2015: Harga RON95 RM1.91, RON97 RM2.11 diesel RM1.93
KUALA LUMPUR:
Harga runcit bagi petrol RON 95 dan RON 97 diturunkan sebanyak 35 sen,
masing-masing kepada RM1.91 seliter dan RM2.11 seliter, mulai 1 Januari
2015.
Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan Datuk Seri Hasan Malek berkata harga runcit bagi diesel pula diturunkan sebanyak 30 sen kepada RM1.93 seliter.
Pada Disember 2014, harga runcit bagi RON 95, RON 97 dan diesel pada RM2.26 seliter, RM2.23 seliter dan RM2.46 seliter.
"Harga-harga bagi petrol dan diesel ini dibuat berdasarkan kepada purata harga kos produk sepanjang bulan Disember 2014 dan kadar pertukaran mata wang," katanya dalam satu kenyataan di sini Rabu malam.
Beliau berkata kerajaan akan mengikuti perkembangan pasaran harga kos produk dan kadar pertukaran mata wang setiap masa untuk menetapkan harga runcit petrol dan diesel bagi bulan-bulan berikutnya.
"Semua syarikat minyak serta pengusaha stesen minyak diingatkan agar mematuhi penetapan harga baru ini dan tindakan tegas akan diambil bagi mereka yang melanggar peraturan harga baharu ini," tambahnya. - Bernama
Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan Datuk Seri Hasan Malek berkata harga runcit bagi diesel pula diturunkan sebanyak 30 sen kepada RM1.93 seliter.
Pada Disember 2014, harga runcit bagi RON 95, RON 97 dan diesel pada RM2.26 seliter, RM2.23 seliter dan RM2.46 seliter.
"Harga-harga bagi petrol dan diesel ini dibuat berdasarkan kepada purata harga kos produk sepanjang bulan Disember 2014 dan kadar pertukaran mata wang," katanya dalam satu kenyataan di sini Rabu malam.
Beliau berkata kerajaan akan mengikuti perkembangan pasaran harga kos produk dan kadar pertukaran mata wang setiap masa untuk menetapkan harga runcit petrol dan diesel bagi bulan-bulan berikutnya.
"Semua syarikat minyak serta pengusaha stesen minyak diingatkan agar mematuhi penetapan harga baru ini dan tindakan tegas akan diambil bagi mereka yang melanggar peraturan harga baharu ini," tambahnya. - Bernama
Bulan Muharram
بسم الله الرحمن الرحيم
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ
الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ ». وَفِي رِوَايَةٍ: ( اَلصَّلاَةُ فِي
جَوْفِ اللَّيْلِ )
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram, dan
shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Yaitu shalat di tengah malam.” (HR. Muslim)Hadis di atas menunjukkan keutamaan puasa Muharram, dan keutamaannya menduduki posisi kedua setelah puasa Ramadhan. Demikian juga menunjukkan keutamaan bulan Muharram karena disebut sebagai bulan Allah.
Bulan Muharram disebut sebagai bulan Allah sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini, karena Allah tidaklah menyandarkan sesuatu kepada-Nya kecuali karena keistimewaannya, seperti Baitullah (rumah Allah), rasulullah (utusan Allah) dsb.
Telah terjadi kesepakatan di zaman khalifah Umar bin Khathtab bahwa bulan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah.
Bulan Muharram adalah salah satu di antara empat bulan haram (yang dihormati). Empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (QS. At Taubah : 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ .”
رواه البخاري
“Setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram;
tiga berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, sedangkan
Rajab Mudhar antara Jumada (Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari)Bulan ini dinamakan “Muharram” yang artinya “diharamkan” untuk memperkuat keharamannya melakukan dosa di bulan tersebut. Ibnu Abbas mengatakan dalam menafsirkan ayat “maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan-bulan) itu” :
“(Yakni) di seluruh bulan itu, kemudian Allah mengkhususkan di antara bulan-bulan itu yaitu empat bulan, dijadikan-Nya bulan yang empat itu haram serta dimuliakan-Nya kehormatan bulan-bulan itu. Dia pun menjadikan dosa di bulan haram itu lebih besar dosanya (dibanding bulan lainnya), dan beramal saleh di bulan-bulan itu lebih besar pahalanya.”
Bulan Muharram, Bulan Hijriah bagi umat Islam
Allah Ta’ala menjadikan bulan sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, firman-Nya:Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Tanda awal dan akhir bulan-bulan tersebut dapat diketahui dengan mudah oleh manusia. Namun sayang, kebanyakan kaum muslimin meninggalkan kalender Hijriah ini dan menggunakan kalender Masehi. Hal ini merupakan tanda kelemahan, kemunduran dan mengekornya kepada non muslim, akibatnya kaum muslimin menjadi jauh dari kalender mereka yang dapat mengingatkan mereka dengan syi’ar agama dan ibadah mereka. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim ketika memilih kalender, tetap mencari kalender yang di sana menyebutkan bulan-bulan Hijriah agar mereka dapat mengingat syi’ar agamanya. Misalnya mengingatkannya dengan Bulan Ramadhan, bulan Syawwal, bulan hajji, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa ayaamul biidh (tengah bulan; 13, 14 dan 15 setiap bulan), bulan Muharram dengan puasa Tasu’a dan ‘Asyuranya, dsb.
Cara Pelaksanaan Puasa Muharram
Para ulama menjelaskan bahwa hadis yang disebutkan di atas merupakan dorongan untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, namun tidak secara penuh setiap harinya. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat puasa yang paling banyak dilakukan Beliau selain di bulan Sya’ban.” (HR. Muslim)Puasa ‘Asyura (10 Muharram) Dalam Sejarah
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa kaum Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkannya sampai puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ » .
“Barangsiapa yang hendak berpuasa (Asyura), maka silahkan berpuasa dan barangsiapa yang hendak berbuka, maka silahkan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)Berdasarkan hadis ini, hari ‘Asyura adalah hari yang sudah masyhur di zaman jahiliyyah, mereka biasa berpuasa di hari itu dan menjadikannya hari untuk menutup Ka’bah sebagaimana dikatakan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Bukhari. Al Qurthubiy berkata: “Mungkin yang mereka jadikan sandaran melakukan puasa di hari itu adalah syariat Ibrahim dan Isma’il, mereka biasa menyandarkan sesuatu kepada keduanya sebagaimana mereka menyandarkan masalah hajji dan lainnya kepada keduanya…” (al-Mufhim, 3:190)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan sbb:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا
هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى ، قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ
بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . “
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka Beliau bertanya, “Ada apa hari ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, inilah hari di mana Allah
menyelamatkan Bani Isra’il dari musuh mereka, maka Musa berpuasa di hari
ini”, Beliau bersabda, “Aku lebih berhak dengan Musa daripada kalian.“, Beliau kemudian berpuasa di hari itu dan menyuruh para sahabatnya berpuasa.” (HR. Bukhari, Ahmad menambahkan, “Ini adalah hari di mana perahu (Nabi Nuh) berlabuh di bukit Judiy, maka Nabi Nuh berpuasa di hari itu sebagai tanda syukur”)Puasa hari ‘Asyura ini berdasarkan hadis-hadis yang lain awalnya adalah wajib, namun setelah difardhukan puasa Ramadhan maka hukum puasa ‘Asyura menjadi sunat.
Keutamaan Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa ‘Asyura, Beliau menjawab :
يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلمَاِضَيةِ
“Menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Puasa hari ‘Arafah akan menghapus dosa dua tahun, hari ‘Asyura satu tahun dan amin seseorang (dalam shalatnya) bertepatan dengan amin malaikat akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu…ini semua menghapuskan dosa, yakni jika ada dosa kecil akan dihapusnya, namun jika tidak ada dosa yang kecil maupun yang besar, maka akan dicatat beberapa kebaikan dan ditinggikan derajatnya,…tetapi jika ada satu dosa besar atau lebih dan tidak berhadapan dengan dosa kecil, kita berharap amalan tersebut bisa meringankan dosa-dosa besar.” (al-Majmu’ Juz 6, shaumu yaumi ‘Arafah)
Disyariatkan Pula Puasa Tasu’a (9 Muharram)
Untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, kita disyariatkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal sepuluh dan menyuruh para sahabatnya berpuasa. Para sahabat berkata, “Sesungguhnya hari ini adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi”, maka Beliau bersabda:
فَــإِذَا كـَـانَ اْلعَامُ اْلمُقْبِلُ ـ إِنْ شَاءَ اللهُ ـ صُمْنَا الْـيَـوْمَ الـتَّـاسِــعَ
“Kalau begitu, jika tiba tahun depan –Insya Allah- kita akan berpuasa pada tanggal sembilannya (yakni dengan tanggal sepuluhnya).” (HR. Muslim).Namun belum tiba tahun berikutnya, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat.
Jika tidak sempat tanggal sembilannya, maka bisa tanggal sepuluh dengan sebelasnya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi.
Pelajaran:
“Bagaimanakah jika hari ‘Asyura (10 Muharram) bertepatan dengan hari Jumat atau hari Sabtu?”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan tentang larangan puasa pada hari sabtu, ia berkata:
“Perlu diketahui bahwa puasa pada hari sabtu memiliki beberapa keadaan:
Keadaan pertama, bertepatan dengan kewajibannya seperti puasa Ramadhan, qadha’nya atau puasa kaffarat, puasa pengganti hadyu pada hajji tamattu’ dsb., maka hal ini tidak mengapa selama tidak mengkhusukan puasa sabtu dengan anggapan bahwa hari sabtu memiliki keistimewaan.
Keadaan kedua, jika ia melakukan puasa sebelumnya yaitu pada hari Jumat, maka hal ini tidak mengapa; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada salah seorang Ummul mukminin yang ketika itu berpuasa pada hari Jumat, “Apakah kemarin kamu berpuasa?” ia menjawab, “Tidak”, lalu Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu besok berpuasa?” ia menjawab, “Tidak” maka Beliau bersabda, “Kalau begitu, berbukalah.” Kata-kata “Apakah kamu besok berpuasa?” menunjukkan bolehnya berpuasa (pada hari Sabtu) jika bersama dengan hari Jumat.
Keadaan ketiga, (hari sabtu) bertepatan dengan hari-hari yang disyariatkan puasa seperti ayyamul biidh (13, 14 dan 15 Dzulhijjah), hari ‘Arafah, hari ‘Asyura, enam hari di bulan Syawwal bagi yang puasa Ramadhan dan sembilan Dzulhijjah maka tidak mengapa (puasa pada hari sabtu), karena ia lakukan puasa bukan karena hari Sabtunya tetapi karena bertepatan dengan hari-hari yang disyariatkan puasa.
Keadaan keempat, Bertepatan dengan kebiasaannya, seperti ia biasa sehari puasa dan sehari berbuka, lalu ternyata hari puasanya bertepatan pada hari sabtu maka hal ini pun tidak mengapa sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan yang dilarang Beliau kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa maka tidak dilarang, ini pun sama.
Keadaan keenam, mengkhususkan hari sabtu untuk berpuasa, sehingga ia puasa hanya hari itu, maka inilah letak terlarangnya jika hadis tentang larangannya shahih.”
Faedah:
Imam Tirmidzi setelah membawakan hadis larangan puasa pada hari Sabtu berkata, “Makna dimakruhkannya dalam (hadis) ini adalah jika seorang mengkhususkan puasa hari Sabtu, karena orang-orang Yahudi memuliakan hari Sabtu.”
Tingkatan puasa Muharram
Ahli ilmu menyebutkan bahwa urutan puasa Muharram yang paling utama adalah sbb:1. Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
Ada hadis yang menerangkan berpuasa sebelum dan sesudah tanggal sepuluh, namun hadisnya dha’if. Sehingga tidak bisa dijadikan pegangan, akan tetapi karena bulan Muharram sebagaimana diterangkan adalah bulan yang paling baik untuk dilakukan puasa sunat, sehingga jika seseorang melakukannya maka ia telah melaksanakan anjuran memperbanyak puasa di bulan itu. Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa yang ingin berpuasa ‘Asyura, maka hendaknya ia berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh, kecuali jika bulan itu masih musykil sehingga ia mengerjakannya tiga hari; Ibnu Sirin mengatakan seperti itu.”
2. Tanggal 9 dan 10 Muharram.
3. Tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
4. Hanya tanggal 10 saja. Di antara ulama ada yang memakruhkannya. Namun yang lain mengatakan tidak makruh. Namun yang tampak adalah bahwa berpuasa hanya tanggal sepuluh saja hukumnya makruh bagi mereka yang masih sanggup menggabung dengan hari lainnya (tanggal 9 atau 11-nya). Tetapi yang demikian tidaklah menghilangkan pahala bagi yang melakukannya, bahkan ia tetap memperoleh pahala insya Allah.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid berkata: “Oleh karena itu, puasa ‘Asyura ada beberapa tingkatan, paling rendahnya adalah hanya tanggal sepuluh saja dan yang paling atasnya adalah berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh, namun semakin banyak puasa di bulan Muharram tentu lebih utama dan lebih baik.”
Bid’ah-bid’ah di Bulan Muharram
Dalam menyambut hari ‘Asyura ada dua golongan yang menyimpang seperti di bawah ini:1. Golongan yang menyerupai orang yahudi, di mana mereka menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya, ditampakkan pada hari itu syi’ar-syi’ar kemeriahan seperti memakai celak, membagi nafkah kepada keluarga dan kerabat, memasak makanan di luar kebiasaannya dsb.
2. Golongan yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari kesedihan dan hari meratap karena terbunuhnya Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, di mana pada hari itu ditampakkan syi’ar-syi’ar jahiliyyah seperti menampar pipi, merobek baju, memukul dada, menyakiti diri dan melantunkan nyanyian-nyanyian kesedihan dsb.
Kedua golongan di atas menyelisihi sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; menyelisihi ajaran Islam. Beruntunglah Ahlussunnah, di mana mereka mengerjakan perintah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak menyerupai orang-orang Yahudi dan menjauhi perkara bid’ah yang diserukan oleh setan. Falillahil hamdu wal minnah.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www.Yufidia.com
Maraaji’: Fadhlu Syahrillah Al Muharram (M. bin Shalih Al Munajjid), Ahaadits ‘asyri Dzilhijjah (Abdullah bin Shalih Al Fauzan), dll.
Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah
Sebentar
lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram. Seperti kita ketahui bahwa
perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Penutup
Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
www.rumaysho.com
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
[5] HR. Muslim no. 2812
[6] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] Idem
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.
[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”
(QS. At Taubah: 36)Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ،
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di
antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut
yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah)
Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa
pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang
paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9]
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang
tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan
semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu
kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ
صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ
المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ
السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ
خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah
dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh
telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan
datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup
dosanya selama 50 tahun.”Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
- Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
- Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
- Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]Penutup
Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap
darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang
berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga Allah memberi kekuatan di
tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.www.rumaysho.com
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
[5] HR. Muslim no. 2812
[6] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] Idem
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.
[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.
Zakat Tidak Harus Di Bulan Ramadhan
Banyak orang terkadang hanya mau membayar zakat di bulan ramadhan. Padahal bisa jadi haulnya jatuh sebelum ramadhan. Akibatnya, dia melanggar larangan menunda pembayaran zakat.Bulan Romadhan adalah bulan penuh keberkahan, penuh ampunan, rahmat, dan kasih sayang Allah. Di bulan ini, Allah mewajibkan seluruh orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS.
Al-Baqarah: 183)Di bulan ini pula, Allah Ta’ala menurunkan Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan terutama bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang hidupnya ingin meraih kebahagiaan dan kesuksesan yang hakiki, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"Itulah
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)." (QS.
Al-Baqarah: 185)Tak kalah penting, di bulan ini, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan diikat serta dirantai setan-setan (sehingga sulit menggoda dan mengganggu orang yang berpuasa). Di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Karena itu, barang siapa yang terhalang mendapatkan kebaikan di bulan ini, maka sungguh dia telah merugi. (HR. Imam Ahmad dari Abu Hurairah).
Disebut dengan bulan penuh berkah karena terdapat banyak keutamaan dan keistimewaan di dalamnya. Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa orang yang bersalah bila mereka segera bertobat dan memohon ampunan Allah. Allah akan mengabulkan segala permohonan, bilamana hamba-hamba-Nya mau meminta dan berdoa kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan melipat-gandakan nilai ibadah hamba-Nya pada bulan Ramadhan ini.
Oleh karena itu, kaum muslimin masuki bulan Ramadhan ini dengan penuh sukacita karena ingin meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah .
Melihat keutamaan Ramadhan yang banyak, nampak banyak kaum muslimin yang menunaikan zakatnya dibulan tersebut dengan keyakinan lebih utama daripada dibulan lainnya. Memang Rasulullah n menjadi sangat dermawan bila dibulan Ramadhan seperti disampaikan ibnu Abbas dalam pernyataan beliau:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ،
وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ
رَمَضَانَ، فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah orang yang paling dermawan. Kedermawanan Beliau menjadi lebih
besar lagi apabila di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya. Jibril
menemui beliau setiap malam dari Ramadhan, lalu melakukan mudarasah
al-Qur`an. Waktu itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dermawan dalam memberikan kebaikan dari angin yang berhembus. (HR. Bukhori no. 6 dan Muslim no. 2308).Imam An-Nawawi mengomentarai hadis ini dengan menyatakan: Dalam hadis ini ada pelajaran penting, diantaranya adalah disunnahkan memperbanyak berderma pada bulan Ramadhan. Lalu bagaimana dengan zakat?
Syarat Haul Dalam Zakat
Sudah dimaklumi, kewajiban zakat memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah harta yang telah mencapai nishab (ukuran standar kewajiban zakat) telah berlalu selama setahun.
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya hadis ‘Aisyah bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
"Tidak
ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Ibnu Majah
no. 1792 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Maajah
2/98).Demikian pula hadis Ali, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
"Tidak
ada zakat pada harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Abu daud no.
1573 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud 1/346).Dalam hadis Ibnu Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ
"Siapa
yang memanfaatkan harta maka tidak ada zakatnya hingga berlalu atasnya
setahun di tangan pemiliknya.” (HR At-Tirmidzi dalam sunannya no. 631
& dishahihkan al-Albani dalam Shahih sunan At-Tirmidzi 1/348).Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta hingga berlalu masa penyimpanan dua belas bulan dari kepemilikannya.
Syarat ini hanya berlaku sebagai syarat wajib zakat pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (Atsmaan) dan zakat barang perdagangan.
Dengan demikian kewajiban untuk mengeluarkan zakat, terjadi di awal waktu berlalunya setahun. Misalnya, pada tanggal 2 muharram 1432 H, harta kita mencapai nilai 85 gram emas, yang berarti sudah masuk nishab zakat. Pada tanggal 2 Muharram 1433 H harta kita mencapai Rp 100 juta. Ketika tanggal 2 Muharram 1433 H tersebut, kita wajib mengeluarkan zakatnya karena telah berlalu satu tahun setelah mencapai nishab.
Bolehkah Disegerakan?
Sangat jelas keutamaan mensegerakan pengeluaran zakat harta diwaktu jatuh tempo pembayarannya pas di hari pertama habisnya masa setahun dari masuknya harta satu nishab. Sebab Allah berfirman,
سَابِقُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو
الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
"Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan)
ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi,
yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS.
Al-Hadid: 21).Imam Ibnu Bathaal menyatakan: Kebaikan sepatutnya disegerakan (pelaksanaannya), karena waktu berjalan dan faktor penghalang bisa menghadang, kematianpun tidak bisa dipastikan dan menunda-nunda sesuatu adalah perkara tidak terpuji.
Dengan demikian mengundurkan pembayaran zakat setelah berlalunya waktu wajib zakat dilarang dalam islam kecuali ada udzur alasan yang dibenarkan. Namun bila dibayar sebelum masa jatuh tempo pembayaran zakat, diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama.
Bagaimana Membayar Zakat Hanya di Bulan Ramadhan?
Fenomena semangat membayar zakat hanya di bulan Ramadhan memang harus didudukkan dan diluruskan. Pasalnya, fenomena ini telah menjadi salah satu kebiasaan msyarakat kita. Dikhawatirkan nantinya akan membentuk opini di masyarakat awam bahwa zakat hanya dibayar dibulan Ramadhan saja.
Melihat syarat haul (disimpan selama setahun) sejak harta tersebut mencapai nishab, maka sikap kaum muslimin yang membayar zakat di bulan ramadhan, terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, kelompok yang memiliki harta satu nishab ketika bulan Romadhan. Keadaannya jelas, dia harus membayarnya di bulan Ramadhan tahun berikutnya. Dengan demikian, orang ini membayar zakat tepat pada waktunya.
Kedua, kaum muslimin yang memiliki harta senishab setelah Ramadhan. Masa tempo normal untuk pembayaran zakatnya adalah setelah Ramadhan. Ketika orang ini membayarnya pada bulan Romadhan, berarti dia menyegerahkan pembayaran zakat. Dalam istilah fikih sikap semacam ini dinamakan “Ta’jil az-Zakaat” (mempercepat pembayaran zakat).
Para ulama membolehkan hal ini berdasarkan beberapa riwayat, diantaranya dari Ali radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memajukan pembayaran zakat dari Abbas (paman beliau) dua tahun (HR. Abu Ubaid dalam al-Amwaal no. 1885 dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 4/316 no. 857).
Dalil yang lain adalah riwayat yang menyatakan,
أَنَّ
الْعَبَّاسَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ
"Sesungguhnya
al-Abbas bertanya kepada Nabi tentang mempercepat pembayaran zakat
sebelum jatuh tempo pembayaran, lalu beliau memberikan keringanan
kepadanya dan mengizinkannya.” (HR. Abu dawud no. 1624 dan dihasankan
al-Albani dalam Shahih sunan Abi Dawud).Hanya saja, bolehnya menyegerahkan pembayaran zakat ini dengan syarat hartanya sudah mencapai nishab. Jika belum mencapai nishab maka tidak sah untuk dinilai sebagai zakat mal (harta).
Ketiga, Kelompok yang memiliki harta satu nishab sebelum Ramadhan, sehingga seharusnya jatuh tempo pembayarannya sebelum masuk bulan Ramadhan. Namun orang ini ingin membayarkan zakatnya di bulan ramadhan, sehingga pembayaran zakatnya mengalami penundaan. Perbuatan ini hukumnya terlarang, karena berarti mengakhirkan waktu pembayaran zakat, kecuali jika ada alasan yang diperbolehkan syariat.
Syeikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:
Diperbolehkan mengakhirkan pembayaran zakat karena mempertimbangkan maslahat fakir miskin, sehingga tidak menyusahkan mereka. Misalnya, ketika di bulan Ramadhan banyak orang yang mengeluarkan zakatnya, sehingga para fakir miskin atau mayoritas fakir miskin, tidak membutuhkan zakat. Akan tetapi di musim dingin yang tidak bertepatan dengan romadhan, mereka lebih membutuhkan (harat zakat tersebut), namun sedikit yang bayar zakat waktu itu. Maka disini boleh mengakhirkan pembayaran zakat, karena ada kemaslahatan bagi orang yang berhak menerimanya. (Syarhu al-Mumti’ 6/189).
Demikian, semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Ustadz. Kholid Syamhudi, Lc.
Rumus Cara Menghitung Zakat Maal/Harta, Fitrah & Profesi Serta Nisab
Seorang
muslim yang mampu dalam ekonomi wajib membayar sebagian harta yang
dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya baik melalui panitia
zakat maupun didistribusikan secara langsung / sendiri. Hukum zakat
adalah wajib bila mampu secara finansial dan telah mencapai batas
minimal bayar zakat atau yang disebut nisab.
Blog ini akan memberikan rumus dan contoh untuk pembayaran zakat fitrah untuk membersihkan diri, zakat mal atau zakat harta kekayaan dan zakat profesi dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakoni.
Dan untuk lebih memudahkan apabila anda mau menghitung berapa jumlah zakat anda, berikut ini adalah kalkulator untuk menghitung zakat, silahkan klik pada link berikut: Kalkulator Zakat
Sekarang kita akan lanjut membahas bagaimana perhitungan zakat. Berikut pembahasannya.
A. Rumus Perhitungan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah Perorang = 3,5 x harga beras di pasaran perliter
Contoh : Harga beras atau makanan pokok lokal yang biasa kita makan dan layak konsumsi di pasar rata-rata harganya Rp. 10.000,- maka zakat fitra yang harus dibayar setiap orang mampu adalah sebesar Rp. 35.000,-
Kalau menghitung dari segi berat pengalinya adalah 2,5 x harga beras atau bahan makanan pokok lokal perkilogram.
B. Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi :
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Zakat profesi memang jadi perdebatan karena tidak ada dalil yang mengena. Di kantor pemerintah umumnya setiap penghasilan otomatis dipotong 2,5% (penuh) untuk zakat profesi. Dengan begitu institusi resmi (ulama) Agama Islam di Indonesia berarti belum mengeluarkan fatwa haram untuk zakat profesi artinya bukan bid'ah. Jika anda tidak sependapat maka sebaiknya ikhlaskan saja dan anggap itu sebagai amal sodakoh anda atau tidak mengeluarkan zakat profesi tetapi membayar zakat mal.
C. Menghitung Zakat Maal / Harta Kekayaan
Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)
Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:
Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.
Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.
Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta :
Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.
Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.
----
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menimbun harta. Oleh karena itu hiduplah sederhana dan gunakan harta untuk diputar kembali dalam perekonomian secara halal. Jangan lupa perbanyak sedekah.
Sumber : organisasi.org dan terima kasih kepada Elmi Sat
- Keterangan Tambahan :
Kalau salah tolong dibenarkan! Bagilah ilmu yang kamu punya dan kamu yakini benar walaupun salah dan mudah-mudahan diperbaiki orang lain yang paham. Dalil tidak ada karena bukunya tidak memberi dalil. Kalau anda tahu tolong diberitahu. Jika mampu bayarlah zakat lebih daripada kurang.
Hitungan satu tahun gunakan kalender hijriah / penanggalan islam.
Blog ini akan memberikan rumus dan contoh untuk pembayaran zakat fitrah untuk membersihkan diri, zakat mal atau zakat harta kekayaan dan zakat profesi dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dilakoni.
Dan untuk lebih memudahkan apabila anda mau menghitung berapa jumlah zakat anda, berikut ini adalah kalkulator untuk menghitung zakat, silahkan klik pada link berikut: Kalkulator Zakat
Sekarang kita akan lanjut membahas bagaimana perhitungan zakat. Berikut pembahasannya.
A. Rumus Perhitungan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah Perorang = 3,5 x harga beras di pasaran perliter
Contoh : Harga beras atau makanan pokok lokal yang biasa kita makan dan layak konsumsi di pasar rata-rata harganya Rp. 10.000,- maka zakat fitra yang harus dibayar setiap orang mampu adalah sebesar Rp. 35.000,-
Kalau menghitung dari segi berat pengalinya adalah 2,5 x harga beras atau bahan makanan pokok lokal perkilogram.
B. Rumus Perhitungan Zakat Profesi / Pekerjaan
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total - Pembayaran Hutang / Cicilan)
Menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras pasaran perkg
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Profesi :
Jika Bang Jarwo punya gaji 2 juta perbulan dan penghasilan tambahan dari kios jualan pulsa dan perdana sebesar 8 juta perbulan maka total penghasilan Bang Jarwo sebesar 10 juta tiap bulan. Bang Jarwo membayar cicilan kredit apartemen tidak bersubsidi pemerintah sebesar 5 juta perbulan.
Harga beras sekilo yang biasa dikonsumsi yaitu sekitar Rp. 8.000,- per kilogram, sehingga nisab zakatnya adalah Rp. 4.160.000,-. Karena Bang Jarwo penghasilan bersihnya 5 juta dan ada di atas nisab, maka Bang Jarwo harus bayar zakat profesi sebesar Rp. 5 juta x 2,5% = Rp. 125.000,- di bulan itu. Untuk bulan selanjutnya dihitung kembali sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Zakat profesi memang jadi perdebatan karena tidak ada dalil yang mengena. Di kantor pemerintah umumnya setiap penghasilan otomatis dipotong 2,5% (penuh) untuk zakat profesi. Dengan begitu institusi resmi (ulama) Agama Islam di Indonesia berarti belum mengeluarkan fatwa haram untuk zakat profesi artinya bukan bid'ah. Jika anda tidak sependapat maka sebaiknya ikhlaskan saja dan anggap itu sebagai amal sodakoh anda atau tidak mengeluarkan zakat profesi tetapi membayar zakat mal.
C. Menghitung Zakat Maal / Harta Kekayaan
Zakat Maal = 2,5% x Jumlah Harta Yang Tersimpan Selama 1 Tahun (tabungan dan investasi)
Menghitung Nisab Zakat Mal = 85 x harga emas pasaran per gram
Contoh Perhitungan Dalam Zakat Maal Harta:
Nyonya Upit Marupit punya tabungan di Bank Napi 100 juta rupiah, deposito sebesar 200 juta rupiah, rumah rumah kedua yang dikontrakkan senilai 500 juta rupiah dan emas perak senilai 200 juta. Total harta yakni 1 milyar rupiah. Semua harta sudah dimiliki sejak satu tahun yang lalu.
Jika harga 1 gram emas sebesar Rp. 250.000,- maka batas nisab zakat maal adalah Rp. 21.250.000,-. Karena harta Nyonya Upit Marupit lebih dari limit nisab, maka ia harus membayar zakat mall sebesar Rp. 1 milyar x 2,5% = 25 juta rupiah per tahun.
Harta yang wajib dibayarkan zakat mal / zakat harta :
Emas, perak, uang simpanan, hasil pertanian, binatang ternak, benda usaha (uang, barang dagangan, alat usaha yang menghasilkan) dan harta temuan.
Perhitungan untuk hasil pertanian, peternakan, dan harta temuan ada ketentuan yang berbeda dalam hal nisab maupun besaran zakatnya. Ada juga buku yang berpendapat nisab emas adalah 93,6 gram dan perak 672 gr. Untuk lebih mudah bisa kita konversi ke rupiah dulu.
----
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menimbun harta. Oleh karena itu hiduplah sederhana dan gunakan harta untuk diputar kembali dalam perekonomian secara halal. Jangan lupa perbanyak sedekah.
Sumber : organisasi.org dan terima kasih kepada Elmi Sat
- Keterangan Tambahan :
Kalau salah tolong dibenarkan! Bagilah ilmu yang kamu punya dan kamu yakini benar walaupun salah dan mudah-mudahan diperbaiki orang lain yang paham. Dalil tidak ada karena bukunya tidak memberi dalil. Kalau anda tahu tolong diberitahu. Jika mampu bayarlah zakat lebih daripada kurang.
Hitungan satu tahun gunakan kalender hijriah / penanggalan islam.
Nama-Nama Bulan dalam Kalender Islam Beserta Artinya
Dari Abu
Bakrah Nufai’ bin Al Harits, berkata Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti masa Allah menciptakan langit
dan bumi, tahun mempunyai 12 bulan, 4 diantaranya adalah bulan haram
(yang bulan haram tersebut) tiga diantaranya berurutan, yaitu
Dzulqo’idah, Dzulhijjah, dan Al Muharram, dan (1 satu lagi) bulan Rajab
berada diantara bulan Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (Al Muttaffaqun
‘alaihi Al Bukhori 4662, Muslim 1679).
1. Muharrom (محرم الحرام)
Ini adalah bulan pertama dalam kelender Islam, dan Muharram termasuk dalam bulan-bulan suci. Dinamakan Muharram karena orang Arab mengharamkan berperang di bulan ini.
2. Shofar/Shafar (ﺻﻔﺮ)
Dinamakan
dengan Shofar karena perkampungan Arab Shifr (kosng) dari penduduk,
karena mereka keluar untuk perang. Ada yang mengatakan bahwa dinamakan
dengan Shofar karena dulunya bangsa Arab memerangi berbagai kabilah
sehingga kabilah yang mereka perangi menjadi Shifr (kosong) dari harta
benda.
3. Robi’ul Awwal (ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻷﻭﻝ)
Dinamakan demikian karena saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim semi.
4. Robi’uts Tsani/Akhir (ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻷﺧﻴﺮ / ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ)
Dinamakan
demikian karena bangsa Arab saat itu menggembalakan hewan ternak mereka
pada rerumputan. Dan ada yang mengatakan bahwa dinamakan demikian
karena bulan ini bertepatan dengan musim semi.
5. Jumadil Ula (جمادى الأولى)
Sebelum
masa Islam dinamakan jumadi khomsah. Dinamakan Jumada karena saat
penamaan bulan ini jatuh pada musim dingin, dimana air jumud (membeku)
6. Jumadil Akhiroh/Tsaniyah (جمادى الآخرة / ﺟﻤاﺪى ﺍﻟﺜﺎﻧﻲة)
Sebelum masa Islam dinamakan jumadi sittah. Dinamakan demikian karena saat penamaan bulan ini jatuh pada musim dingin juga
7. Rojab (ﺭﺟﺐ)
Rajab
termasuk dalam bulan-bulan suci. Dinamakan bulan Rojab karena bangsa
Arab melepaskan tombak dari besi tajamnya untuk menahan diri dari
peperangan. Dikatakan: Rojab adalah menahan diri dari peperangan.
8. Sya’ban (ﺷﻌﺒاﻦ)
Dinamakan demikian karena bangsa Arab saat itu berpencar ke berbagai tempat untuk mencari air.
9. Romadhon (ﺭﻣﻀاﻦ)
Ini
adalah bulan puasa bagi umat Islam. Dinamakan demikian karena panas
ramdh mencapai puncaknya dan saat penamaan jatuh pada musim panas.Dimana
periode ini disebut panas yang parah.
10. Syawwal (ﺷﻮﺍﻝ)
Di bulan inilah saat Idul Fitri. Dinamakan demikian karena saat itu unta betina kekurangan air susu.
11. Dzulqo’dah (ﺫﻭ ﺍﻟﻘﻌﺪة)
Bulan
ini termasuk dalam bulan-bulan suci. Dinamakan demikian karena bangsa
Arab duduk dan tidak berangkat untuk perang, karena bulan ini termasuk
bulan haram yang tidak boleh perang.
12. Dzulhijjah (ﺫﻭ ﺍﻟﺤﺠة)
Di
dalamnya terdapat musim haji dan Idul Adha. Bulan ini termasuk dalam
bulan-bulan suci. Dinamakan demikian karena bangsa Arab melaksanakan
ibadah haji di bulan ini.
Simak juga,
Sumber:
http://kaahil.wordpress.com/
http://www.darussalaf.or.id
Sejarah & Makna Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriyah
SETIAP tanggal 1 Muharram kaum Muslim merayakan Tahun Baru Hijriyah. Lazimnya, umat Islam mengadakan pengajian, tablig akbar, ceramah, juga "pawai obor" yang biasanya melibatkan anak-anak.Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti diberitakan berbagai media, akan merayakan tahun baru 1436 Hijriah ini secara "akbar", Minggu 26 Oktober 2014, di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Menurut Ketua Panitia Dr Isran Noor, perayaan ini akan menjadi tonggak persatuan umat. Umat Islam akan menunjukkan jati dirinya. "Kegiatan itu akan menjadi syi'ar agama Islam," jelasnya.
Dikatakannya, peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah kali ini sanggup membawa kesadaran masyarakat terhadap makna sesungguhnya, yang tak lepas peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
"Peringatan pada tahun ini juga diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Kalimat "mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik"
patut kita garisbawahi. Pasalnya, itulah makna tahun baru Islam yang
sebenarnya.
Setiap memasuki tahun baru Islam, kaum Muslim hendaknya memiliki
semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih
baik.
Peristiwa HIJRAH umat Islam dari Makkah ke Madinah bukan saja
mengandung nilai sejarah dan strategi perjuangan, tapi juga mengandung
nilai-nilai dan pelajaran berharga bagi perbaikan kehidupan umat secara
pribadi dan kejayaan kaum Muslim pada umumnya.
Maka, seyogianya dalam memaknai tahun baru Islam ini, kita menggali
kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan
momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah.
Keutamaan Tahun Hijriyah
Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin
Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun
Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan
seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem
penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih
(Arab) atau Messiah (Ibrani).
Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.
Menurut dongeng atau mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Tanah Jawa.
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Khattab.
Seandainya Khalifah Umar berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan "Tahun Umar"
sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan
keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem
penanggalaan Islam itu.
Umar malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Umar malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Keponakan Rasulullah Saw inilah yang mencetuskan pemikiran agar
penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat
umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, menulis:
Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, menulis:
''Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik.
Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan
mempertahankan kaum mukminin.''
Tahap Awal Daulah Islamiyah
Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah yang
membentuk tatanan masyarakat Islam, yang diawali dengan eratnya jalinan
solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar.
Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani.
Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani.
Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.
Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih
baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim
dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Allah SWT meningatkan dalam QS 59:18, ''Hendaklah setiap diri
memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah
diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat).''
Pada awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup agar
lebih baik dengan hijrah, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik,
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
''Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah,'' sabda Rasulullah. Kita ubah ketidakpedulian terhadap kaum lemah menjadi sangat peduli dengan semangat zakat, infak, dan sedekah.
''Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah,'' sabda Rasulullah. Kita ubah ketidakpedulian terhadap kaum lemah menjadi sangat peduli dengan semangat zakat, infak, dan sedekah.
Selain itu juga mengubah permusuhan dan konflik menjadi
persaudaraan dan kerja sama, mengubah pola hidup malas-malasan menjadi
giat bekerja, mengubah hidup pengangguran dan peminta-minta menjadi
pekerja mandiri, dan tidak bergantung pada belas kasih orang lain.
Dengan kekuatan iman dan keeratan ukhuwah Islamiyah seperti kaum Muhajirin dan Anshar, umat Islam bisa kuat dan bahu-membahu memenangkan partai Allah (hizbullah) yang menegakkan syiar Islam berasaskan tauhid dan ukhuwah, bukan memenangkan partai setan (hizbusy syaithon) yang mengibarkan bendera kebatilan.
Dengan kekuatan iman dan keeratan ukhuwah Islamiyah seperti kaum Muhajirin dan Anshar, umat Islam bisa kuat dan bahu-membahu memenangkan partai Allah (hizbullah) yang menegakkan syiar Islam berasaskan tauhid dan ukhuwah, bukan memenangkan partai setan (hizbusy syaithon) yang mengibarkan bendera kebatilan.
Sejarah Tahun Baru Islam: Kalender Hijriyah
Seperti disebutkan di atas, setidaknya ada dua nama penting dalam sejarah kalender Hijriyah, yakni- Umar bin Khathab sebagai pencetus ide penetapan kalender Islam.
- Ali bin Abi Thalib sebagai penggagas awal perhitungan tahun.
Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Zu'amaul Islam (1953) melukiskan:
"Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk membicarakan perihal sistim penanggalan. Ali bin Ali Thalib mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik. Usul Ali kemudian diterima sidang. Khalifah Umar menerima keputusan sidang dan mendekritkan berlakunya Tahun Hijriyah. Peristiwa hijrah merupakan momentum zaman baru pengembangan Islam, melandasi kedaulatan Islam serta penampilan integritas sebagai agama sepanjang zaman".
"Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khathab memanggil dewan permusyawaratan untuk membicarakan perihal sistim penanggalan. Ali bin Ali Thalib mengusulkan agar penanggalan Islam dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah sebagai momentum saat ditinggalkannya bumi musyrik. Usul Ali kemudian diterima sidang. Khalifah Umar menerima keputusan sidang dan mendekritkan berlakunya Tahun Hijriyah. Peristiwa hijrah merupakan momentum zaman baru pengembangan Islam, melandasi kedaulatan Islam serta penampilan integritas sebagai agama sepanjang zaman".
Momentum Ukhuwah Islamiyah
Sempat muncul ide, 1 Muharram ditetapkan sebagai "Hari Santri Nasional". Sebaiknya, tanggal hari santri nasional ditetapkan berdasarkan sejarah pesantren di Indonesia, misalnya pesantren pertama di Indonesia.
Jika 1 Muharram dijadikan Hari Santri Nasional, maka cakupannya
akan "menyempit" menjadi hanya untuk kalangan santri atau dunia
pesantren. Padahal, 1 Muharram adalah hari pertama Tahun Baru Islam
(Hijriyah) yang berlaku untuk semua kaum Muslim di seluruh dunia!
Sistem Penanggalan Tahun Hijriyah merefleksikan suatu moment perjuangan umat Islam untuk tetap survive, yakni dengan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Dimulainya penanggalan Tahun Hijriyah dari saat hijrah, menunjukan
betapa kita harus menghargai dan mengambil hikmah dari peristiwa hijrah
yang merupakan struggle for life (perjuangan untuk hidup), struggle for existence (perjuangan untuk menjadi terkuat), sebagaimana dikemukakan Sidi Gazalba dalam dalam Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979).
Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah tempat tatanan masyarakat Islam terbentuk.
Pembangunan Daulah Islamiyah Madinah oleh Nabi Muhammad Saw diawali dengan:
- Pembangunan masjid (Masjid Quba) sebagai sentral aktivitas umat Islam.
- Penguatan rasa persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kam Muhajirin dan kaum Anshar.
- Penyusunan Piagam Madinah sebagai "konstitusi" Negara Islam Madinah yang mengatur hubungan antar warga masyarakat Madinah, termasuk hubungan Umat Islam dengan kaum Yahudi (non-Muslim).
Kaum Muhajirin-Anshar telah mebuktikan bahwa ukhuwah Islamiyah atau
solidaritas Islam bisa membawa umat Islam jaya dan disegani
musuh-musuhnya.
Daulah Islamiyah yang dibangun mereka di Madinah dengan tuntunan langsung Nabi SAW telah menunjukan toleransi yang sangat tinggi terhadap umat lain yang tidak seiman.
Maka, setiap pergantian Tahun Hijriyah, sebenarnya merupakan momentum pengeratan solidaritas sesama Muslim.
Maka, setiap pergantian Tahun Hijriyah, sebenarnya merupakan momentum pengeratan solidaritas sesama Muslim.
Kita harus menegakkan bahwa sesama mukmin itu saudara, bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan.
"Orang Mukmin satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan, satu sama lain saling menguatkan" HR. Bukhari dan Muslim].
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
"Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam". [HR Bukhari, Muslim, Ahmad].
1. Berzakat itu di mana
afdalnya? Manakah lebih utama bagi saya, iaitu apabila saya bekerja di
sebuah negeri A; namun menunaikan zakat di negeri B? Ini kerana, saya
negeri B itu adalah tempat kelahiran saya.
Menurut pendapat Imam As-Syafie, zakat
tidak boleh dipindahkan dari sesebuah negeri (tempat harta itu
diperolehi) ke negeri yang lain, selagi masih ada orang yang memerlukan
di negeri berkenaan. Ini demi mengelakkan rasa sakit hati dan bersifat
membelakangi keperluan saudara se-Islam di tempat sendiri. Hal ini
disabitkan kepada hadis Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal r.a, iaitu
beliau diperintahkan untuk mengutip zakat di kalangan orang kaya di
negeri Yaman dan kemudian diagihkan kembali kepada golongan fakir di
negeri berkenaan.
Oleh itu, hendaklah diutamakan di tempat
mana kita memperolehi harta tersebut untuk berzakat. Ini kerana,
saudara telah menjalankan usaha sama ada perniagaan atau pekerjaan di
negeri yang berkenaan, maka adalah lebih aula untuk mengeluarkan kembali
zakat kepada penduduk yang berada di negeri yang sama. Walau
bagaimanapun, ulama’ menggariskan bahawa zakat boleh dibawa keluar dari
negeri berkenaan apabila keperluannya sudah melebihi atau atas
sebab-sebab tertentu yang lain.
2. Seorang pelajar tadika
berumur lima tahun mempunyai simpanan sebanyak RM20,000.00. Manakala
seorang nenek yang sudah tua dan nyanyuk, yakni sudah lupa untuk
mendirikan solat juga mempunyai banyak barangan kemas daripada emas.
Adakah mereka ini wajib berzakat? Bolehkah zakat mereka diwakilkan
pembayarannya?
Sesungguhnya, syarat wajib zakat itu ada
lima, iaitu Islam, merdeka, sempurna milik, cukup nisab dan cukup haul.
Jadi akil (berakal) dan baligh (cukup umur) bukanlah syarat wajib
zakat. Maka itu, ulama menyatakan kanak-kanak dan orang yang sudah
hilang akal, sama ada kerana nyanyuk atau gila juga wajib berzakat,
yakni ditunaikan oleh waris mereka. Di samping itu, jika pemilik harta
tidak mampu menunaikan zakatnya, mungkin disebabkan kesibukan atau
sakit, maka bolehlah dia mewakilkan orang lain untuk menunaikan zakat
harta itu bagi pihak dirinya (yakni diambil daripada hartanya sendiri).
3. Saya biasanya menunaikan
zakat pada bulan Disember di dalam kalendar masehi. Baru-baru ini saya
disaran agar menjadikan bulan Ramadan sebagai tempoh haul (genap
setahun) zakat saya, kerana ia berlandaskan tahun hijri. Apakah
rasionalnya?
Sebenarnya wujud perbezaan hari dan masa
di antara kalendar hijri dan masehi. Setahun kiraan hijri ialah 354
hari, 8 jam, 48 minit dan 36 saat. Manakala setahun berdasarkan tahun
Masehi pula ialah 365 hari 6 jam 9 minit dan 9.5 saat. Justeru,
perbezaan antara setahun Hijri dan Masehi ialah lebih kurang 11 hari
atau lebih tepatnya 10 hari 21 jam dan 1 minit. Apabila menjangkau 50
tahun, bezanya ialah 1 tahun 12 hari 5.5 jam dan 3 minit.
Bayangkan apabila seseorang itu hidup
selama 60 atau 70 tahun, maka dia pasti akan terkurang masa setahun atau
lebih di dalam menunaikan zakatnya, dek kerana mengikut kalendar
masehi.
Oleh itu, kita memang dianjurkan agar
kembali menggunakan kalendar hijri, khususnya di dalam mengingati haul
zakat. Ia bukan sahaja dapat memastikan zakat kita lebih tepat haulnya,
malah akan mendapat pahala pula kerana mengamalkan sunnah rasul dengan
mengutamakan tahun Islam di dalam kehidupan.
4. Benarkah berzakat boleh
memberikan ketenteraman hati kepada kita? Ada orang memberitahu saya,
andai hati tidak tenang dan bimbangkan keselamatan harta, maka itu
tandanya harta yang disimpan masih bercampur dengan harta zakat.
Hakikatnya zakat itu adalah sedekah.
Iaitu sedekah yang wajib. Sebenarnya, sedekah memang memberikan kesan
yang signifikan di dalam kehidupan kita. Banyak kisah memaparkan
kelebihan sedekah. Misalnya, pada zaman Nabi Musa a.s, ada disebutkan
kisah pemuda yang dipanjangkan usia hingga menjangkau 70 tahun, berkat
dia memberikan sedekah.
Itu baru sedekah sunat, apatah lagi
zakat yang merupakan sedekah wajib. Di dalam sebuah hadis nabi
menukilkan: “Bentengkanlah harta kamu dengan zakat dan ubatilah penyakit
kamu dengan sedekah.” (Riwayat Tabrani)
Maksud ‘benteng’ kepada harta, ialah
menyelamatkan harta daripada musibah. Maka, sesiapa yang berzakat, maka
mereka sudah membina benteng kepada hartanya daripada sesuatu kejadian
yang tidak diingin. Ini termasuklah daripada dicuri, disamun, ditipu dan
seumpamanya. Apabila ini terjadi, maka automatik hati kita akan menjadi
tenang. Misalnya, rumah yang ditinggalkan semasa pulang ke kampung
seolah-olah sudah ada yang menjaganya. Hakikatnya, ini kerana kita sudah
menunaikan amanah yang Allah SWT tetapkan. Maka balasannya, Allah SWT
akan memelihara diri dan harta kita, insya-Allah.
Ini hari terakhir bayar zakat
SETELAH mencatatkan pelbagai peristiwa suka duka
selama 12 bulan, 2014 akan melabuhkan tirainya malam ini dan esok 2015
pula akan menyingkapkan tabirnya, untuk mempersembahkan berbagai
peristiwa baru.
Apakah bentuk persembahan dan cabaran yang bakal berlaku dalam tahun baru itu, sama-samalah kita tunggu, lihat dan alami. Doakanlah yang terbaik.
Yang pasti ialah tahun 2014 memang akan terus dikenang sebagai tahun air mata.
Ia bermula dengan tangisan mereka yang kehilangan 239 anggota keluarga, sanak-saudara dan sahabat handai dalam pesawat MAS MH370 yang hilang secara mistri sejak 8 Mac lalu.
Pesawat Boeing 777 itu berlepas dari Kuala Lumpur jam 12.41 pagi Sabtu dan dijangka mendarat di Beijing jam 6.30 pagi yang sama apabila ia hilang daripada radar.
Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak mengumumkan kemudian bahawa pesawat itu berakhir di Lautan Hindi. Sehingga hari ini pelbagai usaha dijalankan dan macam-macam cerita disebarkan.
Doa terus dibaca, harapan berterusan, tetapi bayang pesawat itu masih tidak dapat dikesan. ALLAH sahaja yang tahu di mana ia berada.
Empat bulan kemudian, pada 17 Julai, rakyat seluruh negara mengalirkan air mata sekali lagi apabila pesawat MAS, MH17, ditembak jatuh di timur Ukraine ketika dalam penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur dengan 298 penumpang dan kru.
Antara penumpang pesawat itu ialah 193 warga Belanda dan 44 rakyat Malaysia.
Di hujung-hujung tahun 2014, rakyat dirundung malang lagi. Kali ini seluruh negara dicengkam kesedihan apabila beberapa negeri dilanda banjir. Tanah runtuh, kediaman rosak, kenderaan dan lain-lain harta benda musnah, bahkan nyawa turut hilang akibat bencana banjir itu.
Ketika melalui jalan yang merentasi beberapa kawasan kampung di antara Bota Kanan dan Kampung Gajah di Perak yang dilanda banjir pada suatu malam minggu lalu, saya dapat melihat penduduk, termasuk warga emas, wanita dan kanak-kanak, yang meranduk air atau duduk di kawasan tinggi di luar rumah dalam keadaan kesejukan apabila rumah-rumah mereka dinaiki air.
Saya boleh faham kesengsaraan dan kesedihan yang mereka alami.
Jumlah keseluruhan mangsa banjir hingga pagi semalam di Kelantan, Perak, Terengganu, Pahang dan Johor adalah seramai 230,509 orang.
Situasi di Kelantan didapati paling teruk, bahkan keadaan banjir di negeri itu dianggap lebih buruk daripada yang berlaku pada 1967.
Banjir pada 1967 dikatakan yang kedua terbesar pernah melanda Kelantan; yang paling besar ialah banjir pada tahun 1926 yang dikenali sebagai Bah Merah.
Kita tidak tahu apa rahsia atau hikmah di sebalik kejadian-kejadian ini. ALLAH sahaja yang mengetahuinya.
Barangkali kita perlu terus bersatu hati dan menggembleng tenaga, tanpa mengira latar belakang dan fahaman politik, demi kesejahteraan rakyat, seperti apa yang kita saksikan ketika bencana banjir sekarang ini, terutama di Kelantan.
Baguslah kita ketepikan kepentingan politik dan diri; yang perlu adalah kerjasama.
Apa pun, sebagai khalifah di muka bumi, setiap kita perlu terus laksanakan tugas dan tanggungjawab yang diamanahkan kerana kita akan dipersoalkan oleh Yang Maha Esa.
Kalau kita seorang pemimpin, tidak kiralah di peringkat mana, barangkali kita perlu fikirkan apakah kita sudah tunaikan segala janji kita? Pernahkah kita berbohong untuk melepaskan diri daripada dipersoalkan mengenai janji yang kita taburkan?
Kalau kita majikan, apakah kita sudah berlaku adil kepada pekerja dalam memberi layanan dan pembayaran, tanpa memerah keringat pekerja secara melampau?
Kalau kita makan gaji, apakah kita sudah menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diamanahkan rakyat dan pihak berkuasa dengan sebaik mungkin, tanpa mencari ruang untuk mencuri tulang, menyeleweng atau membuat tuntutan secara haram?
Sebagai hamba ALLAH, apakah kita sudah tunaikan tanggungjawab kita kepada Pencipta kita yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang itu? Apakah dalam 365 hari itu, kita tunaikan solat lima waktu setiap hari, atau kita solat ikut mood sendiri sahaja?
Natijahnya, tiada seorang pun daripada kita akan terlepas daripada menjawab kepada ALLAH tentang apa yang kita lakukan dan apa yang tidak kita lakukan.
Akhir kalam, sudahkah kita bayar zakat pendapatan, harta dan simpanan tahun ini? Jika belum esok adalah hari terakhir untuk berbuat demikian. Insya-ALLAH.
Apakah bentuk persembahan dan cabaran yang bakal berlaku dalam tahun baru itu, sama-samalah kita tunggu, lihat dan alami. Doakanlah yang terbaik.
Yang pasti ialah tahun 2014 memang akan terus dikenang sebagai tahun air mata.
Ia bermula dengan tangisan mereka yang kehilangan 239 anggota keluarga, sanak-saudara dan sahabat handai dalam pesawat MAS MH370 yang hilang secara mistri sejak 8 Mac lalu.
Pesawat Boeing 777 itu berlepas dari Kuala Lumpur jam 12.41 pagi Sabtu dan dijangka mendarat di Beijing jam 6.30 pagi yang sama apabila ia hilang daripada radar.
Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak mengumumkan kemudian bahawa pesawat itu berakhir di Lautan Hindi. Sehingga hari ini pelbagai usaha dijalankan dan macam-macam cerita disebarkan.
Doa terus dibaca, harapan berterusan, tetapi bayang pesawat itu masih tidak dapat dikesan. ALLAH sahaja yang tahu di mana ia berada.
Empat bulan kemudian, pada 17 Julai, rakyat seluruh negara mengalirkan air mata sekali lagi apabila pesawat MAS, MH17, ditembak jatuh di timur Ukraine ketika dalam penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur dengan 298 penumpang dan kru.
Antara penumpang pesawat itu ialah 193 warga Belanda dan 44 rakyat Malaysia.
Di hujung-hujung tahun 2014, rakyat dirundung malang lagi. Kali ini seluruh negara dicengkam kesedihan apabila beberapa negeri dilanda banjir. Tanah runtuh, kediaman rosak, kenderaan dan lain-lain harta benda musnah, bahkan nyawa turut hilang akibat bencana banjir itu.
Ketika melalui jalan yang merentasi beberapa kawasan kampung di antara Bota Kanan dan Kampung Gajah di Perak yang dilanda banjir pada suatu malam minggu lalu, saya dapat melihat penduduk, termasuk warga emas, wanita dan kanak-kanak, yang meranduk air atau duduk di kawasan tinggi di luar rumah dalam keadaan kesejukan apabila rumah-rumah mereka dinaiki air.
Saya boleh faham kesengsaraan dan kesedihan yang mereka alami.
Jumlah keseluruhan mangsa banjir hingga pagi semalam di Kelantan, Perak, Terengganu, Pahang dan Johor adalah seramai 230,509 orang.
Situasi di Kelantan didapati paling teruk, bahkan keadaan banjir di negeri itu dianggap lebih buruk daripada yang berlaku pada 1967.
Banjir pada 1967 dikatakan yang kedua terbesar pernah melanda Kelantan; yang paling besar ialah banjir pada tahun 1926 yang dikenali sebagai Bah Merah.
Kita tidak tahu apa rahsia atau hikmah di sebalik kejadian-kejadian ini. ALLAH sahaja yang mengetahuinya.
Barangkali kita perlu terus bersatu hati dan menggembleng tenaga, tanpa mengira latar belakang dan fahaman politik, demi kesejahteraan rakyat, seperti apa yang kita saksikan ketika bencana banjir sekarang ini, terutama di Kelantan.
Baguslah kita ketepikan kepentingan politik dan diri; yang perlu adalah kerjasama.
Apa pun, sebagai khalifah di muka bumi, setiap kita perlu terus laksanakan tugas dan tanggungjawab yang diamanahkan kerana kita akan dipersoalkan oleh Yang Maha Esa.
Kalau kita seorang pemimpin, tidak kiralah di peringkat mana, barangkali kita perlu fikirkan apakah kita sudah tunaikan segala janji kita? Pernahkah kita berbohong untuk melepaskan diri daripada dipersoalkan mengenai janji yang kita taburkan?
Kalau kita majikan, apakah kita sudah berlaku adil kepada pekerja dalam memberi layanan dan pembayaran, tanpa memerah keringat pekerja secara melampau?
Kalau kita makan gaji, apakah kita sudah menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diamanahkan rakyat dan pihak berkuasa dengan sebaik mungkin, tanpa mencari ruang untuk mencuri tulang, menyeleweng atau membuat tuntutan secara haram?
Sebagai hamba ALLAH, apakah kita sudah tunaikan tanggungjawab kita kepada Pencipta kita yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang itu? Apakah dalam 365 hari itu, kita tunaikan solat lima waktu setiap hari, atau kita solat ikut mood sendiri sahaja?
Natijahnya, tiada seorang pun daripada kita akan terlepas daripada menjawab kepada ALLAH tentang apa yang kita lakukan dan apa yang tidak kita lakukan.
Akhir kalam, sudahkah kita bayar zakat pendapatan, harta dan simpanan tahun ini? Jika belum esok adalah hari terakhir untuk berbuat demikian. Insya-ALLAH.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan