Rabu, 22 April 2015

JANGAN KITA JADIKAN ISLAM HAK ORANG MELAYU ATAU ISLAM NI MELAYU PUNYA...ATAU ISLAM KENA IKUT ADAT KITA....ATAU ISLAM NI DALAM KAWALAN KITA...BERMAKNA ISLAM KENA IKUT KITA BUKAN KITA KENA IKUT ISLAM....BAHAGIAN 2




ADAKAH INI DARI ISLAM YANG ADA NAS QURAN ATAU HADIS@SUNNAH...ATAU DARI TINGGALAN HINDU ATAU KITA CIPTA SENDIRI....FIKIR2KAN....JANGAN PULA ORANG TAK IKUT CARA KITA...KITA TAK BERHUJAH PUN TERUS TUDUH SESAT....NI BAHAYA



Benarkah Kenduri Arwah Haram Di Dalam Mazhab Asy Syafie ?



MUQODDIMAH

Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyatiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in, Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namun yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.

*PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang mereka comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur, yang punya kitab i'anah at-tholibin silahkan di teliti langsung.
1. Teks arabnya ; (نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر) 
Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

2. Teks arabnya ;
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة 
“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

3. Teks arabnya ; وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم “Dalam Kitab Al Bazaz : Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.

4. “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).

5. “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).

Point kelima  itulah yang mereka comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :
=========================================================== 

POINT PERTAMA (1) : Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”. 

~Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ 
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam”
Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. 
Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.

Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

Selanjutnya,

Point Kedua (2) : Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan,terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

~Terjemahan “mereka” :“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

~Berikut teksnya (yang benar) وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) 

Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hukum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.

Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”“An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ; 

فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,  

فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.

Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية

“Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz
II/215]

Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215] 

Selanjutnya,

Point Ketiga (3) : Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hukum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

~Terjemahan Mereka : “Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”


~Berikut teks lengkapnya yang benar : 
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ

“Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakankegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”  

Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.

Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

Selanjutnya,

Point Ke-Empat (4) : Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh. 

~Terjemahan mereka ;  “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146). Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah pembohongan publik, memfitnah atas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin). 

~Berikut teks lengkapnya (yang benar) ; 

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك
.

“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya, yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita, berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya” 

Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

Kalimat yang seharusnya di lanjutkan, di potong oleh mereka. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

Selanjutnya,

Point Ke-Lima (5) : Terjemahan mereka : “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146) Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan.

~Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4 :  

. وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

“Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

“dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini, padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan.. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.

Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.



PENUTUP

Demikian apa yang bisa kami sampaikan sedikit ini untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.
Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah, demikian dulu, Wallahu a'lam bis showab..
Sumber http://ashhabur-royi.blogspot.com/2010/09/nukilan-palsu-dari-kitab-ianatuth.html











Hukum Menyediakan Kenduri Kematian

  • Array
Alhamdulillah segala pujian hanya untuk Allah, Tuhan Semesta alam. Selawat serta salam kepada junjungan agung Nabi Muhammad S.A.W, para Ummu al-Mukminin, Aalul Bait, sahabat Baginda s.a.w serta ulama’ yang menurunkan ilmu dengan seikhlas hati kerana Allah.
Makalah yang ana masukkan di blog ini ialah tulisan Ustaz Hasan Ahmad –hafizahullah- [Mantan Pensyarah UM] yang telah disiarkan oleh Majalah Pengasuh, terbitan Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK) bilangan 587. Makalah ini membincangkan isu yang mungkin dianggap kontroversi atau isu panas dalam masyarakat, namun untuk memberi maklumat dan asas perbincangan kepada umum terhadap amalan yang menjadi kebiasaan masyarakat dengan dalil dan pandangan empat mazhab – khasnya mazhab Syafie dan nukilan dari kitab jawi yang menjadi rujukan dan bacaan di masjid dan surau kita.
Tujuan siaran ini ialah untuk perbincangan bukan untuk menimbulkan kecelaruan dalam masyarakat, dan satu perkara yang perlu diingat bahawa perbincangan ini adalah tentang majlis kenduri kematian, tanpa menyentuh hukum sampaikah pahala kepada orang yang telah mati, dua perkara ini adalah berbeza. Insya’Allah akan dibincangkan dalam siri yang lain. [Penjelasan tentang Perjalanan Manusia ke Alam Akhirat boleh di lihat di: Rehlah Abadi Ke Alam Akhirat (12 Siri Khutbah) http://www.abuanasmadani.com/?p=1400 ]
PENGASUH
MAJALAH BULANAN
DAKWAH DAN HADHARAH ISLAMIYYAH
BILANGAN: 587.
KDN-MI-1390/R/20
(ISSN 0126-6462)
JULAI – OGOS 2004.

 TAJUK:
HUKUM MENYEDIAKAN KENDURI KEMATIAN”
Oleh: Ustaz Hasan
Bin Ahmad.
بسم
الله الرحمن الرحيم
 MUKADDIMAH
Sudah menjadi lumrah kepada orang Melayu yang beragama Islam di tanah air kita, apabila berlaku kematian dalam sesebuah keluarga, maka ahli keluarga si mati itu akan menyediakan makanan dan minuman.
Pada kebiasaannya, keluarga si mati akan memasak dan menyediakan nasi bungkus mengikut bilangan orang yang hadir bersembahyang jenazah atau mengikut jumlah
orang yang terlibat memberi pertolongan mentajhizkankan mayat, termasuk penggali kubur dan sebagainya. Sebaik sahaja selesai sembahyang jenazah, nasi bungkus akan diedarkan dan dibahagi-bahagikan kepada setiap orang yang turun dari rumah.
Kemudian, pada malam pertama hingga malam ke tujuh diadakan majlis tahlil kepada roh si mati, dan sesudah majlis tahlil, keluarga si mati akan menghidangkan makanan dan minuman kepada jiran dan para jemaah yang hadir, sama ada jamuan ringan atau jamuan berat mengikut kadar kemampuan masing-masing. Manakala pada malam
ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh dan ke seratus pula, pada kebiasaannya, akan dihidangkan jamuan nasi dengan aneka masakan yang enak-enak. Kemudian
setiap malam Jumaat selepas hari ke tujuh hingga hari keempat puluh atau kadang-kadang sehingga hari ke seratus, diadakan lagi majlis-majlis tahlil, dengan setiap lepas tahlil akan dihidangkan pelbagai hidangan dan masakan oleh ahli si mati.
Pendek kata, menjamu makanan dan minuman selepas kematian telah menjadi tugas yang terpaksa dilakukan oleh ahli si mati, sama ada mereka terdiri dari orang kaya
atau kurang berada (miskin). Kalau tidak dibuat, nescaya akan dicela oleh jiran tetangganya, kaum kerabatnya dan sahabat handainya. Bukan setakat dicemuh, malahan keluarga si mati yang tidak menurut resam turun temurun itu akan dipandang serong oleh masyarakat sekitar. Bermacam-macam tuduhan dan cemuhan dilemparkan kepada ahli si mati yang tidak mengikut adat tradisi itu. Umpamanya dikatakan kedekut, bakhil, tidak mengenang jasa si mati atau juga dikatakan seperti mengambus batang pisang dan sebagainya.
Itulah antara ungkapan, dan ajaran yang menggambarkan kejinya sesiapa yang meninggalkan tradisi  tersebut. Sebahagian besar dari kalangan umat Islam menganggapnya dari ajaran Islam yang penting yang tidak boleh diabaikan, kerana ianya turut dilakukan oleh orang-orang yang berpengetahuan agama, sama ada dari lepasan madrasah-madrasah pondok atau lepasan dari sekolah-sekolah arab/agama. Mana-mana individu yang mengkritik adat resam itu akan dicop dan dilabelkan sebagai Kaum Muda yang hendak merosakkan ajaran Islam yang suci.
Walau bagaimanapun, ada juga segolongan kecil umat Islam di negara kita yang berpendapat bahawa membuat dan menjamu makanan selepas kematian adalah amalan
bid’ah yang perlu ditinggalkan, kerana ia tidak pernah dibuat atau dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya.
 KEMBALI KEPADA ALLAH DAN RASULNYA
Penyusun merasa terpanggil untuk mengambil bahagian dalam perbincangan masalah perselisihan yang tidak ada kesudahan ini, dengan harapan semoga masyarakat kita, khususnya alim ulama dan bijak pandai Islam, dapat menilai siapakah sebenarnya berada di pihak yang hak dan siapakah yang berada di pihak yang kabur dalam masalah yang dinyatakan.
Ulama silam telah membentangkan kepada kita mengenai hukum sebenar membuat dan menjamu makanan kepada orang ramai selepas berlaku kematian. Antaranya ialah dengan cara membawa hadis-hadis yang menjelaskan secara khusus mengenai perkara ini:
1.      Hadis yang dikeluarkan oleh Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abdullah Bin Ja’far, beliau berkata, apabila tiba berita kematian Ja’far (bin Abi Thalib) Nabi SAW bersabda:
 اصنعوا
لأهل جعفر طعاما ، فإنه قد جاءهم ما يشغلهم.
Maksudnya: “Hendaklah kamu membuat makanan kepada ahli Ja’afar (isteri-isteri dan anak-anaknya), sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang mengharukan (menyulitkan) mereka.”
Dalam hadis diatas, Rasullulah SAW mengharapkan jiran tetangga yang tinggal berhampiran dengan keluarga si mati agar membuat makanan kepada mereka yang ditimpa musibah dan dukacita kematian. Ja’far Bin Abi Thalib r.a telah mati syahid dalam peperangan Mu’tah pada tahun kelapan hijrah. Sebaik-baik sahaja berita kematiannya sampai, Nabi SAW menyuruh jiran tetangganya melakukan perkara itu kepada ahlinya (keluarganya) bagi meringankan beban dukacita ahli keluarga dengan memberi makan kepada mereka.
2.      Hadis Jarir Bin Abdullah (r.a) katanya:
كنا
نعد الإجتماع إلي أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة.
Maksudnya:
Kami mengira berhimpun orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan selepas pengebumiannya adalah sebahagian dari ratapan kematian. (diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hanbal dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih).
Hadis diatas menunjukkan kepada kita bahawa orang ramai yang berhimpun di rumah ahli si mati dan memakan makanan yang dimasak dan disediakan oleh ahli si mati adalah sebahagian dari perbuatan ratapan kematian. Dan ratapan selepas kematian adalah perbuatan jahiliah yang hukumnya adalah haram sebagaimana dimaklumi.
 Ahli keluarga si mati tidak patut membuat makanan dan memberi makan atau menjamu orang lain, kerana perbuatan itu tidak disyarakkan.
Di bawah ini diturunkan pesanan beberapa ulama besar lagi mujtahid:
1-Imam Syafie menegaskan dalam kitabnya (الأم):
a)
وأحب
لجيران الميت أو ذى قرابته أن يعلموا لأهل الميت في يوم وليلته طعاما يشبعهم، فإن
ذلك سنة وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا، لأنه لما جاء نعى جعفر قال
رسول الله صلى عليه وسلم: اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم.
Maksudnya:
Aku suka jiran si mati atau orang yang mempunyai pertalian keluarga dengannya (keluarga jauh) memberi makan kepada ahli keluarga mayat, yang mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya, kerana itu adalah sunnah dan ingatan (
ذكر) yang mulia, dan ianya adalah perbuatan golongan yang baik-baik sebelum dan selepas kita. Ini kerana apabila tiba berita kematian Ja’far, Rasulullah SAW bersabda: “Buatlah kamu makanan kepada keluarga Ja’far kerana telah datang perkara yang mengharukan kepada mereka”
b)
وأكره
المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة

…..
Maksudnya:
Aku benci diadakan mu’tam iaitu perhimpunan, walaupun tidak ada tangisan kepada mereka, kerana sesungguhnya perbuatan itu memperbaharui dukacita dan membebankan tanggungan…[1]).
2-Kata Imam An-Nawawi dalam kitab (المجموع): Telah berkata Imam Syafie dalam (المختصر): Aku suka kepada kaum kerabat si mati dan kepada jirannya yang membuat makanan kepada ahli si mati, yang mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya. Sesungguhnya ia adalah sunnah yang dilakukan oleh golongan yang baik-baik. Kata Ashab kita (Ulama Fiqh Syafie): Membuat pelawaan bersungguh-sungguh supaya ahli si mati itu makan, walaupun mayat berada di negeri lain, juga disunatkan kepada jiran keluarga si mati membuat makanan untuk mereka[2]).
3-Shohib Assyamil (Ibn As-Sobbagh) dan orang lain berpendapat: Ahli keluarga si mati membuat makanan dan menghimpunkan orang ramai supaya makan, maka tidak ada sumber sedikit pun yang diriwayatkan, bahkan perbuatan itu bid’ah yang tidak disukai. Beliau membuat dalil dengan hadis Jarir Bin Abdullah (r.a) yang berkata: كنا
نعد الاجتماع
…….
4-Sheikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah (rhm) berkata:
“Manakala ahli si mati membuat makanan dan memanggil orang ramai supaya memakannya, adalah perbuatan itu tidak di syarakkan, bahkan ia bid’ah, berdasarkan hadis Jarir Bin Abdullah r.a yang berkata: “Kami mengira perhimpunan orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan untuk dijamu kepada orang ramai adalah sebahagian dari ratapan jahiliah.”[3])
5-Dalam kitab Fiqhussunah ada disebut: “Disunatkan membuat makanan kepada ahli si  mati, kerana ianya dari perkara kebajikan dan taqarrub kepada Allah dari jiran tetangga dan dari kaum kerabat (yang jauh)”. Imam Syafie berkata: “Aku suka kaum kerabat si mati membuat dan memberi makan kepada ahli si mati, yang boleh mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya, kerana ia adalah sunnah dan daripada perbuatan golongan yang baik-baik.”
Ulama mengatakan sunat mempelawa bersungguh-sungguh supaya ahli si mati memakan  makanan yang diberikan itu supaya mereka tidak menjadi lemah lantaran tidak menjamah makanan disebabkan terlampau terkejut dengan peristiwa kematian atau dengan sebab segan. Imam-imam  mazhab telah bersepakat bahawa hukumnya adalah makruh bagi ahli si mati membuat makanan untuk dijamu kepada orang ramai yang berkumpul kepada ahli si mati, kerana perbuatan itu menambahkan lagi musibah ke atas mereka dan memperbanyakkan lagi kesibukkan di atas kesibukkan yang telah sedia ada, dan perbuatan itu tak ubah seperti kelakuan seperti golongan Jahiliah. Hajat ini berdasarkan kepada hadis Jarir Bin Abdullah r.a yang berkata: “Kami mengira perhimpunan orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan selepas pengebumiannya adalah dari ratapan kematian.”
Sesetengah ulama mengatakan hukumnya adalah haram bagi ahli si mati membuat makanan untuk dijamu kepada orang ramai[4]).
Di dalam kitab حكم القراءة  للاءموات ada disebut: antara bid’ah yang diharamkan ialah ahli si mati memberi makan kepada orang yang memberi takziah atau memberi makan kepada faqir miskin selepas mengiring jenazah, dan pada hari Khamis, pada hari ketiga, pada hari keempat puluh dan tahunan (haul). Yang sunnahnya ialah sahabat handai dan jiran  tetangga memberi makan kepada ahli si mati kerana hadis Nabi SAW: “Hendaklah kamu membuat makanan kepada ahli Ja’far kerana sesungguhnya telah datang perkara yang telah mengharukan mereka” (diriwayatkan oleh At-Tirmizi dan selainnya dengan sanad yang sahih). Maka alangkah jauhnya perbezaan antara As-Sunnah dengan bid’ah[5]).
 7. Di dalam kitab احكام الجنائز وبدعها  ada disebut, antara amalan bid’ah ialah:
1) Ahli si mati menerima dhif tetamu dengan memberi makan kepada mereka.
2) Menerima panggilan jamuan makanan daripada ahli si mati[6].
Sunnah membuat makanan untuk ahli si mati – Pendapat empat Mazhab
Selepas kita mengikuti perbincangan dari ulama dan ulama mujtahid mengenai membuat dan menjamu makanan selepas kematian, atau dengan kata lain membuat kenduri jamuan makanan selepas kematian, maka dapat di fahamkan dari ulasan dan penerangan itu bahawa amatlah berbeza sekali apa yang di amalkan oleh kebanyakkan masyarakat Islam kita pada hari ini, kerana amalan mereka membuat kenduri jamuan makan selepas kematian adalah bercanggah dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah sahabat-sahabat dan bertentangan dengan fatwa-fatwa ulama. Oleh kerana perkara ini sangat tebal diamalkan dalam masyarakat Islam Melayu kita, maka penyusun merasa mustahak untuk membentangkan pula kepada pembaca pendapat Fuqaha’ dari empat imam mazhab sebagaimana berikut:
1- Mazhab Maliki:
Di sunatkan kepada jiran dan seumpamanya menyediakan makanan kepada keluarga si mati kerana kesibukan mereka menghadapi kematian.
2- Mazhab Hanafi:
Disunatkan kepada jiran keluarga si mati dan kaum kerabatnya yang jauh menyediakan makanan untuk ahli si mati, yang mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya, kerana sabda Nabi Muhammad SAW: “Hendaklah kamu membuat  makanan kepada ahli Ja’far, kerana sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang mengharukan mereka”. Oleh kerana memberi makan itu suatu perkara kebaikan dan ma’ruf, maka dipelawa bersungguh-sungguh kepada mereka supaya makan, kerana kesedihan telah menghalang mereka daripada memakan makanan dan menyebabkan mereka menjadi lemah.
3- Mazhab Hanbali:
Disunatkan membuat makanan untuk ahli si mati dan dihantar makanan itu kepada mereka bagi memberi pertolongan dan melembutkan hati mereka. Boleh jadi mereka sibuk dengan ujian yang diterima, juga sibuk dengan kunjungan orang ramai yang datang menemui mereka, menyebabkan mereka tidak dapat menyediakan makanan untuk diri mereka sendiri. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah Bin Ja’far bin Abi Thalib) r.ahma, Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu membuat makanan kepada ahli Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang mengharukan mereka”.
Diriwayatkan dari Abdullah Bin Abu Bakar r.anhma, beliau berkata:
“Sentiasa sunnah Nabi itu menjadi ikutan kami (sahabat Nabi) sehingga ditinggalkan oleh manusia yang meninggalkannya (yakni sehingga sunnah itu ditinggalkan dan tidak diamalkan oleh kebanyakkan orang).”
4 – Mazhab Syafie:
Sebagaimana disebut dalam kitab Al-Muhazzab (المهذب) oleh Imam Al-Syirazi[7] ).
Disunatkan kepada kaum kerabat si mati dan jirannya membuat makanan kepada ahli si mati.
(Isteri, Suami dan anak-anaknya), kerana diriwayatkan apabila Ja’far Bin Abu Thalib r.a terbunuh Nabi SAW bersabda:
“Hendaklah kamu membuat makanan kepada ahli Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang mengharukan mereka”. Imam Nawawi menyebut dalam kitab al-Majmu’ syarah kepada kitab al-Muhazzab, katanya: “Imam Syafie berkata di dalam kitab al-Mukhtasar: “Aku suka pada kaum kerabat si mati dan jirannya membuat makanan untuk ahli si mati, yang mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya, kerana sesungguhnya perbuatan itu ialah sunat dan diamalkan oleh golongan yang baik-baik.’’
Telah berkata ashab kita, (Ulama fiqh Syafie):
Dipelawakan bersungguh-sungguh kepada mereka (ahli si mati) supaya mereka makan dan walaupun mayat itu berada di negeri lain sekalipun, adakah disunatkan juga kepada jiran tetangga keluarga si mati membuat makanan untuk mereka.
Setelah kita mengikuti pendapat ulama di dalam empat mazhab mengenai membuat dan menyediakan makanan atau jamuan selepas kematian maka kita dapati semua mazhab telah bersepakat kata bahawa hukumya adalah sunat bagi jiran tetangga dan kaum kerabat yang jauh membuat makanan kepada mereka, bukan mereka membuat makanan dan menjamu jiran dan orang ramai apabila berlaku sesuatu kematian seperti yang diamalkan oleh kebanyakan masyarakat kita pada hari ini.
 Makruh ahli keluarga si mati membuat makanan untuk dijamu kepada orang ramai – pendapat Empat Mazhab
Sebagaimana yang telah dikatakan, adat resam ini menjadi amalan sebahagian besar masyarakat Islam di negara kita, malah ada sesetengah bijak pandai Islam sendiri, mempertahankan tradisi ini, tanpa berpegang kepada dalil-dalil dan hujah-hujah yang kukuh.
Bagi memahami permasalahan ini ada baiknya dibentangkan dahulu nas atas teks asal dalam bahasa Arab oleh ulama dari empat mazhab kemudian diiringi dengan maksudnya dalam bahasa Melayu.
Ø
Pendapat
Mazhab Maliki:
وجمع الناس على طعام بين
الميت بدعة مكروهة لم ينقل منها شئ, وليس ذلك موضع ولائم.
Maksudnya:
Perhimpunan orang ramai pada makanan di rumah si mati adalah bid’ah yang makruh, tidak ada sandaran riwayat yang boleh berpegang sedikit pun, dan ia bukan tempatnya yang sepatut dan ianya dicela.[8])
Ø
Pendapat
Mazhab Syafie:
وأما
إصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه , فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة.
ويستدل لهذا بحديث جرير
بن
عبد الله رضى الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة.
Maksudnya:
“Jika ahli si mati membuat makanan untuk orang ramai dan menghimpun mereka kepada makanan itu, maka ianya tidak ada sandaran riwayat yang  boleh dipegang sedikit pun, dan perbuatan itu bid’ah yang tidak disunatkan. Berdalil dengan hadis Jarir Bin Abdullah r.a: “Kami mengira perhimpunan kepada ahli si mati dan membuat makanan selepas pengebumiannya adalah dari ratapan kematian.” [9])
 Ø
Pendapat
Mazhab Hanbali:
فأما
صنع اهل الميت طعاما للناس فمكروه, لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا إلى شغلهم
وتشبها بصنع اهل الجاهلية .
Maksudnya:
Jika ahli si mati membuat makanan untuk dijamu kepada orang ramai, maka hukumnya makruh, kerana perbuatan itu menambahkan lagi ke atas musibah mereka dan memperbanyakkan lagi kesibukan ke atas kesibukan mereka yang sedia ada, dan kelakuan  itu seperti perbuatan golongan jahiliyyah.[10]
Tetapi dalam mazhab Hanbali ini ada pengecualiannya, iaitu jika terpaksa ahli si mati membuat makanan kepada orang yang datang dari perkampungan atau dari tempat-tempat yang jauh untuk menziarahi mayat, dan mereka terpaksa bermalam di rumah mereka (ahli si mati), maka tidak dapat tidak ahli si mati terpaksa menerima mereka sebagai tetamu, maka pada ketika itu hukumnya boleh memberi mereka makan.
Ø
Pendapat
Mazhab Hanafi:
ويكره اتخاذ الضيافة من
الطعام من اهل الميت ، لأنه شرع فى السرور ولا فى الشرور، وهي بدعة مستقبحة . فقد
روي الإمام احمد وابن ماجة بإسناد صحيح عن جرير بن عبدالله قال:”كنا نعد
الإجتماع إلى اهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة”.
Maksudnya:
Hukumnya adalah makruh ahli si mati menerima tetamu dengan memberi makan kepada mereka, kerana yang demikian itu hanya disyarakkan pada waktu gembira, bukan
pada waktu tidak baik (waktu sedih selepas kematian), dan ianya suatu bid’ah yang keji. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hanbal dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jarir Bin Abdullah r.a, katanya: “Kami mengira perhimpunan kepada keluarga si mati dan mereka membuat makanan (untuk dijamu kepada orang yang berhimpun itu) adalah dari ratapan kematian.”[11]
 Hujah Dari Kitab-kitab Jawi
Selepas pembentangan pendapat ulama dari empat mazhab, penyusun bentangkan pula pendapat ulama kita dalam Mazhab Syafie yang ditulis dalam bahasa Melayu lama tulisan jawi. Ulama besar yang berkemampuan tinggi di dalam agama dan bahasa Arab ini banyak mengarang kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu tulisan jawi. Kebanyakan kitab-kitab karangan mereka menjadi rujukan utama kepada penuntut-penuntut di madrasah-madrasah pondok pada zaman dahulu dan malah sehingga sekarang.
Kitab Furu’ Al–Masaail:
Antara lain yang dijelaskan di dalam kitab ini ialah:
Hukumnya makruh, dicela oleh syarak, amalan yang dibuat oleh orang ramai apa yang dinamakan kifarah dan wahsyah)[12].Iaitu berkumpul dan berhimpun serta memberi makan kepada orang ramai pada malam pertama selepas dikebumikan mayat, berhimpun dan memberi makan pada tujuh hari, dua puluh hari, empat puluh hari dan seumpamanya.
Teks atau nas asalnya berbunyi, “Dan demikian lagi yang dikerjakan manusia dengan barang yang dinamakan dia dengan kafarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan awal malam kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh harinya dan dua puluh dan empat puluh dan umpamanya, yang demikian itu haramkah atau makruh atau harus. (Maka dijawabnya) maka adalah segala yang tersebut makruh yang dicela pada syarak kerana tegah pada syarak kata Syeikh Ibnu Hajar tiada sah wasiatnya).[13]
Dari kitab Sabil Al-Muhtadin:
Ringkasan dari kitab ini ialah:
1) Hukumnya bid’ah dan makruh jika dibuat kenduri makan selepas kematian dan dijemput orang ramai supaya memakan makanan itu, samada jamuan itu dari sebelum mayat dikebumikan atau selepas dikebumikan.
2) Juga hukumnya makruh dan bid’ah kepada sesiapa yang menerima jemputan itu dan menghadirinya.
Nas asalnya berbunyi: “Dan makruh lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya manusia atas memakan dia dahulu daripada menanam dia dan
kemudian daripadanya seperti yang telah teradat dan demikian lagi makruh lagi bid’ah bagi segala mereka yang diserunya perkenankan seruan.”[14]
Dari kitab Kasyfu Al-Lithsam:
Ringkasan dari kitab ini ialah:
1)Hukumnya makruh, dicela oleh syarak, apabila ahli si mati memberi makan kepada orang ramai sebelum atau selepas pengebumian mayat.
2)Hukumnya makruh, dicela oleh syarak, membuat penyembelihan di kubur.
3)Hukumnya makruh, dicela oleh syarak, apa yang dinamakan kafarah dan wahsyah iaitu berhimpun dengan memberi makan kepada orang ramai pada malam pertama selepas pengkebumian mayat, tujuh hari, dua puluh hari, empat puluh hari dan seumpamanya seperti yang tersebut.
Nas atau teks asalnya berbunyi: “Barang yang dikerjakan oleh ahli mayat daripada mempersembahkan makanan dan perhimpunan manusia atas dahulu daripada tanam mayat dan kemudian lagi dikerjakan oleh manusia dengan barang yang dinamakan dengan kifarah dan daripada dikerjakan wahsyah yakni berhimpun memberi makan awal malam
kemudian daripada ditanam mayat dan tujuh hari dan dua puluh hari dan empat puluh hari dan umpamanya yang demikan itu yang diperbuat oleh kebanyakan orang itu maka adalah segala yang tersebut itu makruh yang dicela oleh syarak kerana tegah pada syarak.”[15]
Dari kitab Bughyatu Al-Thullab:
Ringkasan dari kitab ini antara lain ialah:
1)Sunat kepada jiran si mati, kepada kawan kenalan keluarga si mati dan kepada kaum kerabat yang jauh, membuat dan membawa makanan kepada ahli si mati yang boleh mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya.
2)Hukumnya makruh dan bid’ah jika ahli si mati membuat makanan dan menjemput orang ramai supaya memakannya, samada sebelum atau selepas pengebumian mayat.
3)Hukumnya bid’ah yang buruk lagi makruh jika diamalkan oleh orang ramai apa yang dinamakan kafarah dan wahsyah iaitu perhimpunan dengan memberi makan kepada orang ramai selepas pengebumian mayat, tujuh hari, empat puluh hari dan seumpamanya seperti yang tersebut.
4)Asal sunat memberi makan ialah memberi makan kepada ahli si mati, bukan keluarga si mati menjamu makan kepada orang lain, kerana sabda Nabi SAW: “Buatlah kamu makanan kepada ahli Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang mengharukan mereka.”
Teks asal kitab ini berbunyi: “Dan sunat bagi jiran keluarga mayat dan orang yang berkenalan dengan keluarganya, jikalau bukan jirannya sekalipun, dan segala kerabatnya yang jauh, membawa makan makanan akan orang yang kematian yang mengenyangkan mereka itu pada hari dan malamnya (serta) menyungguh-nyungguh akan mereka itu suruh memakan kerana mereka itu terkadang meninggal akan memakan sebab sangat terkejut hati mereka itu……
Dan makruh lagi bid’ah bagi orang kematian memperbuat makanan menserukan (menyerukan) segala manusia atas memakan dia, samada dahulu daripada menanam dia dan kemudian daripadanya seperti yang telah diadatkan kebiasaan manusia. Demikian lagi makruh lagi bid’ah bagi segala orang yang diserukan dia memperkenankan seruannya.”
Dan setengah daripada yang qobihah (keburukan) lagi makruh mengerjakan dia barang yang dikerjakan kebiasaan manusia barang dimakan dengan kafarah dan wahsyah dan tujuh hari dan empat puluh dan umpamanya yang demikian itu…
Adapun asal sunat menyediakan makanan itu pada barang yang dahulunya sabda Nabi SAW, “Tatkala datang khabar kematian Saidina Ja’far bin Abu Thalib pada perang Mu’tah, perbuat oleh mu bagi keluarga Ja’far makanan maka sesungguhnya telah datang akan mereka itu barang yang membimbangkan mereka itu.”[16]
 Dari kitab Bahru Al-Mazi:
Ringkasan yang diambil dari kitab ini mengenai tajuk berkenaan antara lain seperti berikut:
a) Ahli si mati (isteri/suami, anak-anaknya) memasak makanan dan menghimpun orang ramai  dan menjamu makanan kepada mereka, maka amalan itu tidak ada sedikit pun sandaran riwayat yang boleh di pegang dan diikuti dari Nabi SAW dan dari sahabatnya.
b) Hukumnya bid’ah dan makruh jika ahli si mati memasak dan mengumpulkan orang ramai dan menjamu makanan itu kepada mereka kerana berpandukan kepada hadis Jarir Bin Abdullah r.anhma katanya “Kami mengira perhimpunan orang ramai kepada ahli si mati dan membuat makanan selepas pengebumian mayat adalah daripada perbuatan ratapan kematian”.
c) Sunat kepada kaum kerabat si mati dan jiran tetangganya memasak atau membuat makanan dan diberi makan kepada ahli si mati yang boleh mengenyangkan mereka pada hari dan malamnya dan berkata Imam Syafie rhm.“Aku suka kepada kerabat si mati dan jiran tetangganya memasak makanan kepada ahli si mati yang mencukupi sehari semalam kerana ianya sunat dan perbuatan golongan yang baik-baik).[17]
 Kesimpulan
Adat kebiasaan menjemput, menghimpun orang ramai dan memberi makan kepada mereka oleh ahli si mati sebelum atau selepas pengebumian mayat telah menjadi agenda utama kepada sebahagian masyarakat kita selepas berlaku kematian. Adat seperti ini ini perlu dihapuskan dengan segera supaya tidak bertapak lagi, kerana ia bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW dan sunnah sahabatnya. Sesetengah rakan-rakan kita yang tidak peka dengan sunnah Nabi SAW sanggup mendakwa bahawa masalah ini adalah termasuk perkara yang remeh dan tidak penting. Persoalannya ialah: Apakah perbelanjaan melibatkan beratus malahan beribu ringgit kepada tempat yang bid’ah dan makruh itu termasuk perkara yang remeh-temeh?
Semua ajaran Islam adalah penting dan memberikan mizan (timbangan) di akhirat nanti. Oleh itu hendaklah kita masuk ke dalam ajaran Islam semuanya, tanpa menerima separuh dan menolak separuh yang lain. Ulama silam telah bersepakat kata, termasuk ahli fuqaha’ dari empat mazhab bahawa:
a) Makruh dan bid’ah apabila ahli si mati memasak dan menjamu makanan kepada orang ramai yang berhimpun di rumah mereka.
b) Sunat dan digalakkan kepada jiran tetangga  dan kepada kaum kerabat si mati memasak dan memberi makan kepada ahli si mati, bukan mereka (ahli si mati) yang menjamu makanan kepada jiran dan orang ramai.
c) Perhimpunan kenduri memberi makan pada malam pertama selepas kematian, tujuh hari, dua puluh hari, empat puluh hari dan seumpamanya semuanya itu hukumnya makruh dan dicela oleh syarak. Amalan dan perbuatan itu dinamakan “ كفارة   dan  وحشة.”
Setakat pembacaan penyusun dalam tajuk ini, tidak ditemui seorang ulama pun yang hukumnya sunat bagi ahli si mati memberi makan kepada orang ramai selepas berlaku kematian sebagaimana yang telah teradat dalam masyarakat kita bahkan semuanya mengatakan bid’ah dan makruh, termasuk ulama-ulama besar dari Mazhab Syafie seperti Imam Nawawi, Imam Shirazi, Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathoni, Syeikh Muhammad Abdullah Al-Banjari dan lain-lain lagi.
Kita merasa aneh dan hairan apabila dituduh dan dicopkan kaum muda ke atas orang yang menyebarkan pendapat-pendapat kibar al-ulama (ulama agung) silam
termasuk ulama mujtahidin dari empat mazhab yang menyatakan bid’ah dan makruh apabila ahli si mati berhimpun dan memberi makan kepada orang ramai dan juga mengatakan bid’ah dan makruh bagi mereka yang menyahut seruan dan panggilannya.
Soalannya siapakah sebenarnya yang didakwa sebagai kaum muda?
Adakah mereka yang mempertahankan pendapat-pendapat dari ulama tersebut? Atau adakah kaum muda yang sebenar ialah mereka yang mempertahankan adat istiadat itu dan membelakangkan pendapat ulama-ulama berkenaan tanpa berpegang kepada dalil-dalil yang benar dan kukuh.
Imam Ishaq Ibrahim As-Syirazi umpamanya (wafat pada tahun 477 hijriah bersamaan 1083 masihi) demikian juga kibarul ulama yang lain termasuk Syeikh Daud Abdullah Al-Fathoni dan Syeikh Muhammad Bin Abdullah Al-Banjari, semuanya hidup pada zaman lampau. Oleh itu tidak masuk akal kalau mereka dilabelkan sebagai kaum muda atas alasan berlawanan dengan kehendak dan adat masyarakat Islam.
Ada juga di antara pensyarah-pensyarah agama dan pendakwah yang membela adat istiadat seperti itu dan mendakwa hukumnya adalah sunat bagi keluarga  si mati membuat kenduri kepada roh si mati dengan memberi makan kepada orang ramai selepas majlis tahlil diadakan. Mereka bukan sahaja menggalakkan masyarakat Islam supaya meneruskan amalan tersebut malahan juga menuduh mana-mana pihak yang mendedahkan hukum sebenar masalah itu sebagai orang yang berjalan tanpa haluan dan arah atau sebagai orang yang tidak mempunyai ilmu yang cukup.
Ada pula di antara mereka yang mengatakan bahawa masalah ini sudah selesai, kerana ia telah dijawab oleh tok guru itu dan pak lebai ini, dan bermacam-macam lagi kata-kata yang memberi sokongan ke arah mengekalkan tradisi dan adat berkenaan.
Jawapannya, kami bukannya mengeluarkan fatwa dan menciptakan hukum baru, tetapi kami hanya memaparkan dan mendedahkan ketetapan hukum yang telah di putuskan oleh kibarul ulama dan ulama-ulama mujtahidin mengenai bid’ah dan makruh apabila ahli si mati berhimpun dan memberi makan kepada orang ramai selepas kematian.
Pada hemah kami, kalau dibandingkan ilmu antara kami dengan Syeikh Daud Bin Abdullah Al- Fathoni pun jaraknya beribu batu. Sebab itulah kami berpegang teguh dengan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh mereka itu kerana kami yakin mereka mempunyai ilmu yamg melaut luasnya, dengan dalil-dalil dan hujah-hujah yang dibentangkan oleh mereka amat teguh dan tidak dapat dipertikaikan.
Apakah mereka yang masih berpegang dengan adat istiadat mempunyai dalil-dalil yang tidak dijumpai oleh ulama mujtahidin itu? Adakah hujah yang dipegang oleh mereka lebih kuat daripada hujah yang dipegang oleh ulama mujtahidin?
Sanggupkah kita membatalkan hukum bid’ah dan makruh yang ditetapkan oleh mereka untuk diganti dengan hukum sunat, sedangkan kita tidak mempunyai dalil-dalil yang kukuh. Keputusan oleh ulama mujtahidin bukan boleh dijawab dengan sewenang-wenang seperti jawapan yang kita kemukakan kepada rakan sebaya kita. Kita tidak boleh menolak keputusan mereka itu dengan sebarang alasan sahaja, kerana selain dari dalil-dalil naqli yang telah disebut itu, ulama mujtahidin banyak mengemukakan kepada kita dalil-dalil aqli yang sangat munasabahdan logik, antaranya:
1-         Menghimpunkan orang ramai dan memberi makan kepada mereka oleh ahli si mati adalah tidak kena pada tempatnya yang layak dan munasabah, dan ianya dicela oleh syarak.
2-      Ahli si mati membuat makanan untuk diberi makan kepada orang ramai menambahkan lagi musibah mereka dan memperbanyakkan lagi kesibukan mereka diatas kesibukkan yang telah sedia ada, dan perbuatan itu seperti kelakuan golongan jahiliah.
3.         Hukumnya makruh dan bid’ah yang buruk apabila ahli si mati menerima tetamu dengan memberi makan kepada mereka, kerana penerimaan tetamu dengan memberi makan hanya disyarakkan semasa dalam kegembiraan, bukan semasa bermuram dan bersedih, kecuali jika tetamu itu datang dari tempat yang jauh dan terpaksa bermalam di rumah keluarga si mati untuk menziarahi mayat. Ketika itu sahaja dibolehkan untuk memberi makan.
 Cadangan:
1-         Apabila berlaku suatu kematian di dalam keluarga umat Islam, disarankan supaya mengelak daripada terikut-ikut dengan adat kebiasaan memasak dan memberi makan kepada orang ramai, sama ada sebelum atau selepas pengebumian mayat.
2-         Hendaklah menjauhkan diri dari melakukan amalan yang dinamakan kafarah dan wahsyah iaitu berhimpun untuk memberi makan kepada orang ramai pada malam pertama selepas pengebumian mayat, tujuh hari, dua puluh hari, empat puluh hari dan seumpamanya.
3-         Hentikan helah atau muslihat, ta’wil dan kias yang tidak sihat dengan pelbagai cara bagi mengekalkan unsur-unsur bid’ah selepas kematian.
4-         Diharapkan mendapat kerjasama umat Islam dari semua pihak, terutama dari bijak pandai Islam, bagi menghapuskan unsur-unsur bid’ah tersebut.
5-         Dicadangkan segala derma takziah yang diterima oleh keluarga si mati diinfaq atau dibelanjakan pada sedekah-sedekah jariah untuk roh si mati, seperti membina masjid, membangunkan sekolah-sekolah pendidikan Islam, pusat-pusat tahfiz al-Quran dan sebagainya. Derma takziah itu juga boleh disumbangkan kepada segala jenis “fi sabilillah”.
6-         Dicadangkan kepada masyarakat Islam pada semua peringkat agar dapat menukarkan bid’ah itu dengan al-sunnah dari Nabi SAW dan sahabat, iaitu jiran, kaum kerabat yang jauh dan sahabat handai kepada ahli si mati yang jauh dan sahabat handai kepada ahli si mati memberi makan  epada mereka apabila berlaku sesuatu kematian.
7-         Diharapkan setiap muslim dan muslimah menjadi agen penyebaran (dakwah) maklumat ini kepada masyarakat kita.
Sekali lagi perlu diulang bahawa risalah (tulisan penulis) ini bukan dari pendapat penyusun untuk menetapkan suatu hukum baru dan jauh sekali daripada mengeluarkan fatwa. Tulisan ini tidak lain kecuali sekadar mendedahkan pendapat-pendapat ulama muktabar dan ulama mujtahidin mengenai bid’ah dan makruh pada apa yang di lakukan oleh ahli si mati selepas berlaku kematian.
Diharapkan semoga usaha yang sedikit ini mendapat keredhaan Allah SWT dan moga-moga bermanfaat pada hari yang tidak berfaedah lagi segala  harta dan anak-pinak, Astaghrfirullahhalazim, wallahua’lam.


[1]Muhammad Idris As-Syafie, (الأم), juzu’ 1 halaman 278-279.
[2] Imam Nawawi, (المجموع شرح المذهب), juzu’ 5,halaman 286.
[3]Majmuk Fatwa syeikh Al-Islam Ibn Taimiyyah, juzuk 24, halaman 316.
[4]  Said Sabiq, Fiqh As-sunnah,1, halaman 427-428.
[5]  Muhammad Ahmad Abdul Salam, Hukm Al-qiraah lil Amwat, halaman 25.
[6]Muhammad Nasir Al-Bani, Ahkam Al-Janaiz wa Bid’uha’hlm. 256
[7] Abu Ishak Ibrahim
Al-Syirazi, wafat pada 476 hijriah bersamaan 1083 masihi, beliau termasuk
antara ulama’ yang agung dan mujtahid dalam mazhab Syafie
.
[8]( الشرح الصغير و حاشية
الصحاوي
)
 juzu’ 1, halaman 199.
[9]المجموع
شرح المذهب)
)  juzu’ 5, halaman 286.                                                                                                                                 
[10] (المغني اوليه
ابن قدامة الحنبلي
 )  juzu’
2, halaman 550.
[11] (فتح
القدير شرح الهداية فقه الحنفية
  )  juzu’
1, halaman 473.
[12]
Wahsyah: Maksudnya apabila keluarga si mati terputus dengan orang yang
dikasihinya . Mereka merasai dukacita, kesunyian, kesepian dan sebagainya, lalu
mereka berhimpun dan memberi makan kepada orang ramai seperti yang tersebut
itu.
[13]
Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathoni, Furu’ Al-Masail,Juzk 1 halaman 183.
[14]
Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Banjari,Sabil Al-Muhtadin, Juzuk 2 halaman 83.
[15]
Kasyfu Al-Litsam, Juzuk 1 halaman  85
.
[16] Syeikh Daud bin
Abdullah Al-Fathoni, Baghiah Al-Thullab, Juzuk 2, halaman 33-34.

[17]Bahrul Mazi, juz 7,
hlm. 129-130.






ISLAM BUKAN IKUT DEMOKRASI...YANG RAMAI ITU BETUL....YANG SIKIT ITU SALAH....YANG BETUL BERDASARKAN QURAN DAN HADIS...ISLAM TAK BOLEH TOLAK DAN TAK BOLEH TAMBAH


 WALLAHU'ALAM



Tiada ulasan: