Khamis, 4 Jun 2015

PERLUKAH KITA BER'UZLAH'















Nyepi dan Uzlah

12 Maret 2013 04:28:08
Assalamualaikum wr wb Sahabatku, Hari ini adalah Hari Raya Nyepi bagi saudara2 kita ummat Hindu, khususnya yang ada di Bali. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta).
Hari raya nyepi dirayakan oleh umat Hindu Bali dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan in dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari penuh pada hari raya nyepi.
UZLAH Dalam Islam, khususnya dunia Tasawuf, upaya nyepi dari hiruk pikuk duniawi disebut Uzlah. Uzlah artinya nyepi yang dilakukan oleh kalangan sufi untuk menghindari dari sifat-sifat yang membuat berdosa mengasingkan diri dari dunia ramai, masuk ke dunia kesendirian, dengan tujuan menghidupkan jiwa dan mensucikan pikiran dari pengaruh yang merusak.
Menurut kaum sufi, dengan uzlah akan memperkuat pikiran sehat, menerangi logika dengan sinar Allah, menjauhkan diri dari pikiran maksiat dan perbuatan dosa atau perbuatan-perbuatan terlarang yang cenderung dilakukan manusia dengan pergaulan, seperti riya, ghibah, tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, meniru akhlak tercela dan juga terlalu menekuni urusan duniawi serta pekerjaan. Sebab kadang perbuatan maksiat memasuki rongga hidup manusia, datangnya tiba-tiba dan tak dapat diduga-duga.
Dalam uzlah alam pikiran manusia akan menjadi tenang dan luas jangkauannya, wawasan berpikirnya pun bertambah, sedangkan jiwanya menjadi bersih dan tenteram. Dalam keadaan tenang manusia mampu berpikir tentang ciptaan Allah, dan kebesaran Allah sebagai Maha Pencipta alam semesta serta isinya.
Dengan uzlah akan terhimpun dalam rongga jiwa kita sifat-sifat mulia, akhlaqul karimah, serta terhindar dari sifat-sifat mazmumah dan akhlak yang bejat. Cara uzlah ini sekaligus akan memelihara iman dan keyakinan kita serta akan membersihkan jiwa kita dari dosa-dosa kecil, demikian juga akan menghindarkan si hamba dari mendekati dosa-dosa besar.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin’ Al-Ghazali; Sebagian mereka berpendapat lebih menyukai uzlah dari pada pergaulan. seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ibrahim bin Adham, Dawud At-Tha’iy, Al-Fudhail bin Iyadh, Sulaiman Al-Khawash, dan Basyar Al-Hafi.
Namun sebaliknya, sebagian besar Tabi’in lebih menyukai pergaulan dan memperbanyak saudara (teman) untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Semuanya berdalil dengan sabda Nabi SAW.
Menurut mereka, Nabi SAW melarang kita untuk menghindari dari pergaulan. Sebab faedah dari pergaulan tersebut, untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan. Selain itu, untuk menjalin hubungan (ukhwah) persaudaraan. Jika kita menghindar dari pergaulan hanya karena ingin tidak dihina atau disakiti oleh seseorang, maka hal tersebut merupakan seseorang yang lari dari tanggung jawab.
Dalam hal ini, kita cukuplah dengan merawat lidah kita dari perkataan buruk dan kita berintrospeksi tentang dosa yang kita lakukan, lalu kita menangis sambil berdoa dengan merendahkan diri kepada Allah SWT untuk tidak mengulangi lagi. Innallaha Ghafururrohim. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Namun demikian menurut kaum sufi pendukung keutamaan uzlah, seperti Fudhail bin Iyadh RA. Berdalil dengan sabda Rasulullah SAW. Kepada Abdullah bin Amr Al-Juhani ketika ia berkata, “Ya Rasullullah, bagaimana cara keselamatan itu?” Nabi SAW. Menjawab, “cukuplah engkau tinggal di rumahmu, rawatlah lidahmu (dari perkataan buruk), dan tangisilah dosamu.
Kesimpulannya, maksud dari uzlah yang banyak dilakukan oleh kalangan sufi, yaitu tidak meninggalkan tanggung jawabnya dan bukan tidak mau mendapat celaan atau ejekan dari seseorang. Artinya, ia tidak terlalu banyak bicara, bermusyawarah selain dari pada ibadah, yang hanya sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Apalagi pergaulan yang mendekatkan kepada kemaksiatan. Namun, melakukan uzlah tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dalam bentuk berdoa, tafakur, berzikir, dan beramal.
Dengan uzlah hendaknya ia berniat menjauhi manusia dari kejahatanya dan mengingat Tuhan-nya dengan segenap hatinya. Janganlah berangan-angan, hendaklah ia berniat jihad akbar, yaitu jihad melawan nafsunya. Sebagaimana dikatakan Nabi SAW. Kepada Sahabat: “Raa Ja’na minal jihadil ashghari ilal jihadil akbar” Artinya, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, (yaitu memerangi hawa nafsu)”.
Uzlah akan memberi kesempatan bagi si hamba menyibukkan diri dengan kesucian hati, lidah dan perilaku, dan menghindarkan diri dari kesibukan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Uzlah adalah salah satu jalan hijrah dari kejelekan kepada kebaikan, dari kesempitan berpikir kepada kelapangan berpikir. Abi Ishaq Ibrahim bin Mas’ud berkata, “Dengan terasing, akan terhimpunlah cita-cita. Dan dengan cita-cita itu akan memperkokoh keyakinan kepada Allah, sedang rencana sangat berbeda dari cita-cita ataupun harapan.”
Dikatakan lagi, bahwa seorang hamba yang hidup menyepi maka ia dapat mengheningkan dirinya dan menyimpulkan masalah yang dianalisanya dalam situasi yang bersih. Nabi Isa as. berkata, “Kalau kamu duduk dengan orang mati, maka kamu akan mati sebelumnya, dan kalau kamu duduk dengan orang yang hidup pikirannya, kamu akan menjadi orang yang hidup dan suka berpikir.”
Sesungguhnya para hamba Allah yang saleh akan banyak meluangkan waktu bersepi-sepi sendiri (berbuat uzlah) untuk merenungkan dirinya dan mengevaluasi amal ibadahnya, mencuci hati dan pikirannya dengan perenungan yang suci, dan memberi arah kepada pikirannya dengan logika yang sehat dan wawasan yang dalam. Disaat jiwa kita jernih akan jernih pula hati dan pikiran kita, dan disaat hati kita lapang akan lapang juga pikiran dan akal kita.
Wallahualam bissaawab.



Mana Yang Lebih Utama, Uzlah Atau Bergaul Dengan Masyarakat?

Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa, ketika kesyirikan menjamur, ketika maksiat tersebar dan dianggap biasa orang masyarakat, ketika sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: ‘uzlah (mengasingkan diri) ataukah khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)? Kita simak pembahasan berikut.

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).
Sebagaimana juga dalam hadits,
قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه
“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat'” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).
Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ
Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300).

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat 

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).
juga firman Allah Ta’ala:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3)
Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ
Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).
Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز
Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ
bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).
dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.
Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).
An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.
Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkur, muhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.
Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).
Semoga bermanfaat.

Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id


Wednesday, November 9, 2011


Sufi Road: Uzlah

Syaikh Ahmad Ibn 'Athaillah :"Tidak ada sesuatu yang bisa memberi manfaat di dalam hati sebagaimana "uzlah" (mengasingkan diri) dimana akan masuk sebab uzlah itu luasnya berpikir".

Uzlah adalah mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat. Bagi seseorang, mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat itu bisa memberi manfaat di dalam jiwanya. Hatinya bisa luas berfikir mengenai masalah akhirat. Berbeda jika bergaul dengan masyarakat banyak, maka yang dipikir adalah masalah-masalah duniawi yang bisa dilihat mata. Padahal yang demikian ini bisa merangsang nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bisa melanggar peraturan agama. Ini berarti hatinya telah dihinggapi penyakit hati. Untuk menyembuhkan penyakit hati ini jalan yang paling baik adalah ber-uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat ramai. Kemudian setelah uzlah bebaslah hati untuk berfikir mengenai alam gaib atau akhirat. Sedang memikirkan
sesuatu mengenai di akhirat adalah ibadah yang baik dan terpuji karena menyebabkan hati menjadi terang, tidak gelap.

Imam Alghazaly menggambarkan mengenai uzlah, adalah seperti kita tidak terikat terhadap air yang ada disumur … walaupun kita sangat membutuhkan akan air tersebut sebagai sumber kehidupan. Alqur'an juga telah menggambar-kan orang yang terpaut hatinya kepada Allah (tidak terikat oleh dunia), namun juga tidak melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai karyawan dan tanggung jawab terhadap keluarganya ...

Firman Allah: "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah …." ( QS. An Nur: 37)

Menurut Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam Ar-Risalatul Qusyairiyah, ‘Uzlah merupakan lambang bagi orang yang sedang wushul (sampai) kepada Allah. Memisahkan diri dari keramaian manusia sangat diperlukan bagi mereka yang baru saja menempuh jalan suf. Selanjutnya ia mengasingkan hatinya dari duniawi karena berada dalam kesukacitaan luar biasa dalam hatinya.
Untuk melakukan ‘Uzlah kata al-Qusyairi, seseorang harus memantapkan ilmu agamanya dan tauhidnya, agar dalam proses ‘Uzlah tersebut, seseorang tidak tergoda bisikan-bisikan syetan. Biasanya para sufi mengaitkan tradisi ini dengan khalwat dan zuhud. Zuhud sendiri merupakan buah dari ‘Uzlah. Abu Muhammad al-Jurairi ketika ditanya, apa sebenarnya ‘Uzlah itu? Ia menjawab, “Uzlah adalah Anda masuk dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari dosa-dosa, sementara batin Anda berhubungan dengan Allah.

Menurut Syekh Zarruq, orang yang ber-uzlah terbagi dalam tiga bagian. Pertama, orang yang ber-uzlah dengan hatinya saja sementara badannya tidak. Kedua, orang yang ber-uzlah badannya saja sementara hatinya tidak. Ketiga, orang yang ber-uzlah baik badan maupun hatinya.

Orang yang ber-uzlah menurut kriteria pertama adalah orang yang dapat memelihara hatinya dari keadaan sekitar dia. Meski hidup di tengah kemaksiatan, ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Orang yang ber-uzlah menurut kriteria kedua adalah orang yang terpengaruh oleh keadaan sekitarnya meskipun ia tinggal menyendiri. Sedangkan orang yang ber-uzlah menurut kriteria ketiga adalah orang yang benar-benar menjauhkan diri dari keadaan sekitarnya baik fisik maupun hatinya.

Uzlah yang terbaik menurut Ibnu Athaillah adalah uzlah-nya Ahlun Nihayah atau manusia yang berada pada tingkat sempurna. Berdasar penjelasannya, orang yang berada pada tingkat ini, ciri-cirinya lebih dekat dengan pelaku uzlah yang masuk kelompok pertama. Orang yang masuk kriteria pertama ini hidupnya diibaratkan seekor ikan yang hidup di laut. Ikan laut tidak akan terasa asin walaupun ia hidup di air laut yang begitu asin. Begitulah hidup orang yang beriman, sangat dekat kepada Allah SWT. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya yang penuh kemungkaran. Dia justru terus melawan kemungkaran itu.

Khalwah dengan hati terjadi ketika hati lebur dalam universalitas Yang Maha-Haqq. Hatinya diam tertuju kepada-Nya, terpesona, seolah-olah la nyata bersamanya. Satu hal prinsip yang harus dilalui oleh seorang salik adalah memperbanyak amalan zikir lewat hati dan lisan secara total, sampai zikirnya itu mengalir ke seluruh seluruh anggota raganya dan me-ngalir bersama peluh keringatnya, lalu merasuk ke dalam jiwa, seketika lisannya akan terdiam, hanya hatinya yang melantunkan lafaz "Allah..., A.llah..." dalam lantunan batin, dan menafikan aktivitas raga dalam berzikir. Sampai kemudian hatinya terdiam, dan terjadilah peleburan jiwa terhadap Zat yang dicarinya, hanyut dalam pesona musyahadah dengan-Nya. Lalu dengan musyahadah tersebut, ia sirna dalam Diri-Nya. Muncullah fana’ dari totalitas diri terhadap universalitas-Nya, seakan-akan ia berada di hadirat-Nya. "Maka katakanlah, kepunyaan siapakab kerajaan hari ini, hanya kepunyaan Allah Swt. yang Mahaesa lagi Mahaperkasar (Q.S. al-Mu'min [40]: 16) Pada saat itulah Allah Swt. tampak dalam batinnya, sehingga ia mabuk merasakan ekstase dalam kedahsyatan-Nya, dalam suasana hudur, pengagungan, dan takzim, sam-pai dada tersisa sedikit pun bagi selain yang dicarinya, yaitu Rabb Yang Maha Agung.

Rasulullah saw. telah bersabda :

"Berfikir satu jam (sebentar) itu lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun".

Mengenai berfikir ini ada 3 tingkatan, yaitu :

1. Berfikirnya orang umum (awam). Maka yang mereka pikirkan adalah sesuatu mengenai kenikmatan dan karunia dari Allah. Dengan memikirkan masalah kenikmatan dan karunia Allah itu, mereka lalu bergairah untuk tekun beribadah. Yang akhirnya dengan ketekunannya itu dapat dicapai tingkat
marifat kepada Allah.

2. Berfikirnya orang Khash (orang-orang tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah). Maka mereka berpikir mengenai janji-janji Allah dan pahala-Nya. Dengan cara seperti itu mereka menjadi giat menjalankan semua perintah-perintah Allah dengan harapan akan mendapat pahala sebanyak-sebayaknya yang telah dijanjikan Allah itu.

3. Berpikirnya orang Khash pula. Yaitu berpikir mengenai ancaman-ancaman Allah dan siksa-Nya. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka menjadi takut sehingga mau menjauhi semua larangan-larangan Allah dengan harapan-harapan besok di akhirat kelak terhindar dari siksa Allah yang pedih.

Ketahuilah bahwa Uzlah itu hanyalah sebagai lantaran saja. Sedang tujuan utama orang ber-uzlah adalah tafakkur yaitu berfikir mengenai sesuatu tang bisa menjadikan seseorang dekat kepada Allah. Maka cara yang terbaik adalah uzlah. Sedang kalau tidak uzlah, maka dikhawatirkan akan ketularan sifat-sifat yang tidak baik yang berlaku dimasyarakat. Misalnya berbagai macam kemaksiatan seperti mengumpat di belakang orang, riya, sombong dan lain sebagainya. Dengan demikian orang beruzlah bisa terpelihara agamanya, terhindar dari percekcokan dan terhindar dari fitnah.

Disebutkan dalam sebuah hadis :

"Perumpamaan teman yang jelek itu bagaikan tukang besi yang membakar besi. Bila bunga api dari besi itu tidak membakarmu, maka akan melekat bau busuknya".

Berkata Ka'ab :
"Barang siapa menghendaki kemuliaan di akhirat, maka hendaklah memperbanyak tafakkur"

Tafakur dapatdilaksanakan kalau orang mau mengasingkan diri, tidak bercampur dengan masyarakat banyak (uzlah). Sehingga pengaruh-pengaruh buruk dari mereka dapat dihindarkan. Maka tafakur inilah buahnya uzlah.

Abu Dardaa' pernah ditanya mengenai amalnya yang paling utama. Maka dia katakan bahwa amal yang utama adalah "tafakur". Karena dengan tafakur orang bisa sampai kepada pengertian hakekat sesuatu, bisa mengerti kenyataan yang benar dari pada yang batal, bisa mengerti sesuatu yang bermanfaat dari pada yang mudharat. Begitu pula dengan bertafakur orang bisa melihat bencana hawa nafsu yang samar-samar, mengetahui tipu daya musuh (setan), dan bujukan keduniaan.

Hasan Al Bashri berkata :

"Tafakur itu merupakan cermin yang bisa memperlihatkan kepadamu akan kebaikanmu dari pada keburukanmu. Dengan cermin itu pula orang bisa melihat kebesaran dan keagungan Allah Ta'ala bila ia bertafakkur mengenai tanda-tanda dan semua yang dibuat oleh Allah. Juga ia bisa melihat tanda-tanda Allah yang terang dan yang samar. Maka dengan begitu dia bisa mengambil faedahnya dari berbagai tingkah laku yang luhur, sehingga hilanglah penyakit hatinya dan dengan sebab itu dia bisa lurus di dalam taat
kepada Tuhannya".

Uzlah sebagaimana disebutkan di atas mengandung arti "khalwah". Yaitu bertafakkur di tempat yang sepi lagi sunyi. Dan khalwah ini merupakan salah satu dari empat tiang yang menjadi dasar bagi orang-orang yang menghendaki penglihatan bathin kepada Allah. Adapun tiga lagi yaitu : Diam, lapar, dan bangun malam itulah yang menjadi dasar bagi seorang murid untuk mencapai tingkat penglihatan bathin kepada Allah. Bahkan Sahl bin Abdullah mengatakan bahwa semua kebaikan itu terkumpul di dalam empat perkara ini. Yaitu : perut yang lapar, mulut yang selalu diam, mengasingkan diri (khalwah, dan bangun
malam.

> Dari berbagai sumber



Keutamaan Orang yang berjihad dan orang yang uzlah sambil menyembah Tuhannya

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي؛
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ (رَجُلٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ بِمَالِهِ وَنَفْسِهِ) قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ (مُؤْمِنٌ فِي شُعْبٍ مِنَ الشُّعَابِ، يَعْبُدُ اللهَ رَبَّهُ، وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ).
Hadits riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu’anhu:
Bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan bertanya: Manusia manakah yang lebih mulia? Nabi Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Yaitu orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Lelaki itu bertanya lagi: Kemudian siapa? Beliau menjawab: Seorang mukmin yang berdiam di salah satu daerah bukit untuk menyembah Allah Tuhannya dan menjauhkan manusia dari kejahatannya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؛ أَنَّهُ قَالَ (مِنْ خَيْرِ مَعَاشِ النَّاسِ لَهُمْ، رَجُلٌ مُمْسِكٌ عِنَانَ فَرَسِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ. يَطِيْرُ عَلَى مَتْنِهِ. كُلَّمَا سَمِعَ هَيْعَةً أَوْ فَزْعَةً طَارَ عَلَيْهِ. يَبْتَغِي الْقَتْلَ وَالْمَوْتَ مَظَانَّهُ. أَوْ رَجُلٌ فِي غَنِيْمَةٍ فِي رَأْسِ شَعَفَةٍ مِنْ هٰذِهِ الشَّعَفِ. أَوْ بَطْنِ وَادٍ مِنْ هٰذِهِ اْلأَوْدِيَةِ. يُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَيُؤْتِي الزَّكَاةَ. وَيَعْبُدُ رَبَّهُ حَتَّى يَأْتِيْهِ الْيَقِيْنُ. لَيْسَ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ فِي خَيْرٍ).
Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
Diriwayatkan dari Rasulullah  Shallallahu alaihi wassalam, sesungguhnya beliau bersabda: “Termasuk kehidupan manusia yang lebih berguna kepada orang banyak, seorang yang memegang tali kekang kudanya bersiap untuk berjuang di jalan Allah. Dia terbang di atas punggung kudanya setiap mendengar suara atau serangan yang mengejutkan. Dia terbang diatas kudanya, mencari kematian terbunuh atau kematian di tempat yang diharapkannya. Atau seorang laki-laki dengan kambingnya di satu puncak bukit dari beberapa puncak bukit, atau di lembah yang dalam dari beberapa lembah, dikerjakannya shalat, dibayarnya zakat dan tetap menyembah Tuhannya sampai menemui keyakinan (kematian), sedang kepada orang banyak dia melimpahkan kebaikan.


MANFAAT UZLAH BAGI PENCERAHAN HATI DAN KETAJAMAN PIKIRAN

Tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati sebagaimana uzlah, sebab dengan memasuki uzlah alam pemikiran kita akan menjadi lapang.”
Mengobati penyakit hati bagi seorang murid merupakan sebuah kewajiban. Sementara penyakit-penyakit hati itu terjadi karena kekalahannya terhadap hokum-hukum tabiat dari pergaulannya yang berlawanan dengan kehendak kesucian hatinya, terpaku dengan kebiasaan-kebiasaan buruk dan arena mengikuti kehendak hawa nafsunya serta merasa senang dengan perasaan alam indrawi.
Untuk mengobati penyakit hati ada banyak cara yang bisa ditempuh, tetapi yang paling ampuh dan bermanfaat ialah dengan cara mengasingkan diri dari keramaian hiruk pikuk manusia (uzlah) melakukan perenungan, menghidupkan jiwa dan mensucikan pikiran.
Dengan beruzlah, secara lahir seseorang menjadi terhindar dari pergaulan orang-orang yang tidak patut untuk dipergauli dan selamat dari orang-orang yang akan memasukkan bahaya dan pengaruh negative dengan sebab mempergaulinya.
Dengan begitu maka, maka orang yang beruzlah menjadi terbebas dan selamat dari kemaksiatan yang muncul melalui pergaulan. Seperti menggunjing, riya’, menampilkan sifat yang dibuat-buat. Sehingga ia menjadi selamat dari perangai buruk dan akhlak yang tercela yang hendak merasuki dan merecokinya. Manfaat lain yang juga didapatkan adalah agamanya menjadi terjaga, jiwanya menjadi terpelihara dari dorongan permusuhan, serta berbagai macam kejahatan dan fitnah yang lainnya. Karena nafsu begitu cepat merespon dan hanyut pada hal-hal buruk tersebut tanpa reserve.
Oleh sebab itu, adalah menjadi keharusan bagi orang yang beruzlah untuk menahan lisannya dari bertanya tentang berita orang-orang di luar mengenai kesibukan dan apa saja yang terjadi pada mereka. Juga berkewajiban menjaga pendengarannya dari mendengarkan berita tentang dan keadaan mereka. Agar konsentrasi uzlahnya tidak terganggu dengan munculnya kabar berita yang muncul dan berusaha untuk mengetahuinya. Hendaklah ia juga menjauhi pergaulan dengan orang yang tidak dapat menjaga ucapan dan tidak dapat dipercaya akan kebenaran lisannya, yang ucapannya panjang lebar dan hingga tidak terasa masuk kedalam pergunjingan membicarakan aib dan keburukan manusia. Karena semua itu akan memperkeruh kejernihan hati, sehingga terperangkap kedalam perbuatan maksiat yang mengundang kemurkaan Tuhan.
Bagi orang yang beruzlah hendaklah menjauhi dan berlari dari semua itu, sebagaimana berlarinya menjauh dari binatang buas. Sama sekali janganlah bermitra dengan orang semacam itu. Hendaklah ia mengingkari orang yang dikenalnya yang tidak dapat menjaga lidah, apalagi terhadap mereka yang tidak dikenal, untuk menjaga agamanya.
Sebagaimana perkataan sebagian Ulama :
“Ingkarilah orang yang anda ketahui, janganlah Anda mencari tahu pada orang yang tidak Anda kenal.”
Disebutkan pula dalam Hadis :
“Perumpamaan mitra duduk yang buruk adalah laksana pandai besi, jika ia tidak membakar Anda dengan kejahatan peltikan api ububannya, tentu Anda terkena baunya.”
Didalam akhbar tentang kaum terdahulu disebutkan bahwa Allah swt. Berfirman kepada Nabi Musa as. : “Wahai putera Imran, jadilah Anda selalu terjaga dengan penuh kesadaran, janganlah diri Anda merasa tenang dengan seorang teman. Karena seorang saudara atau teman yang tidak mendorong dan meluruskan Anda untuk berbuat baik kepada-Ku, pada dasarnya dia adalah musuh Anda.”
Allah swt. juga berfirman kepada Nabi Daud as. : “Wahai Daud, Aku tidak melihat Anda menyendiri, untuk beruzlaj. “ Daud berkata : ”Ya Ilahi, Aku mengurus makhluk, karena Engkau.” Allah berfirman : “jadilah Anda, orang yang selalu terjaga penuh waspada, janganlah diri Anda merasa tenang dengan seorang saudara, karena setiap teman atau saudara yang tidak memberikan petunjuk dan dorongan melakukan kebaikan pepada-Ku, maka janganlah Anda bergaul dengannya, karena dia adalah musuh bagi Anda, membuat hati Anda keras membatu dan jauh dari-Ku.”
Abi Ishaq dalam syairnya :
Takutlah terhadap pergaulan anak-anak manusia
Sebagaimana ketakutan Kamu terhadap binatang buas dan singa.
Pergaulilah manusia pilihan di antara mereka
Dengan tetap penuh waspada.
Dengan beruzlah juga akan terhimpunlah cita-cita. Berbeda dengan bergulat dalam hangar bingar pergaulan manusia. Karena yang terakhir ini, akan mencerai beraikan cita-cita dan memerlemah kemauan menuju Tuhan.
Dikatakan pula, bahwa dengan menyepi seorang hamba dapat menyimpulkan masalah yang dianalisanya dalam situasi yang bersih, sehingga memperoleh banyak kebaikan yang dapat diperbuat terhadap Tuhannya. Tetapi ketika ia keluar berkecimpung dalam hiruk pikuk komunitas pergaulan, maka ikatan-ikatan kebaikan itu, akan terlepas satu persatu, hingga tak tersisa ketika ia kembali ke rumah.
Diriwayatkan dari Nabi Isa as. :
Artinya :
“Janganlah Anda menjalin kemitraan dengan orang-orang yang mati. Karena akan menyebabkan hati anda juga menjadi mati.”
Ditanyakan kepadanya : “Siapakah orang-orang yang mati itu ?”
Ia menjawab :”Yaitu orang-orang yang cinta dunia, yang orientasi hidupnya hanyalah untuk kesenangan dunia.”
Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya sesuatu yang paling Aku takutkan terjadi pada umatku adalah, lemahnya keyakinan (iman).” Dan lemahnya keyakinan itu hanya akan terjadi karena pengaruh melihat orang-orang yang lalai dan bergaul dengan orang-orang yang suka berbuat kebatilan dan kekerasan.
Abu Thalib Al-Makki berkata : “Musibah yang paling berbahaya bagi seorang hamba yang membuatnya terperangkap dalam perbuatan yang menyeretnya pada kebinasaan dan jauh dari Tuhan adalah lemahnya iman. Lemahnya keyakinan terhadap apa yang dijanjikan, mengenai hal-hal gaib yang harus diyakini, seperti adanya janji pahala, kesaksian dan ancaman siksa. Kuatnya iman dan keyakinan adalah pangkal dari segala kebaikan dan kesalehan.
Dalam kontek ini, ada seseorang bertanya kepada wali abdal, bagaimana caranya menemukan hakekat dan bisa sampai kepada Al-Haq (Allah). Dia berkata : “Janganlah anda melihat pada makhluk, karena melihat mereka adalah kegelapan. Orang itu berkata : “Melihat mereka menjadi tidak bias tidak, karena saya adalah bagian dari mereka.” Dia menjawab : “ Janganlah Anda mendengar perkataan mereka. Karena perkataan kasar mereka membuat hati Anda mati. “Orang itu berkata lagi : “Tidak bisa tidak, saya adalah manusia diantara mereka.” Dia menjawab : “ Janganlah Anda bermuamalah dengan mereka, karena bermuamalah dengan mereka merupakan kerugian dan kekerasan.” Orang itu berkata : “Saya berada di antara mereka, bermuamalah dengan mereka menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari.” Dia menjawab : “Janganlah Anda merasa tenang tinggal bersama mereka. Karena tinggal bersama mereka akan menimbulkan kerusakan.” Orang itu berkata lagi : “Inilah illatnya.” Sang Wali abdal berkata : “Hai tuan, Anda melihat orang-orang yang bermain-main, mendengar perkataan orang-orang yang bodoh, bermuamalah dengan orang-orang yang batil dan tinggal bersama orang-orang yang rusak, sementara Anda menginginkan mendapatkan manisnya ketaatan, namun hati Anda bersama yang selain Allah, betapa jauh lamun dari kenyataan. Yang demikian itu, tidak akan terjadi selamanya.”
Dan dengan beruzlahlah pandangan matanya menjadi terhindar dari melihat perhiasan dan kenikmatannya yang bersifat menipu, gerak hatinya menjadi terhindar dari memandang baik akan perhiasan dan kesenangan dunia yang dicela oleh Allah. Dengan mengumbar pandangan terhadap perhiasan dan kesenangan dunia nafsu menjadi bergejolak tertarik terus memandangnya secara berlebihan, sehingga terdorong untuk melakukan perbincangan dengan orang yang ahli dunia.
Allah swt. Berfirman :
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. THAHA : 131)
Hendaklah bagi seorang hamba memandang rendah dan hina tehadap dunia dan perhiasannya. Karena dunia dan perhiasannya itu akan menyebabkan timbulnya penyakit hati yang sangat besar dan bernahaya. Barangsiapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia akan selamat dari bahaya besar itu, atas izin Allah swt.
Imam Abu Qasim Al-Qusyairi ra. Berkata : “Orang-orang yang menempuh jalan mujahadah, apabila menghendaki menjaga hati mereka dari getaran-getaran suara hati yang buruk, mereka tidak memandang terhadap perhiasan dunia. Ini merupakan persoalan penting dan mendasar dalam dunia mujahadah bagi orang yang menekuni laku spiritual (riyahadhah).
Muhammad bin Sirin ra. Berkata : “ Tahanlah pandangan Anda, takutlah memandang secara berlebihan. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat.”
Seorang sastrawan berkata : “ Barangsiapa yang mengumbar sorot matanya, maka dia akan selalu menuai penyesalan.” Ada pula yang berkata : “ Pandangan mata menjadi sumber timbulnya lamunan. Barangsiapa yang melepas matanya, dia akan terus memburu mangsanya. Sesungguhnya memandang sesuatu dengan penglihatan mata, menyebabkan hati menjadi tercerai berai. Berkatalah penyair melalui bait-bait syair berikut :
“Jika mata yang merupakan jendela hati
kamu lepas bebas
maka aneka pemandangan
membuat kamu kelelahan
apa yang kamu lihat
tidak akan sanggup kamu jangkau seluruhnya
dan dengan yang sebagian saja
kamu pun tidak akan sanggup bersabar.”
Dengan demikian, keinginannya terhadap apa yang dimiliki orang lain menjadi terputus dan apa yang ada dalam khazanah Allah menjadi harapan dan cita-citanya.
Yang demikian itu, merupakan faedah besar beruzlah bagi orang yang berakal dan memiliki kecerdasan. Manfaat uzlah tidak akan tercapai secara sempurna, kecuali dengan menyibukkan hati dengan berpikir dan melakukan perenungan.
Bagi orang yang beruzlah dituntut untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan lahiriah secara syar’I, dan adab-adabnya secara bathin. Syekh Imam Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan mengenai uzlah di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin di dalam bab uzlah dengan penjelasan yang komprehensif dan mendalam. Hendaklah Anda menelaah dan menyimaknya dengan baik.
Nabi saw. Bersabda : “Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah sunnah selama satu tahun.” Demikian keutamaan beruzlah dengan melakukan perenungan. Wallahu a’lam.
Isa putra Mariam, semoga shalawat dan salam tercurah pada keduanya, juga kepada Nabi kita Muhammad saw. Beliau berkata :
“Sungguh beruntung orang yang ucapannya adalah dzikir, diamnya pikir, penglihatannya untuk mengambil pelajaran. Dan orang yang paling cerdas adalah orang yang mampu menundukkan nafsunya dan beramal buat setelah kematian.”
Ka’ab berkata : “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan di akhirat, maka hendaklah memperbanyak berpikir’”
Ketika ditanyakan kepada Ummi Darda’ : “Amal apakah yang paling mulia yang dilakukan oleh Abu Darda’ ?” Ia menjawab : “ Bertafakkur.” Yang demikian itu, karena dengan bertafakkur dapat bisa sampai mengetahui akan hakekat sesuatu, menjadi jelas antara yang hak dan yang batil, antara yang manfaat dan yang bahaya. Dengan bertafakkur dapat juga diketahui gerak halus munculnya nafsu yang berbahaya, tipu daya musuh, tipuan dunia. Dapat diketahui pula arah jahat kehendak nafsu, sehingga dapat menghindari dan membersihkan dari kejahatannya.
Hasan basri berkata : “ Berpikir merupakan cermin, sehingga terlihat kebaikan dan keburukan Anda.” Apabila seseorang berpikir mengenai ayat-ayat dan ciptaan Allah, maka akan terlihat olehnya kebesaran dan keagungan Allah swt. Dan diketahui pula betapa besarnya nikmat Allah, baik yang nyata maupun yang samar. Didapatkannya suatu keadaan yang luhur yang dapat menghilangkan penyakit hati dan menjadi lurus, tetap teguh dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhannya, juga merupakan manfaat yang diperoleh dengan sebab berpikir.
Saya (Ibnu Ibad) berkata, bahwa mengenai uzlah yang dikemukakan pengarang (Ibnu Athaillah), mengandung pengertian al-khalwah (berkhalwat atau menyepi). Di mana berkhalwat merupakan salah satu dari empat rukun uzlah yang mesti dipenuhi bagi murid, atau orang yang menempuh jalan uzlah. Rukun ketiga yang harus juga dipenuhi ialah as-shumtu (diam), dan seseorang tidak akan bisa menghindari untuk tidak bicara dengan manusia, melainkan dengan berkhalwat dan uzlah. Sementara kedua rukun lainnya ialah lapar (al-juu’) dan terjaga (as-sahr). Bila semua itu, terpenuhi secara sempurna oleh seorang murid, maka berhasil sebagai obat, dan iapun masuk dalam kategori golongan para wali dan wali abdal.
Sahal bin Abdullah ra. Berkata : “ Dengan empat perkara itu, para wali abdal menjadi wali abdal. Keempat perkara itu ialah :
  1. Tahan lapar (al-juu’u)
  2. Diam (as-shumtu)
  3. Berkhalwat (al-khalwah)
  4. Terjaga (as-sahr)
Sebagaimana yang terhimpun dalam syair berikut :

Wahai orang yang menuju maqom wali abdal
tanpa kehendak kuat untuk beramal.

Jangan coba-coba menginginkannya
bila kamu bukan ahlinya.

Mana mungkin kamu dapat memasuki dunia kewalian
sementara kamu masih sibuk dengan hangar bingar
keramaian dan pesta dunia.

Para pemimpin wali abdal mendirikan empat sendi (rukun)
untuk dapat memasuki baitul wilayah (rumah kewalian)
yaitu, diam, mengasingkan diri, lapar dan terjaga.

uzlah


Bersambung dari Kitab Uzlah (Menyendiri) Dan Pergaulan bab kecil  Faedah pergaulan – Merendah diri (2)

Pengalaman-pengalaman hidup amat berfaedah bagi manusia, dan ia dapat dicapai oleh seseorang menerusi percampur gaulan dengan manusia ramai, dan mengambil tahu tentang hal-ehwal penghidupan mereka.
Menerusi akal yang dilengkapi oleh Allah Ta’ala bagi manusia saja, tidak memadai untuk memahami maslahat-maslahat agama dan dunia. Tetapi faedahnya dapat dicapai menerusi pengalaman-pengalaman dan percubaan-percubaan itu.
Misalnya seorang anak kecil jika dipencilkan dari orang ramai, tentulah ia akan dikelubungi oleh sifat bodoh dan tolol. Yang semestinya bagi anak kecil itu berusaha, untuk menuntut ilmu pengetahuan, dan dalam masa menuntut ilmu itu, ia akan memperoleh segala yang diperlukan dari berbagai pengalaman.
Kemudian pengalaman-pengalaman selainnya akan diperolehinya pula, dengan mendengar berbagai-bagai hal yang berlaku di sekitarnya. Kebodohan dan ketololan itu akan melenyapkan banyak amalan-amalan yang berfaedah, tetapi sebaliknya ilmu pengetahuan akan mengharumi amalan-amalan, meskipun sedikit saja bilangannya. Kalaulah tidak kerana demikian, manakah boleh diutamakan ilmu pengetahuan ke atas amalan-amalan.
Syariat Islam sendiri telah menentukan kelebihan seorang alim ke atas orang ‘abid yang banyak ibadatnya sehingga Rasulullah s.a.w. sendiri telah bersabda:
“Kelebihan orang alim ke atas orang’abid, laksana kelebihanku ke atas orang yang paling rendah dari para sahabatku.”
Pendek kata, bila anda faham penuh teliti segala huraian yang lalu mengenai faedah-faedah dan bahaya-bahayanya, akan menjadi senanglah bagi anda untuk menentukan mana satu yang lebih utama antara bercampur gaul dengan memencilkan diri atau uzlah. Sebenarnya yang demikian itu berbeza-beza menurut perbedaan hal dan keadaan.

 Marilah bersama saya  berkongsi ilmu kalian memahami  konsep, definisi dan tujuan Uzlah.

Apakah makna Uzlah?

Uzlah bermakna mengasingkan diri iaitu mengasingkan diri ,meninggalkan, melupakan daripada masyarakat,keluarga,kawan kawan, atau sebarang tanggung jawab yang menjadi rutin  hidup   dalam tempoh tertentu.. mungkin sehari, sepuluh hari,30 hari atau mengikut kadar waktu yang termampu.

Uzlah kebiasaannya disertai dengan amalan “Khalwah”
Khalwah ialah tinggal bersendirian/ bersunyi diri di suatu tempat tertentu  bagi membolehkan seseorang  itu focus beribadah tanpa gangguan dari sesiapa.

Maksudnya:"Tidak ada sesuatu yang dapat memberi manafaat kepada hati seperti UZLAH di mana seseorang hamba itu masuk kepadanya medan tafakkur"

"Sesiapa yang memencilkan diri akan selamat.Sesiapa yang memisahkan dirinya daripada nafsu akan merasai kebebasan"....(Habib Al Ajmi)



Tiada ulasan: