ADAKAH INI DARI ISLAM YANG ADA NAS QURAN ATAU HADIS@SUNNAH...ATAU DARI TINGGALAN HINDU ATAU KITA CIPTA SENDIRI....FIKIR2KAN....JANGAN PULA ORANG TAK IKUT CARA KITA...KITA TAK BERHUJAH PUN TERUS TUDUH SESAT....NI BAHAYA
Hukum Dan Dalil Maulid Nabi SAW, Apakah Maulid Bid’ah Sesat?
Tulisan ini saya buat karena seringkali saya melihat diskusi atau
juga terlibat diskusi baik di internet pula di dunia nyata tentang isu
tahunan namun tidak pernah usang yakni Apakah Maulid Bid’ah. Mereka yang
kontra dengan Maulid, dan yang pernah saya temui untuk berdiskusi
umumnya dari kalangan PKS dan juga mereka yang biasa disebut dengan
golongan Salafi Wahabi.
Jadi saya berinisiatif untuk mempostingnya disini, siapapun yang mungkin membutuhkan. Ambil yang baik, buang yang jelek. Koreksi jika saya salah. Yang benar dari Allah SWT, yang keliru itu dari kekhilafan saya. Allahu a’llam Bissawab.
Apakah Maulid Bid’ah dalam beragama?
Bukan! Kenapa? Karena Maulid bukan aktivitas beragama dan ibadah, tidak pernah disyareatkan oleh mereka yang merayakannya. Namun Maulid merupakan peringatan dan perayaan kelahiran nabi SAW. Apakah pantas sesuatu yang bukan bagian dari ibadah, di hukumi dengan dalil agama?
Bid’ah dalam beribadah, sudah jelas contohnya menambah rakaat shalat dari yang sudah ditetapkan secara syar’i, misalnya shalat Maghrib ditambah jadi 4 rakaat dengan alasan makin banyak makin baik. Dan menyembelih kurban sebelum shalat Ied Adha dstnya. Sedangkan Maulid, bukanlah ibadah. Sekali lagi saya jelaskan bawah Maulid adalah peringatan atas kelahiran orang yang Allah beri titel sebagai Rahmat bagi sekalian alam.
Nabi SAW, sendiri memperingati hari lahirnya dengan berpuasa. Dan generasi pengikutnya hingga kini peringati dengan merayakan Maulid.
Renungan, kenapa umat Islam dewasa ini peringati Maulid Nabi SAW?
Ulama masa kini manfaatkan momen Maulid, untuk menyegarkan kembali memori kita terhadap manusia yang amat suci disisi RobNya yakni Nabi Muhammad SAW, para ulama memberitakan kembali pribadi, perjuangan dan ahlak beliau kepada umat Islam agar tumbuh kekaguman disanubari berharap mencontoh pribadi seagungnya manusia bukan mencontoh tokoh-tokoh kafir. Jika melihat pada poin ini, tentu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang amat baik. Insya Allah mendapat ridho-Nya. Terlebih lagi tiada larangan memperingati kelahiran beliau dengan maksud yang ma’ruf yakni agar umat lebih mengenalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam Islam kita disuruh untuk melaksanakan semampunya yang diperintahkan, dan menjauhi yang dilarangnya. BUKAN MENJAUHI YANG TIDAK DIKERJAKAN / DILARANG. Seperti dalam hadis berikut ini;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].
Jika semua aktivitas yang tidak dikerjakan atau tidak ada larangannya maka menjadi bid’ah dholallah (sesat) niscaya akan banyak kesesatan yang dilakukan umat ini. Contohnya adalah sebagai berikut;
Poin 1. Penyatuan Mushaf menjadi Mushaf Usmani sebagai inisiatif khalifah Usman ibn Affan RA karena saat itu terjadi 7 dialek berbeda, alhasil beliau (RA) putuskan untuk menetapkan dialek Quraisy sebagai satu-satunya.
Pertanyaan untuk poin 1. Apakah nabi tidak tahu jika kelak akan terjadi perselisihan karena masalah perbedaan logak / dialek sepeninggalnya, sehingga Usman bin Affan RA berinisiatif membakar logat yang lahir dan meninggalkan logat Quraisy saja?
Poin 2. Penambahan Harakah / tanda baca, tercetus saat dinasti Umayah karena kekhawatiran terjadinya perubahan arti atau pengertian. Oleh karenanya berinisiatif untuk mencantumkan tanda bantu baca yang dituliskan dengan tinta yang berbeda warnanya dengan tulisan Al Qur’an.
Pertanyaan untuk poin 2. Pernahkah Nabi memerintahkan untuk menambahkan harakah / sakl / tanda baca pada ayat-ayat Quran? Jika tiada, apakah nabi dan para sahabat bodoh (meminjam istilah salah satu komentator artikel ini)?
Poin 3. Konsep Uluhiyah, Rububiyah, Asma Wa Sifat yang di gunakan Salafi Wahabi berdalih untuk permudah ajari umat mengenai Tauhid.
Pertanyaan untuk pon 3. Namun jika kita mau kritis seperti mereka, pernahkah Nabi dan Sahabatnya membelah Tauhid jadi 3 ini demi permudah ajari umat? Jika pernah ada, silahkan tuliskan hadisnya. Jika tidak ada hadisnya maka amat tepat jika pembagian Tauhid ini sebagai bid’ah ala Salafi Wahabi.
Aktivitas dalam peringatan Maulid
Dan peringatan Maulid dengan tujuan yang baik, kemudian di isi dengan segala perkara aktivitas sunnah maka bukan hal yang dilarang. Baca yang dibawah ini untuk ketahui aktivitas dalam peringatan Maulid.
Untuk memahami lebih lanjut dari Maulid, maka dengan memaparkan deretan aktivitas didalamnya.
1. Membaca sejarah, pujian tentang Nabi yang tersusun dengan apik dalam kitab Simtudurorr yang disusun oleh Alhabib Ali Alhabsyi atau bacaan lainnya.
2. Membaca doa.
3. Adanya tausyiah.
4. Memberi makan orang banyak.
5. Dan berkumpulnya banyak kaum Muslim dalam satu tempat.
Apakah aktivitas-aktivitas diatas dilarang dalam Islam? Tentu tidak. Dari ke 5 aktivitas diatas, yang paling sering di jadikan isu panas hanya poin satu yakni Membaca Pujian kepada Nabi SAW, dan disini saya hanya membahas point itu. Sedangkan untuk point 2 hingga 5 tidak ada yang perlu dimasalahkan.
1. Membaca dan mendengarkan pujian kepada Nabi SAW. Apakah memuji Nabi SAW dilarang dalam Islam? Sama sekali tidak. Namun sering kali mereka yang kontra dengan urusan ini membawa hadis yang berbunyi kira-kira begini: Janganlah kalian memujiku berlebihan seperti nasrani memuji Isa bin Maryam.
Berpegang dengan hadis itu mereka menyatakan pujian2 kepada Nabi tidak dibenarkan. Benarkah? Hadis tersebut bukanlah LARANGAN dari Nabi SAW bagi siapapun yang ingin memujinya. Namun memberi batasan, dan batasan itu sudah tertulis jelas di matan hadis tersebut yakni “seperti kaum Nashrani yang berlebihan dalam memuji putra Maryam.”
Tentu kita faham maksud Nabi SAW dalam batasan itu, bahwa jangan seperti umat Nasrani yang menuhankan Isa. Dan bukan melarang siapapun memuja Nabi SAW.
Perlu anda ketahui bahwa, bukan saja kita sebagai mahluk yang memuji nabi SAW, Allah SWT sendiri memujinya dengan memberi label “Agung” kepada Nabi SAW.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.[QS Al Qalam 68:4]“
Kata-kata “agung” dari Allah yang Maha Agung, memiliki makna yang besar dan tak bisa dijangkau batasnya dengan pikiran kita. Artinya kita bebas untuk menisbatkan sifat-sifat kesempurnaan makhluk bagi beliau Saw tanpa batas (kecuali menjadikan beliau (SAW) sebagai tuhan) karena setinggi apapun pujian kita, tak akan mampu menandingi pujian Allah kepada Rasulullah Saw.
Bahkan di surat lain Allah SWT melabelkan kepada Nabi SAW sifat-sifat-Nya yakni Rauuf dan Rahiim (pengasih dan penyayang). Hal ini dapat di temui pada surat SURAT At Taubah (9): 128. Yang berbunyi:
Para sahabat dan ulama salaf, memahami hal ini dengan baik sehingga tidak sedikit para sahabat yang memuji-muji Nabi Saw dengan pujian indah dan tinggi. Di antaranya adalah pujian yang disampaikan sahabat Hassan bin Tsabit’
Dan disaat seorang Badui bertanya tentang ahlak sang Nabi SAW, isterinya Siti Aisyah RA menyebutnya: khuluquhu al-Qur’an
(Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an).
Nama beliau sendiri yaitu Muhammad, merupakan bentuk isim maf’ul dari kata Hammada Yuhammidu Tahmiidan, yang secara bahasa artinya adalah yang banyak dipuji. Ini merupakan isyarat bahwa memang beliau pantas untuk selalu dipuji. Jadi memuji dan menyanjung Nabi SAW adalah BOLEH.
Lalu kenapa Nabi SAW tidak merayakan Maulid?
Ini pertanyaan selanjutnya. Mungkinkan Nabi SAW meminta umatnya “hai sekalian umatku rayain ultah saya yah!”. Mungkinkah? Tentu tidak, karena merayakan maulid bukan hal esensi saat itu. Tenaga dan waktu Nabi SAW saat itu dihabiskan untuk dakwah menyiarkan Islam. Tentu perayaan Maulid tidak dianggap masalah krusial, apalagi di tetapkan dalam sebuah ayat dan hadis. Namun Nabi SAW, tidak pernah melarang dirinya dipuji, kemudian tidak pula melarang berkumpulnya orang banyak untuk dengarkan tausyiah, memberi makan orang banyak dan membaca doa.
Jika nabi SAW menyerukannya maka akan dijadikan wajib hukumnya, dan dijadikan hari raya.
Lalu kenapa para sahabat Nabi SAW tidak merayakan Maulid?
Pertanyaan dan gugatan selanjutnya dari mereka yang kontra dengan Maulid ialah, kenapa para sahabat tidak merayakannya padahal kualitas cinta mereka pada nabi tentunya jauh diatas kualitas cinta kita.
Untuk menjawabnya mudah saja, para sahabat saat itu hidup dan melihat nabi SAW setiap hari. Mereka tidak perlu merayakan Maulid setiap tahunnya. Mereka cukup mengabdi dan memujinya. Dan berjihad bersama SAW. Dan juga tradisi merayakan hari ultah asing pada zaman itu. Sesuatu yang asing bukan berarti dilarang. Dan memang saat itu perhatian Nabi berserta sahabat-sahabatnya lebih kepada menyiarkan Islam.
Pendapat ulamat tentang Maulid
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi
Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه – فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى
Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:
“Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.
Renungan.
Usia umat Nabi SAW sudah lebih kurang 15 abad. Di saat yang sama orang-orang diluar Islam, sudah mampu menciptakan begitu banyak teknologi yang berguna bagi orang banyak, juga buat umat Islam. Seperti HP, Internet, dan lainnya. Namun, umat Islam masih asik berdebat dengan masalah-masalah yang tidak perlu, asik tenggelam dalam kubangan lumpur debat kusir.
Hasilnya umat Islam selalu terbelakang, dan senang bernostalgia pada era keemasan silam yang usianya sudah berabad-abad lalu. Dan rajin mengkampanyekan bahwa semua teknologi barat masa sekarang asalnya dari Muslim…hehehe. Oh Iya??? Well, bro and sis…Muslim sekarang ini umat paling terbelakang, tolol, dan primitif.
Terimalah fakta itu dan benahi diri.
Artikel lainnya dengan konten serupa bisa anda baca di:
Jadi saya berinisiatif untuk mempostingnya disini, siapapun yang mungkin membutuhkan. Ambil yang baik, buang yang jelek. Koreksi jika saya salah. Yang benar dari Allah SWT, yang keliru itu dari kekhilafan saya. Allahu a’llam Bissawab.
Apakah Maulid Bid’ah dalam beragama?
Bukan! Kenapa? Karena Maulid bukan aktivitas beragama dan ibadah, tidak pernah disyareatkan oleh mereka yang merayakannya. Namun Maulid merupakan peringatan dan perayaan kelahiran nabi SAW. Apakah pantas sesuatu yang bukan bagian dari ibadah, di hukumi dengan dalil agama?
Bid’ah dalam beribadah, sudah jelas contohnya menambah rakaat shalat dari yang sudah ditetapkan secara syar’i, misalnya shalat Maghrib ditambah jadi 4 rakaat dengan alasan makin banyak makin baik. Dan menyembelih kurban sebelum shalat Ied Adha dstnya. Sedangkan Maulid, bukanlah ibadah. Sekali lagi saya jelaskan bawah Maulid adalah peringatan atas kelahiran orang yang Allah beri titel sebagai Rahmat bagi sekalian alam.
Nabi SAW, sendiri memperingati hari lahirnya dengan berpuasa. Dan generasi pengikutnya hingga kini peringati dengan merayakan Maulid.
Renungan, kenapa umat Islam dewasa ini peringati Maulid Nabi SAW?
Ulama masa kini manfaatkan momen Maulid, untuk menyegarkan kembali memori kita terhadap manusia yang amat suci disisi RobNya yakni Nabi Muhammad SAW, para ulama memberitakan kembali pribadi, perjuangan dan ahlak beliau kepada umat Islam agar tumbuh kekaguman disanubari berharap mencontoh pribadi seagungnya manusia bukan mencontoh tokoh-tokoh kafir. Jika melihat pada poin ini, tentu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang amat baik. Insya Allah mendapat ridho-Nya. Terlebih lagi tiada larangan memperingati kelahiran beliau dengan maksud yang ma’ruf yakni agar umat lebih mengenalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam Islam kita disuruh untuk melaksanakan semampunya yang diperintahkan, dan menjauhi yang dilarangnya. BUKAN MENJAUHI YANG TIDAK DIKERJAKAN / DILARANG. Seperti dalam hadis berikut ini;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].
Jika semua aktivitas yang tidak dikerjakan atau tidak ada larangannya maka menjadi bid’ah dholallah (sesat) niscaya akan banyak kesesatan yang dilakukan umat ini. Contohnya adalah sebagai berikut;
Poin 1. Penyatuan Mushaf menjadi Mushaf Usmani sebagai inisiatif khalifah Usman ibn Affan RA karena saat itu terjadi 7 dialek berbeda, alhasil beliau (RA) putuskan untuk menetapkan dialek Quraisy sebagai satu-satunya.
Pertanyaan untuk poin 1. Apakah nabi tidak tahu jika kelak akan terjadi perselisihan karena masalah perbedaan logak / dialek sepeninggalnya, sehingga Usman bin Affan RA berinisiatif membakar logat yang lahir dan meninggalkan logat Quraisy saja?
Poin 2. Penambahan Harakah / tanda baca, tercetus saat dinasti Umayah karena kekhawatiran terjadinya perubahan arti atau pengertian. Oleh karenanya berinisiatif untuk mencantumkan tanda bantu baca yang dituliskan dengan tinta yang berbeda warnanya dengan tulisan Al Qur’an.
Pertanyaan untuk poin 2. Pernahkah Nabi memerintahkan untuk menambahkan harakah / sakl / tanda baca pada ayat-ayat Quran? Jika tiada, apakah nabi dan para sahabat bodoh (meminjam istilah salah satu komentator artikel ini)?
Poin 3. Konsep Uluhiyah, Rububiyah, Asma Wa Sifat yang di gunakan Salafi Wahabi berdalih untuk permudah ajari umat mengenai Tauhid.
Pertanyaan untuk pon 3. Namun jika kita mau kritis seperti mereka, pernahkah Nabi dan Sahabatnya membelah Tauhid jadi 3 ini demi permudah ajari umat? Jika pernah ada, silahkan tuliskan hadisnya. Jika tidak ada hadisnya maka amat tepat jika pembagian Tauhid ini sebagai bid’ah ala Salafi Wahabi.
Aktivitas dalam peringatan Maulid
Dan peringatan Maulid dengan tujuan yang baik, kemudian di isi dengan segala perkara aktivitas sunnah maka bukan hal yang dilarang. Baca yang dibawah ini untuk ketahui aktivitas dalam peringatan Maulid.
Untuk memahami lebih lanjut dari Maulid, maka dengan memaparkan deretan aktivitas didalamnya.
1. Membaca sejarah, pujian tentang Nabi yang tersusun dengan apik dalam kitab Simtudurorr yang disusun oleh Alhabib Ali Alhabsyi atau bacaan lainnya.
2. Membaca doa.
3. Adanya tausyiah.
4. Memberi makan orang banyak.
5. Dan berkumpulnya banyak kaum Muslim dalam satu tempat.
Apakah aktivitas-aktivitas diatas dilarang dalam Islam? Tentu tidak. Dari ke 5 aktivitas diatas, yang paling sering di jadikan isu panas hanya poin satu yakni Membaca Pujian kepada Nabi SAW, dan disini saya hanya membahas point itu. Sedangkan untuk point 2 hingga 5 tidak ada yang perlu dimasalahkan.
1. Membaca dan mendengarkan pujian kepada Nabi SAW. Apakah memuji Nabi SAW dilarang dalam Islam? Sama sekali tidak. Namun sering kali mereka yang kontra dengan urusan ini membawa hadis yang berbunyi kira-kira begini: Janganlah kalian memujiku berlebihan seperti nasrani memuji Isa bin Maryam.
Berpegang dengan hadis itu mereka menyatakan pujian2 kepada Nabi tidak dibenarkan. Benarkah? Hadis tersebut bukanlah LARANGAN dari Nabi SAW bagi siapapun yang ingin memujinya. Namun memberi batasan, dan batasan itu sudah tertulis jelas di matan hadis tersebut yakni “seperti kaum Nashrani yang berlebihan dalam memuji putra Maryam.”
Tentu kita faham maksud Nabi SAW dalam batasan itu, bahwa jangan seperti umat Nasrani yang menuhankan Isa. Dan bukan melarang siapapun memuja Nabi SAW.
Perlu anda ketahui bahwa, bukan saja kita sebagai mahluk yang memuji nabi SAW, Allah SWT sendiri memujinya dengan memberi label “Agung” kepada Nabi SAW.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.[QS Al Qalam 68:4]“
Kata-kata “agung” dari Allah yang Maha Agung, memiliki makna yang besar dan tak bisa dijangkau batasnya dengan pikiran kita. Artinya kita bebas untuk menisbatkan sifat-sifat kesempurnaan makhluk bagi beliau Saw tanpa batas (kecuali menjadikan beliau (SAW) sebagai tuhan) karena setinggi apapun pujian kita, tak akan mampu menandingi pujian Allah kepada Rasulullah Saw.
Bahkan di surat lain Allah SWT melabelkan kepada Nabi SAW sifat-sifat-Nya yakni Rauuf dan Rahiim (pengasih dan penyayang). Hal ini dapat di temui pada surat SURAT At Taubah (9): 128. Yang berbunyi:
“Laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alayhi maa ‘anittum hariishun ‘alaykum bialmu/miniina rauufun rahiimun.”Artinya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”Lihat bagaimana Allah Swt menyematkan dua asma-Nya untuk Rasulullah Saw yaitu Rauuf dan Rahiim (pengasih dan penyayang). Bukan berarti sifat kasih dan sayang Nabi Saw itu sama dengan sifat kasih dan sayang Allah Swt. Namun sifat kasih dan sayang dalam batas kemanusiawiaan tidak sampai batas ketuhanan.
Para sahabat dan ulama salaf, memahami hal ini dengan baik sehingga tidak sedikit para sahabat yang memuji-muji Nabi Saw dengan pujian indah dan tinggi. Di antaranya adalah pujian yang disampaikan sahabat Hassan bin Tsabit’
واحسن منك لم تر ثط عيني # واجمل منك لم تلد النساءSahabat Sariyah pun pernah memuji Rasul Saw :
خلقت مبرأ من كل عيب # كأنك قد خلقت كما تشاء
Yang lebih baik darimu, belum pernah mataku memandangnya
Yang lebih indah darimu, belum pernah pernah dilahirkan oleh para wanita
Engkau diciptakan terbebas dari segala kekurangan
Seolah engkau tercipta dengan sekehendakmu sendiri
فما حملت من ناقة فوق ظهرها … أبر وأوفى ذمة من محمدDan juga pujian Abbas bin Abdul Muthalib RA:
“ Tidak ada seeokor unta pun yang membawa seseorang di atas punggungnya, yang lebih baik dan menepati janjinya daripada Muhammad “
“…dan engkau saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,Dan masih banyak lagi pujian para sahabat kepada Nabi Saw sehingga membuat Nabi senang dan terkadang Nabi pun memberikan hadiah pada yang memujinya. Ini semua membuktikan mengenai bolehnya memuji beliau Saw dengan pujian setinggi-tingginya.
dan langit bercahaya dengan cahayamu,
dan kami kini dalam naungan cahaya itu
dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”
Dan disaat seorang Badui bertanya tentang ahlak sang Nabi SAW, isterinya Siti Aisyah RA menyebutnya: khuluquhu al-Qur’an
(Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an).
Nama beliau sendiri yaitu Muhammad, merupakan bentuk isim maf’ul dari kata Hammada Yuhammidu Tahmiidan, yang secara bahasa artinya adalah yang banyak dipuji. Ini merupakan isyarat bahwa memang beliau pantas untuk selalu dipuji. Jadi memuji dan menyanjung Nabi SAW adalah BOLEH.
Lalu kenapa Nabi SAW tidak merayakan Maulid?
Ini pertanyaan selanjutnya. Mungkinkan Nabi SAW meminta umatnya “hai sekalian umatku rayain ultah saya yah!”. Mungkinkah? Tentu tidak, karena merayakan maulid bukan hal esensi saat itu. Tenaga dan waktu Nabi SAW saat itu dihabiskan untuk dakwah menyiarkan Islam. Tentu perayaan Maulid tidak dianggap masalah krusial, apalagi di tetapkan dalam sebuah ayat dan hadis. Namun Nabi SAW, tidak pernah melarang dirinya dipuji, kemudian tidak pula melarang berkumpulnya orang banyak untuk dengarkan tausyiah, memberi makan orang banyak dan membaca doa.
Jika nabi SAW menyerukannya maka akan dijadikan wajib hukumnya, dan dijadikan hari raya.
Lalu kenapa para sahabat Nabi SAW tidak merayakan Maulid?
Pertanyaan dan gugatan selanjutnya dari mereka yang kontra dengan Maulid ialah, kenapa para sahabat tidak merayakannya padahal kualitas cinta mereka pada nabi tentunya jauh diatas kualitas cinta kita.
Untuk menjawabnya mudah saja, para sahabat saat itu hidup dan melihat nabi SAW setiap hari. Mereka tidak perlu merayakan Maulid setiap tahunnya. Mereka cukup mengabdi dan memujinya. Dan berjihad bersama SAW. Dan juga tradisi merayakan hari ultah asing pada zaman itu. Sesuatu yang asing bukan berarti dilarang. Dan memang saat itu perhatian Nabi berserta sahabat-sahabatnya lebih kepada menyiarkan Islam.
Pendapat ulamat tentang Maulid
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi
Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه – فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى
Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:
“Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.
Renungan.
Usia umat Nabi SAW sudah lebih kurang 15 abad. Di saat yang sama orang-orang diluar Islam, sudah mampu menciptakan begitu banyak teknologi yang berguna bagi orang banyak, juga buat umat Islam. Seperti HP, Internet, dan lainnya. Namun, umat Islam masih asik berdebat dengan masalah-masalah yang tidak perlu, asik tenggelam dalam kubangan lumpur debat kusir.
Hasilnya umat Islam selalu terbelakang, dan senang bernostalgia pada era keemasan silam yang usianya sudah berabad-abad lalu. Dan rajin mengkampanyekan bahwa semua teknologi barat masa sekarang asalnya dari Muslim…hehehe. Oh Iya??? Well, bro and sis…Muslim sekarang ini umat paling terbelakang, tolol, dan primitif.
Terimalah fakta itu dan benahi diri.
Artikel lainnya dengan konten serupa bisa anda baca di:
Blog Fatwa Malaysia
Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW
ISU:
Apakah hukum merayakan Maulid Nabi kerana tidak ada riwayat yang menyebutkan Baginda s.a.w. pada setiap ulang tahun kelahirannya melakukan upacara tertentu. Bahkan para Sahabat Baginda pun tidak pernah mengadakan perayaan secara khusus.
PENJELASAN:
Secara khusus, Nabi Muhammad S.A.W tidak pernah menganjurkan untuk melakukan apa-apa upacara tertentu bagi menyambut ulang tahun kelahiran baginda. Selepas kewafatan baginda juga, para sabahat dan tabi’in tidak juga melakukan apa-apa upacara tertentu dalam menyambut ulang tahun kelahiran baginda.
Sambutan Maulid Nabawi mula diadakan oleh sebahagian golongan khalaf
pada zaman terkemudian. Catatan paling awal tentang sambutan Maulid Nabi
direkodkan oleh sejarawan Islam terkenal Al-Maqrizi, iaitu pada zaman
pemerintahan Fatimiyyah. Beliau merekodkan dalam bukunya: “Para
khalifah-khalifah kerajaan Fatimiyyah mempunyai beberapa perayaan dan
sambutan musim-musim tertentu sepanjang tahun. Sambutan tersebut ialah:
musim permulaan tahun, hari Asyura, maulid Nabi S.A.W, maulid Ali bin
Abi Talib r.a., maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fatimah al-Zahra’
....”. (Al-Mawa’iz wa al-I’tibar, 1/432).
Mantan Mufti Mesir Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i di dalam bukunya
Ahsan al-Kalam mengatakan bahawa dari Khalifah Al-Mu’izz Lidinillah
merupakan khalifah kerajaan Fatimiyyah pertama yang mengadakan sambutan
maulid. Pada tahun 362H, beliau telah menganjurkan sambutan enam maulid
di Kaherah, iaitu Maulid Nabawi SAW, maulid Ali bin Abi Talib, maulid
Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid Khalifah Al-Hadhir.
Akhirnya, setelah terbukti bahawa kegiatan ini memberi kebaikan dan
mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad S.A.W.,
menambah ketakwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh
wilayah Islam, termasuk Nusantara Melayu.
Imam Al-Suyuti di dalam Kitab Al-Hawi Li Al-Fatawi menukilkan daripada
Syeikhul-Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkenaan dengan sambutan Maulid
Nabawi, lalu beliau menjawab: “Asal sambutan maulid adalah
bidaah(perkara yang tidak berlaku pada zaman Nabi SAW) yang tidak pernah
dinukilkan oleh seorang pun dari kalangan al-salaf al-soleh pada tiga
kurun pertama hijriah. Namun perayaan itu mengandungi perkara-perkara
kebaikan dan juga perkara-perkara yang berlawanan dengan kebaikan.
Justeru, sesiapa yang hanya melakukan perkara kebaikan serta menjauhi
perkara yang berlawanan dengannya, maka ia dikira bidaah hasanah.”
(Bidaah hasanah ialah setiap perkara yang tidak berlaku pada zaman Nabi SAW tetapi mempunyai kaitan dengan maslahah(kebaikan umum)dan berlandaskan syarak serta tidak menyalahinya.)
Terdapat hadis yang menunjukkan bahawa Rasulullah S.A.W berpuasa pada
hari Isnin kerana itu adalah hari keputeraan baginda. Abu Qatadah
Al-Ansari meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W. ketika ditanya mengapa
baginda berpuasa pada hari Isnin, jawapan yang diberikan ialah: "Itulah
hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul".
(Riwayat Muslim, 2/819, no: 1162).
Sambutan Maulid Nabi SAW boleh dimasukkan dalam perkara maslahah
mursalah, iaitu perkara-perkara yang tidak kedapatan anjuran dan
larangan secara khusus daripada syarak, tetapi ia boleh membawa kebaikan
kepada masyarakat Islam. Yang dimaksudkan dengan sambutan Maulid Nabi
di sini ialah merujuk kepada memperingati kelahiran Rasulullah S.A.W.
yang bertujuan untuk meneladani jejak langkah Baginda SAW dalam seluruh
aspek kehidupan dengan mengikut sunnah dan ajaran yang telah dibawa oleh
Baginda. Justeru sambutan Maulid Nabi SAW hendaklah diisi dengan
perkara-perkara yang tidak bercanggahan dengan syariat Islam seperti
amalan-amalan kebaikan yang mempunyai anjuran umum di dalam syarak.
Rasulullah S.A.W. pernah menyebutkan: “Barang siapa merintis jalan
kebaikan maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
menjalankannya, dan barang siapa merintis jalan kesesatan maka dia akan
mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya” (Riwayat Muslim,
2/704, no: 1017).
Dalam pada itu, sambutan Maulid Nabi ini tidak boleh disamakan dengan
perayaan Hari Natal atau Krismas kerana umat Kristian menyambut hari
tersebut sebagai hari lahirnya anak Tuhan, manakala umat Islam menyambut
Maulid Rasul SAW kerana memperingati lahirnya seorang Rasulullah
pembawa rahmat seluruh alam.
Maulid Nabi yang disambut setiap tahun oleh kaum Muslimin seluruh
dunia pada alaf ini adalah satu bentuk pengagungan dan tanda kecintaan
serta penghormatan seluruh umat terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan
pengisian sambutan hendaklah tidak mengandungi perkara-perkara yang
bercanggahan dengan syarak.
Maulid Nabi Muhammad S.A.W.: Antara Tradisi, Sunnah Dan Bid’ah
Oleh: Nur Kholis, S. Ag., M.Sh.Ec*
A. Pendahuluan
Ketika diminta menulis tentang topik
ini, saya teringat dengan suatu event beberapa waktu lalu yang saya
presentasi di dalamnya yaitu Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 pada 1-4 Nopember 2010 di Banjarmasin yang menampilkan tema kegiatan “Menampilkan Kembali Islam Nusantara”. Dalam event tersebut dibahas berbagai makalah yang membahas tentang Islam Nusantara dari berbagai aspeknya.
Ajaran Islam yang berkembang di
Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan
ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi,
Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodatif dan cenderung elastis
dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang di
Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi pada masa
tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas,
terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia.
Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal
yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga
dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”. “Islam
Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbaju
kebudayaan Indonesia, Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang
menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan
sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy
Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam
Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.[1]
Meskipun Islam lahir di negeri Arab,
tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan
kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi
Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama
besar seperti Hindu dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil
di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang
berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal ini tidak bisa terlepas dari
bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke
Indonesia dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan
membaur dengan berbagai tradisi yang telah ada dan eksis.[2] Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan hentakan shoc culture, apalagi
memicu kontroversi, sesuatu yang tidak lazim bila dibandingkan dengan
sejarah munculnya beberapa ideologi besar di dunia.
Oleh karena itulah, wajah Islam di
Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya
lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam
kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak
monolit, dan tidak simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran
dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa,
modernitas, globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer
yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks
sebagaimana tersebut di atas dalam memandang event peringatan Maulid
Nabi Muhammad s.a.w. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi
umat Islam di banyak negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunai,
Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan
“kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau
halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di antara tradisi yang
menimbulkan kontroversi itu antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan
seperti peringatan maulid Nabi s.a.w., peringatan Isra’ Mi’raj,
peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontrioversi
yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka tulisan ini
berupaya menjelaskan posisi peringatan maulid Nabi s.a.w. perspektif
hukum Islam, akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan
horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana
terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
- B. Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Karakteristik Dasar Islam
Islam diyakini sebagai agama yang
universal, untuk seluruh umat manusia, tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk
seluruh umat manusia.[3] Oleh
karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa
harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu
berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia
dapat berhadapan dengan masyarakat tradisional. Islam senantiasa cocok
untuk umat manusia kapan pun dan dimanapun.
Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman selalu menjadi topik bahasan para pemikir muslim kontemporer.[4] Pada dasarnya, ajaran Islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok ajaran, qath’iyyat dan zhanniyat. Pertama,
ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran
Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits mutawatir yang
penunjukannya telah jelas (qath’i al-dalalah). Kedua ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah yang berakar pada nash yang zhanniyat yang membuka ruang berijtihad.[5]
Ranah ini memberikan kemungkinan epistemilogis hukum bahwa setiap
wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara
berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang
berbeda yang melingkupi para mujtahid. Inilah yang disebut fiqh. Fiqh
dalam penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan
situasi sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Hal ini
dimaksudkan agar prinsip maslahat tetap terpenuhi dan terjamin. Sebab
fiqh adalah produk zamannya. Menurut saya, peringatan maulid Nabi s.a.w.
masuk dalam kategori ini.
Fiqh yang pada saat diijtihadkan oleh
mujtahid dipandang tepat dan relevan, mungkin kini dipandang menjadi
kurang atau bahkan tidak relevan lagi.[6] Dalam suatu kaidah[7] diungkapkan:
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد
Artinya: “Fatwa hukum Islam dapat berubah sebab berubahnya masa, tempat, situasi, dorongan, dan motivasi”.
Ajaran Islam yang termasuk kelompok yang bersifat relatif (zhanniyat), ternyata lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan ajaran Islam yang bersifat absolut dan permanen. Allah berfirman
وقد فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه
Artinya, “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
(Q.S. al-An‘am [6]: 119). Ini maknanya bahwa segala sesuatu yang haram
telah diperincikan secara detail dalam syarak, sedangkan yang mubah
(dibolehkan) tidaklah diperinci secara detail dan tidak pula dibatasi
secara detail.
Ajaran Islam yang berakar pada nash zhanni
inilah yang merupakan wilayah ijtihadi, yang produknya disebut fiqh.
Hukum Islam dalam pengertian inilah yang memberikan kemungkinan
epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat
menerapkan hukum secara berbeda-beda dengan wajah Islam yang
berbeda-beda pula. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh perbedaan sistem
politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor sejarah, sosiologis dan
kultur masing-masing negara muslim tersebut.[8]
Di sinilah Islam berdialog dan berdialektika dengan kultur lokal
sehingga melahirkan Islam yang lebih khas nuansa dan muatan lokalnya.
Ijtihad sebagai sarana untuk berdialog
dan berdialektika antara Islam dan situasi dan kondisi lokalitas
dipahami sebagai metode untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum,
baik yang ada nashnya maupun yang tidak terdapat nashnya.[9] Tidak
terkecuali, dalam hal menghukumi peringatan maulid Nabi s.a.w. juga
merupakan wilayah ijtihad yang mungkin akan lahir hasil yang
berbeda-beda. Ijtihad dalam Islam sebagaimana dikatakan oleh Iqbal
merupakan the principle of movement-daya gerak kemajuan umat Islam.[10] Dengan kata lain, ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam[11] yang menjadikan Islam salihun li kulli zaman wa li kulli makan (selalu cocok kapan pun dan di manapun).
Dalam konteks ijtihad tersebut, perlu
ditegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan al-Syatibi dalam al-Muqafaqat[12] menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
Artinya: “Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan atau diundangkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak“.
Dalam ungkapan yang lain Yusuf Qardawi[13] menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Artinya: “Di mana ada maslahat, disanalah hukum Allah”.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan
secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan
kemaslahatan. Mengenai pemaknaan terhadap maslahat, para ulama
mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-beda. Menurut
al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum
Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari
makhluk (manusia).[14] Sementara menurut al-Thufi, maslahat secara urf
merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan
dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi
tercapainya tujuan Syâri’ (Allah), baik dalam bentuk ibadat maupun
mu’amalat.[15]
Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan menarik
manfaat atau menolak madharat. Akan tetapi yang dimaksud maslahat dalam
hukum Islam adalah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat.[16]
Hal-hal tersebut perlu dikemukakan agar
kita lebih arif dalam melihat realitas keberislaman umat Islam yang
cenderung tidak tunggal. Dengan memahami karakter dasar Islam,
diharapkan satu sama lain tidak mudah mengkafirkan atau menuduh bid’ah,
sesat dan lain-lain, sehingga ukhuwah Islamiyah tetap dapat terpelihara
walaupun terdapat perbedaan cara pandang terhadap hal-hal yang
furu’iyyah, bukan ushuliyyah, karena sumber utamanya tetap sama yaitu
al-Quran dan al-Sunnah. Dalam konteks karakter dasar Islam tersebut di
atas, jelaslah peringatan maulid Nabi s.a.w. berada dalam wilayah
dzanni, bukan qath’i, ia bukan berada dalam wilayah ibadah mahdah, ia
berada wilayah yang produk hukum mengenainya disebut fiqh, ia berada
dalam wilayah furu’iyah, bukan ushuliyyah.
C. Memahami Ragam Bid’ah
Bid’ah secara bahasa adalah segala
sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya, baik itu terpuji
atau tercela. Sedangkan secara istilah, para ulama mendefinisikannya
dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda dan perspektif yang
bermacam-macam. Menurut Imam al-Syafi’i, bid’ah dibagi menjadi dua yaitu
bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah sayyi’ah (madzmumah). Segala sesuatu yang baru yang selaras dengan al-Sunnah disebut bid’ah hasanah, dan sebaliknya.[17]
Ibnu Atsir dalam kitabnya “Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar” pada bab Bid’ah dan pada pembahasan hadits Umar tentang Qiyamullail (salat malam) Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini“,
bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah baik dan bid’ah sesat. Bid’ah
yang bertentangan dengan perintah al-Qur’an dan al-Hadits disebut bid’ah
sesat, sedangkan bid’ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama
dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid’ah hasanah.
Ibnu Atsir menukil sebuah hadits Rasulullah “Barang siapa merintis
jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang
yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan
mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya“. (H.R. Muslim). Rasulullah juga bersabda “Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar“. Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan “Setiap yang baru dalam agama adala Bid’ah“.
Untuk mensinkronkan dua hadits tersebut adalah dengan pemahaman bahwa
setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut
“bid’ah”.[18]
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat
kategori bid’ah sebagai berikut: 1) Wajib seperti meletakkan dasar-dasar
ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini
untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama, seperti kodifikasi
al-Qur’an. 2) Bid’ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid,
atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur’an di dalam
masjid. 3) Bid’ah yang haram seperti melagukan al-Qur’an hingga merubah
arti aslinya, 4) Bid’ah Makruh seperti menghias masjid dengan
gambar-gambar. 5) Bid’ah yang halal, seperti bid’ah dalam tata cara
pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
bid’ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga
ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori
masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana
bid’ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan
dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan.
Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena
kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu’iyyah).
Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena
ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji
dalam mensikapi masalah furu’iyah adalah mengklaim dirinya dan
pendapatnya yang paling benar.[19]
- D. Sejarah Maulid Nabi s.a.w.
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan
Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan
beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu.
Bahkan para sahabat beliau pun tidak pernah mengadakan ihtifal
(perayaan) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan
karena memperingati kelahiran Nabi s.a.w. Bahkan upacara secara khusus
untuk merayakan ritual maulid Nabi s.a.w. juga tidak pernah ada pada
generasi tabi’in.[20]
Dengan demikian secara khusus, Nabi
Muhammad s.a.w. memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena
tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa
dikatakan “masyru‘” (disyariatkan), tetapi juga tidak bisa
dikatakan berlawanan dengan syariat. Perayaan maulid Nabi s.a.w. secara
khusus baru dilakukan di kemudian hari.
Ada banyak versi tentang siapa yang
memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin
Al-Ayyubi (komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari
orang-orang Kristen) yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas
perayaan natal umat Nasrani. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan
ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad
s.a.w., menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke
seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan
maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada
tahun 362 Hijriyah. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah
mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah
perayaan tahun baru, Asyura, maulid Nabi s.a.w. bahwa termasuk maulid
Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dan
lain-lain. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai
oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id pada abad 6 atau ketujuh.[21]
- E. Hukum Merayakan Maulid Nabi: Berbagai Pendapat Ulama
Peringatan Maulid Nabi s.a.w. yang
dimaksud dalam hukum ini adalah tentu peringatan maulid Nabi s.a.w. yang
aktifitasnya adalah untuk meneladani jejak langkah Rasulullah dalam
berbagai aspeknya[22]
dengan benar-benar memperhatikan ketentuan syariat seperti tidak
ikhtilat, tidak mengumbar aurat dan lain-lain. Suatu pesta peringatan
yang diatasnamakan peringatan maulid Nabi tetapi dalam aktifitasnya
justru bertentangan dengan ajaran Islam maka jelaslah pesta peringatan
semacam itu dilarang secara syariah.
Dalil dan argumentasi bagi yang
merayakan maulid Nabi s.a.w antara lain: hadits Rasulullah “Barang siapa
merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala
orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat
maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya”. (H.R.
Muslim).
Imam al-Suyuthi di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa
Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar al-Asqalani ketika
ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi s.a.w. Beliau telah
memberi jawaban secara tertulis: Adapun perbuatan menyambut maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para
salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan
itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak
jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya. Jika
sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar
syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi
jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah,
maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
Selain pendapat di atas, mereka juga
berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu
Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab
ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad
s.a.w. Meski dia sendiri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi.
Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan
budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi s.a.w.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan
Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi.
Para pendukung maulid Nabi s.a.w. juga
melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah
s.a.w. berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain
karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia. Abu
Qatadah al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika ditanya
mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, Itulah hari aku
dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul. Hadits ini
bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab al-Shiyam.
Argumentasi lain pendukung maulid Nabi,
bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, bukan dalam masalah
sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah. Adapun seremonial maulid
itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal.
Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan
seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi s.a.w. Padahal di masa
Rasulullah s.a.w., tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan
sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa-masa berikutnya, belum
pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam
memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan
sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan
bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan
membuat umat Islam semakin mengenal sosok dan kemuliaan serta kehebatan
beliau. [23] Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid,
kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku.
Bedanya, sejarah Nabi s.a.w. tidak ditulis, melainkan dibacakan,
dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi.
Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi
hati dan batin. Karena kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang
indah. Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal melainkan
bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya
boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara
eksplisit.
Sedangkan pendapat yang menentang maulid
Nabi menyatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid nabi yang ada
sekarang ini adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat
Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya. Argumentasi
yang dikemukakan antara lain: bahwa perayaan maulid termasuk kategori
ibadah mendekatkan diri kepada Allah yang dalam hal ibadah tidak boleh
mengadakan perkara baru di dalamnya, berarti peringatan maulid adalah
bid’ah yang diharamkan.[24]
Cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, hanya sekali saja
bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan
kelahiran Nabi s.a.w. dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun
kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap
hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi
s.a.w. akan mendapatkan keringanan siksa.
Hujjah bahwa Rasulullah s.a.w. berpuasa
di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya, menurut
penentang Maulid Nabi tidak dapat dipakai, karena peringatan maulid
dilakukan bukan dengan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas
setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya
umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan
seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang perayaan
maulid nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam.
Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan
ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk
diikuti. Sebaliknya harus dijauhi.[25]
- F. Penutup
Demikianlah posisi maulid Nabi s.a.w.,
Muhammad s.a.w. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia
teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu,
beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh
alam. Oleh karena itu, sebagian umat Islam menganggap kelahirannya
sangat layak untuk diperingati.
Makna peringatan maulid Nabi Muhammad
s.a.w. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat
ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman)
terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah
yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang
lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh
Allah S.W.T., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya.
Allah S.W.T. berfirman yang artinya: Katakanlah, “Sungguh, aku ini
manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa
Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian
istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 6).
Sebagai bagian dari umat Islam,
barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda.
Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya
untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling
menjelekkan, saling caci dan saling menghujat, saling merendahkan.
Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan maulid Nabi s.a.w., suka
atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu.
Sehingga bukan masanya lagi buat kita
untuk meninggalkan banyak kewajiban berislam hanya lantaran masih saja
meributkan perbedaan pendapat terhadap masalah furu’iyyah tersebut.
Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan
mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada
dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus
bertikai, maka para musuh Islam akan semakin gembira. Semoga Allah
selalu merahmati dan meridhai kita semua. Amin.[]
MARÂJI’
‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, al-Bid’ah Tahdiduha wa Mauqiful Islam Minha. (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.t.)
Al-Ghazali, al-Mustasfa, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Amrullah Ahmad dkk, (Ed). Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Busthanul Arifin SH (Jakarta: Gema Insani Press,1996)
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
David Benjamin Keldani, What Every Christian & Jew Should Know, (Sahara Publishers
Cetakan Kesebelas, Mei 2006).
Cetakan Kesebelas, Mei 2006).
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House,1995)
Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et al (Ed.). Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985)
Harun Nasution, “Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Baqir, Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan,1988)
http://assunnah.or.id, diakses 3 Januari 2011
Hukum memperingati Maulid Nabi, Islamic Propagation Office in Rabwah, PO BOX 29465 Riyadh.
Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977)
Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (India: Kitab Bhavan, 1981
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi,1982 (PT. Dunia Pustaka Jaya, Jln. Kramat II, No. 31A Jakarta Pusat, 1978)
PP IKAHA, “Kata Pengantar” dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: GIP, 1996)
Pesantrenvirtual.com, diakses 3 januari 2011
Syafi’i Antonio, Muhammad SAW The Super Leade Super Manager, (Jakarta: Pro LM, 2007).
TOR ACIS KEMENAG RI ke-10 pada 1-4 November 2010
Yahya A. Muhaimin, “Budaya Politik dan Pembangunan Hukum Nasional”, dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional. (Yogyakarta: UII Press, 1992)
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000)
Yusuf Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’asir, (Dar at-Tauzi’ wa an-Nasy al-Islamiyah, 1994)
* Ketua Prodi Ekonomi Islam FIAI UII, Dosen tetap UII
[1] TOR ACIS KEMENAG RI ke-10 pada 1-4 November 2010
[2] Yahya A. Muhaimin (1992), “Budaya Politik dan Pembangunan Hukum Nasional”, dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta: UII Press., h. 93
[3] QS Saba (34): 28 dan QS Al-Anbiya (21): 107
[4] Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et al (Ed.). Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm.13-14
[5] Harun Nasution, “Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Baqir, Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan,1988), hlm.112.
[6] PP IKAHA, “Kata Pengantar” dalam Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: GIP, 1996), hlm. xi
[7] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), cet. Ke-2, juz III, hlm. 14
[8] Amrullah Ahmad dkk, (Ed). Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Busthanul Arifin SH (Jakarta: Gema Insani Press,1996), hlm.XI
[9] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House,1995), hlm.10
[10] Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (India: Kitab Bhavan, 1981), hlm.147-148
[11] Fathurrahman Djamil, Metode, hlm.19
[12] Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz II, hlm. 19
[13] Yusuf Qardawi, al-Ijtihad al-Mu,asir, (Dar at-Tauzi’ wa an-Nasy al-Islamiyah, 1994), hlm. 68
[14] Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 242
[15] Hal ini sebagaimana dikutip Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 31
[16] Al-Ghazali, al-Mustasfa, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 286-287
[17] Lihat ‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah,(t.t.) al-Bid’ah Tahdiduha wa Mauqiful Islam Minha. Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, h. 195-196.
[18] Ibid., h. 197
[19] Pesantrenvirtual.com, diakses 3 Januari 2011
[20] ‘Izzat ‘Ali ‘Athiyyah, op.cit., h. 481
[21] Ibid., h. 481
[22]
Misalnya Pak Syafi’i Antonio merekam dalam bukunya 8 aspek keteladanan
Rasululllah sebagai super leader dan super manager. Lihat lebih lanjut
buku beliau yang berjudul Muhammad s.a.w. The Super Leade Super Manager,
Jakarta: Pro LM, 2007.
[23]
Bahkan Michael H. Hart, penulis buku yang diterjemahkan ke bahasa
Indonesia menjadi “Seratus tokoh paling berpengaruh dalam sejarah”
menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang nomor satu (1) tokoh paling
berpengaruh dalam sejarah melebihi Nabi Isa, Isaac Newton, Budha, St.
Paul dan lain-lain. Michael H. Hart menyatakan: “Jatuhnya pilihan saya
kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang
berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan
saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang
berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama
maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana,
Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di
dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang
pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah
wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.”
Lihat Michael H. Hart, (1978), Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978 Terjemahan H. Mahbub Djunaidi,1982 PT. Dunia Pustaka Jaya, Jln. Kramat II, No. 31A Jakarta Pusat.
[24] Lihat Hukum memperingati Maulid Nabi, Islamic Propagation Office in Rabwah, PO BOX 29465 Riyadh.
[25] http://assunnah.or.id, diakses 3 Januari 2011
DASAR HUKUM PELAKSANAAN PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
ASAL-USUL DAN DASAR HUKUM PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Sesungguhnya
Nabi Muhammad Sallallahu alaihi Wasallam adalah utusan Allah dan rahmat
bagi sekalian alam.Nabi Muhammad SAW. adalah nikmat terbesar dan
anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta. Ketika manusia
saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak mengenal Rabb
pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan moral yang luar
biasa. Nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik. Penyembahan terhadap
berhala-berhala suatu kehormatan, perzinaan suatu kebanggaan, mabuk dan
berjudi adalah kejantanan, dan merampok serta membunuh adalah suatu
keberanian. Di saat seperti ini rahmat ilahi memancar dari jazirah Arab.
Dunia ini melahirkan seorang Rasul yang ditunggu oleh alam semesta
untuk menghentikan semua kerusakan ini dan membawanya kepada cahaya
ilahi.Kelahiran makhluk mulia yang ditunggu jagad raya membuat alam
tersenyum, gembira dan memancarkan cahaya. Al-Habib Ali bin Muhammad bin
Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid Habsyi (Biasa disebut Simtu
Duror atau lengkapnya Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min
akhlaqi wa awshaafi wa siyar) menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu
dalam syairnya yang indah:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.
Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.
Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya? ”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?” Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”. Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau. Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid. Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah.
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.
Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.
Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya? ”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?” Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”. Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau. Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid. Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah.
Jika peringatan
maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah
saw., mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang
universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil
‘alamin. Ketika acara maulid seperti demikian, alasan apa masih disebut
dengan bid’ah? dan setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap yang sesat
pasti masuk neraka, tidak semuanya benar.! Sebagai pembuka dalam
pembahasan memperingati Maulid Nabi SAW,ada baiknya kita kutip perkataan
seorang ulama kharismatik dari Universitas Al-Azhar Mesir Imam
Mutawalli Sha`Rawi dalam bukunya al-Fikr Ma’idat al-Islamiyya ” Jika
makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu dan semua tanaman
senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas kelahirannya semua
malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin senang atas
kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia atas
kelahirannya? “ (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak
memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam. Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah.
Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
A. SEJARAH MAULID
Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.
B. DALIL-DALIL MAULID
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ada banyak alasan dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:
1. Firman Allah SWT:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107). Dalam sebuah hadist disebutkan:
وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .
As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw.”(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
2. Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)
3. Firman Allah :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)” Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya
4. Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب
( “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya
5. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam. Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun “. (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya). Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.
Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
6. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
7. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
8. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
9. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
10. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
11. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
12. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
13. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
14. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
15. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
16. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
17. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji
18. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.
19. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
20. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.
maksud sya macam ni...xbole sebut ulamak saja tapi nama ulamak xsebut...da sebut nama...sebut kitab...baru kuat hujjah...hujjah macam xboleh la...
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam. Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah.
Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
A. SEJARAH MAULID
Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.
B. DALIL-DALIL MAULID
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ada banyak alasan dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:
1. Firman Allah SWT:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107). Dalam sebuah hadist disebutkan:
وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .
As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw.”(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
2. Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)
3. Firman Allah :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)” Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya
4. Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب
( “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya
5. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam. Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun “. (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya). Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.
Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
6. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
7. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
8. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
9. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
10. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
11. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
12. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
13. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
14. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
15. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
16. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
17. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji
18. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.
19. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
20. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.
maksud sya macam ni...xbole sebut ulamak saja tapi nama ulamak xsebut...da sebut nama...sebut kitab...baru kuat hujjah...hujjah macam xboleh la...
Apa Hukum Merayakan Maulid Nabi?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab:
Pertama, malam kelahiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.
Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sehingga tatkala ternyata sedikit pun dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya. Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan.
Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal ‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?
Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).
***
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Bicara Pergaulan Bebas Antara Lelaki Dan Perempuan
Pada
hari ini gejala ikhtilath (bercampur-gaul) di antara lelaki dengan
perempuan berlaku dengan meluas sekali. Seolah-olah seperti tiada siapa
yang menyedari perkara tersebut termasuk suatu yang terlarang di sisi
agama. Disebabkan hilangnya kesedaran itu jugalah, maka ia menjadi salah
satu faktor yang mendedahkan kaum wanita kepada pelbagai bentuk
ancaman keselamatan dan maruah.
Jika kita teliti betul-betul, nescaya kita akan temui catatan-catatan yang sahih berkaitan wanita-wanita yang terdiri dari kalangan para sahabiyah di zaman Nabi. Yang mana mereka ini sifatnya amat pemalu. Mereka berusaha mengelak dari menjadi tatapan kaum lelaki dengan tetap mendiami rumah-rumah mereka. Jika mereka keluar pun, mereka akan keluar atas alasan yang syar’i dalam keadaan yang terjaga serta ditemani oleh mahram mereka.
Di antara sebab wanita dibenarkan keluar adalah seperti untuk solat berjama’ah, menuntut ilmu agama, dan beberapa yang lainnya yang diperlukan selagi mana berada dalam keadaan aman dari fitnah, mendapat izin dari wali atau suami, dan setelah hak-hak suami dan anak-anak ditunaikan dengan sempurna. Jika mereka keluar, diwajibkan pula untuk mendapat pengawasan atau ditemani oleh mahram, bebas dari ikhtilath, dan berpakaian dengan pakaian yang syar’i (menutup aurat).
Walaupun wanita dibenarkan untuk solat berjama’ah di masjid bersama dengan yang lainnya, Rasulullah s.a.w tetap menegaskan bahawa solat terbaik bagi kaum wanita adalah di rumah mereka masing-masing. Untuk ke masjid pula, Rasulullah s.a.w menyediakan pintu khas untuk para wanita bagi mengelakkan percampuran dengan kaum lelaki. Dalam solat, Islam mengasingkan pula saf wanita di belakang dan lelaki di hadapan.
Ini sebagaimana yang diceritakan oleh Ummu Salamah r.ha (salah seorang isteri Nabi s.a.w). Beliau berkata:
Berbeza dengan zaman ini, lelaki yang tegar beriman semakin kurang. Yang beriman tetapi lemah pun ramai. Lelaki-lelaki fasiq dan suka mengambil kesempatan pula yang banyak berkeliaran. Yang kafir juga tidak kurang ramainya.
Maka, sepatutnya kaum wanita beriman pada hari ini wajib lebih berhati-hati dan perlu memiliki rasa malu yang tinggi dari menjadi tatapan lelaki-lelaki asing di luar. Apatah lagi khabar-khabar fitnah dan jenayah yang mengaitkan wanita dalam masyarakat hari ini begitu banyak sekali.
Semoga kita semua tidak menjadi fitnah di antara satu sama lain sebagaimana dikhabarkan Rasulullah s.a.w dalam sabdanya:
Jadilah wanita muslim yang beriman. Wanita beriman itu bukan wanita murahan. Kerana wanita beriman itu amat mahal lagi berharga. Yang harganya tidak ternilai sedikit pun dengan helaian wang ringgit. Melainkan dengan apa yang telah dinilai dan ditetapkan oleh Allah s.w.t bagi diri-diri mereka. Mereka menerima, bersyukur, dan redha dengannya. Ganjaran buat mereka adalah Syurga Allah yang luas terbentang.
Allah s.w.t berfirman (maksudnya): “…hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah terdahulu.” (Surah al-Ahzab, 33:33)Walaupun ayat ini zahir asalnya untuk isteri-isteri nabi, tetapi sebenarnya ia turut mencakup seluruh kaum wanita beriman secara umum. Kerana wanita beriman itu mengikuti isteri-isteri Nabi dan menyelisihi perilaku kaum wanita jahiliyyah. Hal ini antaranya sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Qurthubi dan Tafsir Ibnu Katsir.
Juga firmanNya: “Maka wanita yang soleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tiada dengan apa yang Allah telah pelihara mereka.” (Surah an-Nisaa’, 4: 34)Hadith ini menunjukkan bahawa perbuatan di antara lelaki dan wanita yang saling memandang, saling berbual tanpa keperluan syar’i, bersentuhan atau bersalaman, serta apa yang disebutkan melalui hadith ini tentang zina adalah terlarang dan perlu dielakkan.
Nabi s.a.w juga pernah bersabda: “Persoalan anak Adam berkaitan zina telah ditentukan. Tidak mustahil ia pasti melakukannya. Dua mata berzina dengan melihat, dua telinga berzina dengan mendengar, lidah berzina dengan kata-kata, tangan berzina dengan menyentuh, kaki berzina dengan melangkah, hati berzina dengan angan-angan (keinginan), dan kemaluanlah yang akan membenarkan (merealisasikan) atau mendustakan semua itu.” (H.R. Muslim, 13/125, no. 4802)
Jika kita teliti betul-betul, nescaya kita akan temui catatan-catatan yang sahih berkaitan wanita-wanita yang terdiri dari kalangan para sahabiyah di zaman Nabi. Yang mana mereka ini sifatnya amat pemalu. Mereka berusaha mengelak dari menjadi tatapan kaum lelaki dengan tetap mendiami rumah-rumah mereka. Jika mereka keluar pun, mereka akan keluar atas alasan yang syar’i dalam keadaan yang terjaga serta ditemani oleh mahram mereka.
Di antara sebab wanita dibenarkan keluar adalah seperti untuk solat berjama’ah, menuntut ilmu agama, dan beberapa yang lainnya yang diperlukan selagi mana berada dalam keadaan aman dari fitnah, mendapat izin dari wali atau suami, dan setelah hak-hak suami dan anak-anak ditunaikan dengan sempurna. Jika mereka keluar, diwajibkan pula untuk mendapat pengawasan atau ditemani oleh mahram, bebas dari ikhtilath, dan berpakaian dengan pakaian yang syar’i (menutup aurat).
Walaupun wanita dibenarkan untuk solat berjama’ah di masjid bersama dengan yang lainnya, Rasulullah s.a.w tetap menegaskan bahawa solat terbaik bagi kaum wanita adalah di rumah mereka masing-masing. Untuk ke masjid pula, Rasulullah s.a.w menyediakan pintu khas untuk para wanita bagi mengelakkan percampuran dengan kaum lelaki. Dalam solat, Islam mengasingkan pula saf wanita di belakang dan lelaki di hadapan.
Nabi s.a.w bersabda: “Sebaik-baik saf lelaki adalah yang paling hadapan dan yang paling buruk adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik saf bagi wanita adalah yang paling belakang, yang terburuk bagi mereka adalah yang paling depan.” (H.R. Muslim, 2/435, no. 664)Manakala ketika tamat sahaja solat (sebaik salam diucapkan), kaum wanita perlu segera beredar. Manakala kaum lelaki, mereka beranjak setelah para wanita selesai keluar terlebih dahulu.
Ini sebagaimana yang diceritakan oleh Ummu Salamah r.ha (salah seorang isteri Nabi s.a.w). Beliau berkata:
“Bahawasanya pada zaman Rasulullah s.a.w, kaum wanita segera bergerak keluar (beredar) apabila mereka telah mengucapkan salam pada solat fardhu. Sementara itu, Rasulullah s.a.w dan kaum lelaki yang solat bersama-sama beliau tetap berada di tempat mereka bersesuaian dengan apa yang dikehendaki Allah. Apabila Rasulullah s.a.w bangun, maka mereka pun ikut bangun.” (H.R. Bukhari)Bagi majlis-majlis ilmu pula, Rasulullah s.a.w mengasingkan (memisahkan) di antara lelaki dengan wanita. Abu Sa’id al-Khudri r.hu menceritakan:
Ada seorang wanita datang menemui Rasulullah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kaum lelaki telah pergi dengan membawa hadith-hadith daripada engkau. Maka luangkanlah satu hari untuk kami (kaum wanita) supaya kami dapat menemui engkau pada hari tersebut dan engkau mengajarkan kepada kami apa-apa yang telah diajarkan Allah kepada engkau.”Namun agak sedih hari ini, fitnah ikhtilath amat berleluasa bukan sahaja di pasar-pasar, di jalan-jalan, di pusat-pusat membeli-belah, di tempat-tempat kerja, atau di majlis-majlis walimah, tetapi juga telah sampai sehingga ke masjid-masjid dan pusat-pusat pengajian umat Islam. ‘Aisyah r.ha (Ummul mukmin) sendiri pernah mengutarakan sesuatu apabila beberapa bentuk fitnah dari kalangan wanita mula berlaku. Beliau mengatakan:
Rasulullah s.a.w pun menjawab: “Berkumpullah kamu pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.” Setelah itu, para wanita pun berkumpul di tempat yang dijanjikan tersebut, maka Rasulullah s.a.w menemui mereka dan mengajar mereka perkara-perkara yang telah diajarkan oleh Allah s.w.t kepadanya. (H.R. Bukhari, 22/284, no. 6766)
“Sekiranya Rasulullah s.a.w melihat apa yang dilakukan oleh para wanita pada masa sekarang ini, nescaya baginda akan melarang mereka dari pergi ke masjid sebagaimana kaum wanita Bani Israel dilarang ke masjid.” (H.R. Bukhari, 3/378)Dalam sebuah hadith yang lain, daripada Hamzah B. Abu Usaid al-Anshari rah daripada bapanya, bahawasanya ia pernah mendengar Rasulullah s.a.w berbicara ketika berada di luar masjid sehinggalah berlaku percampuran lelaki dan wanita di tengah jalan. Maka Rasulullah s.a.w pun bersabda kepada kaum wanita:
“Hendaklah kamu melambatkan dalam berjalan (supaya berjalan di belakang), kerana kamu tidak berhak untuk memenuhi tengah-tengah jalan. Dan hendaklah kamu berjalan di tepi jalan, sehingga ada seorang wanita yang serta-merta berjalan merapat ke dinding, hingga bajunya tersangkut pada dinding disebabkan terlalu rapat dengan dinding.” (H.R. Abu Daud)Bayangkanlah,wanita dizaman Nabi dan para sahabat pun mereka tetap bersembunyi dan mengelakkan diri dari khalayak kaum lelaki. Yang mana pada masa tersebut kita ketahui orang-orang yang teguh beriman amat ramai serta mendominasi pula masyarakat pada ketika itu.
Berbeza dengan zaman ini, lelaki yang tegar beriman semakin kurang. Yang beriman tetapi lemah pun ramai. Lelaki-lelaki fasiq dan suka mengambil kesempatan pula yang banyak berkeliaran. Yang kafir juga tidak kurang ramainya.
Maka, sepatutnya kaum wanita beriman pada hari ini wajib lebih berhati-hati dan perlu memiliki rasa malu yang tinggi dari menjadi tatapan lelaki-lelaki asing di luar. Apatah lagi khabar-khabar fitnah dan jenayah yang mengaitkan wanita dalam masyarakat hari ini begitu banyak sekali.
Semoga kita semua tidak menjadi fitnah di antara satu sama lain sebagaimana dikhabarkan Rasulullah s.a.w dalam sabdanya:
“Aku tidak meninggalkan fitnah sepeninggalanku yang lebih bahaya bagi lelaki melebihi fitnah wanita.” (H.R. Bukhari dan Muslim –Muttafaq ‘alaih)Saidina ‘Ali r.hu pernah berkata kepada isterinya, (iaitu) Fathimah r.ha: “Wahai Fathimah, apa yang terbaik untuk seseorang wanita?” Fathimah menjawab: “Hendaklah dia tidak melihat lelaki (yang bukan mahramnya) dan lelaki pun tidak melihatnya.” ‘Ali berkata lagi: “Tidakkah kamu malu? Tidakkah kamu cemburu? Salah seorang di antara kamu membiarkan isterinya pergi ke khalayak kaum lelaki dan dia melihat mereka serta mereka (para lelaki) pun melihat mereka pula.” (adz-Dzahabi, al-Kaba’ir,m/s.171-172)
Jadilah wanita muslim yang beriman. Wanita beriman itu bukan wanita murahan. Kerana wanita beriman itu amat mahal lagi berharga. Yang harganya tidak ternilai sedikit pun dengan helaian wang ringgit. Melainkan dengan apa yang telah dinilai dan ditetapkan oleh Allah s.w.t bagi diri-diri mereka. Mereka menerima, bersyukur, dan redha dengannya. Ganjaran buat mereka adalah Syurga Allah yang luas terbentang.
Rasulullah s.a.w bersabda: “Apabila seorang wanita telah mendirikan solat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya (atau kemaluannya), serta mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam Syurga dari pintu mana pun yang engkau mahu.” (H.R. Ahmad, 3/199, no. 1661. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, 5/34, no. 4598. 8/339, no. 8805. Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 9/471, no. 4163. Hadith hasan lighairihi)
WALLAHU'ALAM
Tiada ulasan:
Catat Ulasan