Jumaat, 10 April 2015

JIKA RAGU2 TINGGALKAN...MALAH MEMANG TAK DIBUAT DIZAMAN RASULLULLAH SAW....KERANA RASULLULLAH SEBAIK2 IKUTAN DAN PERTUNJUK






SEBUT NAMA ULAMAK ITU...HADIS PUN KENA SEBUT PERAWI NYA...JANGAN KATA...ORANG ALIM KATA...SAPE ORANG ALIM ITU....SAPE ULAMAK ITU...HUJAH NI BOLEH PAKAI KE






Hukum Mengangkat Kedua Tangan ketika Mengamini Doa Khatib

By | November 13, 2013



Hukum Mengangkat Kedua Tangan ketika Mengamini Doa Khatib

Pertanyaan: 
“Bagaimana hukum mengangkat tangan ketika khatib berdoa saat khutbah jum’at, dan hukum mengucapkan amin pada saat itu juga? (+6283843029XXX).”
Jawaban:
Pertanyaan senada juga pernah diajukan, “apa yang disyariatkan ketika khatib berdoa dalam shalat Jum’at? Apakah kita mengamini doa imam sembari mengangkat kedua tangan ataukah cukup mengamini saja tanpa mengangkat kedua tangan?”
Lalu dijawab, “Dia (khatib) tidak perlu mengangkat kedua tangan, dan kalian juga tidak perlu mengangkat tangan-tangan kalian. Mengamini adalah antara dirimu dan jiwamu. Ia (khatib) sedang berdoa, dan tidak perlu mengangkat kedua tangan kecuali dalam shalat istisqa’. Jika sedang meminta hujan, maka ia mengangkat kedua tangannya, dan mereka (makmum) mengangkat tangan-tangan mereka. Adapun doa yang biasa dilantunkan dalam khutbah, maka ia tidak perlu mengangkat kedua tangannya, begitupula dengan makmum. Karena Nabi tidak mengangkat (kedua tangannya) dalam khutbah ketika beliau sedang khutbah Jum’at.” [1]
Jadi, yang disunahkan bagi orang yang mendengar doa khatib pada hari Jum’at adalah mengamini doanya. Ini adalah pendapat jumhur ahlul ilmi, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Di dalam At-Tâj dan Al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, menukil dari Al-Baji, ia berkata, “Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah mengamini doa khatib. Karena mengucapkan amin dituntut dari mereka. Hanyasaja yang menjadi perselisihan pendapat adalah tentang dibaca pelan-pelan (sirr) atau keras (jahr). Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pengucapan amin dilakukan secara pelan-pelan, sedangkan Syafi’iyah berpendapat pengucapan amin dibaca tanpa mengeraskan suara, sedangkan menurut Hanafiyah, pengucapan amin tidak dilakukan dengan lisan, tetapi cukup dalam diri sendiri. Makmum juga tidak perlu mengangkat kedua tangannya ketika sedang mengucapkan amin, karena tidak ada riwayat tentang hal tersebut. Padahal beliau saw sering shalat  bersama para shahabatnya. Seandainya ada riwayat bahwa mereka mengangkat tangan-tangan mereka niscaya riwayat tersebut akan sampai kepada kita, begitupula dengan khatib, ia tidak mengangkat kedua tangannya ketika sedang berdoa. Wallahu A’lam. [2]
Sebagai tambahan terkait dengan mengangkat tangan ketika berdoa; sudah maklum bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa, tetapi hal ini disyariatkan secara mutlak dan muqayyad. Artinya, disyariatkan mutlak dalam doa yang mutlak, dan disyariatkan muqayyad dalam doa-doa yang ada dalil bahwa ia termasuk doa yang muqayyad. Maknanya, mengangkat kedua tangan tidak disyariatkan dalam setiap doa yang muqayyad, seperti doa pada penghujung shalat sebelum salam, atau setelah salam. Karena di dalam as-Sunnah tidak ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Yang disyariatkan adalah mengangkat kedua tangan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh as-Sunnah tentang pensyariatannya, seperti doa setelah melempar jumrah pertama dan kedua, ketika berada di Shafa dan Marwa, dan pada waktu istisqa, serta yang lainnya, yang ditunjukkan oleh as-Sunnah untuk mengangkat kedua tangan. Oleh karenanya, para makmum tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan-tangan mereka ketika khatib berdoa di atas mimbar pada hari Jum’at. Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits dari Umarah bin Ru’aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya di atas mimbar, lalu beliau berkata, ‘Semoga Allah memburukkan kedua tangan ini. Sungguh, aku melihat Rasulullah saw tidak lebih mengatakan dengan tangannya seperti ini –beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk. An-Nawawi berkata, “Di dalam hadits ini, yang disunahkan adalah tidak mengangkat tangan dalam khutbah.” [3]
Di dalam Tuhfatul Ahwâdzi juga disebutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang makruhnya mengangkat tangan di atas mimbar ketika berdoa.” [4]
Kesimpulannya, para makmum diperkenankan mengamini doa khatib pada hari Jum’at, hanyasaja itu dilakukan dalam diri sendiri, tidak dikeraskan. Dan tidak disyariatkan mengangkat tangan pada saat mengamini doa khatib, bahkan sebagian ahlul ilmi memandang bahwa hal tersebut (mengangkat kedua tangan) adalah bid’ah.[5]

Akhukum fillah.

Senin, 21 Juni 2010


Hukum Membaca Sholawat di antara 2 Khutbah Jum'at [bagi Muroqi] dan Bagaimana Sikap tangan Khatib ketika Berdoa di akhir Khutbah






Para Ulama Fiqh (Imam yang berempat, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali ) dan pendapat mereka dalam hal boleh tidaknya membaca shalawat atau disebut sebagai at-tarqiyyah (dengan cara meninggikan suara bagi muroqi untuk membaca shalawat) ketika Khatib sedang duduk di antara dua khotbah.

Pada prinsipnya berbicara atau meninggikan suara bagi muroqi baik membaca do'a atau shalawat kepada Nabi di antara khutbah pertama dan khutbah ke dua adalah tidak diperbolehkan karena dalil sharieh (Hadits Shahih) yang mengatakan:

إذا قلت لصاحبك والإمام يخطب يوم الجمعة أنصت فقد لغوت

Apabila engkau berkata kepada teman engkau sedangkan Imam (maksudnya Khotib) sedang berkhotbah di hari Jum'at : Hai tenanglah kamu! maka kamu telah berbuat sia-sia.( Hadits diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dalam Kitab Jum'ah).


Ulama Fiqh menyebutkan Bid'ah (mengada-ada) hukumnya sebagian manusia berbicara ketika Khatib berkhutbah di hari Jum'ah dengan pengertian berbicara dalam Masjid ketika Khatib berkhotbah adalah bid'ah, tercela dan makruh, tidak boleh (dilarang). Jama'ah shalat Jum'at wajib tenang/diam mendengarkan. Ini pendapat Imam Maliki (Malikiyah), sedang Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) berpendapat at-tarqiyyah "makruh" yang mendekati "haram" (dilarang keras) baik itu hanya sekedar membaca do'a atau shalawat kepada Nabi, ataupun percakapan tentang urusan dunia dan dapat merusak ibadah Jum'at. Pendapat ini adalah yang terkuat. Boleh meng-amin-kan do'a Khatib tetapi dengan sier (tidak terdengar oleh orang lain). Adapun Imam Syafi'i berpendapat bahwa membaca do'a dan shalawat di Masjid sudah dikenal sejak lama (boleh/jaiz), tidak salah kalau berdo'a dan membaca shalawat kepada Nabi, tetapi tidak berlebihan dengan mengeraskan suara, tidak dengan suara keras (jahar), sebaiknya tidak terdengar bagi orang disampingnya (bacaan sier :pen). Imam Syafi'i tidak menyebutnya sebagai sunnah, cuma diperbolehkan saja.


Memang banyak terjadi dibeberapa Masjid ketika Khatib duduk antara dua khutbah, muadzin atau muroqi membaca shalawat kepada Nabi, dengan suara keras bahkan agar lebih keras mereka memakai mikrofon. Di antaranya mereka di beberapa masjid ada yang membaca bacaan seperti ini : Allahumma Shalli wasallim wazid wa an 'im watafadhal wabaarik bijalaalika wa kamaalika alaa asyrafi ibadika, sayyidina wa maulana Muhammadin wa 'an kulii shahaabati Rasulillahi ajma'iin..


Bacaan ini digolongkan kepada bid'ah. Tentang bid'ah, Hadist Nabi mengatakan:

كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل الضلالة فى النار


"Setiap yang baru dalam hal agama (tidak ada perbutan itu dimasa Nabi) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat, setiap yang sesat itu tempatnya neraka.


“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikut-nya.” (HR. Bukhari No. 883)


Cara Khatib Mengangkat Tangan Ketika Membaca Doa Pada Akhir khutbah Ke dua

Berdoa sambil mengangkat tangan merupakan sunnah Nabi . Telah diriwayatkan bahwa khatib apabila berdoa di mimbar pada khutbah kedua, hendaklah menggunakan jari telunjuknya dan bukannya mengangkat kedua tangan. Malah salah seorang sahabat ('Umran ibn Ru'aibah) telah mengutuk seorang khatib (Bishr ibn Marwan) yang berdo'a sambil mengangkat tangan dan berkata:

قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ

"Semoga Allah memburukkan kedua-dua tangannya. Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melainkan tidak lebih dari ini dengan tangannya: dan dia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya [dalam berdo'a]" (Hadith Riwayat Muslim, no. 874 dan Abu Daud, no. 1104)

Imam Al-Nawawi rahimahullah ketika mengulas hadits ini didalam Syarah Shahih Muslim menyatakan bahwa ini menunjukkan bukanlah menjadi sunnah mengangkat kedua tangan bagi khatib ketika sedang membaca doa didalam khutbah jumaat.

Maksud amalan mengisyaratkan jari telunjuk itu adalah ditujukan kepada khatib yang sedang membaca do'a ketika menyampaikan khutbah; dimana khatib cuma perlu mengisyaratkan saja jarinya tanpa mengangkat kedua tangannya. Makmum tidak perlu melakukannya, sekadar meng'amin'kan dengan suara perlahan.
 
26 September, 2011
category: Adab, Fiqih, Manhaj
7811 27
نعم، أما المسألة ما وجد مقتضاه في زمان النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يفعل ففعله بدعة فلا شك في هذا. لأنه إذا وجد سببه في زمان النبي- صلى الله عليه و سلم- ولم يفعله دل ذلك على أنه غير مشروع. إذ لو كان مشروعا لفعله النبي- صلى الله عليه و سلم- ومن ذلك مثلا رفع اليدين في الدعاء في المواطن التى ورد أن النبي-صلى الله عليه و سلم- دعا فيها ولم يرفع. المقتضي موجود وهو طلب الاستجابة ولكن النبي-صلى الله عليه و سلم- لم يرفع يديه فرفع اليدين في هذه المواطن بدعة.
Syaikh Dr Sulaiman ar Ruhaili mengatakan, “Amal ibadah yang di masa hidupnya Nabi telah dijumpai faktor pendorong untuk melakukannya namun ternyata Nabi tidak melakukannya maka melakukannya adalah bid’ah. Kaedah ini tidaklah diragukan kebenarannya. Karena di masa hidup Nabi sudah dijumpai sebab untuk melakukannya namun Nabi tidak melakukannya, hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dituntunkan karena andai saja itu dituntunkan tentu saja Nabi akan melakukannya.
Contohnya adalah doa sambil angkat tangan dalam situasi yang terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi ketika itu berdoa tanpa sambil angkat tangan. Faktor pendorong untuk mengangkat tangan ketika itu sudah ada yaitu keinginan agar doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh Allah akan tetapi ternyata Nabi tidak mengangkat tangannya saat itu. Mengangkat tangan dalam kondisi ini hukumnya adalah bid’ah.
فمن جاء يرفع يديه في صلاة الجمعة وهو يخطب أو يؤمن على دعاء الخطيب هذا نقول هذه بدعة لأنه وجد سببها في زمان النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يفعله
Jika ada yang berdoa sambil mengangkat kedua tangannya saat menyampaikan khutbah Jumat atau saat mengamini doa khatib, kita katakan bahwa perbuatan ini hukumnya adalah bid’ah karena sebab untuk melakukannya sudah dijumpai di masa Nabi namun Nabi sendiri tidak melakukannya.
ولهذا من باب الفائدة:أقول: يقول أهل العلم الدعاء رفع اليدين في الدعاء له ثلاثة أحكام، سنة وبدعة ومستحب.
Oleh karena itu sebagai tambahan pengetahuan kami sampaikan bahwa para ulama menjelaskan bahwa angkat tangan ketika berdoa itu memiliki tiga status hukum, sunnah, bid’ah dan mustahab (dianjurkan).
أما السنية فهي المواطن التي ثبث أن النبي- صلى الله عليه و سلم- رفع فيها. فالرفع سنة، مجرد الرفع هذه العبادة، سنة تقتدي بالنبي- صلى الله عليه و سلم- مثل ما في الاستسقاء مثلا.
Angkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah manakala dilakukan pada sikon yang terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi mengangkat tangannya sambil berdoa ketika itu. Dalam hal ini, mengangkat tangan adalah sunnah Nabi. Mengangkat tangan dalam kondisi ini adalah ibadah. Sejalan dengan sunnah manakala anda meneladani Nabi semisal angkat tangan ketika doa untuk meminta hujan.
والبدعة في المواطن التي ثبت أن النبي-صلى الله عليه و سلم- دعا ولم يرفع مثل الدعاء في الجمعة ومثل الدعاء عند الطواف تجد أن بعض المسلمين يمشي ويطوف حول الكعبة ويرفع يديه يدعو، هذا بدعة لأنه ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- الدعاء ولم يثبت أنه رفع.
Mengangkat tangan dalam doa adalah bidah manakala dilakukan pada kondisi tertentu yang Nabi ketika itu berdoa namun beliau tidak mengangkat tangannya saat itu semisal doa dalam khutbah Jumat dan doa saat tawaf. Kita jumpai sebagian kaum muslimin ketika berjalan mengelilingi Ka’bah mereka berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Perbuatan ini adalah bid’ah karena Nabi berdoa ketika melakukan tawaf akan tetapi beliau tidak mengangkat tangannya.
ومستحب في المواطن التي لم يثبت عن النبي- صلى الله عليه و سلم- أنه دعا فيها فإن رفع اليدين في الدعاء مستحب لأنه ثبت أنه من أسباب الإجابة وفعل ما يقتضي الإجابة مستحب، فيستحب للإنسان إذا دعا دعاء مطلقا أن يرفع يديه لأنها من أسباب الإجابة.
Angkat tangan ketika berdoa adalah dianjurkan manakala dilakukan pada situasi yang tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi berdoa ketika itu. Angkat tangan ketika berdoa adalah amalan yang dianjurkan karena terdapat hadits sahih yang menjelaskan bahwa angkat tangan dalam doa adalah salah satu sebab dikabulkannya doa dan melakukan hal yang menyebabkan doa dikabulkan adalah suatu hal yang dianjurkan. Sehingga dianjurkan bagi orang yang berdoa dengan doa mutlak [baca: doa masalah] untuk mengangkat kedua tangannya karena hal tersebut adalah salah satu sebab dikabulkannya doa.
كذا، كل دعاء ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يثبت أنه رفع فالرفع بدعة. وكل دعاء ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- أنه دعا ورفع فالرفع سنة كما في الدعاء بعد رمي الجمر كما في الدعاء علي الصفا والمروة ونحو هذا
Demikianlah, semua doa yang sahih dari Nabi namun ketika itu beliau tidak mengangkat tangannya maka mengangkat tangan saat itu hukumnya adalah bid’ah.
Sebaliknya, semua doa yang riwayat yang sahih menunjukkan bahwa Nabi berdoa ketika itu sambil mengangkat kedua tangannya maka mengangkat tangan saat itu adalah sunnah Nabi semisal doa setelah melempar jumrah [ula dan wustho, pent] dan doa saat berada di bukit Shafa dan Marwa ketika melakukan sai”
[Penjelasan di atas disampaikan oleh Syaikh Sulaiman ar Ruhaili pada sesi tanya jawab dalam daurah beliau yang mengkaji kitab Qawaid Nuraniyyah karya Ibnu Taimiyyah. Transkrip di atas bisa disimak pada menit 1:18:46 sampai 1:21:44 kaset no. dua yang diterbitkan oleh Muassasah Dar Ibnu Rajab, Madinah Nabawiyyah].


Mengangkat Tangan Saat Do’a Khutbah Jum’at


Perlu diketahui bahwa do’a tidak selamanya mengangkat tangan. Beberapa kondisi ada contoh bagi kita untuk mengangkat tangan, bahkan ini hukum asalnya. Namun ada beberapa keadaan yang tidak dianjurkan mengangkat tangan. Bagaimana dengan do’a saat khutbah Jum’at? Apakah dianjurkan bagi imam maupun makmum untuk mengangkat tangan? Kami berusaha menyajikan beberapa argumen akan masalah ini disertai memilih pendapat yang lebih kuat. Allahumma yassir wa a’in.
Ulama yang Menganjurkan Mengangkat Tangan
Yang membolehkan berdalil dengan keumuman hadits yang menunjukkan bahwa di antara adab berdo’a adalah dengan mengangkat tangan. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa-apa.” (HR. Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini adalah hadits umum untuk mengangkat tangan dalam setiap do’a.
Yang membolehkan hal ini adalah sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah, sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Husain (Lihat Syarh Muslim, 6: 162). Di antara dalil mereka lagi adalah ketika do’a khutbah Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan yaitu saat do’a istisqo’ (minta hujan).
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَبَيْنَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا . فَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَمَا نَرَى فِى السَّمَاءِ قَزَعَةً ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ – صلى الله عليه وسلم
Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. (HR. Bukhari no. 933)
Dalil yang Menyatakan Tidak Mengangkat Tangan
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.
Dari Hushain (bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah lebih dari itu dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 1412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ulama yang Tidak Menganjurkan Mengangkat Tangan
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ .
“Yang sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo’).”  (Syarh Muslim 6: 162)
Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi makmum untuk mengaminkan do’a imam saat khutbah Jum’at? Apa hukum mengaminkan do’a tersebut dengan mengeraskan suara?”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,
Mengangkat tangan ketika khutbah Jum’at tidaklah disunnahkan bagi imam maupun bagi makmum. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan seperti ini. Begitu pula perbuatan semisal ini tidak pernah dilakukan oleh khulafaur rosyidin. Akan tetapi jika do’a tersebut untuk do’a istisqo’ (minta hujan) pada khutbah Jum’at, disunnahkan bagi makmum untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a minta hujan saat khutbah Jum’at. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzab: 21).
Adapun makmum mengaminkan do’a imam ketika khutbah, maka menurutku tidaklah mengapa, namun dengan tidak mengeraskan suara. (Sumber fatwa di sini)
Kesimpulan, pendapat yang menyatakan tidak mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at kami nilai lebih kuat. Sedangkan dalil Salman yang menunjukkan adab do’a adalah mengangkat tangan, itu adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah hanya mengisyaratkan dengan jari telunjuk.
Lantas bagaimana dengan makmum? Tidak ada dalil yang membicarakan mengenai makmum apakah mengangkat tangan ataukah tidak saat do’a imam ketika khutbah Jum’at. Sebagian ulama menyatakan boleh saja mengangkat tangan karena hukum asal do’a adalah mengangkat tangan. Ulama lain menyatakan tidak perlu mengangkat tangan karena sama dengan imam dan jika mengangkat tangan dituntunkan bagi makmum, tentu akan sampai hadits mengenai hal itu kepada kita (Lihat fatwa islamweb di sini). Intinya di sini ada khilaf (beda pendapat). Namun pendapat yang kami rasa lebih kuat adalah makmum tetap tidak mengangkat tangan sebagaimana alasan yang telah disebutkan dan ditunjukkan pula dalam fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas.
Wallahu a’lam. Wa billahit taufiq.

@ Faculty of Engineering Corridor, KSU, Riyadh KSA
19th Muharram 1433 H
www.rumaysho.com


Isnin, 17 Disember 2007


063 - Hukum Mengangkat Tangan Ketika Khatib Membaca Doa

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Khatib Membaca Doa
Berdoa sambil mengangkat tangan merupakan sunnah Nabi s.a.w.. Akan tetapi, diriwayatkan bahawa khatib apabila berdoa di mimbar hendaklah menggunakan jari telunjuknya dan bukannya mengangkat tangan. Malah salah seorang sahabat ('Umranaarah ibn Ru'aibah) telah mengutuk seorang khatib (Bishr ibn Marwan) yang berdo'a sambil mengangkat tangan dan berkata:
قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
"Moga Allah memburukkan kedua-dua tangannya. Aku melihat Rasulullah s.a.w. melainkan tidak lebih dari ini dengan tangannya: dan di mengisyaratkan jari telunjuknya" (Hadith Riwayat Muslim, no. 874 dan Abu Daud, no. 1104)

Berkata Imam al-Nawawi rh didalam mensyarah hadith ini: ini menunjukkan adalah sunnah tidak mengangkat tangan ketika khutbah. Ini pandangan Malik dan sahabatnya dan lain-lain. Didalam kitab Tuhfat al-Ahwadhi menyebut bahawa hadith ini menunjukkan bahawa makruh mengangkat tangan, dan begitulah kepada jemaah yang berimamkan dia.

Berkata Syiekh Abdul Aziz bin Baaz rh:

رفع اليدين غير مشروع في خطبة الجمعة ولا في خطبة العيد لا للإمام ولا للمأمومين ، وإنما المشروع الإنصات للخطيب والتأمين على دعائه بينه وبين نفسه من دون رفع صوت
"Mengangkat tangan tidak disyara'kan semasa khutbah Jumaat atau khutbah Eid, samada Imam atau makmum jemaah tersebut. Malah apa yang disuruh adalah mendengar khutbah dengan baik dan menyebut AMIN semasa Imam berdo'a, tanpa meninggikan suara (cukup untuk diri sendiri mendengar AMIN)." (Majmu' Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi'ah Li Samaahah al-Syeikh Ibn Baaz, 12/339)

Kesimpulannya pandangan yang benar
adalah, seseorang itu dibolehkan mengaminkan do'a tanpa meninggikan suara,cukup untuk didengari oleh diri sendiri, dan tidak mengangkat kedua-dua tangan.
Kita rujuk kembali dalil yang menjelaskan larangan kepada Khatib yang sedang berkhutbah mengangkat kedua2 tangannya ketika berdo'a:- dari Imam Muslim (874) dan Abu Daud (1104) telah meriwayatkan:
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ أنه رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ (زاد أبو داود : وَهُوَ يَدْعُو فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ) فَقَالَ: ( قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
"dari 'Umaarah ibn Ru'aibah melihat Bishr ibn Marwaan ketika diatas mimbar mengangkat tangan (Abu Daud menambah: apabila melakukan do'a pada hari Jumaat), dan berkata: 'Semoga Allah menjadikan hodoh kedua-dua tangan. Aku melihat Rasulullah saw tidak menambah apa-apa melainkan seperti ini dengan tangannya' dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya."
Imam Al-Nawawi rh ketika mengulas hadith ini didalam Sharh Muslim menyakatakan bahawa ini menunjukkan bahawa bukanlah menjadi sunnah mengangkat tangan bagi khatib ketika sedang membaca doa didalam khutbah jumaat.
Maksud amalan mengisyaratkan jari telunjuk itu adalah kepada khatib yang sedang membaca do'a ketika menyampaikan khutbah; dimana khatib cuma perlu mengisyaratkan sahaja jarinya tanpa mengangkat kedua2 tangannya. Makmum tidak perlu melakukannya, sekadar meng'Amin'kan dengan suara perlahan.
Syiekh Ibn Utsaimin rh mengatakan bahawa dibolehkan mengangkat tangan jika khatib sedang mendo'akan agar diturunkan hujan (istisqaa') dimana Rasulullah pernah mengangkat tangannya ketika berdo'a kepada Allah meminta hujan semasa khutbah Jumaat, dan dilaporkan bahawa makmum juga turut mengangkat tangan. Menurut beliau, didalam situasi lain tidak disunatkan mengangkat tangan semasa khatib menyampaikan khutbah. [Fataawa Arkaan al-Islam, ms 392].
Umumnya, tidak banyak tempat amalan berdo'a yang disyariatkan beramai2 kecuali didalam beberapa keadaan; semasa Imam membaca Do'a Qunut (Nazilah), didalam do'a istisqaa'. Wallahu a'lam, wassalaam...

Hukum Mengangkat Tangan Saat Khatib Jum'at Berdo'a


Adakalanya kita melihat sejumlah jamaah (jum'at) menengadahkan tangannya sambil mengaminkan doa (dengan jelas) saat khotib berdoa, namun tak jarang pula kita melihat beberapa ikhwan kita hanya terdiam konsentrasi dengan doa dari sang khotib, tanpa tengadah tangan dan tanpa mengaminkan (dengan keras) doa khotib.


Lantas bagaimana sikap kita seharusnya melihat fenomena ini. Berikut kami kopikan penjelasan dari Ustadz Badrul Tamam mengenai hal itu

Dalam aktifitas ibadah shalat Jum'at, sering kita lihat macam cara khatib Jum'at dalam berdoa. Ada yang berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Ada juga yang hanya mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke atas. Terkadang hal tersebut membuat kita bingung dan bertanya-tanya, manakah yang benar? Berikut ini ulasan tentang masalah tersebut.
Mengangkat Tangan Bagi Imam
Ulama berbeda pendapat tentang mengangkat tangan untuk berdoa dalam khutbah Jum'at. secara garis besar ada dua pendapat yang masyhur. 
Pendapat Pertama, mengangkat tangan untuk berdoa di dalam khutbah boleh-boleh saja. Ini adalah salah satu pendapat madzhab Hambali sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu 'Aqil dalam al-Furu', juga pendapat sebagian ulama Malikiyah yang dinukil oleh Qadli 'Iyadl dan yang disebutkan oleh al-Nawawi dalam Syarh Muslim. Mereka berdalil dengan keumuman dalil disyariatkannya mengangkat tangan dalam berdoa.
Imam al-Bukhari telah membuat satu bab dalam Shahihnya dengan bentuk global, "Bab Raf'ul Yadain fil Khutbah". Seolah-olah beliau berpendapat  bolehnya mengangkat kedua tangan dalam khutbah dengan dasar bahwa beliau tidak mengikat mengangkat tangan dengan apapun dalam menyusun bab ini. 
Dalil lain kelompok ini adalah sebuah hadits dalam Shahihain, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika meminta hujan pada hari Jum'at, beliau mengangkat kedua tangannya  dan berdoa." (Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al Istisqa', no. 1031 dan Shahih Muslim, Kitab al-Istisqa', no. 895, 1186)
Pendapat kedua: Menyatakan bahwa mengangkat tangan saat berdoa pada waktu khutbah Jum'at tidak disyari'atkan kecuali dalam Istisqa' (doa meminta hujan). Ini adalah pendapat Imam Malik (Lihat: Ikmal Mu'allim: 3/277), Madzhab Syafi'i (Lihat: Syarh Muslim oleh Imam Nawawi 3/428). Dan Syaikhul Islam menyatakan bahwa ini merupakan pendapat yang lebih benar menurut madzhab Hambali (Lihat: al-Ikhtiyaraat hal. 148)  
Dalil mereka adalah hadits `Umarah bin Ru-aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar, lalu ia ('Umarah) berkata kepadanya:
قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
"Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan tatkala sedang berdo'a selain seperti ini, sambil mengangkat jari telunjuknya." (HR. Muslim no. 874, Sunan Abi Dawud no. 1104, dan al-Tirmidzi no. 515)
Imam al-'Aini dalam Syarh Abi Dawud berkata: "Dan Hadits tersebut dikeluarkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Nasai. Di dalamnya: termasuk sunnah agar tidak mengangkat tangan dalam khutbah, ini adalah pendapat Malik, Syafi'i, dan selainnya." 
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari al-Zuhri, berkata: "Mengangkat tangan pada Khutbah Jum'at adalah perkara muhdats (yang diada-adakan)." 
Beliau juga diriwayatkan dari Thawus, bahwa beliau membenci mengangkat tangan saat berdoa pada hari Jum'at. Dan beliau sendiri tidak mengangkat kedua tangannya." (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 2/55)
Imam Al-Baihaqi berkata, "Bagian dari sunnah adalah tidak mengangkat kedua tangan saat berdo'a dalam khutbah. Dan cukup mengisyaratkan dengan jarinya." (Lihat; Al-Sunan al-Kubra: 3/210) 
Imam al-Nawawi berkata dalam menjelaskan kandungan hadits di atas, "Di dalamnya terdapat sunnah agar tidak mengangkat tangan saat khutbah, ini adalah pendapat Malik, para sahabat kami dan selain mereka." (Syarh Muslim: 6/162) dan beliau berkata dalam al Iqna' dan Syarahnya, "Imam dimakruhkan mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah. Al-Majd berkata, "Itu bid'ah, sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan selain mereka." (Kasyaful Qana' 'an Matni al-Iqna', 2/37)
Mengangkat tangan pada Khutbah Jum'at adalah perkara muhdats (yang diada-adakan).
Imam al-Zuhri
Syaikhul Islam berkata, "Dimakruhkan bagi imam mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a saat khutbah. Ini adalah salah satu dari pendapat yang lebih benar menurut sahabat kami (madzhab Hambali), karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila beliau berdo'a hanya mengisyaratkan dengan jarinya (telunjuknya). Adapun dalam istisqa', beliau mengangkat kedua tangannya ketika beristisqa (bedoa meminta hujan) di atas mimbar." (Lihat: Al-Ikhtiyaraat, hal. 148)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Adalah beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dalam khutbahnya ketika berdzikir kepada Allah Ta'ala dan ketika berdoa." (Zaadul Ma'ad: 1/428)
Imam al-Syaukani memakruhkan mengangkat kedua tangan saat berdoa di atas mimbar, hal itu bid'ah. (Nailul Authar: 3/283)
Kesimpulan
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah tidak mengangkat kedua tangan saat berdoa di atas mimbar, kacuali apabila imam beristisqa (berdoa meminta hujan) dalam khutbahnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain, dari hadits Anas bin Malik radliyallah 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangannya pada salah satu dari doa yang dipanjatkannya kecuali pada doa istisqa'. Sungguh pada saat itu beliau mengangkat kedua tangannya sehingga tampak warna putih di kedua ketiaknya." (HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895)
Jadi amalan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tangan ketika berdoa dalam khutbahnya karena sebab tertentu, yaitu karena beristisqa' atau meminta hujan. Apabila tidak ada sebab tersebut maka dikembalikan pada ketentuan awal, yaitu tidak mengangkat tangan saat berdoa dalam khutbah Jum'at. 
Dan bagi khatib, agar mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ketika berdo’a di atas mimbar, serta tidak mengangkat kedua tangannya. Wallahu a'lam bil Shawab.
Bagaimana dengan Makmum?
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara imam dan makmum dalam masalah di atas. Artinya makmum juga tidak disyari'atkan untuk mengangkat tangan saat khatib berdoa pada waktu khutbah, sebagaimana imam. Masalah ini sebagaimana kita berdalil tidak adanya shalat sunnah qabliyah Jum'at bagi makmum dengan dasar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melaksanakannya, padahal waktu itu beliau sebagai imam bukan makmum.
Berikut ini kami sertakan jawaban Syaikh Ibnu Baazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah  tentang masalah ini.
Artinya makmum juga tidak disyari'atkan untuk mengangkat tangan saat khatib berdoa pada waktu khutbah, sebagaimana imam.
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Mengangkat tangan tidak disyari'atkan dalam khutbah Jum'at dan tidak pula dalam khutbah 'Ied –bagi imam maupun makmum-. Yang disyariatkan adalah diam mendengarkan khatib dan mengaminkan doanya bagi dirinya sendiri, tanpa mengeraskan suara. Adapun mengangkat tangan tidak disyari'atkan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya saat khutbah jum'at dan tidak pula saat khutbah 'Ied. Hal ini didasarkan juga pada tindakan sebagian sahabat ketika melihat sebagian umara' mengangkat kedua tangannya saat khutbah Jum'at, mereka mengingkarinya dan berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya."
Mengangkat tangan tidak disyari'atkan dalam khutbah Jum'at dan tidak pula dalam khutbah 'Ied –bagi imam maupun makmum-.
Benar, apabila beristighatsah dalam khutbah Jum'at untuk meminta hujan, disyari'atkan mengangkat kedua tangan saat istighatsah itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tangannya pada kondisi ini. Karenanya, apabila imam beristisqa' pada khutbah Jum'at atau pada khutbah 'Ied, disyariatkan baginya mengangkat kedua tangannya mengikuti contoh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
Fatwa Syaikh al-Utsaimin
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata: "Mengangkat tangan ketika berdoa saat khutbah hanya disyari'atkan pada saat do'a istisqa' (meminta hujan) saja, berdasarkan hadits Anas bin Malik radliyallah 'anhu. Karenanya, apabila Imam berdoa untuk meminta hujan dengan berkata: "Ya Allah turunkanlah hjan kepada kami, Ya Allah tolong kami," Pada saat ini kedua tangan diangkat –khatib dan para hadirin sama-sama mengangkat tangan-. Dan pada kondisi selain itu, tidak disyari'atkan mengangkat tangan, baik bagi imam atau makmum. Karena inilah, para sahabat mengingkari Bisyr bin Marwan ketika mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah Jum'at. Dan imam ketika berdo'a hanya disyari'atkan untuk memberikan isyarat (menunjuk) ke atas, kepada Dzat yang dituju dalam doa, yaitu Allah Tabaraka wa ta'ala. Wallahu a'lam. Oleh Ustadz  Badrul Tamam

Sabtu, 03 Januari 2015


Mengangkat Jari Telunjuk Ketika Berdoa dalam Khutbah

Pada dasarnya makruh hukumnya atas khatib menoleh ke kanan atau ke kiri dan menggerak-gerakkan tangan untuk isyarat atau lainnya pada saat membaca khutbahnya pada hari Jum’at. Khatib al-Syarbaini mengatakan :
“Dalam khutbah makruh melakukan sesuatu yang diada-adakan oleh khatib jahil seperti isyarah dengan tangan atau selainnya, menoleh dalam khutbah kedua dan mengetuk tangga pada sa’at naik mimbar dengan pedang, dengan kaki dan sebagainya.[1]
Dalil makruh khatib menoleh ke kanan atau ke kiri dan menggerak-gerakkan tangan untuk isyarat atau lainnya pada saat membaca khutbahnya, antara lain :
1. Hadits dari U’marah bin Ruaibah,
رأى بشر بن مروان على المنبر رافعا يديه قبح الله هاتين اليدين لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم ما يزيد على أن يقول بيده هكذا وأشار بأصبعه المسبحة
Artinya : U’marah bin Ruaibah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar mengangkat dua tangannya - semoga Allah menghina kedua tangannya itu- lalu ‘Umarah bin Rubaibah berkata : “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW tidak pernah melebihi berkata dengan tangan beliau seperti ini”, ‘Umarah bin Rubaibah mengisyarah dengan jari telunjuknya. (H.R. Muslim)[2]

Imam an-Nawawi dalam mengomentari hadits di atas, berkata :
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّةَ أَنْ لَا يَرْفَعَ الْيَدَ فِي الْخُطْبَةِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَأَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ إِبَاحَتَهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ حِينَ اسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرفع كان لعارض
“Pada hadits ini dipahami sesungguhnya yang sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat tangan dalam khutbah. Ini adalah pendapat Malik, sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah), dan selain mereka. Al-Qadhi meceriterakan bahwa sebagian ulama salaf dan Malikiyyah menyatakan: boleh, karena Nabi Muhammad SAW mengangkat kedua tangan beliau dalam khutbah Jum’at ketika memohon hujan. Kelompok yang pertama  menjawab bahwa mengangkat tangan tersebut karena ada suatu tujuan.”[3]
2. Hadits riwayat al-Baraa’ bin ‘Azib, beliau berkata :
كان رسول الله صلعم إذا خطب يستقبلنا بوجهه ونستقبله بوجوهنا
Artinya : Rasulullah SAW apabila berkhutbah, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan kami menghadapkan wajah kami kepada beliau.(H.R. Baihaqi)[4]
3. Hadits :
أنه صلعم كان إذا خطب استقبل الناس بوجهه واستقبلوه وكان لايلتفت
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW apabila berkhutbah, beliau menghadap wajahnya kepada manusia dan mereka juga menghadap kepada beliau dan tidak berpaling.[5]

Hukum mengangkat jari telunjuk ketika berdoa dalam khutbah
Ada sebagian kecil umat Islam yang menjadikan hadits riwayat Muslim di atas sebagai dalil bahwa mengangkat jari telunjuk ketika berdoa dalam khutbah merupakan perbuatan sunnah yang berpahala apabila dilakukannya, meskipun tidak ada tujuan apapun dalam mengangkat tangan tersebut, alias bukan karena ada mengisyaratkan sesuatu kecuali hanya sekedar mengikuti perbuatan Nabi SAW.
Menurut hemat kami, pemahaman itu sangatlah lemah. Karena konteks hadits tersebut bukan dalam rangka menjelaskan bahwa mengangkat telunjuk pada khutbah merupakan perbuatan sunnah. Tetapi perawi hadits (U’marah bin Ruaibah) hanya ingin menjelaskan bahwa mengangkat dua tangan pada khutbah sebagaimana yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan merupakan tindakan tidak terpuji. Karena itu, U’marah bin Ruaibah berargumentasi bahwa beliau tidak pernah melihat Rasulullah SAW ketika ingin mengisyaratkan sesuatu pada khutbah kecuali dengan telunjuknya. Jadi, perbuatan Rasulullah SAW mengangkat telunjuk adalah dalam konteks ada keperluan mengisyaratkan atau memberitahukan sesuatu kepada jama’ah seperti supaya jangan berbicara, sedangkan khatib sedang berkhutbah atau supaya mengamini do’a atau lainnya. Pemahaman ini dapat diperhatikan dari penggalan redaksi hadits “tidak pernah melebihi berkata dengan tangan beliau seperti ini”. Ucapan “berkata dengan tangan beliau” tentu harus dipahami bahwa Rasulullah SAW ingin mengisyaratkan sesuatu kepada jama’ah, karena semua orang memaklumi bahwa tangan tidak dapat berbicara. Karena itu, mengangkat telunjuk Rasulullah SAW bukanlah sunnah yang dianjur mengikutinya kalau memang tidak ada keperluan mengisyaratkan apapun dengan mengangkat telunjuk  tersebut.
Syeikh Ali Muhammad al-Qari  (w. 1014 H) seorang ahli hadits dan seorang tokoh Mazhab Hanafi mengatakan dalam mengomentari hadits riwayat Muslim di atas sebagai berikut :
قَالَ الطِّيبِيُّ: قَوْلُهُ: يَقُولُ أَيْ: يُشِيرُ عِنْدَ التَّكَلُّمِ فِي الْخُطْبَةِ بِإِصْبَعِهِ يُخَاطِبُ النَّاسَ، وَيُنَبِّهُهُمْ عَلَى الِاسْتِمَاعِ.
“Al-Thaiby mengatakan, “Sabda Nabi SAW “mengatakan” artinya mengisyaratkan dengan jarinya ketika ingin mengatakan sesuatu kepada manusia dan memberitahukan mereka untuk menyimak pada waktu ada orang berbicara ketika berlangsungnya khutbah”[6]
Maka berdasarkan hadits ini yang menjadi sunnah adalah apabila ingin mengisyaratkan sesuatu dalam khutbah, hendaknya jangan diisyarat dengan dua tangan, tetapi hendaknya diisyaratkan dengan telunjuk saja atau cara lain yang tidak terlihat banyak bergerak dalam khutbah.
Al-Turmidzi telah menempatkan hadits U’marah bin Ruaibah di atas dalam “bab makruh mengangkat tangan di atas mimbar”. Dalam dalam Sunan al-Turmidzi dengan lafazh Husyaim memberitahukan kepada kami oleh Hushain, beliau berkata :
سَمِعْتُ عُمَارَةَ بْنَ رُوَيْبَةَ، وَبِشْرُ بْنُ مَرْوَانَ يَخْطُبُ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ، فَقَالَ عُمَارَةُ: قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ اليُدَيَّتَيْنِ القُصَيَّرَتَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ هَكَذَا، وَأَشَارَ هُشَيْمٌ بِالسَّبَّابَةِ.هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya : Pada ketika Bisyr bin Marwan berkhutbah dengan mengangkatkan dua tangannya ketika berdo’a, aku mendengar Umaarah bin Ruwaibah berkata : “Semoga Allah mengina dua tangan yang pendek itu. Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW tidak pernah melebihi mengatakan seperti ini.”  Husyaim mengisyarat dengan telunjuknya. (H.R. Turmizi, hadits hasan shahih)[7]

            Jadi, dhahirnya al-Turmidzi sendiri tidak memahami hadits tersebut sebagai dalil sunnah mengangkat telunjuk ketika berdoa dalam khutbah dalam kondisi apapun. Ini sesuai pula dengan pemahaman al-Baihaqi dalam Sunannya. Setelah menyebut hadits U’marah bin Ruaibah dan hadits Sahal bin Sa’ad berikut ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ يَدْعُو عَلَى مِنْبَرِهِ وَلَا عَلَى غَيْرِهِ، وَلَكِنْ رَأَيْتُهُ يَقُولُ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَعَقَدَ الْوُسْطَى بِالْإِبْهَامِ
Artinya : Dari Sahal bin Sa’ad berkata : “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW memunculkan dua tangannya sama sekali dalam berdo’a atas mimbar dan tidak juga pada tempat lainnya. Akan tetapi aku melihatnya mengatakan seperti ini. Sahal mengisyaratkan dengan telunjuknya dan menjempit jari tengah dengan ibu jarinya. (H.R. al-Baihaqi)[8]
al-Baihaqi mengatakan :
وَالْقَصْدُ مِنَ الْحَدِيثَيْنِ إِثْبَاتُ الدُّعَاءِ فِي الْخُطْبَةِ، ثُمَّ فِيهِ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لَا يَرْفَعَ يَدَيْهِ فِي حَالِ الدُّعَاءِ فِي الْخُطْبَةِ وَيَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يُشِيرَ بِأُصْبُعِهِ
“Maksud dua hadits ini adalah penetapan adanya do’a dalam khutbah, kemudian termasuk sunnah adalah tidak mengangkat dua tangan pada ketika berdo’a dalam khutbah serta mengkhususkan isyarat dengan menggunakan jari.[9]

Catatan
1.      Mengisyaratkan dengan telunjuk atau jari lainnya, maksudnya ada isyarat sesuatu dengan mengangkat telunjuk seperti menyuruh menyimak, mengamini do’a dan lain-lain. Adapun mengangkat telunjuk pada waktu berdo’a dalam khutbah tanpa tujuan mengisyarakan sesuatu, maka tidak termasuk dalam maksud hadits di atas, sehingga bukanlah merupakan suatu sunnah yang dianjurkan melakukannya.
2.      Kalau diduga jama’ah sudah memahami dengan isyarat telunjuk pada awal do’a, maka isyarat dengan telunjuk tidak perlu diteruskan lagi, karena tujuan mengangkat telunjuk sudah terpenuhi.
3.      Kalau diduga  jama’ah sudah memahami dengan mendengar bacaan doanya saja, maka tentu isyarat dengan telunjuk tidak diperlukan sama sekali, karena tujuan mengangkat telunjuk sudah terpenuhi



[1] Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 433
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 595, No. Hadits : 874
[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muassasah Qurthubah,, Juz.  VI, Hal. 231
[4] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 440
[5] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Arab Saudi, Juz. IV, Hal. 631
[6] Ali Muhammad al-Qari, Mirqah al-Mafatih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 462
[7] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 14,  No. 366
[8] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 298,  No. 5776
[9] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 298.


BID’AH-BID’AH SHALAT JUM’AT


Telah popular di kalangan para sahabat, hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad; seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”[HR. Muslim]

“Barangsiapa mengada-adakan hal baru di dalam perkara kami yang tidak ada dalil di dalamnya,maka tertolak”[HR. Bukhari, Muslim]

Dalam hadist-hadist tesebut adalah peringatan tegas dari tindakan mengadakan bid’ah, sekaligus sebagai peringatan keras bahwa bid’ah itu adalah kesesatan. Peringatan keras bagi umat akan besarnya bahaya yang ditimbulkannya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”[QS. Al-Maidah:3]

Ada beberapa perbuatan bid’ah yang begitu populer dilakukan saat ini (terutama di Indonesia), baik karena kebodohannya, atau dengan kesengajaannya yang mereka itu disebut ahlu bid’ah:
1. Beribadah dengan cara tidak bepergian pada hari Jum’at.
2. Menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur.
3. Berhias diri dan berdandan untuk menyambut hari Jum’at, namun dengan mengerjakan sebagian bentuk maksiat, seperti memotong jenggot, mengenakan sutera dan emas(bagi kaum lelaki).
4. Kebiasaan sebagian kaum muslimin yang menyerahkan permadani ke mesjid pada hari Jum’at sebelum berangkat ke mesjid tersebut.
5. Memberi wejangan pada hari Jum’at (di tempat shalat) dengan berbagai caranya.
6. Adzan secara berjama’ah.
7. Adzan yang dilakukan beberapa muadzin bersama seorang muadzin tetap di tengah masjid.
8. Menambahkan adzan ke dua dari satu adzan yang ada, dengan memilih muadzin lain, dengan suara digetarkan seolah-olah sedang menjawab adzan pertama.
9. Naiknya muadzin pada hari Jum’at ke atas menara setelah adzan pertama untuk memanggil penduduk kampung agar hadir dan menyempurnakan jumlah hingga empat puluh.
10. Memisah-misahkan hadirin menjadi empat kelompok ketika mereka sudah berkumpul untuk shalat Jum’at. Dan ketika muadzin sudah beradzan, orang tersebut kembali menyatukan mereka semua.
11. Mengizinkan orang (yang dianggap) shaleh untuk melangkahi orang banyak di hari Jum’at, dengan klaim bahwa hal itu demi mengambil berkah darinya.
12. Sunnah Qobliyah(shalat sunnah rawatib sebelum) Jumat.
13. Memasangkan tangga mimbar pada hari Jumat.
14. Membuat bendera-bendera hitam ketika khotib.
15. Penutup mimbar.
16. Kebiasaan imam selalu memakai baju hitam di hari Jum’at.
17. Mengenakan sorban khusus di hari Jum’at atau di hari lain.
18. Mengenakan stiwel (khuff) untuk mendengarkan khotbah dan untuk shalat Jumat.
19. Tarqiyyah yakni membaca ayat:”innallaha wamalaa ikatahu yu sholluu na ‘alannabiy….”
20. Kemudian hadits, “Apabila engkau mengatakan kepada saudaramu…”, yang dikeraskan oleh muadzin ketika khotib keluar hingga sampai ke mimbar.
21. Membuat tangga mimbar lebih dari tiga.
22. Berdirinya imam di bagian mimbar paling bawah untuk berdo’a.
23. Belambat-lambat untuk menampakkan diri di mimbar.
24. Menggubah syair untuk memuji Nabi ketika khotib naik mimbar atau sebelum itu.
25. Khotib yang mengetukkan bagian bawah tongkat (pedang)nya ke lantai mimbar.
26. Para muadzin yang membaca shalawat kepada Nabi setiap kali khatib memukul tangannya ke mimbar.
27. Pemimpin para muadzin naik ke mimbar bersama imam, meski duduk lebih rendah darinya,lalu mengucapkan:”aamiinallahumma aamiin…’,”Kabulkan, ya Allah,kabulkan…”
28. Imam yang sibuk berdoa bila naik mimbar, menghadapi kiblat sebelum menghadap ke arah hadirin dan membaca salam kepada mereka.
29. Khatib tidak mengucapkan salam ketika berhadapan dengan hadirin.
30. Adzan ke dua di dalam masjid di hadapan khatib.
31. Adanya beberapa orang muadzin di hadapan khatib di sebagian masjid jami’. Salah seorang di antaranya di hadapan mimbar, yang ke dua di bagian atas mimbar. Yang pertama mendiktekan kepada yang ke dua lafadz adzan. Yang pertama menyebutkan bagian dari adzan itu secara pelan, kemudian muadzin ke dua menyuarakannya dengan keras.
32. Panggilan yang dilakukan oleh pemimpin para muadzin ketika khatib hendak menyampaikan khotbahnya dengan ucapan:”ayyuhannassu shohha ‘an rasuulillah shallallahu ‘alaihi wasallam annahu qaala:…”,”Wahai kaum muslimin sesungguhnya diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda…”
33. Sebagian muadzin yang mengucapkan di hadapan khatib ketika khatib duduk usai khutbah pertama,”ghafarallahu lakawali…”,”Semoga Allah mengampuni…”
34. Khatib yang bersandar pada sebilah pedang ketika sedang berkhotbah pada hari Jum’at.
35. Duduk di bawah mimbar, sementara khotib sedang berkhutbah dengan tujuan meminta syafaat.
36. Keengganan khatib untuk mengucapkan khutbatul hajah, yaitu:”innal hamda lillahi na’ maduhu…”,”Sesungguhnya segala puji bagi Allah…”. dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:”Amma ba’du;fa inna khairal kalami kalamullah…”,”Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kalamullah…”
37. Keengganan khatib untuk memberi nasihat dengan surat Qof dalam khutbah-khutbah mereka, padahal Nabi sering melakukannya.
38. Para khatib yang pada akhir khutbah di hari Jum’at, selalu mengucapkan hadits,”Attaa ibuminazzan bi…”,”Orang yang bertaubat dari satu dosa…”
39. Salam yang diucapkan sebagian khatib pada masa sekarang ini setelah usai berkhutbah pertama.
40. Membaca surat Al-Ikhlas tiga kali ketika duduk di antara dua khutbah.
41. Berdirinya sebagian hadirin pada pertengahan khutbah ke dua untuk shalat tahiyyat.
42. Do’a yang dilakukan oleh hadirin dengan mengangkat tangan ketika imam duduk di atas mimbar antara dua khutbah.
43. Turunnya khatib pada khutbah ke dua menuju anak tangga mimbar paling bawah, kemudian kembali lagi.
44. Berkhutbah terlalu cepat pada khutbah kedua.
45. Menengok ke kiri dan ke kanan ketika mengucapkan,”Saya larang kamu sekalian…”, atau ketika mengucapkan shalawat Nabi.
46. Naik satu tangga ketika mengucapkan shalawat Nabi, kemudian turun lagi setelah selesai.
47. Memaksa diri untuk mengucapkan gaya bahasa sajak, tatlits, dan takhmis dalam buku-buku dan khutbah-khutbah mereka. Padahal sajak (yang dipaksakan) telah dilarang dalam sebuah hadits shahih.
48. Kebiasaan banyak khatib untuk selalu menyebutkan hadits,”Inna lillahi ‘azzawajallafiikulla lailatin min ramadan…”,”Sesungguhnya Allah ‘azzal wajalla pada malam bulan Ramadhan…”
Demikian juga di akhir khutbah Jum’at di bulan Ramadhan atau khutbah Idul Fitri.Padahal hadits itu batil.
49. Meninggalkan shalat Tahiyyatul Masjid ketika imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at.
50. Khatib yang memberhentikan sejenak khutbahnya untuk memerintahkan orang yang masuk masjid dan segera melakukan shalat Tahiyatul Masjid untuk tidak melakukannya!Berkebalikan dengan yang tercantum dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau justru memerintahkan untuk melakukannya.
51. Menjadikan khutbah ke dua tanpa wejangan, bimbingan dan peringatan atau anjurannya. Lalu mengkhususkannya untuk membaca shalawat Nabi dan doa.
52. Pemaksaan diri khatib dalam mengangkat suara untuk bershalawat kepada Nabi di luar kebiasaan pada sisa khutbah.
53. Berlebih-lebihan dalam mengeraskan suara ketika membaca shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Khatib membaca,”Innallaha wamalaa ikatahu…”,”Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya…”
54. Teriakan yang dilakukan sebagian mereka di tengah khutbah dengan menyebut nama Allah atau nama sebagian orang-orang shalih.
55. Mendatangkan orang kafir yang baru masuk Islam di pertengahan minggu, kepada khatib yang sedang berada di atas mimbar, hingga ia melafdzkan keislamannya di hadapan orang banyak, dengan demikian si khatib terpaksa memberhentikan terlebih dahulu khutbahnya.
56. Terus-menerus menyebutkan nama para khalifah, raja atau sultan di tengah khutbah ke dua dengan dilagukan.
57. Doa yang dilakukan khatib untuk orang-orang yang berjihad dan yang berjaga-jaga di front mujahidin.
58. Para muadzin yang mengangkat suaranya mendo’akan para penguasa dengan berlama-lama, sementara si khatib menguraikan khutbahnya.
59. Diamnya para khatib ketika berkhutbah di atas mimbar untuk memberi kesempatan kepada para hadirin untuk mengamininya.
60. Para muadzin yang turut mengamini doa khatib, ketika mereka mendoakan para sahabat agar mendapatkan keridhoan Allah dan para penguasa agar mendapatkan kemenangan.
61. Menyenandungkan khutbah.
62. Khatib mengangkat tangan ketika berdo’a(yang benar memberi tanda dengan jari telunjuk).
63. Mengangkat tangan yang dilakukan oleh sebagian mereka untuk mengamini doa sang khatib.
64. Mengharuskan khutbah untuk ditutup dengan firman Allah:”Innallahaya’ murubil ‘ad liwal ihsaan…”,atau “az kurullaha yaz kur kum”
65. Memanjangkan khutbah dan memperpendek shalat.
66. Mengusap pundak atau punggung khatib ketika turun dari mimbar.
67. Mimbar besar yang biasa mereka masukkan ke dalam rumah, usai sang khatib berkhutbah.
68. Menghitung jumlah jama’ah pada sebagian masjid untuk melihat apakah jumlahnya mencapai empat puluh.
69. Mendirikan shalat Jumat di masjid-masjid kecil.
70. Masuknya Imam untuk shalat sebelum tegaknya shaf.
71. Mencium tangan setelah shalat.
72. Ucapan mereka setelah shalat Jumat,”Semoga Allah menerima ibadah kita bersama’
73. Shalat zuhur setelah shalat Jum’at.
74. Berdirinya sebagian wanita di pintu masjid pada hari Jum’at sambil membawa bayi yang masih merangkak dan belum bisa berjalan. Terkadang ia mengikat antara dua ibu jari kaki bayi itu dengan benang. Kemudian ia meminta orang pertama kali keluar dari masjid untuk memotong benang itu. Ia berkeyakinan bahwa si bayi akan segera bisa berjalan dua minggu setelah itu!
75. Berdirinya sebagian mereka di pintu dengan membawa cangkir di tangannya, untuk diludahi oleh orang-orang yang keluar dari masjid satu persatu,demi mendapatkan berkah dan kesembuhan!

Disebutkan juga bahwa Adzan (untuk ssemua shalat fardhu), yang dilakukan di dalam masjid itu termasuk bid’ah, karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat radiallahu ‘anhu, pelaksanaan adzan dilakukan muadzin di tempat tinggi di luar masjid, sehingga bisa dilihat oleh orang banyak.

Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kita untuk ittiba’ dan melarang kita untuk melakukan bid’ah Hal ini karena sempurnanya agama Islam ini. Kita harus cukup dengan apa-apa yang telah disyari’atkan oleh Allah subhana wata’ala dan Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam yang diterima dengan sangat baik oleh Ahlusunnah wal Jamah, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (tidak perlu ditambah-tambah ataupun dikurang-kurangi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur ar-Rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”[HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah]
 Sumber:FIQIH SHALAT JUM’AT (SYAIKH MUHAMMAD NASIRUDDIN AL-ALBANI)








Tiada ulasan: