Tamak Sumber Malapetaka
Last Updated on
Saturday, 04 February 2012 12:52
Friday, 03 February 2012 15:07
Dalam
diri manusia terdapat 2 sifat, yaitu: baik dan buruk. Sifat yang baik
dilandaskan atas dasar rasa keimanan, ketakwaan dan kemanusiaan,
manakala sifat buruk selalu didorong nafsu, seperti: sifat kebinatangan,
kejahilan dan ingkar akan perintah Allah. Kedua sifat ini saling
bertentangan antara satu sama lain. Jika iman dan takwa lebih berkuasa,
maka hidup seseorang akan aman daripada pengaruh sifat buruk yang
didalangi syaitan. Diantara sifat buruk yang kita kenal adalah tamak, yaitu sifat yang berlawanan dengan Qanaah (menerima dengan lapang dada).
Secara bahasa tamak berarti rakus hatinya. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.
Dari
definisi diatas bisa kita fahami, bahwa tamak adalah sikap rakus
terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan tanpa memperhitungkan mana yang
halal dan haram. Sifat ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifai
sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan dan perbuatan
keji dan mungkar lainnya, yang kemudian pada penghujungnya mengakibatkan
manusia lupa kepada Allah SWT, kehidupan akhirat serta menjauhi
kewajiban agama.
Sifat
rakus terhadap dunia menyebabkan manusia menjadi hina, sifat ini
digambarkan oleh beliau seperti orang yang haus yang hendak minum air
laut, semakin banyak ia meminum air laut, semakin bertambah rasa
dahaganya. Maksudnya, bertambahnya harta tidak akan menghasilkan
kepuasan hidup karena keberhasilan dalam mengumpulkan harta akan
menimbulkan harapan untuk mendapatkan harta benda baru yang lebih
banyak. Orang yang tamak senantiasa lapar dan dahaga kehidupan dunia.
Makin banyak yang diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan
dahaga untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Jadi, mereka sebenarnya
tidak dapat menikmati kebaikan dari apa yang dimiliki, tetapi sebaliknya
menjadi satu bebanan hidup.
Selanjutnya,
kehidupannya hanya disibukkan untuk terus mendapat apa yang
diinginkannya, karena orang tamak lupa tujuan sebenarnya amanah hidup di
dunia ini. Mereka tidak peduli hal lain, melainkan mengisi segenap
ruang untuk memuaskan nafsu tamaknya. Sesungguhnya Allah menciptakan
manusia sebagai khalifah untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai
hamba-Nya. Seperti dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
“ Dan ِAku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Tamak timbul dari waham iaitu ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: "Tak ada yang lebih mendorong kepada Tamak melainkan imajinasi (waham)
itu sendiri", Dorongan imajinatif, dan lamunan-lamunan panjang yang
palsu senantiasa menjuruskan kita pada ketamakan dan segala bentuk
keinginan yang ada kaitannya dengan kekuatan, kekuasaan, dan fasilitas
makhluk. Waham atau imajinasi itulah yang memproduksi
hijab-hijab penghalang antara kita dengan Allah SWT, Sehingga pencerahan
cahaya yakin sirna ditutup oleh hal-hal yang imajiner belaka.
Sebagian
orang arif berkata, "Jangan sampai anda menduga bahwa diri anda hadir
di depan Allah sementara ada sesuatu di belakang anda yang masih menarik
diri anda.”
Maka perlu kita renungkan firman Allah SWT dalam surat Asy-Syu’araa’ ayat 88-89:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَّلاَ بَنُوْنَ (88) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
88. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
89. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,
Qalb al-Salim adalah hati yang selamat dari segala hal selain Allah SWT. Kesimpulannya memang imajinasi itu menjadi hijab.
Dari segi implementasinya, hijab terbagi dalam tiga macam:
- 1. Hijab kaum awam, berupa dorongan imajinatif untuk bergantung dengan sesama makhluk dan terhalang untuk berjalan menuju kepada Allah.
- 2. Hijab kaum khawash (kalangan khusus) manakala masih berbekas adanya wujud dunia dan terpaku pada cahaya-cahaya pencerahan.
- 3. Hijab kaum khawas al- khawash (kalangan sangat khusus) adalah halangan yang terbebas dari hijab.
Karena itu jika ketamakan menyimpulkan kehinaan, sementara ubudiyah, yaqin dan wara' menumbuhkan
kemuliaan dan kebebasan, maka dalam matan Al-Hikam-nya, beliau
melanjutkan: "Anda adalah bebas merdeka manakala asa anda putus dari
orang yang anda tamaki, dan anda menjadi budak bagi yang anda harapkan."
Padahal seluruh jagad semesta ini adalah hamba Allah dan tunduk atas
perintah-Nya. Jika anda berada dan bersama dengan jagad semesta,
sepanjang tidak melihat yang mencipta alam semesta, maka alam semestalah
yang bersama anda, siapa yang menjadi hamba Allah, berarti bebas dari
segala hal selain Allah.
Orang
yang ragu-ragu terhadap jaminan Allah SWT menafikan kewajiban yang
diamanatkan kepadanya serta rajin mencari apa yang dijamin untuknya
sehingga mengambil yang menjadi jaminan untuk orang lain. Inilah yang
terjadi pada orang tamak. Bagaimana bisa dia menghampiri Allah, jika
amanat yang diserahkan kepadanya diabaikan dan tanggungjawab yang
dipikulkan kepadanya pun ia campakkan. Tamak dan sangkaan tidak
berpisah. Kekuasaan, pangkat dan harta tidak memerdekakan seseorang yang
tamak, dia hanya boleh merdeka jika dia membuang sifat ini. Apabila
tidak ada lagi keinginannya untuk memiliki apa yang berada di dalam
tangan orang lain, barulah dia bebas berjalan menuju Allah SWT.
Allah SWT memberi ancaman keras kepada mereka yang tamak, dijelaskan dalam surah Al-‘Aadiyat ayat 6-11:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ (6) وَإِنَّهُ عَلىَ ذَالِكَ لَشَهِيْدٌ (7) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ (8)
أَفَلاَ يَعْلَمُ إِذَابُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِ (9) وَحُصِّلَ مَا فِى الصُّدُوْرِ (10)
إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ (11)
6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
7. Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
8. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Dalam surah al-Fajr ayat 16-23, Allah berfirman:
وَأَمَّا إِذَا مَاابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَهَانَنِ (16)
كَلاَّ بَلْ لاَّ تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ (17) وَلاَ تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنَ (18)
وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَّمًّا (19) وَتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (20)
كَلاَّ إِذَا دُكَّتِ اْلاَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّاصَفًّا (22)
وَجِاىْ ءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَّتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (23)
Artinya:
16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".
17. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
18. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
19. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),
20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
21. Jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut,
22. Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris.
23.
Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu
ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy
berkata: "Demi Allah, saya tidak melihat kemuliaan kecuali
menghilangkan hasrat terhadap sesama makhluk." Mari kita contoh
Nabiyullah Ibrahim as, ketika mengatakan, "Sesungguhnya aku tidak senang
dengan yang bisa sirna, Padahal segala hal selain Allah adalah sirna."
Ketika Nabi Ibrahim dihukum oleh Raja Namrud untuk dibakar, Malaikat
Jibril As, ingin sekali menolongnya. "Apa kau memerlukan sesuatu
(pertolongan?)" tawar Jibril. "Kalau untukmu tidak, tetapi kalau kepada
Allah, memang!" Jawab Nabi Ibrahim as, "kalau begitu mohonlah
kepada-Nya." Lalu Nabi Ibrahim balik menjawab, "Cukuplah permohonanku
bahwa Dia mengetahui kondisiku." Coba kita renungkan bagaimana Nabi
Ibrahim as, menghilangkan keterkaitan sesama makhluk termasuk dengan
Jibril as, dan hanya memohon pertolongan dengan Allah, dan itu pun
dengan kalimat kepasrahan total kepada Allah.
Kisah
Abul Abbas al-Mursy ketika masa awal di Iskandariyah, suatu ketika
ingin sedekah kepada orang yang ia kenal dengan harga separo dirham.
"Saya berkata dalam diri saya, siapa tahu ia tidak mau mengambil uang
saya, karena kenal saya." Tiba-tiba muncul hatif/hawatif
(bisikan ruhani) "Keselamatan dalam agama itu melalui sikap meninggalkan
tamak terhadap sesama." Beliau dijaga oleh Allah sehingga tidak
terjerumus dalam tamak. Bahkan beliau juga mengatakan, "Orang yang tamak
tak pernah kenyang selamanya. Lihatlah kata Tamak terdiri dari huruf-huruf yang berlubang: Tha’ ,ط : Mim :م , 'Ain : , ع semua huruf ini apabila di satukan maka akan berlubang, yaitu: طمع .
Abul Hasan Al-Warraq ra
berkata, "Siapa yang merasakan cinta terhadap sesuatu dari dunia,
berarti ia telah dibunuh oleh pedang ketamakan. Kalau tamak ditanya
siapa bapakmu? Maka sang tamak mengatakan, "Keraguan terhadap takdir .".
Kalau
ditanya apa pekerjaanmu wahai tamak? "Pekerjaanku adalah menciptakan
kehinaan." Jika ditanya apa tujuanmu? "Tujuanku adalah menghalangi hamba
dengan Allah."
Cara mengobati penyakit tamak:
Obat dari penyakit ini terdiri dari tiga unsur, yaitu : sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:
1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
2. Jika seseorang bisa mendapatkan keperluan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan,
yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak
dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari
Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki
akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya
tidak perlu merasa gusar, sebagaimana di jelaskan dalam surat
Al-‘Ankabut ayat 60:
وَكَأَيِّنْ مِّنْ دَابَّةٍ لاَّ تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Artinya:
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu,
dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah
itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dalam kerakusan dan
tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut dia merasa
tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya
dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah
akalnya dan tipis imannya.
4. Memikirkan
orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena
tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada
para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu
menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah
ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.
5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah SAW bersabda:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah
orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas
kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak
memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim). Hadits
ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka
hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan
tertinggi. Penopang urusan ini adalah sabar dan
membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia
hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang
abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat
menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya. Karena
itu wahai penempuh Jalan Ilahi, hendaknya anda menghilangkan hasrat
harapanmu kepada sesama makhluk, dan jangan membuat dirimu hina di
hadapan mereka, dalam soal rizki, dimana bagiannya telah tergariskan."
Rasulullah
SAW pernah bersabda yang maksudnya: “Hari kiamat telah hampir dan
manusia masih lagi bertambah tamak kepada dunia dan bertambah jauh
dengan Allah.” (Hadis riwayat Tirmizi, Ibnu Majah dan Hakim).
Para ulama mengatakan bahwa:
مَا سَبَقَتْ أَغْصَانُ ذُلٍّ إِلاَّ بِبِذْرِ طَمْعٍ
Artinya: “Tidaklah panjang dahan kehinaan melainkan yang tumbuh dari benih tamak”.
Tamak
diibaratkan sebagai benih yang menumbuhkan pohon kehinaan. Dahan-dahan
kehinaan akan menjalar dan terhulur ke sana ke mari, sehingga akan
semakin bercabang kepada penyakit lainnya, penyakit tamak akan mengikis
perasaan malu dan menghapuskan harga diri, dia menjadi hina dalam
pandangan makhluk dan lebih buruk lagi kedudukannya di sisi Allah SWT.
Dia umpama anjing yang lidahnya selalu terjulur melihat apa yang ada di
tangan orang lain. Si anjing tidak memperdulikan apakah ia dimaki,
diusir atau dipukul asalkan ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Si
tamak melihat seolah-olah rezeki untuknya tidak terbatas, sementara
rezeki orang lain masuk di dalam rezekinya, sebab itu menjadi hak untuk
mengambil hak orang lain. Si tamak tidak memperdulikan bagaimana dia
mendapatkan apa yang dia hajatkan, apakah dengan menengadahkan kedua
tangan, memujuk rayu, menipu ataupun memaksa.
Dasar pijakan hukum lainnya, sebagaimana dalam surah Asy Syuraa ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِىْ حَرْثِهِ , وَمَنْ كاَنَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا , وَمَا لَهُ فِى اْلأَخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ .
Artinya: “ Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah
keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak
ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” Ayat ini menjelaskan bahwa
aspek ke-rakus-an manusia lebih cenderung terhadap unsur-unsur bendawi (uang, kemuliaan dunia berupa jabatan dan imbalan yang diterima).
Orang
yang tamak dalam mencari kesenangan duniawi, sanggup melakukan apa saja
asalkan tujuannya tercapai, walaupun perbuatan itu bertentangan dengan
syariat. Sikap tamak meletakkan urusan mencari kekayaan dan kedudukan
dengan jalan keterlaluan dan terdorong melakukan perbuatan salah.
Sebagaimana para ulama berpendapat:
هِيَ الدُّنْيَا أَقَلُّ مِنَ الْقَلِيْلِ , وَعَاشِقُهَا أَذَلُّ مِنَ الذَّلِيْلِ
“Yang
dinamakan dunia (harta, kemewahan. pangkat dan jabatan) itu semua
sedikit tidak ada nilainya, adapun orang-orang yang selalu asyik dan
terlena kepadanya (dunia), maka ia termasuk dalam golongan yang hina”.
Orang
tamak senantiasa tidak puas dan cukup dengan apa yang dimiliki. Sikap
terlalu cintakan kebendaan dan kemewahan mendorong perasaan untuk
memiliki semua apa yang ada di dunia ini. Orang-orang ini sekalipun
secara lahiriyah memiliki segalanya, tetapi bathinnya kosong dan selalu
tidak puas dengan pemberian dan anugerah Allah SWT. Sebagaimana
dinyatakan oleh ulama:
وَالْحَرِيْصُ فَقِيْرٌ وَلَوْ كَانَ مِلْكَ الدُّنْيَا
“Orang tamak itu fakir hatinya, walaupun ia memiliki dunia beserta isinya”.
orang
tamak tidak pernah merasa dirinya sebagai hamba-Nya. Sebaliknya, mereka
menjadi hamba kepada dunia dan bertuhankan nafsu. Mereka mempertaruhkan
seluruh usaha dan fikirannya untuk mengejar bayang kemewahan dunia.
Oleh karena itu, mari kita telaah firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَ دُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ,
وَمَنْ يَّفْعَلْ ذَالِكَ فَأُولئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
“Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka
Itulah orang-orang yang merugi”.
Oleh itu, ditengah
kondisi bangsa yang kian hari semakin banyak para ‘punggawa’ negeri
kita sudah tidak peduli dengan rakyatnya, mari kita mulai mengadakan
perubahan dalam diri kita, dengan harapan semoga sifat tamak ini tidak
selalu hinggap dalam tubuh para pemimpin, dan mampu menjadi teladan yang
baik sehingga tercapainya kehidupan yang harmonis dan bermanfaat di
dunia dan akhirat. Amin.
Ibnu dahlan El-Madary
Shollallahu Ala Muhammad Wa Aalihi
Dinginnya Nuansa with Kaila, Serang Timur, Banten
25 Shafar 1433H/19 Januari 2012 :02:45PM.
ANAK-ANAK
Bahaya Tamak
Hakikat kehidupan ini adalah ujian,
ujian yang menentukan nilai diri kita, kualiti diri kita, dan kesudahan
hidup kita. Apabila kita diujia dengan kesusahan, kita menyedari ujian
yang diberikan, sebaliknya apabila kita diberi kenikmatan, terkadang
kita tidak menyedari ujian Allah swt disebaliknya.
Manusia
yang tidak dapat menjaga dan mengawal hati mereka, nikmat yang Allah
swt berikan kepada mereka menjadi ujian samada mereka bersifat dengan
sifat-sifat berikut;
- Sifat Tamak dan bakhil.
- Sifat sombong dan membangga diri.
- Sifat Riak.
- Sifat Ujub.
- Sifat Cintakan dunia, kemegahan dan takutkan mati.
- Hasad dengki.
Sifat Tamak
Abu Al-Husain Al-Waraq Al-Saaburi r.a; Barangsiapa
mengetahui akan dirinya kasih akan sesuatu daripada dunia, maka
membunuh ia akan dia dengan pedang Tamak; dan barangsiapa Tamak dalam
sesuatu, maka hinalah baginya; dan dengan hinanya itu [maka]
binasa[lah] ia.
Perasaan
tamak dan kedekut, bakhil merupakan sifat mazmumah, sifat yang tercela
pada diri seseorang. Rasa tamak menjadikan seseorang tidak marasa cukup
dan berusaha untuk mendapatkan yang lebih. Seseorang yang sudah merasa
seronok dan senang dengan nikmat yang diberikan, tidak
mahu nikmat tersebut hilang darinya bahkan rasa ingin lebih seronok
dengan nikmat, maka timbul rasa tamak yang akhirnya mereka menjadi hamba
kepada nikmat dan keseronokan.
Tamak diibaratkan sebagai benih yang menumbuhkan pokok kehinaan. Dahan-dahan kehinaan akan menjalar dan terhulur ke sana
ke mari. Penyakit tamak akan mengikis perasaan malu dan menghapuskan
maruah diri dan memakaikan pakaian kehinaan kepada orang yang berkenaan.
Dia menjadi hina pada pandangan makhluk dan lebih buruk lagi
kedudukannya di sisi Allah s.w.t.
Orang
yang tamak umpama anjing yang lidahnya sentiasa terjulur melihat apa
yang ada di dalam tangan orang lain. Si anjing tidak memperdulikan
apakah dia dimaki, dihalau atau dipukul asalkan dia boleh dapat apa yang
dia mahu. Si tamak melihat seolah-olah rezeki yang diperuntukkan
kepadanya tidak ada sempadan, sementara rezeki yang diperuntukkan kepada
orang lain masuk ke dalam sempadan rezekinya, sebab itu menjadi haknya
untuk mengambil apa yang masuk ke dalam sempadannya.
Si
tamak tidak memperdulikan bagaimana dia mendapatkan apa yang dia
hajati, apakah dengan menadah tangan, memujuk rayu, menipu atau memaksa.
Tamak
timbul dari buruk sangka atau ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh
Allah s.w.t. Allah s.w.t menjaminkan rezeki kepada sekalian makhluk-Nya
dan sebagai timbal balasnya hamba pula diberi tanggungjawab.
Orang
yang ragu-ragu terhadap jaminan Allah s.w.t mencuaikan kewajipan yang
diamanahkan kepadanya dan rajin mencari apa yang dijamin untuknya
sehingga menceroboh sempadan yang menjadi jaminan untuk orang lain.
Inilah yang terjadi pada orang tamak.
Bagaimana
boleh dia menghampiri Allah s.w.t jika amanah yang diserahkan kepadanya
diabaikannya dan tanggungjawab yang dipikulkan kepadanya
dicampakkannya. Dia berasa ragu-ragu untuk menggunakan masa bersama-sama
Allah s.w.t, bimbang rezeki yang dijamin tidak akan sampai kepadanya.
Lantaran itu dia meninggalkan peluang bersama-sama Allah s.w.t kerana
mengejar apa yang dia tamakkan. Orang ini memilih harta Allah s.w.t
daripada Allah s.w.t yang menguasai harta itu.
Firman Allah swt;
إِنَّ الإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
Maksudnya; Sesungguhnya
manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, Dan
Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, Dan
Sesungguhnya dia sangat bakhil kerana cintanya kepada harta.
Firman Allah swt;
وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
Maksudnya; Maka
sesiapa yang bakhil, Sesungguhnya dia bakhil, terhadap dirinya sendiri.
dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang
berkehendak (kepada-Nya).
Sifat tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan
70) Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak (kerakusan)
Sifat tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.
Abubakar Al-Warraq Alhakiem berkata :
Andaikan sifat tamak itu ditanyai :
Siapa Ayahmu ? pasti jawabannya, ragu terhadap takdir Allah.
Apa tujuanmu ? Jawabnya, tidak dapat apa-apa.
Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra baru masuk ke mesjid jami' di Basrah, didapatkan banyak orang yang memberi ceramah di dalamnya, maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, diusir dan tidak diizinkan memberi ceramah di mesjid itu.
Dan ketika sampai ke Majelis Alhasan Albasry, lalu ia bertanya :
Hai pemuda, saya akan bertanya kepadamu sesuatu jika engkau dapat menjawab, maka aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, maka engkau akan aku usir sebagaimana temanmu yang lainnya yang telah aku usir itu.
Al Hasan menjawab : tanyakanlah sekehendakmu...
Lalu Sayyidina Ali bertanya, kepada Al Hasan :
Apakah yang dapat mengukuhkan agama ?
Jawab Al Hasan : Wara (yakni berjaga-jaga diri/menjauh dari segala syubhat dan haram)
Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi :
Apakah yang dapat merusak agama ?
Jawaban Al Hasan : tamak (rakus).
Lalu Imam Ali berkata kepadanya : Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang yang seperti engkau inilah yang dapat memberi ceramah kepada orang.
Seorang guru berkata :
Dahulu ketika dalam permulaan bidayah di Iskandariyah, pada suatu ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seorang yang mengenal aku, lalu timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini,
tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi :
Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk.
Wara dalam agama itu menunjukan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah.
Wara yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian atau penolakan dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah ta'ala.
Shal bin Abdullah berkata :
Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, sebab itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.
Semua hamba pasti akan memakan RizqiNya, hanya mereka berbeda-beda, Ada yang makan rizqiNya dengan :
berhina-hina, yaitu peminta-minta.
bekerja keras, yaitu kaum buruh
dengan menunggu, yaitu pedagang yang menunggu laku dagangannya
rasa mulya, yaitu orang sufi yang merasa tidak ada perantara dengan Tuhan
71). Tiada sesuatu yang dapat menuntun engkau seperti angan-angan (bayangan yang kosong)
Wahm ialah tiap-tiap angan-angan terhadap sesuatu selain dari Allah yang berarti angan-angan terhadap sesuatu tidak mungkin terjadi.
72). engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yang engkau harapkan (inginkan).
Andaikata tidak ada keinginan-keinginan yang palsu pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berarti (berharga).
contohnya :
Burung elang rajawali yang terbang tingggi di angkasa lepas sangat sukar seseorang untuk menangkapnya, tetapi ketika ia (rajawali) melihat sepotong daging yang tergantung pada suatu perangkap, lalu rajawali itu turun dari angkasa karena sikap tamaknya, dan terjebaklah ia oleh perangkap itu sehingga menjadi mainan anak-anak kecil.
Fateh Al-Maushily keitka ditanya tentang contoh orang yang menurutkan hawa nafsunya dan sifat tamaknya sedangka tidak jauh dari tempat itu ada dua anak yang sedang memakan roti, yang satu hanya makan roti, yang kedua makan roti dengan keju, lalu anak itu berkata kepada temanya itu : berilah keju itu kepadaku, lalu temannya menjawab : asalkan engkau mau dijadikan anjingku maka aku berikan keju.
jawab anak itu : baiklah...Maka diikatlah leher temannya itu dijadikan sebagai anjing dan di tuntun.
Berkata Fateh Al-Maushily :Andaikata anak itu tidak tamak pada keju, niscaya tidak akan menjadi anjing.
Terjadi pada seorang murid yang didatangai oleh Gurunya, lalu ia ingin menjamu Gurunya itu, maka ia keluarkan roti yang tanpa lauk pauknya, lalu tergerak hati seorang murid itu "sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna".
Kemudian dihidangkanlah roti itu, kemudia setelah selesai dimakan oleh Gurunya lalu simurid diajak keluar menuju penjara untuk ditunjukan berbagai macam orang yang dihukum, lalu Guru itu berkata kepada muridnya :
Semua orang yang kau lihat itu, yaitu orang yang tidak sabar makan roti yang tanpa lauk pauknya.
Ada seorang hakiem yang sedang makan buah dari rerontokan buah yang jatuh ke sungai, Lalu ada orang itu berkata :
"Hai orang hakiem, sekiranya engkau mau bekerja pada raja, tentu engkau tidak akan sampai makan rerontokan buah dalam sungai".
Lalu dijawab oleh Hakiem itu :
"Andaikan engkau suka menerima makanan ini, tidak usah menjadi buruhnya raja (budak raja).
Ketahuilah bahwa obat ini terdiri dari tiga unsur: sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:
1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya tidak perlu merasa gusar.
3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut, dia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.
4. Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.
5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi.
Penopang urusan ini adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.
(Dirangkum dari Terjemahan Mukhtashar Minjahul Qashidin (hlm.253-255), karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Maret 2004; dengan pengubahan seperlunya oleh redaksi www.muslimah or.id)
Sekedar
sebuah pemikiran pribadi, melihat fenomena memprihatinkan berkaitan
dengan kejahatan moral, yang ditandai maraknya kasus-kasus korupsi,
kriminal, susila, pidana memilukan yang menghinggapi sebagian masyarakat
serta pejabat negeri.
Perilaku sebagai wujud adanya sifat rakus dan tamak dalam pribadi. Penyakit kronis ketamakan dan kerakusan tervisual pada perilaku korup, hedonisme guna memperoleh kepuasan hati akan materi, kekuasaan serta syahwat. Diperparah lagi dengan buntut sifat buruk berikutnya yang menyertai, yakni bohong dan tidak jujur. Kebohongan untuk menutupi perilaku ketamakan agar tak terbongkar.
Saat hati dikuasai oleh substansi hitam maka yang muncul adalah sifat tamak, rakus, dan sederet sifat-sifat egois lainnya. Tamak dan rakus, tidak puas akan sesuatu yang menjadi ‘jatah’ atau haknya. Ciri utamanya adalah merampas hak orang lain, merebut jatah di luar jatah yang menjadi ‘barteran’ keringatnya. Sudah dipastikan maka kerakusan itu akan menyerap substansi hitam lebih banyak, mengkoleksi lebih banyak karma atau dosa. Jika substansi hitam itu akan menumpuk lebih banyak, apa akibatnya?
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, ada proses transformasi saat berperilaku baik ataupun buruk. Proses transformasi itu memerlukan materi untuk ‘pertukaran.’ Apabila kita memiliki substansi putih dalam hati, itu adalah modal yang baik bagi ‘pertukaran’ dalam perjalanan nasib hidup kita. Substansi putih yang terakumulasi dari perbuatan baik kita. Pahala. Tumpukan pahala ini berperan dalam mengubah nasib, takdir ke yang lebih baik. Membawa keberuntungan dan semacamnya.
Sebaliknya apabila tumpukan substansi hitam hasil dari berperilaku buruk, maka kita akan menuai nasib sial. Malapetaka, penderitaan dan semacamnya. Kenapa demikian, karena tidak ada modal yang dapat ‘dipertukarkan’ dengan keberuntungan ataupun kebaikan. Minimnya pahala dan besarnya karma/ dosa akan membawa takdir nasib kita semakin terpuruk. Jika bukan pahala dari kebaikan yang ada, apa yang dapat dipertukarkan untuk mencapai sebuah takdir kebaikan?
Jadi, kembali ke tema diatas, rakus dan ketamakan sebagai ‘mesin’ penghasil substansi hitam, hukumnya sudah jelas, para pelakunya akan menuai keterpurukan, jauh dari keberuntungan dan kebajikan. Entah dituai saat hidup di dunia fana ini ataupun di kehidupan setelahnya. Itu misteriNya.
Sudah jelas apa yang menjadi pilihan kita. Kumpulkan substansi putih lebih banyak dengan berperilaku baik. Agar kita punya modal untuk dipertukarkan dalam proses transformasi perbuatan, menuai takdir kebaikan di segala dimensi kehidupan hari ini, esok, dan dimensi kehidupan berikutnya.
Tentu saja kita harus membangkitkan keSadaran diri sepenuh hati untuk berubah lebih baik. Perubahan berawal dari hati yang tergerak, maka gerakkan hati kita pada pilihan yang baik.
Salam dari asal Kebaikan.
dakwatuna.com – Apabila
sesuatu pekerjaan sering kali dilakukan apapun itu baik itu pekerjaan
yang baik atau pun pekerjaan yang buruk. Maka, secara otomatis berubah
menjadi watak yang sulit untuk dihilangkan.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa perubahan watak seseorang itu adalah 40 hari sebagaimana halnya perubahan yang terjadi pada asal mula manusia pada janin yaitu dari air yang hina atau nutfah menjadi darah. Selanjutnya dari darah menjadi daging selama 40 hari. Dan seterusnya setiap perubahan mempunyai masa 40 hari.
Terkait masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah masalah korupsi yang sudah mengakar dan sudah membudaya bahkan telah dilakukan lebih dari 40 hari. Jadi, artinya telah mengakar kuat dalam diri seseorang yang telah kecanduan korupsi. Kalaupun mau diobati itu sulit sekali ibarat penyakit itu stadium empat.
Dalam istilah agama Islam penyakit yang dihinggapi para korupsi adalah penyakit tamak atau serakah terhadap harta. Walaupun orang tersebut sudah kaya ataupun sudah tua kalau sifat tamak itu masih ada maka, keserakahan itu pasti ada menyertainya. Jalan yang negatif pun dilakoninya asal tujuannya tercapai. Sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini ketua MK diduga melakukan korupsi.
Saya rasa siapapun itu baik kalangan pejabat maupun penegak hukum apabila sifat tamak pada diri seseorang dihilangkan maka, makmurlah Indonesia kita sekarang ini. Untuk membuang sifat tamak tersebut adalah dengan banyak ingat kematian dan bersyukur dengan melihat orang yang lebih rendah derajat keduniaannya dari kita. Insya Allah hidup menjadi tenteram.
Redaktur: Ardne
Nabi Musa a.s berkata: “Ya Tuhanku, Engkau benar-benar sudah mendengar apa yang mereka katakan padaku”. Allah SWT berfirman kepada nabi Musa a.s: “Hai Musa, katakanlah pada mereka, ‘Mereka harus ridla kepada-Ku. Aku pun akan ridla terhadap mereka” (Imam al-Ghazali, Mukasyafat al-Qulub).
Kisah tersebut memberi arti, bahwa setelah kita melakukan amal shalih, janganlah berharap-harap balasan berupa harta duniawi. Usai beramal, serahkanlahr kepada-Nya. Hanya satu yang harus diharap; ridla-Nya, tidak lainnya. Cukup dengan ridla-Nya, amal kita pasti dibalas dengan setimpal kelak.
Menerima ridla-Nya itu berarti kita harus qana’ah. Menurut Abu Abdilllah bin Khafifi, qana’ah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada.
Sifat tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.
Abubakar Al-Warraq Alhakiem berkata :
Andaikan sifat tamak itu ditanyai :
Siapa Ayahmu ? pasti jawabannya, ragu terhadap takdir Allah.
Apa tujuanmu ? Jawabnya, tidak dapat apa-apa.
Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra baru masuk ke mesjid jami' di Basrah, didapatkan banyak orang yang memberi ceramah di dalamnya, maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, diusir dan tidak diizinkan memberi ceramah di mesjid itu.
Dan ketika sampai ke Majelis Alhasan Albasry, lalu ia bertanya :
Hai pemuda, saya akan bertanya kepadamu sesuatu jika engkau dapat menjawab, maka aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, maka engkau akan aku usir sebagaimana temanmu yang lainnya yang telah aku usir itu.
Al Hasan menjawab : tanyakanlah sekehendakmu...
Lalu Sayyidina Ali bertanya, kepada Al Hasan :
Apakah yang dapat mengukuhkan agama ?
Jawab Al Hasan : Wara (yakni berjaga-jaga diri/menjauh dari segala syubhat dan haram)
Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi :
Apakah yang dapat merusak agama ?
Jawaban Al Hasan : tamak (rakus).
Lalu Imam Ali berkata kepadanya : Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang yang seperti engkau inilah yang dapat memberi ceramah kepada orang.
Seorang guru berkata :
Dahulu ketika dalam permulaan bidayah di Iskandariyah, pada suatu ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seorang yang mengenal aku, lalu timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini,
tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi :
Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk.
Wara dalam agama itu menunjukan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah.
Wara yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian atau penolakan dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah ta'ala.
Shal bin Abdullah berkata :
Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara, sebab itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.
Semua hamba pasti akan memakan RizqiNya, hanya mereka berbeda-beda, Ada yang makan rizqiNya dengan :
berhina-hina, yaitu peminta-minta.
bekerja keras, yaitu kaum buruh
dengan menunggu, yaitu pedagang yang menunggu laku dagangannya
rasa mulya, yaitu orang sufi yang merasa tidak ada perantara dengan Tuhan
bebaskan diri dari angan-angan palsu dan sifat tamak
Wahm ialah tiap-tiap angan-angan terhadap sesuatu selain dari Allah yang berarti angan-angan terhadap sesuatu tidak mungkin terjadi.
72). engkau bebas merdeka dari segala sesuatu yang tidak engkau butuhkan dan engkau tetap menjadi hamba kepada apa yang engkau harapkan (inginkan).
Andaikata tidak ada keinginan-keinginan yang palsu pasti orang akan bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berarti (berharga).
contohnya :
Burung elang rajawali yang terbang tingggi di angkasa lepas sangat sukar seseorang untuk menangkapnya, tetapi ketika ia (rajawali) melihat sepotong daging yang tergantung pada suatu perangkap, lalu rajawali itu turun dari angkasa karena sikap tamaknya, dan terjebaklah ia oleh perangkap itu sehingga menjadi mainan anak-anak kecil.
Fateh Al-Maushily keitka ditanya tentang contoh orang yang menurutkan hawa nafsunya dan sifat tamaknya sedangka tidak jauh dari tempat itu ada dua anak yang sedang memakan roti, yang satu hanya makan roti, yang kedua makan roti dengan keju, lalu anak itu berkata kepada temanya itu : berilah keju itu kepadaku, lalu temannya menjawab : asalkan engkau mau dijadikan anjingku maka aku berikan keju.
jawab anak itu : baiklah...Maka diikatlah leher temannya itu dijadikan sebagai anjing dan di tuntun.
Berkata Fateh Al-Maushily :Andaikata anak itu tidak tamak pada keju, niscaya tidak akan menjadi anjing.
Terjadi pada seorang murid yang didatangai oleh Gurunya, lalu ia ingin menjamu Gurunya itu, maka ia keluarkan roti yang tanpa lauk pauknya, lalu tergerak hati seorang murid itu "sekiranya ada lauk pauknya tentu lebih sempurna".
Kemudian dihidangkanlah roti itu, kemudia setelah selesai dimakan oleh Gurunya lalu simurid diajak keluar menuju penjara untuk ditunjukan berbagai macam orang yang dihukum, lalu Guru itu berkata kepada muridnya :
Semua orang yang kau lihat itu, yaitu orang yang tidak sabar makan roti yang tanpa lauk pauknya.
Ada seorang hakiem yang sedang makan buah dari rerontokan buah yang jatuh ke sungai, Lalu ada orang itu berkata :
"Hai orang hakiem, sekiranya engkau mau bekerja pada raja, tentu engkau tidak akan sampai makan rerontokan buah dalam sungai".
Lalu dijawab oleh Hakiem itu :
"Andaikan engkau suka menerima makanan ini, tidak usah menjadi buruhnya raja (budak raja).
Sifat Tamak Manusia
Renungan Ramadhan Hari ke-7
Sifat Tamak Manusia
Kalau
anda yang sudah punya smartphone, lalu ada ang menghadiahkan sebuah
smartphone, apakah anda akan menerimanya dengan senag hati, ataukah anda
menolak dan menyarankan agar diserahkan untuk orang lain yang lebih
membutuhkan??
Sudah bisa dipastikan jawaban anda, pasti akan menerimanya. Bahkan, kalau bisa, akan meminta tambahannya.
Para
penuntut ilmu juga mempunya sifat demikian. Mereka akan senang
mendapatkan pembagian kitab gratis, walaupun kitab yang dibagi itu sudah
dia miliki.
Terlebih lagi bila yang dibagikan adalah uang. Pasti orang yang sudah punya duit pun akan ikut berebutan.
Itulah
sifat asli manusia. Tamak pada harta. Ingin mendapatkan harta lebih,
tapi berat untuk mengeluarkan harta yang sudah masuk dalam pundinya.
Rasulullah
bersabda: “Bila seorang manusia punya dua lembah penuh berisikan emas,
maka ia pasti mengharapkan punya lagi lembah ketiga. Hanya tanahlah yang
cukup untuk menyambat mulut dia” (HR. Tirmizi)
Punya
satu gudang harta belum merasa cukup, ingin punya dua gudang. Sudah
punya dua, pasti ingin punya tiga gudang. Dan begitulah seterusnya.
Karena ia merasa bisa memilki gudang pertama, maka ia merasa pasti akan
berhasil memperoleh gudang berikutnya.
Hanya kematianlah yang akan menghentikan keinginannya, yaitu ketika tanah sudah memenuhi mulut dan perutnya.
Kalau
rasa tamak manusia dibiarkan berkembang, maka pasti tidak ada habisnya.
Walaupun kapasitas/kemampuan dirinya tidak akan sanggup menampung semua
rasa tamaknya.
Inilah yang diingatkan
oleh Rasulullah. Yaitu, pintar-pintar menimbang antara ambisi (rasa
tamak) dengan kemampuan atau kapasitas diri.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
Manusia
selalu akan berharap dan meminta harta, namun tidak ada yang bisa
dimiliki dari harta tersebut kecuali, harta yang sudah habis dimakannya;
pakaian yang dipakainya sampai kumal; dan harta yang disedekahkannya,
dan sedekah itulah harta yang akan kekal sebagai pahalanya di akhirat”
(HR. Muslim)
Sebanyak apapun makanan yang
mampu kita beli, manya beberapa suap yang mampu kita telan; sebanyak
apapun pakaian kita di lemari, hanya sepasang yang bisa kita kenakan,
tidak bisa kita pakai seluruhnya di satu waktu; sebanyak apapun
kendaraan kita, hanya satu saja yagn bisa kita kendarai di satu waktu.
Kalau itu kemampuan kita, berarti kita kemanakan harta yang lebih itu??
Sedekahkan,
itulah jawabannya. Dan sedekah itulah yang akan menjadi harta kita di
akhirat kelak. Sedangkan yang kita makan dan pakai di dunia, semua akan
hancur dan kumal.
Ketahuilah, harta paling banyak yang dimiliki seseorang adalah “rasa cukup”. Akan
tetapi, hanya orang-orang “langka” yang memilki “harta” ini. yaitu,
mereka yang merasa sudah cukup sehingga berani menolak pemberian untuk
dirinya, bahkan meminta agar dialihkan ke orang lain saja.
Di
antara orang langka tersebut adalah umar bin Khattab. Ketika beliau
mendapatkan pemberian harta dari Rasulullah, beliau berkata: “Ya
Rasulullah, berikan saja pada orang yang lebih miskin dari diriku”.
Antara ambisi dan kemampuan, di bulan Ramadhan
Di siang hari di bulan Ramadhan, rasanya seember kolak akan bisa dihabiskan; seceret es teh mampu untuk ditenggak.
Akan tetapi, bila saat berbuka tiba, berapa gelaskah minuman yang sanggup kita minum??
Berapa suap makanan yang muat di perut kita??
Kemanakah ambisi kita yang menggebu-gebu tadi siang??
Silahkan kita sendiri mencari jawaban agar bisa menimbang antara ambisi dan kemampuan diri kita sendiri.
Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)
Cara Mengobati Rakus dan Tamak
1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya tidak perlu merasa gusar.
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَآبَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقُهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-‘Ankabut: 60)3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut, dia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.
4. Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.
5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ
تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ
تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah
melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak
bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan
kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim) Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi.
Penopang urusan ini adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.
(Dirangkum dari Terjemahan Mukhtashar Minjahul Qashidin (hlm.253-255), karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Maret 2004; dengan pengubahan seperlunya oleh redaksi www.muslimah or.id)
Kenapa Sifat Rakus dan Tamak Harus Dibasmi?
16 Oktober 2013 14:55:08 Dibaca : 470
-
Perilaku sebagai wujud adanya sifat rakus dan tamak dalam pribadi. Penyakit kronis ketamakan dan kerakusan tervisual pada perilaku korup, hedonisme guna memperoleh kepuasan hati akan materi, kekuasaan serta syahwat. Diperparah lagi dengan buntut sifat buruk berikutnya yang menyertai, yakni bohong dan tidak jujur. Kebohongan untuk menutupi perilaku ketamakan agar tak terbongkar.
Saat hati dikuasai oleh substansi hitam maka yang muncul adalah sifat tamak, rakus, dan sederet sifat-sifat egois lainnya. Tamak dan rakus, tidak puas akan sesuatu yang menjadi ‘jatah’ atau haknya. Ciri utamanya adalah merampas hak orang lain, merebut jatah di luar jatah yang menjadi ‘barteran’ keringatnya. Sudah dipastikan maka kerakusan itu akan menyerap substansi hitam lebih banyak, mengkoleksi lebih banyak karma atau dosa. Jika substansi hitam itu akan menumpuk lebih banyak, apa akibatnya?
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, ada proses transformasi saat berperilaku baik ataupun buruk. Proses transformasi itu memerlukan materi untuk ‘pertukaran.’ Apabila kita memiliki substansi putih dalam hati, itu adalah modal yang baik bagi ‘pertukaran’ dalam perjalanan nasib hidup kita. Substansi putih yang terakumulasi dari perbuatan baik kita. Pahala. Tumpukan pahala ini berperan dalam mengubah nasib, takdir ke yang lebih baik. Membawa keberuntungan dan semacamnya.
Sebaliknya apabila tumpukan substansi hitam hasil dari berperilaku buruk, maka kita akan menuai nasib sial. Malapetaka, penderitaan dan semacamnya. Kenapa demikian, karena tidak ada modal yang dapat ‘dipertukarkan’ dengan keberuntungan ataupun kebaikan. Minimnya pahala dan besarnya karma/ dosa akan membawa takdir nasib kita semakin terpuruk. Jika bukan pahala dari kebaikan yang ada, apa yang dapat dipertukarkan untuk mencapai sebuah takdir kebaikan?
Jadi, kembali ke tema diatas, rakus dan ketamakan sebagai ‘mesin’ penghasil substansi hitam, hukumnya sudah jelas, para pelakunya akan menuai keterpurukan, jauh dari keberuntungan dan kebajikan. Entah dituai saat hidup di dunia fana ini ataupun di kehidupan setelahnya. Itu misteriNya.
Sudah jelas apa yang menjadi pilihan kita. Kumpulkan substansi putih lebih banyak dengan berperilaku baik. Agar kita punya modal untuk dipertukarkan dalam proses transformasi perbuatan, menuai takdir kebaikan di segala dimensi kehidupan hari ini, esok, dan dimensi kehidupan berikutnya.
Tentu saja kita harus membangkitkan keSadaran diri sepenuh hati untuk berubah lebih baik. Perubahan berawal dari hati yang tergerak, maka gerakkan hati kita pada pilihan yang baik.
Salam dari asal Kebaikan.
Sifat Tamak
Berbagai Kebutuhan Hidup
Dalam kehidupan ini keberadaan kita dikelilingi oleh berbagai kebutuhan tertentu yang melekat sejak kita dilahirkan. Beberapa kebutuhan ini seperti makanan, pakaian, dan rumah merupakan kebutuhan dasar, dan kelangsungan sistem kehidupan pun bergantung kepadanya. Kebutuhan-kebutuhan semacam ini bersifat alami dan tidak berubah. Jenis kebutuhan lainnya tidak penting sekali dan terus menerus berubah serta tidak pernah dapat diraih sepenuhnya.
Sesuai dengan kecenderungan alami dan rasa saling membutuhkan, manusia mencari uang dan berjuang dengan segala cara melawan berbagai problema dan kesulitan yang mungkin menghadang jalannya untuk mencari uang lebih banyak lagi; karena bagi kebanyakan manusia kekayaan adalah keindahan hidup.
Perubahan-perubahan keadaan manusia dalam hidup adalah sesuatu yang alami. Umpamanya, jika seseorang dikelilingi oleh kemiskinan dan kelemahan, ia mencari makan dengan segala cara untuk mencoba menghapus kemiskinan yang mengelilinginya. Jika seseorang memperoleh kekayaan, ia pun dijangkiti kesombongan dan keangkuhan, seolah-olah ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan sifatsifat ini. Terakhir, jika seseorang memperoleh kekayaan dan keamanan bagi dirinya, ia mabuk dengan kesombongan dan keangkuhan, dan ide-ide jahat pun tak henti-hentinya mengepung pikirannya.
Kehidupan mengambil berbagai bentuk bergantung kepada bagaimana seseorang memandangnya dan kemampuan akal yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, banyak orang yang tidak menyadari kebenaran atau mencapai tingkat yang dengannya mereka dapat membedakan nntarn yang aman dan yang berbahaya. Perwujudan kebenaran-kebenaran kehidupan dan pencapaian keadaan bahagia memerlukan perenungan terhadap berbagai rahasia eksistensi, terutama rahasia “mengenal diri” yang hanya dapat dilakukan dalam wewenang akal dan logika.
Manusia harus memahami mengapa ia berada di dunia ini untuk memulai mencari kebahagiaan. Ia harus memilih cara, yang dengan ini ia dapat maju sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan alami dan rohaninya seraya menjauhkan diri dari berbagai keburukan yang memisahkan jiwa dari pertumbuhan pribadi yang sesungguhnya.
Memang, keberhasilan dan kebahagiaan tidak berarti manusia harus selalu mengungguli yang lainnya dengan memanfaatkan sumbersumber materi, karena masalah-masalah materi bukanlah tujuan utama dalam hidup dan manusia tidak semestinya melanggar batas-batas moralitas dan keluhuran untuk memperoleh materi.
Menurut Dr. Carl:
Materialisme liberal ditemukan dalam atmosfir ideologis yang berisi berbagai kepentingan pribadi yang menguasai pikiran kita. Kekayaan telah datang sebagai tujuan utama di mata kita, dan keberhasilan kini diukur dengan peredaran rekening. Suatu masyarakat yang memberikan prioritas kepada urusan-urusan ekonomi tidak pernah dapat dibimbing ke arah moralitas yang memerlukan ketaatan sepenuhnya kepada hukum-hukum kehidupan. Tidak pelak lagi, moralitas membimbing kira kepada kebenaran dan mengatur semua aktivitas jiwa dan raga kita sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kemuliaan moral dapat diibaratkan dengan mesin yang kuat yang berfungsi secara tepat. Perselisihan dalam suatu masyarakat tidak lain merupakan akibat dari ketiadaan moral.
Tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencapai tingkatan rohaniah. Rohaniah merupakan masalah paling penting dan bernilai yang dapat diraih manusia. Orang yang memelihara jiwanya senantiasa terikat dengan mutiara-mutiara rohani dan jarang memburuh kan dunia ini, karena ia memperoleh kepuasan rohani dalam bayang-bayang rohaniah yang menyertainya selama hidupnya. Orang seperti ini dalam keadaan bagaimanapun tidak akan mau menukar kekayaan rohaninya demi materi.
Orang Tamak Tidak Pernah Puas
Iri terhadap apa yang dimiliki orang lain merupakan keadaan psikologis yang memaksa seseorang menjadi materialis dan menjadikan materi sebagai poros tempat berputarnya pikiran.
Kecenderungan materi lahir dari sifat tamak yang tak terkendali. Lantaran kebahagiaan khayali yang ia ciptakan, tamak dianggap sebagai faktor yang membawa kesengsaraan dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia tidak lagi menghiraukan segalanya dan mengorbankannya, semua sifat moral dalam pencariannya mengumpulkan harta, hingga akhirnya perasaan ingin berakar kuat di dalam jiwanya.
Dr. Shaupenhaur berkata:
Agak sulit untuk membatasi kecenderungan-kecenderungan yang ada hubungannya dengan pencarian kekayaan, karena kepuasan individu sangat berbeda-beda dan tidak ada tolok ukurnya yang dengannya berbagai keinginan manusia dapat diputuskan. Beberapa orang puas dengan sedikit uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka, sementara yang lainnya mengeluh tentang ketidakbahagiaan kendati kekayaan mereka berlimpah-limpah (yang jauh melebihi kebutuhan mereka). Oleh karena itu, setiap orang memiliki batasan-batasan tertentu dari berbagai keinginnya, yang dengannya ia memenuhi harapannya. Namun, ketika manusia mengalami kesulitan pada jalan ini, ia mengeluh dan mungkin menyerah. Harta yang melimpah dari si kaya tidak memperdaya si miskin. Kekayaan itu laksana air garam, semakin banyak anda meminumnya akan semakin kehausan.
Memang benar. orang yang tamak tidak akan pernah merasa puas dengan harta benda dunia, bagaikan api yang membakar habis semua bahan bakar yang tersedia.
Ketika ketamakan menguasai suatu bangsa ia mengubah kehidupan sosialnya menjadi wilayah perselisihan dan pertikaian di tempat keadilan, keamanan, dan kerukunan. Biasanya dalam masyarakat seperti ini keunggulan akhlak dan rohani tidak mempunyai tempat.
Harus diingat bahwa bagaimanapun juga ada suatu perbedaan besar antara penyembahan uang dan hasrat untuk maju, yang juga bersifat materi. Oleh karena itu, penting untuk menarik suatu garis di antara kedua aspek ini, karena tidak ada hukum yang jelas yang mencegah masyarakat manusia dari mencari kemajuan dan keunggulan dalam bayang-bayang fitrah dan tujuan.
Perbuatan orang tamak menciptakan serangkaian kesengsaraan bagi masyarakatnya, karena ia bermaksud memenuhi nafsu-nafsunya dengan cara-cara yang zalim termasuk cara-cara yang dapat membawa kemiskinan kepada orang lain. Orang-orang yang iri merampas sumber-sumber kekayaan bagi dirinya untuk memperoleh lebih banyak lagi, dan akibatnya menciptakan berbagai problema ekonomi yang gawat.
Beberapa orang mengatakan bahwa kekayaan adalah suatu sumber yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan, sehingga mereka memberikan perhatian yang besar atasnya. Padahal sebenarnya, orang-orang miskinlah yang lebih unggul dalam semua momen bersejarah yang mulia dan agung. Para penulis, pencipta dan saintis kebanyakan dari kelas miskin.
Di samping itu, kekayaan yang melimpah akan merusak banyak manusia. Misal, ketika seseorang mewarisi sejumlah besar uang, umumnya mereka tidak menghiraukan segala kesempatan bagi pendidikan dan pengetahuan, mereka malah menenggelamkan diri dalam dosa dan nafsu karena tidak membutuhkan pekerjaan atau pengembangan.
Suatu kali seorang kaya mengunjungi seorang filosof terkenal Yunani. Sang filosof memandang remeh si kaya sehingga ia tidak membuat persiapan khusus atas kedatangannya. Filosof itu berkata kepada si kaya:
Sesungguhnya kamu tidak datang kepadaku untuk belajar tetapi untuk menjatuhkanku atas dasar kondisi keuanganku, benarkah begitu?
Orang kaya itu menjawab:
Jika aku mengikuti jalanmu dalam meraih ilmu, aku tidak akan mempunyai harta, istana, pelayan-pelayan, dsb.
Kemudian filosof itu berkata:
Tanpa memandang harta milikmu, aku lebih kaya daripada kamu. Aku tidak membutuhkan pelayan-pelayan untuk melindungiku, karena aku tidak merasa takut kepada siapa pun, terhadap Kaisar sekalipun. Kamu akan selalu miskin, karena kamu bergantung kepada orang lain. Aku mempunyai akal, kepuasan dan kebebasan untuk berpikir sebagai ganti dari emas dan perak, sedangkan kamu membuang-buang waktumu untuk berpikir tentang piring-piring emas. Gagasan-gagasanku adalah kerajaanku yang luas di mana aku tinggal dengan bahagia, sedangkan kamu menghabiskan waktumu dalam kegelisahan dan keresahan. Semua yang kamu miliki itu tidaklah berharga bagiku, tetapi apa yang kumiliki berlimpah-limpah, bagimu tidak akan mungkin memenuhi semua harapan dan keinginanmu, tetapi kebutuhan-kebutuhanku selalu terpenuhi dengan menggunakan akalku.
Sesungguhnya setiap orang harus bersandar kepada ilmu dan bukan kepada emas dan perak; karena hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang bersandar kepadanya.
Tidak syak lagi, kebahagiaan dan ketidakpuasan merupakan bagian dari kehidupan, masing-masing memiliki tempatnya sendiri dalam berbagai peristiwa kehidupan. Setiap orang yang memasuki dunia ini akan mengalami sebagian dari keduanya tanpa melihat banyaknya harta yang dimilikinya. Di sinilah dapat kira katakan bahwa kekayaan, yang melebihi kebutuhan seseorang tidak akan ada manfaatnya dalam menemukan kebahagiaan. Menurut Socrates banyak orang yang tidak memiliki uang, permata, pakaian kebesaran atau istana, namun hidup mereka seribu kali lebih bahagia daripada kehidupan orang-orang kaya.
Sesungguhnya orang tamak itu orang yang hina, orang miskin yang menghamba kepada dunia uan hartanya. Ia telah mencekik lehernya dengan rantai kekayaan dan telah tunduk kepada ketidakdewasaan berpikir. Orang tamak membayangkan bahwa kekayaannya, yang cukup bagi generasi-generasi dari keturunannya, tidak lain merupakan persediaan bagi hari-harinya yang suram. Hanya ketika lonceng-lonceng bahaya dan maut berdering seorang tamak baru menyadari kesalahan-kesalahannya. Ketika lonceng berbunyi untuk memberitahukan detik-detik terakhir kehidupannya, ia melihat kekayaannya, yang karena kekayaannya itu ia telah menghabiskan seluruh umurnya; dengan kesedihan dan kekecewaan ia menyadari bahwa itu semua tiada bermanfaat baginya di dalam kubur, sebuah tempat yang membawanya kepada kesedihan dari banyak kesalahan yang telah ia lakukan di sepanjang hidupnya.
Pembagian yang Adil dalam lslam
Bersamaan dengan seruannya atas manusia untuk berjuang dan maju, lslam memberikan peringatan keras terhadap fanatisme buta kepada materialisme. Islam menyatakan bahwa ketaatan seperti ini menjauhkan manusia dari mencari tujuan hidup yang sebenarnya, yakni kebahagiaan yang kekal. Imam Al-Baqir a.s. memberikan gambaran tentang orang yang tamak sebagai berikut:
Sebuah contoh tentang orang yang tamak terhadap dunia ini adalah ulat sutera. Semakin banyak sutera lalu melilit dirinya, semakin sedikit kesempatannya untuk hidup hingga akhirnya mencekik dirinya sendiri.
“Jauhilah tamak, karena orang-orang sebelum kamu binasa sebagai akibat sifat tamak. Tamak memerintahkan mereka untuk kikir (bakhil) dan mereka pun taat; dan ia memerintahkan mereka kepada dosa dan mereka pun (berbuat) dosa.”
Hindarilah tamak karena pelakunya adalah mangsa kehinaan dan kepayahan.
Kekayaan bukanlah segalanya dalam kehidupan manusia, kebahagiaan yang sesungguhnya pun bukan terletak pada pengumpulan harta. Bagaimanapun juga, banyak pemuda yang membuat suatu kesalahan dengan mempercayai bahwa uang adalah sesuatu yang paling penting dalam hidup. Dengannya, mereka membuang kemuliaan hidupnya untuk mencari kekayaan, sementara hal itu menjauhkan diri mereka dari segalanya. Ini adalah jalan pemikiran yang sangat keliru dan merupakan salah satu alasan di balik begitu banyak kesengsaraan manusia. Kita berjuang untuk mendapatkan istana-istana yang menyenangkan, mobil, pakaian kebesaran, dan sebagainya dengan mengira bahwa itu semua adalah jalan menuju kebahagiaan, padahal sebenarnya semua itu membawa kekecewaan dan kerugian bagi kita.
Orang yang tamak adalah tawanan kehinaan dan yang tawanannya tidak berhenti.
Kepuasan adalah harta yang tidak pernah habis, karena para pemiliknya tidak berhenti berusaha hingga memperoleh apa yang mereka butuhkan. Dengan alasan ini mereka mengatur kehidupan dan menghindari pengotoran atas kebahagiaan rohani mereka melalui usaha-usaha yang keliru dengan mengumpulkan kekayaan dan kerendahan. Orang-orang yang puas merasa senang dengan apa yang ia peroleh secara halal. Cara yang baik ini mengizinkan kita untuk mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya (kemuliaan akhlak); dalam hal ini ia meraih kekayaan yang sesungguhnya (yakni rasa puas) yang membawanya kepada keharmonisan dan tidak perlu meminta apa yang ada di tangan orang lain. Imam Ali a.s. berkata:
Yang terbaik adalah runduk dan paruh kepada kepuasan dan kesalehan, dan membebaskan diri dari sifat iri dan tamak, karena tamak dan iri menimbulkan kemiskinan, sedang ketaatan dan rasa puas menampakkan kekayaan.
Orang yang iri membawa penyakit.
Pemikiran-pemikiran tertentu yang timbul dari sifat tamak. iri dan segala reaksi psikologis lainnya tidak hanya berlawanan dengan jasmani tetapi juga rohani. Sehingga mereka akan menjauhkan kita dari kehidupan yang baik dan mengubah jalan kehidupan yang harmonis. Tamak dan iri menghancurkan segala sifat alami manusia.
Tamak mengotori jiwa, merusak agama dan menghancurkan jiwa muda.
“Orang yang tamak menghadapi tujuh masalah sulit:
1) Khawatir, yang mengganggu tubuhnya dan merugikannya.
2) Kemurahan (depresi) yang tiada akhirnya.
3) Kepayahan, kematian adalah satu-satunya pelarian baginya dan dengan pelarian itu orang-orang yang tamak akan lebih kepayahan.
4) Ketakutan, yang selalu mengganggu hidupnya.
5) Kesedihan, yang selalu membayangi hidupnya,
6) Pengadilan, yang tidak menyelamatkannya dari siksa Allah kecuali bila Allah mengampuninya
7) Hukuman, yang darinya tidak ada tempat untuk berlindung dan menghindar.”
Tamak adalah suatu motif bagi kejahatan.
Buah dari sifat iri adalah mengeluh tentang berbagai kekurangan.
Pencurian berasal dari sifat tamak. Para pencuri mencuri apa yang tidak dimilikinya karena mereka iri terhadapnya. Orang yang mencuri sepasang kaus kaki dari seorang pedagang, atau sepeda, berbuat demikian hanya karena pengaruh sifat iri untuk memiliki barang-barang. Jadi motif pencuri untuk mencuri adalah sifat iri.
Dalam kehidupan ini keberadaan kita dikelilingi oleh berbagai kebutuhan tertentu yang melekat sejak kita dilahirkan. Beberapa kebutuhan ini seperti makanan, pakaian, dan rumah merupakan kebutuhan dasar, dan kelangsungan sistem kehidupan pun bergantung kepadanya. Kebutuhan-kebutuhan semacam ini bersifat alami dan tidak berubah. Jenis kebutuhan lainnya tidak penting sekali dan terus menerus berubah serta tidak pernah dapat diraih sepenuhnya.
Sesuai dengan kecenderungan alami dan rasa saling membutuhkan, manusia mencari uang dan berjuang dengan segala cara melawan berbagai problema dan kesulitan yang mungkin menghadang jalannya untuk mencari uang lebih banyak lagi; karena bagi kebanyakan manusia kekayaan adalah keindahan hidup.
Perubahan-perubahan keadaan manusia dalam hidup adalah sesuatu yang alami. Umpamanya, jika seseorang dikelilingi oleh kemiskinan dan kelemahan, ia mencari makan dengan segala cara untuk mencoba menghapus kemiskinan yang mengelilinginya. Jika seseorang memperoleh kekayaan, ia pun dijangkiti kesombongan dan keangkuhan, seolah-olah ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan sifatsifat ini. Terakhir, jika seseorang memperoleh kekayaan dan keamanan bagi dirinya, ia mabuk dengan kesombongan dan keangkuhan, dan ide-ide jahat pun tak henti-hentinya mengepung pikirannya.
Kehidupan mengambil berbagai bentuk bergantung kepada bagaimana seseorang memandangnya dan kemampuan akal yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, banyak orang yang tidak menyadari kebenaran atau mencapai tingkat yang dengannya mereka dapat membedakan nntarn yang aman dan yang berbahaya. Perwujudan kebenaran-kebenaran kehidupan dan pencapaian keadaan bahagia memerlukan perenungan terhadap berbagai rahasia eksistensi, terutama rahasia “mengenal diri” yang hanya dapat dilakukan dalam wewenang akal dan logika.
Manusia harus memahami mengapa ia berada di dunia ini untuk memulai mencari kebahagiaan. Ia harus memilih cara, yang dengan ini ia dapat maju sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan alami dan rohaninya seraya menjauhkan diri dari berbagai keburukan yang memisahkan jiwa dari pertumbuhan pribadi yang sesungguhnya.
Memang, keberhasilan dan kebahagiaan tidak berarti manusia harus selalu mengungguli yang lainnya dengan memanfaatkan sumbersumber materi, karena masalah-masalah materi bukanlah tujuan utama dalam hidup dan manusia tidak semestinya melanggar batas-batas moralitas dan keluhuran untuk memperoleh materi.
Menurut Dr. Carl:
Materialisme liberal ditemukan dalam atmosfir ideologis yang berisi berbagai kepentingan pribadi yang menguasai pikiran kita. Kekayaan telah datang sebagai tujuan utama di mata kita, dan keberhasilan kini diukur dengan peredaran rekening. Suatu masyarakat yang memberikan prioritas kepada urusan-urusan ekonomi tidak pernah dapat dibimbing ke arah moralitas yang memerlukan ketaatan sepenuhnya kepada hukum-hukum kehidupan. Tidak pelak lagi, moralitas membimbing kira kepada kebenaran dan mengatur semua aktivitas jiwa dan raga kita sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kemuliaan moral dapat diibaratkan dengan mesin yang kuat yang berfungsi secara tepat. Perselisihan dalam suatu masyarakat tidak lain merupakan akibat dari ketiadaan moral.
Tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencapai tingkatan rohaniah. Rohaniah merupakan masalah paling penting dan bernilai yang dapat diraih manusia. Orang yang memelihara jiwanya senantiasa terikat dengan mutiara-mutiara rohani dan jarang memburuh kan dunia ini, karena ia memperoleh kepuasan rohani dalam bayang-bayang rohaniah yang menyertainya selama hidupnya. Orang seperti ini dalam keadaan bagaimanapun tidak akan mau menukar kekayaan rohaninya demi materi.
Orang Tamak Tidak Pernah Puas
Iri terhadap apa yang dimiliki orang lain merupakan keadaan psikologis yang memaksa seseorang menjadi materialis dan menjadikan materi sebagai poros tempat berputarnya pikiran.
Kecenderungan materi lahir dari sifat tamak yang tak terkendali. Lantaran kebahagiaan khayali yang ia ciptakan, tamak dianggap sebagai faktor yang membawa kesengsaraan dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia tidak lagi menghiraukan segalanya dan mengorbankannya, semua sifat moral dalam pencariannya mengumpulkan harta, hingga akhirnya perasaan ingin berakar kuat di dalam jiwanya.
Dr. Shaupenhaur berkata:
Agak sulit untuk membatasi kecenderungan-kecenderungan yang ada hubungannya dengan pencarian kekayaan, karena kepuasan individu sangat berbeda-beda dan tidak ada tolok ukurnya yang dengannya berbagai keinginan manusia dapat diputuskan. Beberapa orang puas dengan sedikit uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka, sementara yang lainnya mengeluh tentang ketidakbahagiaan kendati kekayaan mereka berlimpah-limpah (yang jauh melebihi kebutuhan mereka). Oleh karena itu, setiap orang memiliki batasan-batasan tertentu dari berbagai keinginnya, yang dengannya ia memenuhi harapannya. Namun, ketika manusia mengalami kesulitan pada jalan ini, ia mengeluh dan mungkin menyerah. Harta yang melimpah dari si kaya tidak memperdaya si miskin. Kekayaan itu laksana air garam, semakin banyak anda meminumnya akan semakin kehausan.
Memang benar. orang yang tamak tidak akan pernah merasa puas dengan harta benda dunia, bagaikan api yang membakar habis semua bahan bakar yang tersedia.
Ketika ketamakan menguasai suatu bangsa ia mengubah kehidupan sosialnya menjadi wilayah perselisihan dan pertikaian di tempat keadilan, keamanan, dan kerukunan. Biasanya dalam masyarakat seperti ini keunggulan akhlak dan rohani tidak mempunyai tempat.
Harus diingat bahwa bagaimanapun juga ada suatu perbedaan besar antara penyembahan uang dan hasrat untuk maju, yang juga bersifat materi. Oleh karena itu, penting untuk menarik suatu garis di antara kedua aspek ini, karena tidak ada hukum yang jelas yang mencegah masyarakat manusia dari mencari kemajuan dan keunggulan dalam bayang-bayang fitrah dan tujuan.
Perbuatan orang tamak menciptakan serangkaian kesengsaraan bagi masyarakatnya, karena ia bermaksud memenuhi nafsu-nafsunya dengan cara-cara yang zalim termasuk cara-cara yang dapat membawa kemiskinan kepada orang lain. Orang-orang yang iri merampas sumber-sumber kekayaan bagi dirinya untuk memperoleh lebih banyak lagi, dan akibatnya menciptakan berbagai problema ekonomi yang gawat.
Beberapa orang mengatakan bahwa kekayaan adalah suatu sumber yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan, sehingga mereka memberikan perhatian yang besar atasnya. Padahal sebenarnya, orang-orang miskinlah yang lebih unggul dalam semua momen bersejarah yang mulia dan agung. Para penulis, pencipta dan saintis kebanyakan dari kelas miskin.
Di samping itu, kekayaan yang melimpah akan merusak banyak manusia. Misal, ketika seseorang mewarisi sejumlah besar uang, umumnya mereka tidak menghiraukan segala kesempatan bagi pendidikan dan pengetahuan, mereka malah menenggelamkan diri dalam dosa dan nafsu karena tidak membutuhkan pekerjaan atau pengembangan.
Suatu kali seorang kaya mengunjungi seorang filosof terkenal Yunani. Sang filosof memandang remeh si kaya sehingga ia tidak membuat persiapan khusus atas kedatangannya. Filosof itu berkata kepada si kaya:
Sesungguhnya kamu tidak datang kepadaku untuk belajar tetapi untuk menjatuhkanku atas dasar kondisi keuanganku, benarkah begitu?
Orang kaya itu menjawab:
Jika aku mengikuti jalanmu dalam meraih ilmu, aku tidak akan mempunyai harta, istana, pelayan-pelayan, dsb.
Kemudian filosof itu berkata:
Tanpa memandang harta milikmu, aku lebih kaya daripada kamu. Aku tidak membutuhkan pelayan-pelayan untuk melindungiku, karena aku tidak merasa takut kepada siapa pun, terhadap Kaisar sekalipun. Kamu akan selalu miskin, karena kamu bergantung kepada orang lain. Aku mempunyai akal, kepuasan dan kebebasan untuk berpikir sebagai ganti dari emas dan perak, sedangkan kamu membuang-buang waktumu untuk berpikir tentang piring-piring emas. Gagasan-gagasanku adalah kerajaanku yang luas di mana aku tinggal dengan bahagia, sedangkan kamu menghabiskan waktumu dalam kegelisahan dan keresahan. Semua yang kamu miliki itu tidaklah berharga bagiku, tetapi apa yang kumiliki berlimpah-limpah, bagimu tidak akan mungkin memenuhi semua harapan dan keinginanmu, tetapi kebutuhan-kebutuhanku selalu terpenuhi dengan menggunakan akalku.
Sesungguhnya setiap orang harus bersandar kepada ilmu dan bukan kepada emas dan perak; karena hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang bersandar kepadanya.
Tidak syak lagi, kebahagiaan dan ketidakpuasan merupakan bagian dari kehidupan, masing-masing memiliki tempatnya sendiri dalam berbagai peristiwa kehidupan. Setiap orang yang memasuki dunia ini akan mengalami sebagian dari keduanya tanpa melihat banyaknya harta yang dimilikinya. Di sinilah dapat kira katakan bahwa kekayaan, yang melebihi kebutuhan seseorang tidak akan ada manfaatnya dalam menemukan kebahagiaan. Menurut Socrates banyak orang yang tidak memiliki uang, permata, pakaian kebesaran atau istana, namun hidup mereka seribu kali lebih bahagia daripada kehidupan orang-orang kaya.
Sesungguhnya orang tamak itu orang yang hina, orang miskin yang menghamba kepada dunia uan hartanya. Ia telah mencekik lehernya dengan rantai kekayaan dan telah tunduk kepada ketidakdewasaan berpikir. Orang tamak membayangkan bahwa kekayaannya, yang cukup bagi generasi-generasi dari keturunannya, tidak lain merupakan persediaan bagi hari-harinya yang suram. Hanya ketika lonceng-lonceng bahaya dan maut berdering seorang tamak baru menyadari kesalahan-kesalahannya. Ketika lonceng berbunyi untuk memberitahukan detik-detik terakhir kehidupannya, ia melihat kekayaannya, yang karena kekayaannya itu ia telah menghabiskan seluruh umurnya; dengan kesedihan dan kekecewaan ia menyadari bahwa itu semua tiada bermanfaat baginya di dalam kubur, sebuah tempat yang membawanya kepada kesedihan dari banyak kesalahan yang telah ia lakukan di sepanjang hidupnya.
Pembagian yang Adil dalam lslam
Bersamaan dengan seruannya atas manusia untuk berjuang dan maju, lslam memberikan peringatan keras terhadap fanatisme buta kepada materialisme. Islam menyatakan bahwa ketaatan seperti ini menjauhkan manusia dari mencari tujuan hidup yang sebenarnya, yakni kebahagiaan yang kekal. Imam Al-Baqir a.s. memberikan gambaran tentang orang yang tamak sebagai berikut:
Sebuah contoh tentang orang yang tamak terhadap dunia ini adalah ulat sutera. Semakin banyak sutera lalu melilit dirinya, semakin sedikit kesempatannya untuk hidup hingga akhirnya mencekik dirinya sendiri.
(Ushul Al-Kafi, jilid 11)
Rasulullah Saw, bersabda:“Jauhilah tamak, karena orang-orang sebelum kamu binasa sebagai akibat sifat tamak. Tamak memerintahkan mereka untuk kikir (bakhil) dan mereka pun taat; dan ia memerintahkan mereka kepada dosa dan mereka pun (berbuat) dosa.”
(Nahj Al-Fasahah, hal. J 99)
Imam Ali a.s. menunjukkan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh rasa iri ketika beliau berkata:Hindarilah tamak karena pelakunya adalah mangsa kehinaan dan kepayahan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 135)
Dr. Mardin berkata:Kekayaan bukanlah segalanya dalam kehidupan manusia, kebahagiaan yang sesungguhnya pun bukan terletak pada pengumpulan harta. Bagaimanapun juga, banyak pemuda yang membuat suatu kesalahan dengan mempercayai bahwa uang adalah sesuatu yang paling penting dalam hidup. Dengannya, mereka membuang kemuliaan hidupnya untuk mencari kekayaan, sementara hal itu menjauhkan diri mereka dari segalanya. Ini adalah jalan pemikiran yang sangat keliru dan merupakan salah satu alasan di balik begitu banyak kesengsaraan manusia. Kita berjuang untuk mendapatkan istana-istana yang menyenangkan, mobil, pakaian kebesaran, dan sebagainya dengan mengira bahwa itu semua adalah jalan menuju kebahagiaan, padahal sebenarnya semua itu membawa kekecewaan dan kerugian bagi kita.
(Khistan Sazi)
Imam Ali a.s. berkata:Orang yang tamak adalah tawanan kehinaan dan yang tawanannya tidak berhenti.
(Ghurar At-Hikam, hal. 50)
Kebenaran ajaran lslam, yang sesuai dengan fitrah manusia, secara
sama membagi materialisme dan kerohanian. Dengan demikian, ia telah
memilih suatu jalan bagi para pengikutnya yang dapat menjamin kesehatan
jasmani dan rohani. Orang-orang yang taat memiliki rohani yang bijak dan
benar, karena mereka memahami kebenaran-kebenaran ilahiah.Kepuasan adalah harta yang tidak pernah habis, karena para pemiliknya tidak berhenti berusaha hingga memperoleh apa yang mereka butuhkan. Dengan alasan ini mereka mengatur kehidupan dan menghindari pengotoran atas kebahagiaan rohani mereka melalui usaha-usaha yang keliru dengan mengumpulkan kekayaan dan kerendahan. Orang-orang yang puas merasa senang dengan apa yang ia peroleh secara halal. Cara yang baik ini mengizinkan kita untuk mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya (kemuliaan akhlak); dalam hal ini ia meraih kekayaan yang sesungguhnya (yakni rasa puas) yang membawanya kepada keharmonisan dan tidak perlu meminta apa yang ada di tangan orang lain. Imam Ali a.s. berkata:
Yang terbaik adalah runduk dan paruh kepada kepuasan dan kesalehan, dan membebaskan diri dari sifat iri dan tamak, karena tamak dan iri menimbulkan kemiskinan, sedang ketaatan dan rasa puas menampakkan kekayaan.
(Ghumr AI-Hikam, hal. 255)
Beliau juga menunjukkan gangguan rohani dan psikologis yang mempengaruhi orang yang iri ketika beliau berkata:Orang yang iri membawa penyakit.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 544)
Or. Mardin berkata:Pemikiran-pemikiran tertentu yang timbul dari sifat tamak. iri dan segala reaksi psikologis lainnya tidak hanya berlawanan dengan jasmani tetapi juga rohani. Sehingga mereka akan menjauhkan kita dari kehidupan yang baik dan mengubah jalan kehidupan yang harmonis. Tamak dan iri menghancurkan segala sifat alami manusia.
(Pirozi Fikr)
Sebagaimana dikutip, Imam Ali a.s. berkata:Tamak mengotori jiwa, merusak agama dan menghancurkan jiwa muda.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 77)
Rasulullah Saw. menjelaskan tentang berbagai penderitaan dan bencana yang timbul dari sifat tamak. Beliau berkata:“Orang yang tamak menghadapi tujuh masalah sulit:
1) Khawatir, yang mengganggu tubuhnya dan merugikannya.
2) Kemurahan (depresi) yang tiada akhirnya.
3) Kepayahan, kematian adalah satu-satunya pelarian baginya dan dengan pelarian itu orang-orang yang tamak akan lebih kepayahan.
4) Ketakutan, yang selalu mengganggu hidupnya.
5) Kesedihan, yang selalu membayangi hidupnya,
6) Pengadilan, yang tidak menyelamatkannya dari siksa Allah kecuali bila Allah mengampuninya
7) Hukuman, yang darinya tidak ada tempat untuk berlindung dan menghindar.”
(Mustadrak AI-Wasa’il, jilid II, hal. 435)
Ketamakan adalah suatu keinginan jahat yang mengarahkan manusia kepada kehinaan dan dosa. Imam Ali a.s. berkata:Tamak adalah suatu motif bagi kejahatan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 16)
Beliau juga berkata:Buah dari sifat iri adalah mengeluh tentang berbagai kekurangan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 360)
Dr. S .M. Caughaust berkata:Pencurian berasal dari sifat tamak. Para pencuri mencuri apa yang tidak dimilikinya karena mereka iri terhadapnya. Orang yang mencuri sepasang kaus kaki dari seorang pedagang, atau sepeda, berbuat demikian hanya karena pengaruh sifat iri untuk memiliki barang-barang. Jadi motif pencuri untuk mencuri adalah sifat iri.
(Chi Midanam)
Akhirnya kita berkesimpulan bahwa tamak -gangguan jiwa yang berbahaya
ini- dapat diobati dengan beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Kepuasan
hanya dapat dicapai dengan memperkuat rohani dan membangun akhlak yang
mulia.
Psikologi Islam,
Mujtaba Musavi Lari
Mujtaba Musavi Lari
Jauhi Sifat Tamak Terlebih Dahulu
Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan
informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk
tulisan kepada kami, klik di sini.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa perubahan watak seseorang itu adalah 40 hari sebagaimana halnya perubahan yang terjadi pada asal mula manusia pada janin yaitu dari air yang hina atau nutfah menjadi darah. Selanjutnya dari darah menjadi daging selama 40 hari. Dan seterusnya setiap perubahan mempunyai masa 40 hari.
Terkait masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah masalah korupsi yang sudah mengakar dan sudah membudaya bahkan telah dilakukan lebih dari 40 hari. Jadi, artinya telah mengakar kuat dalam diri seseorang yang telah kecanduan korupsi. Kalaupun mau diobati itu sulit sekali ibarat penyakit itu stadium empat.
Dalam istilah agama Islam penyakit yang dihinggapi para korupsi adalah penyakit tamak atau serakah terhadap harta. Walaupun orang tersebut sudah kaya ataupun sudah tua kalau sifat tamak itu masih ada maka, keserakahan itu pasti ada menyertainya. Jalan yang negatif pun dilakoninya asal tujuannya tercapai. Sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini ketua MK diduga melakukan korupsi.
Saya rasa siapapun itu baik kalangan pejabat maupun penegak hukum apabila sifat tamak pada diri seseorang dihilangkan maka, makmurlah Indonesia kita sekarang ini. Untuk membuang sifat tamak tersebut adalah dengan banyak ingat kematian dan bersyukur dengan melihat orang yang lebih rendah derajat keduniaannya dari kita. Insya Allah hidup menjadi tenteram.
Redaktur: Ardne
Jadilah Lebih Mulia Tanpa Bersifat Tamak!
Diriwayatkan, oleh Imam al-Ghazali, suatu ketika kaum Bani Israil bertanya kepada Nabi Musa a.s : “Tanyakan kepada Tuhanmu kami memperoleh apa, bila mengerjakan sesuatu. Sebab kami telah amalkan apa yang Dia (Allah) inginkan”.Nabi Musa a.s berkata: “Ya Tuhanku, Engkau benar-benar sudah mendengar apa yang mereka katakan padaku”. Allah SWT berfirman kepada nabi Musa a.s: “Hai Musa, katakanlah pada mereka, ‘Mereka harus ridla kepada-Ku. Aku pun akan ridla terhadap mereka” (Imam al-Ghazali, Mukasyafat al-Qulub).
Kisah tersebut memberi arti, bahwa setelah kita melakukan amal shalih, janganlah berharap-harap balasan berupa harta duniawi. Usai beramal, serahkanlahr kepada-Nya. Hanya satu yang harus diharap; ridla-Nya, tidak lainnya. Cukup dengan ridla-Nya, amal kita pasti dibalas dengan setimpal kelak.
Menerima ridla-Nya itu berarti kita harus qana’ah. Menurut Abu Abdilllah bin Khafifi, qana’ah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan