Islam dan Ilmu
ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM
Uhar Suharsaputra
1. Apakah Ilmu itu ?
Ilmu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima –
ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan
dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan
Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun
secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami
pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa
pengertian :
“Ilmu
adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
“Science
is knowledge arranged in a system, especially obtained by observation
and testing of fact (And English reader’s dictionary)
“Science
is a systematized knowledge obtained by study, observation, experiment”
(Webster’s super New School and Office Dictionary)
dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung
arti pengetahuan, tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang
tersusun secara sistematis atau menurut Moh Hatta (1954 : 5)
“Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu”.
2. Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu
menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini
terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an yang memandang orang berilmu
dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang
banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam
Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780
kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari AL
qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani9(1995;; 39) sebagai berikut ;
‘’Salah
satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum
muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta
menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi’’
ALLah s.w.t berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadalah ayat 11 yang artinya:
“ALLah
meninggikan baeberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman
diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan
ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan
menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki
seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut ILmu ,dan Ilmu yang
dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia
dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasakepada ALLah bila melakukan
hal-hal yang dilarangnya, hal inisejalan dengan fuirman ALLah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping
ayat –ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat
istimewa, AL qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seprti tercantum dalam AL qur’an sursat Thaha ayayt 114 yang artinya “dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan “.
dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana
menambah ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal
menekeankan pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman ALLah
yang pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artuinya:
“bacalah dengan meyebut nama tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan Kamu dari segummpal darah .
Bacalah,dan tuhanmulah yang paling pemurah.
Yang mengajar (manusia ) dengan perantara kala .
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.”
Ayat
–ayat trersebut , jelas merupakan sumber motivasi bagi umat islam untuk
tidak pernah berhenti menuntut ilmu,untuk terus membaca ,sehingga posisi
yang tinggi dihadapan ALLah akan tetap terjaga, yang berearti juga rasa
takut kepeada ALLah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia
untuk melakukan amal shaleh , dengan
demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan
amal ,sehingga Nurcholis Madjd (1992: 130) meyebutkan bahwa keimanan
dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh ini seolah
menengahi antara iman dan amal .
Di
samping ayat –ayat AL qur”an, banyak nyajuga hadisyang memberikan
dorongan kuat untukmenuntut Ilmu antara lain hadis berikut yang dikutip
dari kitab jaami’u Ashogir (Jalaludin-Asuyuti, t. t :44 ) :
“Carilah
ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya menuntut ilmu itu
wajib bagisetuap muslim’”(hadis riwayat Baihaqi).
“Carilah
ilmu walau sampai ke negeri cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap muslim . sesungguhnya Malaikat akan meletakan
sayapnya bagi penuntut ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut
“(hadist riwayat Ibnu Abdil Bar).
Dari
hadist tersebut di atas , semakin jelas komitmen ajaran Islam pada ilmu
,dimana menuntut ilmu menduduki posisi fardhu (wajib) bagi umat islam
tanpa mengenal batas wilayah,
3. Klarsfikasi Ilmu menurut ulama islam.
Dengan
melihat uraian sebelumnya ,nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam
ajaran islam . AL qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama
menempati kedudukan yang sangat terhormat, sementara hadis nabimenunjukan bahwa menuntut ilmu merupakan
suatu kewajiban bagi setiap muslim. Dari sini timbul permasalahan
apakah segala macam Ilmu yang harus dituntut oleh setiap muslim dengan
hukum wajib (fardu), atau hanya Ilmu tertentu saja ?. Hal ini mengemuka
mengingat sangat luasnya spsifikasi ilmu dewasa ini .
Pertanyaan
tersebut di atas nampaknya telah mendorong para ulama untuk melakukan
pengelompokan (klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing,
meskipun prinsip dasarnya sama ,bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap
muslim. Syech Zarnuji dalam kitab Ta’liimu AL Muta‘alim (t. t. :4)
ketika menjelaskan hadis bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim menyatakan :
“Ketahuilah
bahwa sesungguhya tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah
menuntutsegsls ilmu ,tetapi yang diwajibkan adalah menuntut ilmu
perbuatan (‘ilmu AL hal) sebagaimana diungkapkan ,sebaik-baik ilmu
adalah Ilmu perbuaytan dan sebagus –bagus amal adalah menjaga
perbuatan”.
Kewajiban
manusia adalah beribadah kepeda ALLah, maka wajib bagi manusia(Muslim
,Muslimah) untuk menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut
,seprti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji ,mengakibatkan
wajibnya menuntut ilmu tentang hal-hal tersebut . Demikianlah nampaknya
semangat pernyataan Syech Zarnuji ,akan tetapi sangat di sayangkan bahwa
beliau tidak menjelaskan tentang ilmu-ilmu selain “Ilmu Hal” tersebut lebih jauh di dalam kitabnya.
Sementara itu Al Ghazali di dalam Kitabnya Ihya Ulumudin
mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in,
dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau menyatakan pengertian
Ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut :
“Ilmu
fardu a’in . Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib, Maka orang
yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah
mengetahui ilmu fardu a’in “ (1979 : 82)
“Ilmu fardu kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi “ (1979 : 84)
Lebih jauh Al Ghazali
menjelaskan bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan
segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara
itu yang termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya) fardhu kifayah antara
lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian,
ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang
dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Klasifikasi Ilmu yang lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1. Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berpikir.
2. Ilmu yang bersifat tradisional (naqli).
bila kita lihat pengelompokan di atas , barangkali bisa disederhanakan menjadi 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.
Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan :
“Kelompok
pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaituilmu
pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang
dengan indra—indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya,
persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya,
sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana
yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia
berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu
secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi
syara “ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310)
dengan demikian bila melihat pengertian
ilmu untuk kelompok pertama nampaknya mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum
luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir. Adapun
untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk pada ilmu yang
sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul.
Ulama lain yang membuat klasifikasi Ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India
tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok
yaitu : 1). Al manqulat, 2). Al ma’qulat, dan 3). Al maksyufat. Adapun pengertiannya sebagaimana dikutif oleh A
Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No.
11, 1993), adalah sebagai berikut :
1).
Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau
mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.
2). Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting.
3). Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatif
Selain
itu, Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua
kelompok yaitu : 1). Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang
bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori dan 2). Ilmu al huduri, yaitu ilmu
pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang
rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi .
Meskipun
demikian dua macam pembagian tersebut tidak bersifat kontradiktif
melainkan lebih bersifat melingkupi, sebagaimana dikemukakan A.Ghafar Khan bahwa al manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke dalam ilmu al husuli
4. Apakah filsafat itu ?
Secara
etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo”
berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut
I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang
seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang
diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya
pandai, mengerti dengan mendalam, jadi menurut namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.
Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat
mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa
dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama
merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh
filsafat dan jawabannya bersifat mutlak. Menurut Sidi Gazlba (1976 :
25) Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti
(riset dan/atau eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau
belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu
yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat
alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga
mencoba memikirkan sesuatuyang diluar alam, yang disebut oleh agama
Tuhan. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964 : 7) mengatakan bahwa ilmu
memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat
5. Apakah Filsafat Ilmu itu ?
filsat
ilmu pada dasarnya merupakan upaya untuk menyoroti dan mengkaji ilmu,
dia berkaitan dengan pengkajian tentang obyek ilmu, bagaimana
memperolehnya serta bagaimana dampai etisnya bagi kehidupan masyarakat.
Secara umum kajian filsafat ilmu mencakup :
1) Aspek ontologis
2) Aspek epistemologis
3) Axiologis
Aspek
ontologis berkaiatan dengan obyek ilmu, aspek epistemologis berkaiatan
dengan metode, dan aspek axiologis berkaitan dengan pemanfatan ilmu.
Dari sudut ini folosuf muslim telah berusaha mengkajinya dalam suatu
kesatuan dengan prinsip dasar nilai-nilai keislamanyang bersumebr pada
Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
pertama2 saya jelaskan apa itu hiburan
Hiburan adalah segala sesuatu – baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku – yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih.
Sabtu, 25 Agustus 2012
Hiburan adalah segala sesuatu – baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku – yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih.
Islam Dan Hiburan : Batasan Dalam Berhibur
Islam Meraikan Hiburan Yang Halal
Hiburan merupakan suatu perkara yang
diminati oleh manusia secara fitrahnya. Bahkan hiburan merupakan satu eleman
dalam kehidupan. Adapun konsep hiburan itu berbeza-beza dan minat seseorang
juga berbeza-beza mengikut kecenderungan masing-masing.
Islam tidak memperincikan apa bentuk
hiburan tersebut, ia terserah kepada kesesuaian individu, tempat dan masa yang
sentiasa berubah-ubah. Apa yang pati hiburan adalah subjektif yang memberikan
maksud sesuatu (perbuatan, benda dan sebagainya) yang memberikan kegembiraan
dan menyukakan hati.[1] Maka hiburan tersebut adalah luas bentuknya samada
dalam bentuk suara seperti nyanyian, gurindam, sajak atau perbuatan seperti
tarian, berlakon, bersukan atau ia merupakan sesuatu benda / objek seperti
alatan muzik, buku, alatan sukan dan sebagainya.
Justeru, apa jua yang menghiburkan
hati atau menggembirakan hati itu dipanggil sebagai hiburan. Sehubungan itu
tujuan hiburan adalah menggembirakan hati, berlawanan dengan segala perkara
yang menyedihkan hati.
Dalam ilmu mantik, manusia juga
dikategorikan sebagai hayawan dhahik (حيوان ضاحك) iaitu makhluk hidup yang boleh gelak.
Takrifan ini membezakan dengan haiwan walaupun konsep bahasanya adalah hayawan.
Hal ini demikian hayawan adalah pengklasan dari sudut makhluk yang bernyawa
maka ia merangkumi manusia dan haiwan.
Dhahik pula pengklasan dari sudut
jenis sifat, maka ini yang membezakan antara manusia dan haiwan disebabkan
kerana haiwan tidak boleh gelak berbeza dengan manusia.[2]
Justeru, sifat itu yang ingin dimaksudkan
ialah gembira iaitu mampu untuk berhibur dan berhajat kepada sesuatu yang
menghiburkan hati. Maka dari sudut mantiknya pun membawa maksud bahawa hiburan
merupakan perkara fitrah. Dan bertepatan dengan Islam yang merupakan agama
fitrah maka sudah tentu Islam membenarkannya selagimana ia tidak bertentangan
dengan syara’.
Bahkan Nabi SAW juga berpesan kepada
sahabatnya agar hidup dalam keadaan fitrah. Hal ini demikian kerana Islam itu
agama fitrah. Disebabkan itu Islam melarang daripada hidup sebagaimana rahib
yang tidak berkahwin, bahkan Islam mensyariatkan perkahwinan. Islam juga
menyuruh manusia mencari rezeki sebagaimana dalam ayat Al-Quran berkenaan Solat
Jumaat.
Firman Allah dalam Surah Al-Jumu’ah
pada ayat ke-10 yang bermaksud :
“Apabila telah ditunaikan solat
(Solat Jumaat dan umumnya), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
kurniaan Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Islam tidak menghalang berniaga dan
apa jua pekerjaan untuk mencari rezeki sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
Al-Quran di atas. Bahkan ayat di atas disebutkan bahawa selepas selesai
melaksanakan solat (kewajipan kepada Allah) maka diperintahkan untuk bertebaran
mencari kurniaan Allah samada perniagaan dan sebagainya. Hal ini demikian
kerana Islam itu agama fitrah iaitu tidak menghalang kehendak manusia dari
sudut kehidupan dunia selagimana ia tidak ditegah dan membelakangi kewajipan.
Bahkan inilah yang dikurniakan kepada
manusia, namun Allah mengingatkan agar manusia menguruskan segala apa yang
dikehendakinya itu selaras dengan Islam, tidak bertetangan dengan syara’. Hal
ini demikian kerana apa yang disyariatkan Allah itu adalah sebaik-baiknya.
Firman Allah dalam Surah Ali Imran
pada ayat ke-14 yang bermaksud :
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Kisah sahabat yang bernama Hanzalah
merupakan kisah yang masyhur bahawa Nabi SAW mengajar para sahabat agar hidup
dalam keadaan yang normal iaitu tidak menolak fitrah semulajadi yang memerlukan
kepada hiburan namun dalam batasan syara’. Hanzalah suatu ketika merasa gelisah
sehingga merasakan seakan-akan bersifat sebagaimana orang munafik iaitu
melakukan ibadah dalam satu masa, dan berhibur dalam satu masa. Namun bukanlah
melakukan maksiat atau terjatuh dalam perkara haram. Lalu Nabi SAW bersabda
kepada Hanzalah yang bermaksud :
“Wahai Hanzalah, sekiranya kamu
berterusan dengan (syadid) dalam keadaan kamu sekarang ini (ibadah semata-mata
tanpa rehat dan berhibur seketika) nescaya malaikat akan mengiringi ke mana
sahaja kamu lalu (fadhilat yang besar terhadap ibadah yang sahih di lakukan),
akan tetapi satu masa dan satu masa.”[3]
Apa yang ingin dimaksudkan ialah
dalam kehidupan ini tidak perlu terlalu syadid tanpa melihat ibadah umum yang
lebih luas. Disebabkan itu Nabi SAW sebut “satu masa dan satu masa” maksudnya
ada masa untuk fokus ibadah yang khusus dan ada masa untuk rehat, berhibur,bersama-sama
dengan masyarakat dan sebagainya selagimana dalam ruang lingkup yang harus
bukannya haram atau maksiat.
Batasan-Batasan Dalam Berhibur
Majoriti ulama menghukumkan bahawa
hiburan adalah diharuskan dengan syarat hiburan tersebut tidak mengandungi
sebarang unsur-unsur maksiat yang haram dan apa jua bentuk yang bertentangan
dengan syara’.
Lihat ketika mana peristiwa hijrah,
apabila Nabi SAW bersama-sama dengan Abu Bakar sampai di Madinah, baginda SAW
disambut oleh penduduk Madinah dengan kegembiraan melalui nyanyian dan paluan
gendang serta bertepuk tangan. Kesemua ini merupakan hiburan yang menzahirkan
mereka gembira dengan kehadiran Nabi SAW, bahkan Nabi SAW tidak menghalangnya
dan membiarkannya dengan bersabda kepada Abu Bakar yang bermaksud :
“Biarkan mereka wahai Abu Bakar,
sehingga orang yahudi ketahui bahawa agam kita (Islam) itu lapang / luas
(meraikan fitrah)”[4]
Saidatina Aisyah RA meriwayatkan
bahawa ketika beliau mengiringi seorang wanita Ansar ke rumah suaminya (majlis
menyambut tetamu), lalu baginda SAW bersabda kepadanya :
“Wahai Aisyah, tidak adakah
bersama-sama kamu akan hiburan? Sesungguhnya kaum Ansar mereka teruja / suka
akan hiburan.”[5]
Dalam kisah ini, Nabi SAW tidak
menghalang akan hiburan yang disukai oleh kaum Ansar dalam majlis perkahwinan
mereka selagimana ia tidak bertentangan dengan syara’. Hal ini demikian kerana,
sebarang perkara yang tidak bertentangan dengan syara’ dan tidak dihukumkan
akan haram maka hukumnya adalah harus.
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah
pada ayat ke-4 yang bermaksud :
“Mereka menanyakan kepadamu:
"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?." Katakanlah: "Dihalalkan
bagimu yang baik-baik”
Justeru, apa yang tidak diharamkan
dan dilarang oleh syara’ adalah perkara yang baik. Disebabkan itu hiburan yang
menurut Islam yang tidak mengandungi unsur-unsur yang haram adalah diharuskan.
Firman Allah SWT dalam Surah Yunus
pada ayat ke- 59 yang bermaksud :
“Katakanlah: "Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah: "Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?"
Firman Allah SWt dalam Surah Al-A’raf
ayat ke-32 yang bermaksud :
“Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Berdasarkan ayat Al-Quran di atas,
Al-Marhum Syeikh Atiyah Saqar berfatwa sesuatu perkara itu tidaklah diharamkan
semata-mata ia menghiburkan atau menyeronokkan akan tetapi ia diharuskan
berdasarkan qias kepada perkara-perkara baik melainkan adanya illah yang menunjukkan ia adalah haram.[6]
Justeru, hukum asal bagi hiburan
adalah diharuskan dengan syarat menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan
oleh Islam sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama yang menghukumkan
hiburan itu adalah harus, iaitu :
1-
Dari sudut jenaka atau lawak, pastikan tidak menipu dan menghina atau
menjatuhkan maruah seseorang serta tidak melampau sehingga terlalu banyak
gelak.
Nabi SAW bersabda :
“Celakalah bagi mereka yang berkata
kemudian menipu untuk menggelakkan sesuatu kaum (menghina), celakalah baginya,
celakalah baginya.”[7]
Abu Hurairah RA meriwayatkan Nabi SAW
bersabda :
“Berjenakalah, dan jangan kamu
bercakap melainkan perkara yang benar.”[8]
Firman Allah dalam Surah Al-Hujurat
ayat ke-11 yang bermaksud :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.”
Nabi SAW bersabda :
“Janganlah kamu banyak dalam
bergelak, kerana sesungguhnya banyak dalam bergelak mematikan hati.”[9]
Saidina Ali bin Abi Talib menyebut :
“Masukkan dalam kalam akan jenaka,
dengan kadar memasukkan garam dalam makanan.”[10]
2-
Tidak mengandungi unsur perjudian dan sebagainya yang diharamkan dalam
konteks kewangan Islam.
Firman Allah dalam Surah Al-Maidah
pada ayat ke-90 yang bermaksud :
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) arak, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
3-
Tidak lalai sehingga mengabaikan kewajipan seperti solat fardhu dan
sebagainya.
Firman Allah dalam Surah Al-Asr yang
bermaksud :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia
dalam keadaan yang rugi. Melainkan mereka yang beriman, beramal soleh, dan
berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan kesabaran.”
Firman Allah dalam Surah Al-Mukminun
pada ayat ke-3 yang bermaksud :
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”
Iaitu mereka yang lalai dengan
perkara keduniaan sehingga luputnya kewajipan yang sepatutnya dilakukan.
4-
Tidak mendatangakan mudharat samada mencederakan diri sendiri atau
mencederakan pihak lain.
Firman Allah dalam Surah An-Nisa’
pada ayat ke-29 yang bermaksud :
“Janganlag kamu membunuh diri kamu
sendiri, sesungguhnya Allah maka pengasihi dengan kamu (hamba-hamba-Nya).”
Abi Said Al-Khudri, meriwayatkan
bahawa Nabi SAW bersabda :
“Tidak ada (haram melakukan) mudharat
dan membalas kemudharatan (dengan mudharat)”[11]
5-
Tidak mendedahkan aurat, berlaku percampuran yang terlarang / pergaulan
bebas serta fitnah dari sudut syahwat yang menjurus ke arah zina
Firman Allah dalam Surah An-Nur pada
ayat ke-30 dan 31 yang bermaksud :
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada
orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka
(daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang
demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya
tentang apa yang mereka kerjakan.(30) Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan
yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram),
dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan
tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya dan hendaklah mereka menutup
belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka”
Firman Allah dalam Surah Al-Isra’
pada ayat ke-32 yang bermaksud :
“Janganlah (haram) kamu menghampiri
zina, sesungguhnya ia perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.”
Dan boleh rujuk pada artikel-artikel
yang lepas berhubung isu aurat dan berkaitan dengannya di :
http://www.manhal.pmram.org/2011/01/hukum-bersalaman-antara-lelaki-dengan.html
http://www.manhal.pmram.org/2010/11/perbahasan-melihat-aurat-sesama-jenis.html
Kesimpulan
Islam tidak menghalang umatnya
daripada berhibur bahkan ia diraikan selagimana tidak bercanggah dengan syara’.
Konsep berhibur hendaklah mengikut garis panduan yang telah ditetapkan
sebagaimana yang telah dibentang di atas.
Justeru, mana-mana hiburan yang
bercanggah dengan syara’ adalah diharamkan dan mesti dicegah agar tidak
merosakkan masyarakat bermula dari akar umbi.
Pihak kerajaan mestilah mengambil
sikap cakna yang serius dalam membangunkan modal insan di kalangan rakyat
samada Islam atau non muslim. Hal ini demikian kerana kejatuhan moral
menunjukkan sesebuah masyarakat tersebut tidak bertamadun.
Bahkan pihak-pihak berwajib juga
bertanggungjawab dalam memastikan pencegahan keruntuhan moral terutama dalam
bab hiburan ini dibendung.
Akhir sekali, pihak kerajaan dan
terbabit mestilah merangka program-program yang memberikan manfaat samada dari
sudut kerohanian, pemikiran, sosial, dan sebagainya kepada masyarakat terutama
golongan belia yang bertepatan dengan syara’ serta tidak bercanggah dengan
Islam.
Wallahu a’lam
Disediakan oleh :
Muhamad Zuhaili Saiman
Pengerusi Felo MANHAL PMRAM 2012
Rujukan :
1-
Al-Fatawa Min Ahsan Al-Kalam Fi Al-Fatawa Wa Al-Ahkam, jilid ke-2 oleh
Al-Marhum Syeikh Atiyah Saqar, cetakan Maktabah Wahbah
2-
Al-Islam Wa Al-Fan, oleh Dr Yusuf Al-Qardhawi, cetakan Maktabah Wahbah
3-
Fiqh Al-Lahw Wa At-Tarwih, oleh Dr Yusuf Al-Qardhawi, cetakan Maktabah
Wahbah
4-
Fiqh Al-Ghina’ Wa Al-Musiqi Fi Dhaui Al-Quran Wa As-Sunnah, oleh Dr
Yusuf Al-Qardhawi, cetakan Maktabah Wahbah
5-
Al-Fath Al-Mubin, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haithami S-Syafie, cetakan Dar
Al-Minhaj
6-
Al-Bayan Lima Yashghulu Al-Azhan, oleh Syeikh Ali Jumaah, cetakan
Muqattam Li An-Naysr Wa At-Tauzik
________________________________________
[1] rujuk Kamus Dewan Bahasa dan
Pustaka edisi ke-4
[2] kitab Fiqh Al-Lahwi Wa At-Tarwih,
Dr Yusuf Al-Qardhawi m/s 20
[3] kitab Fiqh Al-Lahwi Wa At-Tarwih,
Dr Yusuf Al-Qardhawi m/s 29
[4] Tafsir Al-Qurtubi. Lihat kitab
Al-Bayan Lima Yashghulu Al-Azhan,oleh Syeikh Ali Jumaah, Mufti Mesir m/s 355
[5] Sahih Bukhari, jilid ke-5,
cetakan Dar Ibnu Kathir. Lihat kitab Al-Bayan Lima Yashghulu Al-Azhan,oleh
Syeikh Ali Jumaah, Mufti Mesir m/s 350
[6] Al-Fatawa Min Ahsan Al-Kalam Fi
Al-Fatawa Wa Al-Ahkam, Al-Marhum Syeikh Atiyah Saqar, m/s250
[7] Ahmad no 20073 dan Ad-Darimi no
2707
[8] At-Tirmizi no 1990
[9] kitab Al-Lahw Wa At-Tarwih, Dr Yusuf
Al-Qardhawi, m/s 40
[10] kitab Al-Lahw Wa At-Tarwih, Dr
Yusuf Al-Qardhawi, m/s 40
[11] Ibnu Majah no 2340
Sumber : manhal.pmram
Cara Bergelak Ketawa Menurut Ajaran Islam
Marilah sama-sama mendalami ilmu ini. Semoga Allah menempatkan kita dikalangan orang-orang yang beriman. InsyaALLAH…
Sekiranya kita adalah seorang yang suka bergurau senda dan sering ketawa berdekah-dekah,
Sekiranya kita adalah seorang yang suka bergurau senda dan sering ketawa berdekah-dekah,
10 Hukuman Orang Yang Ketawa Berlebih-lebiha
1. Dimurkai Allah.
2. Dikutuk para malaikat.
3. Rasulullah SAW tidak memandangnya pada hari kiamat.
4. Disoal (dihisab) pada hari kiamat perilaku gelak ketawanya.
5. Terbuka aibnya pada hari kiamat.
6. Digemari syaitan akan dirinya.
7. Dibenci oleh semua penghuni langit dan bumi.
8. Mati hatinya.
9. Hilang air mukanya (malu dan kemuliaan).
10. Lupa pada segala-galanya.
Rasulullah SAW bersabda, maksudnya: “Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa. Celakalah!” [HR Abu Daud]
Kelakar adalah perbuatan, kata-kata dan sebagainya yang dapat menggembirakan atau yang dapat menggelikan hati orang lain. Sinonimnya adalah jenaka, lawak dan gurau senda. Membuatkan orang lain senang hati adalah termasuk dalam amal kebajikan dan Rasulullah SAW juga selalu berjenaka dengan ahli keluarga dan para sahabat baginda. Namun begitu bergurau mempunyai adab-adab tertentu yang telah digariskan oleh Islam.
a) Tidak menjadikan aspek agama sebagai bahan jenaka seperti mempersendakan sunnah Rasulullah SAW
b) Gurauan tersebut bukan merupakan cacian atau cemuhan seperti memperlekehkan orang lain dengan menyebut kekurangannya.
c) Gurauan itu bukan ghibah (mengumpat) seperti memburukkan seseorang individu dengan niat hendak merendah-rendah
d) Tidak menjadikan jenaka dan gurauan itu sebagai kebiasaan.
e) Isi jenaka adalah benar dan tidak dibuat-buat.
f) Bersesuaian dengan masa, tempat dan orangnya kerana adalah tidak manis bergurau di waktu seseorang berada dalam kesedihan dan sebagainya.
g) Menjauhi jenaka yang membuatkan orang lain ketawa secara berlebihan (ketawa terbahak-bahak)
iv) Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila ketawa baginda hanya menampakkan barisan gigi hadapannya sahaja, bukan ketawa yang berdekah-dekah,
Gelak Ketawa Yang Dilarang Oleh Islam
Menurut pandangan Islam, bergelak tertawa adalah tidak baik dan makruh hukumnya. Ibn Mas’ud meriwayatkan dari Auf bin Abdullah bahawa biasanya Rasulullah SAW tidak tertawa melainkan senyum simpul dan tidak suka melerek, iaitu tidak menoleh, kecuali dengan semua wajahnya.
Hadis itu menunjukkan bahawa senyum itu sunat dan tertawa berbahak- bahak adalah makruh. Maka itu seseorang yang sihat akal dilarang bergelak tertawa kerana mereka banyak bergelak ketawa di dunia akan banyak menangis di akhirat. Orang yang banyak menangis di dunia mereka akan banyak tertawa di syurga.
Menurut Yahya bin Muaadz Ar-razi, ada empat perkara yang menghilangkan tertawa seseorang Mukmin :-
(1) Kerana memikirkan akhirat
(2) Kesibukan mencari keperluan hidup
(3) Risau memikirkan dosa
(4) Apabila tibanya musibah dan bala.
Jika seseorang sibuk memikirkan perkara itu, maka dia tidak banyak tertawa kerana banyak tertawa bukan sifat seorang Mukmin. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra, “Sesiapa yang tertawa ketika membuat dosa, maka dia akan menangis ketika akan masuk neraka.”
Oleh itu marilah sama-sama kita muhasabah diri dan kembali bertaubat kepada ALLAH SWT. Banyakkan menangis kerana ALLAH dari ketawa yang sia-sia, itu adalah amalan yang lebih baik.
~ 7 Syawal 1433H ~
Soal Jawab Al Quran Dan Hadis
Melagukan Quran Dengan Lagu Doraemon
assalamualaikum w.b.t
saya ingin bertanya apakah hukumnya membaca al-quran dengan melagukannya mengikut rentak lagu kartun seperti doraemon tetapi tajwidnya betul
Membaca al-quran dlm bentuk irama muzik doraemon adalah satu bid’ah. As-Suyuti dlm Al-Itqan dan Ar-Rafi’ie did lm I’jazul Quran menyebut:
Para ulama menyelar perbuatan org yg membaca al-quran seperti nyanyian yg diiringi muzik sebagai perbuatan bid’ah. Di antara perbuatan bid’ah dlm qiraat dan ada’ adalah talhin (melagukan bacaan yg hingga sekarang ini masih ada dan disebarluas olh org yg hatinya terpikat dan terpegun dgnnya). Mereka membaca al-quran sdmkn rupa layaknya sebuah irama atau nyanyian. Di antara bentuk talhin:
i. Tar’id ~ membaca dgn menggeletar suara seolah2 suara yg menggeletar kerana kesakitan atau kedinginan
ii. Tarqis ~ dengan sengaja berhenti pada huruf mati namun kmdn dihentakkan secara tiba2 disertai dgn gerakan tubuh, seakan2 sedang melompat atau berjalan
iii. Tatrib ~ mendendangkan dan melagukan al-quran sehingga membaca panjang (mad) bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan tepat pada tempatnya
iv. Tahzin ~ membaca dgn nada sugul seperti org bersedih sampai hampir menangis
v. Tardad ~ apabila sekelompok qari meniru bacaan salah satu gaya di atas.
Bacaan alquran itu bersifat tahqiq yakni memberikan kpd setiap huruf akan haknya sesuai dgn ketentuan yg telah ditetapkan para ulama dan disertai tartil (baca dgn perlahan2 dgn tenang serta suara lembut), bersifat hadar (membaca cepat dgn tetap memperhatikan syarat2 pengucapan yg benar dan ada pula yg bersifat tadwir yakni pertengahan antara tartil dan hadar.
saya ingin bertanya apakah hukumnya membaca al-quran dengan melagukannya mengikut rentak lagu kartun seperti doraemon tetapi tajwidnya betul
Membaca al-quran dlm bentuk irama muzik doraemon adalah satu bid’ah. As-Suyuti dlm Al-Itqan dan Ar-Rafi’ie did lm I’jazul Quran menyebut:
Para ulama menyelar perbuatan org yg membaca al-quran seperti nyanyian yg diiringi muzik sebagai perbuatan bid’ah. Di antara perbuatan bid’ah dlm qiraat dan ada’ adalah talhin (melagukan bacaan yg hingga sekarang ini masih ada dan disebarluas olh org yg hatinya terpikat dan terpegun dgnnya). Mereka membaca al-quran sdmkn rupa layaknya sebuah irama atau nyanyian. Di antara bentuk talhin:
i. Tar’id ~ membaca dgn menggeletar suara seolah2 suara yg menggeletar kerana kesakitan atau kedinginan
ii. Tarqis ~ dengan sengaja berhenti pada huruf mati namun kmdn dihentakkan secara tiba2 disertai dgn gerakan tubuh, seakan2 sedang melompat atau berjalan
iii. Tatrib ~ mendendangkan dan melagukan al-quran sehingga membaca panjang (mad) bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan tepat pada tempatnya
iv. Tahzin ~ membaca dgn nada sugul seperti org bersedih sampai hampir menangis
v. Tardad ~ apabila sekelompok qari meniru bacaan salah satu gaya di atas.
Bacaan alquran itu bersifat tahqiq yakni memberikan kpd setiap huruf akan haknya sesuai dgn ketentuan yg telah ditetapkan para ulama dan disertai tartil (baca dgn perlahan2 dgn tenang serta suara lembut), bersifat hadar (membaca cepat dgn tetap memperhatikan syarat2 pengucapan yg benar dan ada pula yg bersifat tadwir yakni pertengahan antara tartil dan hadar.
Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam
Posted by Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007
Soal: Ustadz yang terhormat, saya mau nanya
bagaimana hukumnya menanyi dan musik dalam pandangan Islam? Karena ada
sebagian ulama yang mengharamkan, tapi ada sebagian ulama yang
membolehkan. Mohon penjelasannya.Jawab: 1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com)
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan