Jangan Tertipu Kehidupan Dunia dan Melupakan Akhirat!
Banyak
manusia yang tertipu oleh kehidupan dunia. Mereka bekerja begitu keras
bahkan sampai 12 jam lebih sehari hanya untuk kebahagiaan di dunia.
Namun sayangnya banyak yang tidak menyisakan setengah jam pun untuk
kehidupan akhirat dengan zikir dan beribadah kepada Allah.
“(yaitu) orang-orang yang
menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan
kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami
melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan
hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”
[Al A’raaf:51]
Bahkan ada yang tidak mau mengingat
Allah sama sekali dan menganggap kehidupan akhirat hanyalah kebohongan
yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang fanatik agama.
Mereka tahu kematian pasti menimpa
siapa saja. Namun mereka tidak pernah mengingat mati dan tidak percaya
pada kehidupan sesudah mati.
“Hai manusia, sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia
memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai
menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” [Faathir:5]
Padahal akhirat itu adalah janji Allah yang benar.
“Hai golongan jin dan manusia,
apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri,
yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu
terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: “Kami menjadi
saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan
mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir.” [Al An’aam:130]
Para ahli menyatakan bahwa matahari
telah membakar separuh gasnya untuk menyinari planet-planetnya. Satu
saat gas itu akan habis sehingga bukan hanya padam, namun juga gaya
gravitasi yang mempertahankan jarak matahari dengan bumi akan rusak
sehingga bisa bertumbukan. Tanda-tanda hari kiamat di mana bumi akan
sangat dekat dengan matahari membenarkan itu. Kehancuran bumi sudah
tidak diragukan lagi.
Setelah Kiamat, hari akhiratlah yang kita jelang.Akhirat itu/Surga lebih baik dan lebih kekal:
”Sungguh hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada dunia” [Adh Dhuhaa:4]
”Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” [Al A’laa:17]
Selain surga, ada pula neraka bagi
orang-orang kafir dan zalim. Mereka yang korupsi, suka mengambil harta
orang lain, menganiaya orang lain, membunuh, memerkosa. Jika tidak
bertaubat niscaya mendapat siksa neraka yang amat pedih.
Banyak orang yang menumpuk harta dan
berbangga tentang banyaknya harta dan anak. Padahal hidup manusia di
dunia rata-rata tidak lebih dari 70 tahun. Setelah itu mereka mati dan
masuk ke dalam lobang kubur. Jabatan, Harta dan anak tak berguna lagi
bagi mereka ketika sudah dikubur.
Bagi yang tidak mau mengingat Allah dan melalaikan sholat, ada siksa kubur yang menunggu mereka:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu
lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al
Haddid:20]
Jadi, tetaplah bekerja. Namun
jangan melupakan akhirat. Bagaimana pun juga akhirat lebih baik dan
lebih kekal. Akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya. Dunia hanya
sekedar tempat kita lewat. Tempat kita untuk bekerja dan beribadah
sehingga memiliki bekal yang cukup untuk di akhirat.
Saya akan membawa pembaca melihat bagaimanakah kita sebagai generasi muda dapat mengenal dunia agar kita tidak tertipu dengannya.
Allah SWT pernah berfirman yang bermaksud: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”(Surah Al-Ankabut 64).
Ketika saya bertemu dengan anak-anak muda dalam setiap usrah santai anak muda yang saya hadiri, pasti saya akan menyentuh skitar perbicaraan berkenaan apa ertinya kita hidup di atas muka bumi ini.
Sidang pembaca, semasa hidup di dunia inilah kita dapat menilai dengan akal fikiran yang dikurniakan oleh Allah SWT kepada kita. Apakah bekalan yang kita akan bawa ke negeri akhirat yang kekal abadi. Apakah kita bakal mendapat rahmat atau azab di alam barzakh dan di alam akhirat nanti. Jika kita termasuk di dalam golongan yang mendapat azab, maka tidak berguna sesalan di waktu itu. Walaupun kita menangis mengeluarkan air mata darah sekalipun, kita tidak lagi akan diberi peluang hidup kembali ke alam dunia ini.
Oleh itu, sepatutnya kita sentiasa mengingati mati, kerana Nabi Muhammad S.A.W telah bersabda:- Ertinya: Perbanyakan olehmu mengingati perkara yang memutuskan kesedapan iaitu mati.
Nabi Muhammad S.A.W mengingatkan kita supaya jangan kita lalai dengan kesedapan dunia sehingga kita lupakan mati. Mati itu akan memutuskan segala kelazatan dunia. Jika kita lupakan mati, kita juga akan lupakan persiapan dan bekalan yang akan kita bawa sesudah mati. Mengingati mati adalah di antara ubat yang mujarab untuk kita sentiasa dalam keadaan bermuhasabah diri dan bersedia untuk mencari bekalan untuk dimanfaatkan sesudah mati.
Mengingati mati juga akan menjadikan kita tidak tamakkan dunia dan haloba di atas mengumpulkannya. Serta kita boleh pendekkan angan-angan untuk meluaskan kekayaan diri dan boleh memendekkan cita-cita untuk mengejarkan segala perkara yang boleh mendatangkan lalai kepada perintah Allah SWT. Juga agar tidak dihinggapi penyakit cintakan dunia ke dalam hati kita.
KITA PERLU KENALI DUNIA AGAR KITA TIDAK TERTIPU DENGANNYA
Dunia itu ialah sesuatu yang tidak ada manfaat di akhirat. Adalah seorang yang amat rugi sekiranya anggota zahirnya bergelumang dengan dunia tetapi dia menyangka dunia itu tidak memberikan kesan kepada hatinya. Orang yang menyangka seperti demikian itu adalah orang yang tertipu walaupun dia beramal dengan amalan apa sekalipun. Walaupun kita sering kali tertewas di dalam peperangan melawan nafsu, tetapi kita mesti memahami bahawa setiap perkara maksiat itu akan mengelapkan hati.
Kita mestilah menerima hakikat ini walaupun ia terkena pada diri kita sekalipun. Jatuh bangun di dalam perjalanan adalah satu lumrah kepada orang-orang yang berjalan menunju akhirat. Janganlah kita merasa ujub dengan amalan sendiri tetapi terimalah hakikat bahawa kita hanyalah makhluk yang tidak dapat tidak mesti bergantung harap kepada Al Khalik, iaitu Allah SWT . Nabi Muhammad S.A.W bersabda:-
Ertinya:- Jikalau dunia itu menyamai di sisi Allah SWT dengan sebelah sayap nyamuk, nescaya tidak akan diberi minum orang – orang kafir walau seteguk air.
Hadis ini telah menggambarkan betapa hinanya dunia ini di sisi Allah SWT, Sesiapa yang mengambil sekadar hajat untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah SWT , maka dia tidak tertipu dengan dunia dan barangsiapa yang mengambilnya berlebih-lebihan dengan kadar hajatnya sehingga ia lalai daripada beribadat kepada Allah SWT maka dia adalah orang yang tertipu dengan dunia.
Dunia ini terlalu memperdayakan manusia kerana elok rupa zahirnya. Tidaklah para anbia’ dan aulia’ bergantung dengan dunia melainkan sekadar menolong mereka untuk beribadah kepada Allah SWT.
Marilah sedaya upaya kita berusaha untuk mencontohi kehidupan para anbia’ dan aulia’ yang mana mereka itu menjadikan dunia hanyalah sebagai alat bukanya matlamat. Oleh sebab itu, kita perlu sedar bahawa di hujung kehidupan ini adalah kematian. Kematian yang entah bila akan muncul. Jika kita sentiasa sedar bahawa di hujung kehidupan ini adalah kematian, kita tidak akan menjadi orang yang terlalu sibuk menghimpunkan harta dan tidak terlalu tamak terhadap dunia.
Ingatlah empat perkara-perkara menjadi racun pembunuh dan Ingatlah ubat-ubatnya
Sesungguhnya :
1. Dunia itu racun yang membunuh, zuhud itulah ubatnya.
2. Harta itu racun yang membunuh, zakat itu adalah ubatnya.
3. Berkata-berkata yang sia-sia itu racun yang membunuh, taat itulah ubatnya.
4. Sekalian tahun itu racun yang membunuh, bulan Ramadhan itulah ubatnya.
Jika kita dapat menggunakan ubat ubat itu dengan baik maka kita akan berjaya melepaskan diri daripada racun- racun yang membunuh itu.
Bisa racun- racun itu merosakkan jiwa dan seterusnya akan membunuhnya. Sehingga hati menjadi mati. Apabila hati sudah mati maka kebenaran dan kebatilan adalah sama sahaja di sisinya. Sudah tidak ada bezanya di antara dosa dan pahala yang penting memuaskan nafsu syahwat. Inilah di antara gambaran dunia yang fana ini. Moga-moga Allah SWT mencampakkan ke dalam hati kita sifat zuhud. Agar tidak terpedaya dengan godaan dunia.
Para Ulama’ menyatakan jika kita ada di rumah, biarlah rumah di atas tapaknya tidak masuk ke dalam hati. Kalau kita ada kereta, biarlah kereta itu ada di bangsalnya tidak dapat masuk ke dalam hati. Kalau kita ada harta biarlah harta itu di tempatnya dan tidak masuk ke dalam hati.
Itulah zuhud pada maknanya, orang-orang berharta juga boleh berzuhud dengan dunia, maka zuhud itu masalah hati. Semoga Allah SWT membimbing kita di dalam menjalani kehidupan di akhirat.
KITA PERLU SABAR MENGHADAPI UJIAN DUNIA
Sebelum kita menemui kematian kita akan tempuhi pelbagai ujian dan dugaan di dalam dunia ini. Dunia ini adalah tempat ujian . Tidak ada manusia yang tidak menempuhnya. Maka sabar adalah senjata utama menghadapi segala ujian di dunia ini. Semoga Allah SWT menjadikan kita dari kalangan hambaNya yang sabar.
Sabar adalah menahan diri daripada marah kepada sesuatu yang tidak disukai seperti ditimpa musibah. Sabar juga adalah dapat menahan lidah dari mengadu sesuatu kesusahan kepada orang lain terlebih dahulu sebelum mengadu kepada Allah SWT. Di antara penghalang kepada seseorang untuk bersabar adalah sifat besar diri atau ego. Orang yang bersifat ego ini tidak akan mampu untuk menahan sabar, Contohnya seorang yang berjawatan tinggi, apabila kedudukannya diganti oleh orang lain, dia tidak boleh menerimanya kerana menganggap dirinya lebih layak. Maka dia tidak akan mampu bersabar.
Sayyidina Ali R.A menyatakan bersabar itu ada tiga jenis :
Pertama : sabar di dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua : sabar menahan diri daripada melakukan maksiat.
Ketiga : sabar ketika menerima musibah.
Sesiapa yang sabar di dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT . Maka Allah SWT akan memberikan kepadanya seratus darjat yang mana setiap darjat jauhnya antara langit dan bumi. Demikian jugalah sabar dalam meninggalkan maksiat. Sesiapa yang bersabar ketika menerima musibah maka Allah SWT akan mengurniakannya pahala yang tidak terhitung. Semua kurniaan ini akan kita dapati di akhirat kelak.
Biarlah kita susah sedikit di dunia ini, bersabar sedaya upaya yang mampu, kerana kita tidak akan mampu bersabar dengan azab Allah SWT di dalam kubur dan alam akhirat. Sungguh penting sekali sifat sabar bagi kita yang sedang berjalan ke alam akhirat, kerana di dalam perjalanan ini kita akan berdepan dengan ranjau dan duri serta halangan-halangan yang boleh merosakkan diri dan jiwa kita. Bersama-samalah kita memohon pertolongan Allah SWT.
Semoga segala panduan di atas dapat kita amalkan dan yang paling utama, jangan kita lupa untuk meminta pada Allah agar dipermudahkan segala urusan dunia dan akhirat kita. Semoga Allah bersama kita sentiasa.
Saya mendoakan agar kita semua terus diberi hidayah dari Allah SWT, agar dapat kita menjadi pemuda yang dicintai Allah SWT.
InsyaAllah bertemu lagi dengan saya dalam keluaran seterusnya, Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.
Khutbah Jumat ini berisi nasihat agar kita tidak terlena dengan kenikmatan yang kita peroleh di dunia. “Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan.” (Qs.. Hûd/11: 15-16). [Redaksi khotbahjumat.com]
***
Peringatan Agar Tidak Tertipu dengan Kenikmatan Dunia
Khutbah Jumat Pertama
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَجَعَلَ لِلْوُصُوْلِ إِلَيْهِ
طَرَائِقَ وَاضِحَةً وَسُبُلاً , وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , شَهَادَةً نَرْجُوْبِهَا عَالِيَ
الْجَنَّاتِ نُزُلاً , وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ,
أَقْوَمُ الْخَلْقِ دِيْنًا وَأَهْدَاهُمْ سُبُلاً , صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ , وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Amma ba`du,Wahai kaum muslimin, sesungguhnya telah datang bagi manusia suatu masa, di mana pada waktu itu dia merupakan sesuatu yang belum bisa disebut. Kemudian Allah Subahanahu wa Ta’ala menciptakan kita, menyempurnakan nikmat-nikmatnya, menghindarkan bencana, dan memberikan kemudahan, serta menjelaskan semua yang bermanfaat dan berbahaya bagi kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa manusia itu memiliki dua negeri, yaitu negeri tempat berjalan dan menyeberang, dan negeri tempat menetap dan hidup abadi. Negeri tempat menyeberang adalah alam dunia ini. Negeri yang segala sesuatunya terdapat kekurangan, kecuali yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Angan-angan dunia adalah suatu penyesalan, kejernihannya adalah suatu kekotoran. Sekiranya orang yang berakal melihat sedikit saja, pasti dia akan mengetahui kadar dan kehinaannya serta tipudayanya. Dunia itu terlihat seperti fatamorgana. Orang yang kehausan mengira itu adalah air, padahal apabila dia mendekatinya, dia tidak akan memperoleh apa-apa. Dunia juga dihiasi dengan berbagai macam kemegahan dan sesuatu yang menggiurkan. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَآ أَخَذَتِ اْلأَرْضُ زُخْرُفُهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَآ أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَآ أَتَاهَآ
أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ
تَغْنَ بِاْلأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai
(pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam
atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman
yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang
berfikir.” (Q.s. Yûnus/10: 24)Jadi, akhir dunia ini adalah ketiadaan dan kebinasaan. Keindahannya adalah petaka dan penyesalan. Inilah dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ
وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ
يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ
عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَاالْحَيَاةُ
الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian
menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.s. Al-Hadîd/57: 20).Wahai kaum muslimin, sedangkan akhirat adalah negeri dan kehidupan yang hakiki. Kehidupan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kehidupan, seperti keabadian, kesenangan dan kedamaian. Dan kesenangan di sana adalah hakiki. Apabila manusia melihat hakikat sebenarnya. Ia akan mengatakan, “Aduhai baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidup ini.” Jadi, kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, tempat manusia hidup dan mereka tidak akan mati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ
خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka
itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan
timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri, mereka kekal di dalam neraka jahannam. Muka mereka dibakar api
neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat.” (Q.s. al-Mukminûn/23: 102-1032).Wahai kaum muslimin, marilah kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, melihat dunia ini dengan pandangan orang yang berakal, membandingkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, agar kita mengetahui perbedaan kedua negeri tersebut. Di negeri akhirat terdapat semua yang diinginkan oleh manusia dan nikmati oleh mata. Surga adalah darus salâm (kampung kedamaian), yang terlepas dari berbagai kekurangan, bala`, penyakit, kematian, kesusahan maupun usia yang tua. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمَوْضِعُ سَوْطٍ أَحَدِكُمْ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Sesungguhnya tempat cemeti kalian di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (H.r. Ahmad no. 21732).Ini adalah ucapan seorang nabi yang jujur lagi dipercaya. Sesungguhnya tempat tongkat di surga itu lebih baik dari dunia ini semuanya, dari awal hingga akhirnya dengan segala kenikmatan dan kemewahan yang ada di dalamnya. Apabila ini saja lebih baik dari dunia semuanya, lantas kiranya kenikmatan apa yang kita dapatkan di dunia ini dengan waktu yang sangat singkat.
Wahai kaum muslimin, sungguh mengherankan sekali ada kaum yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat. Padahal akhirat itu lebih baik dan kekal. Mereka lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat. Mereka mencari dunia dan meninggalkan amal akhirat. Meraka sangat berambisi untuk mendapatkan dunia dan melewatkan apa yang Allah Subahanahu wa Ta’ala wajibkan kepada mereka. Mereka tenggelam dalam hawa nafsu dan kelalaian. Mereka melupakan rasa syukur kepada zat yang telah memberikan nikmat kepada mereka. Ciri-ciri mereka yaitu bermalas-malasan mengerjakan salat dan merasa berat untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala. Di dunia ini mereka berani bermuamalah riba yang mereka perindah namanya, atau dengan riba yang terang-terangan tanpa peduli sedikitpun dengan dosa di akhirat kelak. Mereka berbohong dalam setiap pembicaraan, tidak menunaikan janji-janji mereka, tidak berbuat baik kepada orang tua dan tidak menyambung silaturahmi.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ ,
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله َلِيْ وَلَكُمْ
وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ , فَاسْتَغْفِرُوْهُ
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Jumat Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ
نَسْتَغْفِرُهُ وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَاِلنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ
رَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
Wahai kaum muslimin, sesungguhnya orang yang lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, dia akan mendapatkan kenikmatan dunia dan akhirat. Karena amalan akhirat itu mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dan dia tidak melewatkan dunia ini sedikitpun. Sesungguhnya siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala, pasti Allah Ta’ala akan memberikan ganti yang lebih baik darinya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl/16: 97)
Sebaliknya, orang yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat, maka dia terkadang diberikan dunia, akan tetapi dia tidak mendapat bagian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ
وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs.. Hûd/11: 15-16).Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang lebih mengutamakan akhirat daripada dunai, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan dia akhirat serta jagalah kami dari api neraka.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاَّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, وَأَقِمِ الصَّلاَة
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاَّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, وَأَقِمِ الصَّلاَة
Jangan Tertipu Keindahan Dunia |
Monday, 20 December 2010 15:15 | |
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas (QS al-Baqarah [2]: 212). Gemerlap dunia memang indah. Berbagai kenikmatan di dalamnya juga dapat melenakan. Bagi orang-orang yang tidak meyakini akhirat, kenikmatan dunia adalah segala-galanya. Seandainya bisa, niscaya mereka akan mengejarnya hingga habis tak bersisa. Namun sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa sikap itu akan berbuah sengsara. Di akhirat kelak, siksaan pedih akan didapatkan. Berbahagialah orang yang menjalani kehidupan dengan panduan petunjuk-Nya. Realitas ini digambarkan dalam ayat di atas. Orang Kafir Tertipu Dunia Allah SWT berfirman: Zuyyina li al-ladzîna kafarû al-hayâtu al-dunyâ (kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir). Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan al-ladzîna kafarû adalah kaum musyrik Arab, seperti Abu Jahal dan tokoh-tokoh musyrik lainnya. Sebagian lainnya lebih memilih bahwa orang kafir di sini mencakup seluruh orang kafir. Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Sebab, lafadz al-ladzîna kafarû bersifat umum sehingga mencakup semua orang ber-status kafir. Diberitakan dalam ayat ini, kehidupan dunia dibuat terlihat indah oleh mereka. Kata zuyyina merupakan bentuk mabniyy li al- majhûl (kata kerja yang tidak disebutkan pelakunya). Berasal dari kata zayyana, yang menurut al-Raghib al-Asfahani berarti menampakkan kebaikan. Sihabuddin al-Alusi juga memaknainya “diwujudkan kebaikan dan dijadikan kecintaan dalam hati mereka”. Itu artinya, kehidupan dunia di mata orang-kafir demikian indah, hingga hati mereka benar-benar terpaut dengannya. Menurut al-Zamakhsyari, al-muzayyin (yang membuat indah) kehidupan indah bagi orang kafir itu adalah syetan. Di samping syetan, menurut al-Syaukani juga jiwa yang kuat mencintai dunia. Dalam ayat lainnya memang diberitakan bahwa tindakan itu merupakan tekad yang diikrarkan iblis ketika dirinya diusir dari surga. Ucapan makhluk terlaknat disitir dalam firman-Nya: Iblis berkata, "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (TQS al-Hijr [15]: 39). Bahwa kehidupan dunia terlihat indah, memang demikianlah faktanya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (TQS al-Kahfi [18]: 46). Allah juga tidak melarang manusia untuk mengecap kenikamatan dunia. Allah berfirman: Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengha-ramkan) rezeki yang baik?" (TQS al-A'raf [7]: 32). Kendati demikian, keindahan dan kenikmatan dunia itu tidak boleh membuat manusia menjadi terlena dan berpaling dari ibadah kepada Allah SWT. Lupa kehidupan akhirat sehingga tidak menyiapkan amal shalih sebagai bekalnya. Bahkan demi memperoleh kenikmatan dunia itu, berani menabrak ketentuan syariah-Nya. Sikap inilah yang terjadi pada orang kafir. Kecintaan berlebihan kaum kafir terhadap dunia digambarkan dalam banyak ayat lainnya. Mereka suka menumpuk dan menghitung-hitung harta karena mengira itu dapat membuatnya kekal (lihat QS al-Humazah [104]: 5). Mereka juga bermegah-megahan dan berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Padahal semua itu bersifat fana dan dapat musnah sewaktu-waktu. Mereka telah tertipu. Sebab, kehidupan dunia memang hanyalah kesenangan yang menipu (lihat QS al-Hadid [57]: 20). Tidak hanya tertipu oleh keindahan dunia, mereka pun menganggap hina kaum Muslim. Allah SWT berfirman: wa yaskhar-ûna min al-ladzîna âmanû (dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman). Dalam menjalani kehidupannya di dunia, orang Mukmin terikat de-ngan berbagai ketentuan syariah. Segala yang haram, seperti riba, khamr, zina, dll, dijauhi meskipun tampak menyenangkan. Seorang Mukmin juga disibukkan oleh berbagai aktivitas ibadah, dakwah, jihad, dan urusan akhirat. Pola kehidupan seperti ini sudah barang tentu membuat orang kafir itu merasa geli. Terlebih ketika melihat sebagian kaum Muslim yang miskin. Mereka pun mengang-gapnya hina dan rendah, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh musyrik Arab terhadap Ibnu Mas'ud, Ammar bin Yasin, Suhaib, Bilal, dll. Tak hanya itu, mereka bahkan menyebut kaum Muslim sebagai orang yang sesat (lihat QS al-Muthaffifin [83]: 32). Orang Mukmin Lebih Tinggi Tudingan mereka itu jelas salah besar. Yang terjadi justru sebaliknya. Bukan kaum Muslim rendah dan sesat, namun merekalah justru yang rendah dan sesat. Allah SWT berfirman: wa al-ladzîna [i]ttaqaw fawqahum yawm al-qiyâmah (padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat). Orang-orang yang bertakwa adalah orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang taat terhadap semua ketentuan syariah. Ditegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang bertakwa itu fawqahum pada hari kiamat. Menurut al-Syaukani, kata fawqahum (di atas mereka) di sini bermakna al-'uluww fî al-darajah (ketinggian dalam derajat). Sebab, orang-orang bertakwa berada di surga, sebaliknya orang-orang kafir tinggal di neraka. Dijelaskan al-Zamakhsyari, disebutkannya al-ladzîna [i]ttaqaw sesudah al-ladzîna âmanû menunjukkan, tidak ada yang memperoleh kebahagiaan kecuali orang Mukmin yang ber-takwa. Penyebutan itu juga sekaligus memberikan dorongan kepada kaum Mukmin agar dia bertakwa tatkala mendengar berita itu. Kehidupan akhirat merupakan dâr al-jazâ (negeri pembalasan). Dan balasan itu benar-benar adil. Orang-orang kafir yang selama di dunia diberikan banyak harta, anak, dan kekuasaan, di akhirat dihukum dengan azab yang pedih. Hukuman itu sebagai balasan atas semua kejahatan yang dilakukan. Sementara, orang Muslim yang semasa di dunia ada yang lemah dan miskin, nasibnya berubah total. Maka mereka pun balik menertawakan kaum kafir. Allah SWT berfirman: Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir (TQS al-Muthaffifin [83]: 34). Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: wal-Lâh yarzuqu man yasyâ' bi ghayri hisâb (dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas). Menurut Ibnu 'Ab-bas ra, sebagaimana dikutip al-Khazin, frase ini bermakna: Allah SWT memberikan rezeki yang amat banyak. Sebab, kata bi ghayri hisâb bermakna katsîr (banyak). Sebaliknya, jika dapat dihitung berarti qalîl (sedikit). Maknanya: Allah SWT meluaskan rezeki-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dengan penegasan ini, kaum Muslim tak perlu bersedih hati ketika ditimpa kemiskinan. Sebaliknya, ketika mendapatkan rezeki melimpah, juga tidak boleh sombong dan lupa diri. Sebab, otoritas pemberian rezeki mutlak di tangan Allah SWT. Dialah yang meluaskan atau menyempitkan rezeki kepada man yasyâ' (orang-orang yang dikehendaki-Nya). Demikianlah sikap kaum kafir dalam memandang kehidupan dan kaum Muslim. Semoga kita tidak terpengaruh oleh pandangan dan gaya hidup mereka yang menyesatkan. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.
|
Inilah Tanda-tanda Hati yang Tertipu Dunia
Oleh : - | Selasa, 3 Februari 2015 | 11:15 WIB
(Foto: ilustrasi)
1. Anda tidak bersiap siap saat waktu shalat akan tiba.
2. Anda melalui hari ini tanpa sedikitpun membuka lembaran Al Qur'an lantaran Anda terlalu sibuk.
3. Anda selalu berpikir setiap waktu bagaimana caranya agar harta Anda semakin bertambah.
4. Anda marah ketika ada orang yang memberikan nasihat bahwa perbuatan yang Anda lakukan adalah haram.
5. Anda terus menerus menunda untuk berbuat baik / beramal shaleh "Aku akan mengerjakannya besok, nanti, dan seterusnya."
6. Anda selalu mengikuti perkembangan gadget terbaru dan selalu berusaha memilikinya.
7. Anda sangat tertarik dengan kehidupan para selebritas.
8. Anda sangat kagum dengan gaya hidup orang-orang kaya.
9. Anda ingin selalu menjadi pusat perhatian orang.
10. Anda selalu bersaing dengan orang lain untuk meraih cita-cita duniawi.
11. Anda selalu merasa haus akan kekuasaan dan kedigdayaan dalam hidup, dan perasaan itu tidak dapat dibendung.
12. Anda merasa tertekan manakala Anda gagal meraih sesuatu.
13. Anda tidak merasa bersalah saat melakukan dosa-dosa kecil.
14. Anda tidak mampu untuk segera berhenti berbuat yang haram, dan selalu menunda bertaubat kepada Allah.
15. Anda tidak kuasa berbuat sesuatu yang diridhai Allah hanya karena perbuatan itu bisa mengecewakan orang lain.
16. Anda sangat perhatian terhadap harta benda yang sangat ingin Anda miliki.
17. Anda merencanakan kehidupan hingga jauh ke depan.
18. Anda menjadikan aktivitas belajar agama sebagai aktivitas pengisi waktu luang saja, setelah sibuk berkarir.
19. Anda memiliki teman-teman yang kebanyakannya tidak bisa mengingatkan Anda kepada Allah.
20. Anda menilai orang lain berdasarkan status sosialnya di dunia.
21. Anda melalui hari ini tanpa sedikitpun terbersit memikirkan kematian.
22. Anda meluangkan banyak waktu sia-sia melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat.
23. Anda merasa sangat malas dan berat untuk mengerjakan suatu ibadah.
24. Anda tidak kuasa mengubah gaya hidup Anda yang suka berfoya-foya, walaupun Anda tahu bahwa Allah tidak menyukai gaya hidup seperti itu.
25. Anda senang berkunjung ke negeri-negeri kafir.
26. Anda diberi nasihat tentang bahaya memakan harta riba, akan tetapi Anda beralasan bahwa beginilah satu satunya cara agar tetap bertahan di tengah kesulitan ekonomi.
27. Anda ingin menikmati hidup ini sepuasnya.
28. Anda sangat perhatian dengan penampilan fisik Anda.
29. Anda meyakini bahwa hari kiamat masih lama datangnya.
30. Anda melihat orang lain meraih sesuatu dan Anda selalu berpikir agar dapat meraihnya juga.
31. Anda ikut menguburkan orang lain yang meninggal, tapi Anda sama sekali tidak memetik pelajaran dari kematiannya.
32. Anda ingin semua yang Anda harapkan di dunia ini terkabul.
33. Anda mengerjakan shalat dengan tergesa-gesa agar bisa segera melanjutkan pekerjaan.
34. Anda tidak pernah berpikir bahwa hari ini bisa jadi adalah hari terakhir Anda hidup di dunia.
35. Anda merasa mendapatkan ketenangan hidup dari berbagai kemewahan yang Anda miliki, bukan merasa tenang dengan mengingat Allah.
36. Anda berdoa agar bisa masuk surga namun tidak sepenuh hati seperti halnya saat Anda meminta kenikmatan dunia...
Hidup di dunia hanya sebentar dan tipuan belaka. Sudahkan siap bekal anda di akhirat kelak ? [ ]
Jangan Terpikat dengan Dunia
(5297 Views) November 17, 2011 2:56 am | Published by Redaksi |
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah )
Allah l berfirman:
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t dalam Tafsir-nya, “Allah l mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah l terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia1. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah l. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Kemudian Allah l memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah l yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah c berkisah, “Rasulullah n melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah n kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah n pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah k telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka n hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah l sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.
Rasulullah n pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar c, sambil memegang pundak iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar c pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul n di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan, beliau c merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud z pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar c.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)
Ibnu Baththal t menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar c di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi t berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud z melihat Rasulullah n tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab z pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah n sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar z berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah2.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab z berkata kepada Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah k.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia3?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad z berkata, “Rasulullah n bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Mereka yang tertipu dengan dunia.
2 Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab z:
Allah l berfirman:
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t dalam Tafsir-nya, “Allah l mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah l terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia1. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah l. Adapun janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Kemudian Allah l memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita-cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah l yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan-akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)
Jabir bin Abdillah c berkisah, “Rasulullah n melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا:وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah n kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah n pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah k telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka n hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah l sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.
Rasulullah n pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar c, sambil memegang pundak iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar c pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul n di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan, beliau c merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud z pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar c.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)
Ibnu Baththal t menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar c di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi t berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud z melihat Rasulullah n tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab z pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah n sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar z berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah2.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab z berkata kepada Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah k.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia3?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad z berkata, “Rasulullah n bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Mereka yang tertipu dengan dunia.
2 Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab z:
فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيكَ، يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لَا أَبْكِي وَهَذَا
الْـحَصِيرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لَا أَرَى
فِيهَا إِلَّا مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ
وَالْأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya,
“Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab,
“Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar
ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali
sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan
kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal
engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah
dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
3 Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah k berfirman:
“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka,
kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup
(rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian
telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas
dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di
muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf:
20)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan