Hukum Nisfu Sya’ban
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Ustadz YTH,
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya’ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?
Terima kasih, Jazakumullah……
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah
Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا
وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan
berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?”
Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. Al Baqoroh :
142)Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”
Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.
Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.
Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.
Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.
Wallahu A’lam
Nisfu Syaaban dan fatwa tentangnya
Assalaamu’alaikum w.b.t….. Sebagaimana telah
kita ketahui apabila tibanya malam 15 Sya’aban, ramai yang akan ke
masjid untuk solat jemaah dan membaca yasin sebanyak 3 kali. Tetapi
tahukah kita dari mana amalan itu berasal? Sedangkan kita tahu, bahawa
sesuatu ibadah khusus yang dilakukan jika tiada amalan atau dalil dari
nabi Muhammad S.a.w
maka dikira bid’ah. Persoalannya mengapa perlu dilakukan sebanyak 3
kali dan dikhususkan pada malam tersebut? Sedangkan bacaan Yasin boleh
dilakukan pada bila-bila masa dan tidak terhad kepada berapa kali.
Seperti yang selalu saya lihat, bacaan Yasin yang
dibuat sebanyak 3 kali itu dilakukan dengan pantas dan terkejar-kejar.
Mungkin ianya sesuai dengan orang yang sudah mahir membaca Qasar,
tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mahir dengan bacaan Qasar
lebih-lebih lagi bagi yang tidak mahir membaca AlQuran bertajwid.
Tidakkah itu sudah menjadi tunggang-langgang dan tidak berlaku dalam
keadaan yang tenang. Apakah bagus membaca AlQuran dalam keadaan
tergesa-gesa dan salah tajwidnya? Apakah hikmah di sebalik tergesa-gesa
dan tidak faham apa yang dibaca itu?
Sebenarnya tiada hadith yang sahih yang memberitahu
tentang bacaan yasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban ini dan jika ada
pun, ianya adalah hadith berkenaan kelebihan malam nisfu Syaaban yang
dhaif dan juga terdapat dalam hadith maudhu’ (palsu). Walau bagaimanapun
ada sebahagian ulama berpendapat hadis dhaif boleh dipegang dalam
amalan sunat secara perseorangan. Tetapi tidak sekali-kali dengan
hadith maudhu’. Ingat, hadith maudhu’ maknanya hadith
PALSU, dan hadith PALSU hanyalah hadith yang direka-reka oleh golongan
tertentu. Dengan kerana itu, adalah penting agar kita berhati-hati dalam
memahami martabat sesuatu hadith itu.
Namun , dalam soal bacaan Yasin sebanyak 3 kali dalam
nisfu Syaaban tetap tidak ada hadith yang sahih berkenaannya dan amalan
tersebut tiada ditunjukkan contoh langsung oleh nabi dan sahabat.
Maka mengapa kita sekarang ini mengadakan majlis tersebut di
masjid-masjid apabila tibanya malam nisfu Syaaban sahaja? Mengapa perlu
menetapkan malam itu untuk membaca Yasin 3 kali dan berduyun-duyun
menuju ke masjid sedangkan malam lain tidak? Itu yang perlu diperhati
bersama.
Dan saya tidak berani mengatakan amalan tersebut
haram. tetapi kita perlu ingat, amalan ibadah khusus yang bukannya
berasal dari nabi sudah dikira bid’ah dan dibimbangi amalan itu akan
menjadi penat dan lelah semata-mata kerana tidak berasas atau menambah
dosa sahaja. Tetapi menurut fatwa dari Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, amalan itu dikira bid’ah dan penjelasannya ada saya sertakan di bawah nanti.
Maka sebaiknya adalah kita lakukan sahaja amalan
membaca Yasin atau apa-apa sahaja bacaan AlQuran , tanpa perlu
dikhususkan 3 kali dan seumpamanya. Dan yang penting, bacaan itu biarlah
TERTIB, TENANG dan memberi keinsafan kepada kita dan bukannya
semata-mata mahu mengejar pahala sehingga membaca AlQuran dengan
tergopoh dan salah tajwid dan mengatakan sepatutnya melakukan bacaan
Yasin 3 kali itu.
Pengertian nisfu Syaaban
Nisfu dalam bahasa arab bererti setengah. Nisfu
Syaaban bererti setengah bulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban adalah
malam lima-belas Syaaban iaitu siangnya empat-belas haribulan Syaaban.
Malam Nisfu Syaaban
merupakan malam yang penuh berkat dan rahmat selepas malam Lailatul
qadr. Saiyidatina Aisyah r.a. meriwayatkan bahawa Nabi saw tidak tidur
pada malam itu sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadis yg
diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi r.a:
Rasulullah saw
telah bangun pada malam (Nisfu Syaaban) dan bersembahyang dan
sungguh lama sujudnya sehingga aku fikir beliau telah wafat. Apabila aku
melihat demikian aku mencuit ibu jari kaki Baginda saw dan
bergerak. Kemudian aku kembali dan aku dengar Baginda saw berkata
dlm sujudnya, “Ya Allah aku pohonkan kemaafanMu daripada apa yg
akan diturunkan dan aku pohonkan keredhaanMu daripada kemurkaanMu
dan aku berlindung kpdMu daripadaMu. Aku tidak dpt menghitung
pujian terhadapMu seperti kamu memuji diriMu sendiri.”
Setelah Baginda saw selesai sembahyang, Baginda
berkata kpd Saiyidatina Aisyah r.a. “Malam ini adalan malam Nisfu
syaaban. Sesungguhnya Allah Azzawajjala telah dtg kpd hambanya pada
malam Nisfu syaaban dan memberi keampunan kpd mereka yg
beristighfar, memberi rahmat ke atas mereka yg memberi rahmat dan
melambatkan rahmat dan keampunan terhadap orang2 yg dengki.”
Hari nisfu sya’aban adalah hari dimana buku catatan
amalan kita selama setahun diangkat ke langit dan diganti dengan buku
catatan yang baru. Catatan pertama yang akan dicatatkan dibuku yang
baru akan bermula sebaik sahaja masuk waktu maghrib, (15 Sya’aban
bermula pada 14 hb sya’aban sebaik sahaja masuk maghrib)
Bacaan yasin
Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam nisfu
Syaaban ( 15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin
sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celah-celah bacaan Yasin
ini diselitkan dengan bacaan doa seperti , selepas bacaan Yasin pertama
dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua
doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin
ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal.
Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban
yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh
dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama muktabar
dunia masa kini tentang sahih batilnya amalan ini.
Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat
pahala dan kebaikan . Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah
s.a.w. atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari al-Quran
dan as-sunnah . Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada
sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan
dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan
memenatkan badan.
Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada
bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan
kepada malam nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita
digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan
di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di
malam nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa
bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung
di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah
s.w.t.
Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang
ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah
di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan
membaca Yasin dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut
tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain
dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah
sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan
khusus untuk amalan penduduk nusantara ini!
‘Solat Sunat’ Nisfu Syaaban
Firman Allah (mafhumnya): “Pada hari ini, Aku telah
sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada
kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu.”
[al-Maa’idah 5:3]. “Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang
menentukan mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang
yang tidak diizinkan oleh Allah?” [al-Syur.a 42:21]
Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah
(r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “barangsiapa
mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana
bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak.”
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a,
Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: “Tetaplah kamu dengan
Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ Rasyidun, serta berpegang teguhlah
padanya… Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana
setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap perkara bid’ah itu adalah
sesat.” Terdapat banyak lagi ayat Qur’an dan hadis yang seumpamanya.
Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah
sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka.
Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai
menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada
ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan
mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah
yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang
kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali
kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik.
Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini,
begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bid’ah dan
menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang
menyanjung Sunnah dan mengecam bid’ah, ditulis oleh bin Waddah,
al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain.
Antara amalan bid’ah yang direka manusia ialah
menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan
menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh
dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk
tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan.
Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena nisfu Syaaban
kesemuanya adalah maudhu’ (rekaan semata-mata), sebagaimana telah
diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa
petikan dari ulasan para alim ulama ini.
Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan
daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur
ulama, menyambut nisfu Syaaban adalah bid’ah, dan hadis-hadis tentang
fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah),
sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu’ (rekaan). Antara ulama
yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam
kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if
berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang
terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi
sambutan nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat
digunapakai.
Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh
Imam Abu’l-‘Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim
ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila wujud perselisihan
di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu
atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa
yang didapati bercanggah dengan kedua-duanya mestilah ditolak. Oleh itu
sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam kedua-dua (Qur’an
dan Sunnah) adalah bid’ah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi
mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya.
Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): “Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada Rasulullah dan kepada “Ulil-Amri” (orang-orang yang berkuasa)
dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan)
dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada
(Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi
kamu) dan lebih elok pula kesudahannya.” [al-Nisa’ 4:59]
“Dan (katakanlah wahai Muhammad
kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu
berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim
yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku
berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala
keadaan).”[al-Shura 42:10]. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar
kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu
serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun,
lagi Maha Mengasihani.” [Aal ‘Imr.an 3:31]
“Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak
disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam
mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka
pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah
engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.”
[al-Nisa’ 4:65]
Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya
seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang
perselisihan wajib dirujuk kepada Qur’an dan Sunnah, seterusnya wajib
mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini
merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia
dan di akhirat: “Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih
elok pula kesudahannya” [al-Nisa’ 4:59 – mafhumnya] maksudnya ialah Hari
Akhirat.
Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya
Lataa’if al-Ma’aarif tentang isu ini – setelah membincangkannya secara
panjang lebar – “Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan
Tabi’in di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Mi’dan, Makhul,
Luqman bin ‘Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah
bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa
malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan
bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan
kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak
kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah ‘Ata’ dan Ibnu Abi Malikah.
‘Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha’
(Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki
dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bid’ah…
Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa
pun tentang (adanya sambutan) Malam Nisfu Syaaban… Tentang amalan berdoa
sepanjang Malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada
Nabi (s.a.w) ataupun daripada Para Sahabat Baginda …”
Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin
Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung
riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada Sahabat-sahabat
Baginda (R.A) mengenai Malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban).
Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shar’i bahawa
apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi Umat Islam
untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya
amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka
mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w:
“Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada
urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak.” Banyak lagi dalil
yang menegaskan bahawa bid’ah mesti ditegah dan memerintahkan agar
menjauhinya.
Imam Abu Bakr al-Tartushi (R.A) menyebut dalam
kitabnya al-Hawadith wa’l-Bida’: “Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd
bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan
ulama dan and fuqaha’ kami yang memberi perhatian lebih kepada Malam
Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith
Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih
istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu
Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di Malam
Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab,
“Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di
tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang
pereka cerita.”
Al-Shaukani (R.A) berkata dalam al-Fawa’id
al-Majmu’ah: “Hadith yang berbunyi: ‘Wahai ‘Ali, barangsiapa bersolat
seratus rakaat di Malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat
Ummul Kitab [Surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali,
Allah akan memenuhi segala keperluannya…’ Hadis ini maudhu’ (rekaan
semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan
diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras
yang boleh meragui bahawa ‘hadis’ ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi,
perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). ‘Hadis’ ini
juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah
direka dan kesemua perawinya adalah are majhul (tidak diketahui
asal-usulnya).
Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan:
Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis
palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban – “ Apabila tiba
malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan
berpuasalah di siang harinya” – adalah dhaif (lemah).
Di dalam kitab al-La’aali’ beliau berkata, “Seratus
rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (Surah) al-Ikhlas sepuluh kali di
setiap rakaat… (hadis ini) adalah maudhu’ (direka), dan kesemua perawi
dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah).
Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali
setiap rakaat, ini juga adalah maudhu’; dan empat belas (rakaat), juga
adalah maudhu’.
Beberapa orang fuqaha’ telah tertipu oleh hadis palsu
ini, antaranya pengarang al-Ihya’ dan lain-lain, dan juga sebahagian
ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini – di pertengahan bulan
Syaaban – telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah
palsu dan direka-reka.”
Al-Hafiz al-‘Iraqi berkata: “Hadith tentang solat di
malam pertengahan Syaaban adalah maudhu’, dan disandarkan secara palsu
terhadap Rasulullah s.a.w.”
Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu’:
“Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaa’ib, didirikan sebanyak
dua belas rakaat antara Maghrib dan ‘Isyak pada malam Jumaat pertama di
bulan Rejab, dan sembahyang sunat Malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus
rakaat – kedua-dua sembahyang ini adalah bid’ah yang tercela.
Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut
al-Qulub dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, atau oleh hadis-hadis yang disebutkan
dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga
tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru
dalam hal ini dan menulis beberapa helaian yang menyebut bahawa
sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka
tersilap.”
Sheikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin
Isma’il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang
membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa
beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan
panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan
tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang
sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah
memadai bagi anda yang mencari kebenaran.
Daripada ayat-ayat Qur’an, hadis-hadis dan pendapat
ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut
pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau
dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada
hari tersebut, adalah bid’ah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan
tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya
hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas
berakhirnya zaman Sahabat (radhiallahu `anhum).
Amat memadai, dalam hal ini, untuk kita fahami kalam Allah (mafhumnya):
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu untukmu..…”[al-Ma’idah 5:3]. dan beberapa ayat yang seumpamanya; dan kata-kata Nabi s.a.w: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang (pada hakikatnya) bukan sebahagian daripadanya, tidak akan diterima” dan beberapa hadis yang serupa.
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu untukmu..…”[al-Ma’idah 5:3]. dan beberapa ayat yang seumpamanya; dan kata-kata Nabi s.a.w: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang (pada hakikatnya) bukan sebahagian daripadanya, tidak akan diterima” dan beberapa hadis yang serupa.
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahawa Abu Hurarah
(R.A) berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Janganlah kamu khususkan
malam Jumaat untuk bersembahyang malam dan janganlah khususkan siang
hari Jumaat untuk berpuasa, melainkan jika puasa di hari itu adalah
sebahagian daripada puasa-puasa yang kamu amalkan
berterusan-berterusan.’”
Seandainya dibenarkan untuk mengkhususkan mana-mana
malam untuk amalan ibadah yang istimewa, sudah tentu malam Jumaat adalah
yang paling sesuai, kerana siang hari Jumaat adalah hari yang paling
baik bermula terbit mataharinya, sebagaimana disebutkan dalam hadis
Sahih yang diriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w. Memandangkan Nabi Muhammad
s.a.w sendiri melarang dari mengkhususkan malam tersebut untuk
bertahajjud, itu menandakan bahawa adalah lebih dilarang sekiranya
dikhususkan malam-malam lain untuk sebarang bentuk ibadat, kecuali di
mana terdapat nas yang Sahih yang mengkhususkan malam tertentu.
Oleh kerana telah disyariatkan untuk memenuhi malam
Lailatul-Qadr dan malam-malam lain di bulan Ramadhan dengan bersolat,
Rasulullah s.a.w memberi perhatian kepadanya dan menyuruh umatnya
bersolat malam sepanjang tempoh tersebut. Baginda sendiri
melaksanakannya, sebagaimana disebut dalam al-Sahihain, bahawa
Rasulullah s.a.w bersabda: “Barangsiapa bersolat qiyam di bulan Ramadan
dengan penuh iman dan mengharapkan pahala, Allah akan ampunkan
dosa-dosanya yang telah lalu” dan “Barangsiapa memenuhi malam Lailatul
Qadr dengan bersolat (sunat) disebabkan iman dan mencari pahala, Allah
ampunkan kesemua dosanya yang telah lalu.”
Akan tetapi sekiranya disyariatkan untuk
mengkhususkan malam pertengahan bulan Syaaban, atau malam Jumaat pertama
di bulan Rejab, atau di malam Isra’ dan Mi’raj, dengan meraikannya
ataupun dengan melakukan amalan ibadat yang khusus, maka sudah tentu
Rasulullah s.a.w telah mengajar umatnya melakukannya, dan Baginda
sendiri melakukannya. Jika pernah berlaku sedemikian, para Sahabat
Baginda (R.A) pasti akan memperturunkan amalan amalan tersebut kepada
umat terkemudian; tidak mungkin mereka menyembunyikan amalan daripada
umat terkemudian, kerana mereka adalah generasi yang terbaik dan yang
paling amanah selepas Rasulullah, radhiallahu `anhum, dan semoga Allah
merahmati kesemua sahabat Rasulullah s.a.w.
Sekarang kita telah membaca sendiri kata-kata ulama
yang dipetik di atas bahawa tidak ada riwayat daripada Rasulullah s.a.w
mahupun Para Sahabat (R.A) berkenaan kelebihan malam Jumaat pertama
bulan Rejab, atau malam pertengahan bulan Syaaban. Maka kita tahu bahawa
menyambut hari tersebut adalah satu perkara baru yang dimasukkan ke
dalam Islam, dan mengkhususkan waktu-waktu ini untuk amalan ibadat
tertentu adalah bid’ah yang tercela.
Samalah juga dengan sambutan malam ke dua puluh tujuh
bulan Rejab, yang mana disangkakan oleh sesetengah orang sebagai malam
Isra’ dan Mi’raj; tidak dibenarkan mengkhususkan hari tersebut untuk
amalan tertentu, atau meraikan tarikh tersebut, berdasarkan dalil yang
dipetik di atas. Ini sekiranya tarikh sebenar Isra’ and Mi’raj telah
diketahui, maka bagaimana sekiranya pandangan ulama yang benar adalah
tarikh sebanar Isra’ and Mi’raj tidak diketahui! Pandangan yang
mengatakan ianya berlaku pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Rejab
adalah riwayat yang palsu yang tiada asas dalam hadis-hadis sahih. Baik
sekiranya seseorang itu berkata: “Perkara paling baik adalah yang
mengikut jalan para salaf, dan perkara paling buruk adalah perkara yang
diada-adakan.”
Kita memohon agar Allah membantu kita dan seluruh
umat Islam untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan menjauhi segala yang
bertentangan dengannya, kerana Dialah yang Maha Pemurah, lagi Maha
Penyayang. Semoga Allah merahmati Pesuruh dan UtusanNya, Nabi kita
Muhammad s.a.w, serta kesemua ahli keluarga dan Para Sahabat baginda.
Ulasan dan terjemahan fatwa : http://www.darulkautsar.com[Dipetik daripada Majmu’ Fatawa Samahat al-Sheikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baz, 2/882]
Rujukan :
1 – http://e-malabari.net/ugama/nisfusyaaban.htm
2 – http://www.darulkautsar.com
Hadis Palsu Rejab, Sya’ban
Oleh : DR. MOHD. ASRI ZAINUL ABIDIN (pensyarah Bahagian Pengajian Islam Universiti Sains Malaysia (USM))
Agama wajib dipelihara
ketulenannya supaya tidak berlaku campur aduk antara rekaan manusia dan
perintah Allah dan RasulNya. Jika agama boleh direkacipta, maka wahyu
sudah tentu tidak diperlukan, juga Rasul tidak perlu diutuskan.
Oleh itu Islam mengharamkan
pembohongan di atas nama agama. Kita melihat di akhir-akhir ini
perkembangan yang lebih mendukacitakan, dimana adanya individu-individu
tertentu yang tidak mempunyai latar belakang pengajian Islam atau
sekadar sebulan dua di pusat pengajian tertentu kemudiannya muncul di
tengah masyarakat dengan membawa huraian-huraian yang salah tentang
Islam di sana-sini. Fonomena ini mendukacitakan kita, akhirnya manusia
mengambil agama daripada golongan jahil lalu mereka diselewengkan.
Bahkan bukan sahaja golongan yang
tidak pernah mengikut pengajian Islam membuat kesalahan dalam memetik
dan menghuraikan hadith bahkan ada di kalangan yang menggunakan lebel
nama sebagai ustaz juga sering membuat kesalahan dalam persoalan
memetik dan menghuraikan hadith-hadith Nabi s.a.w.
Sebenarnya gelaran ustaz bukan
bererti seseorang itu tahu segalanya dalam ilmu-ilmu Islam. Sebaliknya
ada golongan yang digelar ustaz hanya kerana sepatah dua kalimat yang
dihafalnya.
Berbalik kepada persoalan hadith,
ramai di kalangan kita yang begitu tidak berdisplin dalam memetik
hadith-hadith Nabi s.a.w., begitu juga dalam menghuraikannya.
Sebahagiannya langsung tidak mengambil berat persoalan kethabitan iaitu
kepastian di atas ketulenan sesebuah hadith. Apa sahaja yang dikatakan
hadith terus sahaja dibacakan kepada masyarakat tanpa meneliti takhrij
dan tahqiq (keputusan) para ulama hadith terhadap kedudukannya.
Lebih malang ada yang menyangka
apa sahaja yang dikatakan hadith maka pastinya sahih dan wajib diimani.
Dengan itu apa sahaja yang mereka jumpai daripada buku bacaan, yang
dikatakan hadith maka mereka terus sandarkan kepada Nabi s.a.w. tanpa
usul periksa, sedangkan mereka lupa akan amaran yang diberikan oleh
baginda Nabi s.a.w. dalam hadith yang mutawatir:
“Sesungguhnya berdusta ke atasku
(menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain
(menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan
sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka”(Riwayat al-Bukhari,
Muslim, dan selain mereka) Hadith ini adalah mutawatir (lihat: Ibn
al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.239, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah,
Beirut)
Berbohong menggunakan nama Nabi
s.a.w. adalah satu jenayah yang dianggap sangat barat di dalam Islam.
Perbohongan atau berdusta menggunakan Nabi s.a.w. ialah menyandar
sesuatu perkataan, atau perbuatan, atau pengakuan kepada Nabi s.a.w
secara dusta, yang mana baginda tidak ada kaitan dengannya. Ini seperti
menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah
bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang baginda tidak pernah
melakukannya. Maka sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi s.a.w. samada
perkataan, atau perbuatan atau pengakuan, maka ianya disebut sebagai
al-hadith. Namun menyandar sesuatu kepada Nabi s.a.w. secara dusta,
bukanlah hadith pada hakikatnya, Cuma ianya disebut hadith berdasar apa
yang didakwa oleh perekanya dan ditambah perkataan al-Maudu’, atau
al-Mukhtalaq iaitu palsu, atau rekaan. Maka hadith palsu ialah:
“Hadith yang disandarkan kepada
Nabi s.a.w secara dusta, ianya tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.”
(lihat: Nural-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi `Ulum al-Hadith, m.s.301,
cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)
Perbuatan ini adalah jenayah
memalsu ciptakan agama, kerana Nabi adalah sumber pengambilan agama.
Seperti seseorang yang memalsukan passport di atas nama sesebuah
kerajaan. Ianya sebenarnya melakukan pembohongan dan jenayah terhadap
kerajaan tersebut. Kedudukan Nabi s.a.w tentunya lebih besar dan agung
untuk dubandingkan. Oleh itu dalam riwayat yang lain Nabi s.a.w.
menyebut:
“Jangan kamu berdusta ke atasku, sesiapa berdusta ke atasku maka dia masuk neraka” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kata al-Hafizd Ibn Hajar al-`Asqalani (meninggal 852H) dalam mengulas hadith ini:
“Ianya merangkumi setiap pendusta
ke atas Nabi s.a.w. dan semua jenis pendustaan ke atas baginda.
Maksudnya: Jangan kamu sandarkan pendustaan ke atasku (menggunakan
namaku) (rujukan: Ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari, jld 1, m.s.
270, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut).
Bukan sahaja membuat hadith palsu
itu haram, bahkan meriwayatkannya tanpa diterang kepada orang yang
mendengar bahawa ianya adalah hadith palsu juga adalah sesuatu yang
haram. Kata al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H):
“Tidak halal kepada sesiapa yang
mengetahui ianya hadith palsu meriwayatkannya dalam apa bentuk
sekalipun, melainkan disertai dengan menerangkan kepalsuannya” (Ibn
al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.98)
Misalnya di tanahair kita,
didapati apabila munculnya bulan Rejab dan Sya`aban maka hadith-hadith
palsu mengenai mengenai bulan-bulan tersebut akan dibaca dan diajar
secara meluas. Antaranya hadith:
“Rejab bulan Allah, Sya`aban
bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. Ini adalah hadith palsu yang direka
oleh Ibn Jahdam. (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi
al-Sahih wa al-Dha`if, m.s. 95, cetakan: Maktabal-Matbu`at
al-Islamiyyah, Halab, Syria)
Nama penuhnya Ibn Jahdam ialah
`Ali bin `Abdillah bin Jahdam al-Zahid. Beliau meninggal pada tahun
414H. Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh
membuat hadith palsu mengenai solat Raghaib (iaitu solat pada jumaat
pertama bulan Rejab). (lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-`Itidal fi
Naqd al-Rijal,. 5, m.s. 173, cetakan: Daral-Kutub al-`Ilmiyyah,
Beirut).
Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah
(meninggal 643H) menyebut: Ada beberapa golongan yang membuat hadith
palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka
kepada zuhud (golongan sufi). Mereka ini membuat hadith palsu dengan
dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima
pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada
mereka. Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadith mendedahkan keburukan
mereka ini dan menghapuskannya. AlhamdulilLah. (Ibn al-Salah, `Ulum
al-Hadith, m.s. 99)
Golongan penceramah, imam, khatib,
dan media massa pula, ada menjadi agen menyebarkan hadith-hadith palsu
mengenai amalan-amalan yang dikatakan disunatkan pada bulan-bulan
tersebut. Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat
751H):Hadith-hadith mengenai solat Raghaib pada jumaat pertama bulan
Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w.
Begitu juga semua hadith mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada
malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga
hadith-hadith mengenai solat pada malam Nisfu Sya`aban (kesemuanya
adalah palsu). Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun
munculnya Islam (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).
Sebenarnya hadith sahih mengenai
kebaikan malam nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan
tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu. Hadith yang boleh
dipegang dalam masalah nisfu Sy`aaban ialah:
“Allah melihat kepada
hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua
hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh
(orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain).
Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah.
(jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh).
Hadith ini tidak mengajar kita
apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu amalan-amalan tertentu
pada malam tersebut seperti baca Yasin, solat-solat tertentu adalah
bukan ajaran Nabi s.a.w. Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab
soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban:
“Tidak pernah diriwayatkan
daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid
pada untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca do`a tertentu dan
solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang
Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam
tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan
solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula
dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca
do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah,
tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang
menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan
bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita
lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah
bid`ah dan diada-adakan.
Sepatutnya kita melakukan ibadat
sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut
salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan
setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu
sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.” (Dr. Yusuf al-Qaradawi,
jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).
Inilah kenyataan Dr. Yusuf
al-Qaradawi, seorang tokoh ulama umat yang sederhana dan dihormati.
Namun dalam masalah ini beliau agak tegas kerana ianya ternyata
bercanggaha dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.
Justeru itu hadith-hadith palsu
mengenai Rejab dan Syaaban ini hendaklah dihentikan dari disebarkan ke
dalam masyarakat. Kita perlu kembali kepada agama yang tulen. Hasil
dari memudah-mudahkan dalam hal seperti ini maka muncullah golongan
agama yang suka mendakwa perkara yang bukan-bukan. Dengan menggunakan
nama agama segala rekaan baru dibuat untuk kepentingan diri dan
kumpulan. Islam tidak pernah memberi kuasa kepada kepada golongan
agama, atau sesiapa sahaja untuk mendakwa apa yang dia suka kemudian
menyandarkannya kepada agama. Agama kita rujukannya ialah al-Quran dan
al-Sunnah yang pasti kesabitannya mengikut yang diputuskan oleh para
ulama hadith.
Kata al-Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah (seorang ulama hadith al-Azhar):
“Masih ada para penceramah yang
tidak ada ilmu hadith, samada ilmu riwayat atau dirayah (mengenai teks
hadith). Mereka hanya membaca hadith apa yang mereka hafal dan dari
tulisan-tulisan tanpa mengetahui kedudukan hadith tersebut. Apa yang
mereka pentingkan hanyalah reda orang ramai. Lalu mereka menyebut
perkara yang berlebih-lebih, pelik dan ajaib yang Islam tiada kaitan
dengannya. Mereka ini sepatutnya dihalang dari berceramah, memberi
nasihat dan bertazkirah.” (Abu Syahbah, al-Wasit fi `Ulum wa
al-Mustalah al-Hadith, m.s. 322, cetakan: Dar al-Fikr al-`Arabi,
Kaherah)
Penulis menyeru diri sendiri, para
penceramah, ustaz-ustaz, media elektronik dan cetak juga semua pihak
yang membaca sesuatu hadith memastikan kesahihannya dahulu. Semoga
Rejab dan Syaaban tahun ini tidak dibaluti dengan pembohongan terhadap
Nabi s.a.w.
Beberapa Pendapat Ulama Muktabar Tentang Sambutan Nisfu Sya`ban
Rasulullah sallAllahu `alaihi wa sallam bersabda:“ALLAH melihat kepada hamba-hambaNYA pada malam nisfu Sya`ban, maka DIA mengampuni semua hamba-hambaNYA kecuali yang musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci).”(Hadith Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh)
Hadith di atas merupakan hadith yang
sahih dari Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam berkenaan fadhilat
nisfu Sya`ban. Terdapat banyak lagi dikatakan hadith-hadith yang
membentangkan tentang fadhilat dan kaifiat sempena Nisfu Sya`ban.
Namun, hadith-hadith tersebut telah dikategorikan sebagai dhaif (lemah)
dan maudhu` (palsu).
Adapun berkenaan beberapa amalan
masyarakat umum dalam menyambut nisfu Sya`ban, berikut disenaraikan
beberapa pandangan `ulama muktabar tentangnya:
(1) Dr. Yusuf al-Qaradawi:
“Tidak pernah
diriwayatkan daripada Nabi sallAllahu `alaihi wasallam dan para sahabat
bahawa mereka berhimpun di masjid pada untuk menghidupkan malam nisfu
Sya`ban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita
lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri,
orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid.
Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang
umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada
manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari
golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu
do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga
bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban)
seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri
orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan
ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah
mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas
mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang
bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.”
(Dr. Yusuf al-Qaradawi, jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut)
(2) Dr. Yusuf al-Qaradawi:
“(Tentang malam Nisfu
Sya’ban, tidak terdapat hadis-hadis yang sampai ke martabat sahih yang
menyebut tentangnya, kecuali ia berada di martabat hasan di sisi
sebahagian ulama, dan terdapat juga sebahagian ulama yang menolaknya dan
mengatakan bahawa tidak terdapat sebarang hadis sahih tentang malam
Nisfu Sya’ban, sekiranya kita berpegang bahawa hadis tersebut berada di
martabat hasan, maka apa yang disebut di dalam hadis tersebut ialah Nabi
saw hanya berdoa dan beristighfar pada malam ini, tidak disebut
sebarang doa yang khusus sempena malam ini, dan doa yang dibaca oleh
sebahagian manusia di sesetengah negara, dicetak dan diedarkannya adalah
doa yang tidak ada asal sumbernya (daripada hadis sahih) dan ia adalah
salah).
(Terdapat juga di
sesetengah negara yang mereka berkumpul selepas solat Maghrib di
masjid-masjid dan membaca surah Yaasin, kemudian solat dua rakaat dengan
niat supaya dipanjangkan umur, dan dua rakaat lagi supaya tidak
bergantung dengan manusia, kemudian membaca doa yang tidak pernah
dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf, dan ia adalah doa yang
bercanggah dengan nas-nas yang sahih, juga bersalahan dari segi
maknanya).”
(Al-Qaradhawi, Fatawa al-Muasarah (Kuwait: Dar al-Qalam, cet.5, 1990), 2/379-383)
(3) Al-Hafiz al-Iraqi:
“Hadis tentang solat
pada malam Nisfu Sya`ban adalah maudhu`, direka cipta dan disandarkan
kepada Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam.”
(4) Al-Imam al-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu':
“Solat yang dikenali
sebagai solat al-Raghaib iaitu solat sebanyak dua belas rakaat antara
Maghrib dan `Isya’ pada malam Jumaat pertama bulan rejab dan solat sunat
pada malam Nisfu Sya`ban sebanyak seratus rakaat adalah dua jenis
sembahyang yang bid`ah (ditokok tambah dalam agama).”
(Rujuk: Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, cetakan ke-3, Uni.Islam Madinah, hal. 14).
(5) Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz:
“Dan di antara
perkara-perkara ibadah yang direka cipta oleh manusia ialah merayakan
malam Nisfu Sya’ban dan berpuasa sunat khusus pada siangnya, dan
tidaklah ada sebarang dalil yang mengharuskan perkara ini. Riwayat yang
menyatakan tentang kelebihan amalan ini adalah dhaif dan tidak boleh
berhujah dengannya. Ada pun riwayat yang menyebut tentang kelebihan
solat yang khas, semuanya adalah maudhu’ seperti mana yang telah
dijelaskan oleh kebanyakan ahli ilmu).”
(Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, hal. 11).
(6) Al-Imam as-Suyuti:
“(Dan pada malam Nisfu
Sya’ban itu padanya kelebihan, dan menghidupkannya dengan ibadah adalah
digalakkan, tetapi hendaklah dilakukan secara bersendirian bukan dalam
bentuk berjemaah).”
(Rujuk: al-Suyuti, al-amru bi al-ittiba’ wa al-nahyu an al-ibtida’ (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1998), hal 61)
Kesimpulan
-
Beribadatlah mengikut apa yang telah disyariatkan melalui nas sahih yang diperolehi dari al-Quran dan as-Sunnah. Jangan sekadar mengamalkan sesuatu ibadah kerana ikut-ikutan, tanpa sandaran yang kukuh dari al-Quran dan as-Sunnah.
-
Diharuskan untuk memperbanyakkan ibadah pada malam Nisfu Sya`ban dengan mengambil fadhilat dari hadith yang telah disebutkan di atas. Iaitu contohnya dengan mendirikan solat sunnat, membaca al-Quran dan lain-lain amalan baik bagi mendekatkan diri kepada ALLAH. Tiada amalan ibadah tertentu dan khas yang bersumberkan nas yang sahih sempena Nisfu Sya`ban. Hal ini telah disebut oleh beberapa ulama seperti di atas.
-
Jauhkan dari perbuatan syirik dan sifat permusuhan. Kerana dua sifat yang buruk ini membuatkan diri seseorang tidak mendapat keampunan ALLAH Subhanahu wa Ta`ala.
-
Berhati-hatilah dengan ancaman Rasulullah sallAllahu `alaihi wa sallam dalam hal berdusta ke atas Baginda. Berdusta ke atasnya bermaksud menyandarkan sesuatu amalan dan perkara kepada Baginda sallAllahu `alaihi wasallam, walhal Nabi SallAllahu `alaihi wasallam tidak pernah berkata, perbuat atau bersetuju amalan sebegitu. Sabda Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam yang bermaksud:
Semoga ALLAH Yang Maha Pengampun mengampuni dosa-dosa kita, amin.“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka.”(HR al-Bukhari, Muslim dan selain mereka.)
WAllahu Ta`ala A`lam.
– www.muzir.wordpress.com
(Disusun dan disunting semula bersumberkan artikel di al-Ahkam.net)
Soalan: al-Fadil Dr
Asri yang dikasihi, sekarang kita berada dalam Bulan Syaaban. Apakah
amalan yang patut kita lakukan. Saya dengar macam-macam pendapat. Ada
kata banyak amalan Bulan Syaaban yang dibuat orang itu tidak ada dalil.
Contohnya malam Nisfu Syaaban. Ada kata palsu. Ada kata memang ada
dalil. Saya baca di internet pun macam-macam pandangan. Saya ingin
beramal dengan amalan yang betul. Bolehkah Dr Asri huraikan?
Anisah, Bangi.
Jawapan Dr MAZA: Saudari Anisah yang
dikasihi, sikap saudari yang ingin memastikan ketepatan amalan amat
dipuji. Agama ini bukan diikuti tanpa dipastikan kesahihan, atau diikuti
tanpa faham. Agama berpaksikan dalil yang diiktiraf. Sesuatu yang tidak
berasaskan sumber yang sah iaitu al-Quran dan hadis-hadis yang sabit (authentic)
tidak boleh disandarkan kepada Islam. Dalam masa yang sama, tidaklah
pula kita mudah menafikan sesuatu perkara dengan menyatakan ia bukan
dari ajaran Islam, sebelum kita benar-benar pasti memang tidak wujud
dalil dalam hal tersebut. Mengenai soalan saudari, saya jawab
berdasarkan perkara-perkara berikut;
2. Dalam sejarah ilmu hadis, ramai pemalsu hadis memang gemar membuat hadis-hadis palsu yang berkaitan dengan fadilat-fadilat. Ini seperti mereka mengada-adakan fadilat-fadilat bulan tertentu, surah tertentu dan seumpamanya. Mereka akan mengaitkannya pula dengan amalan tertentu seperti solat khusus, doa khusus, puasa khusus pada hari atau bulan yang dikaitkan dengan fadilat itu. Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah ( meninggal 643H) menyebut:
“Ada beberapa golongan yang membuat hadis palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud (golongan sufi). Mereka ini membuat hadis palsu dengan dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada mereka. Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadis mendedahkan keburukan mereka ini dan menghapuskannya. AlhamdulilLah”.( Ibn al-Salah, `Ulum al-Hadis, m.s. 99, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu`asir).3. Antara hadis palsu yang direka mengenai bulan-bulan:
“Rejab bulan Allah, Syaaban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. Ini adalah hadis palsu yang direka oleh Ibn Jahdam (meninggal 414H) (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Sahih wa al-Dha`if, m.s. 95, Halab: Maktab al-Matbu`at al-Islamiyyah).Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh membuat hadis palsu mengenai solat Raghaib iaitu solat pada jumaat pertama bulan Rejab( lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-`Itidal fi Naqd al-Rijal,. 5/173, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H):
“Hadis-hadis mengenai solat Raghaib pada jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w. Begitu juga semua hadis mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga hadis-hadis mengenai solat pada malam Nisfu Syaaban (kesemuanya adalah palsu). Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun munculnya Islam”. (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).4. Namun tidak boleh dinafikan bahawa di sana juga terdapat hadis-hadis yang sahih mengenai kelebihan Bulan Sya’ban. Antaranya apabila bertanya Usamah bin Zaid Nabi s.a.w mengapa baginda banyak berpuasa pada Bulan Syaaban, Nabi s.a.w menjawab:
“Syaaban antara Rejab dan Ramadan, manusia lalai mengenainya. Padanya (Bulan Syaaban) diangkat amalan hamba-hamba Allah. Aku suka tidak diangkat amalanku, melainkan aku dalam keadaan berpuasa” (Riwayat al-Nasai, dinilai hasan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Sahihah 4/522).Aisyah r.aha juga menyebut:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah s.a.w berpuasa dalam bulan lain lebih daripada puasa Syaaban. Baginda pernah berpuasa Syaaban sepenuhnya, kecuali hanya beberapa hari (tidak puasa)” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).5. Hadis-hadis yang disebut di atas dan riwayat-riwayat yang lain menunjukkan kita amat digalakkan berpuasa sunat pada Bulan Syaaban. Perbuatan berpuasa pada Bulan Syaaban adalah sunnah yang sabit daripada Nabi s.a.w. Amalan sebahagian masyarakat yang suka berpuasa pada Bulan Syaaban adalah amalan soleh.
6. Adapun Nisfu Syaaban, atau pertengahan Syaaban (15 haribulan), terdapat hadis yang sahih tentang kelebihannya di samping banyak hadis palsu mengenainya. Juga tidak terdapat hadis yang sabit mengenai amalan khusus seperti solat khas pada malam tersebut. Kata al-Imam al-Nawawi (meninggal 676H) dalam kitabnya yang masyhur al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab:
“Solat yang dikenali dengan solat al-Raghaib iaitu dua belas rakaat ditunaikan antara Maghrib dan Isyak pada Jumaat pertama Bulan Rejab, juga Solat Malam Nisfu Syaaban sebanyak seratus rakaat; kedua-dua solat ini bidah lagi mungkar yang jelek. Jangan kamu terpengaruh disebabkan keduanya disebut dalam Kitab Qut al-Qulub dan Ihya ‘Ulum al-Din. Jangan juga terpengaruh dengan hadis yang disebut dalam dua kitab berkenaan kerana kesemuanya palsu. Jangan kamu terpengaruh dengan sesetengah imam yang keliru mengenai kedudukan hadis-hadis kedua solat berkenaan” (4/56. Beirut: Dar al-Fikr).Al-Imam al-Syaukani (meninggal 1250H) menyebut dalam al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadith al-Maudu’ah:
“Telah diriwayatkan mengenai solat malam Nisfu Syaaban dari pelbagai riwayat, kesemuanya batil lagi palsu” (ms 72. Mekah: Maktabah Mustafa Baz).7. Pun begitu tidak dinafikan ada hadis yang sahih Nabi s.a.w menyebut:
“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain. Al-Albani menilai sahih dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah 3/135).Maka, sewajarnya apabila hal ini diberitahu oleh Nabi s.a.w, maka kita melakukan amalan-amalan yang soleh pada malam berkenaan dan mengelakkan apa yang Allah benci. Syirik dan permusuhan antara muslim adalah sebab seseorang itu tidak diampunkan. Selain itu dua dosa tersebut, mudah-mudahan kita semua diampunkan.
8. Dr Yusuf al-Qaradawi ada mengulas tentang amalan malam Nisfu Syaaban dengan katanya:
“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu doa yang panjang, yang menyanggahi nas-nas (al-Quran dan Sunnah) serta bercanggahan dan bertentangan pula isi kandungannya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bidah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidah, dan setiap yang bidah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Mu`asarah, 1/382-383, Beirut: Dar Uli al-Nuha, Beirut).9. Namun begitu, janganlah kita terlalu cepat menghukum. Apa yang disebut oleh Dr al-Qaradawi itu adalah kaedah umum. Sesuatu masyarakat atau seseorang individu mungkin mempunyai keuzuran yang tersendiri. Kemungkinan mereka tidak tahu, atau mereka dihalang ilmu untuk sampai kepada mereka dan seumpamanya. Kemungkinan besar jika mereka tahu, mereka tidak akan melakukan hal yang demikian. Tujuan mereka baik, cuma cara sahaja yang wajar dibaiki. Galakan berdoa dan memohon keampunan pada malam Nisfu Syaaban ada asasnya. Penentuan cara sedemikian itu, tidak ditunjukkan oleh nas yang sahih.
ISLAM BUKAN IKUT DEMOKRASI...YANG RAMAI ITU BETUL....YANG SIKIT ITU SALAH....YANG BETUL BERDASARKAN QURAN DAN HADIS...ISLAM TAK BOLEH TOLAK DAN TAK BOLEH TAMBAH
WALLAHU'ALAM
Tiada ulasan:
Catat Ulasan