Partai Politik dalam Islam
30 Jul 2008
Makna dan Fungsi Partai Politik Kini
Partai
politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,
dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting
yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka
hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai,
cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama,
partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka
ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan
kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation).
Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau
usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan
kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Kedua,
partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap,
pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian,
peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan
nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai
politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga,
partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik
berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.
Keempat,
partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat
terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk
mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk
kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan
umum.
Belajar dari Realitas Partai
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama,
partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan.
Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa
peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun
ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang
hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun
dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal
karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil
partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.”
Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika
ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian
menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga,
partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu.
Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu.
Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif.
Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada
penyelesaian.
Keempat,
tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di
tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya
dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai
Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen
yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’.
Kalaupun menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa
maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya
antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Kelima,
tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang
ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh
partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam,
perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam
sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas asalnya’,
juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan
dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah
pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam
dengan partai bukan Islam.
Inilah
beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai Islam. Karenanya,
siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.
Memaknai Partai Politik Islam
Pengertian
dan fungsi partai politik yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi
dan misinya amat terbuka, bisa berdasarkan Sekular-Kapitalis,
Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana cara untuk mewujudkan
partai yang benar?
Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya
partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut
dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur).
Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan
suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.
Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah
Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap
seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak
ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).
Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):
( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا ظهر فيهم
فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم أمرهم ويزيل ما
غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة إلى أنه لا بد
للرعية من قائم بأمورها يحملها على الطريق
الحسنة وينصف المظلوم من الظالم
“(Mereka
diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di
tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi
yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang
mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang
yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat
melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak
yang zhalim”
Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy)
merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam
rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah
kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini
oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة)dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran,
sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi,
menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna
kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian). Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu(wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”. Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.
Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut
harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua
orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara
menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang
menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta
mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa
perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka
meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun,
kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di
antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).
Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi
memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut
untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu
melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten
untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu,
tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan. Jadi,
siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia
dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk
melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan
memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut
untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu
dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu. Alasannya, karena orang
yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini
merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)
Ringkasnya,
di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan
umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum
Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat
ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya
kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-‘Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair
adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut,
lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid
dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan
kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Juz I, hal. 478).
Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah
kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar
amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka
berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat
munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam).
Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya
merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal,
aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk
kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan
sebuah partai politik. Jadi,
ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai
politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang
harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai
politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan
menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah
Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai
politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan
berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik
Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang
meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah
sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang,
ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta
orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya
haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam
yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1.Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2.Orang-orangnya
adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir
berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam
terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka
memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan,
pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita
dan tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang
siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang
menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah
Islamiyah.
3.Memiliki
amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi
selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).
4.Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah)
yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan,
sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya
harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang
disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan
semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam
inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi
tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan
metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang
menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum
Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
5.Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
6.Melakukan aktivitas:
a.Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai.
b.Membina
umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi
oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai
solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah
Islam dalam wadah Khilafah.
c.Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam.
d.Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
e.Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.
Arah Jalan
Secara umum
ada dua jalan yang ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular
menjadi Islam. Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika
linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen untuk merumuskan
perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, sistem
akan berubah.
Fakta
menunjukkan perubahan total tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen.
Kalaupun bisa terjadi bersifat parsial. Karenanya, perjuangan melalui
parlemen bukanlah metode untuk melakukan perubahan total.
Parlemen
tidak dapat dijadikan sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan
melalui parlemen hanya bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain
itu, pemilu bukanlah metode perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul
saw. ketika mendirikan pemerintahan Islam. Selain itu, fakta di
Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai politik dan anggota
parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk terikat dengan
Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya. Ini
artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan
perubahan mendasar apapun.
Pada sisi lain dilihat dari faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:
1.Membuat
undang-undang dasar dan undang-undang serta mengesahkan berbagai
kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai perjanjian yang lain.
2.Mengangkat
kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih secara langsung oleh
rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan pemerintahan.
3.Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Partai Islam ditujukan untuk menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen,
bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu,
dalam pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan
undang-undang. Yang berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah
Allah SWT. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Kuputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)
Begitu juga
pemberian mandat kepada pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum
Allah, jelas hukumnya haram, tidak boleh dilakukan oleh partai Islam.
Allah SWT menegaskan hal ini dalam firmanNya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)
Adapun
aktivitas pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan
lembaga-lembaga pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan,
termasuk oleh partai politik. Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa
juga dari dalam parlemen. Karena itu, siapapun yang ada di dalam
parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah dalam rangka
melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.
Jalan kedua
adalah jalan yang merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode
yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat
Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum
pada diri mereka. Bukan sembarang kesadaran melainkan kesadaran bahwa
mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia,
dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi Barat.
Agama
inilah satu-satunya yang akan membebaskan manusia dari kegelapan menuju
cahaya Islam. Tidak berhenti sampai di situ, muncul pula kesadaran bahwa
masalah utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam
yang akan menerapkan syariah Allah di dalam negeri, mengemban risalah ke
seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada semua lini masyarakat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:
1.Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah)
dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen
kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk
mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi
kemaslahatan manusia.
2.Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am)
tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi
dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya,
memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik,
BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter
Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll,
disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai
membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut
lalu disampaikan kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap
kebijakan penguasa serta membongkar rencana jahat negara asing. Dengan
cara seperti ini rakyat akan memiliki sikap politik sesuai dengan
pandangan Islam terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan
pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai dan hukum Islam dari
generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di tengah rakyat.
3.Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy),
yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus
diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus
penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader.
Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan
politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan artikulasi
kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat tersebut
tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara
seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara
partai dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.
Pemikiran
partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal
maupun Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai
sekular menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam
(SDA) dibiarkan dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme
pasar. Sementara partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor
tunggal aktivitas ekonomi, sehingga semua aset produksi, termasuk sumber
daya alam (SDA) dimonopoli oleh negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki
aset produksi apapun. Adapun partai Islam, menjadikan aset produksi,
termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan mekanisme hukum syara’,
yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu,
umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki konsep apapun
tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai, atau
sekadar partai papan nama.
4.Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
5.Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan
pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh
masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah
setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik
yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6.Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan
tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan
perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan
jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak,
jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang
perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah
kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai
politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa
diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang,
pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan
setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga
dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin
kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis
sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.
Demikianlah
seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat
yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. []
FOKAM TH ( Forum Kajian Mahasiswa Tafsir hadis ) UIN Alauddin Makassar
POLITIK MENURUT AL QUR’AN DAN AS’-SUNNAH
PERTANYAAN KALAU DILIHAT DARI REALITA YANG SEKARANG, BANYAK SEKALI PARTAI YANG MENGATAS NAMAKAN PARTAI ISLAM.
YANG MENJADI PERTANYAAN, BAGAIMANA SESUNGGUHNYA ATAU SEBENARNYA DILIHAT
DARI SUDUT PANDANG AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DALAM HAL BERPOLITIK/
BERPARTAI? ADA NGGAK CONTOHNYA DARI NABI DAN PARA SAHABAT? MOHON
PENJELASAN, JAZAKUMULLOH KHOIRON KATSIRON.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum
pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik.
Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para
ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.
Dengan realita
seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan
partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga
tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan
sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian
partai politik dalam sejarah Islam.
Bahkan sebagian dari mereka
sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan
menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya
pasti akan masuk neraka.
Ditambah lagi pandangan sebagian mereka
bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil
pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.
Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang
muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya
pandangan berbeda.
Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu
Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai.
Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan
bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan
partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa
asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir,
tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.
Dan kalau mau jujur,
memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara
zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana
juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada
fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari
istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas
dan langsung bisa dipahami.
Namun tidak sedikit dari ulama yang
punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang
meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir,
mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami
petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang
anda tanyakan.
Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen
Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?
Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru,
sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa
dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang
bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada
penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.
Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah Muhammad Rasyid Ridha Syeikh Abdurrahman Bin Nashir
As-Sa’di: Ulama Qasim Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-AlBani Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan Syeikh Abdullah bin Qu’ud Syeikh
Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq
Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang
sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata
gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang
tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan
lainnya?
1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
a. Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang
dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih
untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka
beliau menjawab:
Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu
tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.
Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila
tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan.
Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.
Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu
terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para
pembelanya, wallahul muwafiq.
b. Fatwa Kedua
Di lain
waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para
ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang
politik? Dan bagaimana aturannya?
Beliau menjawab bahwa dakwah
kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi
munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang
baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan.
Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.
Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan
cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir
melainkan dengan kata-kata yang baik.
Dengan mengatakan wahai
hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai
saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini
begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana
firman Allah SWT:
Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti
merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh
pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia
mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk
menolak kemungkaran dengan cara yang baik.
c. Fatwa Ketiga
Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah
menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum
masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu
pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana
aturannya?
Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka
berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam
lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan
bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada
kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta,
maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan
kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini,
saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan
tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.
Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga
memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk
meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan
keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT
memberinya pahala atas kerjanya itu.
Namun bila motivasinya untuk
mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak
diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat,
membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya
majelis ini memberinya ganjaran yang besar.
d. Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh
Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4
Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:
Dari
Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah
Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat
Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada
pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya
mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk
menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya?
Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga
agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin Baz:
Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan,
maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan
atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling
tolong dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi,
wassalam wr. Wb.
Bin Baz
2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai
Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi
Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara.
Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke
dalam parlemen.
Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh
Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR)
padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara
menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?
Syaikh
Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan
bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan
masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui
atas semua yang ditetapkan.
Dalam hal ini bila dia mendapatkan
hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun
penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak
pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun
pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh
yang baik.
Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan
kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan
tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.
Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga
Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang
menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda
dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang
menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?
Syaikh Al-Utsaimin:
Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan
kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar
menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba
Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan
rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah
Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:
Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis
perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat
baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak
orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat
kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.
Sedangkan masalah
sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah
unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan
syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang
akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun tindakan
meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler
adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi
Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah
kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun
keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan
yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali
memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat,
hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam
berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota
parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.
(lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)
Jadi kita memang
perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen.
Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13
ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam
lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan
menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah
akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai
sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.
3. Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum:
Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka
menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan
umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal
tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah.
Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang
layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak
terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga
ada orang yang memang memenuhi syarat.
Dari penjelasan di atas
dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku
jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan.
Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan
menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu
maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya’ri untuk
memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.
Kasus ini
mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang
menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam.
Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
menjadi anggota parlemen diperbolehkan.
4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang
sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong
berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi
sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan
menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk
mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal
tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal
itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal
itu bertentangan dengan qowaid syariah.
Mereka mengatakan bahwa
hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka
berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan
pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka
melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak
sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang,
kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.
Di sisi
lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah
dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah
yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt.
telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan
keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila
ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam
cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha
hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan
tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu
adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.
Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan
syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian
dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar
mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan
keadilan allah dan rosulnya.
Imam yang muhaqqiq ini mengatakan
apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama
dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa
apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari
politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa
yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang
sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan
syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh
Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta
menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk
berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan
serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?”
Peserta, “Iya.”
Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya
akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada
kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan
untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini
adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi
kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan,
jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya
sedikit.”
Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”
Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?”
Salah seorang peserta, “Mengakui.”
Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan
tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah,
ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya
pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman
akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum
muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa
mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?
Tidak mungkin kan untuk
melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan,
apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di
peroleh Nabi Yusuf as?
Atau kalian tidak tahu tentang hal ini,
apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata
kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
tinggi lagi dipercaya dis isi kami” Nabi Yusuf saat itu menjawab,
“Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai.” Maka
beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi
raja Mesir, sekaligus nabi.
Jadi bila masuknya itu melahirkan
sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar
menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh.
Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka
masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, “Mendatangkan manfaat dan
menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi
dengan mafsadat yang lebih besar.”
Para ulama mengatakan bahwa
Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya
serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa
menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil
dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan
maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran
haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada,
maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin
dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia
harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia.
seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya mulia, saya
berdakwah kepada Allah,” tidak tidak boleh itu.”
Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”
“Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum
muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut
tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi
kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu
pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan” (Rekaman suara)
6. Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang
terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan
dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan
sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap
atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk
menyikapi kondisi tersebut?
Jawaban : Akar persoalan dari semua
itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan
saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari
malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa
untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara
lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang
jelas-jelas kafir.
Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat
kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka.
Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada
para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan
siksaan.
Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh
simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah
saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik
mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja
maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:
“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).
Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah
ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana
saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan
menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah
karena telah menjaga dirinya.
Jangan sampai ada seseorang yang
bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela
orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman
dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini
merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat
ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan
oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..
Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat
pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.
Wallahu’alam bi shawab
www. copas politik menurut Alqur'an dan
Assun-nah.com
Siasah Syar'iyyah Satu Pengenalan
Pengenalan
Di
Malaysia, istilah Siasah Syar'iyyah telah menjadi suatu istilah yang
biasa didengar sejak kebelakangan ini. Hal ini sedikit sabanyak telah
disumbangkan melalui kewujudan parti politik muslim. Maka pihak-pihak
yang bertentangan cuba mengaitkan agenda mereka selaras dengan siasah
syar'yyah. Secara tidak langsung istilah ini menjadi sebutan kerana ia
berkait rapat dengan politik. Perkembangan ini boleh membantu lahirnya
minat daripada pelbagai pihak bagi mengenali siasah syar'iyyah.
Definisi Siasah Dari Segi Bahasa
Perkataan siasah adalah kata terbitan (masdar) daripada kata dasar sasa-yasusu
yang membawa pengertian yang pelbagai. Antaranya ialah mengendalikan
sesuatu urusan dan mentadbirnya dengan baik. Apabila disebut Sasa al-Amr Siasah
ia bermaksud melakukan sesuatu tindakan yang menguntungkan atau
mendatangkan kabaikan sama ada dengan cara memimpin, menjaga keperluan
atau membantu dan sebagainya.
Dalam menentukan bahasa asal perkataan siasah ahli bahasa Arab tidak sependapat. Al-Maqrizi misalnya menyatakan dalam kitabnya "al-Khutat"
perkataan siasah bukan perkataan Arab tetapi perkataan Monggol kemudian
telah diubah oleh ahli bahasa Mesir dari Yasah kepada Siasah.
Seterusnya, menurut Abd Al Ahmad Utwah yang rajihnya ia dari perkataan
Arab.
Definisi Syar'iyyah Dari Segi Bahasa
Syar'yyah
diambil daripada lafaz (شرع). Ia menjelaskan tentang sesuatu yang
disandarkan kepada syarak dan menerima sebagai sesuatu yang sah. Secara
literalnya, syar'iyyah bermaksud sesuatu yang sah di sisi syarak.
Definisi Siasah Syar'iyyah Dari Segi Istilah
Menurut
Abd 'Al ahmad Utwah: Membezakan antara siasah yang bersifat Syar'iyyah
dengan siasah yang bersifat wad'iyyah (ciptaan manusia).
Secara rumusan, definisi siasah syar'iyyah terbahagi kepada dua:-
1) Siasah Syar'iyyah sebagai metod penentuan hukum di bawah bidang kuasa kerajaan Islam
* Ibn Abidin: Menggandakan hukuman keatas keatas kesalahan/jenayah mengikut peraturan syarak bagi membasmi gejala kerosakan.
* Al-Hamawi & al-Tarablusi: Hukuman yang digandakan.
* Ibn Fudi:
Menjaga kemaslahatan/kepentingan manusia dan mengelakkan keburukan
dengan cara menggunakan kaedah/mekanisma tertentu bagi mengetahui
kebenaran seperti menggunakan qarinah tanpa pengakuan dan bukti atau
menahan seseorang yang dituduh melakukan jenayah.
2) Siasah Syar'iyyah sebagai metod atau kaedah pemerintahan negara
* Syekh Abdul Wahab Khallaf: Menjalankan
pentadbiran awam sebuah negara Islam mengikut landasan yang menjamin
kepentingan/kebaikan dan mengelak keburukan,di mana pengurusan itu tidak
terkeluar dari batas-batas syariat dan dasar-dasar umumnya, walaupun
ianya tidak menepati pandangan para imam mazhab.
* Syekh Abdul Rahman Taj: Hukum-hukum/peraturan
yang mengatur perjalanan pentadbiran negara dan rakyat, di mana ianya
hendaklah bertepatan dengan roh syariah, selaras dengan usul-usul
kulliyyah seterusnya dapat mencapai objektif kemasyarakatan, walaupun
hukum-hukum itu tidak disebut secara langsung oleh nas-nas al-Quran dan
al-Sunnah.
Antara dalil daripada al-Quran yang berkaitan dengan Siasah Syar'iyyah:-
1) Surah al-Nur ayat 55
2) Surah al-Nisa' ayat 58
3) Surah al-Maidah ayat 42 & 44
4) Surah al-Baqarah ayat 213
5) Surah al-Sad ayat 26
Penutup
Siasah
Syar'yyah memperlihatkan kita bagaimana ia satu kaedah yang lengkap
selari dengan syariat Islam dalam bidang pemerintahan negara. Justeru,
kaedah dan metod ini haruslah dijadikan panduan oleh para pemerintah
negara dalam menjamin kemaslahatan dan kepentingan rakyat bukannya
mengikut acuan dan hawa nafsu sendiri. Pemerintahan yang menepati
prinsip-prinsip Islam sudah tentu mendapat keberkatan dan keredaan
Allah.
Rujukan
Al-Quran al-Karim
Abd 'Al Ahmad Utwah (1993). al-Madkhal al-Siasah al-Syar'yyah. al-Riyadh: Universiti Imam Muhammad
Abdul Karim Ali & Raihanah Azahari (1999). Hukum islam semasa: bagi masyarakat Malaysia yang membangun. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya
APA ITU SIASAH
SYARIYYAH ???
PERKENALAN KEPADA SIASAH SYARIYYAH
Menurut bahasa :
Dari segi bahasa perkataan siasah itu bermakna cara dan bentuk sesuatu
perkara yang dilaksana dan diuruskan. Perkataan siasah dalam bahasa Arab
pula membawa makna “Tadbiru Al-Syaie Wal-Qiamu Alaihi Bima Yuslihuh”;
maksudnya: “Mengurus sesuatu dan menjaganya dengan apa cara yang boleh
membawa kebaikan kepadanya”.
Pengertian lain bagi siasah, ia merupakan keadaan, corak atau cara
pemimpin jama'ah mengendalikan urusan jama'ahnya untuk mencapai tujuan
dan matlamat jama'ah itu atau mendapatkan maslahat bagi orang-orang yang
menjadi anggota jama'ah itu.
Perkataan Syari`yyah pula berasal dari perkataan “Syari`at” dalam bahasa
Arab, yang dalam penggunaan biasanya diertikan sebagai ‘sumber air
minum atau pembawaan yang jelas’. Perkataan ‘Syari`yyah’ juga dipakai
oleh al-quran dalam banyak ayat antaranya ada yang bermaksud sebagai
peraturan hidup yang terkandung dalam suruhan dan larangan dan ada juga
yang bermaksud seluruh ajaran agama yang merangkumi aspek keimanan,
perundangan dan akhlak.
Menurut Istilah :
Para fuqaha mentakrifkannya sebagai: “Tindakan pemerintah terhadap
sesuatu perkara kerana mendapatkan suatu kemaslahatan walaupun tindakan
itu tidak mempunyai dalil pada juzu’nya.” Dalam penakrifan lain mereka
berkata: “Menguruskan kemaslahatan manusia dengan mengikut ketentuan
syarak.”
Siyasah syar`ieyyah ialah ilmu yang membincangkan mengenai pentadbiran
sesebuah kerajaan Islam yang terdiri daripada undang-undang dan sistem
yang berasaskan kepada asas-asas Islam atau mentadbir urusan umum daulah
Islamiah dengan cara yang membawa kebaikan kepada manusia dan
mengelakkan mereka daripada kemudharatan, tanpa melanggar sempadan
syarak dan asas-asas kulliah walaupun dalam perkara yang tidak
disepakati oleh ulama’ mujtahidin
PERGANDINGKAN PERKATAAN SIASAH DAN PERKATAAN SYARIYYAH.
Imam Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya “At Thuruq Al-Hukmiyah” yang memetik
kata-kata Ibnu Aqil seperti berikut: Mengenai penggunaan Siasah
Syariyyah; bermaksud: “Dalam urusan pemerintahan, terdapat pandangan
yang menyatakan keharusan beramal dengan prinsip Siasah Syariyyah”. Ini
merupakan pendapat yang kukuh diperakukan oleh empat mazhab Syafie,
Maliki, Hambali dan Hanafi.
Mengenai pengertian Siasah Syariyyah Ibnu Aqil menyatakan; “Siasah
Syariyyah ialah apa-apa tindakan manusia kepada kebaikan dan menjauhkan
mereka daripada keburukan”, sekalipun ia tidak ditetapkan oleh
Rasulullah S.W.A dan tidak terdapat dalam wahyu yang diturunkan.
Sementara Ibnu Najin pula mentakrifkan sebagai; “Sesuatu tindakan yang
diambil oleh pemerintah yang pada pandangannya boleh menjaga kepentingan
umum, sekalipun tidak terdapat dalil yang putus, (qatai) mengenainya”.
Daripada definasi-definasi di atas dapat difahami bahawa di bawah
prinsip Siasah Syariyyah ini, pemerintah mempunyai kuasa yang luas dalam
menguatkuasakan apa-apa peraturan serta larangan untuk menjaga
kepentingan umum itu mestilah berasaskan kepada pandangan dan penilaian
pemerintah sendiri, sepertimana yang ditekankan oleh Ibnu Najin dalam
takrifnya, “Limaslihatin Yaraha” kerana sesuatu kepentingan umum
mengikut pandangannya.
Ketika membicarakan bidang kuasa dan hak pemerintah ini, Dr. Mahmud
Al-Khalidi dalam kitabnya “Qawa’id al-nizam al-hukmi fi al-Islam”
menyatakan; para sahabat juga telah sepakat menyatakan bahawa
melaksanakan peraturan-peraturan yang didukung oleh pemerintah adalah
wajib dan tidak halal bagi seseorang muslim mengikut hukum,
undang-undang serta sistem pentadbiran yang lain dari apa yang
ditentukan oleh pemerintah (ketua negara).
Copy and WIN :
http://ow.ly/KNICZ
Definisi Siasah Menurut Bahasa
TAKRIF SIASAH ATAU POLITIK
Siasah menurut bahasa :
“Sasa- yasusu- siyasatan wa riasah” yang membawa maksud tadbir, perintah, mengetuai ( Lisan al-Arab, Dar al-kutub al-ilmiah)
Manakala siasah menurut istilah para ulama’ terdahulu terbahagi kepada dua, iaitu :
1. Makna ‘Am Siasah
: Mentadbir urusan manusia dan urusan dunia mereka dengan syariat Deen.
Dengan ini kita dapati mereka mentakrifkan ‘Khilafah’ sebagai :
Mafhum : “Sebagai pengganti tugas Rasul dalam menjaga Agama dan mentadbir Dunia dengan berpaksikan agama”
2. Makna Khas Siasah
: Tindakan-tindakan yang dibuat oleh Imam (Pemerintah) berdasarkan
sumber-sumber, bertujuan untuk menghalang kerosakan dan mencegah
kerosakan yang belum melanda atau suatu langkah pemulihan.
Sebagai
contoh tindakan seumpama ini adalah
tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar As-Siddiq r.a yang
membakar peliwat, Khlaifah Umar Al-Khattab ra pula pernah mencukur
rambut Nasar bin hajjaj akibat digilai oleh perempuan Madinah. Semua
tindakan ini berubah menurut kepentingan maslahat setempat dan zaman.
DEFINISI POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap
orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di
balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru
secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap
tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan
agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar
seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon
wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan
agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan
“warga NU”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan
yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari
politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?
Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara)
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan
rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut
realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme,
sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan
hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian
politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi
“netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun
kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap
seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada
lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari
Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur
dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga
ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan
urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun
hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam
al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah
pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang
tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan
kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik.
Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan
untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu
pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat
“politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak
lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun
perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk
mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana
praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah
kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan
hukum syara. Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah
SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan
umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam
Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam).
Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).
Penutup
Dengan demikian, hubungan Islam dan politik adalah jelas. Melalaikan
diri dari aktivitas politik Islam juga jelas bahayanya bagi kaum Muslim.
Inilah saatnya kaum Muslim bangkit dari tidurnya yang panjang, berjuang
secara politik untuk melawan penjajah yang selama ini telah menindas
mereka. Dan disinilah latek penting bagi kaum Muslim mempelajari lebih
jauh politik Islam. Dan tentu saja setelah itu, terjun langsung dalam
masalah politik, tidak hanya diam dan menunggu datangnya pertolongan
Allah SWT.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Malang, Mantan Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UMM,
Ketua Umum Forum Pengkajian Ekonomi Syari’ah dan Dakwah Islam Fakultas
Ekonomi UMM.
Politik dalam Islam
oleh Redaksi
Diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun pandangan yang
bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Hal itu, menurut Samuel
P. Huntington, akan dapat tumbuh dan berkembang jika mendapat dukungan
sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku berkaitan dengan
perkembangan peradaban yang kondusif. Hal itu juga disebabkan oleh
kenyataan yang tak terbantahkan -meminjam istilah Sdr Ulil- bahwa umat
Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang sama sekali
berbeda. SEDIKIT pandangan tentang
politik dalam Islam telah dikemukakan Sdr Ulil Abshar-Abdalla dalam
Kajian di Jawa Pos, 1 Juni 2003, yang berjudul Fahmi Huwaidi dan
Dzimmah. Di sana ada beberapa hal yang perlu dipahami bersama bahwa
sampai saat ini ada tiga pendapat yang berkembang dalam lingkungan kaum
muslim tentang politik.
Pertama, aliran yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama yang sempurna dan serba lengkap yang mengatur segala
aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kedua, pendapat yang menyatakan
bahwa Alquran tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan.
Ketiga, pendapat yang mengambil jalan tengah bahwa dalam Alquran tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.
Mengamati berbagai persoalan
yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang politik Islam,
dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah
pemahaman yang benar, evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan
Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi politik dalam ajaran
Islam sangatlah kecil. Itu pun berkaitan langsung dengan kepentingan
banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (kelas bawah di
masyarakat), bukan pada tataran model-model politik.
Karena itu,
jelas pulalah bahwa politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah.
Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas
dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi,
pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan
praktis, bukan atas dasar agama.
Pemerintahan yang berlaku pada
masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit.
Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin
kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan
usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan.
Alquran
sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya
memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah,
dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, serta durhaka.
Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian
memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan
ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan.
Rasulullah
sendiri belum pernah menentukan sistem politik dan kekuasaan tertentu
melalui sunah dan kebijaksanaannya. Hal ini yang semestinya harus kita
sadari bersama agar politik tidak menjadi "panglima" gerakan Islam yang
mempunyai keterkaitan dengan sebuah institusi yang bernama kekuasaan.
Selain itu, Islam lebih mengutamakan fungsi pertolongan pada kaum miskin
dan menderita serta tidak lebih memperhatikan secara khusus tentang
bentuk negara.
Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi
tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun sebuah bangsa, bukan
mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebab, persoalan formalisasi ideologi Islam dalam
kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama dalam bernegara.
Justru
penampilan nonformal agama dalam kehidupan bernegara harus terwujud
tanpa formalisasi dirinya. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber
inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara. Inti
pandangan seperti itu terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih
berfungsi nyata dalam kehidupan daripada membuat dirinya menjadi wahana
bagi formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara.
Merujuk
uraian di atas, diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun
pandangan yang bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Hal itu,
menurut Samuel P. Huntington, akan dapat tumbuh dan berkembang jika
mendapat dukungan sikap, nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku
berkaitan dengan perkembangan peradaban yang kondusif. Hal itu juga
disebabkan oleh kenyataan yang tak terbantahkan -meminjam istilah Sdr
Ulil- bahwa umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang
sama sekali berbeda.
Ini menunjukkan bahwa dalam memandang
sesuatu persoalan, Islam lebih mementingkan pendekatan profesional,
bukan politis. Kalau saja dimengerti dengan baik, hal itu akan menjadi
jelas mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur atau
dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci
tersebut, daripada masalah bentuk negara.
Jika hal ini disadari
sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentu salah satu sumber keruwetan dalam
hubungan antarsesama umat, khususnya umat Islam, dapat dihindari.
Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal itulah yang menjadi sebab
kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
[Sujito Batokan Banjarejo, Ngariboyo, Magetan, Jatim]
Pengertian Politik dalam Islam Menurut Para Ahli
Pengertian Politik Dalam Islam
(Apa pengertian ahli) Politik adalah salah satu aktivitas manusia
terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi
yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang
sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada. juga saling menjaga
aturan yang disepakati bersama (Baca
definisi dan pengertian politik).
Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet
konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada
juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin
skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu
berkibar. Ini jelas dipahami mayoritas masyarakat muslim non-modern.
Namun, saat kata politik disandingkan dengan "ISLAM", saat benderanya
berkibar di langit-langit, saat suara para pembaru muslim yang
meneriakkan "sistem politk Islam" melengking memasuki pendengaran
generasi muda muslim mengubal pola pikir mereka; menghancurkan benteng
sekat akibat dikotomi Islam dan politik yang sesat.
|
Pengertian Politik dalam Islam |
(Apa pengertian ahli) Singkat saja,
politik,
secara bahasa dalam bahasa Arab disebut as-siyasah yang berarti
mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara
definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik
(ensiklopedia ilmu politik).
Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua
yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani.
Seperti yang kita ketahui, istilah politik tidak pernah ada dalam Islam.
Akan tetapi, esensi politik ada dalam Islam yaitu memimpin dan
dipimpin. Kata Yasusu yang menjadi akar kata as-siyasah dalam hadist
sahih dari Iman Bukhari dari Abu Huraira r.a "(Zaman dahulu) bani Israil
itu dipimpin oleh para Nabi". Hadis ini menunjukkan bahwa politik atau
as-siyasa dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang
mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang
teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari.Inilah pemahaman Nabi akan
definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan
naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut
bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam.
Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah
pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari
hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada
dalam literatur Islam.
Menurut Ibnu Aqil, bahwa pengertian politik dalam Islam (as-siyasah)
adalah segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan
dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasul dan
tidak ada wahyu yang diturunkan untuknya.
Imam Syafii tidak setuju dengan adanya istilah politik, melainkan lebih
sepakat dengan syariat. Pengertian syariat itu sendiri adalah semua
arahan, batasan, perinta dan larangan yang diberikan Rasul. sehingga
kata Imam Syafii, "tidak ada politik, kecuali sesuai dengan syariat".
(Apa pengertian ahli) Seperti yang kita ketahui, politik tidak
lahir di masa Rasul SAW, karena sejak manusia mengenal kata memimpin dan
dipimpin, maka politik ada saat itu. Dikarenakan pengertian dan
aplikasi politik di masa sebelum datangnya Islam itu adalah kebusukan
dan kelicikan, maka banyak orang beragama Islam tidak sepakat dengan
politik dalam Islam. akan tetapi kita juga harus melihat makna utama
dari politik itu sendiri yaitu pengelolaan urusan manusia, sedangkan
baik dan buruknya pengelolaan, itu urusan lain.
Sehingga dapat diambil kesimpulan awal bahwa pengertian politik dalam
Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau
masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.
Referensi:
- Inilah Politikku karangan Muhammad Elvandi, 2011, PT. ERA ADICITRA INTERMEDIA, Solo.
Sponsored by
Tiada ulasan:
Catat Ulasan