Jumaat, 10 April 2015

KATA ORANG2 ALIM...SAPE ORANG ALIM ITU...KATA ULAMAK2...SAPE ULAMAK ITU...KATA ULAMAK2 TERSOHOR...BOLEHKAH BERHUJAH BEGINI...SEBUT NAMANYA BARU HUJAH ITU MANTAP...LAGI MANTAP BERNASKAN QURAN DAN HADIS BHG 1

NI SEBAHAGIAN SAJA DAN BANYAK LAGI

Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi




Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
  1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
  2. Siyar A’lam an-Nubala’
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon

Perjalanan Hidup Imam Ahmad bin Hanbal

mam madzhab yang empat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang saling melengkapi antara satu dan yang lainnya. Imam Abu Hanifah adalah pelopor dalam ilmu fikih dan membangun dasar-dasar dalam mempelajari fikih. Imam Malik adalah seorang guru besar hadits yang pertama kali menyusun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu buku. Imam Syafii merupakan ulama cerdas yang meletakkan rumus ilmu ushul fikih, sebuah rumusan yang membangun fikih itu sendiri. Artikel ini akan mengenalkan kepada pembaca tokoh keempat dari imam-imam madzhab, dialah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus pakar hadits di zamannya. Perjuangan besarnya yang selalu dikenang sepanjang masa adalah perjuangan membela akidah yang benar. Sampai-sampai ada yang menyatakan, Imam Ahmad menyelamatkan umat Muhammad untuk kedua kalinya. Pertama, Abu Bakar menyelematkan akidah umat ketika Rasulullah wafat dan yang kedua Imam Ahmad lantang menyerukan akidah yang benar saat keyakinan sesat khalqu Alquran mulai dilazimkan.
Nasab dan Masa Kecilnya
Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ibnu al-Atsir mengatakan, “Tidak ada di kalangan Arab rumah yang lebih terhormat, yang ramah terhadap tetangganya, dan berakhlak yang mulia, daripada keluarga Syaiban.”  Banyak orang besar yang terlahir dari kabilah Syaiban ini, di antara mereka ada yang menjadi panglima perang, ulama, dan sastrawan. Beliau adalah seorang Arab Adnaniyah, nasabnya bertemu denga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun. Setelah itu ia baru memulai mempelajari hadits. Sama halnya seperti Imam Syafii, Imam Ahmad pun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad masih belia. Di usia remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga. Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits di Baghdad.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ahmad bin Hanbal muda adalah murid senior dari Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf al-Qadhi. Ia belajar dasar-dasar ilmu fikih, kaidah-kaidah ijtihad, dan metodologi kias dari Abu Yusuf. Setelah memahami prinsip-prinsip Madzhab Hanafi, Imam Ahmad mempelajari hadits dari seorang ahli hadits Baghdad, Haitsam bin Bishr.
Tidak cukup menimba ilmu dari ulama-ulama Baghdad, Imam Ahmad juga menempuh safar dalam mempelajari ilmu. Ia juga pergi mengunjungi kota-kota ilmu lainnya seperti Mekah, Madinah, Suriah, dan Yaman. Dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan Imam Syafii di Mekah, lalu ia manfaatkan kesempatan berharga tersebut untuk menimba ilmu dari beliau selama empat tahun. Imam Syafii mengajarkan pemuda Baghdad ini tidak hanya sekedar mengahfal hadits dan ilmu fikih, akan tetapi memahami hal-hal yang lebih mendalam dari hadits dan fikih tersebut.
Walaupun sangat menghormati dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama Madzhab Hanafi dan Imam Syafii, namun Imam Ahmad memiliki arah pemikiran fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang tidak fanatik dan membuka diri.
Menjadi Seorang Ulama
Setelah belajar dengan Imam Syafii, Imam Ahmad mampu secara mandiri merumuskan pendapat sendiri dalam fikih. Imam Ahmad menjadi seorang ahli hadits sekaligus ahli fikih yang banyak dikunjungi oleh murid-murid dari berebagai penjuru negeri Islam. Terutama setelah Imam Syafii wafat di tahun 820, Imam Ahmad seolah-olah menjadi satu-satunya sumber rujukan utama bagi para penuntut ilmu yang senior maupun junior.
Dengan ketenarannya, Imam Ahmad tetap hidup sederhana dan menolak untuk masuk dalam kehidupan yang mewah. Beliau tetap rendah hati, menghindari hadiah-hadia terutama dari para tokoh politik. Beliau khawatir dengan menerima hadiah-hadiah tersebut menghalanginya untuk bebas dalam berpendapat dan berdakwah.
Abu Dawud mengatakan, “Majelis Imam Ahmad adalah majelis akhirat. Tidak pernah sedikit pun disebutkan perkara dunia di dalamnya. Dan aku sama sekali tidak pernah melihat Ahmad bin Hanbal menyebut perkara dunia.”
Masa-masa Penuh Cobaan
Pada tahun 813-833, dunia Islam dipimpin oleh Khalifah al-Makmun, seorang khalifah yang terpengaruh pemikiran Mu’tazilah. Filsafat Mu’tazilah memperjuangkan peran rasionalisme dalam semua aspek kehidupan, termasuk teologi. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh hanya mengandalkan Alquran dan sunnah untuk memahami Allah, mereka diharuskan mengandalkan cara filosofis yang pertama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno. Di antara pokok keyakinan Mu’tazilah ini adalah bahwa meyakini bahwa Alquran adalah sebuah buku dibuat, artinya Alquran itu adalah makhluk bukan kalamullah.
Al-Makmun percaya pada garis utama pemikiran Mu’tazilah ini, dan ia berusaha memaksakan keyakinan baru dan berbahaya tersebut kepada semua orang di kerajaannya –termasuk para ulama. Banyak ulama berpura-pura untuk menerima ide-ide Mu’tazilah demi menghindari penganiayaan, berbeda halnya dengan Imam Ahmad, beliau dengan tegas menolak untuk berkompromi dengan keyakinan sesat tersebut.
Al-Makmun melembagakan sebuah inkuisisi (lembaga penyiksaan) dikenal sebagai Mihna. Setiap ulama yang menolak untuk menerima ide-ide Muktazilah dianiaya dan dihukum dengan keras. Imam Ahmad, sebagai ulama paling terkenal di Baghdad, dibawa ke hadapan al-Makmun dan diperintahkan untuk meninggalkan keyakinan Islam fundamentalnya mengenai teologi. Ketika ia menolak, ia disiksa dan dipenjarakan. Penyiksaan yang dilakukan pihak pemerintah saat itu sangatlah parah. Orang-orang yang menyaksikan penyiksaan berkomentar bahwa bahkan gajah pun tidak akab bisa bertahan jika disiksa sebagaimana Imam Ahmad disiksa. Diriwayatkan karena keras siksaannya, beberapa kali mengalami pingsan.
Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap memegang teguh keyakinannya, memperjuangkan akidah yang benar, yang demikian benar-benar menginspirasi umat Islam lainnya di seluruh wilayah Daulah Abbasiah. Apa yang dilakukan Imam Ahmad menunjukkan bahwa umat Islam tidak akan mengorbankan akidah mereka demi menyenangkan otoritas politik yang berkuasa. Pada akhirnya, Imam Ahmad hidup lebih lama dari al-Makmun dan Khalifah al-Mutawakkil  mengakhiri Mihna pada tahun 847 M. Imam Ahmad dibebaskan, beliau pun kembali diperkenankan mengajar dan berceramah di Kota Baghdad. Saat itulah kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terkenal itu ditulis.
Wafatnya Imam Ahmad
Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”
Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan, atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga memiliki peran penting dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
Selain itu, meskipun secara historis Madzhab Hanbali adalah madzhab termuda dalam empat madzhab yang ada, banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang sangat terpengaruh oleh Imam Ahmad dan pemikirannya, seperti: Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Katsir, dan Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Semoga Allah Ta’ala menerima amalan Imam Ahmad bin Hanbal dan menempatkannya di surge yang penuh kenikmatan.
Sumber:
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com


Biografi Imam Hanafi


Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.


Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.

Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam
Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :
1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.
3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.
5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.

Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.


Sejarah Hidup Imam al-Nawawi (631-676H)


Kajian riwayat hidup Imam al-Nawawi ini berdasarkan buku karangan Abdul Ghani al-Duqr yang berjudul al-Imam al-Nawawi Shaykh al-Islam wa al-Muslimin wa Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadithin. Al-Ghani al-Duqr memulakan dalam mukadimahnya dengan menyebutkan sifat Imam al-Nawawi yang memiliki ketakwaan yang tinggi. Dia bukan hanya  membataskan diri dengan perkara-perkara haram dan syubhat tetapi juga perkara-perkara mubah kerana  dia berasa takut apabila dirinya menghampiri rasa tamak dengan sesuatu perkara mubah yang nantinya akan menjalar kepada yang syubhat dan akhirnya menjalar kepada yang haram. Dia melindungi dirinya dari semua itu kerana takut kepada Allah. Beliau juga menjelaskan manhaj buku ini dengan mengambil dari sumber-sumber muktabar dari buku al-Tarajim atau al-Tabaqat dan menyusun semula dengan pendekatan semasa.
Nama sebenarya ialah Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri al-Nawawi. Gelarannya ialah Mahyuddin. Ayahnya Syaraf bin Muri merupakan seorang peniaga kedai di Nawa. Beliau meninggal pada 685H iaitu sembilan tahun selepas kewafatan anaknya Imam al-Nawawi pada usia 70 tahun. Al-Nawawi dilahirkan pada bulan Muharram pada tahun 631H. Beliau telah belajar membaca dan menghafal al-Quran di Nawa sebelum berpindah ke Damsyik ketika berusia 18 tahun pada tahun 649H.(Al-Daqr:2005:22)
Ketika di Damsyiq, beliau telah berjumpa dengan imam Masjid al-Umawi Syeikh Jamaluddin Abdul Kafi (m. 689)  yang membawanya berjumpa Mufti Syam Tajuddin Abdul Rahman bin Ibrahim yang dikenali sebagai al-Farkah (m. 690H). Al-Nawawi berguru dengannya. Setelah dua tahun berada di Damsyik, beliau pergi menunaikan haji bersama bapanya pada tahun 651H.(al-Daqr:2005:28)

Beliau begitu gigih menuntut ilmu dan tinggal di madrasah al-Ruwahiyah. Al-Zahabi menceritakan tentang kegigihan al-Nawawi menuntut ilmu dengan menyebutkan : dan dijadikan contoh dalam ketekunannya menuntut ilmu siang dan malam, dia tidak akan tidur kecuali memang sudah tidak dapat ditahan lagi, dia mengatur waktunya untuk belajar, menulis, mengkaji atau mendatangi para guru-gurunya. Al-Badr bin Jama’ah (m.733H) menceritakan apabila dia bertanya  mengenai tidur al-Nawawi.
Al-Nawawi mengatakan bahawa apabila dia tidak lagi berkuasa untuk menahan daripada rasa mengantuk maka dia menyandar kepada kitab sebentar dan kemudian akan terbangun. Dia banyak terjaga daripada tidur dan selalu tekun dalam menuntut ilmu dan amal. Setiap hari, beliau akan mempelajari 12 subjek daripada guru-gurunya dalam pelbagai bidang ilmu Islam. (al-Daqr:20005:30&36)

Antara guru-gurunya ialah seperti berikut :
     Dalam bidang feqah
 i.    Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Uthman al-Maghribi (650H)
ii.    Abu Muhammad Adul Rahman bin Nuh al-Muqaddasi (m. 654H
iii.    Abu Hafs Umar bin As’ad bin Ali Ghalib al-Rabi‘i al-Irbili.
iv.    Abu al-Hasan al-Sallar bin al-Hasan al-Irbili (m. 670H)

Dalam bidang Hadith
 i.   Ibrahim bin Isa al-Muradi al-Andalusi- belajar Shahih Muslim
ii.  Zainuddin Abu al-Baqa’Khalid bin Yusuf al-Nablisi (m.663H)
iii.  Abdul Aziz bin Muhamad bin Abdul Muhsin al-Humawi (m.662H)
iv.  Zainuddin Abu al-Abbas al-Muqaddasi
v.   Abu al-Faraj Abdul rahman bin Abi Umar Muhammad al-Muqaddasi
vi.   Immaduddin Abdul Karim bin Abdul samad al-Harastani (m.662H)
vii.  Taqiuddin Abu Muhammad Ismail bin Abi Ishaq Ibrahim al-Tanukhi
viii. Jamaluddin Abdul Rahman bin Salim bin Yahya al-Anbari(m.661H)

Dalam bidang Usul
i.Abu al-Fath Umar bin Ibn Umar al-Taflisi.(672H)

Dalam bidang Nahu dan bahasa.
i.Ahmad bin Salim al-Masri (664H)
ii.Muhamamd bin Abdullah
ii.al-Fakhr al-Maliki al-Lam‘u li Ibn Jani.(al-Daqr:20005:39)

Al-Nawawi seorang tokoh feqah mazhab al-Syafi’i yang terkemuka. Beliau merupakan pemelihara mazhab, namanya disebut di seluruh pelusuk dunia dan kealimannya mencapai tingkatan yang tinggi. Dia adalah Syeikh mazhab dan penjaga mazhab al-Syafi’i. Keistemewaan al-Nawawi ialah  kerana dalam dirinya terkumpul keluasan ilmu dalam bidang feqah dan hadith. Beliau telah meriwayatkan kitab-kitab hadith yang muktabar  dengan sanad yang tinggi kepada para imam yang menulis kitab-kitab tersebut. Ibn Attar menyebutkan Imam al-Nawawi adalah seorang yang hafiz dalam hadith Rasulullah s.a.w., mengerti dengan berbagai-bagai kategori daripada yang shahih, cacat, gharib  dan istinbat feqahnya.
Al-Dhahabi menyebutkan Imam al-Nawawi dengan mujahadah dirinya yang tinggi, mencorakkan segala perhatian kepada ketakwaan dan keimanan, membersihkan diri dari segala kotoran maka dia menjadi seorang hafiz dalam hadith dengan segala ilmu, rijal dan ilatnya. Dari segi aliran akidah, beliau adalah beraliran Asyaari. Imam al-Nawawi juga seorang ahli nahu dan bahasa dan mengarang buku yang berkaitan dalam bidang tersebut. Buku yang dikarang olehnya iaitu Tahrir al-Tanbih dan Tadhib al-Asma’ wa al-Lughah. Kedua-dua buku tersebut merupakan syarah terhadap lafaz-lafaz dalam kitab-kitab feqah yang besar dalam mazhab Syafi’i.(al-Daqr:2005:47)

Al-Nawawi di Dar Hadith al-Asyrafiah
Al-Nawawi belajar dan mengajar di Dar Hadith al-Asyrafiah. Di antara syarat bagi orang yang menduduki kedudukan syeikh di situ iaitu apabila ada seseorang yang memiliki kumpulan riwayat dan seseorang yang memiliki kumpulan dirayat, maka akan didahulukan adalah yang didahulukan kumpulan riwayat. Yang jelas bahawa seseorang yang memiliki kedua-dua kumpulan ilmu iaitu ilmu riwayat dan dirayat adalah lebih layak untuk menduduki kerusi syeikh di Dar al-Hadith. Syeikh pertama Dar al-Hadith ialah Ibn Salah. Imam al-Nawawi menjadi syeikh pada tahun 665H sehingga dia meninggal pada 676h. Taj al-Subki menyebutkan bahawa al-Nawawi mengajar di Dar al-Hadith al-Asrafiyyah tetapi tidak mengambil satu sen pun daripadanya.(al-Daqr:2005:76)
Al-Nawawi berpendapat bahawa ibadat yang paling utama adalah mempelajari ilmu dengan keikhalasan yang akan memancarkan keberkatan. Al-Nawawi terkenal sebagai seorang yang banyak beribadat. Seorang muridnya Ibn Attar menyebutkan bahawa al-Nawawi seorang yang banyak membaca al-Quran dan berzikir kepada Allah. Beliau juga banyak bangun pada waktu malam untuk beribadat dan menulis. Daripada kesolehannya bahawa dia tidak makan harta atau makanan daripada mana-mana datangnya  dan tidak menerima sesuatu daripada seorang pun meskipun daripada hak-haknya sendiri.
Dia meninggalkan dari semua bidang duniawi, maka dia tidak mengambil  dirham daripada seorang pun, dia tidak mengambil untuk kesenangan tetapi hanya digunakan untuk membeli kitab  kemudian diwakafkan. Semasa beliau menjadi syeikh di Dar al-Hadith, beliau tidak mengambil sedikit pun daripada hasil ilmu, dia hanya cukup dengan kiriman daripada ayahnya yang cuma sedikit itu.(al-Daqr:2005:86)

Ramai ulama yang memberi sanjungan atas akhlak, karya-karya serta ilmunya. Al-Dhahabi menyebutkan al-Nawawi sebagai seorang yang mempunyai keluasan ilmu dalam bidang hadith, feqah, bahasa dan lain-lain. Beliau juga terkenal dengan kezuhudan dan kesolehannya dalam mencari keredaan Allah dan amat bersederhana dalam berpakaian, makanan dan berbelanja, makanan dan berbelanja.
Penampilannya juga sederhana dan sesiapa yang tidak pernah berjumpa dan melihat tentu akan menyangka bahawa dia seorang seorang petani Nawa yang datang ke Damsyiq untuk berziarah kerana tidak ada tanda-tanda  yang terlihat padanya sebagai seorang ulama zamannya yang menampilkan keagungan pada bentuk fizikal dan pakaian.(al-Daqr:2005:148)

Al-Nawawi tinggal di Damsyiq selama 28 tahun menurut muridnya Ibn Attar. Ini bermakna ketika dia datang ke Damsyik umurnya berusia 18 tahun. Beliau tidak pernah meninggal Damsyiq kecuali menunaikan haji, menziarahi imam al-Syafi’i dan pulang ke kampung di Nawa untuk menziarahi keluaraga. Selebihnya waktu itu dihabiskan di rumah kecil di Madrasah al-Rawahiyah untuk belajar dan mengajar serta menulis kitab-kitab sampai meninggal dunia.(al-Daqr:2005:156)

Nilai seorang ulamak adalah peninggalan karya-karyanya. Perkara yang luar biasa dan menghairankan adalah bahawa al-Nawawi hidup selama 46 tahun sedangkan beliau meninggalkan khazanah  dan karya-karya yang banyak. Menurut pengkaji, dia mula mengarang pada tahun 660H iaitu ketika berusia 29 tahun. Menurut al-Yafi’i bahawa tidak diragui lagi bahawa imam al-Nawawi telah mendapat keberkatan dalam hidupnya. Beliau memiliki pandangan yang indah daripada pandangan-pandangan  kebenaran Tuhan. Keberkatan itu semakin terserlah setelah kematian dengan kitab-kitabnya yang diterima dan dimanfaat oleh umat Islam.

Al-Nawawi telah menulis buku-buku dalam pelbagai bidang ilmu seperti feqah, hadith, Syarah hadis, mustalah al-Hadith, bahasa dan tauhid. Keistimewaan buku-buku ialah penerangan yang jelas dan mudah difahami.

Buku-Buku karangan imam al-Nawawi.
i.    Syarah  Muslim. Buku ini ditulis pada tahun 674H iaitu dua tahun sebelum kematian. Buku merupakan buku yang terakhir ditulisnya dan mempunyai 11 jilid.

ii.    Al-Rawdah al-Talilibin- Antara buku feqah yang terkemuka dalam mazhab al-Syafi’i. Kitab ini merupakan ringkasan daripada buku syarah al-Kabir oleh al-Rafi‘i. Menurut Ibn Attar buku ini ditulis pada 25 Ramadan tahun 666H dan siap pada 669H. Buku ini mempunyai 8 jilid.
iii.    Al-Minhaj- Buku ini merupakan buku feqah yang banyak digunakan oleh para ulamak dan penuntut ilmu. Kitab ini selesai ditulis pada 19 Ramadan tahun 669H.
iv.    Riyadh al-Salihin - Buku ini merupakan himpunan hadith-hadith  nabi yang berkaitan dengan adab, akhlak, pembersihan jiwa. Al-Nawawi hanya menyebutkan hadith-hadith yang sahih sahaja.
v.    Al-Azkar- Buku ini merupakan himpunan zikir, doa-doa dan amalan bagi setiap orang muslim siang dan malam. Buku ini diselesaikan penulisannya pada 667H,
vi.    Al-Tibyan fi adab Hamlah al-Quran- Buku ini berkaitan dengan adab-adab ketika berinteraksi denagan al-Quran.
vii.    Al-Tahrir fi alfaz al-Tanbih- Buku merupakan karangan al-Nawawi dalam bidang bahasa yang merangkumi penerangan kepada lafaz-lafaz dan istilah feqah.
viii.    Al-Idhah fi Manasik- Buku ini berkaitan dengan cara mengerjakan haji dan umrah- Buku ini telah disyarahkan oleh Ali bin Abdullah bin Ahmad (m. 911H) dan diberi komentar oleh Ibn Hajar al-Haitami (m.974H)
ix.    Al-Irsyhad wa al-Taqrib- Buku ini dalam bidang mustalah hadith dan ringkasan dari buku Kitab al-Irsyhad Ibn salah. Buku ini disyarahkan pula oleh Imam al-sayuti dalam kitabnya Tadrib al-Rawi.(al-Daqr-160-176)
x.    Al-Arba‘in al-Nawawiyah- sebuah buku kecil yang menghimpunkan 40 hadith yang diperlukan oleh setiap muslim. Buku ini merupakan yang paling banyak digunakan oleh umat Islam dalam memahami hadith-hadith nabi.
xi.    Bustan al-‘Arifin-Karya yang mempunyai banyak manfaat kerana di dalamnya menghuraikan mengenai kezuhudan, keikhlasan dan sifat menghindar daripada perkara dunia.
xii.    Manaqib al-Syafi’i- merupakan ringkasan  daripada kitab al-Baihaqi yang mempunyai dua jilid dan al-Nawawi meringkaskannya menjadi satu jilid.
xiii.    Al-Fatawa-dinamakan dengan al-Masa’il al-Manthurah. Himpunan fatwa yang dihimpunkan oleh muridnya Alauddin ibn al-Attar. Ia merupakan karya yang banyak manfaat.
xiv.    Al-Adab al-Mufti wa al-Mustafta-Karya mengenai etika mufti dan syarat-syarat fatwa.
xv.      Al-Majmu’ Syarah al-Muhadhab-Kitab ini merupakan kitab feqah yang terkemuka dalam mazhab al-Syafi’i dan ia merupakan syarah kitab al-Muhadhab karangan Imam Abi Ishaq al-Syairazi. Imam al-Nawawi menyiapkannnya sehingga bab riba yang mengandungi sembilan jilid kemudian disambung oleh Taqi al-Subki dalam tiga jilid. Kitab ini disiapkan syarahnya oleh Syeikh al-Muti’i, Mufti Mesir.
xvi.    Tadhib al-Asma’ wa al-Lughah-Karya mengenai bahasa dan pengunaan istilah yang tepat. Buku ini tidak sempat disiapkan kerana dia telah meninggal dunia tetapi meninggalkannya sebahagian besar daripada penulisannya.

Ini merupakan sebahagian daripada penulisan Imam al-Nawawi. Beliau meninggal dunia pada 24  Rejab pada 676H di Nawa dan dikuburkan di sana.Antara wasiatnya ialah beliau tidak membenarkan di bina atas kuburnya binaan dan kubah.Apabila penduduk kampung ingin membina binaan atas kubur, beliau telah datang melalui mimpi kepada seorang wanita ahli keluarganya mealarang pembinaan atas kuburnya. (al-Daqr,2005:197)Penulis pernah menziarahi makam beliau di Nawa, Syria pada 22 November 2007.
Penjaga kuburnya telah menceritakan mengenai perkara tersebut dan setelah itu tumbuh pokok besar atas kuburnya. Menurutnya, semasa pokok itu subur terdapat pada helaian daun yang keluar itu ada kalimah Allah dan pada dahan-dahannya. Semasa penulis menziarahi, pokok itu tidak lagi mengeluarkan daun tetapi dahan pokok masih ada yang tertulis nama Allah.Subnallah itulah tanda karamah dan kemuliaan kepada orang yang menyebarkan ilmu dengan penuh ikhlas dan zuhud.

muqaddimah Tafsir Fi Zilal


jika hari tu kite dh cite pasal authornye, sume dh jatuh cinta kan dgn Syed Qutb? kali ni saya nk share muqaddimahnye plak. sebelum tu, apa istimewanya Al Quran? sape yg ckp if baca Quran, diri dia makin tension? takde sape pun gtu kan.. dah la kite baca tu every huruf dapat pahala, tenangkan hati dan fikiran kite lagi. dan bile orang2 beriman yg membacanya, akan rasa gementar hatinya. (tgk surah Anfal ayat 2)

Firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah (dan sifat-sifatNya) gementarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman, dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah. (Al Anfal 8:2)

bukan smata2 sbb tu saje, sebenarnya bila kite buat lebih dari tu, iaitu kite bertadabbur (Maksud tadabbur dalam al-Quran ialah memerhati dengan mengkaji dan menyelidik) Al Quran, barulah kita akan dapat manfaat Quran tu lebih dari apa yang disebut di atas ini. banyak pengajaran yang kita boleh ambil dari seerah dulu, dapat kita selami bagaimana para sahabat menghayati setiap satu ayat Quran yang telah diturunkan dan diperintahkan.

ok, mari kite sama2 hayati muqaddimah Fi Zilal ini. Fi Zilal bermaksud di bawah bayangan. jadi Fi Zilal Quran bermaksud di bawah bayangan Al Quran. kalo tgk dlm surah Yaasin ayat 56 pun ada sebut "fi zilal".

Firman Allah:
Mereka dengan pasangan-pasangan mereka bersukaria di tempat yang teduh, sambil duduk berbaring di atas pelamin; (Yaasin 36:56)

seperti kita tahu, Syed Qutb menulis tafsir ini di dalam penjara. di mana waktu itu di Mesir, perjuangan Islam ditindas oleh orang Islam sendiri. jadinya, dengan mempelajari tafsir Fi Zilal ini, dapatlah kite hayati bagaimana semangat mereka2 ini tuk perjuangkan Islam walaupun keseksaan dan kesengsaraan menimpa mereka. moga Allah merahmati segala usaha jihad mereka. zaman kite skrg, zaman warna kelabu. bukan hitam dan bukan putih. zaman kite skrg belum clear lagi yg mane warna hitam yg mane warna putih.

pernah tak kite duduk bawah pokok yang rendang tuk berehat? ada kan... camane rasanya duduk kat bwh pokok? rasa teduh, sejuk, tenang kan? jadinye, spt mana makna Fi Zilal Quran iaitu "di bawah bayangan Quran", tujuan kita belajar tafsir Fi Zilal adalah untuk mendapat dan merasai nikmat hidup di bawah bayangan Al Quran.

Perenggan 1--> " Hidup di bawah bayangan Al Quran adalah suatu kenikmatan yang tidak dapat diketahui melainkan hanya oleh mereka yang mengecapinya sahaja. Ia adalah suatu kenikmatan yang meluhur, memberkati dan membersihkan usia seseorang. "
Syed Qutb ckp, hidup di bawah bayangan AQ ni ialah satu nikmat hanya pada org yang merasainya sahaja. gni analoginya, kalo kite ckp mee sup mak kite wat sedap, tapi kawan kite tak rasa pun mee sup tu. jadinye kawan kite tu takleh nk ckp mee sup mak kite wat tu sedap kan? melainkan kawan kite pun rasa gak mee sup tu. Orang yg macam Syed Qutb cakap sahaja yang tahu AQ ni best dan dapat mengerakkan hati seseorg.

Perenggan 2 --> " Alhamdulillah syukur ke hadrat Allah yang telah mengurniakan kepadaku kenikmatan hidup di bawah bayangan Al Quran selama beberapa waktu, di mana aku telah mengecapi nikmat yang tidak pernah aku kecapi sepanjang hidupku, iaitu nikmat yang meluhur, memberkati dan membersihkan usiaku."

Syed Qutb ckp, hidup di bawah bayangan AQ telah membersihkan usianya. camne tu? ok, yang mana penting? umur hidup kite atau kualiti hidup kita? ingat lagi lagu Sepohon Kayu? ...walaupun hidup seribu tahun, kalau tak sembahyang apa gunanya... macam saya, umur saya sekarang hampir 23 tahun. hampir 23 tahun saya telah hidup di dunia. tapi usia yang benar2 saya mohon Allah berkati ialah 1 tahun sebelum ini. iaitu di mana saya mula membuka mata saya untuk mengenal dan mendapat kefahaman tentang Islam sebenar-benarnya. seperti mana Syed Qutb inginkan keberkatan dalam kualiti usianya, saya juga ingin keberkatan itu. beliau tidak pernah mendapat nikmat ini sehinggalah dia mengenali benar2 AQ itu. (begitu juga dengan saye...)

Perenggan 3 --> " Aku hidup seolah-olah mendengar Allah bercakap kepadaku dengan Al Quran ini... ya Dia bercakap kepadaku seorang hamba yang amat kerdil dan amat kecil. Manakah penghormatan yang dapat dicapai oleh seseorang lebih tinggi dari penghormatan Ilahi yang amat besar ini? Manakah keluhuran usia yang lebih tinggi dari keluhuran usia yang diangkatkan oleh kitab suci ini? Manakah darjah kemuliaan bagi seseorang yang lebih tinggi dari darjah kemuliaan yang dikurniakan oleh Allah Pencipta Yang Maha Mulia?

Syed Qutb ckp, AQ ini adalah surat cinta dari Allah buat beliau. (buat kite juga...) Allah telah memberi pesanan, pujukan, amaran dan pengajaran dari seerah dulu buat kita. surat cinta ini pengirimnya ialah Allah Yang Maha Agung! bayangkanlah kite dapat letter dari PM apa kite rasa? nak reply surat tu pun mesti elok2nye. ataupun lecturer kite ingat nama kita dalam lecture hall yang besar tu? mesti la rasa dihargai kan. mcmtu la juga...Allah mengirimkan surat cinta pada kita, iaitu hamba yang hina dan kerdil. sudah lama Allah appreciate kita, tapi kite je yang tak sedar ttg semua tu, kite tak baca pun surat tu... dulu waktu di zaman Mekah, para sahabat tertunggu2 ayat2 AQ yang akan diturunkan..termasuklah orang kafir. kirenye waktu tu ayat2 AQ ni mcm newspaper. hari2 mereka menunggu pe yang Allah nk bgtau.

Perenggan 4 --> Aku telah hidup di bawah bayangan Al Quran dan di sana aku melihat jahiliyah berkecamuk di muka bumi ini dan aku melihat minat dan cita2 penduduk2 dunia ini amat kecil dan kerdil, aku melihat pemuja2 jahiliyah itu berbangga2 dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka, iaitu ilmu pengetahuan kanak-kanak, kefahaman dan pemikiran kanak-kanak, minat dan cita2 kanak2 sama spt pandangan seorang tua kepada mainan kanak2, percubaan kanak2 dan keteloran lidah kanak2. Aku merasa kaget dan hairan mengapa manusia jadi begini, mengapa mereka jatuh ke dalam lumpur yang kotor dan penuh penyakit ini? Mengapa mereka tidak mendengar seruan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar, iaitu seruan yang dapat meluhur, memberkati dan membersihkan usia seseorang?

Syed Qutb ckp, manusia sekarang spt zaman budak2 kecik. cuba tgk adik2 kecik kite, anak buah kite ke kan..ataupun ingat2 lik time kite kecik2 dulu. kite suka main2, nk benda mainan yang best2, nk puaskan hati sendiri, tak fikir jauh, tak reti nak beza mana baik mana buruk kan. kan? jadinya manusia skrg samalah mcm budak2. nk kejar harta, nk dpt hidup selesa, dapat pangkat spy org hormat. ni sume segala benda yang dapat puaskan hati manusia. sama macam budak2. tapi bile kita dah besar panjang mcm sekarang, patutnya kita dah tau, mainan tu dah macam takde pape pun. begitu juga dengan para sahabat dulu... bagaimana mereka boleh zuhud? sbb mereka tahu segala harta mereka tu umpama mainan. Allah sendiri ada sebut dalam surah Ankabut ayat 64 kan...

Firman Allah:
Dan (ingatlah bahawa) kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah ibarat hiburan dan permainan; dan sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya; kalaulah mereka mengetahui. (Al Ankabut 29:64)

tapi adakah kita patut melupakan dunia??? tak..tidak... kalau mekanik nak repair kereta, mesti ada spanar dan skru kan. mcm tu gak dgn dunia. dunia ini ibarat tools kite tuk kita kaut saham. tak salah kalau kita pandai, tak salah kalau kita kaya sebab kita boleh guna sume tools tu tuk Islam..infak, sedekah, dakwah. tu sbenarnya saham2 pahala kita di akhirat kelak. Wallahua'lam.

Firman Allah:
Siapakah orangnya yang mahu memberikan pinjaman kepada Allah, sebagai pinjaman yang baik (ikhlas) supaya Allah melipat-gandakan balasannya? Dan (selain itu) ia akan beroleh pahala yang besar! ( Al Hadid 57:11)

1 ulasan:

Abootarbus berkata...

Orang alim.....din,
Ulamak tersohor,......mentua din, penangkap jin,

Kita dah tau dah......mula kata hudud...pastu cuma amendment kanun syarak....
Pastu hudud xboleh ditangguh.....hari ni xpa, kerana POTA perlu.
Mula2 ISA hukum dzalim, pastu POTA tak pa, kira ok ikut syarak.....
Memang ula K mak tersohor......tahap tu je la......hampas!