Salah kaprah dengan hadits “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”
Jum`at 3 Rabii`uts Tsaniy 1431
Banyak orang yang salah dalam memahami hadits:بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“(yang artinya:) Sampaikanlah DARIKU (yakni dari Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam) walau hanya satu ayat 1” [HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274]
Demikian pula dengan hadits:
لِيَبْلُغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ
Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…”
(Muttafaqun ‘alaih)
Karena kita TIDAK ASAL MENYAMPAIKAN, karena sebelum menyampaikan kita harus memperhatikan :
1. Ilmu yang disampaikan haruslah SHAHIH, yang berasal dari al-qur’an dan as-sunnah yang SHAHIH, bukan hadits-hadits DHAIF atau MAUDHU’.
2. Ilmu yang disampaikan harus disampaikan DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR. Karena bisa jadi ilmu tersebut walaupun shahih, tapi ternyata kita tidak memahaminya seperti yang diinginkan Allåh dan RåsulNya.
3. Ilmu yang disampaikan hendaknya disertai penguasaan yang baik; yang kita harus benar-benar memahami Ilmu tersebut. Yang dengan penguasaan yang baik ini, kita bebas dari segala kerancuan/kesalahpahaman/kekeliruan terhadapnya. Penguasaan yang baik juga akan menjadikan kita berdiri diatas BAYAN (penjelasan) yang TERANG, JELAS dan KEYAKINAN (tanpa keragu-raguan dan kerancuan). Kita pun mengetahui jawaban-jawaban syubuhat yang berkaitan dengan hal tersebut, sehingga jika ada yang mendebat dengan syubuhat tersebut, maka kita dapat menjawabnya. Sehingga semoga kita dapat menjadi sebab hidayah kepada orang yang kita sampaikan…
4. Tidak lupa dan yang tidak kalah pentingnya, kita pun mengetahui MASLAHAT dan MUDHARAT dari penyampaian ilmu ini. Karena tidak setiap ilmu yang kita miliki harus kita sampaikan.
dari Mu’adz radliallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah membonceng di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas seekor keledai yang diberi nama ‘Uqoir.
Lalu Beliau bertanya:
يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak para hamba atas Allah?”
Aku jawab: “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu”.
Beliau bersabda:
فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sesungguhnya hak Allah atas para hamba-Nya adalah hendankah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“dan hak para hamba-Nya atas Allah adalah seorang hamba tidak akan disiksa selama dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.
Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku menyampaikan kabar gembira ini kepada manusia?”
Beliau menjawab:
لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
“Jangan kamu beritahukan mereka sebab nanti mereka akan berpasrah saja”.
(HR. Bukhariy)
‘Ali bin abi thalib radhiallahu ‘anhu, berkata :
“Berbicaralah kepada manusia dengan ucapan yang mereka fahami. Apakah kalian ingin Allah dan RasulNya di dustakan?!!”
[diriwayatkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al Fatawi Al Kubra; juga Imam Adz Dzahabi dalam Syi’ar A’lam An Nubala]
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Tidaklah engkau menyampaikan (suatu ilmu) kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak bisa dicapai oleh akal mereka melainkan pasti akan menimbulkan fitnah/kesalahpahaman pada sebagian mereka.”
(HR. Muslim dalam mukadimah shahihnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“…Sangat dianjurkan untuk tidak menyampaikan hadits kepada orang yang ditakutkan (baca: dicurigai) akan membawa hadits tersebut ke arah kesesatan…”
(Fathul Bari: 1/45)
Maka jika ada -SATU saja- ILMU yang kita miliki dan memenuhi kriteria diatas. MAKA SAMPAIKANLAH..
Maka jika kita tidak memenuhi salah satu syarat diatas (atau bahkan tidak memenuhi syarat diatas), MAKA BELAJARLAH terlebih dahulu. Janganlah semangatmu mendahului ilmumu!
Al-Qosim bin Muhammad berkata,
“Termasuk bentuk pemuliaan seseorang terhadap dirinya yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia telah kuasai ilmunya”
[Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805]
Silahkan baca lebih lengkap penjelasan tentang ini disni
Wallåhu a’lam
Semoga bermanfa’at
Catatan Kaki
- Para ulama berbeda pendapat tentang makna “ayat” dalam hadits ini
1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an.
Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum
awlawi” (Umdatul Qori 16/45)
2. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, atsar salafush shålih, dll. )
3. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum yang diwahyukan kepada Nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam. Maka lebih luas daripada hanya sekedar ayat yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)
Sumber: Artikel Ustadz Firanda ↩
Sampaikan Ilmu Dariku Walau Satu Ayat
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=299&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Editor: M. A. Tuasikal
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
- Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
- Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=299&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Editor: M. A. Tuasikal
SAMPAIKAN DARIKU WALAU SATU AYAT
Ustaz Idris bin Sulaiman
Daripada ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ra., Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil tanpa perlu takut. Dan barangsiapa berbohong ke atasku dengan sengaja maka bersiaplah dia mengambil tempatnya di Neraka.” (Al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan saranan supaya kita menyampaikan ilmu tidak kira banyak atau sedikit, asalkan ia ilmu dari Al-Quran dan Sunnah maka hendaklah ia disampaikan. Dalam ertikata lain, jangan kita tahan ilmu itu sehingga kita mencapai maqam tertentu, atau maqam ulama mujtahidin baru kita boleh berdakwah. Itu bukan syarat.
Sebaliknya, apa ilmu yang kita ada, asalkan kita telah pastikan dan yakin akan kesahihannya bersama dalil dari Al-Quran dan Sunnah, maka menjadi kewajipan atas kita untuk menyampaikan kepada orang lain.
Bagaimanapun, ada juga syaratnya; iaitu ayat yang disampaikan itu baik Al-Quran mahupun hadis hendaklah dipastikan benar bukan saja lafaznya tetapi juga tafsirannya. Tafsiran kepada ayat tersebut hendaklah dipastikan benar, bukan tafsiran mengikut hawa nafsu dan sebagainya.
Adapun hadis perlu lebih diambil berat kerana ia perlu dipastikan kesahihannya di samping pemahamannya. Kerana itu Nabi SAW turut menyebut selepas saranan “Sampaikan dariku walau satu ayat”, datang pula amaran; “Dan barangsiapa berbohong atasku dengan sengaja maka siaplah dia mengambil tempatnya di Neraka”. Maka sebelum menyampaikan sesuatu hadis, hendaklah kita pastikan ia adalah hadis yang telah disahihkan oleh ulama hadis kerana mereka adalah pakar di dalam bidangnya.
Jika kita tidak mengambil berat sama ada hadis itu sahih atau tidak, besar kemungkinan kita menyebarkan hadis yang salah. Dan berapa banyak hadis palsu yang terkumpul di dalam buku-buku, akhbar dan majalah sekarang ini. Berapa banyak hadis-hadis lemah, tidak kurang juga hadis palsu yang terus disebarkan, maka jangan kita tergolong di kalangan mereka yang menyebarkan hadis lemah dan palsu.
BOHONG ATAS NAMA NABI TIDAK SAMA BOHONG ATAS ORANG LAIN
Rasulullah jelas memberi amaran “barang siapa yang berbohong ke atasku”. Maksud berbohong atas Rasulullah adalah suatu hadis itu tidak disebut oleh Rasulullah, tetapi kita mengatakan “Sabda Nabi … sekian sekian…” sedangkan belum dibuktikan kesahihan bahawa ia disebut oleh Rasulullah, belum dibuktikan Rasulullah melakukannya. Tetapi kita mengatakan Rasulullah mengatakan begitu begini, Rasulullah melakukan begitu begini. Ia perbuatan berbohong atas Nabi, menyandarkan sesuatu ke atas Nabi sedangkan tidak sabit Baginda melakukannya.
Berbohong ke atas Nabi SAW tidak sama dengan berbohong ke atas orang lain. Berbohong atas Nabi SAW implikasinya adalah perkara-perkara akidah, ibadah, halal haram, perkara agama secara keseluruhannya yang menjadi penentu sama ada kita masuk Syurga atau tidak. Begitu juga kalau kita berbohong atas para Ulama. Itu juga tidak sama kalau kita berbohong ke atas manusia lain, kerana para ulama adalah pewaris Nabi.
Bagaimana kalau seseorang itu telah menyampaikan satu hadis palsu kerana dia tidak tahu. Apa yang menjadi tanggungjawabnya? Dia bertanggungjawab menarik balik dan membetulkan kesalahan yang dilakukan sebelumnya. Hendaklah dia bertaubat, beristighfar, tidak cukup dengan itu kerana dia bertanggungjawab menarik balik hadis yang telah dia sampaikan.
Ini kerana jika tidak, orang lain tidak tahu bahawa hadis itu lemah/palsu, orang tidak tahu dia telah bertaubat, yang orang tahu hanya kata-katanya yang lama. Maka dia perlu menarik balik serta mengkhabarkan kepada orang yang telah dia sampaikan itu bahawa hadis yang dia sampaikan dulu adalah tidak sahih dan dia menarik balik. Itu menjadi kewajipannya.
KEPENTINGAN MENYAHUT SERUAN SAMPAIKAN WALAU 1 AYAT
Signifikan saranan Rasulullah “Sampaikan walau sepotong ayat”, adalah kalau semua orang menyahut seruan itu, akhirnya akan terlengkaplah segala yang kita warisi daripada Nabi SAW. Ini kerana manusia masing-masing ada kemampuan yang terbatas, ada kelemahan dan kekurangan. Maka umat Islam saling melengkapi antara satu sama lain. Kalau kita berharap pada seorang sahaja, hal itu akan memberi mudarat. Hasilnya umat Islam seluruhnya akan ditimpa mudarat, kerana pasti seorang itu tidak akan dapat memikul tanggungjawab itu kesemuanya.
Begitu juga para Ulama. Kita melihat para Ulama telah mengambil peranan mereka masing-masing. Syaikh Bin Baaz rhm. mengambil peranan sebagai mufti. Segala masalah umat datang kepadanya dari sekecil-kecil sampai sebesar-besar masalah, orang merujuk kepadanya. Maka dia mencurahkan masa dan tenaganya berbakti kepada umat, menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan (umum).
Syaikh Ibn Soleh Al-Utsaimin rhm. pula terkenal seorang faqih, dia membuat kelas-kelas pengajian. Dia tidak banyak menulis, namun hasil dari kuliah-kuliahnya di masjid akhirnya dibukukan oleh murid-muridnya. Dia menulis sendiri tidak ada kerana masanya dihabiskan di masjid untuk mengajar. Orang bertanya dan beliau menjelaskan, akhirnya banyak permasalahan-permasalahan fekah dan ilmu secara khasnya kalau kita tidak tahu, kita boleh kembali kepadanya.
Syaikh Al-Albani rhm. pula telah mencurahkan masa dan tenaganya dalam bidang hadis. Kita lihat masing-masing ada fokus. Mereka melengkapi satu sama lain. Inilah sebenarnya hubungan antara umat Islam sesama mereka, “Seorang yang beriman dengan orang beriman yang lain adalah ibarat binaan yang saling mengukuhkan antara satu sama lain.” (Al-Bukhari dan Muslim)
PENYIMPANGAN GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN SEBAR HADIS LEMAH DAN PALSU
Syaikh Ibn Salih Al-Utsaimin menyebut tentang adanya kumpulan yang menyimpang dari kebenaran, iaitu golongan Sufi aliran Al-Karamiyyah; satu kumpulan lama yang warisnya masih ada hingga hari ini. Mereka mendakwa boleh menyampaikan hadis dhaif, bahkan hadis palsu dalam bab yang berkaitan Al-Targhib dan Al-Tarhib (galakan kepada ibadah dan ancaman melakukan keburukan), kerana bagi mereka tujuannya baik iaitu menggalakkan orang beribadah dan melarang orang melakukan kemaksiatan.
Mereka beralasan bahawa hadis Nabi SAW “Barangsiapa berbohong ke atasku” adalah larangan berbohong untuk melawan Nabi, sedangkan berbohong untuk membela apa yang dibawa oleh Nabi maka ia dibolehkan.
Para Ulama telah menyanggah hujah mereka yang batil, yang menunjukkan kedangkalan pemikiran dan pemahaman mereka, kerana mereka seolah-olah lupa larangan berbicara tanpa ilmu. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (Al-Israa’ : 36)
Jelas mereka telah berbicara tanpa ilmu. Mereka berbicara tentang galakan serta suruhan yang bukan dari Syarak. Segala yang bukan dari Syarak itu bukan ilmu, bahkan itu adalah kebatilan. Imam Ibnu Qayyim rhm berkata, “Ilmu (agama) itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah SAW dan perkataan para Sahabat. (I’lam Al-Muwaqqi’in II/149)
Mereka juga seolah-olah lupa akan ancaman berbohong secara umumnya, dan mereka telah berbohong. Mereka menyandarkan apa yang bukan daripada Nabi kepada Nabi, mereka mengatakan ini Sabda Nabi sedangkan Nabi tidak bersabda begitu, dan mereka tahu hal ini. Syarak secara umumnya mengancam kita daripada berbohong kepada sesama manusia, apatah lagi berbohong ke atas Nabi SAW.
Al-Hafiz Ibn Katsir berkata, “Orang-orang yang memalsukan hadis bermacam-macam, antaranya; 1. Orang-orang kafir zindiq. 2. Ahli ibadah; mereka menyangka telah berbuat kebaikan yang sebaik-baiknya. Mereka membuat hadis palsu yang mengandungi galakan dan ancaman dan hadis-hadis fadilat amal supaya orang beramal. Mereka adalah golongan Al-Karamiyyah dan lainnya. Merekalah manusia paling jahat dalam melakukan cara ini.” (Ikhtisaar Ulum Al-Hadis, hlm. 79)
Al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Sangat bodohlah orang Al-Karamiyyah dan sebahagian kelompok yang mengaku ahli zuhud yang berkata, ‘Berbohong dan mengada-adakan terhadap Nabi untuk meneguhkan agama, manhaj Ahli Sunnah, serta targhib dan tarhib hukumnya boleh.’ Mereka beralasan bahawa datangnya ancaman itu hanya bagi orang yang berbohong untuk untuk mendustakan Nabi sahaja, bukan berbohong untuk membela Nabi. Alasan ini batil, sebab ancaman yang terkandung dalam hadis Baginda adalah sama, baik berbohong atas nama Baginda mahupun berbohong membela Baginda. Alhamdulillah, agama Islam telah sempurna sehingga tidak memerlukan penguat berupa kebohongan.” (Fathul Bari, VI/499)
Artikel ini disiarkan di akhbar pada Jumaat, 18.04.2014
Ustaz Idris bin Sulaiman
Daripada ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ra., Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil tanpa perlu takut. Dan barangsiapa berbohong ke atasku dengan sengaja maka bersiaplah dia mengambil tempatnya di Neraka.” (Al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan saranan supaya kita menyampaikan ilmu tidak kira banyak atau sedikit, asalkan ia ilmu dari Al-Quran dan Sunnah maka hendaklah ia disampaikan. Dalam ertikata lain, jangan kita tahan ilmu itu sehingga kita mencapai maqam tertentu, atau maqam ulama mujtahidin baru kita boleh berdakwah. Itu bukan syarat.
Sebaliknya, apa ilmu yang kita ada, asalkan kita telah pastikan dan yakin akan kesahihannya bersama dalil dari Al-Quran dan Sunnah, maka menjadi kewajipan atas kita untuk menyampaikan kepada orang lain.
Bagaimanapun, ada juga syaratnya; iaitu ayat yang disampaikan itu baik Al-Quran mahupun hadis hendaklah dipastikan benar bukan saja lafaznya tetapi juga tafsirannya. Tafsiran kepada ayat tersebut hendaklah dipastikan benar, bukan tafsiran mengikut hawa nafsu dan sebagainya.
Adapun hadis perlu lebih diambil berat kerana ia perlu dipastikan kesahihannya di samping pemahamannya. Kerana itu Nabi SAW turut menyebut selepas saranan “Sampaikan dariku walau satu ayat”, datang pula amaran; “Dan barangsiapa berbohong atasku dengan sengaja maka siaplah dia mengambil tempatnya di Neraka”. Maka sebelum menyampaikan sesuatu hadis, hendaklah kita pastikan ia adalah hadis yang telah disahihkan oleh ulama hadis kerana mereka adalah pakar di dalam bidangnya.
Jika kita tidak mengambil berat sama ada hadis itu sahih atau tidak, besar kemungkinan kita menyebarkan hadis yang salah. Dan berapa banyak hadis palsu yang terkumpul di dalam buku-buku, akhbar dan majalah sekarang ini. Berapa banyak hadis-hadis lemah, tidak kurang juga hadis palsu yang terus disebarkan, maka jangan kita tergolong di kalangan mereka yang menyebarkan hadis lemah dan palsu.
BOHONG ATAS NAMA NABI TIDAK SAMA BOHONG ATAS ORANG LAIN
Rasulullah jelas memberi amaran “barang siapa yang berbohong ke atasku”. Maksud berbohong atas Rasulullah adalah suatu hadis itu tidak disebut oleh Rasulullah, tetapi kita mengatakan “Sabda Nabi … sekian sekian…” sedangkan belum dibuktikan kesahihan bahawa ia disebut oleh Rasulullah, belum dibuktikan Rasulullah melakukannya. Tetapi kita mengatakan Rasulullah mengatakan begitu begini, Rasulullah melakukan begitu begini. Ia perbuatan berbohong atas Nabi, menyandarkan sesuatu ke atas Nabi sedangkan tidak sabit Baginda melakukannya.
Berbohong ke atas Nabi SAW tidak sama dengan berbohong ke atas orang lain. Berbohong atas Nabi SAW implikasinya adalah perkara-perkara akidah, ibadah, halal haram, perkara agama secara keseluruhannya yang menjadi penentu sama ada kita masuk Syurga atau tidak. Begitu juga kalau kita berbohong atas para Ulama. Itu juga tidak sama kalau kita berbohong ke atas manusia lain, kerana para ulama adalah pewaris Nabi.
Bagaimana kalau seseorang itu telah menyampaikan satu hadis palsu kerana dia tidak tahu. Apa yang menjadi tanggungjawabnya? Dia bertanggungjawab menarik balik dan membetulkan kesalahan yang dilakukan sebelumnya. Hendaklah dia bertaubat, beristighfar, tidak cukup dengan itu kerana dia bertanggungjawab menarik balik hadis yang telah dia sampaikan.
Ini kerana jika tidak, orang lain tidak tahu bahawa hadis itu lemah/palsu, orang tidak tahu dia telah bertaubat, yang orang tahu hanya kata-katanya yang lama. Maka dia perlu menarik balik serta mengkhabarkan kepada orang yang telah dia sampaikan itu bahawa hadis yang dia sampaikan dulu adalah tidak sahih dan dia menarik balik. Itu menjadi kewajipannya.
KEPENTINGAN MENYAHUT SERUAN SAMPAIKAN WALAU 1 AYAT
Signifikan saranan Rasulullah “Sampaikan walau sepotong ayat”, adalah kalau semua orang menyahut seruan itu, akhirnya akan terlengkaplah segala yang kita warisi daripada Nabi SAW. Ini kerana manusia masing-masing ada kemampuan yang terbatas, ada kelemahan dan kekurangan. Maka umat Islam saling melengkapi antara satu sama lain. Kalau kita berharap pada seorang sahaja, hal itu akan memberi mudarat. Hasilnya umat Islam seluruhnya akan ditimpa mudarat, kerana pasti seorang itu tidak akan dapat memikul tanggungjawab itu kesemuanya.
Begitu juga para Ulama. Kita melihat para Ulama telah mengambil peranan mereka masing-masing. Syaikh Bin Baaz rhm. mengambil peranan sebagai mufti. Segala masalah umat datang kepadanya dari sekecil-kecil sampai sebesar-besar masalah, orang merujuk kepadanya. Maka dia mencurahkan masa dan tenaganya berbakti kepada umat, menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan (umum).
Syaikh Ibn Soleh Al-Utsaimin rhm. pula terkenal seorang faqih, dia membuat kelas-kelas pengajian. Dia tidak banyak menulis, namun hasil dari kuliah-kuliahnya di masjid akhirnya dibukukan oleh murid-muridnya. Dia menulis sendiri tidak ada kerana masanya dihabiskan di masjid untuk mengajar. Orang bertanya dan beliau menjelaskan, akhirnya banyak permasalahan-permasalahan fekah dan ilmu secara khasnya kalau kita tidak tahu, kita boleh kembali kepadanya.
Syaikh Al-Albani rhm. pula telah mencurahkan masa dan tenaganya dalam bidang hadis. Kita lihat masing-masing ada fokus. Mereka melengkapi satu sama lain. Inilah sebenarnya hubungan antara umat Islam sesama mereka, “Seorang yang beriman dengan orang beriman yang lain adalah ibarat binaan yang saling mengukuhkan antara satu sama lain.” (Al-Bukhari dan Muslim)
PENYIMPANGAN GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN SEBAR HADIS LEMAH DAN PALSU
Syaikh Ibn Salih Al-Utsaimin menyebut tentang adanya kumpulan yang menyimpang dari kebenaran, iaitu golongan Sufi aliran Al-Karamiyyah; satu kumpulan lama yang warisnya masih ada hingga hari ini. Mereka mendakwa boleh menyampaikan hadis dhaif, bahkan hadis palsu dalam bab yang berkaitan Al-Targhib dan Al-Tarhib (galakan kepada ibadah dan ancaman melakukan keburukan), kerana bagi mereka tujuannya baik iaitu menggalakkan orang beribadah dan melarang orang melakukan kemaksiatan.
Mereka beralasan bahawa hadis Nabi SAW “Barangsiapa berbohong ke atasku” adalah larangan berbohong untuk melawan Nabi, sedangkan berbohong untuk membela apa yang dibawa oleh Nabi maka ia dibolehkan.
Para Ulama telah menyanggah hujah mereka yang batil, yang menunjukkan kedangkalan pemikiran dan pemahaman mereka, kerana mereka seolah-olah lupa larangan berbicara tanpa ilmu. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (Al-Israa’ : 36)
Jelas mereka telah berbicara tanpa ilmu. Mereka berbicara tentang galakan serta suruhan yang bukan dari Syarak. Segala yang bukan dari Syarak itu bukan ilmu, bahkan itu adalah kebatilan. Imam Ibnu Qayyim rhm berkata, “Ilmu (agama) itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah SAW dan perkataan para Sahabat. (I’lam Al-Muwaqqi’in II/149)
Mereka juga seolah-olah lupa akan ancaman berbohong secara umumnya, dan mereka telah berbohong. Mereka menyandarkan apa yang bukan daripada Nabi kepada Nabi, mereka mengatakan ini Sabda Nabi sedangkan Nabi tidak bersabda begitu, dan mereka tahu hal ini. Syarak secara umumnya mengancam kita daripada berbohong kepada sesama manusia, apatah lagi berbohong ke atas Nabi SAW.
Al-Hafiz Ibn Katsir berkata, “Orang-orang yang memalsukan hadis bermacam-macam, antaranya; 1. Orang-orang kafir zindiq. 2. Ahli ibadah; mereka menyangka telah berbuat kebaikan yang sebaik-baiknya. Mereka membuat hadis palsu yang mengandungi galakan dan ancaman dan hadis-hadis fadilat amal supaya orang beramal. Mereka adalah golongan Al-Karamiyyah dan lainnya. Merekalah manusia paling jahat dalam melakukan cara ini.” (Ikhtisaar Ulum Al-Hadis, hlm. 79)
Al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Sangat bodohlah orang Al-Karamiyyah dan sebahagian kelompok yang mengaku ahli zuhud yang berkata, ‘Berbohong dan mengada-adakan terhadap Nabi untuk meneguhkan agama, manhaj Ahli Sunnah, serta targhib dan tarhib hukumnya boleh.’ Mereka beralasan bahawa datangnya ancaman itu hanya bagi orang yang berbohong untuk untuk mendustakan Nabi sahaja, bukan berbohong untuk membela Nabi. Alasan ini batil, sebab ancaman yang terkandung dalam hadis Baginda adalah sama, baik berbohong atas nama Baginda mahupun berbohong membela Baginda. Alhamdulillah, agama Islam telah sempurna sehingga tidak memerlukan penguat berupa kebohongan.” (Fathul Bari, VI/499)
Artikel ini disiarkan di akhbar pada Jumaat, 18.04.2014
Makna Sebenarnya dari Hadits "Sampaikan dariku walau hanya satu ayat..."
Ketika mempraktekkan sabda Nabi "ballighu 'anni wa lau aayah" (sampaikan dariku, walau satu ayat) titik tekannya bukan pada soal hanya satu ayat yang kita tahu redaksinya lalu kita menyampaikan dengan menggampangkan persoalan.
Nabi mengatakan 'annii (dariku) artinya baik redaksi maupun maknanya harus dari Nabi atau sesuai dengan kebenaran. Lafal dan makna itu satu paket.
Jika kita menyampaikan satu ayat dengan makna yang tidak sesuai dengan makna yang dikehendaki Nabi, meskipun kita fasih sekali mengucapkan redaksi ayat tersebut, tetap saja TIDAK BISA dibilang "ballighu 'anni wa lau aayah".
Untuk memahami makna satu ayat saja terkadang kita perlu membaca banyak ayat. Tidak mungkin kita menyampaikan satu ayat saja misalnya yang berbunyi, "fa waylun lil mushallin" (maka celakalah orang-orang yang salat) dengan redaksi itu saja lalu memotong makna yang kita sampaikan hanya pada lahiriah redaksi satu ayat tersebut, dengan alasan kata Nabi sampaikan dariku walau hanya satu ayat, sementara lanjutan ayat jelas-jelas "alladzina hum fi shalatihim saahuun" (yaitu orang-orang yang dalam shalatnya disertai kelalaian".)
Dalam hal kita tidak paham maknanya, memang Nabi Muhammad tetap memotivasi kita untuk menyampaikan ayat atau sabdanya, dengan tujuan untuk menyebarkannya lebih luas "fal yuballighusy syahidu minkumul ghaib" (maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan pada mereka yang tidak hadir), namun sampaikan lafal apa adanya jika tidak mengetahui maknanya, karena "rubba muballighin aw'a min saami'in" (kadang orang yang menyampaikan lebih tidak tahu daripada orang yang disampaikan).
Apakah kita harus mengetahui keseluruhan ilmu sampai dengan detilnya baru kita boleh menyampaikan sesuatu bagian dari ilmu?
Tidak harus, namun pengetahuan menyeluruh meskipun umum sangat membantu kita terhindarkan dari kesalahan ketika menemui satu bagian parsial dari ilmu yang belum pernah kita dengar penjelasannya bagaimana. Yaitu kalau kita memaknai yang parsial itu di bawah naungan yang universal. Seperti yang saya kutip dari status twitter dari ulama baik hati ini, syaikh Ibn Bayyah,
المنهج الصحيح وسط. يعطي الكلي نصيبه ويضع الجزئي في نصابه
"Metode (manhaj) yang sehat dan moderat adalah kita menjadikan pemahaman umum sebagai timbangan dan meletakkan hal-hal parsial pada timbangan tersebut".
Tidak lain dan tidak bukan, untuk memahami secara umum apa yang dikehendaki agama ini, itu membutuhkan perhatian, kesukaan dan ketekunan pada ilmu-ilmu agama. Orang yang tidak memahami maksud-maksud agama secara umum, ketika menemui teks-teks parsial, bisa menyimpangkan pemahamannya. Sedangkan orang yang berbekal pemahaman umum tapi sehat, ketika menemui teks-teks parsial, meskipun dia baru pertama kali menemuinya dan belum pernah mempelajari secara khusus teks parsial tersebut, secara intuitif dia bisa terbantu dengan pemahaman umum tersebut.
Jika kita tidak memiliki bekal minimal seperti pemahaman umum ini, seringkali kita akan membawa teks-teks parsial pada kecenderungan emosional kita. Dalam hal ini, kecelakaan orang yang meremehkan sama dengan kecelakaan orang yang berlebihan, kesalahan orang yang terlalu lunak sama juga dengan kesalahan orang yang terlalu keras.
Yang pertama akan membawa ayat-ayat seperti QS 2:62 ke pemahaman relativisme, yang kedua akan membawa ayat-ayat seperti QS 9:5 ke pemahaman ekstrimisme. Keduanya bukan termasuk "aku menyampaikan dari Nabi Muhammad" tapi pada hakikatnya hanya "aku menyampaikan dari nafsuku sendiri".
(Priyo Jatmiko)
Sampaikan Walau Satu Ayat
Dakwah
adalah satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari
sudut bahasa, dakwah artinya mengajak atau menyeru. Adapun istilah
dakwah yang biasa kita gunakan memiliki pengertian yang lebih khusus:
mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah). Ini
artinya sangat luas, yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan,
dari syirik kepada tauhid, dari kesesatan kepada petunjuk, dari
kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islami,
dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari bid’ah kepada sunnah, dari
keburukan kepada kebaikan.
Adapun yang kita ajak adalah manusia seluruhnya, orang lain yang ada
di sekitar kita. Orang kafir kita dakwahi agar mendapatkan hidayah
keimanan dari Allah. Bahkan sesama muslim pun perlu didakwahi karena
ternyata masih sangat banyak umat muslim yang suka melanggar ajaran
agama.
Dari pengertian dakwah yang seperti ini, sebetulnya dakwah itu sangat luas. Dakwah tidak hanya terbatas pada ceramah agama dan tabligh akbar. Segala usaha dan upaya yang kita lakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah sebagaimana tersebut diatas adalah dakwah. Karena itu, dakwah sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari yang paling sederhana seperti memberi nasihat kepada teman kita, memberikan sedikit ilmu yang kita ketahui kepada orang lain, atau memberikan keteladanan yang baik.
Nah, dengan pemahaman seperti ini, sebetulnya semua orang bisa berdakwah. Dakwah bukan monopoli para ustadz atau para kyai. Siapapun bisa berdakwah, tentu saja sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. Inilah makna dari sabda Rasulullah saw: Ballighuu ‘annii walau aayat ‘Sampaikan dariku meski hanya satu ayat.’ Ini artinya, jika engkau tahu satu ayat, sampaikan satu ayat. Jika engkau tahu dua ayat, sampaikan dua ayat. Demikian seterusnya. Jangan sampai kita tahu satu ayat – apalagi lebih – tetapi kita diam saja atau bahkan menyembunyikannya.
Sebetulnya, dakwah dalam pengertian yang luas seperti ini bukan hanya bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi semestinya harus dilakukan oleh semua orang. Bukankah Allah Ta’ala telah menegaskan dalam QS Al-‘Ashr bahwa yang harus dilakukan oleh setiap orang agar tidak merugi, setelah beriman dan beramal shalih, adalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, yang tidak lain adalah dakwah itu sendiri.
Lebih dari sebuah kewajiban, dakwah sejatinya memiliki banyak keutamaan. Pertama, dakwah adalah tugas utama para rasul (muhimmatul rusul). Seluruh nabi dan rasul, tanpa kecuali, diutus oleh Allah dengan tugas utama untuk berdakwah. Dan keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni para nabi dan rasul.
Selanjutnya, mari kita perhatikan firman Allah berikut ini:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf [12]: 108).
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang mengikuti Rasulullah saw adalah orang-orang yang mengambil dakwah sebagai jalan hidupnya. Ini artinya, jika kita ingin menjadi pengikut Rasulullah saw maka tidak bisa tidak kita harus mau berdakwah.
Kedua, dakwah adalah amal perbuatan yang terbaik (ahsanul a’mal). Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushilat [41]: 33).
Sayyid Quthb berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah…”
Ketiga, dakwah akan diganjar oleh Allah dengan balasan yang besar dan berlipat ganda. Marilah kita simak sabda-sabda Rasulullah saw berikut ini:
“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan seperti orang yang melakukannya.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, dan Ibnu Abid Dunya)
“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
“Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang karena (dakwah)mu maka itu lebih bagimu daripada unta merah.” (Bukhari, Muslim & Ahmad). Unta merah adalah kendaraan yang paling mewah dan paling dibanggakan di zaman Nabi.
Rasulullah saw berkata kepada Ali ra: “Wahai Ali, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
“Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili). Subhanallah, berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits diatas lalu mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh yang mengatakan: “Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”
Keempat, dakwah pada saat yang sama adalah nasihat bagi diri sendiri. Dengan demikian, sebelum dakwah itu bermanfaat bagi orang yang didakwahi, dakwah sudah memberikan manfaat kepada orang yang berdakwah itu sendiri. Dengan berdakwah, seseorang akan terpacu untuk senantiasa belajar, dan terpacu untuk beramal shalih sebagaimana yang ia dakwahkan kepada orang lain. Dengan berdakwah, seseorang juga akan memiliki rasa malu kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Ia akan merasa malu jika ia tidak melaksanakan ketaatan sebagaimana yang ia dakwahkan. Ini tentu saja merupakan faktor positif yang akan mendorong seseorang untuk bisa bertahan menjadi orang yang baik.
Kelima, dakwah merupakan penyelamat dari adzab Allah. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ -فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu , dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (Al-A’raf (7): 163-165).
Dalam ayat diatas, dengan tegas dinyatakan bahwa meskipun suatu masyarakat sudah sangat sulit diajak menjadi baik, kita tetap harus memberikan nasihat, agar kita mempunyai alasan dihadapan Allah yang bisa menyelamatkan kita dari adzab-Nya yang dahsyat. Jika ini tidak kita lakukan, maka bersiap-siaplah menerima adzab Allah yang akan ditimpakan secara merata, menimpa orang yang zhalim dan juga orang yang baik.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 25)
Absennya dakwah di tengah-tengah masyarakat juga akan mengakibatkan doa-doa kita tidak lagi didengar oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).
Dan keenam, dakwah merupakan jalan menuju khairu ummah (umat terbaik). Allah SWT berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali ‘Imran [3]: 110)
Dalam ayat diatas, dijelaskan dengan gamblang bahwa umat terbaik adalah umat yang menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah, yang tidak lain adalah dakwah itu sendiri.
Demikianlah sekian banyak keutamaan-keutamaan dakwah, yang membuat kita sadar bahwa lebih dari sebuah kewajiban, dakwah adalah kebutuhan kita sendiri. Karena itu, marilah setiap kita mengambil peran dan porsi dalam dakwah sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Allahu akbar! [Abdur Rosyid]
Sumber:IkadiJatim
KATAKAN KEBENARAN SEKALIPUN ITU PAHIT
December 8, 2013 at 12:10 am | Posted in Hadits |
TAKHRIJ HADITS “KATAKAN KEBENARAN SEKALIPUN ITU PAHIT”
Dalam satu kesempatan sahabat Abu Dzar Rodhiyallahu anhu diberikan
beberapa wejangan oleh Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, diantara isi
wejangannya adalah :
قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا
“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit”.Takhrij Hadits :
Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” (no. 4737) dari jalan Abdul Malik Ibnu Juraij dari ‘Athoo’ dari ‘Ubaid bin Umair Al-Laitsi dari Abu dzar Rodhiyallahu anhu : “dalam hadits yang panjang”.
Semua perowinya tsiqoh, hanya saja Ibnu Juraij seorang yang mudallis dan disini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah.
Imam Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 362), Imam Al Qodho’I dalam “Al Musnad” (no. 610), Imam Thabrani dalam “Makarimul Akhlaq” (no. 1), Imam Al Ajuriy dalam “Al Arba’iin” (no. 44) dari jalan Ibrohim bin Yahya bin Yahya dari Bapaknya dari Kakeknya dari Abu Idriis Al Khoulaaniy dari Abu Dzar Rodhiyallahu anhu : “juga dalam hadits yang panjang”.
Ibrohim, Bapaknya Hisyam dan kakeknya Yahya, semuanya dinilai tsiqoh oleh Imam Thabrani dan Imam Ibnu Hibban. Imam Abu Hatim menilainya “Sholihul hadits” dalam “Jarh wa Ta’dil (no. 270). Abu Idriis adalah Aidzullah bin Abdullah adalah salah seorang Imam Tabi’in.
Status Hadits :
Berdasarkan keterangan diatas hadits ini shahih atau shahih lighoirihi, jika kita katakan sanadnya Ibrohim adalah hasan dan menjadi shahih dengan penguat sanadnya Ibnu Juraij.
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim sebagaimana dinukil oleh Imam Al Albani dalam “Shahih Targhib wa Tarhiin”, lalu dishahihkan juga oleh Imam Ibnu Hibban, karena memasukkan hadits ini dalam kitab shahihnya, kemudian juga oleh Imam Al Albani sendiri dalam beberapa kitabnya. Imam Al Albani dalam “Silsilah Ahadits Shahihah” (no. 2166) telah mentakhrij hadits wasiat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam kepada Abu Dzar Rodhiyallahu anhu, namun lafadznya :
و أمرني أن أقول بالحق و إن كان مرا
“dan Beliau Sholallahu ‘alaihi wa Salaam memerintahkanku untuk berkata benar, sekalipun itu pahit”.Imam as-Sakhowiy dalam “Maqoosidul Hasanah” (no. 778) berkata :
وفي الباب عن جابر مرفوعا: ما من صدقة أفضل من قول
الحق، وقيل: أنه عن أبي هريرة مرفوعا أيضا، ولفظه: ما من صدقة أحب إلى
اللَّه من قول الحق، أخرجهما البيهقي، وشواهد هذا المعنى كثيرة، وكذا على
الألسنة: قل الحق ولو على نفسك، وإليه يشير قوله تعالى {يا أيها الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى
أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ} .
“dalam bab ini dari Jabir Rodhiyallahu anhu secara marfu’ Nabi
Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda : “tidak ada kejujuran yang lebih
utama daripada ucapan kebenaran”. Dikatakan juga diriwayatkan dari Abu
Huroiroh Rodhiyallahu anhu secara marfu’ dengan lafadz : “tidak ada
kejujuran yang lebih dicintai oleh Allah daripada ucapan kebenaran” (HR.
Baihaqi). Penguat untuk makna hadits ini sangat banyak, demikian juga
telah masyhur di lisan-lisan manusia : ‘katakan kebenaran sekalipun itu
terhadap dirimu sendiri”. Hal ini mengisyaratkan kepada Firman Allah
Azza wa Jalla : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian
orang-orang yang menegakkan keadilan yang menjadi saksi untuk Allah,
sekalipun terhadap diri-diri kalian atau kepada kedua orang tua dan
karib kerabatnya”.Katakanlah Kebenaran Walau itu Pahit
Berkatalah yang benar walau itu pahit. Kebenaran tetap diterapkan walau ada celaan dan ada yang tidak suka. Inilah prinsip yang diajarkan dalam Islam oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nasehat ini beliau sampaikan pada sahabat mulia Abu Dzarr. Dalam tulisan kali ini akan diajarkan tiga contoh penerapan bagaimana kita mesti menerapkan kebenaran meski banyak yang berkomentar.
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِسَبْعٍ
أَمَرَنِى بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِى أَنْ
أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِى وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى
وَأَمَرَنِى أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ
أَسْأَلَ أَحَداً شَيْئاً وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ
كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِى أَنْ لاَ أَخَافَ فِى اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
وَأَمَرَنِى أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin memberikan contoh mengenai hadits “Berkata yang benar walaupun pahit” yaitu dalam hal orang awam yang biasa berkomentar sinis atau tidak suka terhadap ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau membawakan tiga contoh ketika menjelaskan hadits dalam Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi.
Contoh pertama:
Meluruskan shaf dalam shalat jama’ah. Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin banyak orang awam yang mengingkari hal ini. Ketika disuruh maju atau mundur sedikit supaya lurus, ada yang mengingkari. Ada pun yang marah gara-gara disuruh meluruskan shaf. Namun meskipun demikian, imam harus tetap mengajarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pada para jama’ah. Ia harus sabar meladeni mereka yang bersikap tidak baik.
Contoh kedua:
Sebagian jama’ah mengingkari adanya sujud sahwi sesudah salam. Sampai-sampai ada yang menganggap bahwa sujud sahwi sesudah salam adalah ajaran yang baru. Padahal jika ditilik pada hadits, ada yang menyebutkan bahwa sujud sahwi sesudah salam, ada yang menyebutkan sebelum salam. Jika ada penambahan dalam shalat atau ada ragu-ragu tetapi bisa dikuatkan, maka sujud sahwi yang ada adalah sesudah salam. Tetap imam saat lupa seperti ini melakukan sujud sahwi (sebanyak dua kali sujud) sesudah salam, tidak perlu ia takut akan celaan meskipun itu terasa pahit. Lihat penjelasan Rumaysho.Com mengenai: Tata Cara Sujud Sahwi.
Contoh ketiga:
Sebagian orang merasa aneh jika ada yang mau jujur dalam jual beli. Tatkala si penjual barang menyampaikan ada sesuatu yang aib (cacat) dalam barang dagangan, seperti ini dianggap aneh. Sampai dikata, “Wah itu kan cacat sedikit, yang lain pasti masih senang dengan barang itu.” Padahal seharusnya setiap orang itu bertakwa pada Allah di mana pun, dengan bersikap jujur dalam jual beli. Ia mesti berbuat adil dengan menjelaskan kenyataan cacat yang ada pada barang yang akan dijual. Jika memang sikap jujur seperti ini dianggap aneh, maka sampaikanlah bahwa ajaran seperti ini dari Islam. Sehingga nantinya mereka pun tahu dan bisa menerapkannya. Baca artikel Rumaysho.Com mengenai sikap jujur: (1) Berkah dari Kejujuran dalam Bisnis, (2) Berlakulah Jujur!, (3) Bendahara yang Jujur dan Amanat, (4) Mencari Orang yang Jujur itu Sulit.
Demikian penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin yang kami bahasakan secara bebas dan ringkaskan dari kitab Syarh Riyadhus Sholihin, 2: 428-430.
Semoga Allah meneguhkan kita selalu di atas kebenaran dan diberi taufik berkata yang benar walau itu pahit.
Susah Sekali Melakukan Kebaikan Pada Empat Keadaan...
- Memberi maaf ketika marah.
- Bersedekah ketika kesempitan.
- Menjauhi perkara haram ketika seorang diri.
- Berkata benar kepada orang yang ditakuti atau orang yang selalu menolong.
Memberi maaf ketika marah
Rasulullah ﷺ bersabda, "Orang yang paling gagah perkasa di antara kamu semua ialah orang yang dapat mengalahkan nafsunya di waktu marah dan orang yang tersabar di antara kamu semua ialah orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain padahal ia berkuasa untuk membalasnya." (Riwayat Ibnu Abidunya dan Baihaqi)
Pernah berlaku, Sayidina Ali k.wj dalam satu peperangan, sudah berjaya menjatuhkan musuh..tiba-tiba musuh meludah mukanya. Lalu Sayidina Ali k.wj tidak jadi membunuh musuh tersebut. Bila ditanya mengapa tidak dibunuh musuh itu, beliau menjawab, aku bimbang jika ku bunuh juga musuh itu, bukan lagi kerana Allah, tetapi kerana marahkan ludahan orang itu.
Bukanlah mudah memberi kemaafan ketika marah, kerana itu marah itu perlu dikawal. Sabda Rasulullah ﷺ lagi, "Sesungguhnya marah itu datangnya dari syaitan, dan syaitan itu dijadikan dari api, dan yang dapat memadamkan api itu hanyalah air, maka apabila seorang dalam keadaan marah, hendaklah segera berwudhuk". (HR. Ahmad, Abu Dawud)
Bersedekah ketika kesempitan
Amat susah juga bersedekah ketika kesempitan. Jika kita dalam kesenangan, ramai yang boleh bersedekah, tetapi amat sedikit yang boleh berbuat demikian ketika sedang susah.
Perkara ini dapat dilihat dalam kehidupan Sayidina Ali k.wj. Pernah Siti Fatimah, isteri Sayidina Ali k.wj didatangi seorang peminta sedekah. Ketika itu Sayidina Ali k.wj mempunyai 50 dirham. Setelah menerima wang, pengemis itu pun balik. Di pertengahan jalan, Sayidina Ali bertanya berapa banyak yang diberi oleh Sayidatina Fatimah. Apabila diberitahu 25 dirham, Sayidina Ali menyuruh pengemis itu pergi sekali lagi ke rumahnya. Pengemis itu pun pergi dan Fatimah memberikan baki 25 dirham kepada pengemis itu.
Hebatnya kedua suami isteri yang telah dididik Rasulullah ﷺ.
Senyum? Benar senyum itu satu sedekah..tetapi perkara semudah itupun ramai yang masih gagal berbuat, apatahlagi bersedekah harta dalam masa sedang kesempitan. Tetapi Sayidina Ali dan Fatimah telah buktikan, hingga habis apa yang ada disedekahkan, kerana mereka amat yakin Allah Maha Pemberi Rezeki dan menjamin rezeki mereka.
Dalam kisah yang lain, datang seorang hamba Allah berjumpa Sayidina Ali dengan membawa seekor unta. Orang itu mengadu dalam kesusahan dan ingin menjualkan untanya. Maka tanpa berlengah Sayidina Ali menyatakan kesanggupan untuk membelinya, meskipun ketika itu dia tidak berwang. Dia berjanji akan membayar harga unta itu dalam masa beberapa hari.
Dalam perjalanan pulang, Sayidina Ali berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin membeli unta itu dengan harga yang lebih tinggi daripada harga asal. Dia pun menjualkan unta kepada orang itu. Setelah mendapat wang, Sayidina Ali pun menjelaskan hutangnya kepada penjual unta.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah ﷺ berjumpa Sayidina Ali lalu bertanya "Ya Ali, tahukah kamu siapakah yang menjual dan membeli unta itu?" Apabila Sayidina Ali mengatakan tidak tahu, Nabi menerangkan yang menjual itu ialah Jibril dan yang membelinya ialah Mikail.
Menjauhi perkara haram ketika seorang diri
Menjauhi perkara haram ketika seorang diri juga amat susah dilakukan. Kalau kita dapat menjauhi perkara haram ketika ramai, itu biasa, kerana malukan manusia, tetapi jika dapat menjauhi perkara haram ketika seorang diri, itulah sifat taqwa. Hasil rasa kehambaannya kepada Allah, dia merasa takutkan Allah, dan merasai Allah SWT sentiasa mengawasinya.
Ramai yang boleh menjauhi perkara haram ketika ramai, kerana malukan manusia, tetapi alangkah baiknya jika rasa malu itu dapat dikekalkan di hadapan Allah, maka itulah benteng dari berbuat maksiat.
Daripada Abu Mas’ud ‘Uqbah ‘Amir: “Sesungguhnya antara yang didapati manusia daripada ucapan Nabi terdahulu adalah ‘apabila engkau tidak malu, maka lakukan apa pun yang engkau mahu.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari)
Hadis itu menunjukkan betapa tanpa sifat malu, seseorang itu boleh melakukan apa saja kerana tidak takut seksaan Allah. Tidak merasai keAllah ada, malah tidak rasa Allah sentiasa mengawasi dan melihatnya. Dia seolah-olah orang yang tidak beriman, kerana malu juga satu cabang daripada iman.
Abdullah bin ‘Umar pernah mengatakan: “Malu dan iman itu sentiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu daripada keduanya, hilang pula yang lainnya.” (Hadis riwayat al-Bukhari)
Malulah kepada Allah jika ingin berbuat yang haram ketika berseorangan. Tetapi bagaimana hendak malu kepada Allah jika Allah itu tidak dikenali?
Berkata benar kepada orang yang ditakuti atau orang yang selalu menolong
Berkata benar amat dituntut kerana Allah SWT berfirman:
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
Kebenaran itu datang dari Rabbmu,maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu." (Al-Baqarah:147)
Sabda Rasulullah ﷺ: "Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yg mencerca" (HR.Al-Baihaqi)
Firman Allah dan Al Hadis di atas adalah sebagai asas menyatakan kebenaran, dan pastinya akan ada orang yang menolak kebenaran itu, khususnya orang-orang munafik dan tidak beriman.
Maka kita di suruh berkata benar sekalipun pahit, sama ada kepada orang yang zalim (orang yang kita tidak suka), ataupun berkata benar dalam menegur orang yang kita sayangi.
Dan ada sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائ
"Jihad yang utama ialah berkata benar di hadapan pemerintah yang zalim.” (Riwayat At-Tirmizi & Ibn Majah)Maka kita diajar cara untuk berkata benar di hadapan pemerintah yang zalim, dalam firman Allah SWT:
فَقُولَا
لَهُ ۥ قَوۡلاً۬ لَّيِّنً۬ا لَّعَلَّهُ ۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ (٤٤)
قَالَا رَبَّنَآ إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفۡرُطَ عَلَيۡنَآ أَوۡ أَن
يَطۡغَىٰ (٤٥) قَالَ لَا تَخَافَآۖ إِنَّنِى مَعَڪُمَآ أَسۡمَعُ وَأَرَىٰ
"Kemudian hendaklah kamu berkata kepadanya (Firaun), dengan kata-kata yang lemah-lembut, semoga dia beringat atau takut kepada-Ku. (44) Mereka berdua (Musa dan Harun) berkata: Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya kami takut bahawa ia akan segera menyeksa kami atau dia akan melampau batas. (45) Allah berfirman: Janganlah kamu takut, sesungguhnya Aku ada bersama-sama kamu; Aku mendengar dan melihat segala-galanya. (46)" (Toha: 20: 44-46)
Mampukah kita memperkata kebenaran terhadap pemerintah yang zalim atau orang yang ditakuti mendatangkan mudharat kepada kita?
Sekiranya mampu, lakukanlah dengan baik dan betul caranya.
Sabda Rasulullah ﷺ :
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).” (Hadis Imam Ahmad, Abu Nu’aim)
Kerana itu banyak kisah-kisah ulama dahulu menasihati pemimpin, agar sentiasa ingat dan berada di landasan yang betul. Tidak kurang juga mereka terpenjara dan diseksa hanya kerana berani menyatakan kebenaran. Saya telah tuliskan dalam nota Ulama Wajib Menasihati Penguasa, Jangan Bersekutu Dalam Menzalimi Hamba ALLAH dan Pemimpin Perlu Bersih Dan Dilihat Bersih
Sebagai tambahan, elok kisah ini kita hayati. Seorang lelaki telah datang ke istana Amirul Mukminin Harun al-Rasyid, untuk menasihati Khalifah. Di hadapan Harun al-Rasyid, orang itu mengucapkan kata-kata yang kasar dan pedas.
Orang itu berkata, "Wahai Harun al-Rasyid, selama ini anda sudah melakukan begini dan begitu". Ia menyebutkan keburukan-keburukan Harun al-Rasyid.
Setelah selesai mendengarkan perkataan orang itu, Harun al-Rasyid menjawab, "Duhai saudaraku, apakah anda lebih baik dari Musa a.s?"
Orang itu menjawab, "Tentu saja, tidak".
Harun al-Rasyid kembali bertanya, "Apakah saya lebih jahat dari Firaun?"
Orang itu menjawab, "Tentu saja, tidak".
Harun al-Rasyid berkata, "Kalau begitu, selama anda tidak lebih mulia dibanding Musa a.s dan saya tidak lebih jahat dibanding Firaun, maka tidakkah anda perhatikan bahwa AllahSWT berfirman kepada Musa, "Kemudian hendaklah kamu berkata kepadanya (Firaun), dengan kata-kata yang lemah-lembut, semoga dia beringat atau takut kepada-Ku. (Thoha:20:44).
Begitulah jawaban Harun al-Rasyid kepada orang yang menasihatinya.
Bagaimana pula berkata benar kepada orang yang selalu menolong kita atau yang kita sayangi?
Sebenarnya perkara ini lebih sulit lagi untuk dilakukan. Hanya orang-orang yang ikhlas dipermudahkan Allah untuk melaksanakannya. Terutama seorang pemimpin, selalu gagal kepemimpinannya kerana gagal menasihati pembantu-pembantunya...atau pengampu-pengampunya. Lebih-lebih lagi jika telah terhutang budi.
Tetapi bagi mereka yang bertaqwa, takutkan Allah, dipermudahkan Allah. Sebagaimana kisah Sayidina Umar menegur isterinya yang menerima hadiah kalung emas dari isteri pembesar Romawi. Kerana taqwa juga, si isteri dengan rela hati memulangkan kalung itu ke baitulmal, setelah menyedari dia tidak layak memilikinya
Moga mendapat manfaat, sebagai peringatan diri yang selalu lupa.
محمد فضلي بن يوسف
QULILLHAQ WALAUKAANA MURRA (HADIST NABI SUCI INI BERMAKNA; "KATAKANLAH YANG BENAR WALAUPUN PAHIT")
Qalbu diciptakan Tuhan bukan untuk di jadikan musuh yang selalu merintangi dan menentang segala gerak dan tindak kita, kita di perlengkapi dengan hati agar dapat memanfaatkan akal berlandaskan hati, jadikan hati nurani itu penasehat untuk memudahkan segala tindak dan gerak, dan memberi arah bagi segala amal dan usaha.
(Jasuli Ahmad)
Acheh - Sumatra
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)
Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.(QS, al Hajj: 46)
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)
Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.(QS, al Hajj: 46)
Qur-an itu terdiri dari ayat-ayat mukkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ada ayat yang dapat dipahami secara tersurat dan ada ayat yang harus dipahami secara tersirat. Ayat muhkamat tidak sukar dipahami oleh orang biasa kecuali mereka yang sudah tertutup mata hati disebabkan terlalu banyak kesalahan yang mereka perbuat dalam hidupnya. Adapun ayat-ayat mutasyabihat tidak dapat dipahami oleh siapapun kecuali "Ulul Albab".
Dari itu siapapun harus merujuk kepada ulul albab ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Justeru itu agar kita tidak sesat dalam hidup di Dunia ini harus belajar agar mengenal siapa itu ulul albab. Inilah kuncinya maka terjadi perbedaan dalam menafsirkan Qur-an, dimana diantara penafsir itu banyak yang tidak mengenal ulul albab. Perlu digaris bawahi bahwa hanya satu saja penafsiran Qur-an yang benar, yaitu penafsiran orang-orang yang mengikuti ulul albab sementara yang lainnya terjebak dalam penafsiran "mengikuti hawa nafsunya", manusia yang dhaif.
Jadi bukan salah menggunakan Hukum Syarak di dalam negara disebabkan berbeda penafsiran, tetapi bukan tempatnya hukum syarak didalam system yang taghuti. Kalau hukum syarak mau digunakan macam di Acheh di bawah system Pancasila yang taghuti itu sama dengan menempatkan kambing dalam kandang serigala atau menempatkan lembu dalam sangkar harimau. Agar syariah tidak melenceng, perjuangkan dulu system kedaulatan Allah yang tidak bertentangan dengan petunjuk Allah: "
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ( 44 )
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Pertanyaan: Apakah Indonesia, Arab Saudi, Qatar, Turkey, Mesir pra revolusi rakyat, Libya pra revolusi rakyat, Tunisia pra revolusi rakyat, menggunakan hukum yang diturunkan Allah sebagai hukum negara macam di Republik Islam Iran? Tidak, kan? Makanya semua orang yang bersatupadu dalam system negara macam itu tidak berbeda dengan orang kafir kecuali pribadi yang terpaksa "bertaqiyyah". Ini bukan klaim saya tetapi klaim Allah sendiri. Harap digaris bawahi oleh para ahli agama agar tidak salah sangka kepada kami yang meyakini kebenaran Al Qur-an secara mutlak. Itulah sebabnya mereka saling bunuh membunuh, zalim-menzalimi dan saling kafir-mengkafirkan. Tetapi bukalah mata kalian "lebar-lebar" adakah kalian temukan fenomena seperti itu di Republik Islam Iran? Ironisnya para fanatik buta menuduh kami kafir, padahal justeru merekalah yang kafir tetapi mereka tidak sadar.
Kemudian situasi di Timur Tengah tidak kacau di Zaman Nabi suci, Muhammad saww tetapi yang kacau zaman pra Islam. Hal ini dapat ditelusuri ayat berikut ini:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ( 103 )
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Ahlulbayt Rasulullah) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Namun paska kepulangan Rasulullah saww kehadhirat Allah swt, Dunia lagi-lagi kacau balau. Hal ini disebabkan mereka para pengikut Rasulullah yang hipokrit berpatah balik kebelakang, tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya sebagaimana diumumkan Rasulullah di Ghadirkhum agar mengikuti Imam Ali sepeninggalnya supaya mereka selamat Dunia - Akhirat. Hal ini sesuai juga dengan Hadist Nabi suci atau Hadist Tsaqalain: Turmudzi dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri dari Rasulullah saww, beliau bersabda,
نِِّىتَافِيْكُمْتَمَسَّكْتُمْبِهِلَنْتَضِلُّوْبَعْدِ،حََدُهُمَاعَْظَمُمِنَ
لْآخَر: كِتَاللهِحَبْلٌمَمْدُمِنَلسَّمَالَْأَ،ِْعَِتْرَتىِهَْلِبَيْتِيَ
لََنْيَفْتَرِقَاحَيَرِعَلَيَّلْحَوْ،َفَانْظُرُكَيْفَتُخَلِّفُوْنِيفِيْهِمَا
“Aku tinggalkan pada kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh padanya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu di antara keduanya lebih besar dari lainnya. Kitab Allah (al-Quran) yang merupakan tali pegangan yang terulur dari langit ke bumi dan itrahku (keluargaku). Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya tiba di telagaku. Hati-hatilah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.”
Andaikata kita memahami bagaimana ummah Nabi Musa berpatah balik paska Musa menyelamatkan Bani Israel via laut Merah setelah begitu lama diobok-obok oleh persekongkolan Fir'un, Karun, Hamman dan Bal'am, kita juga tidak heran bagaimana mungkin Ummah Muhammad berpatah balik paska kewafatannya. Ketika itu Bani Israel dipengaruhi Samiri yang membuat patung anak lembu hingga dapat bersuara. Kejadiannya saat Musa meninggalkan Harun sebagai wakilnya ketika beliau di perintahkan Allah agar pergi kesuatu tempat untuk menerima wahyu lanjutan. Bani Israel kala itu, hampir saja membunuh Nabi Harun andaikata Harun tetap mempertahankan kedudukan yang diberikan kepadanya saat Samiri menentangnya sebagaimana "Samiri-samiri" paska kewafatan Rasulullah, hampir saja membunuh Imam Ali, andaikata beliau tidak belajar sebagaimana sikap Nabi Harun, sebagaimana sering dikatakan Rasulullah sendiri bahwa Harun adalah "pelajaran" bagi Imam Ali.
Justeru itulah Timur Tengah tidak pernah aman kecuali "Aman dipasung", pakai istilah bung Imanuddin Abdul Rahman. Puncak daripada ketidakpatuhan Samiri-samiri tersebut adalah pembantaian keluarga Rasulullah sendiri serta para pengikut setianya di Karbala, Irak sekarang.
Masih herankah kita kenapa rezim-rezim Timur Tengah bersekongkol dengan siapapun demi berhasilnya melanggengkan istana-istana "Yazid" mereka? Padahal Allah telah menetapkan batas-batas kita berteman, andaikata kita termasuk Muslim benaran, bukan?
Al Qur-an adalah kalam Allah, adalah umpama kompas bagi orang-orang yang sedang mengarungi lautan luas, umpama senter bagi orang yang berjalan dalam kegelapan. Kalau kita yakin kulkas dan komputer memiliki rancangan yang rumit hingga membutuhkan buku kecil sebagai pedoman agar terjaga dari kerusakan, yakin pulalah bahwa tubuh manusia lebih rumit lagi, makanya mustahil terjaga keselamatannya tanpa buku pedoman. Itulah Al Qur-an, Pedoman Hidup untuk Manusia, bukan untuk dibaca ketika mati.
Adapun hak asasi manusia berasal dari Allah bukan dari manusia yang dhaif, kerap dipengaruhi nafsu serakahnya. Dari itu organisasi HAM yang dibentuk manusia, mungkin baik ketika baru dibentuk dulu tetapi sekarang sudah mengalami dekaden. Di negara-negara yang sekuler HAM itu bagaikan harimau ompong, tidak berdaya untuk membela kaum mustadhafin dan kaum tertindas. Lebih ironis lagi bahwa HAM dan berbagai istilah kemanusiaan lainnya sekarang sudah dipolitisi dengan politik kotor hingga para politikus yang mengklaim diri sebagai pengemban HAM bagaikan "Maling teriak maling"
Baraqallahu li walakum
(Angku di Tampokdjok - Awegeutah)
Acheh - Sumatra
Katakan Benar Walaupun Pahit
Kami NU Garis Lurus Mencintai Ulama yang mempunyai ghirah terhadap kejayaan islam. Bukan ulama yang justru menyesatkan dengan kata-kata manis.
1. Ustad Idrus Ramli Aktivis Aswaja PWNU Jatim mengatakan Pemikiran Gusdur Sesat Menyesatkan Sehingga Membuat Gusdurian Geram Karena Perkataan Ustad Idrus Ramli.
2. KH. Muhammad Najih (Santri Abuya Sayyid Muhammad Alawi Almaliki Mekkah) Dengan Terbitan Buku “MEMBONGKAR KEDOK LIBERAL DALAM TUBUH NU” Mengatakan Said Aqil & Gusmus Cenderung Membela Syiah dan Liberal. Bahkan Beliau Siap Mempertanggung Jawabkan Tulisan Dalam Buku Tersebut Terhadap Siapa Saja Baik Said Aqil atau Gusmus.
3. KH. Luthfi Bashori (Malang) Sangat Aktif Dalam Memerangi Pemikiran Liberal Sampai Membuat Gerah Beberapa Tokoh NU.
4. Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Mengatakan Bahwa Orang Yang Ceramah Di Gereja Otaknya Tidak Waras. Seperti Yang Dilakukan Nuril Arifin. Bahkan Habib Menganalogikan Jika Nanti Apakah Kalian Terima Jika Pendeta dan Pastur Memberi Ceramah Diatas Mimbar Masjid!!! Otak Yang Cermah Digereja Sudah Dicampur Uget-Uget.
5. KH. Ahmad Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Menanggapi Beasiswa Yang Ditenggarai Oleh Pengurus NU Untuk Memberikan Beasiswa Gratis Ke Iran Dengan Menjajakan Paham Syiah
“JANGAN KAMI DISURUH BELAJAR SYIAH KE IRAN, TAPI KALIAN YANG HARUS BELAJAR AHLUS SUNNAH. SILAHKAN PERGI KE SIDOGIRI, KAMI AKAN AJARI KALIAN SUNNI SYAFI’I.
6. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff Sangat Keras Terhadap Syiah. Membuat Beberapa Pengurus NU Geram Karena Proyek Penyesatan Umat Terhalangi Oleh Dakwahnya.
7. Gus Sholah Yang Menangis Sedih Jika Sampai Terjadi Suap Pada Muktamar NU Ke 33 Di Jawa Timur.
8. KH. Muhammad Kamal Yusuf Rois Syuriah Pengurus Wilayah NU Jakarta Yang Tegas Menolak Pemimpin NON Muslim di DKI Jakarta.
9. Ustadz Achyat Ahmad (PP. Sidogiri & Penulis Buku Membungkam Kicauan Liberal) Menanggapi Pemikiran Gusmus Tentang MUI Bahwa Tentang Gusmus Hasil pemikiran kumpulan beberapa ulama tentu lebih baik tenimbang pemikiran seorang ‘ulama’ saja.Beliau juga membayangkan bagaimana kian sedihnya Gus Najih (KH. Muhammad Najih Maimun red) mengetahui tentang berita ini.
10. Dan Ulama Lainnya Yeng Tetap Istiqomah Terhadap AhlulSunnah Wal Jamaah.
KATAKAN KEBENARAN WALAU TERASA PAHIT
ﻗﻠﺖ : ﺯﺩﻧﻲ . ﻗﺎﻝ : ” ﻗﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺮﺍ
Abudzar berkata : “Tambahkanlah wasiyatnya wahai rasululloh ” Rasululloh bersabda : ” katakanlah yang benar walaupun kebenaran itu pahit “.
(HR. Ahmad, At T abrani, Ibnu Hibban dan Al Hakim ),Al
Hakim berkata : “Sanadnya Shohih”
( ﻗﻠﺖ : ﺯﺩﻧﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ) ﺃﻱ : ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻝ
ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺃﻭ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﺍﻟﻤﺘﻠﻬﻴﻦ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻳﺎﺕ
ﺍﻟﻨﻔﺴﺎﻧﻴﺔ ( ﻣﺮﺍ ) ﺃﻱ : ﺻﻌﺐ ﺍﻟﻤﺬﺍﻕ ﻭﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻤﺸﺎﻕ ﻭﺃﻧﺸﺪ :
ﻟﻦ ﺗﺒﻠﻎ ﺍﻟﻤﺠﺪ ﺣﺘﻰ ﺗﻠﻌﻖ ﺍﻟﺼﺒﺮﺍ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﻴﺒﻲ : ﺷﺒﻪ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻓﻲ ﻣﻦ
ﻳﺄﺑﺎﻫﻤﺎ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ، ﻓﺈﻧﻪ ﻣﺮ ﺍﻟﻤﺬﺍﻕ ﻟﻜﻦ ﻋﺎﻗﺒﺘﻪ ﻣﺤﻤﻮﺩﺓ .
Maksudnya: “katakanlah yang benar walaupun perkataan yang benar itu sulit dan sangat berat bagi diri sendiri atau bagi orang orang yang ahli kebatilan yang bersenang-senang dengan manisnya nafsu.
Sebagaimana syair :
” Engkau tidak akan mencapai kemuliaan hingga engkau merasakan kesabaran ”
At-thiby berkata : Serupa dengan amar ma’ruf nahyi mungkar dengan kesabaran, kepada orang yang tidak menyukai keduanya , Karena sesungguhnya itu pahit rasanya tetapi akibatnya terpuji.
SAYA MILIK BLOG FENDI TAZKIRAH MEMOHON MAAF...ADA BEBERAPA KETIKA DULU LETAK DI WALL2 FB KAWAN2@FRIEND....MUNGKIN ADA TAK GEMAR@TAK WELCOME...BUKAN TUJUAN NAK MENGAJAR ATAU NAK PERLI2@SINDIR2...DIBUAT SEMATA2 BUAT TAZKIRAH BERSAMA2...MAKA ...INSYAALLAH BETUL KAWAN RAPAT DAN BERSIFAT WELCOME BARU SAYA TUMPANG WALL NYA ...SEBAB ADA 3...4 GROUP TUTUP SEBAB SAYA SELALU PASTE WALL2 TERSEBUT....ADA YANG DELETE (YG NI BETUL SEBAB IA TAK SUKA...MAKA IA DELETE LAH) DAN ADA BLOCK FB NYA...MAAF YE BANYAK2
1. Ustad Idrus Ramli Aktivis Aswaja PWNU Jatim mengatakan Pemikiran Gusdur Sesat Menyesatkan Sehingga Membuat Gusdurian Geram Karena Perkataan Ustad Idrus Ramli.
2. KH. Muhammad Najih (Santri Abuya Sayyid Muhammad Alawi Almaliki Mekkah) Dengan Terbitan Buku “MEMBONGKAR KEDOK LIBERAL DALAM TUBUH NU” Mengatakan Said Aqil & Gusmus Cenderung Membela Syiah dan Liberal. Bahkan Beliau Siap Mempertanggung Jawabkan Tulisan Dalam Buku Tersebut Terhadap Siapa Saja Baik Said Aqil atau Gusmus.
3. KH. Luthfi Bashori (Malang) Sangat Aktif Dalam Memerangi Pemikiran Liberal Sampai Membuat Gerah Beberapa Tokoh NU.
4. Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Mengatakan Bahwa Orang Yang Ceramah Di Gereja Otaknya Tidak Waras. Seperti Yang Dilakukan Nuril Arifin. Bahkan Habib Menganalogikan Jika Nanti Apakah Kalian Terima Jika Pendeta dan Pastur Memberi Ceramah Diatas Mimbar Masjid!!! Otak Yang Cermah Digereja Sudah Dicampur Uget-Uget.
5. KH. Ahmad Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Menanggapi Beasiswa Yang Ditenggarai Oleh Pengurus NU Untuk Memberikan Beasiswa Gratis Ke Iran Dengan Menjajakan Paham Syiah
“JANGAN KAMI DISURUH BELAJAR SYIAH KE IRAN, TAPI KALIAN YANG HARUS BELAJAR AHLUS SUNNAH. SILAHKAN PERGI KE SIDOGIRI, KAMI AKAN AJARI KALIAN SUNNI SYAFI’I.
6. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff Sangat Keras Terhadap Syiah. Membuat Beberapa Pengurus NU Geram Karena Proyek Penyesatan Umat Terhalangi Oleh Dakwahnya.
7. Gus Sholah Yang Menangis Sedih Jika Sampai Terjadi Suap Pada Muktamar NU Ke 33 Di Jawa Timur.
8. KH. Muhammad Kamal Yusuf Rois Syuriah Pengurus Wilayah NU Jakarta Yang Tegas Menolak Pemimpin NON Muslim di DKI Jakarta.
9. Ustadz Achyat Ahmad (PP. Sidogiri & Penulis Buku Membungkam Kicauan Liberal) Menanggapi Pemikiran Gusmus Tentang MUI Bahwa Tentang Gusmus Hasil pemikiran kumpulan beberapa ulama tentu lebih baik tenimbang pemikiran seorang ‘ulama’ saja.Beliau juga membayangkan bagaimana kian sedihnya Gus Najih (KH. Muhammad Najih Maimun red) mengetahui tentang berita ini.
10. Dan Ulama Lainnya Yeng Tetap Istiqomah Terhadap AhlulSunnah Wal Jamaah.
KATAKAN KEBENARAN WALAU TERASA PAHIT
ﻗﻠﺖ : ﺯﺩﻧﻲ . ﻗﺎﻝ : ” ﻗﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺮﺍ
Abudzar berkata : “Tambahkanlah wasiyatnya wahai rasululloh ” Rasululloh bersabda : ” katakanlah yang benar walaupun kebenaran itu pahit “.
(HR. Ahmad, At T abrani, Ibnu Hibban dan Al Hakim ),Al
Hakim berkata : “Sanadnya Shohih”
( ﻗﻠﺖ : ﺯﺩﻧﻲ ﻗﺎﻝ : ﻗﻞ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ) ﺃﻱ : ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻝ
ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺃﻭ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﺍﻟﻤﺘﻠﻬﻴﻦ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻳﺎﺕ
ﺍﻟﻨﻔﺴﺎﻧﻴﺔ ( ﻣﺮﺍ ) ﺃﻱ : ﺻﻌﺐ ﺍﻟﻤﺬﺍﻕ ﻭﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻤﺸﺎﻕ ﻭﺃﻧﺸﺪ :
ﻟﻦ ﺗﺒﻠﻎ ﺍﻟﻤﺠﺪ ﺣﺘﻰ ﺗﻠﻌﻖ ﺍﻟﺼﺒﺮﺍ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﻴﺒﻲ : ﺷﺒﻪ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮ ﻓﻲ ﻣﻦ
ﻳﺄﺑﺎﻫﻤﺎ ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ ، ﻓﺈﻧﻪ ﻣﺮ ﺍﻟﻤﺬﺍﻕ ﻟﻜﻦ ﻋﺎﻗﺒﺘﻪ ﻣﺤﻤﻮﺩﺓ .
Maksudnya: “katakanlah yang benar walaupun perkataan yang benar itu sulit dan sangat berat bagi diri sendiri atau bagi orang orang yang ahli kebatilan yang bersenang-senang dengan manisnya nafsu.
Sebagaimana syair :
” Engkau tidak akan mencapai kemuliaan hingga engkau merasakan kesabaran ”
At-thiby berkata : Serupa dengan amar ma’ruf nahyi mungkar dengan kesabaran, kepada orang yang tidak menyukai keduanya , Karena sesungguhnya itu pahit rasanya tetapi akibatnya terpuji.
SAYA MILIK BLOG FENDI TAZKIRAH MEMOHON MAAF...ADA BEBERAPA KETIKA DULU LETAK DI WALL2 FB KAWAN2@FRIEND....MUNGKIN ADA TAK GEMAR@TAK WELCOME...BUKAN TUJUAN NAK MENGAJAR ATAU NAK PERLI2@SINDIR2...DIBUAT SEMATA2 BUAT TAZKIRAH BERSAMA2...MAKA ...INSYAALLAH BETUL KAWAN RAPAT DAN BERSIFAT WELCOME BARU SAYA TUMPANG WALL NYA ...SEBAB ADA 3...4 GROUP TUTUP SEBAB SAYA SELALU PASTE WALL2 TERSEBUT....ADA YANG DELETE (YG NI BETUL SEBAB IA TAK SUKA...MAKA IA DELETE LAH) DAN ADA BLOCK FB NYA...MAAF YE BANYAK2
Tiada ulasan:
Catat Ulasan