Berilmulah, Sebelum Berkata dan Beramal!

Betapa menyedihkan, ketika sekarang banyak kita temukan kaum muslimin yang jahil tentang perkara agamanya. Di antara mereka ada yang disibukkan dengan dzikir-dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka juga ada yang disibukkan dengan demo dengan dalih menegakkan Khilafah Islamiyyah, di antara mereka pun ada yang sibuk dengan menyembah kubur atau  ngalap berkah dari orang shalih yang telah meninggal dunia, dan masih banyak lagi perkara menyedihkan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang hamba Allah yang mukmin.
Semua itu mereka lakukan bukan tanpa tujuan. Tentu di balik amalan yang dilakukan, terselip keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membela agama-Nya yang mulia. Namun, sayang seribu sayang, amal yang mereka lakukan ternyata jauh dari dasar ilmu yang diajarkan Islam. Jauh dari syari’at yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh tidak diragukan lagi bahwa ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama kita yang hanif ini. Ilmu adalah asas utama dalam agama kita,  dan dengan ilmulah syariat Islam ditegakkan. Bahkan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya pun harus dilandasi atas dasar ilmu. Dengan ilmu, seorang hamba mengetahui mana yang halal dan yang haram. Dengan ilmu pula seorang hamba mengetahui mana perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan.
Ilmu adalah dasar segala sesuatu, dengan ilmulah segala sesuatu itu dimulai, dan ilmulah yang harus didahulukan sebelum segala sesuatu tersebut dilakukan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Maka perhatikanlah ayat tersebut, Allah membuka perkataannya dengan ilmu.

Keutamaan Ilmu
Begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Di antaranya adalah:
  • Ilmu adalah jalan menuju surga
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa melalui suatu jalan untuk mencari suatu pengetahuan (agama), Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.’” (HR. Muslim)
  • Ilmu adalah sebab Allah meninggikan derajat seorang hamba di dunia dan di akhirat.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ [ محمد : 19 ]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11)
  • Ilmu adalah tanda kebaikan bagi seorang hamba.
Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia dikaruniai kepahaman agama.’” (HR. Bukhari)
  • Orang yang berilmu adalah orang yang paling takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
( إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ) [ فاطر : 28 ]
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (Faathir: 28).
  • Ilmu adalah warisan para nabi.
“Sesungguhnya ulama’ itu adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (HR. Ahmad (192/5), Abu Dawud (3241), At-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223), Ibnu Hibban (88), dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang lain, akan tetapi perlu ada pembahasan khusus mengenai hal ini, sehingga tidaklah tepat jika terlalu panjang lebar dijelaskan dalam pembahasan ini.
Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan
Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya membuat bab khusus untuk membahas hal ini yaitu bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan (باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ).
Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim menjelaskan tentang bab tersebut bahwa yang dimaksud dengan “ilmu” adalah “ilmu syar’i”, “sebelum perkataan” yaitu “sebelum mendakwahkannya”, dan “sebelum beramal dengannya”.
Oleh karena itu, jika seseorang itu berilmu, maka dia beramal di atas ilmu dan petunjuk. Dan setiap amal yang tidak dilandasi ilmu, maka akan memberikan bahaya bagi pemiliknya. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ilmu itu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikut ilmu dan amal tersebut dikumpulkan dengannya (ilmu). Setiap amal yang tidak dilandasi dengan ilmu, maka tidak akan memberikan manfaat bagi pemiliknya, bahkan memberikan madharat (bahaya) baginya, sebagaimana perkataan sebagian salaf, ‘Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya.’”
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan juga menyebutkan bahwa perkataan manusia dan amalnya tidaklah teranggap dalam timbangan syari’at kecuali jika berada di atas ilmu, sehingga ilmu adalah syarat sahnya perkataan dan perbuatan.
Hal di atas mengindikasikan bahwa suatu dakwah dan ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tergelincir ke dalam kesesatan.
Beramal Tanpa Ilmu adalah Awal Munculnya Kebid’ahan
Tidak diragukan lagi bahwa  awal mula terjadinya kebid’ahan (suatu hal baru yang diadakan dalam agama) adalah karena seseorang beramal tanpa ilmu. Dia menganggap bahwa amalnya tersebut akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal pada hakikatnya justru akan semakin menjauhkan dia dari-Nya.
Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih menjelaskan,”Ilmu itu harus ada sebelum amal. Karena setiap amal yang tidak dibangun di atas ilmu, maka tidaklah akan menambah bagi pemiliknya kecuali semakin jauh dari Allah. Oleh karena itu, beramal tanpa ilmu adalah perkara yang baru, kebid’ahan dan kesesatan.”
Maka jelaslah bahwa kebid’ahan yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini bersumber dari fatwa-fatwa dan amal-amal yang tidak dilandasi ilmu. Betapa menyedihkannya kondisi kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kebid’ahan tersebut, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Ummul mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiyallahu ‘anha  berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai perintah kami, maka dia tertolak.”)
Betapa merugi orang yang melakukan bid’ah, dia telah berusaha keras dan berpayah-payah namun pada akhirnya tidak membuahkan hasil apapun. Na’udzubillahi min dzalik.
Kemudian beliau (Syaikh Kholid) mengutip hadits dari Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakim itu terbagi tiga, satu di surga dan dua di neraka. Adapun yang di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran kemudian dia memberikan keputusan dengannya. Dan seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran, kemudian dia melanggar hukum (kebenaran tersebut), maka dia di neraka. Dan seorang lagi memberikan keputusan bagi manusia di atas kebodohan maka dia di neraka.” (Diriwayatkan oleh Imam yang empat dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang beramal dengan ilmu (yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan memberi keputusan dengan kebenaran tersebut), sebagaimana beliau juga mencela orang yang beramal tanpa ilmu (yaitu orang yang memberikan keputusan di atas kebodohan) dan menyebutkan ancaman yang datang sebagai balasan bagi mereka. Dan tidaklah orang tersebut diberikan udzur disebabkan kejahilan dan kelalaiannya dalam menutut ilmu yang wajib baginya sebelum mempercepat pemberian keputusan. Hadits di atas menunjukkan larangan berkata dan berbuat tanpa ilmu, serta wajibnya berilmu sebelum berkata dan berbuat. Sungguh berat ancaman bagi seseorang yang berfatwa tanpa ilmu. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari berkata dan berbuat yang kosong dari ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mendahulukan Ilmu dalam Doanya
Setiap kali selesai sholat shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa merutinkan sebuah doa sebagai bagian dari dzikir di pagi hari. Ummu Salamah menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah sholat Shubuh setelah beliau mengucapkan salam, beliau berdoa:
 اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً ناًفِعاً، وَ رِزْقاً طَيِّباً، وَ عَمَلاًمُتَقَبَّلًا
 (Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.)
Dalam riwayat lain: وَعَمَلًاصَالِحاً (dan amal yang shalih).” (HR. Ahmad (294/6) dan Ibnu Majah (925))
Perhatikanlah, dalam doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali doanya  dengan memohon ilmu yang bermanfaat di samping rizki yang baik dan amal yang diterima. Maka hal ini menujukkan bahwa seorang hamba tidak akan mampu membedakan antara rizki yang baik dengan yang buruk, dan juga tidak mampu membedakan amal shalih dengan amal yang salah kecuali dengan ilmu yang bermanfaat.
Ilmu Itu Bagaikan Cahaya Bagi Pemiliknya dan Orang-Orang di sekitarnya
Ilmu yang bermanfaat bagaikan cahaya untuk pemiliknya, yang cahaya tersebut merupakan penerang dan pemberi petunjuk baginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy-Syura: 52)
Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tersebut akan selalu menerangi pemiliknya. Perumpamaan orang yang berilmu di antara umat ini sebagaimana manusia yang berada dalam kegelapan, di antara mereka ada seseorang yang di tangannya terdapat lampu, kemudian orang tersebut memberikan cahaya bagi mereka untuk menerangi jalan dengan lampunya, sehingga mereka selamat dari ketergelinciran dan merekapun berhati-hati dari duri dan bahaya hingga akhirnya mereka berjalan di jalan yang lurus.
Ilmu tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri, bahkan ilmu juga mampu menjadi sebab selamatnya orang lain. Maka berbahagialah orang yang berilmu yang mampu menyebarkan ilmunya lewat perkataannya (dakwahnya), dan juga lewat amal perbuatannya. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam golongan tersebut. Aamiin.
Ahli Ilmu Bagaikan Rembulan, Sedangkan Ahli Ibadah Bagaikan Bintang
Telah masyhur di telinga kita, nukilan hadits tentang keutamaan seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya dibandingkan dengan keutamaan seorang ahli ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya keutamaan seorang ahli ilmu (yang mengamalkan ilmunya) dengan seorang ahli ibadah, bagaikan keutamaan rembulan di malam purnama dibandingkan dengan seluruh bintang-bintang.” (HR. Ahmad (192/5), Abu Dawud (3241), At-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223), Ibnu Hibban (88), dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
Tatkala bulan purnama tiba, malam terlihat begitu terang dan langitpun terlihat begitu indahnya. Namun ketika bulan tak ada, tinggallah  bintang-bintang yang tersisa, betapapun banyaknya, tetap saja tidak akan mampu menyaingi terangnya bulan purnama di malam hari. Oleh karena itu, seorang ahli ilmu, dia mampu beramal dengan ilmunya serta mampu menerangi (menjadi jalan petunjuk) bagi orang-orang di sekitarnya. Adapun seorang ahli ibadah, maka dia hanya beribadah untuk kemaslahatan dirinya sendiri.
Beramal Tanpa Ilmu Tak Ubahnya Seperti Orang Nasrani
Kita tentu tidak asing dengan ayat Allah berikut ini,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Ayat tersebut selalu kita ulang-ulang dalam setiap rakaat sholat kita. Hal ini menunjukkan betapa agungnya doa yang kita panjatkan dalam surat Al-Fatihah ini. Lalu, bagaimanakah tafsir dari ayat itu? Berikut ini adalah tafsir ringkasnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang berilmu dan beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai  adalah orang-orang yang berilmu namun tidak beramal dengan ilmunya. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang beramal tanpa dasar ilmu.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Barangsiapa yang rusak di antara ulama’ kita maka serupa dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka serupa dengan orang Nasrani.”
Hal ini dikarenakan orang-orang Yahudi itu berilmu, namun mereka tidak beramal dengan ilmu mereka, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)
لَمْ يَحْمِلُوهَا, yaitu tidak beramal dengannya. Mereka menghafalnya dan memahami apa yang terkandung di dalamnya, namun mereka tidak mengamalkannya.
Adapun orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah, maka mereka serupa dengan orang Nasrani, karena orang Nasrani adalah ahli bid’ah, suka membuat perkara yang baru dalam agama, dan ahli ibadah yang Allah tidaklah menurunkan dalil tentangnya (ibadah tersebut), dan Dia tidak mensyari’atkan ibadah (baca: bid’ah tersebut) bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia pun tidak memberikan izin untuk beribadah dengannya. Merekalah orang-orang sufi, mubtadi’ (orang yang suka berbuat bid’ah), dan pembuat kerusakan dalam perkara agama ini. Semuanya dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang sesat, dikarenakan mereka sibuk dengan ibadah, dan merekapun meninggalkan ilmu. Bahkan mereka mengatakan, “Ilmu itu akan menyibukkanmu dari beramal.” Laa haula walaa quwwata illa billah..
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang diberikan nikmat, yaitu orang yang gemar menuntut ilmu kemudian mengamalkan ilmu tersebut serta mendakwahkannya dan menjauhkan kita dari golongan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
Senantiasa kita melandasi perkataan dan perbuatan atas dasar ilmu sehingga kita mendapatkan keutamaan-keutamaan ilmu yang begitu banyak. Serta mampu melaksanakan perintah dan larangan dalam agama ini dengan sebenar-benar syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yogyakarta, 31 Mei 2011
Hamba Allah yang selalu membutuhkan Rabbnya
Aufanuri Ihrishii
Maraji’:
– Al-Irsyad fi Shahihil I’tiqad war Rad ‘ala Ahlis Syirk wal Ilhad. Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Husul Syarhi Tsalatsatil Ushul. Syaikh Abdillah bin Shalih Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Syarh Ba’dhu Fawaaidi Suratil Fatihah. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Darul Imam Ahmad.
– Syarh Ushuluts Tsalatsah al-Mushlih. Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih. Maktabah Syamilah.
– Taisirul Wushul Ilaa Tsalatsatil Ushul-Li ‘Abd. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim. Maktabah Syamilah.
– Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu. Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.