempertahankan prinsip kebenaran dipandang lebih baik dan mulia daripada kehinaan di sisi Allah SWT karena menampik kebenaran hanya untuk menarik perhatian dan mendapatkan pujian manusia. Mereka amat yakin bahwa menyatakan kebenaran dan perkara hak adalah amanah Allah SWT dan mereka pun mengetahui resikonya amat besar.

Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (al-Baqarah: 159)

Rasulullah saw bersabda:
"Janganlah sekali-kali wibawa manusia sampai menghalangi seseorang untuk mengatakan sesuatu yang hak jika ia mengetahuinya, menyaksikannya, atau mendengarnya. Sebab tindakannya itu tidak akan mendekatkan ajal dan tidak akan menjauhkannya dari rezeki." (HR Ahmad)

Rasulullah saw juga bersabda:
"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih)

Orang yang berilmu mengetahui bagaimana kerusakan yang akan timbul dari amal yang tanpa ilmu, sebagaimana yang dikatakan khalifah Umar bin Abdul Aziz "Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia banyak merusak dari pada memperbaiki"

Yang menjadi panutan orang-orang berilmu adalah Rasulullah saw dan para sahabat beliau yang mulia. Karena hanya dengan mengikuti jalan Rasulullah dan para sahabatlah yang akan memasukkan seorang muslim kedalam golongan yang selamat. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw:

"Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku meniti diatasnya" (HR Tirmidzi)

Imam Bukhari dalam kitabnya "Berpegang Teguh pada Kitab dan Sunnah"
memberi judul salah satu dari sekian bab (yang artinya):
"Nabi SAW mengajarkan kepada umat-nya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya tanpa menggunakan pendapat atau pemisalan."

Al-Muhallab berkata ketika mengomentari bab Bukhari ini: "Maksud Bukhari bahwa seorang yang berilmu apabila dia berbicara dengan menggunakan nash, tidak perlu lagi berbicara berdasarkan pendapat dan qiyasnya (analogi). "





Tiada ulasan: