10 Perkara Yang Membatalkan Syahadah
Pintu masuk kepada Islam adalah aqidah. Kesalahan dalam memahami aqidah menyebabkan seseorang salah dalam memahami hakikat ajaran Islam. Adalah sebuah kekeliruan apabila masyarakat mencoba memahami Islam dari sudut-sudut selain aqidah, seperti melalui fiqah, tasawuf, ekonomi, atau politik, tanpa memahami aqidah terlebih dahulu.
Ketidakpahaman akan aqidah Islam yang benar, membuat orang-orang Islam melakukan hal-hal yang membatalkan ke Islaman mereka tanpa disadari. Tidak perlu heran dengan fenomena ini, karena masyarakat kita hanya tahu apa yang membatalkan wudhu, sholat, atau puasa. Sayangnya mereka tidak tahu apakah perkara yang membatalkan dua kalimah syahadah atau keislaman mereka. Mereka menganggap sekali mereka lahir dalam keaadaan Islam, dijamin syahadah mereka tidak akan batal seumur hidup.
Inilah penjajahan pemikiran yang diterima oleh masyarakat kita. Di sekolah, masjid, surau, guru-guru lebih menumpukan kepada fiqah, seperti batalnya solat, wudhu, atau puasa, sehingga mereka lupa mengajar murid-murid mereka ataupun orang ramai tentang perkara-perkara yang membatalkan Islam seseorang.
Padahal, salah satu syarat diterimanya amal solih adalah aqidah yang bersih, seperti yang dijabarkan di bawah ini:
- Hendaklah betul aqidahnya
- Ikhlas kepada Allah
- Menepati apa yang diajar oleh Rasulullah SAW.
10 Perkara Yang Membatalkan Keislaman Kita
- Syirik
- Perantara
- Enggan mengkafirkan
- Yakin yang lain
- Membenci Syariat
- Mempermainkan Islam
- Sihir
- Bantu kafir memusuhi Islam
- Mengecualikan dari Syariat
- Berpaling dari agama
Mempersekutukan Allah dalam ibadah.
2. Perantara
Menjadikan sesuatu sebagai perantara di antara dirinya dengan Allah. Misalnya meminta doa dan syafaat serta berserah diri dan bertawakkal kepada perantara tersebut. Orang yang melakukan perkara tersebut, menurut kesepakatan para ulama adalah menjadi kafir.
“Kami tidak menyembah berhala, tetapi kami ingin menjadikan berhala itu mendekatkan kami kepada Allah.” Az-Zumar 39:3
Sebagian golongan dari ajaran yang sesat, menyembah para wali, misalnya Abdul Qadir al-Jailani, Wali Songo, dll. Walaupun wali-wali tersebut adalah orang baik-baik, penyembahnya telah menjadi syrik.
3. Enggan mengkafirkan
Tidak mengkafirkan orang musryik, atau ragu-ragu terhadap kekufuran mereka, atau membenarkan ajaran mereka. Sesiapa yang melakukan demikian maka dia menjadi kafir. Ini karena mereka telah dikafirkan oleh Allah SWT. Apabila ada orang yang enggan menyatakan mereka bersalah, seakan-akan menganggap perbuatan mereka betul, maka dia telah keluar dari Islam, karena telah membantah ataupun telah menyalahkan Allah dan Rasul.
Secara ringkasnya, orang yang telah jelas kafir, tetapi ada orang Muslim yang enggan mengatakannya, seperti “Saya tidak mau mengatakan orang Hindu kafir. Dia ada caranya sendiri. Kita mengakui semua agama.”
4. Yakin dengan yang lain
Berkeyakinan bahwa petunjuk selain daripada petunjuk Nabi SAW adalah lebih baik atau lebih sempurna.
Contohnya seperti golongan yang menganggap bahwa peraturan Islam ialah peraturan yang usang dan tidak sesuai di zaman modren. Ataupun menganggap Islam sebagai penyebab kemunduran kaum Muslimin.
Barang siapa yang melakukan demikian, beriqtigad demikian, atau mengucapkan hal demikian, maka dia telah membatalkan Islamnya, dan telah masuk ke daerah kufur.
5. Membenci syariat
Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullullah SAW sebagai syariat, walaupun dia mengamalkannya. Sesiapa yang melakukan demikian itu maka dia menjadi kufur.
Contohnya seperti seseorang yang membenci syariat solat, membenci puasa, membenci hukum-hakam yang telah ditunjukkan oleh Rasul, sehingga dia membenci apabila Rasulullah menyatakan: “Makanlah dengan tangan kanan,” umpamanya.
6. Mempermainkan Islam
Mempermainkan (membuat jadi bahan lelucon) Allah, atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau sesuatu dari ajaran agama. Sesiapa yang melakukan demikian maka dia menjadi kafir.
Contohnya seperti dia bermain-main dengan hukum-hakam Al’Quran, membuat lelucon hukum-hakam Rasul, meremehkan syariat, menjadikan dia BAHAN KETAWA atau BAHAN SINDIRAN. Maka di sisi Allah SWT dia menjadi kafir.
7. Sihir
Barang siapa yang mendatangi tukang sihir dan membenarkannya, maka dia telah keluar dari ajaran agama, dan menjadi kafir.
8. Membantu orang kafir memusuhi Islam
Perbuatan menolong golongan kafir untuk menyerang masyarakat Islam, atau memusuhi umat Islam, berpakat dengan golongan kuffar, adalah perbuatan murtad, atau riddah, yang menjadikan pelakunya murtad.
9. Mengecualikan diri dari syariat
Berkeyakinan bahwa seorang individu dibolehkan untuk tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Orang yang melakukan demikian menjadi kafir.
Ini seperti iqtiqad dan keyakinan sebahagian golongan yang menganggap bahwasanya guru mereka, atau syeikh mereka, ataupun orang- orang tertentu, tidak perlu mengikuti syariat, karena sudah sampai pada maqam tertentu. Seperti golongan sufi yang berlebihan, dan ajaran-ajaran sesat yang menganggap adanya manusia-manusia istimiwa yang mereka itu tidak memakai ilmu syariat, tetapi memakai ilmu hakikat, ma’rifat dan seumpamnya.
10.Berpaling dari agama
Yang kesepuluh, ialah berpaling daripada agama Allah, atau perkara yang menjadi syarat sah sebagai muslim, tanpa mempelajarinya dan tanpa melaksanakannya.
Diringkas dari buku:
10 Perkara Batal Islam dan Apa Itu Syirik
oleh Dr. Mohd Asri Zainul Abidin – Mufti Kerjaan Negeri Perlis – Malaysia
Mengapa Amal Ibadat Kita Ditolak ???
Walaupun amalan yang dibuat begitu banyak dan tekun namun…..malaikat
yang menjaga pintu-pintu langit akan menolak amalan kita atas arahan
yang diberikan kepadanya.
Di langit pertama: amalan orang yang suka mengumpat akan dihempaskan
ke mukanya.
Di langit kedua: amalan orang yang bermegah dengan kebendaan akan
dipukulkan semula ke mukanya.
Di langit ketiga: amalan orang yang takabbur akan dipukulkan ke mukanya
Di langit keempat: amalan orang yang ‘ujub (merasa bangga kerana banyak
amalan hingga menghairankan dirinya) akan dipukulkan amalannya ke belakang dan perutnya.
Di langit kelima: amalan orang yang hasad dengki akan dipukulkan ke mukanya semula.
Di langit keenam: amalan orang yang tidak bersifat rahim ( cth mentertawakan orang yang dalam kesusahan) akan dipalukan ke muka tuannya.
Di langit ketujuh: amalan orang yang ria’ akan dipalukan amalannya ke muka dan segala anggota badannya dan…….
Di langit kelapan: amalan orang yang tidak benar-benar ikhlas akan dilaknati oleh Allah………
Petikan Fazilat Rejab, Syaaban dan Ramadan oleh Bubiman Radzi.
Di langit pertama: amalan orang yang suka mengumpat akan dihempaskan
ke mukanya.
Di langit kedua: amalan orang yang bermegah dengan kebendaan akan
dipukulkan semula ke mukanya.
Di langit ketiga: amalan orang yang takabbur akan dipukulkan ke mukanya
Di langit keempat: amalan orang yang ‘ujub (merasa bangga kerana banyak
amalan hingga menghairankan dirinya) akan dipukulkan amalannya ke belakang dan perutnya.
Di langit kelima: amalan orang yang hasad dengki akan dipukulkan ke mukanya semula.
Di langit keenam: amalan orang yang tidak bersifat rahim ( cth mentertawakan orang yang dalam kesusahan) akan dipalukan ke muka tuannya.
Di langit ketujuh: amalan orang yang ria’ akan dipalukan amalannya ke muka dan segala anggota badannya dan…….
Di langit kelapan: amalan orang yang tidak benar-benar ikhlas akan dilaknati oleh Allah………
Petikan Fazilat Rejab, Syaaban dan Ramadan oleh Bubiman Radzi.
Ketika Beramal Tanpa Ilmu
Selasa, 19 April 2011 16:11:02 WIB
Kategori : Al-Ilmu
Kategori : Al-Ilmu
KETIKA BERAMAL TANPA ILMU
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid ...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:
... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid ...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:
... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).
TANDA, SEBAB DAN KESAN SOMBONG
Perkataan kibir mengikut istilah bahasa
Melayu, ertinya ialah sombong atau angkuh. Pengertian dalam bahasa moden
ialah ego. Mengikut syariat Islam, erti kibir ialah membesarkan diri
kerana merasakan diri mempunyai kelebihan dan keistimewaan sehingga lupa
kepada Allah dan menderhakainya. Pengertian mengikut istilah syariat
inilah yang akan dihuraikan di sini.
Sifat kibir atau sombong atau angkuh atau ego bermakna membesarkan diri kerana hati merasakan diri mempunyai kelebihan, keistimewaan dan kehebatan. Ia merupakan sifat batin (mazmumah) yang paling keji. Bahkan ia adalah sifat batin yang sangat jahat.
Dosa dan kesalahan pertama yang dilakukan oleh makhluk Allah terhadap Allah ialah sifat sombong. Iblis enggan sujud kepada Nabi Adam a.s. sewaktu Allah memerintahkannya. Dia membesarkan diri lantaran merasakan dirinya lebih utama dan lebih mulia daripada Nabi Adam a.s. Kejadiannya daripada api sedangkan Nabi Adam a.s. daripada tanah. Itu saja penyebab yang dia rasa dirinya lebih hebat dan istimewa.
Peristiwa kesombongan iblis ini Allah ceritakan dalam Al Quran, firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami memerintahkan kepada malaikat: ‘Sujudlah kepada Ada.’ Dia (Iblis) enggan dan membesarkan dirinya. Maka sesungguhnya dia adalah dari golongan musyrik.” (Al Baqarah: 34)
Di sini Allah menceritakan bagaimana keengganan iblis untuk tunduk dan taat dengan arahan Allah. Bahkan ia membesarkan diri kerana merasa dirinya lebih hebat dan mulia daripada Nabi Adam a.s. Maka dia menjadi kafir dan menerima kutukan Allah dunia Akhirat. Allah keluarkan dia dari Syurga yang penuh nikmat dan menukar wajahnya menjadi seburuk-buruk rupa. Di sinilah bermula dendamnya kepada Nabi Adam a.s. dan anak cucu cicitnya yang tidak pernah padam sesaat pun. Jelas, daripada penyakit sombong ini akan lahirlah penyakitpenyakit batin yang lain seperti pemarah, pendendam dan hasad dengki.
Dari sini lahirlah buahnya di dalam tindakan lahir seperti kasar, keras, mengangkat-angkat diri, mengumpat dan menghina orang, menganiaya, penindasan, diskriminasi, penzaliman dan pembunuhan. Sebab itu sombong sangat dimurkai Allah SWT. Kesan daripada sifat sombong ini tercetus kerosakan dalam kehidupan masyarakat seperti hilang kasih sayang, pecah per-paduan, saling berdendam, hina-menghina, kata-mengata dan jatuh-menjatuhkan serta berbunuh-bunuhan. Itulah kemuncaknya. Sebab itu sifat sombong ini mesti dikikisbuangkan.
Sifat sombong ini hanya layak bagi Allah. Ia pakaian Tuhan maka makhluk tidak berhak memakainya. Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi: “Sombong itu selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa merampas salah satu darinya, Aku lemparkan dia ke Neraka Jahannam.” (Riwayat Abu Daud)
Di antara ayat Quran yang sangat melarang kita memakai sifat kibir ini ialah: “Sesungguhnya orang-orang yang meyombongkan diri daripada menyembah-Ku, akan masuk ke Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al Mukmin: 60) “Janganlah kamu berjalan dengan menyombomgkan diri kerana sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan ketinggianmu tidak akan melepasi gunung.” (Al Israk: 37) “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang sombong.” (An Nahl: 23)
Sedangkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang lain yang sebanyak 99 (Asmaul Husna) itu tidak salah untuk hamba-hamba-Nya memilikinya. Misalnya sifat Rahman, Rahim, Kaya, Kasih Sayang, Pemurah, Pemaaf, Alim dan lain-lain lagi. Ini dibenarkan bahkan diperintahkan supaya kita memilikinya. Oleh kerana sifat sombong ini menjadi punca tercetusnya penyakit-penyakit batin (mazmumah) yang lain sehingga melahirkan kejahatan-kejahatan lahiriah yang banyak di tengah kehidupan masyarakat, maka sombong ini sangat dikeji dan dimurkai Allah. Rasulullah SAW juga ada mengingatkan dalam Hadis baginda tentang bahayanya sifat sombong. “Tidak akan masuk Syurga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.” (Riwayat Muslim)
Tidak akan masuk Syurga, ertinya ke Nerakalah jawabnya. Dengan membawa sikap sombong, di dunia lagi orang tidak suka dan tidak ada kedamaian jiwa. Di Akhirat terjun ke Neraka. Sebab itu sombong ini mesti dicabut sampai ke akar umbinya hingga tidak ada walaupun sebesar zarah, barulah kita selamat. Walhal mengikut kata Imam Al Ghazali, sifat sombong ini hampir-hampir mustahil dapat dibuang. Oleh itu kita mesti mengenal pasti lebih dahulu tanda-tanda penyakit ini dan sebab atau punca-punca penyakit supaya mudah mengubati atau mengikisnya.
TANDA-TANDA SIFAT SOMBONG
Langkah-langkah untuk mengenal pasti adanya penyakit ini ialah melalui pergaulan sesama manusia. Melalui pergaulan, akan dapat dikesan sifat sombong sama ada sombong yang keterlaluan, sederhana atau ringan.
Apakah tanda-tanda seseorang itu memiliki sifat sombong? Di antaranya:
1. Payah menerima pandangan orang lain sekalipun hatinya merasakan pandangan orang itu lebih baik daripadanya. Apatah lagi kalau pandangan itu datang daripada orang yang lebih rendah daripadanya sama ada rendah umur, pangkat atau lain-lain lagi.
2. Mudah marah atau emosional. Bila berlaku perbincangan dua hala, cepat tersinggung atau cepat naik darah kalau ada orang tersilap atau tersalah.
3. Memilih-milih kawan. Suka berkawan hanya dengan orang yang satu ‘level’ atau sama taraf dengannya. Manakala dengan orang bawahan atau lebih rendah kedudukannya, dia tidak suka bergaul atau bermesra, takut jatuh status atau darjat dirinya. Bahkan dengan orang yang sama level dengannya pun masih dipilih-pilih lagi. Yakni dia suka dengan orang yang mahu mendengar dan mentaati kata-katanya. Mereka inilah saja yang dia boleh bermesra, duduk sama atau semajlis dengannya.
4. Memandang hina pada golongan bawahan.
5. Dalam perbahasan atau perbincangan, selalunya dia suka meninggikan suara atau menguatkan suara lebih daripada yang diperlukan.
6. Dalam pergaulan dia suka kata-katanya didengari, diambil perhatian dan diikuti. Sebaliknya di pihaknya sendiri, susah untuk mendengar cakap atau nasihat orang lain serta tidak prihatin dengan cakap orang. Apatah lagi untuk mengikut cakap orang lain.
7. Dalam pergaulannya, dia saja yang memborong untuk bercakap dan tidak suka memberi peluang kepada orang lain bercakap. Kalau ada orang lain bercakap, dia suka memotong percakapan orang itu.
8. Kalau dia jadi pemimpin, dia memimpin dengan kasar dan keras terhadap pengikut-pengikutnya atau orang bawahannya. Ia membuat arahan tanpa timbang rasa dan tidak ada perikemanusiaan. Kalau dia menjadi pengikut, susah pula untuk taat dan patuh pada pemimpinnya.
9. Susah hendak memberi kemaafan kepada orang yang tersilap dengannya. Bahkan ditengking-tengking, diherdik, dikata-kata atau dihina-hina. Di belakangnya diumpat-umpat.
10. Kalau dia yang bersalah, susah dan berat hendak minta maaf. Rasa jatuh wibawa bila merendah diri meminta maaf. Bahkan dia tidak mengaku bersalah.
11. Dia suka dihormati. Tersinggung kalau tidak dihormati. Tetapi dia sendiri susah atau berat untuk menghormati orang lain.
12. Mudah berdendam dengan orang lain terutamanya bila orang itu tersilap.
13. Suka menzalimi orang sama ada secara kasar atau secara halus.
14. Kurang bermesra dengan orang kecuali terpaksa kerana perlukan orang itu atau kerana takutkan orang itu.
15. Suka memperkatakan keburukan orang seperti mengumpat, memfitnah serta membenci orang.
16. Kurang menghormati pemberian orang atau tidak menghargai pemberian orang lain.
17. Suka mengangkat-angkat diri atau menceritakan kelebihan diri.
18. Suka menghina dan menjatuhkan air muka orang di hadapan orang lain.
19. Kurang menghormati nikmat-nikmat Allah. Kalau ada makanan, berlaku pembaziran atau membuang makanan yang berlebihan. Kalau ada pakaian walaupun masih elok dipakai tetapi suka berganti dengan yang baru. Pakaian yang lama dibuang. Kalau ada duit lebih, suka beli barang yang tidak diperlukan. Semua itu lebih digemari daripada memberi nikmat yang berlebihan itu kepada orang lain.
20. Kalau berdiri, lebih suka bercekak pinggang (kerana membesarkan diri). Kalau bercakap, menepuk-nepuk meja dan suka mencemik. Kalau berjalan suka bergaya, menghentak-hentak kaki atau berjalan membusung dada.
21. Kurang memberi simpati atau kurang menolong orang lain melainkan ada tujuan-tujuan dunia atau kerana takut dengan orang itu.
22. Kurang minat menerima tetamu atau tidak suka jadi tetamu orang.
23. Tidak suka menyebut kelebihan-kelebihan orang lain kerana takut mencabar dirinya.
24. Kesalahan-kesalahan orang lain dibesar-besarkan sedangkan kesalahan sendiri didiamkan, disorokkan, buat-buat tidak tahu atau cuba mempertahankan diri supaya orang menganggap dia tidak bersalah.
25. Sangat tidak senang dengan kejayaan atau kebolehan orang lain.
26. Dia sangat tersinggung kalau ada orang memuji-muji atau menyebut kelebihan-kelebihan orang lain di hadapannya. Tetapi kalau dia dipuji, terserlah pada air mukanya rasa bangga dan senang hati.
Senarai tanda-tanda, riak-riak atau sikap-sikap di atas sudah cukup jelas untuk kita dapat mengenali sifat sombong ini. Bila sudah dikenal pasti ertinya memudahkan kita mengatasi atau mencabut sifat keji ini.
SEBAB-SEBAB SOMBONG
Sebelum mencabut sifat sombong yang keji ini perlu kita tahu kenapa sifat ini boleh berlaku. Ini juga merupakan faktor pem-bantu untuk memudahkan kita mengikis sifat ini. Macamlah jerawat yang ada di pipi. Kalau kita kenal tanda jerawat, kemudian tahu kenapa boleh timbul jerawat, barulah mudah untuk kita mengubat jerawat itu.
Faktor-faktor penyebab yang menjadikan seseorang itu memiliki sifat-sifat sombong, di antaranya ialah:
1. Memiliki kuasa, sama ada dia memiliki kuasa besar atau kecil. Kuasa besar itu seperti jadi raja, presiden, perdana menteri, gabenor dan lain-lain lagi. Kuasa kecil seperti jadi pegawai, D.O., penghulu, guru besar, guru-guru dan lain-lain lagi. Kuasa yang ada itu mendorongnya menjadi sombong.
2. Mempunyai ilmu pengetahuan sama ada pengetahuan tentang dunia atau pengetahuan tentang Akhirat. Sama ada pengetahuan di banyak bidang atau di satu bidang. Ini jadi pendorong seseorang itu menjadi sombong kerana dia rasa lebih pandai daripada orang lain.
3. Mempunyai harta kekayaan. Harta juga mendorong seseorang itu menjadi sombong.
4. Mempunyai kegagahan iaitu orang yang mempunyai kekuatan fizikal atau mempunyai kepandaian dalam mempertahankan diri seperti tinju, gusti, tae kwan do, silat dan lain-lain lagi. Ini juga mendorongnya menjadi sombong.
5. Keturunan. Ada orang jadi sombong kerana berketurunan bangsawan, berketurunan ulama dan lain-lain lagi, lantas merasa diri mulia serta memandang orang lain hina berbanding dengan dirinya.
6. Sebab-sebab yang lain seperti berwajah tampan dan cantik, disayangi oleh orang besar, disayangi suami, disayangi oleh ibu ayah dan lain-lain lagi. Ini juga pendorong menjadi sombong.
7. Bukan sebab-sebab yang di atas tadi, tapi mungkin dia orang miskin atau orang jahil atau orang hodoh atau orang cacat atau orang lemah sedangkan dia tetap sombong. Ini dikatakan bodoh sombong. Orang ini walaupun tidak ada sebab khusus untuk dia berlaku sombong tetapi oleh kerana benih sifat sombong yang semula jadi ada dalam diri itu tidak terdidik dan tidak cuba untuk dikikisbuangkan atau tidak dicabut, bahkan disuburkan, maka tetaplah dia dengan sikap sombongnya.
Golongan yang sombong di taraf ini bilamana tidak sedar atau tidak kenal dirinya yang sebenar, inilah yang jadi pendorong dia bersifat sombong. Kalau begitu ada golongan manusia yang sombongnya bersebab dan ada pula golongan manusia yang sombongnya tidak bersebab. Tetapi kebanyakan manusia itu sombongnya bersebab, seperti yang disebutkan di atas tadi. Bersebab atau tidak, sifat sombong tetap mesti dicabut dan dibuang. Jika tidak, ia akan memberi kesan yang buruk di tengah kehidupan masyarakat.
KESAN SIFAT SOMBONG
Di antara kesan sifat sombong ialah:
1. Orang benci kepadanya. Fitrah semula jadi manusia tidak suka kepada orang yang bersifat sombong ini. Hati yang benci-membenci tentulah tidak ada kasih sayang, akhirnya tidak wujud perpaduan. Ini bererti umat Islam tidak ada kekuatan. Risikonya, Islam menjadi lemah, lumpuh dan runtuh kerana tidak ada pautan hati antara satu sama lain. Ini sangat merugikan umat Islam dan Islam sendiri. Maknanya, apabila sifat sombong dimiliki bersama, semuanya bersalah dan berdosa sehingga menyebabkan tamadun roh dan tamadun material tidak dapat dibangunkan.
2. Mudah marah, di mana kebiasaannya kemarahan akan berakhir dengan perbalahan dan pergaduhan.
3. Bilamana wujud sifat sombong, lahirlah penyakit yang berikutnya iaitu mudah berdendam, hasad dengki dengan manusia, mudah hendak bertindak balas di atas kesilapan orang lain. Kadang-kadang belum tentu silapnya, dia telah gopoh-gapah bertindak. Mudah pula sakit hati terhadap kejayaan dan kebolehan orang lain sehingga berusaha se-daya upaya untuk merosakkan atau menjatuhkan orang itu. Akhirnya tentulah timbul permusuhan sesama manusia. Lebih besar dari itu, akan berakhir dengan peperangan dan pembunuhan bilamana berlaku tindak balas daripada orang lain atau golongan lain pula.
Kesombongan sangat membahayakan masyarakat manusia dan dunia seluruhnya. Lantaran ini Allah sangat murka dan Allah tempatkan mereka ini di Neraka bersama Firaun, Namrud, Hamman dan lain-lain orang yang zalim dan angkuh itu.
Memandangkan betapa merbahayanya penyakit ini maka usaha-usaha lahir mesti dibuat untuk membendungnya. Beberapa panduan dan kaedah diberi untuk mengikisbuang dan mengubatinya secepat mungkin secara serius supaya kita tidak terus mengidap penyakit yang mengerikan ini.
Di antara cara-caranya ialah:
1. Ada ilmu tentang sifat-sifat mazmumah.
Adanya ilmu ibarat ada cahaya yang mampu menyuluh sifat-sifat mazmumah di dalam diri itu termasuk sifat kibir atau sombong. Perlunya ilmu kerana ia merupakan sifat batiniah yang sesetengah orang payah mengesannya tetapi mudah pula dikesan oleh orang lain.
2. Bawa berfikir selalu tentang kejadian manusia.
Sedarkan hati kita bahawa soal kejadian manusia itu adalah sama. Yakni daripada tanah dan mati kembali ke tanah semula. Walau bagaimana hebat sekalipun seseorang itu, kejadiannya sama dengan orang lain. Kejadian yang pertama asalnya daripada tanah. Walaupun berdarjat, berpangkat, berkuasa, berharta, berilmu, sama ada yang alim atau tidak, yang kaya atau miskin, yang cantik atau buruk, namun mereka semuanya sama. Samasama berasal daripada tanah.
Lihatlah raja-raja besar seperti Firaun. Walau bagaimana hebatnya dia sehingga mengaku dirinya tuhan, di manakah dia sekarang? Bukankah dia tidak dapat mempertahankan kehebatannya, akhirnya mati dan kembali ke tanah! Jadi untuk apa dibangga-banggakan dengan kehebatan dan keistimewaan masing-masing. Sedangkan semuanya setaraf, yakni berasal daripada tanah dan akhirnya kembali ke tanah jua. Tidak mampu untuk memanjangkan umur sendiri.
3. Fikirkan dan sedarkan hati kita bahawa kejadian manusia yang kedua adalah daripada air mani yang hina.
Kalau diperlihatkan kepada manusia, amat jijik dan benci sekali untuk melihatnya. Ertinya, kejadian manusia itu tidak ada beza di antara satu sama lain, sama ada orang kaya, orang berilmu, pembesar atau lain-lain lagi, semuanya berasal daripada air mani yang hina. Kalaulah orang kaya berasal daripada intan, pembesar daripada emas, orang berilmu daripada berlian dan orang biasa berasal daripada air mani, boleh jugalah berbanggabangga. Ini tidak, semuanya berasal daripada benda yang sama iaitu air mani yang hina. Dari segi kejadian, tidak ada perbezaan apa-apa pun. Jadi untuk apa kita berbangga-bangga dengan keistimewaan diri pada orang lain?
4. Melihat respon orang lain terhadap kita.
Dalam pergaulan hidup, dapat dikesan respon orang lain kepada kita. Kalau kita sombong, semua orang akan benci. Anak isteri tidak suka, jiran-jiran meluat, kenalan renggang dan pengikut tidak suka. Apa pendapat kita? Adakah untung kita mempertahankan sikap begitu? Apalah indahnya! Bukankah kita dapat rasakan betapa buruk padahnya akibat mempertahankan penyakit keji dan jahat ini. Lebih-lebih lagi kerja kita tidak semua kita mampu uruskan sendiri. Lagi tinggi pangkat dan darjat, lagi banyak urusan kerja yang perlu dibereskan, dibantu oleh tenaga-tenaga orang lain sama ada secara langsung mahupun tidak langsung.
Oleh itu pertolongan, bantuan dan titik peluh orang lain tidak boleh kita lupakan. Kalau tidak ada mereka ertinya kita tidak jadi hebat dan kaya. Kalau begitu untuk apa kita rasa lebih istimewa?
Bilamana orang sudah benci, di waktu-waktu tertentu seperti waktu sakit atau waktu kematian atau kecemasan, masyarakat akan pulaukan. Atau lambat-lambatkan bantuan atau tidak beri bantuan supaya kita terasa susah lebih dahulu. Ini semua hasil dari mereka sakit hati dengan sifat sombong kita itu.
5. Ambil iktibar dari pengalaman hidup.
Apabila ada kelebihan, keistimewaan dan kehebatan, bolehkah bersifat sombong? Cuba fikirkan kejadian-kejadian yang berlaku dalam pengalaman hidup seharian. Apakah kita berkuasa mengelakkan diri daripada sakit? Apakah kita mampu melawan kuasa tentera Allah yang dihantar melalui bencana alam dan lain-lain lagi? Apakah anda mampu melawan kematian dengan kesombongan dan kekibiran itu? Tentu tidak! Kalau begitu kenapa kita merasakan lebih istimewa daripada orang lain? Walhal tidak ada keistimewaan apa-apa pun yang menjadi milik kita. Semua itu Allah pinjamkan sekejap. Jadi tidak ada apa-apa pun kehebatan kita jika dibandingkan dengan orang lain. Kadang-kadang Allah beri kita kelebihan ilmu, kekayaan, pangkat dan lain-lain, tapi dalam masa yang sama kitalah yang paling banyak mengidap sakit. Misalnya sakit jantung, kencing manis, darah tinggi dan lain-lain sehingga kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan itu semuanya tidak ada erti apaapa lagi. Akhirnya, nikmat yang dikumpul-kumpulkan sekian lama, tidak dapat dinikmati sendiri tetapi dinikmati oleh orang lain. Oleh itu untuk apa dibangga-banggakan dengan kehebatan yang ada itu?
6. Ingat azab Allah untuk orang yang sombong.
Cubalah renungkan. Ingatkanlah di hati bahawa sombong ini sangat dimurkai oleh Allah. Kita dianggap sudah merampas pakaian-Nya. Akibatnya, kita akan dicampakkan ke Neraka yang panas apinya 70 kali ganda kekuatan api dunia dan dalamnya 70 ribu tahun perjalanan baru sampai ke dasarnya.
Ingatkan Neraka yang keseluruhannya api. Di atasnya api, di bawahnya api, di kiri api, di kanan api, di depan api, di belakang api yang memakan dan menghanguskan daging-daging dan tulang-belulang. Kemudian diganti lagi dengan tubuh yang baru dan diseksa lagi. Begitulah berulang-ulang berlaku sepanjang masa. Walhal di waktu itu kita dibelenggu kaki dan tangan serta dicemeti berterusan oleh malaikat Zabaniah. Bau Neraka yang busuk itu tidak dapat digambarkan. Kalaulah ditakdirkan bau itu tercium oleh penduduk dunia, akan matilah semua lantaran busuknya.
Perkara-perkara di atas tadi perlu difikir-fikirkan, direnung-renungkan dan diulang-ulang memikirkannya. Diingat selalu dalam hati hingga tidak dapat dilupakan lagi. Kesannya nanti akan timbul rasa malu dan takut untuk kita bersikap ego dengan Tuhan dan dengan manusia. Dengan cara-cara atau kaedah ini moga-moga membantu kita mudah untuk bermujahadah menumpaskan sombong ini. Harapan kita moga-moga Allah sentiasa memimpin kita agar menjadi hamba-hamba-Nya yang merendah diri.
Sifat kibir atau sombong atau angkuh atau ego bermakna membesarkan diri kerana hati merasakan diri mempunyai kelebihan, keistimewaan dan kehebatan. Ia merupakan sifat batin (mazmumah) yang paling keji. Bahkan ia adalah sifat batin yang sangat jahat.
Dosa dan kesalahan pertama yang dilakukan oleh makhluk Allah terhadap Allah ialah sifat sombong. Iblis enggan sujud kepada Nabi Adam a.s. sewaktu Allah memerintahkannya. Dia membesarkan diri lantaran merasakan dirinya lebih utama dan lebih mulia daripada Nabi Adam a.s. Kejadiannya daripada api sedangkan Nabi Adam a.s. daripada tanah. Itu saja penyebab yang dia rasa dirinya lebih hebat dan istimewa.
Peristiwa kesombongan iblis ini Allah ceritakan dalam Al Quran, firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami memerintahkan kepada malaikat: ‘Sujudlah kepada Ada.’ Dia (Iblis) enggan dan membesarkan dirinya. Maka sesungguhnya dia adalah dari golongan musyrik.” (Al Baqarah: 34)
Di sini Allah menceritakan bagaimana keengganan iblis untuk tunduk dan taat dengan arahan Allah. Bahkan ia membesarkan diri kerana merasa dirinya lebih hebat dan mulia daripada Nabi Adam a.s. Maka dia menjadi kafir dan menerima kutukan Allah dunia Akhirat. Allah keluarkan dia dari Syurga yang penuh nikmat dan menukar wajahnya menjadi seburuk-buruk rupa. Di sinilah bermula dendamnya kepada Nabi Adam a.s. dan anak cucu cicitnya yang tidak pernah padam sesaat pun. Jelas, daripada penyakit sombong ini akan lahirlah penyakitpenyakit batin yang lain seperti pemarah, pendendam dan hasad dengki.
Dari sini lahirlah buahnya di dalam tindakan lahir seperti kasar, keras, mengangkat-angkat diri, mengumpat dan menghina orang, menganiaya, penindasan, diskriminasi, penzaliman dan pembunuhan. Sebab itu sombong sangat dimurkai Allah SWT. Kesan daripada sifat sombong ini tercetus kerosakan dalam kehidupan masyarakat seperti hilang kasih sayang, pecah per-paduan, saling berdendam, hina-menghina, kata-mengata dan jatuh-menjatuhkan serta berbunuh-bunuhan. Itulah kemuncaknya. Sebab itu sifat sombong ini mesti dikikisbuangkan.
Sifat sombong ini hanya layak bagi Allah. Ia pakaian Tuhan maka makhluk tidak berhak memakainya. Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi: “Sombong itu selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa merampas salah satu darinya, Aku lemparkan dia ke Neraka Jahannam.” (Riwayat Abu Daud)
Di antara ayat Quran yang sangat melarang kita memakai sifat kibir ini ialah: “Sesungguhnya orang-orang yang meyombongkan diri daripada menyembah-Ku, akan masuk ke Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al Mukmin: 60) “Janganlah kamu berjalan dengan menyombomgkan diri kerana sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan ketinggianmu tidak akan melepasi gunung.” (Al Israk: 37) “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang sombong.” (An Nahl: 23)
Sedangkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang lain yang sebanyak 99 (Asmaul Husna) itu tidak salah untuk hamba-hamba-Nya memilikinya. Misalnya sifat Rahman, Rahim, Kaya, Kasih Sayang, Pemurah, Pemaaf, Alim dan lain-lain lagi. Ini dibenarkan bahkan diperintahkan supaya kita memilikinya. Oleh kerana sifat sombong ini menjadi punca tercetusnya penyakit-penyakit batin (mazmumah) yang lain sehingga melahirkan kejahatan-kejahatan lahiriah yang banyak di tengah kehidupan masyarakat, maka sombong ini sangat dikeji dan dimurkai Allah. Rasulullah SAW juga ada mengingatkan dalam Hadis baginda tentang bahayanya sifat sombong. “Tidak akan masuk Syurga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan.” (Riwayat Muslim)
Tidak akan masuk Syurga, ertinya ke Nerakalah jawabnya. Dengan membawa sikap sombong, di dunia lagi orang tidak suka dan tidak ada kedamaian jiwa. Di Akhirat terjun ke Neraka. Sebab itu sombong ini mesti dicabut sampai ke akar umbinya hingga tidak ada walaupun sebesar zarah, barulah kita selamat. Walhal mengikut kata Imam Al Ghazali, sifat sombong ini hampir-hampir mustahil dapat dibuang. Oleh itu kita mesti mengenal pasti lebih dahulu tanda-tanda penyakit ini dan sebab atau punca-punca penyakit supaya mudah mengubati atau mengikisnya.
TANDA-TANDA SIFAT SOMBONG
Langkah-langkah untuk mengenal pasti adanya penyakit ini ialah melalui pergaulan sesama manusia. Melalui pergaulan, akan dapat dikesan sifat sombong sama ada sombong yang keterlaluan, sederhana atau ringan.
Apakah tanda-tanda seseorang itu memiliki sifat sombong? Di antaranya:
1. Payah menerima pandangan orang lain sekalipun hatinya merasakan pandangan orang itu lebih baik daripadanya. Apatah lagi kalau pandangan itu datang daripada orang yang lebih rendah daripadanya sama ada rendah umur, pangkat atau lain-lain lagi.
2. Mudah marah atau emosional. Bila berlaku perbincangan dua hala, cepat tersinggung atau cepat naik darah kalau ada orang tersilap atau tersalah.
3. Memilih-milih kawan. Suka berkawan hanya dengan orang yang satu ‘level’ atau sama taraf dengannya. Manakala dengan orang bawahan atau lebih rendah kedudukannya, dia tidak suka bergaul atau bermesra, takut jatuh status atau darjat dirinya. Bahkan dengan orang yang sama level dengannya pun masih dipilih-pilih lagi. Yakni dia suka dengan orang yang mahu mendengar dan mentaati kata-katanya. Mereka inilah saja yang dia boleh bermesra, duduk sama atau semajlis dengannya.
4. Memandang hina pada golongan bawahan.
5. Dalam perbahasan atau perbincangan, selalunya dia suka meninggikan suara atau menguatkan suara lebih daripada yang diperlukan.
6. Dalam pergaulan dia suka kata-katanya didengari, diambil perhatian dan diikuti. Sebaliknya di pihaknya sendiri, susah untuk mendengar cakap atau nasihat orang lain serta tidak prihatin dengan cakap orang. Apatah lagi untuk mengikut cakap orang lain.
7. Dalam pergaulannya, dia saja yang memborong untuk bercakap dan tidak suka memberi peluang kepada orang lain bercakap. Kalau ada orang lain bercakap, dia suka memotong percakapan orang itu.
8. Kalau dia jadi pemimpin, dia memimpin dengan kasar dan keras terhadap pengikut-pengikutnya atau orang bawahannya. Ia membuat arahan tanpa timbang rasa dan tidak ada perikemanusiaan. Kalau dia menjadi pengikut, susah pula untuk taat dan patuh pada pemimpinnya.
9. Susah hendak memberi kemaafan kepada orang yang tersilap dengannya. Bahkan ditengking-tengking, diherdik, dikata-kata atau dihina-hina. Di belakangnya diumpat-umpat.
10. Kalau dia yang bersalah, susah dan berat hendak minta maaf. Rasa jatuh wibawa bila merendah diri meminta maaf. Bahkan dia tidak mengaku bersalah.
11. Dia suka dihormati. Tersinggung kalau tidak dihormati. Tetapi dia sendiri susah atau berat untuk menghormati orang lain.
12. Mudah berdendam dengan orang lain terutamanya bila orang itu tersilap.
13. Suka menzalimi orang sama ada secara kasar atau secara halus.
14. Kurang bermesra dengan orang kecuali terpaksa kerana perlukan orang itu atau kerana takutkan orang itu.
15. Suka memperkatakan keburukan orang seperti mengumpat, memfitnah serta membenci orang.
16. Kurang menghormati pemberian orang atau tidak menghargai pemberian orang lain.
17. Suka mengangkat-angkat diri atau menceritakan kelebihan diri.
18. Suka menghina dan menjatuhkan air muka orang di hadapan orang lain.
19. Kurang menghormati nikmat-nikmat Allah. Kalau ada makanan, berlaku pembaziran atau membuang makanan yang berlebihan. Kalau ada pakaian walaupun masih elok dipakai tetapi suka berganti dengan yang baru. Pakaian yang lama dibuang. Kalau ada duit lebih, suka beli barang yang tidak diperlukan. Semua itu lebih digemari daripada memberi nikmat yang berlebihan itu kepada orang lain.
20. Kalau berdiri, lebih suka bercekak pinggang (kerana membesarkan diri). Kalau bercakap, menepuk-nepuk meja dan suka mencemik. Kalau berjalan suka bergaya, menghentak-hentak kaki atau berjalan membusung dada.
21. Kurang memberi simpati atau kurang menolong orang lain melainkan ada tujuan-tujuan dunia atau kerana takut dengan orang itu.
22. Kurang minat menerima tetamu atau tidak suka jadi tetamu orang.
23. Tidak suka menyebut kelebihan-kelebihan orang lain kerana takut mencabar dirinya.
24. Kesalahan-kesalahan orang lain dibesar-besarkan sedangkan kesalahan sendiri didiamkan, disorokkan, buat-buat tidak tahu atau cuba mempertahankan diri supaya orang menganggap dia tidak bersalah.
25. Sangat tidak senang dengan kejayaan atau kebolehan orang lain.
26. Dia sangat tersinggung kalau ada orang memuji-muji atau menyebut kelebihan-kelebihan orang lain di hadapannya. Tetapi kalau dia dipuji, terserlah pada air mukanya rasa bangga dan senang hati.
Senarai tanda-tanda, riak-riak atau sikap-sikap di atas sudah cukup jelas untuk kita dapat mengenali sifat sombong ini. Bila sudah dikenal pasti ertinya memudahkan kita mengatasi atau mencabut sifat keji ini.
SEBAB-SEBAB SOMBONG
Sebelum mencabut sifat sombong yang keji ini perlu kita tahu kenapa sifat ini boleh berlaku. Ini juga merupakan faktor pem-bantu untuk memudahkan kita mengikis sifat ini. Macamlah jerawat yang ada di pipi. Kalau kita kenal tanda jerawat, kemudian tahu kenapa boleh timbul jerawat, barulah mudah untuk kita mengubat jerawat itu.
Faktor-faktor penyebab yang menjadikan seseorang itu memiliki sifat-sifat sombong, di antaranya ialah:
1. Memiliki kuasa, sama ada dia memiliki kuasa besar atau kecil. Kuasa besar itu seperti jadi raja, presiden, perdana menteri, gabenor dan lain-lain lagi. Kuasa kecil seperti jadi pegawai, D.O., penghulu, guru besar, guru-guru dan lain-lain lagi. Kuasa yang ada itu mendorongnya menjadi sombong.
2. Mempunyai ilmu pengetahuan sama ada pengetahuan tentang dunia atau pengetahuan tentang Akhirat. Sama ada pengetahuan di banyak bidang atau di satu bidang. Ini jadi pendorong seseorang itu menjadi sombong kerana dia rasa lebih pandai daripada orang lain.
3. Mempunyai harta kekayaan. Harta juga mendorong seseorang itu menjadi sombong.
4. Mempunyai kegagahan iaitu orang yang mempunyai kekuatan fizikal atau mempunyai kepandaian dalam mempertahankan diri seperti tinju, gusti, tae kwan do, silat dan lain-lain lagi. Ini juga mendorongnya menjadi sombong.
5. Keturunan. Ada orang jadi sombong kerana berketurunan bangsawan, berketurunan ulama dan lain-lain lagi, lantas merasa diri mulia serta memandang orang lain hina berbanding dengan dirinya.
6. Sebab-sebab yang lain seperti berwajah tampan dan cantik, disayangi oleh orang besar, disayangi suami, disayangi oleh ibu ayah dan lain-lain lagi. Ini juga pendorong menjadi sombong.
7. Bukan sebab-sebab yang di atas tadi, tapi mungkin dia orang miskin atau orang jahil atau orang hodoh atau orang cacat atau orang lemah sedangkan dia tetap sombong. Ini dikatakan bodoh sombong. Orang ini walaupun tidak ada sebab khusus untuk dia berlaku sombong tetapi oleh kerana benih sifat sombong yang semula jadi ada dalam diri itu tidak terdidik dan tidak cuba untuk dikikisbuangkan atau tidak dicabut, bahkan disuburkan, maka tetaplah dia dengan sikap sombongnya.
Golongan yang sombong di taraf ini bilamana tidak sedar atau tidak kenal dirinya yang sebenar, inilah yang jadi pendorong dia bersifat sombong. Kalau begitu ada golongan manusia yang sombongnya bersebab dan ada pula golongan manusia yang sombongnya tidak bersebab. Tetapi kebanyakan manusia itu sombongnya bersebab, seperti yang disebutkan di atas tadi. Bersebab atau tidak, sifat sombong tetap mesti dicabut dan dibuang. Jika tidak, ia akan memberi kesan yang buruk di tengah kehidupan masyarakat.
KESAN SIFAT SOMBONG
Di antara kesan sifat sombong ialah:
1. Orang benci kepadanya. Fitrah semula jadi manusia tidak suka kepada orang yang bersifat sombong ini. Hati yang benci-membenci tentulah tidak ada kasih sayang, akhirnya tidak wujud perpaduan. Ini bererti umat Islam tidak ada kekuatan. Risikonya, Islam menjadi lemah, lumpuh dan runtuh kerana tidak ada pautan hati antara satu sama lain. Ini sangat merugikan umat Islam dan Islam sendiri. Maknanya, apabila sifat sombong dimiliki bersama, semuanya bersalah dan berdosa sehingga menyebabkan tamadun roh dan tamadun material tidak dapat dibangunkan.
2. Mudah marah, di mana kebiasaannya kemarahan akan berakhir dengan perbalahan dan pergaduhan.
3. Bilamana wujud sifat sombong, lahirlah penyakit yang berikutnya iaitu mudah berdendam, hasad dengki dengan manusia, mudah hendak bertindak balas di atas kesilapan orang lain. Kadang-kadang belum tentu silapnya, dia telah gopoh-gapah bertindak. Mudah pula sakit hati terhadap kejayaan dan kebolehan orang lain sehingga berusaha se-daya upaya untuk merosakkan atau menjatuhkan orang itu. Akhirnya tentulah timbul permusuhan sesama manusia. Lebih besar dari itu, akan berakhir dengan peperangan dan pembunuhan bilamana berlaku tindak balas daripada orang lain atau golongan lain pula.
Kesombongan sangat membahayakan masyarakat manusia dan dunia seluruhnya. Lantaran ini Allah sangat murka dan Allah tempatkan mereka ini di Neraka bersama Firaun, Namrud, Hamman dan lain-lain orang yang zalim dan angkuh itu.
Memandangkan betapa merbahayanya penyakit ini maka usaha-usaha lahir mesti dibuat untuk membendungnya. Beberapa panduan dan kaedah diberi untuk mengikisbuang dan mengubatinya secepat mungkin secara serius supaya kita tidak terus mengidap penyakit yang mengerikan ini.
Di antara cara-caranya ialah:
1. Ada ilmu tentang sifat-sifat mazmumah.
Adanya ilmu ibarat ada cahaya yang mampu menyuluh sifat-sifat mazmumah di dalam diri itu termasuk sifat kibir atau sombong. Perlunya ilmu kerana ia merupakan sifat batiniah yang sesetengah orang payah mengesannya tetapi mudah pula dikesan oleh orang lain.
2. Bawa berfikir selalu tentang kejadian manusia.
Sedarkan hati kita bahawa soal kejadian manusia itu adalah sama. Yakni daripada tanah dan mati kembali ke tanah semula. Walau bagaimana hebat sekalipun seseorang itu, kejadiannya sama dengan orang lain. Kejadian yang pertama asalnya daripada tanah. Walaupun berdarjat, berpangkat, berkuasa, berharta, berilmu, sama ada yang alim atau tidak, yang kaya atau miskin, yang cantik atau buruk, namun mereka semuanya sama. Samasama berasal daripada tanah.
Lihatlah raja-raja besar seperti Firaun. Walau bagaimana hebatnya dia sehingga mengaku dirinya tuhan, di manakah dia sekarang? Bukankah dia tidak dapat mempertahankan kehebatannya, akhirnya mati dan kembali ke tanah! Jadi untuk apa dibangga-banggakan dengan kehebatan dan keistimewaan masing-masing. Sedangkan semuanya setaraf, yakni berasal daripada tanah dan akhirnya kembali ke tanah jua. Tidak mampu untuk memanjangkan umur sendiri.
3. Fikirkan dan sedarkan hati kita bahawa kejadian manusia yang kedua adalah daripada air mani yang hina.
Kalau diperlihatkan kepada manusia, amat jijik dan benci sekali untuk melihatnya. Ertinya, kejadian manusia itu tidak ada beza di antara satu sama lain, sama ada orang kaya, orang berilmu, pembesar atau lain-lain lagi, semuanya berasal daripada air mani yang hina. Kalaulah orang kaya berasal daripada intan, pembesar daripada emas, orang berilmu daripada berlian dan orang biasa berasal daripada air mani, boleh jugalah berbanggabangga. Ini tidak, semuanya berasal daripada benda yang sama iaitu air mani yang hina. Dari segi kejadian, tidak ada perbezaan apa-apa pun. Jadi untuk apa kita berbangga-bangga dengan keistimewaan diri pada orang lain?
4. Melihat respon orang lain terhadap kita.
Dalam pergaulan hidup, dapat dikesan respon orang lain kepada kita. Kalau kita sombong, semua orang akan benci. Anak isteri tidak suka, jiran-jiran meluat, kenalan renggang dan pengikut tidak suka. Apa pendapat kita? Adakah untung kita mempertahankan sikap begitu? Apalah indahnya! Bukankah kita dapat rasakan betapa buruk padahnya akibat mempertahankan penyakit keji dan jahat ini. Lebih-lebih lagi kerja kita tidak semua kita mampu uruskan sendiri. Lagi tinggi pangkat dan darjat, lagi banyak urusan kerja yang perlu dibereskan, dibantu oleh tenaga-tenaga orang lain sama ada secara langsung mahupun tidak langsung.
Oleh itu pertolongan, bantuan dan titik peluh orang lain tidak boleh kita lupakan. Kalau tidak ada mereka ertinya kita tidak jadi hebat dan kaya. Kalau begitu untuk apa kita rasa lebih istimewa?
Bilamana orang sudah benci, di waktu-waktu tertentu seperti waktu sakit atau waktu kematian atau kecemasan, masyarakat akan pulaukan. Atau lambat-lambatkan bantuan atau tidak beri bantuan supaya kita terasa susah lebih dahulu. Ini semua hasil dari mereka sakit hati dengan sifat sombong kita itu.
5. Ambil iktibar dari pengalaman hidup.
Apabila ada kelebihan, keistimewaan dan kehebatan, bolehkah bersifat sombong? Cuba fikirkan kejadian-kejadian yang berlaku dalam pengalaman hidup seharian. Apakah kita berkuasa mengelakkan diri daripada sakit? Apakah kita mampu melawan kuasa tentera Allah yang dihantar melalui bencana alam dan lain-lain lagi? Apakah anda mampu melawan kematian dengan kesombongan dan kekibiran itu? Tentu tidak! Kalau begitu kenapa kita merasakan lebih istimewa daripada orang lain? Walhal tidak ada keistimewaan apa-apa pun yang menjadi milik kita. Semua itu Allah pinjamkan sekejap. Jadi tidak ada apa-apa pun kehebatan kita jika dibandingkan dengan orang lain. Kadang-kadang Allah beri kita kelebihan ilmu, kekayaan, pangkat dan lain-lain, tapi dalam masa yang sama kitalah yang paling banyak mengidap sakit. Misalnya sakit jantung, kencing manis, darah tinggi dan lain-lain sehingga kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan itu semuanya tidak ada erti apaapa lagi. Akhirnya, nikmat yang dikumpul-kumpulkan sekian lama, tidak dapat dinikmati sendiri tetapi dinikmati oleh orang lain. Oleh itu untuk apa dibangga-banggakan dengan kehebatan yang ada itu?
6. Ingat azab Allah untuk orang yang sombong.
Cubalah renungkan. Ingatkanlah di hati bahawa sombong ini sangat dimurkai oleh Allah. Kita dianggap sudah merampas pakaian-Nya. Akibatnya, kita akan dicampakkan ke Neraka yang panas apinya 70 kali ganda kekuatan api dunia dan dalamnya 70 ribu tahun perjalanan baru sampai ke dasarnya.
Ingatkan Neraka yang keseluruhannya api. Di atasnya api, di bawahnya api, di kiri api, di kanan api, di depan api, di belakang api yang memakan dan menghanguskan daging-daging dan tulang-belulang. Kemudian diganti lagi dengan tubuh yang baru dan diseksa lagi. Begitulah berulang-ulang berlaku sepanjang masa. Walhal di waktu itu kita dibelenggu kaki dan tangan serta dicemeti berterusan oleh malaikat Zabaniah. Bau Neraka yang busuk itu tidak dapat digambarkan. Kalaulah ditakdirkan bau itu tercium oleh penduduk dunia, akan matilah semua lantaran busuknya.
Perkara-perkara di atas tadi perlu difikir-fikirkan, direnung-renungkan dan diulang-ulang memikirkannya. Diingat selalu dalam hati hingga tidak dapat dilupakan lagi. Kesannya nanti akan timbul rasa malu dan takut untuk kita bersikap ego dengan Tuhan dan dengan manusia. Dengan cara-cara atau kaedah ini moga-moga membantu kita mudah untuk bermujahadah menumpaskan sombong ini. Harapan kita moga-moga Allah sentiasa memimpin kita agar menjadi hamba-hamba-Nya yang merendah diri.
Berilmulah, Sebelum Berkata dan Beramal!
Betapa menyedihkan, ketika sekarang banyak kita temukan kaum
muslimin yang jahil tentang perkara agamanya. Di antara mereka ada yang
disibukkan dengan dzikir-dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka juga ada yang disibukkan dengan demo dengan dalih menegakkan Khilafah Islamiyyah, di antara mereka pun ada yang sibuk dengan menyembah kubur atau ngalap berkah
dari orang shalih yang telah meninggal dunia, dan masih banyak lagi
perkara menyedihkan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang hamba
Allah yang mukmin.
Semua itu mereka lakukan bukan tanpa tujuan. Tentu di balik amalan yang dilakukan, terselip keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membela agama-Nya yang mulia. Namun, sayang seribu sayang, amal yang mereka lakukan ternyata jauh dari dasar ilmu yang diajarkan Islam. Jauh dari syari’at yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh tidak diragukan lagi bahwa ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama kita yang hanif ini. Ilmu adalah asas utama dalam agama kita, dan dengan ilmulah syariat Islam ditegakkan. Bahkan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya pun harus dilandasi atas dasar ilmu. Dengan ilmu, seorang hamba mengetahui mana yang halal dan yang haram. Dengan ilmu pula seorang hamba mengetahui mana perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan.
Ilmu adalah dasar segala sesuatu, dengan ilmulah segala sesuatu itu dimulai, dan ilmulah yang harus didahulukan sebelum segala sesuatu tersebut dilakukan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
Maka perhatikanlah ayat tersebut, Allah membuka perkataannya dengan ilmu.
Keutamaan Ilmu
Begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Di antaranya adalah:
Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang lain, akan tetapi perlu ada pembahasan khusus mengenai hal ini, sehingga tidaklah tepat jika terlalu panjang lebar dijelaskan dalam pembahasan ini.
Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan
Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya membuat bab khusus untuk membahas hal ini yaitu bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan (باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ).
Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim menjelaskan tentang bab tersebut bahwa yang dimaksud dengan “ilmu” adalah “ilmu syar’i”, “sebelum perkataan” yaitu “sebelum mendakwahkannya”, dan “sebelum beramal dengannya”.
Oleh karena itu, jika seseorang itu berilmu, maka dia beramal di atas ilmu dan petunjuk. Dan setiap amal yang tidak dilandasi ilmu, maka akan memberikan bahaya bagi pemiliknya. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ilmu itu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikut ilmu dan amal tersebut dikumpulkan dengannya (ilmu). Setiap amal yang tidak dilandasi dengan ilmu, maka tidak akan memberikan manfaat bagi pemiliknya, bahkan memberikan madharat (bahaya) baginya, sebagaimana perkataan sebagian salaf, ‘Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya.’”
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan juga menyebutkan bahwa perkataan manusia dan amalnya tidaklah teranggap dalam timbangan syari’at kecuali jika berada di atas ilmu, sehingga ilmu adalah syarat sahnya perkataan dan perbuatan.
Hal di atas mengindikasikan bahwa suatu dakwah dan ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tergelincir ke dalam kesesatan.
Beramal Tanpa Ilmu adalah Awal Munculnya Kebid’ahan
Tidak diragukan lagi bahwa awal mula terjadinya kebid’ahan (suatu hal baru yang diadakan dalam agama) adalah karena seseorang beramal tanpa ilmu. Dia menganggap bahwa amalnya tersebut akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal pada hakikatnya justru akan semakin menjauhkan dia dari-Nya.
Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih menjelaskan,”Ilmu itu harus ada sebelum amal. Karena setiap amal yang tidak dibangun di atas ilmu, maka tidaklah akan menambah bagi pemiliknya kecuali semakin jauh dari Allah. Oleh karena itu, beramal tanpa ilmu adalah perkara yang baru, kebid’ahan dan kesesatan.”
Maka jelaslah bahwa kebid’ahan yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini bersumber dari fatwa-fatwa dan amal-amal yang tidak dilandasi ilmu. Betapa menyedihkannya kondisi kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kebid’ahan tersebut, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
Betapa merugi orang yang melakukan bid’ah, dia telah berusaha keras dan berpayah-payah namun pada akhirnya tidak membuahkan hasil apapun. Na’udzubillahi min dzalik.
Kemudian beliau (Syaikh Kholid) mengutip hadits dari Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakim itu terbagi tiga, satu di surga dan dua di neraka. Adapun yang di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran kemudian dia memberikan keputusan dengannya. Dan seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran, kemudian dia melanggar hukum (kebenaran tersebut), maka dia di neraka. Dan seorang lagi memberikan keputusan bagi manusia di atas kebodohan maka dia di neraka.” (Diriwayatkan oleh Imam yang empat dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang beramal dengan ilmu (yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan memberi keputusan dengan kebenaran tersebut), sebagaimana beliau juga mencela orang yang beramal tanpa ilmu (yaitu orang yang memberikan keputusan di atas kebodohan) dan menyebutkan ancaman yang datang sebagai balasan bagi mereka. Dan tidaklah orang tersebut diberikan udzur disebabkan kejahilan dan kelalaiannya dalam menutut ilmu yang wajib baginya sebelum mempercepat pemberian keputusan. Hadits di atas menunjukkan larangan berkata dan berbuat tanpa ilmu, serta wajibnya berilmu sebelum berkata dan berbuat. Sungguh berat ancaman bagi seseorang yang berfatwa tanpa ilmu. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari berkata dan berbuat yang kosong dari ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mendahulukan Ilmu dalam Doanya
Setiap kali selesai sholat shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa merutinkan sebuah doa sebagai bagian dari dzikir di pagi hari. Ummu Salamah menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah sholat Shubuh setelah beliau mengucapkan salam, beliau berdoa:
Dalam riwayat lain: وَعَمَلًاصَالِحاً (dan amal yang shalih).” (HR. Ahmad (294/6) dan Ibnu Majah (925))
Perhatikanlah, dalam doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali doanya dengan memohon ilmu yang bermanfaat di samping rizki yang baik dan amal yang diterima. Maka hal ini menujukkan bahwa seorang hamba tidak akan mampu membedakan antara rizki yang baik dengan yang buruk, dan juga tidak mampu membedakan amal shalih dengan amal yang salah kecuali dengan ilmu yang bermanfaat.
Ilmu Itu Bagaikan Cahaya Bagi Pemiliknya dan Orang-Orang di sekitarnya
Ilmu yang bermanfaat bagaikan cahaya untuk pemiliknya, yang cahaya tersebut merupakan penerang dan pemberi petunjuk baginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tersebut akan selalu menerangi pemiliknya. Perumpamaan orang yang berilmu di antara umat ini sebagaimana manusia yang berada dalam kegelapan, di antara mereka ada seseorang yang di tangannya terdapat lampu, kemudian orang tersebut memberikan cahaya bagi mereka untuk menerangi jalan dengan lampunya, sehingga mereka selamat dari ketergelinciran dan merekapun berhati-hati dari duri dan bahaya hingga akhirnya mereka berjalan di jalan yang lurus.
Ilmu tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri, bahkan ilmu juga mampu menjadi sebab selamatnya orang lain. Maka berbahagialah orang yang berilmu yang mampu menyebarkan ilmunya lewat perkataannya (dakwahnya), dan juga lewat amal perbuatannya. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam golongan tersebut. Aamiin.
Ahli Ilmu Bagaikan Rembulan, Sedangkan Ahli Ibadah Bagaikan Bintang
Telah masyhur di telinga kita, nukilan hadits tentang keutamaan seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya dibandingkan dengan keutamaan seorang ahli ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya keutamaan seorang ahli ilmu (yang mengamalkan ilmunya) dengan seorang ahli ibadah, bagaikan keutamaan rembulan di malam purnama dibandingkan dengan seluruh bintang-bintang.” (HR. Ahmad (192/5), Abu Dawud (3241), At-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223), Ibnu Hibban (88), dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
Tatkala bulan purnama tiba, malam terlihat begitu terang dan langitpun terlihat begitu indahnya. Namun ketika bulan tak ada, tinggallah bintang-bintang yang tersisa, betapapun banyaknya, tetap saja tidak akan mampu menyaingi terangnya bulan purnama di malam hari. Oleh karena itu, seorang ahli ilmu, dia mampu beramal dengan ilmunya serta mampu menerangi (menjadi jalan petunjuk) bagi orang-orang di sekitarnya. Adapun seorang ahli ibadah, maka dia hanya beribadah untuk kemaslahatan dirinya sendiri.
Beramal Tanpa Ilmu Tak Ubahnya Seperti Orang Nasrani
Kita tentu tidak asing dengan ayat Allah berikut ini,
Ayat tersebut selalu kita ulang-ulang dalam setiap rakaat sholat kita. Hal ini menunjukkan betapa agungnya doa yang kita panjatkan dalam surat Al-Fatihah ini. Lalu, bagaimanakah tafsir dari ayat itu? Berikut ini adalah tafsir ringkasnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang berilmu dan beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang yang berilmu namun tidak beramal dengan ilmunya. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang beramal tanpa dasar ilmu.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Barangsiapa yang rusak di antara ulama’ kita maka serupa dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka serupa dengan orang Nasrani.”
Hal ini dikarenakan orang-orang Yahudi itu berilmu, namun mereka tidak beramal dengan ilmu mereka, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لَمْ يَحْمِلُوهَا, yaitu tidak beramal dengannya. Mereka menghafalnya dan memahami apa yang terkandung di dalamnya, namun mereka tidak mengamalkannya.
Adapun orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah, maka mereka serupa dengan orang Nasrani, karena orang Nasrani adalah ahli bid’ah, suka membuat perkara yang baru dalam agama, dan ahli ibadah yang Allah tidaklah menurunkan dalil tentangnya (ibadah tersebut), dan Dia tidak mensyari’atkan ibadah (baca: bid’ah tersebut) bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia pun tidak memberikan izin untuk beribadah dengannya. Merekalah orang-orang sufi, mubtadi’ (orang yang suka berbuat bid’ah), dan pembuat kerusakan dalam perkara agama ini. Semuanya dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang sesat, dikarenakan mereka sibuk dengan ibadah, dan merekapun meninggalkan ilmu. Bahkan mereka mengatakan, “Ilmu itu akan menyibukkanmu dari beramal.” Laa haula walaa quwwata illa billah..
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang diberikan nikmat, yaitu orang yang gemar menuntut ilmu kemudian mengamalkan ilmu tersebut serta mendakwahkannya dan menjauhkan kita dari golongan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
Senantiasa kita melandasi perkataan dan perbuatan atas dasar ilmu sehingga kita mendapatkan keutamaan-keutamaan ilmu yang begitu banyak. Serta mampu melaksanakan perintah dan larangan dalam agama ini dengan sebenar-benar syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Al-Irsyad fi Shahihil I’tiqad war Rad ‘ala Ahlis Syirk wal Ilhad. Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Husul Syarhi Tsalatsatil Ushul. Syaikh Abdillah bin Shalih Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Syarh Ba’dhu Fawaaidi Suratil Fatihah. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Darul Imam Ahmad.
– Syarh Ushuluts Tsalatsah al-Mushlih. Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih. Maktabah Syamilah.
– Taisirul Wushul Ilaa Tsalatsatil Ushul-Li ‘Abd. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim. Maktabah Syamilah.
– Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu. Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.
Semua itu mereka lakukan bukan tanpa tujuan. Tentu di balik amalan yang dilakukan, terselip keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membela agama-Nya yang mulia. Namun, sayang seribu sayang, amal yang mereka lakukan ternyata jauh dari dasar ilmu yang diajarkan Islam. Jauh dari syari’at yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh tidak diragukan lagi bahwa ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama kita yang hanif ini. Ilmu adalah asas utama dalam agama kita, dan dengan ilmulah syariat Islam ditegakkan. Bahkan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya pun harus dilandasi atas dasar ilmu. Dengan ilmu, seorang hamba mengetahui mana yang halal dan yang haram. Dengan ilmu pula seorang hamba mengetahui mana perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan.
Ilmu adalah dasar segala sesuatu, dengan ilmulah segala sesuatu itu dimulai, dan ilmulah yang harus didahulukan sebelum segala sesuatu tersebut dilakukan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)Maka perhatikanlah ayat tersebut, Allah membuka perkataannya dengan ilmu.
Keutamaan Ilmu
Begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Di antaranya adalah:
- Ilmu adalah jalan menuju surga
- Ilmu adalah sebab Allah meninggikan derajat seorang hamba di dunia dan di akhirat.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ [ محمد : 19 ]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadillah: 11)- Ilmu adalah tanda kebaikan bagi seorang hamba.
- Orang yang berilmu adalah orang yang paling takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
( إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ) [ فاطر : 28 ]
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (Faathir: 28).- Ilmu adalah warisan para nabi.
Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang lain, akan tetapi perlu ada pembahasan khusus mengenai hal ini, sehingga tidaklah tepat jika terlalu panjang lebar dijelaskan dalam pembahasan ini.
Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan
Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya membuat bab khusus untuk membahas hal ini yaitu bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan (باب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ).
Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim menjelaskan tentang bab tersebut bahwa yang dimaksud dengan “ilmu” adalah “ilmu syar’i”, “sebelum perkataan” yaitu “sebelum mendakwahkannya”, dan “sebelum beramal dengannya”.
Oleh karena itu, jika seseorang itu berilmu, maka dia beramal di atas ilmu dan petunjuk. Dan setiap amal yang tidak dilandasi ilmu, maka akan memberikan bahaya bagi pemiliknya. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ilmu itu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikut ilmu dan amal tersebut dikumpulkan dengannya (ilmu). Setiap amal yang tidak dilandasi dengan ilmu, maka tidak akan memberikan manfaat bagi pemiliknya, bahkan memberikan madharat (bahaya) baginya, sebagaimana perkataan sebagian salaf, ‘Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya.’”
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan juga menyebutkan bahwa perkataan manusia dan amalnya tidaklah teranggap dalam timbangan syari’at kecuali jika berada di atas ilmu, sehingga ilmu adalah syarat sahnya perkataan dan perbuatan.
Hal di atas mengindikasikan bahwa suatu dakwah dan ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tergelincir ke dalam kesesatan.
Beramal Tanpa Ilmu adalah Awal Munculnya Kebid’ahan
Tidak diragukan lagi bahwa awal mula terjadinya kebid’ahan (suatu hal baru yang diadakan dalam agama) adalah karena seseorang beramal tanpa ilmu. Dia menganggap bahwa amalnya tersebut akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal pada hakikatnya justru akan semakin menjauhkan dia dari-Nya.
Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih menjelaskan,”Ilmu itu harus ada sebelum amal. Karena setiap amal yang tidak dibangun di atas ilmu, maka tidaklah akan menambah bagi pemiliknya kecuali semakin jauh dari Allah. Oleh karena itu, beramal tanpa ilmu adalah perkara yang baru, kebid’ahan dan kesesatan.”
Maka jelaslah bahwa kebid’ahan yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin saat ini bersumber dari fatwa-fatwa dan amal-amal yang tidak dilandasi ilmu. Betapa menyedihkannya kondisi kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kebid’ahan tersebut, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه
البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Ummul mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak sesuai perintah kami, maka dia tertolak.”)Betapa merugi orang yang melakukan bid’ah, dia telah berusaha keras dan berpayah-payah namun pada akhirnya tidak membuahkan hasil apapun. Na’udzubillahi min dzalik.
Kemudian beliau (Syaikh Kholid) mengutip hadits dari Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakim itu terbagi tiga, satu di surga dan dua di neraka. Adapun yang di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran kemudian dia memberikan keputusan dengannya. Dan seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran, kemudian dia melanggar hukum (kebenaran tersebut), maka dia di neraka. Dan seorang lagi memberikan keputusan bagi manusia di atas kebodohan maka dia di neraka.” (Diriwayatkan oleh Imam yang empat dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang beramal dengan ilmu (yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan memberi keputusan dengan kebenaran tersebut), sebagaimana beliau juga mencela orang yang beramal tanpa ilmu (yaitu orang yang memberikan keputusan di atas kebodohan) dan menyebutkan ancaman yang datang sebagai balasan bagi mereka. Dan tidaklah orang tersebut diberikan udzur disebabkan kejahilan dan kelalaiannya dalam menutut ilmu yang wajib baginya sebelum mempercepat pemberian keputusan. Hadits di atas menunjukkan larangan berkata dan berbuat tanpa ilmu, serta wajibnya berilmu sebelum berkata dan berbuat. Sungguh berat ancaman bagi seseorang yang berfatwa tanpa ilmu. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari berkata dan berbuat yang kosong dari ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mendahulukan Ilmu dalam Doanya
Setiap kali selesai sholat shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa merutinkan sebuah doa sebagai bagian dari dzikir di pagi hari. Ummu Salamah menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah sholat Shubuh setelah beliau mengucapkan salam, beliau berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً ناًفِعاً، وَ رِزْقاً طَيِّباً، وَ عَمَلاًمُتَقَبَّلًا
(Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.)Dalam riwayat lain: وَعَمَلًاصَالِحاً (dan amal yang shalih).” (HR. Ahmad (294/6) dan Ibnu Majah (925))
Perhatikanlah, dalam doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali doanya dengan memohon ilmu yang bermanfaat di samping rizki yang baik dan amal yang diterima. Maka hal ini menujukkan bahwa seorang hamba tidak akan mampu membedakan antara rizki yang baik dengan yang buruk, dan juga tidak mampu membedakan amal shalih dengan amal yang salah kecuali dengan ilmu yang bermanfaat.
Ilmu Itu Bagaikan Cahaya Bagi Pemiliknya dan Orang-Orang di sekitarnya
Ilmu yang bermanfaat bagaikan cahaya untuk pemiliknya, yang cahaya tersebut merupakan penerang dan pemberi petunjuk baginya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ
نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang
kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy-Syura: 52)Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tersebut akan selalu menerangi pemiliknya. Perumpamaan orang yang berilmu di antara umat ini sebagaimana manusia yang berada dalam kegelapan, di antara mereka ada seseorang yang di tangannya terdapat lampu, kemudian orang tersebut memberikan cahaya bagi mereka untuk menerangi jalan dengan lampunya, sehingga mereka selamat dari ketergelinciran dan merekapun berhati-hati dari duri dan bahaya hingga akhirnya mereka berjalan di jalan yang lurus.
Ilmu tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri, bahkan ilmu juga mampu menjadi sebab selamatnya orang lain. Maka berbahagialah orang yang berilmu yang mampu menyebarkan ilmunya lewat perkataannya (dakwahnya), dan juga lewat amal perbuatannya. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam golongan tersebut. Aamiin.
Ahli Ilmu Bagaikan Rembulan, Sedangkan Ahli Ibadah Bagaikan Bintang
Telah masyhur di telinga kita, nukilan hadits tentang keutamaan seorang ahli ilmu yang mengamalkan ilmunya dibandingkan dengan keutamaan seorang ahli ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya keutamaan seorang ahli ilmu (yang mengamalkan ilmunya) dengan seorang ahli ibadah, bagaikan keutamaan rembulan di malam purnama dibandingkan dengan seluruh bintang-bintang.” (HR. Ahmad (192/5), Abu Dawud (3241), At-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223), Ibnu Hibban (88), dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).
Tatkala bulan purnama tiba, malam terlihat begitu terang dan langitpun terlihat begitu indahnya. Namun ketika bulan tak ada, tinggallah bintang-bintang yang tersisa, betapapun banyaknya, tetap saja tidak akan mampu menyaingi terangnya bulan purnama di malam hari. Oleh karena itu, seorang ahli ilmu, dia mampu beramal dengan ilmunya serta mampu menerangi (menjadi jalan petunjuk) bagi orang-orang di sekitarnya. Adapun seorang ahli ibadah, maka dia hanya beribadah untuk kemaslahatan dirinya sendiri.
Beramal Tanpa Ilmu Tak Ubahnya Seperti Orang Nasrani
Kita tentu tidak asing dengan ayat Allah berikut ini,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)Ayat tersebut selalu kita ulang-ulang dalam setiap rakaat sholat kita. Hal ini menunjukkan betapa agungnya doa yang kita panjatkan dalam surat Al-Fatihah ini. Lalu, bagaimanakah tafsir dari ayat itu? Berikut ini adalah tafsir ringkasnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang berilmu dan beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang yang berilmu namun tidak beramal dengan ilmunya. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang beramal tanpa dasar ilmu.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Barangsiapa yang rusak di antara ulama’ kita maka serupa dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka serupa dengan orang Nasrani.”
Hal ini dikarenakan orang-orang Yahudi itu berilmu, namun mereka tidak beramal dengan ilmu mereka, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai.” (QS. Al-Jumu’ah: 5)لَمْ يَحْمِلُوهَا, yaitu tidak beramal dengannya. Mereka menghafalnya dan memahami apa yang terkandung di dalamnya, namun mereka tidak mengamalkannya.
Adapun orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah, maka mereka serupa dengan orang Nasrani, karena orang Nasrani adalah ahli bid’ah, suka membuat perkara yang baru dalam agama, dan ahli ibadah yang Allah tidaklah menurunkan dalil tentangnya (ibadah tersebut), dan Dia tidak mensyari’atkan ibadah (baca: bid’ah tersebut) bagi hamba-hamba-Nya, dan Dia pun tidak memberikan izin untuk beribadah dengannya. Merekalah orang-orang sufi, mubtadi’ (orang yang suka berbuat bid’ah), dan pembuat kerusakan dalam perkara agama ini. Semuanya dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang sesat, dikarenakan mereka sibuk dengan ibadah, dan merekapun meninggalkan ilmu. Bahkan mereka mengatakan, “Ilmu itu akan menyibukkanmu dari beramal.” Laa haula walaa quwwata illa billah..
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang diberikan nikmat, yaitu orang yang gemar menuntut ilmu kemudian mengamalkan ilmu tersebut serta mendakwahkannya dan menjauhkan kita dari golongan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
Senantiasa kita melandasi perkataan dan perbuatan atas dasar ilmu sehingga kita mendapatkan keutamaan-keutamaan ilmu yang begitu banyak. Serta mampu melaksanakan perintah dan larangan dalam agama ini dengan sebenar-benar syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yogyakarta, 31 Mei 2011
Hamba Allah yang selalu membutuhkan Rabbnya
Aufanuri Ihrishii
Maraji’:– Al-Irsyad fi Shahihil I’tiqad war Rad ‘ala Ahlis Syirk wal Ilhad. Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Husul Syarhi Tsalatsatil Ushul. Syaikh Abdillah bin Shalih Al-Fauzan. Maktabah Syamilah.
– Syarh Ba’dhu Fawaaidi Suratil Fatihah. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Darul Imam Ahmad.
– Syarh Ushuluts Tsalatsah al-Mushlih. Syaikh Kholid bin ‘Abdillah bin Muhammad Al-Mushlih. Maktabah Syamilah.
– Taisirul Wushul Ilaa Tsalatsatil Ushul-Li ‘Abd. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim. Maktabah Syamilah.
– Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu. Syaikh ‘Abdur Rozzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan