Ghibah (Mengumpat)
Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:
"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:
"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.
Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.
Firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai?
Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.
Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)
4.4.2.6.1 Batas Perkenan Ghibah
Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.
Firman Allah:
"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."
Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.
Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32
Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:
- Karena ada suatu kepentingan.
- Karena suatu niat.
4.4.2.6.1.1 Karena suatu kepentingan
Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."
Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.
4.4.2.6.1.2 Karena suatu niat
Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan) "Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)
4.4.2.7 Mengadu Domba
Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:
"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka.
Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:
"Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan.
Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.
Kata seorang penyair:
- Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
- Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
- tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6)Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:
"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11)Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Dosa Besar - Mengadu Domba.
Mengadu domba merupakan perbuatan yang boleh mengakibatkan persengketaan dan perbalahan antara dua belah pihak. Sikap suka menyampaikan cerita atau menyampaikan percakapan satu pihak kepada pihak yang lain dengan tujuan yang tidak baik sehingga menimbulkan perasaan tidak senang di hati pihak yang lain, dan akhirnya membawa kepada perselisihan faham antara kedua belah pihak adalah sama dengan menabur fitnah.
Dalam peristiwa Isra‘ dan Mi‘raj, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyaksikan segolongan lelaki dan wanita yang memotong satu potongan daging daripada salah seorang dari mereka. Kemudian mereka meletakkan potongan daging tersebut pada mulut salah seorang dari mereka dan berkata kepadanya: “Makanlah sepertimana yang aku makan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?” Jibril ‘alaihisalam menjawab: “Mereka inilah pengumpat, pencela serta pengadu domba”.
Mengadu domba adalah maksud dari perkataan Arab an-namimah. An-namimah berasal dari perkataan an-namma yang bererti mengeluarkan berita dengan tujuan menghasut.
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiah al-Muyassarah, an-namimah bermaksud memindahkan atau menyampaikan berita pada orang lain dengan tujuan yang tidak baik.
Menurut Imam al-Ghazzali Rahimahullah, perkataan an-namimah pada kebanyakan pendapat adalah menyampaikan percakapan orang lain kepada orang yang dikatakan. Contoh: Seseorang berkata kepada seseorang yang lain “ Si Fulan mengatakan tentang engkau begini begini”.
Contoh ucapan atau kata-kata lain yang menggambarkan tentang perbuatan mengadu domba, antaranya: “Dia melakukan begini terhadap hakmu”, “dia merancang untuk merosakkan urusan kamu”, “dia merancang untuk membantu musuh kamu” atau “dia memburuk-burukkan tentang hal dirimu”.
Hukum Mengadu Domba
Ulama bersepakat bahawa mengadu domba termasuk antara dosa-dosa besar. Imam al-Ghazzali Rahimahullah menyatakan bahawa mengadu domba adalah dilarang kerana ianya mendedahkan sesuatu perkara yang tidak boleh didedahkan samada perkara itu tidak disukai oleh orang yang mengatakannya atau orang yang mendengarnya atau tidak disukai oleh orang yang ketiga (orang yang dikatakan).
Perbuatan yang dianggap mendedahkan sesuatu perkara itu adalah samada dengan kata-kata atau dengan tulisan atau dengan isyarat atau dengan gerak-geri, samada yang disampaikan itu daripada perbuatan atau percakapan, samada ianya tentang keaiban atau kekurangan pada diri orang yang dikatakan.
Hakikat mengadu domba ialah mendedahkan atau membuka rahsia seseorang yang dia sendiri tidak suka orang lain mengetahuinya. Maka jika seseorang itu melihat sesuatu perkara (hal ehwal orang lain) hendaklah dia mendiamkan diri sahaja tanpa perlu menyebarkannya pada orang lain.
Walau bagaimanapun jika dengan menceritakan sesuatu perkara itu mendatangkan faedah kepada orang Islam atau dapat mencegah daripada berlakunya maksiat, maka tidaklah menjadi kesalahan jika dimaklumkan kepada yang lain. Contohnya: jika dia melihat seseorang mengambil harta orang lain, maka hendaklah dia menjadi saksi bagi melindungi hak orang yang empunya harta tersebut. Namun jika tujuan sebaliknya, perkara menceritakan hal atau percakapan orang lain dianggap sebagai mengadu domba.
Balasan Mengadu Domba
Mengadu domba merupakan salah satu daripada dosa-dosa besar kerana perbuatan ini akan mengakibatkan perkelahian antara dua belah pihak. Maka oleh kerana itu Allah Subhanahu wa Taala telah menjanjikan balasan azab yang pedih kepada golongan pengadu domba.
1. Firman Allah Subhanahu wa Taala yang menggambarkan tentang kecelakaan dan penghinaan bagi pengadu domba:
Tafsirnya: “Kecelakaan besar bagi tiap-tiap pencaci dan pengeji.”
(Surah Humazah: 1)
Penghinaan, azab serta kebinasaan dari Allah Subhanahu wa Taala bagi golongan pencaci dan pengeji. Pencaci dan pengeji menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu: orang yang suka mengadu domba, merosakkan kasih sayang (sesama manusia) dan penzalim yang membuka keaiban (orang lain).
2. Firman Allah Subhanahu wa Taala lagi:
Tafsirnya: “Yang suka mencaci lagi yang suka menyebarkan fitnah hasutan (untuk menjahilkan orang ramai).”
(Surah al-Qalam: 11-13)
Maksud ayat di atas ialah golongan yang suka mencaci dan menyebarkan fitnah untuk merosakkan orang lain dan ini tergolong di dalam perbuatan mengadu domba. Golongan ini tidak akan memasuki syurga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Huzaifah Radhiallahu ‘anhu, bahawa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Maksudnya: “Tidak masuk syurga orang yang suka mengadu domba”
(Hadis riwayat Muslim)
3. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma, bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berjalan pada suatu tempat lalu mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya.
Maksudnya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dua orang (yang berada dalam kubur ini) disiksa, tapi bukan disiksa kerana melakukan dosa besar.”
Baginda Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Ya, salah seorang daripada keduanya itu tidak bersuci dengan bersih setelah berkencing, sementara yang satu pula berjalan (di kalangan manusia) dengan mengadu domba”.”
(Hadis riwayat al-Bukhari)
Bedasarkan al-Qur’an dan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, mengadu domba itu adalah haram dan neraka adalah tempat mereka sebagai balasan daripada Allah Subhanahu wa Taala. Adalah menjadi kewajipan kita untuk tidak melakukan perbuatan tersebut dan menolak jika di datangi oleh golongan yang suka melakukan sedemikian.
Cara Menolak Jika Didatangi Oleh Pengadu Domba
1) Jangan mempercayainya, kerana orang yang suka mengadu domba adalah orang yang fasik. Orang yang fasik ialah orang yang ditolak kesaksiannya (syahadah). Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Tafsirnya: “Wahai orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu mengenainya sehingga menyebabkan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.”
(Surah al-Hujurat: 6)
2) Melarangnya supaya tidak mengadu domba dan menasihatinya serta mencela perbuatannya itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala:
Tafsirnya: “Suruhlah berbuat kebaikan, serta laranglah dari melakukan perbuatan yang mungkar.”
(Surah al-Luqman:17)
3) Hendaklah membenci perbuatan mengadu domba itu kerana Allah Subhanahu wa Taala. Sesungguhnya perbuatannya itu sangat dibenci oleh Allah Subhanahu wa Taala. Maka wajib kita membenci perbuatannya sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala membenci perbuatan tersebut.
4) Janganlah bersangka buruk terhadap sesama saudara dalam Islam yang tiada pada ketika itu. Firman Allah Subhanahu wa Taala:
Tafsirnya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang), kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa.”
(Surah al-Hujuraat: 12)
5) Tidak perlu memperbesar-besarkan apa yang disampaikan kepada kamu dengan mengintip atau mencari (keburukan) untuk memastikan (apa yang disampaikan), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala:
Tafsirnya: “Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan dan keaiban orang.”
(Surah al Hujuraat: 12)
6) Jangan kamu menerima apa yang kamu sendiri tidak suka dan melarang dari perbuatannya. Dan jangan disampaikan pula cerita tersebut pada yang lain, contohnya kamu berkata: “Si Fulan memberitahu kepadaku begini”. Perkara seumpama ini juga dianggap sebagai mengadu domba dan mengumpat. Maka dalam keadaan ini, kamu sendiri melakukan apa yang kamu sendiri melarang (orang lain melakukannya).
Peliharalah lidah daripada melakukan perkara-perkara yang ditegah oleh syariat, seperti mengadu domba atau menyebar fitnah kerana ia merosakkan perhubungan sesama insan. Takutlah terhadap balasan mengadu domba itu. Balasannya adalah api neraka sebagaimana yang diperlihatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam pada malam Isra‘ dan Mi‘raj.
Apakah Erti Sumaah?
Assalamu'alaikumApakah huraian Summaah(menunjuk2) dan Cara menghindar / menghapus / mengesannya dari Lubuk Hati.
Jazakallah
Jawab:
Dapatkan rawatan dalam kitab Ihya Ulumiddin atau ringkasannya Mauizatul Mukminin min Ihya' Ulumiddin. Lihat bab-bab berikut: Kitab Mencela Pangkat dan Riya', Kitab Mencela Takabbur dan bangga Diri. Juga kitab Ibn Jauzi: Talbis Iblis. Juga Ibn Qayyim-Madarij Saalikin . Ketiga-tiga kitab ini sudah diterjemah. Membaca langsung dari kitab-kitab tersebut lebih menusuk kalbu dari kami menerangkan dalam ruang yg terhad ini yg kami khususkan untuk fiqh azzahir bukannya fiqh al batin (tasawwuf), apa yg anda tanyakan itu termasuk fiqh albatin. Allahu a'alam
Ujub, Sum'ah dan Riya'
Definisi Ujub.
Sufyan Ats-Tsauri rohimahumulloh, meringkas definisi ujub sebagai berikut:
“Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri sehingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi perkara haram lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”
Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata :
“Baransgsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan menjatuhkan martabatnya”
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan menganggapnya bagai angin lalu.
Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits:
“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya” (HR. Bukhari)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.”
Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata:
“Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak aneh lagi/sudah jelas bahwa setiap orang akan mengikuti pola tingkah laku temannya. Rasulullah SAW sendiri bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pkitai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya setiap manusia benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Setiap manusia terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya, jabatan yang dimilikinya, maupun status social dalam dirinya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah SAW melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda
“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya setiap manusia menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah SAW:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sendal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Definisi Sum’ah
Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Penjelasan hadits diatas adalah,
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
(BUKHARI - 5955) : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah budak dinar, budak dirham dan budak pakaian (sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), jika diberi ia akan ridla dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridla."
Penjelasan hadits diatas:
Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadis tersebut? Sungguh, ia merupakan pelajaran akhlak yang amat agung. Penyebutan jenis-jenis materi di atas hanyalah sebatas contoh. Jadi, walaupun hadis itu hanya menyebut "dinar", "dirham", dan "sutera", tentu materi apapun jenisnya bisa disamakan. Bahkan tak terbatas pada materi saja, hal-hal yang berupa emosi (senang, benci, cinta, dan semacamnya). Sehingga bisa disamakan ke dalam pengertian hadis tersebut ungkapan seperti "tak senang karena tak diberi, senang karena diberi", "membenci karena dibenci", "mencintai karena dicintai", "memukul karena dipukul", "tak menghormati karena tidak dihormati", dan seterusnya.
Definisi Riya’
Secara syar’I, para ulama berbeda pendapat dalam memerikan definisi riya’, namun intinya sama, yakni seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ia lakukan bukan karena Allah melainkan tujuan dunia.
Al Qurthubi mengatakan,” hakekat riya’adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]
Jadi riya’ adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharapkan pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya. [lihat : Fathul Bari 11/336, Al Ikhlas wa Syirkul Asghor hal 9].
Orang riya’ ingin memperlihatkan superioritas dirinya kepada manusia.
Orang riya’ ingin mendapatkan bagian keduniawian dari amal perbuatannya.
Orang riya’ mencari amal perbuatan yang mestinya hanya antara dirinya dengan Allah, tetapi dengan bertujuan kepada selain Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mulia, dan selain kehidupan akhirat.
Orang yang riya’ ingin melakukan suatu ibadah yang telah diperintahkan Allah, akan tetapi ia melakukannya bukan karena Allah.
Riya’ adalah topeng-keterpedayaan yang dapat menutupi manusia yang berwajah masam, berjiwa buruk dan hati manusia yang keras.
Riya’ merupakan tabir halus (cat pelapis) yang memburamkan antara suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya.
Riya’ merupakan barang palsu (imitasi) yang dijajakan di pasar untuk diperdagangkan, selamanya riya’ tidak akan menguntungkan.
Riya’ merupakan suatu kesamaran, yang tidak dapat diindera dan diketahui oleh semua orang.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.” “Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?” Kemudian Rasulullah mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” Orang tersebut ternyata Miqdad bin Aswad. (HR. Ahmad)
Faktor-faktor penyebab riya dan sum'ah adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang kehidupan
Jika seorang anak tumbuh dalam asuhan keluarga yang memiliki suasana riya dan sum'ah, atau ia tumbuh dalam lingkungan dengan tradisi perilaku riya dan sum'ah yang kental, maka sangat besar kemungkinannya ia juga terjangkit penyakit hati itu. Karenanya, Rasulullah berpesan agar umatnya memilih pasangan hidup yang islami.
Kepada para ikhwan, beliau berpesan “...Maka pilihlah wanita yang taat menjalankan agama, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Kepada orang tua atau wali dari akhwat beliau berpesan, “Jika didatangi oleh seseorang (untuk meminang putrimu) yang engkau ridha akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu)”. (HR. tirmidzi)
2. Persahabatan yang buruk
Yang dimaksud dengan persahabatan yang buruk adalah memiliki sahabat yang berperangai buruk, dalam arti memiliki sifat riya’ maupun sum’ah. Persahabatan yang buruk juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Terutama bagi orang yang lemah kepribadiannya sehingga mudah terpengaruh. Sangat pentingnya persahabatan ini sehingga Rasulullah mengumpamakan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Kita bisa mendapat “bau harum” dari pertemanan, kita juga bisa terkena “asap” dan “bau tidak sedap” dari pertemanan.
3. Tidak memiliki ma'rifatullah
Jika seseorang memiliki ma'rifatullah yang baik, ia akan beribadah ikhlas kepada Allah dan yakin ibadah itu dilihat oleh Allah dan dinilai-Nya. Ia juga sadar jika niatnya sudah beralih kepada pkitangan manusia, Allah justru tidak memberinya apa-apa. 4. Ambisi mendapatkan kedudukan atau kepemimpinan
Seseorang karena ingin memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan manusia atau supaya orang lain menilai ia layak mendapatkan amanah kepemimpinan menjadikannya bersikap riya dan sum'ah. Ia ingin segala amal kebaikannya terekspos dan secara langsung mempengaruhi pencitraannya. Ia dianggap baik, shalih, dihormati, dikagumi, dan diangkat atau dipilih menjadi pemimpin.
5. Tamak terhadap milik orang lain
Sikap tamak terhadap harta atau ingin memiliki lebih dari yang dimiliki oleh orang lain juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Seperti orang yang berperang tetapi niatnya mendapatkan ghanimah, atau popularitas. Sebagaimana diriwayatkan Abu Musa bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat manusia. Manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, dialah mujahid fi sabilillah.” (HR. Bukhari)
6. Suka dipuji dan disanjung
Perangai suka dipuji dan disanjung akan mendorong seseorang berlaku riya dan sum'ah, sementara kritik justru akan membuatnya maju menjadi lebih baik.
7. Terlalu ketat penilaian pemimpin/qiyadah
Dalam sebuah organisasi atau jamaah, jika pemipin atau qiyadah terlalu ketat dalam menilai seseorang, bisa mengakibatkan timbulnya riya dan sum'ah pada orang tersebut, khususnya yang tidak memiliki jiwa besar. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang baik itu tidak mengerjakan sesuatu kecuali ia menilainya baik dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali jika ia menilainya buruk.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
8. Terlalu dikagumi orang lain
Terlalu dikagumi orang lain juga bisa bisa menjadi sebab timbulnya riya dan sum'ah. Kekaguman bisa menjadi semacam candu. Semakin dikagumi seseorang akan semakin berusaha agar kekaguman orang lain bertahan atau meningkat. Karenanya Rasulullah mengingatkan agar tidak memuji orang di depannya secara langsung.
9. Takut menjadi omongan orang lain
Ini juga bisa menyebabkan timbulnya riya dan sum'ah. Karena takut dinilai jelek orang lain, atau menjadi bahan perbincangan, menjadi obyek ghibah, maka seseorang kemudian berbuat yang baik dan berupaya mengeksposnya, atau mendemonstrasikan kebaikan dan amal shalihnya.
10. Lalai terhadap dampak buruk riya dan sum'ah
Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap dampak buruk dan bahaya riya dan sum'ah menjadikannya tidak merasa salah atau menyesal berlaku riya dan sum'ah, bahkan larut dalam sikap itu. Sebaliknya, jika seseorang memahami dengan baik dampak riya dan sum'ah, yang sangat merugikan dirinya di akhirat kelak, ia akan berusaha menjaga diri agar terhindar dari riya dan sum'ah itu.
Perbedaan Riya dan Sum’ah
Imam Bukhori -rahimahullah- dalam shahihnya membuat bab Ar Riya’ was Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW
“Barangsiapa memperdengarkan(menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)” (HSR Bukhori juz 7/189 dan Muslim no 2987].
Perbedaan riya dan sum’ah ialah Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga [lihat : Al Ikhlas hal 95, DR Umar Sulaiman Al Asyqor].
Perbedaan antara Riya dan ‘Ujub
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- mengatakan,” Seringkali orang menghubungkan antara riya’ dan ‘ujub, padahal riya’ merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan ‘ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu [ lihat: Majmu Fatawa 10/277]
Imam Nawawi -rahimahullah- berkata,” ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ‘ujub. Barangsiap berlaku ‘ujub (mengagumi) amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong [lihat : Syarh Arba’in hal 5].
Rasulullah SAW bersabda,” Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati, dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR AbuSyaikh dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]
Setelah kita mengetahui definisi dan bahaya serta sebab-sebab timbulnya dari Ujub, Riya’ maupun Sum’ah, maka berikut ada tips/saran/kaidah untuk sedikit-sedikit kita dapat terhindar dari bahaya ujub, riya’ maupun sum’ah dan semacamnya:
1. Kita harus sadar dan tahu bahwa yang kita perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah kita: apa (yang kita lakukan), bagaimana (kita melakukan), dan kenapa (kita lakukan). Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan kita jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani. Jika sudah mampu demikian, maka kita akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama kita yakin apa yang kita perbuat itu benar. Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang kita anggap salah. Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.
2. Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah). Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.
3. Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan kita dengan pengetahuan
Allah akan segala tindakan kita. Kita akan puas hanya dengan diketahui Allah jika kita merasa takut dan berharap hanya kepada-NYA.
4. Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.
5. Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah = Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)
6. Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri. Sebagai contoh: jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita maka hendaklah kita berkata:
“Anak ini masih muda usia, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah sedangkan aku sudah tua tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah".
Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita maka hendaklah kita berkata:
“Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku?”.
Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata:
“Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku dan ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?”.
Apabila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata:
“Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti?”
Apabila kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata:
“Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”
Begitu besar dan bahayanya penyakit-penyakit hati (riya’, ujub maupun sum’ah) tersebut, dan betapa gencarnya syaitan berusaha mengajak dan menggoda manusia agar tergelincir dari amalan-amalan serta ibadah-ibadah yang telah kita lakukan
Untuk itu kita dianjurkan untuk juga berdoa dengan doa sebagai berikut :
"Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan kepada-Mu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan imam yang lain 4/403, lihat Shahihul Jami' 3/233, dan Shahihut Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19)
Cukuplah dialog antara Fudhail bin 'Iyadh dengan Sufyan Ats-Tsauri sebagai pelajaran yang berharga bagi kita akan bahaya riya'. Berkata Abu 'Abdillah Al-Anthoki, "Fudhail bin 'Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, "Wahai Abu 'Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini dan rahmat dan berkah bagi kita", lalu Fudhail berkata kepadanya, "Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah majelis yang mencelakakan kita", Sufyan berkata, "Kenapa wahai Abu Ali?", Fudhail berkata, "Bukankah engkau telah memilih perkataan yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah menyampaikan telah menyampaikan perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan akupun telah berhias untukmu", lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, "Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu. "
Semoga kita semua bisa menjaga dan terhindar dari penyakit Ujub, Riya’ maupun Sum’ah ..amin..
Wassalam
Sufyan Ats-Tsauri rohimahumulloh, meringkas definisi ujub sebagai berikut:
“Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri sehingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi perkara haram lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”
Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata :
“Baransgsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan menjatuhkan martabatnya”
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan menganggapnya bagai angin lalu.
Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits:
“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya” (HR. Bukhari)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.”
Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata:
“Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak aneh lagi/sudah jelas bahwa setiap orang akan mengikuti pola tingkah laku temannya. Rasulullah SAW sendiri bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pkitai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya setiap manusia benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Setiap manusia terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya, jabatan yang dimilikinya, maupun status social dalam dirinya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah SAW melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda
“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya setiap manusia menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah SAW:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sendal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Definisi Sum’ah
Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Penjelasan hadits diatas adalah,
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
(BUKHARI - 5955) : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah budak dinar, budak dirham dan budak pakaian (sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), jika diberi ia akan ridla dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridla."
Penjelasan hadits diatas:
Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadis tersebut? Sungguh, ia merupakan pelajaran akhlak yang amat agung. Penyebutan jenis-jenis materi di atas hanyalah sebatas contoh. Jadi, walaupun hadis itu hanya menyebut "dinar", "dirham", dan "sutera", tentu materi apapun jenisnya bisa disamakan. Bahkan tak terbatas pada materi saja, hal-hal yang berupa emosi (senang, benci, cinta, dan semacamnya). Sehingga bisa disamakan ke dalam pengertian hadis tersebut ungkapan seperti "tak senang karena tak diberi, senang karena diberi", "membenci karena dibenci", "mencintai karena dicintai", "memukul karena dipukul", "tak menghormati karena tidak dihormati", dan seterusnya.
Definisi Riya’
Secara syar’I, para ulama berbeda pendapat dalam memerikan definisi riya’, namun intinya sama, yakni seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ia lakukan bukan karena Allah melainkan tujuan dunia.
Al Qurthubi mengatakan,” hakekat riya’adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]
Jadi riya’ adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharapkan pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya. [lihat : Fathul Bari 11/336, Al Ikhlas wa Syirkul Asghor hal 9].
Orang riya’ ingin memperlihatkan superioritas dirinya kepada manusia.
Orang riya’ ingin mendapatkan bagian keduniawian dari amal perbuatannya.
Orang riya’ mencari amal perbuatan yang mestinya hanya antara dirinya dengan Allah, tetapi dengan bertujuan kepada selain Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mulia, dan selain kehidupan akhirat.
Orang yang riya’ ingin melakukan suatu ibadah yang telah diperintahkan Allah, akan tetapi ia melakukannya bukan karena Allah.
Riya’ adalah topeng-keterpedayaan yang dapat menutupi manusia yang berwajah masam, berjiwa buruk dan hati manusia yang keras.
Riya’ merupakan tabir halus (cat pelapis) yang memburamkan antara suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya.
Riya’ merupakan barang palsu (imitasi) yang dijajakan di pasar untuk diperdagangkan, selamanya riya’ tidak akan menguntungkan.
Riya’ merupakan suatu kesamaran, yang tidak dapat diindera dan diketahui oleh semua orang.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.” “Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?” Kemudian Rasulullah mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” Orang tersebut ternyata Miqdad bin Aswad. (HR. Ahmad)
Faktor-faktor penyebab riya dan sum'ah adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang kehidupan
Jika seorang anak tumbuh dalam asuhan keluarga yang memiliki suasana riya dan sum'ah, atau ia tumbuh dalam lingkungan dengan tradisi perilaku riya dan sum'ah yang kental, maka sangat besar kemungkinannya ia juga terjangkit penyakit hati itu. Karenanya, Rasulullah berpesan agar umatnya memilih pasangan hidup yang islami.
Kepada para ikhwan, beliau berpesan “...Maka pilihlah wanita yang taat menjalankan agama, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Kepada orang tua atau wali dari akhwat beliau berpesan, “Jika didatangi oleh seseorang (untuk meminang putrimu) yang engkau ridha akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu)”. (HR. tirmidzi)
2. Persahabatan yang buruk
Yang dimaksud dengan persahabatan yang buruk adalah memiliki sahabat yang berperangai buruk, dalam arti memiliki sifat riya’ maupun sum’ah. Persahabatan yang buruk juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Terutama bagi orang yang lemah kepribadiannya sehingga mudah terpengaruh. Sangat pentingnya persahabatan ini sehingga Rasulullah mengumpamakan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Kita bisa mendapat “bau harum” dari pertemanan, kita juga bisa terkena “asap” dan “bau tidak sedap” dari pertemanan.
3. Tidak memiliki ma'rifatullah
Jika seseorang memiliki ma'rifatullah yang baik, ia akan beribadah ikhlas kepada Allah dan yakin ibadah itu dilihat oleh Allah dan dinilai-Nya. Ia juga sadar jika niatnya sudah beralih kepada pkitangan manusia, Allah justru tidak memberinya apa-apa. 4. Ambisi mendapatkan kedudukan atau kepemimpinan
Seseorang karena ingin memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan manusia atau supaya orang lain menilai ia layak mendapatkan amanah kepemimpinan menjadikannya bersikap riya dan sum'ah. Ia ingin segala amal kebaikannya terekspos dan secara langsung mempengaruhi pencitraannya. Ia dianggap baik, shalih, dihormati, dikagumi, dan diangkat atau dipilih menjadi pemimpin.
5. Tamak terhadap milik orang lain
Sikap tamak terhadap harta atau ingin memiliki lebih dari yang dimiliki oleh orang lain juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Seperti orang yang berperang tetapi niatnya mendapatkan ghanimah, atau popularitas. Sebagaimana diriwayatkan Abu Musa bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat manusia. Manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, dialah mujahid fi sabilillah.” (HR. Bukhari)
6. Suka dipuji dan disanjung
Perangai suka dipuji dan disanjung akan mendorong seseorang berlaku riya dan sum'ah, sementara kritik justru akan membuatnya maju menjadi lebih baik.
7. Terlalu ketat penilaian pemimpin/qiyadah
Dalam sebuah organisasi atau jamaah, jika pemipin atau qiyadah terlalu ketat dalam menilai seseorang, bisa mengakibatkan timbulnya riya dan sum'ah pada orang tersebut, khususnya yang tidak memiliki jiwa besar. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang baik itu tidak mengerjakan sesuatu kecuali ia menilainya baik dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali jika ia menilainya buruk.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
8. Terlalu dikagumi orang lain
Terlalu dikagumi orang lain juga bisa bisa menjadi sebab timbulnya riya dan sum'ah. Kekaguman bisa menjadi semacam candu. Semakin dikagumi seseorang akan semakin berusaha agar kekaguman orang lain bertahan atau meningkat. Karenanya Rasulullah mengingatkan agar tidak memuji orang di depannya secara langsung.
9. Takut menjadi omongan orang lain
Ini juga bisa menyebabkan timbulnya riya dan sum'ah. Karena takut dinilai jelek orang lain, atau menjadi bahan perbincangan, menjadi obyek ghibah, maka seseorang kemudian berbuat yang baik dan berupaya mengeksposnya, atau mendemonstrasikan kebaikan dan amal shalihnya.
10. Lalai terhadap dampak buruk riya dan sum'ah
Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap dampak buruk dan bahaya riya dan sum'ah menjadikannya tidak merasa salah atau menyesal berlaku riya dan sum'ah, bahkan larut dalam sikap itu. Sebaliknya, jika seseorang memahami dengan baik dampak riya dan sum'ah, yang sangat merugikan dirinya di akhirat kelak, ia akan berusaha menjaga diri agar terhindar dari riya dan sum'ah itu.
Perbedaan Riya dan Sum’ah
Imam Bukhori -rahimahullah- dalam shahihnya membuat bab Ar Riya’ was Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW
“Barangsiapa memperdengarkan(menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)” (HSR Bukhori juz 7/189 dan Muslim no 2987].
Perbedaan riya dan sum’ah ialah Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga [lihat : Al Ikhlas hal 95, DR Umar Sulaiman Al Asyqor].
Perbedaan antara Riya dan ‘Ujub
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- mengatakan,” Seringkali orang menghubungkan antara riya’ dan ‘ujub, padahal riya’ merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan ‘ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu [ lihat: Majmu Fatawa 10/277]
Imam Nawawi -rahimahullah- berkata,” ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ‘ujub. Barangsiap berlaku ‘ujub (mengagumi) amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong [lihat : Syarh Arba’in hal 5].
Rasulullah SAW bersabda,” Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati, dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR AbuSyaikh dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]
Setelah kita mengetahui definisi dan bahaya serta sebab-sebab timbulnya dari Ujub, Riya’ maupun Sum’ah, maka berikut ada tips/saran/kaidah untuk sedikit-sedikit kita dapat terhindar dari bahaya ujub, riya’ maupun sum’ah dan semacamnya:
1. Kita harus sadar dan tahu bahwa yang kita perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah kita: apa (yang kita lakukan), bagaimana (kita melakukan), dan kenapa (kita lakukan). Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan kita jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani. Jika sudah mampu demikian, maka kita akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama kita yakin apa yang kita perbuat itu benar. Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang kita anggap salah. Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.
2. Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah). Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.
3. Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan kita dengan pengetahuan
Allah akan segala tindakan kita. Kita akan puas hanya dengan diketahui Allah jika kita merasa takut dan berharap hanya kepada-NYA.
4. Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.
5. Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah = Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)
6. Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri. Sebagai contoh: jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita maka hendaklah kita berkata:
“Anak ini masih muda usia, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah sedangkan aku sudah tua tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah".
Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita maka hendaklah kita berkata:
“Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku?”.
Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata:
“Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku dan ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?”.
Apabila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata:
“Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti?”
Apabila kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata:
“Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”
Begitu besar dan bahayanya penyakit-penyakit hati (riya’, ujub maupun sum’ah) tersebut, dan betapa gencarnya syaitan berusaha mengajak dan menggoda manusia agar tergelincir dari amalan-amalan serta ibadah-ibadah yang telah kita lakukan
Untuk itu kita dianjurkan untuk juga berdoa dengan doa sebagai berikut :
"Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan kepada-Mu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan imam yang lain 4/403, lihat Shahihul Jami' 3/233, dan Shahihut Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19)
Cukuplah dialog antara Fudhail bin 'Iyadh dengan Sufyan Ats-Tsauri sebagai pelajaran yang berharga bagi kita akan bahaya riya'. Berkata Abu 'Abdillah Al-Anthoki, "Fudhail bin 'Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, "Wahai Abu 'Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini dan rahmat dan berkah bagi kita", lalu Fudhail berkata kepadanya, "Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah majelis yang mencelakakan kita", Sufyan berkata, "Kenapa wahai Abu Ali?", Fudhail berkata, "Bukankah engkau telah memilih perkataan yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah menyampaikan telah menyampaikan perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan akupun telah berhias untukmu", lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, "Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu. "
Semoga kita semua bisa menjaga dan terhindar dari penyakit Ujub, Riya’ maupun Sum’ah ..amin..
Wassalam
Hukum Mencerca Sahabat dan Istri Nabi SAW
Ketika dijelaskan bahwa hukum mencerca atau mencaci maki
sahabat-sahabat bisa jatuh kepada kekafiran, ada yang berargumen bahwa
itu tidak mengapa karena Marwan al-Hakam dan Ziyad juga mencerca Ali r.a
di atas mimbar jumaat seperti yang disebut oleh Ibn kathir dalam
al-Bidayah wa an-Nihayah. Nah bagaimana membantah argumen mereka ini?
Mari kita baca fatwa syaikhul Islam Ibn Taymiyah dalam al-syarim
al-maslul (pedang terhunus) mengenai hukum mencerca sahabat:
Sumber: al-fikrah.net Peringatan Kepada Golongan Pencaci Dan Pembuat Fitnah Kepada OrangLink youtube adalah di sini. http://www.youtube.com/watch?v=Gz70T-V_r2U
Transkrip Tazkirah Ustaz Abdul Basit Abdul Rahman (buat
sahabat-sahabat yang mempunyai internet slow sehingga tidak mampu dengar
Youtube)
Panduan: Setiap perkataan yang ada di dalam kurungan merupakan
tambahan saya sendiri untuk memudahkan kefahaman sewaktu membaca
transkrip ini. Ia bukan daripada mulut Ustaz.
Sedikit tazkirah ataupun peringatan kepada masyarakat Islam di zaman yang kita hidup; di saat kita hidup di zaman yang penuh dengan fitnah dan pancaroba ini. Kita lihat hari ini, tersebarnya fitnah yang begitu dasyat di kalangan kita. Ada orang yang menyebarkan tulisan-tulisan, membuat tuduhan kepada orang (secara) sembarangan. Ada orang yang menyebarkan melalui alat-alat media, melalui youtube, video, dalam TV, dalam radio. Kita kena ingat, bahawa jiwa seorang Muslim, seorang yang beriman kepada Allah swt itu, bukanlah jiwa yang dibiarkan begitu sahaja. (Jiwa orang Muslim itu adalah) jiwa yang mempunyai harga yang begitu mahal. Nabi saw telah bersabda dalam haji wada':
حدثنا علي بن عبد الله حدثني يحيى بن سعيد حدثنا فضيل بن غزوان حدثنا عكرمة عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب الناس يوم النحر فقال يا أيها الناس أي يوم هذا قالوا يوم حرام قال فأي بلد هذا قالوا بلد حرام قال فأي شهر هذا قالوا شهر حرام قال فإن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا فأعادها مرارا ثم رفع رأسه فقال اللهم هل بلغت اللهم هل بلغت قال ابن عباس رضي الله عنهما فوالذي [ ص: 620 ] نفسي بيده إنها لوصيته إلى أمته فليبلغ الشاهد الغائب لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض
Darah kamu, harta kamu, kehormatan kamu, haram atas diri kamu. Hari ini kita lihat, kehormatan diri manusia telah menjadi mainan, (hanya) kerana perbezaan ideologi, perbezaan pandangan, samada pandangan politik, pandangan pemikiran mazhab, pandangan yang tidak serupa dengan kita sahajalah senang, terus akan dijatuhkan hukuman yang begitu dasyat. Bahkan sanggup mengatakan seseorang ini ahli neraka, orang ini ahli sesat, yang begitu mudah sekali kita lemparkan tuduhan-tuduhan. Kadang-kadang yang menjadi mangsa ini, bukan orang-orang yang biasa. Samada orang politik sesama mereka, itu kita anggap orang biasa. Tapi, tuduhan ini dilemparkan ke atas para pendakwah, bahkan orang yang boleh dianggap sebagai alim ulama', orang yang wara' (yang) kita lihat pada zahirnya, (kita) tuduh bermacam-macam, (kemudian tuduhan ini) disebar melalui video, melalui internet. Gambar-gambar yang telah diedit, (di)masuk(kan ke dalam internet). Kamu kena ingat, Allah swt telah menyebut dalam Al-Quran Al-Karim dalam surah An-Nur ayat 15: إِذۡ تَلَقَّوۡنَهُ ۥ بِأَلۡسِنَتِكُمۡ وَتَقُولُونَ بِأَفۡوَاهِكُم مَّا لَيۡسَ لَكُم بِهِۦ عِلۡمٌ۬ وَتَحۡسَبُونَهُ ۥ هَيِّنً۬ا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ۬ (ertinya: Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.) Ingatlah, ketika kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, kita dengar berita orang buat, kita tengok dalam youtube, orang ini jahat, scandal - tidak kira, skandal seks ke, skandal balak ke, skandal apa benda lah - ataupun pendakwah ini dituduh membawa ajaran sesat contohnya, kerana perkara-perkara yang tertentu, وَتَقُولُونَ بِأَفۡوَاهِكُم kamu juga kata dengan lidah kamu, dengan mulut kamu. Samada mulut kita yang kita bercakap ataupun tangan yang kita tulis tulisan kita. مَّا لَيۡسَ لَكُم بِهِۦ عِلۡمٌ۬ Sedangkan kamu tidak mempunyai ilmu, maklumat yang tepat tentang peristiwa yang ada itu, وَتَحۡسَبُونَهُ ۥ هَيِّنً۬ا kamu ingat main-main sahaja, suka-suka sahaja. Like dalam facebook, gelak-gelak, suka-suka sahaja, buat ceramah masuk kampung dan bandar mencerca orang (dan) sebagainya, وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ۬ perbuatan ini merupakan perbuatan yang sangat besar di sisi Allah azza wa jalla. Nabi saw dalam hadis yang panjang, tentang yang menyebut tentang peristiwa muflis, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتدرون من المفلس ؟ قالوا:المفلس فينا من لا درهم له ولا متاع , قال صلى الله عليه وسلم : إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزكاة , ويأتي وقد شتم هذا ,وقذف هذا , وأكل مال هذا , وسفك دم هذا , وضرب هذا , فيعطي هذا من حسناته وهذا من حسناته فإن فنيت حسناته من قبل أن يقضي ما عليه أخذ من خطاياهم فطرحت عليه ثم طرح في النار (Ertinya: Nabi s.a.w bersabda yang bermaksud: "Tahukah kamu siapakah orang yang muflis?" Sahabat-sahabat Baginda menjawab: "Orang yang muflis di antara kami ya Rasulullah ialah orang yang tidak mempunyai wang dinar dan dirham (ringgit) dan tiada harta benda." Nabi s.a.w seterusnya bersabda: "Sebenarnya orang yang muflis daripada kalangan umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat membawa solat, puasa dan zakat, sedangkan datangnya itu dengan kesalahan memaki hamun orang, dan menuduh orang itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu dan juga memukul orang; maka akan diambil daripada amalan kebajikannya serta diberi kepada orang ini dan orang itu. Kemudian apabila habis amalan kebajikannya sebelum habis dibayar kesalahan-kesalahan yang ditanggungnya, akan diambil pula daripada kesalahan-kesalahan orang yang dianiaya serta ditimpakan ke atasnya. Kemudian, ia dihumban ke dalam neraka.") Nabi saw (ber)kata di antara sahabat, "Siapa di antara kamu orang muflis?" أتدرون من المفلس Nabi kata, "Kamu tahu apa itu muflis?" Sahabat kata "Muflis ini orang yang tiada harta, yang hutang banyak, duit untuk bayar takde, itu muflis". Nabi kata, إن المفلس من أمتي orang muflis dalam kalangan umat aku ini يأتي يوم القيامة mereka datang pada hari kiamat bawa amalan dia, solat ada, puasa ada, zakat ada, tapi, mulut dia juga telah maki orang perli orang telah ambil harta orang telah memukul orang, apa jadi (kepada orang sebegini)? Maka akan diambil kebajikannya diberi kepada orang yang difitnahnya tadi, orang yang dia zalim tadi. Kalau habis pahala orang tadi, akan diambil dosa dan dicampak ke atas kepala. ثم طرح في النار kemudian akan dicampak ke dalam neraka. Ini pesanan oleh Nabi yang begitu besar kepada kita. Kerana itulah, saya memberi peringatan, (dan saya memberi) tazkirah ini kepada semua muslimin dan muslimat. Tidak kira apa jenis kita ini, blogger ke, baru-baru nak belajar menulis ke, ahli-ahli facebook ke, wartawan ke, pembaca berita tak kira tv apa, semua kamu ingat, apa yang kamu kata, apa yang kamu tulis, kamu ingat main-main, "saya cuma baca skrip", وَتَحۡسَبُونَهُ ۥ هَيِّنً۬ا kamu ingat benda itu main-main, وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ۬ tapi, ia besar di sisi Allah. Kamu nak jadi orang muflis di akhirat? Dengan permainan-permainan alat-alat moden yang ada hari ini, duk reka cerita, ambil gambar orang, potong sana potong sini, akhir sekali keluar fitnah. Kamu ingat orang (yang) kena fitnah ini boleh tidur malam? Kamu ingat orang (yang) kena fitnah berdiam diri begitu sahaja? لا (tidak) Orang (yang kena) fitnah, orang yang kena zalim, doa orang yang kena zalim ini mustajab. Allah swt sebut لأنصرنّك ولو بعد حين (ertinya) "Aku akan memberi pertolongan, walaupun selepas beberapa ketika". Hari ini kita lihat, tidak kira orang hidup ataupun orang mati, semua tak selamat. Orang mati pun tidak selamat. Apabila ada tokoh ulama mati, semua orang mengeluarkan kenyataan, statement yang begitu dasyat. Tulis macam-macam kepada orang ini. Kita kena ingat, kita boleh keluarkan pandangan mereka yang bercanggah daripada kebenaran tapi jangan mencerca mereka. Dalam hadis Nabi saw berkata, لا تسبوا الأموات (ertinya) jangan kamu maki orang yang telah mati, فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا (ertinya) mereka telah pergi bawa apa yang mereka bawa. (Hadis riwayat Bukhari daripada Aisyah) Kalau dia bawa yang tak baik, dia berjumpalah dengan malaikat dalam kubur. Tak payah kamu yang jatuh hukum, biarkan mereka dengan amalan mereka. Kita tak payah jadi hakim, biarlah Allah azza wa jalla. Banyak hadis-hadis nabi yang mengarahkan kepada kita supaya jaga lidah. Nabi kita sendiri saw kata, ("إن اللعانين لا يكونون شفعاء ولا شهداء يوم القيامة" Dikeluarkan oleh Imam Muslim.) إن اللعانين orang yang suka melaknat orang, mencelaka orang لا يكونون شفعاء ولا شهداء يوم القيامة orang ini tidak boleh jadi saksi dan tidak boleh bagi syafaat pada hari kiamat. Dan hadis lain lagi, Nabi saw berkata, ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذيء orang mukmin bukan suka membuat tuduhan kepada orang. Hari ini, kita tengok penceramah-penceramah, masuk kampung-kampung dengan serban mereka, membuat tuduhan, maki orang, pagi sampai gelap, sekali-sekali boleh masuk dalam TV, buat cercaan kepada orang, subhanallahil 'azim. Kita boleh berbeza pandangan, kadang-kadang tuduhan yang dia tuduh bukan tuduhan yang besar. Benda yang masih dalam skop yang boleh berikhtilaf dalam kalangan ulama. Ulama-ulama besar boleh ikhtilaf dalam masalah ini, tapi, kita ulama kecil, kadang-kadang tidak ulama pun, tapi orang angkat sebagai ulama sebab boleh digunakan orang ini, maka kita bercakap lebih daripada para ulama. Mujtahidun pun tidak bercakap lebih daripada itu. Nabi kata (seperti hadis di atas), (adalah) bukan mukmin orang yang الطعان (iaitu) orang yang suka membuat tuduhan, ولا اللعان bukan juga orang yang suka melaknat orang, ولا الفاحش orang yang suka bercakap keji, cakap kotor, apa lagi hari ini duduk menyebarkan kekotoran, tunjuk video lucah sana-sini, tulis dalam surat khabar, sampai budak-budak pun pening, dia kata, "Apa cerita orang Malaysia ini?" Itu fitnah yang berlaku. Itu hadis At-Tirmidzi, ولا البذيء orang bercakap yang tidak baik. Dalam hadis lain, Nabi saw berkata, لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم سباباً ولا فحّاشاً ولا لعّاناً Nabi sendiri bukanlah seorang yang suka melaknat, bukan orang yang suka memaki, mencerca orang, tidak (Nabi bukan begitu). Jadi, kita belajarlah, banyak hadis yang mengatakan; dalam hadis Abu Daud mengatakan, يا معشر المسلمين wahai orang beriman, ataupun dalam riwayat (lain) يا معشر من آمن بلسانه wahai orang beriman dengan lidah dia, tapi tidak masuk dalam hati dia. (يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ) لا تتبعوا عورات المسلمين jangan sekali-kali mencari keaiban orang. Sesiapa yang suka mencari keaiban orang, duk memburukkan orang, duk menjatuhkan orang, يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ Allah akan mendedahkan keaibannya walau dalam rumahnya sendiri. Kita tengok hari ini macam mana, orang yang buat perbuatan-perbuatan seperti ini. Cuba kembali kepada sejarah. Kita lihat. Bila dia duduk sebelah ini, dia duduk kafirkan orang sebelah sini. Orang itu kafir, murtad, pergi ke jirat, hari ini dia duduk sebelah ini, dia kafirkan orang sebelah ini pula. Orang ini, mulut dia, kalau tak sebut kafir, tidak boleh duduk, boleh jadi tidak boleh makan puak-puak ini. Kita pula duk angkat, "Inilah tokoh pejuang, tokoh (lain-lain)" pejuang apa? Pejuang maki orang? Pejuang kutuk orang? Ini bukan pejuang, ini peruntuh agama. Duduk di mana-mana pun ghuluw. Nabi kata إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ, (lafaz penuh adalah إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ؛ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ) "Aku beri peringatan kepada kamu, jangan melampau dalam agama. Binasanya orang dulu-dulu, kerana melampau dalam agama." kononnya nak membela Islam, tapi, kita meruntuhkan Islam dengan adab kita, dengan akhlak kita, dengan sikap kita. Hari ini hendak mendakwa kalimah Allah swt, kononnya orang yang menyokong kalimah Allah swt ini kafir harbi, kafir harbi. Apakah kalimah Allah swt yang kamu hendak sokong? Sekadar tulisan? Kalau hendak sokong sungguh, ini perjuangan Islam. من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله Nabi kata, sesiapa yang berjuang menegakkan kalimah Allah, untuk meninggikan agama Allah, فهو في سبيل الله inilah barulah orang (yang bersikap) pejuang. Kalau setakat tulisan, itu bukan pejuang namanya. Dengan adab-adab dan akhlak yang kamu tunjuk, ini bukan pejuang kalimah, tapi orang yang nak meruntuhkan agama, sebenarnya. (Hadis sahih Muslim) Maka, berhati-hatilah. Mana-mana golongan yang melampau, melampau dalam membuat tuduhan kepada orang, samada mengkafirkan orang, menyesatkan orang, mengata itu mengata ini, semua ini kita perhatikan, tengok gelagat mereka, tengok tingkah laku mereka, apa perjuangan yang dia hendak sebenarnya. Tidak kira, pejuang Melayu, pejuang Arab, sama sahaja. Nabi saw kata Nabi kita larang daripada perjuangan bangsa, Nabi sebut دعوها فإنها منتنة orang ini dikira orang yang busuk, orang yang menyeru kepada perkauman. (Hadis riwayat Bukhari) Jadi, alhamdulillah, dalam Islam, banyak adab yang mengajar kepada kita. Yang pertama, jaga lidah. ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد Tidak ada satu lafaz, tidak ada perkataan yang kita tulis, tidak ada tuduhan yang dibuat, semuanya ada rakib atid, ada malaikat yang menulis amalan dan semuanya akan dikira di hadapan Allah azza wa jalla. (Surah Qaf ayat 18) Pernah seorang datang menemui syeikh Abdullah ibnu Al-Mubarak. Dia duduk (men)cerca seseorang di hadapan Syeikh Ibnu Al-Mubarak. Syeikh (Ibnu Al-Mubarak) itu pun (ber)kata, "Hei saudara, kamu pernah pergi berperang melawan Rom?" Lelaki ini kata "Tidak". (Syeikh Ibnu Al-Mubarak kata), "kamu pernah pergi berperang melawan Parsi?" Dia kata "Tidak". Syeikh Ibnu Al-Mubarak kata, "Subhanallah, orang kafir (iaitu) Rom dan Parsi selamat daripada kamu, tapi saudara kamu orang Islam tidak selamat daripada kamu." Hati-hatilah kita para jemaah, daripada menjadi orang yang tidak selamat (seperti yang disebut dalam hadis) المسلم من سلم الناس من لسانه ويده. (Maksudnya:) Orang Islam itu, (adalah) orang yang orang Islam lain selamat daripada lisannya dan tangannya. (Petikan hadis riwayat Ahmad, disahihkan oleh Syeikh Arnaut) Kalau kita menjadi orang Islam yang mencerca, memaki orang, maka kita belum lagi benar-benar seorang Islam. Semoga tazkirah saya ini, memberi kesedaran kepada diri saya sendiri, supaya bersikap adil dalam menangani masalah dalam umat ini. Dan para pendengar bersikap adillah kita dalam membuat penilaian. Jangan melampau dalam perkara ini, kerana binasa umat dahulu kerana melampau, dan binasa umat ini juga kerana melampau. Janganlah kita mendedahkan keaiban orang , janganlah sampai Allah mendedahkan keaiban kita walaupun dalam rumahnya. Assalamualaikum wbth. |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan