Makna Tawakal
بسم الله الرحمن الرحيم
التوكل واليقين
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا
حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ هُبَيْرَةَ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ
يَقُولُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
إِنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ
بِطَانًا (رواه أحمد)
Dari Umar bin Khattab ra berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah
SAW bersabda, ‘Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah SWT
dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki
(oleh Allah SWT), sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam
keadaan kenyang (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits marfu’ dari Umar bin Khattab ra, yang diriwayatkan melalui jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari Abu Tamim Al-Jaisyani, dari Umar bin Khattab, dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh :
• Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah SAW, Bab Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
• Imam Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164.
• Imam Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits no 205, 372 dan 375.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits di atas menjelaskan tentang hakekat tawakal yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia Allah) pada pagi hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah SWT lah yang memberikan rizkinya sesuai dengan kebutuhannya.
Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada Allah SWT dengan mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya, tentulah dari aspek rizki, Allah SWT akan memberikan rizki padanya sebagaimana seekor burung yang berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang pada sore hari dengan perut kenyang. Artinya insya Allah rizkinya akan Allah cukupi.
Makna Dan Hakekat Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal merupakan aktivias hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337)
2. Ibnu Qoyim al-Jauzi
“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan : Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT) : Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.
Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan mmenuju pada kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju pada ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)
Tawakal merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, kita dapat melihat, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah SWT. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.
Derajat Tawakal
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1. (معرفة بالرب وصفاته)
Derajat pertama dari tawakal adalah : Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2. (إثبات في الأسباب والمسببات)
Derajat tawakal yang kedua adalah : Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3. (رسوخ القلب في مقام توحيد التوكل)
Derajat Tawakal yang ketiga adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
4. (اعتماد القلب على الله، واستناده إليه، وسكونه إليه)
Derajat tawakal yang keempat adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
5. (حسن الظن بالله عز وجل)
Derajat tawakal yang kelimana adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6. (استسلام القلب له)
Derajat Tawakal yang keeman adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7. (التفويض)
Derajat tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44)
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya".
Seorang hamba yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat melainkan dengan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah tidak akan menetapkan sesuatu kecuali yang terbaik bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Tawakal Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Sehingga kita jumpai cukup banyak ayat-ayat yang secara langsung menggunakan kata yang berasal dari kata tawakal. Berdasarkan pencarian yang dilakukan dari CD ROM Al-Qur’an, kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:
1. Tawakal merupakan perintah Allah SWT.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 8 : 61)
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Lihat juga QS.11:123, 25:58, 26:217, 27:79, 33:3, 33:48,
2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong)
Allah berfirman (QS. 17:2)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلاَّ تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلاً
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,
3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal.
Allah berfirman (QS. 3 : 122) :
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mu’min bertawakal.
Lihat juga QS.3:160, 5:11, 5:23, 7:89, 8:2, 9:51, 58:10, 64:13.
4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca; keingingan/ ambisi positif yang kuat)
Allah berfirman (QS. 3 : 159)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung)
Allah berfirman (QS. 3: 173)
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Lihat juga QS.4:81, 4:109, 4:132, 4:171.
6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugrah dari Allah.
Allah berfirman (QS. 8 : 49):
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Lihat juga QS.17:65.
7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga)
Allah berfirman (QS. 16: 41-42):
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ*
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.
Lihat juga QS.29:58-59.
8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya.
Allah berfirman (QS. 65:3):
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Tawakal Dalam Hadits
Selain dalam Al-Qur’an, dalam haditspun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. Sedangkan pelacakan melalui CD ROM, kita mendapatkan terdapat sekitar 900 an hadits yang terdapat kata yang berasal dari kata tawakal. (Dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal.) Sebelas hadits yang dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, telah mencakup sebagaian besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita dapat menyimpulkan beberpa poin :
1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ الآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الإِسْلاَمِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai penigkut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa as beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab). Setelah itu nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberiktahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘ Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rab nya lah, mereka bertawakal.” Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah SAW doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘doakan saja juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari & Muslim).
2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah SWT. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati. (HR. Muslim)
3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?
5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
6. Tawakal adalah setelah usaha.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Penutup
Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus terlebih dahulu didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari tawakal itu.
Oleh kerananya, marilah kita meningkatkan rasa tawakal kita kepada Allah, dengan memperbanyak unsur-unsur yang merupakan derajat dalam ketawkalan ke dalam diri kita. Sehingga kitapun dapat masuk ke dalam surga Allah tanpa adanya hisab, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits di atas. Amin.
Wallahu A’lam
Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Pengertian Tawakal dan Prinsip - Prinsipnya
Pengertian dari Tawakal adalah
menetapkan dan berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala atas semua
kejadian atau hasil yang diterimanya dengan keyakinan bahwa Allah
subhanahu wa ta'ala yang memiliki kehendak terhadap semua makhluk - Nya.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala untuk berbuat tawakal, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1. Q.S An Nisa ayat 81 :
Artinya: Dan mereka (orang orang munafik) mengatakan : "(kewajiban kami hanyalah) taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagiaan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi pelindung.
2. Q.S Ibrahim ayat 11 :
Artinya : Rasul - rasul mereka berkata kepada mereka: "kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang dia kehendaki di antara hamba - hambanya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang - orang mukmin bertawakal.
3. Q.S At - Talaq ayat 3 :
Artinya : Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka - sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap tiap sesuatu.
Berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala pada segala hal hendaknya disertai dengan usaha atau ikhtiar. Allah juga memerintahkan kita untuk berusaha. Misalnya, ketika kamu ingin pintar, kamu harus rajin belajar. Kepintaran itu tidak akan datang dengan sendirinya. Bahkan orang yang tadinya pintar jika tidak belajar kemungkinan akan hilang kepintarannya. Kerja keras dan kerja cerdas merupakan komponen penting dalam meraih kesuksesan atau kemenangan. Yang harus kita yakini adalah bahwa dalam setiap kemenangan atau kesuksesan dalam bisnis, sekolah, karir pasti di dalamnya terdapat pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala. Islam mengajarkan kita untuk menyertakan prinsip - prinsip tawakal dalam proses pencapaian cita - cita. Sebuah aktivitas bisa di kategorikan menggunakan prinsip tawakal apabila terdapat 4 unsur, yaitu sebagai berikut :
1. Mujahadah, artinya sungguh sungguh dalam melakukan suatu pekerjaan, artinya tidak asal asalan. Contohnya, sebagai pelajar, belajarlah sungguh sungguh agat dapat memperoleh prestasi yang baik.
2. Doa, artinya walaupun kita sudah melakukan upaya mujahadah (sungguh sungguh) kita pun harus tetap berdoa memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala
3. Syukur, artinya apabila menemukan keberhasilan kita harus mensyukurinya. Prinsip ini perlu kita punya. Jika tidak, kita akan menjadi orang yang sombong atau angkuh (kufur nikmat).
4. Sabar, Artinya tahan uji menghadapi berbagai cobaan termasuk hasil yang tidak memuaskan (kegagalan). Sabar tidak berarti diam dan meratami kegagalan, tetapi sabar adalah instropeksi dan bekerja lebih baik agar kegagalan tidak terulang
Definisi “ TAWAKAL”
inMenurut bahasa, lafal tawakal berasal dari bahasa arab yg artinya bersandar. Menurut istilah , tawakal ialah sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha secara maksimal. Seseorang yg berusaha secara maksimal untuk mencapai suatu keinginan atau cita-cita ,setelah itu dia menerima dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah atas hasil yg akan dia dapatkan, orang ini disebut bertawakal.Orang yg bertawakal ,maka ia termasuk orang yg berakhlak mulia.
Selain itu, ada pula definisi lain tentang tawakal, yaitu :
tawakal (bahasa Arab: توكُل) atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, penyampai wahyu Allah, “Apakah tawakal itu?” Ia menjawab, “Tawakal adalah yakin pada realita bahwa makhluk bukanlah pembawa keuntungan, bukan pula pembawa kerugian, tidak memberi, tidak pula menghalangi, dan tidak menggantungkan harapan kepada makhluk apapun. Ketika seorang hamba telah yakin demikian, ia tidak melakukan pekerjaan kecuali untuk Allah, dan tidak mempunyai harapan kecuali dari-Nya. Inilah hakikat dari tawakal.”
Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, “Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Pembahasan tentang tawakal
Tawakal kepada Alah swt. tidak mempunyai arti lain kecuali bahwa manusia menjadikan Allah sebagai wakilnya dalam menghadapi persoalan, musibah-musibah kehidupan, musuh, para penentang, dan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Dan ketika seseorang —biasanya— telah sampai pada jalan buntu dalam upaya mencapai tujuan dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan dan memecahkan persoalannya, ia akan menyandarkan diri kepada-Nya dengan tanpa menghentikan upayanya. Bahkan, tatkala ia sendiri mempuyai kemampuan untuk melakukan pekerjaannya, ia tetap menganggap bahwa faktor utama semua itu hanyalah Allah Swt., karena menurut pandangan seorang mukmin, sumber segenap kekuatan adalah Allah Swt.
Barang siapa yang bertawakal kepada Allah tentu diadakanNya jalan keluar baginya, dan memberinya rizki dari pintu yang tidak diduga-duga olehnya. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Tuhan akan mencukupkan kebutuhanNya. Bahkan sesungguhNya Allah pelaksana semua peraturanNya. Dan Allah juga telah menjadikan segala-galanya serba berukuran.At-Talaq:2-3
Kebalikan dari tawakal kepada Allah adalah menyandarkan diri kepada selain-Nya. Yaitu, hidup secara bergantung (seperti sebuah parasit); menggantungkan diri pada orang lain, dan tidak mempunyai kemandirian. Para ulama akhlak berkata, “Tawakal merupakan sikap yang dihasilan secar langsung dari tauhid Fi’liyah Allah Swt., karena —sebagaimana yang telah kami jelaskan— dilihat dari visi seorang mukmin, setiap gerak, usaha dan fenomena yang ada di dunia ini —pada akhirnya— mempunyai keterkaitan dengan penyebab pertama dunia ini, yaitu Allah. Oleh karena itu, manusia mukmin akan menganggap bahwa seluruh kekuatan yang ada berasal dari-Nya.
Apabila arti tawakal diinterpretasikan dengan berdiam diri di sudut kamar dengan menengadahkan tangan, ini justru menghilangkan arti segala perjuangan dan jerih payah yang dilakukan oleh manusia.
Dan apabila terdapat sebagian kelompok yang mengatakan bahwa peduli terhadap alam materi dan faktor-faktor alam tidak ada relevansinya dengan tawakal, sebenarnya mereka berada dalam kesalahan yang sangat besar, karena memisahkan faktor-aktor alam dari kehendak Allah merupakan sebuah kesyirikan. Bukankah komponen-komponen alam apa pun berasal dari-Nya dan seluruhnya berada di bawah kehendak dan perintah-Nya?
Ya! Apabila kita menganggap faktor-faktor ini sebagai sebuah sistem yang independen dari kehendak dan iradah-Nya, jelas hal ini tidak sejalan dengan substansi tawakal. (Perhatikan baik-baik!).
Bagaimana mungkin interpretasi semacam ini dinisbahkan kepada tawakal, sedangkan Rasulullah saw. sendiri sebagai seorang figur yang berada di atas kaum mutawakilin, ketika ingin mencapai tujuannya, beliau tidak pernah lalai dari rencana dan siasat yang jitu, taktik yang cermat dan berbagai peralatan dan sarana perlengkapan eksternal. Semua ini membuktikan bahwa tawakal tidak mempunyai arti negatif sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
bertawakal kepada Allah Swt. dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk ketergantungan yang merupakan sumber kehinaan dan keterkungkungan, serta memberikan kebebasan dan kepercayaan diri kepadanya.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah! Kami sekali-kali tidak akan ditimpa musibat, kecuali apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kami; dan orang-orang yang beriman hendaklah bertawakal sepenuhnya kepada Allah itu. At-Taubah:51
Adapun orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, terasa kecut hatinya dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayatNya, bertambah kuat imannya; dan mereka bertawakal kepada Tuhannya. Al-Anfal:2
Tawakal dan qanâ’ah (mencukupkan diri dengan apa yang ada) keduanya mempunyai satu akar yang sama. Pada prinsipnya, filsafat dari keduanya mempunyai kemiripan apabila dilihat dari satu sisi. Dan pada saat yang sama, terdapat pula perbedaan di antara keduanya. Di sini, beberapa riwayat tentang masalah tawakal akan kami utarakan sebagai sebuah refleksi dari arti aslinya:
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Sesungguhnya qanâ’ah dan kehormatan diri selalu bergerak. Ketika ia menemukan tempat tawakal, maka di sanalah ia akan menetap.”
Perintah untuk bertawakal
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bertawakallah hanya kepada Allah jika engkau beriman” (QS. al-Maa’idah : 23). Tawakal adalah bersandar kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menolak hal-hal yang tidak disukai dengan dilandasi rasa percaya sepenuhnya kepada Allah, serta dengan menempuh cara-cara yang diperbolehkan oleh syari’at dalam rangka mewujudkannya.
Rukun tawakal
Untuk bisa mewujudkannya diperlukan dua hal, yaitu :
1. Bersandar kepada Allah dengan sungguh-sungguh
2. Menempuh cara-cara yang diperbolehkan untuk mewujudkan keinginannya
Barangsiapa yang terlalu bersandar kepada cara/sarana yang ditempuh maka tawakalnya kepada Allah semakin berkurang. Sehingga hal ini membuatnya secara tidak langsung mencela kekuasaan Allah untuk bisa mengatasi segala problema. Yaitu tatkala seorang hamba menjadikan seolah-olah hanya cara itulah yang menjadi inti keberhasilan, agar apa yang diinginkan tercapai dan apa yang tidak disukai hilang.
Barangsiapa yang membuat tawakalnya kepada Allah menyebabkan dirinya melalaikan cara/usaha maka sesungguhnya ia telah mencela hikmah Allah. Karena Allah menciptakan segala sesuatu memiliki sebab musabab. Sehingga orang yang semata-mata bersandar kepada Allah tanpa mau menjalani sebab maka tindakan tersebut merupakan bentuk celaan terhadap hikmah yang Allah tetapkan. Padahal Allah itu Maha bijaksana (Hakiim) yang mempertautkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Seperti contohnya orang yang menyandarkan dirinya kepada Allah demi mendapatkan anak tapi tidak mau menikah.
Kaidah Sebab-Akibat
Allah telah menciptakan hukum sebab akibat yang berlaku di alam semesta ini dengan amat sempurna. Apabila seseorang lapar maka hendaknya dia makan supaya kenyang. Apabila seseorang ingin berharta maka hendaknya dia bekerja. Apabila seseorang ingin memiliki anak maka hendaknya dia menikah. Demikianlah diantara hukum-hukum sebab akibat yang sama-sama sudah kita mengerti.
Dalam perkara lain pun berlaku hal itu, maka tidak boleh kita menempuh sebab-sebab sebagai jalan keluar dari masalah kecuali apabila memenuhi tiga syarat berikut ini :
1. Hanya mencari sebab yang diizinkan oleh agama, tidak boleh memakai sebab yang haram dan tidak masuk akal.
2. Hanya menggantungkan hati kepada Allah
3. Meyakini bahwa berhasil atau tidaknya hanya Allah yang menentukan
(lihat al-Qaul as-Sadid karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 34-35)
Nabi Teladan Dalam Bertawakal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling hebat tawakalnya. Meskipun demikian beliau juga tetap menjalani sebab. Beliau membawa perbekalan apabila hendak bepergian. Begitu pula tatkala berangkat ke peperangan Uhud beliau mengenakan dua lapis baju perang (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Demikian juga ketika berangkat untuk berhijrah beliau juga memilih orang sebagai penunjuk jalan (HR. Bukhari) dan beliau tidaklah mengucapkan, “Saya mau berangkat berhijrah dan akan bersandar kepada Allah, tanpa mencari teman untuk menunjukkan jalan bersamaku”. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melindungi tubuhnya dari sengatan panas dan dinginnya cuaca. Dan tidaklah itu semua mengurangi tawakal yang ada pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Macam-macam tawakal
Tawakal itu ada tiga macam : Tawakal ibadah dan ketundukan, Bergantung kepada orang dalam hal rezeki dan urusan keduniaan lainnya, Menyerahkan urusan kepada seseorang yang dia percayai.
Tawakal Ibadah Dan Ketundukan
Yaitu bergantung sepenuhnya kepada sesuatu yang disandari. Sehingga di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwasanya di tangan sesuatu itulah kekuasaan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak madharat. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bertawakal kepadanya dengan sepenuh hati. Maka tawakal yang seperti ini hanya diperbolehkan ditujukan kepada Allah ta’ala. Barangsiapa yang memalingkannya kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dengan kategori syirik akbar. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang bergantung kepada orang-orang shalih yang sudah mati atau yang tidak hadir (tidak bisa berkomunikasi dengannya). Hal semacam ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya keyakinan bahwa mereka itu memiliki kemampuan tersembunyi untuk turut campur dalam mengatur perjalanan kejadian di alam semesta, sehingga adanya keyakinan itu membuat mereka bergantung dan bersandar kepada mereka (orang-orang shalih atau wali) demi mencapai manfaat dan menolak bahaya. Kesimpulannya tawakal jenis pertama ini syirik akbar jika ditujukan kepada selain Allah.
Bergantung Kepada Orang Lain Dalam Urusan Duniawi
Yang semacam ini tergolong perbuatan syirik ashghar (syirik kecil). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ia termasuk jenis syirik khafi (syirik yang samar-samar). Seperti contohnya kebanyakan orang yang terlalu menyandarkan hatinya terhadap mata pencaharian yang digelutinya dalam rangka mendapatkan rezki. Kesimpulannya tawakal jenis kedua ini adalah syirik ashghar. Dan dosa syirik ashghar itu lebih berat jenisnya daripada dosa maksiat.
Menyerahkan Urusan Kepada Orang Lain
Seperti meminta orang lain untuk membelikan suatu barang, maka yang seperti ini tidak mengapa. Karena pada hakikatnya dia hanya sekedar menyerahkan urusan kepada orang lain dalam keadaan dia berada di posisi yang lebih tinggi dari orang yang dimintai tolong, sehingga ia pun menjadikan orang lain itu sebagai wakil darinya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu untuk menyembelih sisa hewan kurban beliau (HR. Muslim), begitu pula ketika beliau mewakilkan pengurusan shadaqah/zakat kepada Abu Hurairah (HR. Bukhari secara mu’allaq) dan contoh yang lainnya. Sehingga kesimpulannya tawakal semacam ini yang disebut juga dengan taukil (tindakan mewakilkan) adalah perbuatan yang boleh-boleh saja dilakukan.
Di dalam ayat terdahulu (QS. al-Maa’idah : 23) Allah mewajibkan kita untuk bertawakal hanya kepada-Nya. Yaitu pada tawakal jenis yang pertama dan jenis yang kedua. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu konsekuensi atau syarat keimanan. Karena di dalam ayat tersebut Allah berfirman yang artinya, “..bertawakallah kepada Allah jika kalian benar-benar beriman.”
Tawakal Palsu
Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa di masa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah ada sekelompok orang Yaman yang berangkat haji tanpa membawa perbekalan. Maka mereka pun dipanggil untuk menghadap ‘Umar. Kemudian ‘Umar menanyai mereka. Mereka mengatakan, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah”. ‘Umar menimpali, “Kalian bukan termasuk orang yang bertawakal. Tetapi kalian adalah orang yang pura-pura bertawakal”.
Tawakal Separuh Agama
Tawakal merupakan setengah dari agama Islam. Oleh sebab itulah kita senantiasa mengucapkan do’a di dalam shalat kita, ”Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Hanya kepada Engkau lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta pertolongan. Kita meminta pertolongan kepada Allah karena kita bersandar kepada-Nya, karena kita yakin hanya Dia lah yang mampu membantu kita dalam upaya beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala juga memerintahkan (yang artinya), “Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya” (QS. Huud : 123). Allah juga membawakan perkataan salah seorang Nabi-Nya, “Hanya kepada-Nya lah aku bertawakal dan kembali taat” (QS. Huud : 88). Dan tidak mungkin ibadah terwujud tanpa adanya tawakal. Karena apabila seorang manusia dibiarkan untuk mengurusi dirinya sendiri dan ditelantarkan maka sesungguhnya dia telah disandarkan kepada sifat lemah dan ketidakmampuan. Sehingga pada akhirnya dia tidak akan bisa tegar dalam melaksanakan ibadah.
Minimnya Tawakal Didalam Hati
Apabila seorang hamba beribadah kepada Allah dengan disertai perasaan sedang bersandar dan bertawakal kepada Allah maka sesungguhnya dia akan mendapatkan pahala atas ibadahnya tersebut dan pahala atas tawakalnya. Akan tetapi fenomena yang banyak menimpa kita adalah terlalu lemahnya tawakal. Sehingga apabila beribadah atau menjalani kebiasaan kita tidak merasa sedang bersandar dan bergantung kepada Allah sehingga perbuatan kita itu bisa terlaksana. Bahkan sebagian besar dari kita biasanya terlalu mengandalkan cara/sebab lahiriyah, dan lupa terhadap apa yang ada dibalik itu semua. Maka hilanglah pahala yang sangat besar dari kita, yaitu pahala bertawakal. Demikian pula halnya tatkala kita tidak mendapatkan taufik untuk bisa meraih keinginan dan menghindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan. Baik hal itu terjadi karena adanya penghalang yang membuat keinginan kita itu tidak terwujud sama sekali atau berkurang nilainya. Maka kitapun lupa untuk kembali menyandarkannya kepada Allah ta’ala.
Bahaya Bergantung Kepada Selain Alllah
Dengan demikian orang yang bertawakal kepada selain Allah maka dia berada dalam salah satu di antara dua keadaan [baca: keburukan] : Keadaan Pertama : Kehilangan kesempurnaan iman yang hukumnya wajib ada, karena ia terjerumus dalam syirik ashghar. Keadaan Kedua : Kehilangan seluruh keimanan, karena ia terjerumus dalam syirik akbar.
Wallahul musta’aan.
[disadur dari al-Qaul al-Mufid, 2/28-30 dengan sedikit perubahan dan penambahan] Artikel ini pernah dipublikasikan melalui muslim.or.id kemudian kami edit kembali
Derajat Tawakal
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1. (معرفة بالرب وصفاته)
Derajat pertama dari tawakal adalah : Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2. (إثبات في الأسباب والمسببات)
Derajat tawakal yang kedua adalah : Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3. (رسوخ القلب في مقام توحيد التوكل)
Derajat Tawakal yang ketiga adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
4. (اعتماد القلب على الله، واستناده إليه، وسكونه إليه)
Derajat tawakal yang keempat adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
5. (حسن الظن بالله عز وجل)
Derajat tawakal yang kelimana adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6. (استسلام القلب له)
Derajat Tawakal yang keeman adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7. (التفويض)
Derajat tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44)
أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ وَأُفَوِّضُ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya”.
Seorang hamba yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat melainkan dengan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah tidak akan menetapkan sesuatu kecuali yang terbaik bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Tawakal Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Sehingga kita jumpai cukup banyak ayat-ayat yang secara langsung menggunakan kata yang berasal dari kata tawakal., kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:
1. Tawakal merupakan perintah Allah SWT.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 8 : 61)
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Lihat juga QS.11:123, 25:58, 26:217, 27:79, 33:3, 33:48,
2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong)
Allah berfirman (QS. 17:2)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلاَّ تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِيوَكِيلاً
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,
3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal.
Allah berfirman (QS. 3 : 122) :
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mu’min bertawakal.
Lihat juga QS.3:160, 5:11, 5:23, 7:89, 8:2, 9:51, 58:10, 64:13.
4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca; keingingan/ ambisi positif yang kuat)
Allah berfirman (QS. 3 : 159)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung)
Allah berfirman (QS. 3: 173)
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Lihat juga QS.4:81, 4:109, 4:132, 4:171.
6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugrah dari Allah.
Allah berfirman (QS. 8 : 49):
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Lihat juga QS.17:65.
7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga)
Allah berfirman (QS. 16: 41-42):
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ*
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.
Lihat juga QS.29:58-59.
8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya.
Allah berfirman (QS. 65:3):
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Tawakal Dalam Hadits
Selain dalam Al-Qur’an, dalam haditspun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. terdapat sekitar 900 an hadits yang terdapat kata yang berasal dari kata tawakal. (Dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal.) Sebelas hadits yang dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, telah mencakup sebagaian besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita dapat menyimpulkan beberpa poin :
1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab.
Sabda Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
“ Ada 70 ribu orang dari ummatku ini yang akan masuk surga tanpa dihisab. Lalu beliau berkata lagi: mereka adalah orang-orang yang tidak percaya masalah “tathayyur” (kesialan), tidak minta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan “key” (berobat dengan besi panas yang ditempelkan ke tubuh), dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah SWT. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin dan manusia mati. (HR. Muslim)
3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Dimana dikisahkan pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?
5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُالطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
6. Tawakal adalah setelah usaha.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus terlebih dahulu didahului dengan adanya usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari tawakal itu.
Oleh kerananya, marilah kita meningkatkan rasa tawakal kita kepada Allah, dengan memperbanyak unsur-unsur yang merupakan derajat dalam ketawkalan ke dalam diri kita. Sehingga kitapun dapat masuk ke dalam surga Allah tanpa adanya hisab, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits di atas.
Cara menumbuhkan rasa tawakal
1. Sebagai manusia kita harus menyadari bahwa apapun yang kita terima baik itu keberhasilan maupun kegagalan semuanya bersumber dari Allah swt.
2.Kita harus mampu meningkatkan keyakinan kita, atas kekuasaan Allah swt. yang mampu berbuat atas kehendaknya.
3. Perlu ditanamkan sifat tawakal dalam hati kita, agar kehidupan kita dijamin Allah, memiliki kelapangan hati dalam menerima keputusan Allah, serta dijauhkan dari kekufuran karena su’udzan kepada Allah swt
Dampak positif tawakal
1. Perwujudan dari keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
2. Mendukung usaha perdamaian antar sesama manusia.
3. Menguatkan jiwa dalam menghadapi permasalahan hidup.
4. Mendatangkan ketenangan jiwa.
5. Menumbuhkan kesadaran bahwa sesuatu kembali kepada Allah.
6. Mendatangkan kepuasan batin.
7. Membiasakan diri berlaku tawakal
8. Berusaha sabar ketika sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi masih juga mengalami kegagalan.
Pentingnya Tawakal
Akan Mencukupi Semua Urusan Orang Yang Bertawakal Kepada-Nya.Tawakal Adalah Sarana Terbesar Untuk Mendapatkan Kebaikan Dan Menghindari Kerusakan
TAWAKAL: Kunci Kekuatan dan Kelapangan Hati Seorang Mukmin
Seringkali dijumpai dalam firman-Nya, Allah Ta’ala menyandingkan antara tawakal dengan orang-orang yang beriman. Hal ini menandakan bahwa tawakal merupakan perkara yang sangat agung, yang tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Bagian dari ibadah hati yang akan membawa pelakunya ke jalan-jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Diantara firman-Nya tentang tawakal ketika disandingkan dengan orang-orang beriman, “… dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).
Dan firman-Nya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabla dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambahlah imannya, dan hanya kepada Rabb mereka bertawakal” (QS. Al Anfal : 2).
Tentunya masih banyak ayat lain dalam Al Qur’an yang berisi tentang tawakal, demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah itu sebenarnya tawakal? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai tawakal.
Definisi tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akhirat”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.”
Tawakal Bukan Pasrah Tanpa Usaha
Dari definisi sebelumnya para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus dibangun di atas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang berupaya menempuh sebab saja namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat imannya. Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun tidak berusaha menempuh sebab yang dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya.
Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, namun harus disertai ikhtiyar/usaha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa tawakal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Tidak kita temukan seekor burung diam saja dan mengharap makanan datang sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, jelas sekali bahwa seekor burung pergi untuk mencari makan, namun seekor burung keluar mencari makan disertai keyakinan akan rizki Allah, maka Allah Ta’ala pun memberikan rizkiNya atas usahanya tersebut.
Syarat-Syarat Tawakal
Untuk mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan syarat-syarat. Syarat-syarat ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua yang telah Allah janjikan. Para ulama menyampaikan empat syarat terwujudnya sikap tawakal yang benar, yaitu:
1. Bertawakal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123).
2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha mampu mewujudkan semua permintaan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba hanyalah dengan pengaturan dan kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).
3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan seorang hamba apabila ia mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada Allah dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“ (QS. Ath-Thalaq: 3).
4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang dilakukan hamba dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS. At-taubah: 129).
Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar ikhlas dan terus mengingat keagungan Allah, maka hati dan akalnya serta seluruh kekuatannya akan semakin kuat mendorongnya untuk melakukan semua amalan. Dengan besarnya tawakal kepada Allah akan memberikan keyakinan yang besar sekali bahkan membuahkan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)
Dengan mendasarkan diri pada keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan kemudharatan maka seorang mukmin tidak akan gentar dan takut terhadap tantangan dan ujian yang melanda, seberapapun besarnya, karena dia yakin bahwa Allah akan menolong hambaNya yang berusaha dan menyandarkan hatinya hanya kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat seperti inilah muncul mujahid-mujahid besar dan ulama-ulama pembela agama Islam yang senantiasa teguh di atas agama Islam walaupun menghadapi ujian yang besar, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk agama Islam.
Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menjadikan hati seorang mukmin ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”
Setiap hari, dalam setiap sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menyandarkan hati semata-mata kepada Allah, karena tawakal adalah termasuk ibadah.
Tawakal yang Salah
Kesalahan dalam memahami dan mengamalkan tawakal akan menyebabkan rusaknya iman dan bisa menyebabkan terjadi kesalahan fatal dalam agama, bahkan bisa terjerumus dalam kesyirikan, baik syirik akbar (syirik besar) maupun syirik asghar (syirik kecil). Adapun kesalahan dalam tawakal yang menyebabkan terjerumus dalam syirik akbar adalah seseorang bertawakal kepada selain Allah, dalam perkara yang hanya mampu diwujudkan oleh Allah. Misalnya: bertawakal kepada makhluk dalam perkara kesehatan, bersandar kepada makhluk agar dosa-dosanya diampuni atau bertawakal kepada makhluk dalam kebaikan di akhirat atau bertawakal dalam meminta anak sebagaimana yang dilakukan para penyembah kubur wali.
Adapus jenis tawakal yang termasuk dalam syirik asghar adalah bertawakal kepada selain Allah yang Allah memberikan kemampuan kepada makhluk untuk memenuhinya. Misalnya: bertawakalnya seorang istri kepada suami dalam nafkahnya, bertawakalnya seorang karyawan kepada atasannya. Termasuk dalam syirik akbar maupun asghar keduanya merupakan dosa besar yang tidak akan terampuni selama pelakunya tidak bertaubat darinya.
Penutup
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Jika kita yakin bahwa Allah ta’ala yang menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita kepada makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat kepada kita?
Artikel Muslimah.Or.Id
Penulis: Ummu Hanif Devi Novianti
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’ :
- Al Qur’anul karim
- Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
- al-Irsyaad ila Shahiihil I’tiqaad, Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Maktabah Islamiyah, 2003 M.
- Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir, 2006.
- Al Qoulul Mifid fii Adilati Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al Washobi, Dar Ibnu Jauzy 2006 / 1427 H
- Tazkiyatun Nafs, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darus Sunnah cetakan ke-4, tahun 2011.
- Taisirul Wushul ilaa Nailil Ma’mul bi Syarah Tsalatsatul Ushul, Nu’man Abdulkarim Al Watr, Maktabah Darul Haramain Islamiyah
- Syarah Kitab Tauhid, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Pustaka Darul Ilmi, 2010 M.
- Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Abu Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim, cetakn ke-4, 2011.
Tawakal, Kunci Keberhasilan Yang Sering Dilalaikan
بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak orang yang salah memahami dan menempatkan arti
tawakal yang sesungguhnya. Sehingga tatkala kita mengingatkan mereka
tentang pentingnya tawakal yang benar dalam kehidupan manusia, tidak
jarang ada yang menanggapinya dengan ucapan: “Iya, tapi kan bukan cuma tawakal yng harus diperbaiki, usaha yang maksimal juga harus terus dilakukan!”.Ucapan di atas sepintas tidak salah, akan tetapi kalau kita amati dengan seksama, kita akan dapati bahwa ucapan tersebut menunjukkan kesalahpahaman banyak orang tentang makna dan kedudukan yang sesungguhnya. Karena ucapan di atas terkesan memisahakan antara tawakal dan usaha. Padahal, menurut penjelasan para ulama, tawakal adalah bagian dari usaha, bahkan usaha yang paling utama untuk meraih keberhasilan.
Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”1.
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan
memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).Artinya, barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya2.
Maka tawakal yang benar, merupakan sebab utama berhasilnya usaha seorang hamba, baik dalam urusan dunia maupun agama, bahkan sebab kemudahan dari Allah Ta’ala bagi hamba tersebut untuk meraih segala kebaikan dan perlindungan dari segala keburukan.
Coba renungkan kemuliaan besar ini yang terungkap dalam makna sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?”3.
Artinya, diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan lurus, diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya4.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah Ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya”5.
Tidak terkecuali dalam hal ini, usaha untuk mencari rezki yang halal dan berkah. Seorang hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala, dalam usahanya mencari rezki, tentu dia tidak hanya mentargetkan jumlah keuntungan yang besar dan berlipat ganda, tapi lebih dari itu, keberkahan dari rezki tersebut untuk memudahkannya memanfaatkan rezki tersebut di jalan yang benar. Dan semua ini hanya bisa dicapai dengan taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Maka tentu ini semua tidak mungkin terwujud tanpa adanya tawakal yang benar dalam hati seorang hamba.
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”6.
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata).
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung”7.
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari8: “Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”9.
Maka berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezki yang halal dan kebaikan-kebaikan lainnya, tapi jangan lupa untuk menyandarkan hati kita kepada Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu, bukan kepada usaha yang kita lakukan.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan rezki yang halal dan berkah bagi kita semua, serta menolong kita untuk selalu istiqamah di atas petunjuk-Nya sampai di akhir hayat kita, Amin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
1 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/497).
2 Kitab “Fathul Qadiir” (7/241).
3 HR Abu Dawud (no. 5095) dan at-Tirmidzi (no. 3426), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.
4 Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 235).
5 Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/464-465).
6
HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu
Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh,
at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani.
7 Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul ahwadzi” (7/7-8).
8 Beliau adalah ahli zuhud yang terkenal (wafat 283 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (13/330).
9 Dinukil oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab “Hilyatul auliyaa’” (10/195).
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Optimis, Ikhtiar dan tawakal dalam Islam merupakan satu mata rantai yang tak dapat dipisahkan. Manusia hidup didunia ini pastilah mempunyai harapan, tanpa adanya harapan manusia tidak mempunyai arti sebagai manusia.
Pendefinisian harapan sering disamakan dengan definisi dari cita-cita. Padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda dimana harapan adalah keinginan yang belum terwujud. Sedangakan cita-cita mempunyai definisi sebagai keinginan yang ada dalam hati seseorang. Cita-cita mungkin bisa tercapai atau tidak, agar cita-cita itu dapat dikabulkan oleh Allah ada beberapa faktor yang harus dipenuhi yaitu berdoa dan berbakti kepada Allah serta bekerja keras.Dalam bekerja keras tentulah manusia memerluka sikap optimisme sehingga termotivasi untuk mencapai harapan dan cita-cita yang diinginkan.
Dilihat dari segi bahasa optimisme berasal dari bahasa latin yaitu “Optima” yang berarti terbaik Menjadi optimis, dalam arti khas kata, pada akhirnya berarti satu harapkan untuk mendapatkan hasil terbaik dari situasi tertentu. Menurut Inggris Oxford Dictionary mendefinisikan optimisme sebagai mempunyai "harapan dan keyakinan mengenai masa depan atau hasil yang sukses dari sesuatu; Kecenderungan untuk mengambil pandangan positif atau penuh harapan". Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “optimis” adalah orang yg selalu berpengharapan baik dl menghadapi segala hal.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya optimisme adalah suatu sikap penuh dengan keyakinan tinggi dalam mengahadapi permasalahan kehidupan didunia ini, dan dimasa depan akan meraih kesuksesan yang telah dicita-citakan sebelumnya. Optimisme adalah sebuah sikap yang akan mendorong seorang individu untuk terus berusaha pantang menyerah guna mencapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan, walaupun seberat apapun problematika yang dihadapi namun dengan adanya keteguhan dan sikap optimisme akan menjadikan seseorang dapat menghadapinya dan mencari problem solving.
Namun dalam bersikap optimis yang berlebihan akan membawa sesorang kedalam kesombongan dan akan membawanya dalam jurang kehancuran. Dengan demikian haruslah kita bersikap optimis dengan mengimbanginya dengan usaha keras serta berserah diri kepada Allah SWT. Apabila seorang hanya bersikap optimis tanpa diikuti oleh tindakan yang nyata dan kerja keras tujuan yang diinginkan tak akan tercapai, setelah bersikap optimis dan bekerja keras haruslah kita tetap berserah diri kepada Allah SWT, sebab hanya ditangan Allah lah yang akan menetukan hasil kerja keras kita.
Dengan bersikap optimis dalam mengahadapi persoalan kehidupan akan menjadikan seorang muslim lebih bersikap bahagia, sebab dapat mencapai apa yang telah dicita-citakan baik cita-cita dunia atau akherat. Selain hal itu menurut pakar yang telah melakukan riset menyatakan bahwasanya orang yang bersikap optimis akan mempunyai badan yang sehat dan lebih panjang umur dari pada orang-orang yang bersikap pesimistis. Para peneliti juga memperhatikan bahwa orang yang optimistis lebih sanggup menghadapi stres dan lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi.
Sebagai seorang muslim, kita harus optimis dalam menghadapi ujian atau cobaan, semua persoalan kita serahkan kepada ALLAH disertai usaha semaksimal mungkin, sebab hanya ALLAH tempat meminta dan tempat berlindung.bagi makhlukNya.
Orang Islam tidak punya kata pesimis dalam kamus hidupnya, sebab pedoman yang telah dipegang teguh adalah al-Quran dan al-Hadits. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa segala rintangan, kesulitan yang dihadapi menjadikan kita kian pakar dan bertambah pengalaman dalam segala hal? Sungguh indah ayat cintaNya tentang sikap optimis yang harus ditanamkan dalam diri kita, Alam Nasyrah, “… karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”
1. Pengertian Ikhtiar
Kata ikhtiar berasal dari bahasa Arab yang berarti memilih. Ikhtiar diartikan berusaha sebab pada hakikatnya orang yang berusaha berarti memilih.
Adapun menurut istilah, berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meraih suatu harapan dan keingina yang dicita-citakan, ikhtiyar juga juga dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia atau di akhirat.
2. Perintah untuk Berikhtiar
Dalil-dalil yang mewajibkan kita berikhtiar, antara lain :
3. Bentuk-bentuk Ikhtiar
Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk perilaku ikhtiar, agar kelak dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut :
a. Mau bekerja keras dalam mencapai suatu harapan dan cita-cita.
b. Selalu bersemangat dalam menghadapi kehidupan.
c. Tidak mudah menyerah dan putus asa.
d. Disiplin dan penuh tanggung jawab.
e. Giat bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
f. Rajin berlatih dan belajar agar bisa meraih apa yang diinginkannya.
4. Dampak Positif Ikhtiar
Banyak nilai positif yang terkandung dalam perilaku ikhtiar, di antaranya sebagai berikut :
a. Terhindar dari sikap malas.
b. Dapat mengambil hikmah dari setiap usaha yang dilakukannya.
c. Memberikan contoh tauladan bagi orang lain.
d. Mendapat kasih sayang dan ampuna dari Allah SWT.
e. Merasa batinnya puas sebab dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
f. Terhormat dalam pandangan Allah dan sesame manusia sebab sikapnya.
g. Dapat berlaku hemat dalam membelanjakan hartanya.
5. Membiasakan Diri Berikhtiar
Sikap perilaku ikhtiar harus dimiliki oleh setiap muslim agar mampu menghadapi semua godaan dan tantangan dengan kerja keras dan ikhtiar. Untuk itu hendaklah perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut :
a. Kuatkan iman kepada Allah SWT.
b. Hindari sikap pemalas.
c. Jangan mudah menyerah dan putus asa.
d. Berdo’a kepada Allah agar diberi kekuatan untuk selalu berikhtiar.
e. Giat dan bersemangat dalam melakukan suatu usaha.
f. Tekun dalam melaksanakan tugas, Pandai-pandai memanfaatkan waktu.
g. Tidak mudah putus asa, selalu berusaha memajukan usahanya.
Bertawakal kepada Allah merupakan perintah yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an, di samping perintah-perintah lainnya seperti bertaqwa, bersabar, beristiqomah, ikhlas dan beribadah, ridho dalam menerima ketetapan Tuhan, berlaku adil, berjihad pada jalan-Nya, berkurban dan lain-lain.
Di antara perintah-perintah yang terpokok dan terutama sekali adalah perintah untuk ber-IBADAH kepada-Nya. Oleh sebab itulah maka tugas utama manusia di dunia ini tidak lain beribadah kepada-Nya sebagai mana ditegaskan oleh-Nya : ” Wamaa kholaktul jinna wal insa illa liya’buduuni ” A.Q.S. 51:56.
ARTI DAN MAKNA TAWAKAL
Tawakal artinya BERSERAH DIRI DAN BERPEGANG TEGUH KEPADA ALLAH. Di sini terdapat dua unsur pokok yaitu, pertama berserah diri dan kedua berpegang teguh. Kedua-duanya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dikatakan tawakal kalau belum berserah diri secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal kalau belum berpegang kepada-Nya, belum kokoh atau belum bulat pada tingkat haqqul yakin kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya untuk mengatur segala sesuatu dengan sesempurna-sempurnanya.
Menjaring dan menjemput ’keran rezeki' yang telah ditetapkan Allah SWT, adalah kewajiban seorang muslim. Dalam menjemput rezeki, secara teknis kita akan berhadapan dengan zona rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, yang halal dan rezeki yang tidak halal. Hal itu sebagaimana Alloh kemukakan dalam al-Quran surat al-Baqoroh ayat 57 yang artinya, "Makanlah makanan baik-baik yang Kami berikan kepadamu."
Ayat di atas, secara tersirat menjelaskan, sesungguhnya rezeki yang disebar terdiri atas rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, dan kita diperintahkan untuk menjemput rezeki baik dan dengan cara baik pula.
Tergelincirnya seseorang menikmati rezeki yang tidak baik disebabkan sebab faktor ketakutan, kegelisahan, dan tidak yakin pada jatah yang telah ditetapkan Allah. Mereka takut miskin, padahal perasaan itu hanyalah bisikan setan sebagaimana firman Allah, "Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan dan menyuruh melakukan perbuatan yang keji." . Sesungguhnya Allah dalam al-Quran telah bersumpah akan menjamin rezeki makhluknya, "Dan di langit terdapat rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar, seumpama perkataanmu." (QS. adz-Dzariyat: 22-23)
Tawakal dalam Menjemput rezeki
Kunci utama dalam menjemput rezeki yang halal adalah ikhtiar dan tawakal. Sikap tawakal tidak identik dengan pasrah, apa adanya, kumaha engke, atau malas. Tawakal menurut bahasa berasal dari kata 'wakala' artinya menyerahkan ”sesuatu.” Itulah sebabnya, Yusuf Qordhowi mengemukakan, tawakal adalah cabang iman kepada Allah SWT., yang menyerukan kepada penyerahan diri kepada Allah SWT., semata tanpa mengabaikan sebab.
Seiring dengan ungkapan itu, Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan, tawakal adalah gerakan untuk ubudiyah, menggantungkan hati kepada penanganan Allah, ketenangan kepada qodho dan qodar Allah SWT., kedamaian menerima kecukupan dari Allah, bersyukur jika diberi dan bersabar jika ditahan.
Tawakal adalah pancaran dari sikap optimis yang dibuktikan dengan kekuatan do’a dan kekuatan ikhtiar secara optimal. Dengan kata lain, tawakal adalah usaha yang dilakukan sepenuh hati dan dibuktikan dengan kesungguhan secara fisik.
Sikap tawakal seorang muslim bukan pada hasil tetapi pada proses. Ketika seekor kuda diikat atau ditambatkan pada sebatang pohon agar tidak lepas adalah sebuah proses tawakal. Toh, nanti ternyata setelah kuda diikat dengan kuat tetapi tetap bisa kabur itu adalah semata-mata kehendak Allah SWT. Demikian makna tawakal yang diajarkan panutan kita, Rasulullah Saw.
Konsep tawakal yang diajarkan Rasulullah mempunyai keutamaan yang sangat erat dengan pola hidup seorang muslim di antaranya, pertama sikap tawakal sangat disukai Allah. Hal itu sebagaimana tertulis dalam al-Quran surat al-Imron ayat 159, "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kalian telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."
Kedua, dengan sikap tawakal Allah akan mencukupkan keperluan kita. Hal itu sesuai dengan janji Allah SWT dalam surat At-Tolaq ayat 3. Ketiga, sikap tawakal adalah bukti iman yang benar. Firman Allah, "Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." . Keempat, dengan tawakal Allah akan memudahkan urusan rezeki kita dengan mudah. Rasulullah bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Ia akan memberi kalian rezeki, sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan kosong perutnya dan kembali lagi dalam keadaan kenyang."(HR. Tirmidzi).
Beranjak dari keutamaan tawakal, maka dapat dipastikan dalam setiap gerak langkah saat menjemput rezeki akan selalu lahir rasa optimis tinggi. Kondisi ini sejalan dengan hakikat kedatangan rezeki, yakni dari mana mendapat rezeki dan bagaimana membelanjakan rezeki itu. Soal banyak sedikit rezeki yang diperoleh bukan masalah. Bukankah posisi kita dalam kaitan rezeki hanya sebagai pemegang amanah bukan pemilik.
Tawakal itu bertingkat-tingkat, yaitu: Pertama, tawakalnya orang awam seperti kita kebanyakan. Kedua, tawakalnya orang khawas yang sudah jauh anak tangganya ke atas. Dan yang ketiga, tawakalnya khawasul khawas, yaitu orang yang sudah mencapai pada tingkat puncak.
Namun demikian, tawakal juga sering disalahpahami oleh sebagian di antara kita, seolah-olah orang yang tawakal itu pasrah. Apakah maksud dari pasrah?
Terkadang orang menyangka bahwa makna tawakal itu meninggalkan usaha dengan badan, meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh di atas bumi bagaikan daging di atas landasan tempat memotong daging. Lihatlah daging di atas dapur tempat pemotongan itu! Bukanlah seperti ini seharusnya seorang muslim bertawakal, yaitu seperti daging yang tergeletak, tak ada usaha sama sekali. Ini adalah sangkaan orang-orang yang bodoh.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (dalam kitab Ihya Ulumuddin) memberikan klarifikasi terhadap kita, bahwa yang dimaksud dengan tawakal bukanlah seperti itu, bukanlah hanya dengan berdoa saja, yang pokoknya semua denyut jantungnya diserahkan kepada Tuhan. Bukanlah ini yang disebut tawakal. Malah dikatakan, bahwa hal seperti ini tak lain merupakan sangkaan orang-orang yang bodoh, karena yang demikian itu diharamkan oleh syari’ah kita. Sebaliknya, kita wajib untuk bergerak. Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membahas mengenai hal ini. Allah berfirman:
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. At-Taubah: 105)
Kita tidak disuruh hanya berdiam diri saja. Malahan Allah bersumpah:
(1) Demi masa. (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)
Jadi, jangan ada yang beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kepasrahan seseorang jika ia hanya berdoa saja, meninggalkan keramaian, menelantarkan anak cucu dan keluarga. Hal ini justru berdosa.
Rasulullah pernah menegur tiga komponen sahabatnya berkenaan dengan hal ini. Ketika itu ada yang menyatakan, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, ibadahku sudah meningkat, tak pernah lagi melakukan hubungan suami-isteri. Semua itu kulakukan demi untuk berkonsentrasi penuh terhadap cintaku kepadamu lebih dari cintaku kepada istri. Cintaku tak boleh lagi berbagi selain kepadamu.”
Mendengar ini, Rasulullah setengah marah. Beliau pun berkata kepada orang itu, “Aku ini seorang rasul, tetapi juga mempunyai isteri dan anak. Haknya isteri ada pada kita, begitu juga haknya anak.”
Kemudian ada lagi yang datang, lalu menyatakan, “Ya Rasulullah, aku berbahagia, karena aku tak pernah lagi tidur malam. Waktu sepenuhnya aku gunakan untuk salat, serta puasa sepanjang hari.”
Mendengar ini, Rasulullah kemudian berkata, “Bukanlah begitu seharusnya, karena badan ini juga ada haknya.”
Sesungguhnya, pembekasan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik seorang hamba. Bekas-bekas ketawakalan bisa dilihat jika orang tersebut berusaha dengan ikhtiarnya. Jadi, ikhtiar itu adalah usaha. Seseorang yang sakit wajib hukumnya untuk berobat. Kita tidak boleh berpasrah diri begitu saja ketika sakit. Orang yang mati dalam keadaan tidak berikhtiar, maka sama saja orang tersebut mati bunuh diri.
Ada kalanya usaha tersebut dilakukan untuk menarik manfaat, yaitu seperti bekerja. Jika kita bekerja di kantor misalkan yang itu ada gajinya, maka hal ini merupakan usaha (ikhtiar) untuk hidup. Kalau kita sudah memperoleh manfaat, kemudian kita pelihara manfaat itu, maka ini adalah bagian dari tawakal. Dalam hal ini harus pula diingat, bahwa kita jangan bersikap mubazir. Memelihara manfaat atau harta yang kita peroleh itu adalah dengan menyimpannya, sebagian kita simpan untuk keperluan darurat. Janganlah jika kita hari ini mendapatkan rezeki yang hari itu juga akan habis. Kita dianjurkan untuk menghemat.
Jika suatu waktu harta kita itu hilang, maka janganlah khawatir, karena kita sudah melakukan ikhtiar. Jika terjadi seperti ini, maka camkanlah di dalam hati, bahwa Tuhan pasti menyimpan sesuatu yang tidak berkah di dalam harta itu, sehingga Tuhan kemudian mengambilnya melalui orang lain. Janganlah bersedih jika suatu waktu kita mengalami kehilangan harta. Yakinlah, bahwa pasti ada sesuatu yang tidak bermanfaat seandainya harta itu tetap tinggal bersama kita. Tak usah meratapi barang yang hilang, sebab apa yang telah hilang itu belum tentu akan kembali.
Ikhtiar juga dilakukan untuk memelihara dari kemelaratan, yaitu seperti menolak orang-orang yang menyerang, menolak pencuri, ataupun menolak binatang buas. Dalam hal ini, kita tidak boleh berpasrah saja jika menghadapi hal-hal tersebut. Selain itu, ikhtiar juga dilakukan untuk menghindari dari penyakit, yaitu seperti meminum obat. Jika kita sakit, lalu kita kemudian tak mengobatinya, maka hal ini bukanlah tawakal, melainkan kita telah melakukan dosa.
Jadi, gerak-gerik hamba tidak terlepas dari empat hal:
Pertama, menarik kemanfaatan, yaitu seperti bekerja. Kita bertawakal, tapi kita juga bekerja. Menarik manfaat maksudnya kita berusaha yang dari usaha itu ada hasilnya. Hasilnya itu kita gunakan untuk hidup sejahtera, untuk membiayai anak-anak bersekolah, digunakan untuk menjadikan anak kita sebagai anak yang saleh.
Kedua, memelihara kemanfaatan, yaitu seperti menyimpan harta. Jika pada yang pertama tugas kita adalah mencari harta tersebut, maka yang kedua tugas kita adalah menyimpannya.
Ketiga, menolak kemelaratan. Kita tidak boleh menjadi orang yang melarat, juga menjaga dari ancaman luar. Maksudnya, jika kita sudah tahu bahwa pola hidup kita itu ujung-ujungnya akan melarat, maka hindarilah jalan itu, carilah jalan yang lain. Seandainya pun juga ada dua cabang yang itu tidak ada pilihan hidup, misalkan jika kita bertahan pada suatu pendirian maka kita akan mati kelaparan. Tapi kalau kita mengambil jalan yang lain yang itu hasilnya adalah haram, maka pilihlah yang haram itu, seandaikan memang sudah tak ada pilihan yang lain. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa babi pun dibolehkan untuk dimakan jika dalam keadaan tak ada pilihan seperti ini. Tapi harus memang dalam keadaan yang betul-betul darurat, sehingga tak ada dosa kita melakukan itu. Darurat itu membolehkan yang tidak boleh.
Keempat, memotong kemelaratan. Misalkan, jika kita sedang sakit, maka kita harus memotong jangan sampai sakit tersebut terlalu lama. Jika flu tanpa diobati, biasanya flu tersebut baru sembuh setelah lima hari ataupun sepuluh hari. Tetapi dalam hal ini kita tahu kondisi diri kita. Biasanya jika kita meminum obat, maka flu tersebut akan begitu cepat sembuh, yaitu paling-paling hanya tiga hari. Jadi, kemelaratan tersebut harus dipotong. Jangan membiarkan diri kita begitu saja tanpa ada usaha mengobati. Memotong kemelaratan juga adalah untuk memberikan peluang kepda ibadah-ibadah yang lain. Jika kita sehat, tentunya banyak ibadah yang bisa kita lakukan, serta ibadah tersebut bisa kita lakukan secara khusyu’ dibandingkan jika kita berada dalam keadaan sakit.
Rasulullah bersabda:
Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang keluar dari sarangnya pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore harinya dengan perut kekenyangan setiap hari. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doanya.
Tawakal yang benar adalah tawakal seperti yang disabdakan oleh Rasulullah itu. Siapa yang bekerja ataupun berikhtiar kemudian berdoa, maka inilah tawakal yang benar. Kalau hal ini konsisten dilakukan, betul-betul fokus kepada Allah dalam menyerahlan dirinya, maka Allah akan menjamin rezeki orang tersebut. Hal ini merupakan suatu mu’jizat, ada misteri di situ, yaitu misteri keikhlasan, misteri tawakal.
Jika kita telah melakukan pekerjaan secara baik dan maksimum, mungkin setelah itu ada perasaan takut dan khawatir. Janganlah takut terhadap atasan kita jika kita telah melakukan sesuatu itu dengan baik dan maksimum, yang penting kita bekerja (berikhtiar) secara baik menurut kemampuan kita. Dalam hal ini, perlu adanya ketenangan. Jangan memberi kesempatan keraguan itu muncul dalam batin kita. Inilah tawakal.
Kita mungkin pernah merasakan tidak percaya diri setelah melakukan sesuatu, padahal apa yang telah kita lakukan itu sudah cukup baik. Ada rasa takut dan bersalah, seakan-akan yang telah kita lakukan itu tidak maksimal. Orang yang selalu digelisahkan oleh keraguannya sendiri, maka itu bukanlah tawakal. Orang yang tawakal, maka dia akan percaya pada dirinya sendiri. Dia telah berikhtiar, selebihnya diserahkan kepada Allah.
Kalau memang standard atasannya melebihi dari apa yang dilakukannya, maka ia akan menyerahkan kepada Allah, sebab Allah hanya menciptakan kadarnya seperti itu. Hingga kita tetap bisa bersikap tenang ketika dimarahi. Kalau memang kita bisa bersikap seperti ini, maka di saat yang lain mungkin atasan kita itu akan meminta maaf kepada kita. Mungkin juga kita akan dicari, karena walaupun terdapat kekurangan pada pekerjaan kita itu, tetapi istiqamahnya ternyata yang dibutuhkan oleh atasan kita, daripada dibandingkan dengan yang lain, sempurna tetapi munafik.
Ini adalah hal yang sangat penting untuk kita semua. Tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang sangat sempurna menurut standardnya orang lain, apalagi hal itu di luar kemampuan kita. Misalkan, kita hanya S1, tetapi kemudian ditantang untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang yang sudah S3. Bukanlah tawakal namanya jika kita tetap memaksakan untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan kita.
Tawakal itu jika kita bekerja sesuai dengan apa adanya yang ada pada diri kita, bukan bagaimana seharusnya yang diinginkan oleh atasan kita. Karena, kalau kita selalu terbayangi oleh standardnya atasan kita ataupun standardnya orang lain, maka kita pasti selalu takkan pernah percaya diri. Sebaik apapun pekerjaan kita, ternyata itu masih ada kurangnya, karena di atas langit masih ada langit lagi. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak berperasaan tawakal. Orang yang berperasaan tawakal adalah orang yang apapun terjadi, maka itulah dirinya. Tapi hal ini harus konsisten dilakukan.
Kalaupun ada persoalan, misalkan dimarahi ataupun dicela, pada saat-saat seperti ini kita perlu tuma’ninah sebentar. Endapkanlah sebentar, kemudian kita berdoa kepada Allah bahwa ikhtiar kita itu sudah cukup tetapi atasan kita masih menganggapnya kurang. Kita serahkan diri kita kepada Allah, laa hawlawala quwwata illa billah. Insya Allah nantinya akan ada kemu’jizatan (keajaiban). Namun persoalannya selama ini, bahwa kita jarang sekali mau bertuma’ninah setelah melakukan ikhtiar.
Kita sudah melakukan kerja yang maksimum, tetapi kita dimarahi, seolah-olah kita terpengaruh, bahwa memang kita yang salah. Padahal dengan seperti ini, berarti kita telah menafikan kerja maksimum yang telah kita lakukan menurut kemampuan kita. Wakafkanlah diri kita kepada Allah pada saat-saat ini. Ingatlah Allah sambil kita berpasrah di dalam hati. Yakinlah, bahwa nantinya pasti akan ada jawaban. Tidak akan ada orang yang jatuh jika ia telah berikhtiar dan berdoa lalu menyerahkan dirinya kepada Allah.
Ingatlah ada dua istilah, yaitu menyerahkan diri dan pasrah. Kita sudah berikhtiar melakukan yang secara maksimum sesuai dengan kemampuan kita. Kemudian setelah itu serahkanlah hasil kerja kita tersebut kepada Tuhan. Setelah itu barulah kita pasrah. Menyerahkan diri berbeda dengan pasrah. Pasrah adalah puncak dari semua usaha yang kita lakukan itu. Jadi, anak tangganya adalah ikhtiar (berusaha), sesudah itu tawakal (menyerahkan), sesudah itu barulah pasrah. Janganlah kita langsung pasrah tanpa melewati dua anak tangga di bawahnya, yaitu tak ada ikhtiar dan tawakal.
Ketika kita sedang menghadapi suatu problem, maka ingatlah Allah pada saat itu. Pada kondisi ini, baik itu atasan ataupun orang lain, apakah mereka mampu melawan Tuhan? Pada waktu itu, kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Masih adakah kekuatan lain yang akan merampas kita yang sudah berada di dalam genggaman Tuhan? Jawabannya, tidak ada yang mampu merampas kita jika kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Tapi ini harus dilakukan dengan haqqul yaqin, yaitu jangan setengah-setengah. Pada umumnya, pasrahnya kita itu setengah-setengah (tanggung).
Janganlah kita takut dipecat. Justru kalau kita takut, malahan mungkin akan dipecat. Dalam hal ini, jadilah seperti baja, yaitu istiqamah, sehingga si pemecat itu akan kalah. Kalau kita menyerahkan diri ini sepenuhnya kepada Allah, maka hukum alam (sunnatullah)nya yang berlaku adalah pasti Tuhan akan melindungi kita. Tapi kalau kita ragu, maka sama saja kita sudah bersikap syirik, yaitu pada satu sisi kita percaya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain kita selalu dirundung rasa takut.
Berani membunuh keraguan, itulah yang dicari oleh orang banyak. Tapi sangat sedikit yang bisa mencapai pada tingkatan tersebut. Bagaimanakah membunuh keraguan? Caranya, kita harus haqqul yaqin.
Sebagian para ulama mengatakan, bahwa semua hamba itu berada dalam rezeki Allah. Akan tetapi sebagian dari mereka itu memakan dengan kehinaan, yaitu seperti meminta-minta. Maksudnya, karakter orang tersebut memang suka meminta-minta. Memang dahulunya ketika miskin kebiasaannya adalah meminta-minta. Tetapi ketika sudah kaya, kebiasaan meminta-minta itu masih ada. Ironisnya, kalau tempat ia meminta itu lebih rendah daripada dirinya sendiri.
Tidak pantas jika ada atasan yang meminta kepada bawahannya, melainkan dialah seharusnya yang memberi kepada bawahannya. Jika ada yang seperti ini, maka yakinlah, apa yang didapatnya itu tak ada keberkahannya. Sekalipun ia memiliki banyak harta, tetapi jika semuanya itu diperoleh dari meminta-minta, maka tak ada keberkahan di dalamnya.
Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Meminta itu hanyalah kepada Allah, bukanlah kepada makhluk. Tidak usah menambah rezeki jika jalannya adalah dengan meminta-minta. Mintalah kepada Allah, hindarilah meminta kepada sesama manusia. Meminta yang dimaksud adalah potong kompas (jalan pintas). Orang yang menjadi tempat meminta-minta itu mendapatkan harta dengan bermandikan keringat, tetapi kita seenaknya saja meminta. Meminta tersebut bentuknya juga bermacam-macam: ada yang berbentuk proposal, dan berbagai macam bentuk lainnya. Apalagi kalau memang memintanya itu dilakukan di pinggir jalan, yaitu sengaja mendramatisir dirinya sebagai orang miskin, padahal ternyata dia bukanlah orang yang pantas untuk meminta-minta. Tak ada keberkahan yang didapatkan melalui cara seperti ini. Lebih baik kita hidup dalam kesederhanaan tetapi memiliki harga diri, dibandingkan hidup berkecukupan tetapi dengan cara menjual harga diri.
Sebagian dari mereka dengan jerih payah dan menunggu seperti para pedagang. Ini mungkin lebih baik, karena ada usahanya. Sebagian lagi dari mereka dengan membuka usaha seperti perajin (tukang), jadi lebih terprogram rutinitasnya, prediksi-prediksinya, dengan menggunakan sistem yang rapi, ada tenaga kerja (karyawan), bukan spontanitas dirinya sendiri yang mendapatkan keuntungan, tetapi ini sudah menggunakan sistem yang rapi. Dan sebagian dari mereka itu dengan kemuliaan, seperti para ahli tasawuf yang menyaksikan kepada Allah Yang Maha Mulia, kemudian mereka itu mengambil rezeki mereka dari kekuasaan-Nya, mereka tidak melihat perantaraannya.
Jadilah pedagang yang sufi. Kita boleh banyak memiliki cabang-cabang usaha, tetapi pada sisi lain kita juga harus dekat kepada Allah. Orang yang seperti ini membuat orang lain menjadi iri. Dunianya kaya, akhiratnya juga kaya. Orang yang diberi kemuliaan seperti ini harus lebih banyak bersyukur dibandingkan yang lain. Bersyukurnya tidak hanya sekedar tahmid. Kalau tahmid hanya sekedar mengucapkan Alhamdulillah, sedangkan bersyukur dilakukan dengan disertai tindakan nyata.
Bagaimanakah gaya sufi yang dimaksud? Yaitu menarik manfaat, misalkan memiliki perusahaan, memiliki cabang-cabang usaha yang banyak, pekerjaan di mana-mana, tetapi ia memelihara yang bermanfaat itu. Menyimpan harta dengan baik. Barang siapa yang memperoleh harta, baik itu yang merupakan warisan, ataupun memang hasil kerja dan jerih payahnya, atau dengan sebab apapun juga, maka yang harus dilakukan oleh orang tersebut adalah hanya mengambil sekedar kebutuhannya ketika itu.
Orang kaya yang sufistik seperti inilah modelnya. Ia makan apabila lapar. Jangan mentang-mentang kaya, lalu bersikap boros. Salah satu hikmah kita berpuasa adalah kita tidak lagi terlalu tergila-gila dengan jenis makanan apapun. Ia memakai pakaian jika ia telanjang. Kalau tidak ada lagi pakaiannya, barulah ia membeli yang baru. Dan ia membeli tempat tinggal yang sederhana. Bagi mereka, tidak perlu lagi rumah mewah. Dan jika ia memiliki kelebihan, maka akan dibaginya kepada yang membutuhkan. Besar ataupun kecil yang dibaginya itu tergantung dia, karena kondisi kehidupan kita juga harus dihitung. Ia tidak mengambilnya dan tidak pula menimbunnya.
Ingatlah, bahwa yang kita bawa ketika mati hanyalah kain kafan. Menurut Rasulullah, bahwa ada tiga hal yang akan menyertai ketika seseorang meninggal dunia. Tetapi yang paling dicintainya justru itulah yang paling pendek mengantarnya hingga ke kuburan. Yang paling kita cintai adalah istri atau suami kita. Secinta apapun seorang istri terhadap suaminya, atau seorang suami terhadap istrinya, dia tidak akan mau menemani pasangan hidupnya itu di dalam liang lahat.
Sesudah istri, anak, ataupun keluarga, barulah harta. Harta ini masih lumayan, karena masih mau menyertai kita dalam bentuk tujuh lapis kain kafan. Tapi yang paling sering kita benci, justru itulah yang paling lama mengawal kita, bahkan tanpa batas. Itulah yang disebut dengan amal. Jarang sekali amal yang dilakukan itu kita laksanakan dengan nikmat, melainkan lebih banyak membebani kita. Tetapi justru yang paling membebani kita inilah justru yang paling abadi menyertai kita.
Yang paling kita cintai paling hanya sampai di permukaan (atas) kuburan menyertai kita. Harta yang kita miliki paling hanya sampai di dalam kuburan (itupun hanya berbentuk kain kafan). Sedangkan amal yang kita lakukan akan selamanya menyertai kita, bahkan hingga di hari akhir, di padang mahsyar, bahkan hingga di dalam surga. []
Disarikan dari Pengajian Tasawuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. pada tanggal 4 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Optimis, Ikhtiar dan tawakal dalam Islam
Optimis, Ikhtiar dan tawakal dalam Islam merupakan satu mata rantai yang tak dapat dipisahkan. Manusia hidup didunia ini pastilah mempunyai harapan, tanpa adanya harapan manusia tidak mempunyai arti sebagai manusia.
Pendefinisian harapan sering disamakan dengan definisi dari cita-cita. Padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda dimana harapan adalah keinginan yang belum terwujud. Sedangakan cita-cita mempunyai definisi sebagai keinginan yang ada dalam hati seseorang. Cita-cita mungkin bisa tercapai atau tidak, agar cita-cita itu dapat dikabulkan oleh Allah ada beberapa faktor yang harus dipenuhi yaitu berdoa dan berbakti kepada Allah serta bekerja keras.Dalam bekerja keras tentulah manusia memerluka sikap optimisme sehingga termotivasi untuk mencapai harapan dan cita-cita yang diinginkan.
Dilihat dari segi bahasa optimisme berasal dari bahasa latin yaitu “Optima” yang berarti terbaik Menjadi optimis, dalam arti khas kata, pada akhirnya berarti satu harapkan untuk mendapatkan hasil terbaik dari situasi tertentu. Menurut Inggris Oxford Dictionary mendefinisikan optimisme sebagai mempunyai "harapan dan keyakinan mengenai masa depan atau hasil yang sukses dari sesuatu; Kecenderungan untuk mengambil pandangan positif atau penuh harapan". Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “optimis” adalah orang yg selalu berpengharapan baik dl menghadapi segala hal.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya optimisme adalah suatu sikap penuh dengan keyakinan tinggi dalam mengahadapi permasalahan kehidupan didunia ini, dan dimasa depan akan meraih kesuksesan yang telah dicita-citakan sebelumnya. Optimisme adalah sebuah sikap yang akan mendorong seorang individu untuk terus berusaha pantang menyerah guna mencapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan, walaupun seberat apapun problematika yang dihadapi namun dengan adanya keteguhan dan sikap optimisme akan menjadikan seseorang dapat menghadapinya dan mencari problem solving.
Namun dalam bersikap optimis yang berlebihan akan membawa sesorang kedalam kesombongan dan akan membawanya dalam jurang kehancuran. Dengan demikian haruslah kita bersikap optimis dengan mengimbanginya dengan usaha keras serta berserah diri kepada Allah SWT. Apabila seorang hanya bersikap optimis tanpa diikuti oleh tindakan yang nyata dan kerja keras tujuan yang diinginkan tak akan tercapai, setelah bersikap optimis dan bekerja keras haruslah kita tetap berserah diri kepada Allah SWT, sebab hanya ditangan Allah lah yang akan menetukan hasil kerja keras kita.
Dengan bersikap optimis dalam mengahadapi persoalan kehidupan akan menjadikan seorang muslim lebih bersikap bahagia, sebab dapat mencapai apa yang telah dicita-citakan baik cita-cita dunia atau akherat. Selain hal itu menurut pakar yang telah melakukan riset menyatakan bahwasanya orang yang bersikap optimis akan mempunyai badan yang sehat dan lebih panjang umur dari pada orang-orang yang bersikap pesimistis. Para peneliti juga memperhatikan bahwa orang yang optimistis lebih sanggup menghadapi stres dan lebih kecil kemungkinannya mengalami depresi.
Sebagai seorang muslim, kita harus optimis dalam menghadapi ujian atau cobaan, semua persoalan kita serahkan kepada ALLAH disertai usaha semaksimal mungkin, sebab hanya ALLAH tempat meminta dan tempat berlindung.bagi makhlukNya.
Orang Islam tidak punya kata pesimis dalam kamus hidupnya, sebab pedoman yang telah dipegang teguh adalah al-Quran dan al-Hadits. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa segala rintangan, kesulitan yang dihadapi menjadikan kita kian pakar dan bertambah pengalaman dalam segala hal? Sungguh indah ayat cintaNya tentang sikap optimis yang harus ditanamkan dalam diri kita, Alam Nasyrah, “… karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”
1. Pengertian Ikhtiar
Kata ikhtiar berasal dari bahasa Arab yang berarti memilih. Ikhtiar diartikan berusaha sebab pada hakikatnya orang yang berusaha berarti memilih.
Adapun menurut istilah, berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meraih suatu harapan dan keingina yang dicita-citakan, ikhtiyar juga juga dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, baik di dunia atau di akhirat.
2. Perintah untuk Berikhtiar
Dalil-dalil yang mewajibkan kita berikhtiar, antara lain :
- Surat al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya :”Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kalian beruntung”.
- H.R. al-Bukhori nomor 1378 dari Zubair bin Awwam r.a yang artinya : “Sungguh, jika sekiranya salah seorang diantara kalian membawa talinya, lalu ia kembali dengan membawa seikat kayu di atas punggungnya, lalu dia jual sehingga Allah mencukupi kebutuhannya(dengan hasil itu) adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, baik mereka(yang diminta) member atau menolaknya.
3. Bentuk-bentuk Ikhtiar
Sebagai muslim kita harus mengenali bentuk-bentuk perilaku ikhtiar, agar kelak dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari, di antaranya sebagai berikut :
a. Mau bekerja keras dalam mencapai suatu harapan dan cita-cita.
b. Selalu bersemangat dalam menghadapi kehidupan.
c. Tidak mudah menyerah dan putus asa.
d. Disiplin dan penuh tanggung jawab.
e. Giat bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
f. Rajin berlatih dan belajar agar bisa meraih apa yang diinginkannya.
4. Dampak Positif Ikhtiar
Banyak nilai positif yang terkandung dalam perilaku ikhtiar, di antaranya sebagai berikut :
a. Terhindar dari sikap malas.
b. Dapat mengambil hikmah dari setiap usaha yang dilakukannya.
c. Memberikan contoh tauladan bagi orang lain.
d. Mendapat kasih sayang dan ampuna dari Allah SWT.
e. Merasa batinnya puas sebab dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
f. Terhormat dalam pandangan Allah dan sesame manusia sebab sikapnya.
g. Dapat berlaku hemat dalam membelanjakan hartanya.
5. Membiasakan Diri Berikhtiar
Sikap perilaku ikhtiar harus dimiliki oleh setiap muslim agar mampu menghadapi semua godaan dan tantangan dengan kerja keras dan ikhtiar. Untuk itu hendaklah perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut :
a. Kuatkan iman kepada Allah SWT.
b. Hindari sikap pemalas.
c. Jangan mudah menyerah dan putus asa.
d. Berdo’a kepada Allah agar diberi kekuatan untuk selalu berikhtiar.
e. Giat dan bersemangat dalam melakukan suatu usaha.
f. Tekun dalam melaksanakan tugas, Pandai-pandai memanfaatkan waktu.
g. Tidak mudah putus asa, selalu berusaha memajukan usahanya.
Bertawakal kepada Allah merupakan perintah yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an, di samping perintah-perintah lainnya seperti bertaqwa, bersabar, beristiqomah, ikhlas dan beribadah, ridho dalam menerima ketetapan Tuhan, berlaku adil, berjihad pada jalan-Nya, berkurban dan lain-lain.
Di antara perintah-perintah yang terpokok dan terutama sekali adalah perintah untuk ber-IBADAH kepada-Nya. Oleh sebab itulah maka tugas utama manusia di dunia ini tidak lain beribadah kepada-Nya sebagai mana ditegaskan oleh-Nya : ” Wamaa kholaktul jinna wal insa illa liya’buduuni ” A.Q.S. 51:56.
ARTI DAN MAKNA TAWAKAL
Tawakal artinya BERSERAH DIRI DAN BERPEGANG TEGUH KEPADA ALLAH. Di sini terdapat dua unsur pokok yaitu, pertama berserah diri dan kedua berpegang teguh. Kedua-duanya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dikatakan tawakal kalau belum berserah diri secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal kalau belum berpegang kepada-Nya, belum kokoh atau belum bulat pada tingkat haqqul yakin kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya untuk mengatur segala sesuatu dengan sesempurna-sempurnanya.
Menjaring dan menjemput ’keran rezeki' yang telah ditetapkan Allah SWT, adalah kewajiban seorang muslim. Dalam menjemput rezeki, secara teknis kita akan berhadapan dengan zona rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, yang halal dan rezeki yang tidak halal. Hal itu sebagaimana Alloh kemukakan dalam al-Quran surat al-Baqoroh ayat 57 yang artinya, "Makanlah makanan baik-baik yang Kami berikan kepadamu."
Ayat di atas, secara tersirat menjelaskan, sesungguhnya rezeki yang disebar terdiri atas rezeki baik dan rezeki yang tidak baik, dan kita diperintahkan untuk menjemput rezeki baik dan dengan cara baik pula.
Tergelincirnya seseorang menikmati rezeki yang tidak baik disebabkan sebab faktor ketakutan, kegelisahan, dan tidak yakin pada jatah yang telah ditetapkan Allah. Mereka takut miskin, padahal perasaan itu hanyalah bisikan setan sebagaimana firman Allah, "Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan dan menyuruh melakukan perbuatan yang keji." . Sesungguhnya Allah dalam al-Quran telah bersumpah akan menjamin rezeki makhluknya, "Dan di langit terdapat rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar, seumpama perkataanmu." (QS. adz-Dzariyat: 22-23)
Tawakal dalam Menjemput rezeki
Kunci utama dalam menjemput rezeki yang halal adalah ikhtiar dan tawakal. Sikap tawakal tidak identik dengan pasrah, apa adanya, kumaha engke, atau malas. Tawakal menurut bahasa berasal dari kata 'wakala' artinya menyerahkan ”sesuatu.” Itulah sebabnya, Yusuf Qordhowi mengemukakan, tawakal adalah cabang iman kepada Allah SWT., yang menyerukan kepada penyerahan diri kepada Allah SWT., semata tanpa mengabaikan sebab.
Seiring dengan ungkapan itu, Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan, tawakal adalah gerakan untuk ubudiyah, menggantungkan hati kepada penanganan Allah, ketenangan kepada qodho dan qodar Allah SWT., kedamaian menerima kecukupan dari Allah, bersyukur jika diberi dan bersabar jika ditahan.
Tawakal adalah pancaran dari sikap optimis yang dibuktikan dengan kekuatan do’a dan kekuatan ikhtiar secara optimal. Dengan kata lain, tawakal adalah usaha yang dilakukan sepenuh hati dan dibuktikan dengan kesungguhan secara fisik.
Sikap tawakal seorang muslim bukan pada hasil tetapi pada proses. Ketika seekor kuda diikat atau ditambatkan pada sebatang pohon agar tidak lepas adalah sebuah proses tawakal. Toh, nanti ternyata setelah kuda diikat dengan kuat tetapi tetap bisa kabur itu adalah semata-mata kehendak Allah SWT. Demikian makna tawakal yang diajarkan panutan kita, Rasulullah Saw.
Konsep tawakal yang diajarkan Rasulullah mempunyai keutamaan yang sangat erat dengan pola hidup seorang muslim di antaranya, pertama sikap tawakal sangat disukai Allah. Hal itu sebagaimana tertulis dalam al-Quran surat al-Imron ayat 159, "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kalian telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."
Kedua, dengan sikap tawakal Allah akan mencukupkan keperluan kita. Hal itu sesuai dengan janji Allah SWT dalam surat At-Tolaq ayat 3. Ketiga, sikap tawakal adalah bukti iman yang benar. Firman Allah, "Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." . Keempat, dengan tawakal Allah akan memudahkan urusan rezeki kita dengan mudah. Rasulullah bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Ia akan memberi kalian rezeki, sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan kosong perutnya dan kembali lagi dalam keadaan kenyang."(HR. Tirmidzi).
Beranjak dari keutamaan tawakal, maka dapat dipastikan dalam setiap gerak langkah saat menjemput rezeki akan selalu lahir rasa optimis tinggi. Kondisi ini sejalan dengan hakikat kedatangan rezeki, yakni dari mana mendapat rezeki dan bagaimana membelanjakan rezeki itu. Soal banyak sedikit rezeki yang diperoleh bukan masalah. Bukankah posisi kita dalam kaitan rezeki hanya sebagai pemegang amanah bukan pemilik.
Ikhtiar, Tawakal, dan Pasrah (Kajian Kitab Ihya Ulumuddin)
Tawakal itu bertingkat-tingkat, yaitu: Pertama, tawakalnya orang awam seperti kita kebanyakan. Kedua, tawakalnya orang khawas yang sudah jauh anak tangganya ke atas. Dan yang ketiga, tawakalnya khawasul khawas, yaitu orang yang sudah mencapai pada tingkat puncak.
Namun demikian, tawakal juga sering disalahpahami oleh sebagian di antara kita, seolah-olah orang yang tawakal itu pasrah. Apakah maksud dari pasrah?
Terkadang orang menyangka bahwa makna tawakal itu meninggalkan usaha dengan badan, meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh di atas bumi bagaikan daging di atas landasan tempat memotong daging. Lihatlah daging di atas dapur tempat pemotongan itu! Bukanlah seperti ini seharusnya seorang muslim bertawakal, yaitu seperti daging yang tergeletak, tak ada usaha sama sekali. Ini adalah sangkaan orang-orang yang bodoh.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (dalam kitab Ihya Ulumuddin) memberikan klarifikasi terhadap kita, bahwa yang dimaksud dengan tawakal bukanlah seperti itu, bukanlah hanya dengan berdoa saja, yang pokoknya semua denyut jantungnya diserahkan kepada Tuhan. Bukanlah ini yang disebut tawakal. Malah dikatakan, bahwa hal seperti ini tak lain merupakan sangkaan orang-orang yang bodoh, karena yang demikian itu diharamkan oleh syari’ah kita. Sebaliknya, kita wajib untuk bergerak. Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membahas mengenai hal ini. Allah berfirman:
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. At-Taubah: 105)
Kita tidak disuruh hanya berdiam diri saja. Malahan Allah bersumpah:
(1) Demi masa. (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)
Jadi, jangan ada yang beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kepasrahan seseorang jika ia hanya berdoa saja, meninggalkan keramaian, menelantarkan anak cucu dan keluarga. Hal ini justru berdosa.
Rasulullah pernah menegur tiga komponen sahabatnya berkenaan dengan hal ini. Ketika itu ada yang menyatakan, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, ibadahku sudah meningkat, tak pernah lagi melakukan hubungan suami-isteri. Semua itu kulakukan demi untuk berkonsentrasi penuh terhadap cintaku kepadamu lebih dari cintaku kepada istri. Cintaku tak boleh lagi berbagi selain kepadamu.”
Mendengar ini, Rasulullah setengah marah. Beliau pun berkata kepada orang itu, “Aku ini seorang rasul, tetapi juga mempunyai isteri dan anak. Haknya isteri ada pada kita, begitu juga haknya anak.”
Kemudian ada lagi yang datang, lalu menyatakan, “Ya Rasulullah, aku berbahagia, karena aku tak pernah lagi tidur malam. Waktu sepenuhnya aku gunakan untuk salat, serta puasa sepanjang hari.”
Mendengar ini, Rasulullah kemudian berkata, “Bukanlah begitu seharusnya, karena badan ini juga ada haknya.”
Sesungguhnya, pembekasan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik seorang hamba. Bekas-bekas ketawakalan bisa dilihat jika orang tersebut berusaha dengan ikhtiarnya. Jadi, ikhtiar itu adalah usaha. Seseorang yang sakit wajib hukumnya untuk berobat. Kita tidak boleh berpasrah diri begitu saja ketika sakit. Orang yang mati dalam keadaan tidak berikhtiar, maka sama saja orang tersebut mati bunuh diri.
Ada kalanya usaha tersebut dilakukan untuk menarik manfaat, yaitu seperti bekerja. Jika kita bekerja di kantor misalkan yang itu ada gajinya, maka hal ini merupakan usaha (ikhtiar) untuk hidup. Kalau kita sudah memperoleh manfaat, kemudian kita pelihara manfaat itu, maka ini adalah bagian dari tawakal. Dalam hal ini harus pula diingat, bahwa kita jangan bersikap mubazir. Memelihara manfaat atau harta yang kita peroleh itu adalah dengan menyimpannya, sebagian kita simpan untuk keperluan darurat. Janganlah jika kita hari ini mendapatkan rezeki yang hari itu juga akan habis. Kita dianjurkan untuk menghemat.
Jika suatu waktu harta kita itu hilang, maka janganlah khawatir, karena kita sudah melakukan ikhtiar. Jika terjadi seperti ini, maka camkanlah di dalam hati, bahwa Tuhan pasti menyimpan sesuatu yang tidak berkah di dalam harta itu, sehingga Tuhan kemudian mengambilnya melalui orang lain. Janganlah bersedih jika suatu waktu kita mengalami kehilangan harta. Yakinlah, bahwa pasti ada sesuatu yang tidak bermanfaat seandainya harta itu tetap tinggal bersama kita. Tak usah meratapi barang yang hilang, sebab apa yang telah hilang itu belum tentu akan kembali.
Ikhtiar juga dilakukan untuk memelihara dari kemelaratan, yaitu seperti menolak orang-orang yang menyerang, menolak pencuri, ataupun menolak binatang buas. Dalam hal ini, kita tidak boleh berpasrah saja jika menghadapi hal-hal tersebut. Selain itu, ikhtiar juga dilakukan untuk menghindari dari penyakit, yaitu seperti meminum obat. Jika kita sakit, lalu kita kemudian tak mengobatinya, maka hal ini bukanlah tawakal, melainkan kita telah melakukan dosa.
Jadi, gerak-gerik hamba tidak terlepas dari empat hal:
Pertama, menarik kemanfaatan, yaitu seperti bekerja. Kita bertawakal, tapi kita juga bekerja. Menarik manfaat maksudnya kita berusaha yang dari usaha itu ada hasilnya. Hasilnya itu kita gunakan untuk hidup sejahtera, untuk membiayai anak-anak bersekolah, digunakan untuk menjadikan anak kita sebagai anak yang saleh.
Kedua, memelihara kemanfaatan, yaitu seperti menyimpan harta. Jika pada yang pertama tugas kita adalah mencari harta tersebut, maka yang kedua tugas kita adalah menyimpannya.
Ketiga, menolak kemelaratan. Kita tidak boleh menjadi orang yang melarat, juga menjaga dari ancaman luar. Maksudnya, jika kita sudah tahu bahwa pola hidup kita itu ujung-ujungnya akan melarat, maka hindarilah jalan itu, carilah jalan yang lain. Seandainya pun juga ada dua cabang yang itu tidak ada pilihan hidup, misalkan jika kita bertahan pada suatu pendirian maka kita akan mati kelaparan. Tapi kalau kita mengambil jalan yang lain yang itu hasilnya adalah haram, maka pilihlah yang haram itu, seandaikan memang sudah tak ada pilihan yang lain. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa babi pun dibolehkan untuk dimakan jika dalam keadaan tak ada pilihan seperti ini. Tapi harus memang dalam keadaan yang betul-betul darurat, sehingga tak ada dosa kita melakukan itu. Darurat itu membolehkan yang tidak boleh.
Keempat, memotong kemelaratan. Misalkan, jika kita sedang sakit, maka kita harus memotong jangan sampai sakit tersebut terlalu lama. Jika flu tanpa diobati, biasanya flu tersebut baru sembuh setelah lima hari ataupun sepuluh hari. Tetapi dalam hal ini kita tahu kondisi diri kita. Biasanya jika kita meminum obat, maka flu tersebut akan begitu cepat sembuh, yaitu paling-paling hanya tiga hari. Jadi, kemelaratan tersebut harus dipotong. Jangan membiarkan diri kita begitu saja tanpa ada usaha mengobati. Memotong kemelaratan juga adalah untuk memberikan peluang kepda ibadah-ibadah yang lain. Jika kita sehat, tentunya banyak ibadah yang bisa kita lakukan, serta ibadah tersebut bisa kita lakukan secara khusyu’ dibandingkan jika kita berada dalam keadaan sakit.
Rasulullah bersabda:
Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang keluar dari sarangnya pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore harinya dengan perut kekenyangan setiap hari. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doanya.
Tawakal yang benar adalah tawakal seperti yang disabdakan oleh Rasulullah itu. Siapa yang bekerja ataupun berikhtiar kemudian berdoa, maka inilah tawakal yang benar. Kalau hal ini konsisten dilakukan, betul-betul fokus kepada Allah dalam menyerahlan dirinya, maka Allah akan menjamin rezeki orang tersebut. Hal ini merupakan suatu mu’jizat, ada misteri di situ, yaitu misteri keikhlasan, misteri tawakal.
Jika kita telah melakukan pekerjaan secara baik dan maksimum, mungkin setelah itu ada perasaan takut dan khawatir. Janganlah takut terhadap atasan kita jika kita telah melakukan sesuatu itu dengan baik dan maksimum, yang penting kita bekerja (berikhtiar) secara baik menurut kemampuan kita. Dalam hal ini, perlu adanya ketenangan. Jangan memberi kesempatan keraguan itu muncul dalam batin kita. Inilah tawakal.
Kita mungkin pernah merasakan tidak percaya diri setelah melakukan sesuatu, padahal apa yang telah kita lakukan itu sudah cukup baik. Ada rasa takut dan bersalah, seakan-akan yang telah kita lakukan itu tidak maksimal. Orang yang selalu digelisahkan oleh keraguannya sendiri, maka itu bukanlah tawakal. Orang yang tawakal, maka dia akan percaya pada dirinya sendiri. Dia telah berikhtiar, selebihnya diserahkan kepada Allah.
Kalau memang standard atasannya melebihi dari apa yang dilakukannya, maka ia akan menyerahkan kepada Allah, sebab Allah hanya menciptakan kadarnya seperti itu. Hingga kita tetap bisa bersikap tenang ketika dimarahi. Kalau memang kita bisa bersikap seperti ini, maka di saat yang lain mungkin atasan kita itu akan meminta maaf kepada kita. Mungkin juga kita akan dicari, karena walaupun terdapat kekurangan pada pekerjaan kita itu, tetapi istiqamahnya ternyata yang dibutuhkan oleh atasan kita, daripada dibandingkan dengan yang lain, sempurna tetapi munafik.
Ini adalah hal yang sangat penting untuk kita semua. Tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang sangat sempurna menurut standardnya orang lain, apalagi hal itu di luar kemampuan kita. Misalkan, kita hanya S1, tetapi kemudian ditantang untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang yang sudah S3. Bukanlah tawakal namanya jika kita tetap memaksakan untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan kita.
Tawakal itu jika kita bekerja sesuai dengan apa adanya yang ada pada diri kita, bukan bagaimana seharusnya yang diinginkan oleh atasan kita. Karena, kalau kita selalu terbayangi oleh standardnya atasan kita ataupun standardnya orang lain, maka kita pasti selalu takkan pernah percaya diri. Sebaik apapun pekerjaan kita, ternyata itu masih ada kurangnya, karena di atas langit masih ada langit lagi. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak berperasaan tawakal. Orang yang berperasaan tawakal adalah orang yang apapun terjadi, maka itulah dirinya. Tapi hal ini harus konsisten dilakukan.
Kalaupun ada persoalan, misalkan dimarahi ataupun dicela, pada saat-saat seperti ini kita perlu tuma’ninah sebentar. Endapkanlah sebentar, kemudian kita berdoa kepada Allah bahwa ikhtiar kita itu sudah cukup tetapi atasan kita masih menganggapnya kurang. Kita serahkan diri kita kepada Allah, laa hawlawala quwwata illa billah. Insya Allah nantinya akan ada kemu’jizatan (keajaiban). Namun persoalannya selama ini, bahwa kita jarang sekali mau bertuma’ninah setelah melakukan ikhtiar.
Kita sudah melakukan kerja yang maksimum, tetapi kita dimarahi, seolah-olah kita terpengaruh, bahwa memang kita yang salah. Padahal dengan seperti ini, berarti kita telah menafikan kerja maksimum yang telah kita lakukan menurut kemampuan kita. Wakafkanlah diri kita kepada Allah pada saat-saat ini. Ingatlah Allah sambil kita berpasrah di dalam hati. Yakinlah, bahwa nantinya pasti akan ada jawaban. Tidak akan ada orang yang jatuh jika ia telah berikhtiar dan berdoa lalu menyerahkan dirinya kepada Allah.
Ingatlah ada dua istilah, yaitu menyerahkan diri dan pasrah. Kita sudah berikhtiar melakukan yang secara maksimum sesuai dengan kemampuan kita. Kemudian setelah itu serahkanlah hasil kerja kita tersebut kepada Tuhan. Setelah itu barulah kita pasrah. Menyerahkan diri berbeda dengan pasrah. Pasrah adalah puncak dari semua usaha yang kita lakukan itu. Jadi, anak tangganya adalah ikhtiar (berusaha), sesudah itu tawakal (menyerahkan), sesudah itu barulah pasrah. Janganlah kita langsung pasrah tanpa melewati dua anak tangga di bawahnya, yaitu tak ada ikhtiar dan tawakal.
Ketika kita sedang menghadapi suatu problem, maka ingatlah Allah pada saat itu. Pada kondisi ini, baik itu atasan ataupun orang lain, apakah mereka mampu melawan Tuhan? Pada waktu itu, kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Masih adakah kekuatan lain yang akan merampas kita yang sudah berada di dalam genggaman Tuhan? Jawabannya, tidak ada yang mampu merampas kita jika kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Tapi ini harus dilakukan dengan haqqul yaqin, yaitu jangan setengah-setengah. Pada umumnya, pasrahnya kita itu setengah-setengah (tanggung).
Janganlah kita takut dipecat. Justru kalau kita takut, malahan mungkin akan dipecat. Dalam hal ini, jadilah seperti baja, yaitu istiqamah, sehingga si pemecat itu akan kalah. Kalau kita menyerahkan diri ini sepenuhnya kepada Allah, maka hukum alam (sunnatullah)nya yang berlaku adalah pasti Tuhan akan melindungi kita. Tapi kalau kita ragu, maka sama saja kita sudah bersikap syirik, yaitu pada satu sisi kita percaya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain kita selalu dirundung rasa takut.
Berani membunuh keraguan, itulah yang dicari oleh orang banyak. Tapi sangat sedikit yang bisa mencapai pada tingkatan tersebut. Bagaimanakah membunuh keraguan? Caranya, kita harus haqqul yaqin.
Sebagian para ulama mengatakan, bahwa semua hamba itu berada dalam rezeki Allah. Akan tetapi sebagian dari mereka itu memakan dengan kehinaan, yaitu seperti meminta-minta. Maksudnya, karakter orang tersebut memang suka meminta-minta. Memang dahulunya ketika miskin kebiasaannya adalah meminta-minta. Tetapi ketika sudah kaya, kebiasaan meminta-minta itu masih ada. Ironisnya, kalau tempat ia meminta itu lebih rendah daripada dirinya sendiri.
Tidak pantas jika ada atasan yang meminta kepada bawahannya, melainkan dialah seharusnya yang memberi kepada bawahannya. Jika ada yang seperti ini, maka yakinlah, apa yang didapatnya itu tak ada keberkahannya. Sekalipun ia memiliki banyak harta, tetapi jika semuanya itu diperoleh dari meminta-minta, maka tak ada keberkahan di dalamnya.
Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Meminta itu hanyalah kepada Allah, bukanlah kepada makhluk. Tidak usah menambah rezeki jika jalannya adalah dengan meminta-minta. Mintalah kepada Allah, hindarilah meminta kepada sesama manusia. Meminta yang dimaksud adalah potong kompas (jalan pintas). Orang yang menjadi tempat meminta-minta itu mendapatkan harta dengan bermandikan keringat, tetapi kita seenaknya saja meminta. Meminta tersebut bentuknya juga bermacam-macam: ada yang berbentuk proposal, dan berbagai macam bentuk lainnya. Apalagi kalau memang memintanya itu dilakukan di pinggir jalan, yaitu sengaja mendramatisir dirinya sebagai orang miskin, padahal ternyata dia bukanlah orang yang pantas untuk meminta-minta. Tak ada keberkahan yang didapatkan melalui cara seperti ini. Lebih baik kita hidup dalam kesederhanaan tetapi memiliki harga diri, dibandingkan hidup berkecukupan tetapi dengan cara menjual harga diri.
Sebagian dari mereka dengan jerih payah dan menunggu seperti para pedagang. Ini mungkin lebih baik, karena ada usahanya. Sebagian lagi dari mereka dengan membuka usaha seperti perajin (tukang), jadi lebih terprogram rutinitasnya, prediksi-prediksinya, dengan menggunakan sistem yang rapi, ada tenaga kerja (karyawan), bukan spontanitas dirinya sendiri yang mendapatkan keuntungan, tetapi ini sudah menggunakan sistem yang rapi. Dan sebagian dari mereka itu dengan kemuliaan, seperti para ahli tasawuf yang menyaksikan kepada Allah Yang Maha Mulia, kemudian mereka itu mengambil rezeki mereka dari kekuasaan-Nya, mereka tidak melihat perantaraannya.
Jadilah pedagang yang sufi. Kita boleh banyak memiliki cabang-cabang usaha, tetapi pada sisi lain kita juga harus dekat kepada Allah. Orang yang seperti ini membuat orang lain menjadi iri. Dunianya kaya, akhiratnya juga kaya. Orang yang diberi kemuliaan seperti ini harus lebih banyak bersyukur dibandingkan yang lain. Bersyukurnya tidak hanya sekedar tahmid. Kalau tahmid hanya sekedar mengucapkan Alhamdulillah, sedangkan bersyukur dilakukan dengan disertai tindakan nyata.
Bagaimanakah gaya sufi yang dimaksud? Yaitu menarik manfaat, misalkan memiliki perusahaan, memiliki cabang-cabang usaha yang banyak, pekerjaan di mana-mana, tetapi ia memelihara yang bermanfaat itu. Menyimpan harta dengan baik. Barang siapa yang memperoleh harta, baik itu yang merupakan warisan, ataupun memang hasil kerja dan jerih payahnya, atau dengan sebab apapun juga, maka yang harus dilakukan oleh orang tersebut adalah hanya mengambil sekedar kebutuhannya ketika itu.
Orang kaya yang sufistik seperti inilah modelnya. Ia makan apabila lapar. Jangan mentang-mentang kaya, lalu bersikap boros. Salah satu hikmah kita berpuasa adalah kita tidak lagi terlalu tergila-gila dengan jenis makanan apapun. Ia memakai pakaian jika ia telanjang. Kalau tidak ada lagi pakaiannya, barulah ia membeli yang baru. Dan ia membeli tempat tinggal yang sederhana. Bagi mereka, tidak perlu lagi rumah mewah. Dan jika ia memiliki kelebihan, maka akan dibaginya kepada yang membutuhkan. Besar ataupun kecil yang dibaginya itu tergantung dia, karena kondisi kehidupan kita juga harus dihitung. Ia tidak mengambilnya dan tidak pula menimbunnya.
Ingatlah, bahwa yang kita bawa ketika mati hanyalah kain kafan. Menurut Rasulullah, bahwa ada tiga hal yang akan menyertai ketika seseorang meninggal dunia. Tetapi yang paling dicintainya justru itulah yang paling pendek mengantarnya hingga ke kuburan. Yang paling kita cintai adalah istri atau suami kita. Secinta apapun seorang istri terhadap suaminya, atau seorang suami terhadap istrinya, dia tidak akan mau menemani pasangan hidupnya itu di dalam liang lahat.
Sesudah istri, anak, ataupun keluarga, barulah harta. Harta ini masih lumayan, karena masih mau menyertai kita dalam bentuk tujuh lapis kain kafan. Tapi yang paling sering kita benci, justru itulah yang paling lama mengawal kita, bahkan tanpa batas. Itulah yang disebut dengan amal. Jarang sekali amal yang dilakukan itu kita laksanakan dengan nikmat, melainkan lebih banyak membebani kita. Tetapi justru yang paling membebani kita inilah justru yang paling abadi menyertai kita.
Yang paling kita cintai paling hanya sampai di permukaan (atas) kuburan menyertai kita. Harta yang kita miliki paling hanya sampai di dalam kuburan (itupun hanya berbentuk kain kafan). Sedangkan amal yang kita lakukan akan selamanya menyertai kita, bahkan hingga di hari akhir, di padang mahsyar, bahkan hingga di dalam surga. []
Disarikan dari Pengajian Tasawuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. pada tanggal 4 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.
Pengertian Ikhtiar dan Tawakal beserta Hikmahnya
Apa Itu Ikhtiar?
Kata ikhtiar diambil dari bahasa Arab, yakni 'ikhtaara' yang artinya memilih. Sementara dalam bentuk kata kerja, ikhtiar berarti pilihan atau memilih hal yang baik (khair).
Sedangkan menurut istilah, ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya dalam usaha mendapatkan yang terbaik, agar tujuan hidupnya selamat sejahtera di dunia dan di akhirat.
Ikhtiar bukan hanya usaha, atau semata-mata upaya untuk menyelesaikan persoalan yang tengah membelit. Ikhtiar adalah konsep Islam dalam cara berpikir dan mengatasi permasalahan. Dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa, yakni bagaimana kita menuntaskan masalah dengan mempertimbangkan apa yang baik menurut Islam, dan kemudian menjadikannya sebagai pilihan apapun konsekuensinya, dan meskipun tidak populer atau terasa berat.
Ikhtiar berarti tidak mengenal putus asa, dan yakni bahwa rahmat Allah pasti datang setelah berikhtiar. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar, dan melarang hamba-Nya untuk berputus asa. Sebagaimana perintah Nabi Ya'kub a.s. kepada Anak-anaknya untuk terus berikhtiar dalam mencari berita tentang Nabi Yusuf a.s. dan adiknya Bunyamin. Hal tersebut diabadikan Allah swt. dalam Al-Qur'an yang artinya:
Setelah berikhtiar dengan segala kemampuan kita, seharusnya kita menyerahkan segala usaha kita kepada Allah swt. atau yang dinamakan dengan tawakal.
Apa Itu Tawakal?
Tawakal diambil dari bahasa Arab, yakni 'Tawakul' yang artinya bersandar atau berserah diri. Tawakal diambil dari kata 'wakala' yang artinya mewakilkan, maka tawakal berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kepada Allah swt.
Secara istilah, tawakal artinya berserah diri dan berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tawakal merupakan sikap bersandar dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Tawakal memiliki dua unsur pokok, yaitu berserah diri dan berpegang teguh. Kedua-duanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dikatakan tawakal jika belum berserah diri secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal, jika belum berpegang teguh kepada-Nya, belum kokoh keyakinannya kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dalam mengatur segala sesuatu dengan sempurna.
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bertawakal kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:
Hikmah dari Ikhtiar
1. Selalu optimis dan tidak pernah berputus asa, karena selalu yakin bahwa suatu saat ia pasti meraih hasil dari usaha dan kerja kerasnya.
2. Tidak merasakan lelah dan payah dalam berusaha, karena ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dan berikhtiar.
3. Tidak pernah merasa khawatir terhadap segala macam kegagalan, karena ia memahami dengan baik bahwa setiap usaha memang beresiko gagal. Namun, hal tersebut diambil sebagai hikmah bahwa di balik kegagalan pasti ada kesuksesan.
Hikmah dari Tawakal
1. Dicukupkan rezekinya oleh Allah swt. dan merasakan ketenangan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt. yang artinya:
Semoga bermanfaat, dan mudah-mudahan dapat diambil hikmah dan manfaat dibalik sifat dan perilaku Ikhtiar dan Tawakal dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a'lam bisshawwab,
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kata ikhtiar diambil dari bahasa Arab, yakni 'ikhtaara' yang artinya memilih. Sementara dalam bentuk kata kerja, ikhtiar berarti pilihan atau memilih hal yang baik (khair).
Sedangkan menurut istilah, ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya dalam usaha mendapatkan yang terbaik, agar tujuan hidupnya selamat sejahtera di dunia dan di akhirat.
Ikhtiar |
Ikhtiar bukan hanya usaha, atau semata-mata upaya untuk menyelesaikan persoalan yang tengah membelit. Ikhtiar adalah konsep Islam dalam cara berpikir dan mengatasi permasalahan. Dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa, yakni bagaimana kita menuntaskan masalah dengan mempertimbangkan apa yang baik menurut Islam, dan kemudian menjadikannya sebagai pilihan apapun konsekuensinya, dan meskipun tidak populer atau terasa berat.
Ikhtiar berarti tidak mengenal putus asa, dan yakni bahwa rahmat Allah pasti datang setelah berikhtiar. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar, dan melarang hamba-Nya untuk berputus asa. Sebagaimana perintah Nabi Ya'kub a.s. kepada Anak-anaknya untuk terus berikhtiar dalam mencari berita tentang Nabi Yusuf a.s. dan adiknya Bunyamin. Hal tersebut diabadikan Allah swt. dalam Al-Qur'an yang artinya:
"Hai anak-anakku, pergilah kamu, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf:87)Dan Allah juga berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (Q.S. Ar-Ra'd:11)Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia sebagai hamba Allah diperintahkan untuk berusaha, bukan untuk berleha-leha. Sebab, rahmat Allah turun kepada kita melalui sebab atau usaha yang kita lakukan. Artinya, kita jangan pernah berputus asa dalam mencari rahmat dan ridha Allah swt.
Setelah berikhtiar dengan segala kemampuan kita, seharusnya kita menyerahkan segala usaha kita kepada Allah swt. atau yang dinamakan dengan tawakal.
Apa Itu Tawakal?
Tawakal diambil dari bahasa Arab, yakni 'Tawakul' yang artinya bersandar atau berserah diri. Tawakal diambil dari kata 'wakala' yang artinya mewakilkan, maka tawakal berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kepada Allah swt.
Secara istilah, tawakal artinya berserah diri dan berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tawakal merupakan sikap bersandar dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Tawakal kepada Allah |
Tawakal memiliki dua unsur pokok, yaitu berserah diri dan berpegang teguh. Kedua-duanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dikatakan tawakal jika belum berserah diri secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal, jika belum berpegang teguh kepada-Nya, belum kokoh keyakinannya kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dalam mengatur segala sesuatu dengan sempurna.
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bertawakal kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya:
"Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplak Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hama-Nya." (Q.S, Al-Furqan:58)Tawakal, dalam artian berserah diri kepada Allah, berarti kita membatasi tawakal semata-mata hanya kepada Allah swt, dan berkeyakinan kuat bahwa Allah swt, Maha Mampu mewujudkan semua permintaan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya sesuai kehendak-Nya.
Hikmah dari Ikhtiar
1. Selalu optimis dan tidak pernah berputus asa, karena selalu yakin bahwa suatu saat ia pasti meraih hasil dari usaha dan kerja kerasnya.
2. Tidak merasakan lelah dan payah dalam berusaha, karena ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dan berikhtiar.
3. Tidak pernah merasa khawatir terhadap segala macam kegagalan, karena ia memahami dengan baik bahwa setiap usaha memang beresiko gagal. Namun, hal tersebut diambil sebagai hikmah bahwa di balik kegagalan pasti ada kesuksesan.
Hikmah dari Tawakal
1. Dicukupkan rezekinya oleh Allah swt. dan merasakan ketenangan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt. yang artinya:
"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya." (Q.S. At-Thalaq:3)2. Dikuatkan imannya, dijauhkan dari setan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt. yang artinya:
"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya." (Q.S. An-Nahl:99)Demikianlah postingan mengenai Pengertian Ikhtiar dan Tawakal beserta Hikmahnya,
Semoga bermanfaat, dan mudah-mudahan dapat diambil hikmah dan manfaat dibalik sifat dan perilaku Ikhtiar dan Tawakal dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a'lam bisshawwab,
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Apa sih Tawakal Itu?
Apa sih Tawakal itu ? dan apa sih ciri-cirinya ?.
Ok deh, saya akan jelaskan apa itu tawakal. Pengertian Tawakal adalah secara bahasa tawakal berarti pasrah. Sedangkan menurut istilah termologi,
tawakal adalah suatu sikap pasrah yang didasarkan pada aspek ketidak
berdayaan seorang hamba Allah setelah melakukan usaha atau ikhtiar
secara sungguh-sungguh. Pada konsep Islam, ajaran tawakal
merupakan cermin sikap seorang hamba yang mengakui akan kelemahan atau
keterbatasan yang dimilikinya. Secara sadar meminta petunjuk dan
bimbingan kepada Allah SWT agar mendapatkan petunjung atau mendapatkan
sesuatu yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Pada dasarnya tawakal itu adalah agar manusia tidak menyombongkan akan
kemampuannya sendiri. Mampu atau Sukses apapun yang dia raih, ia merasa
tidak sebanding dengan ke Mahakuasaan yang dimiliki Allah SWT. Namun
dengan ia sadar atas batas kemampuan dan kelemahan yang dia miliki yang
tidak sebanding dengan ke Mahakuasaan Allah sang Maha Tinggi, ia bukan
berarti hanya bisa meminta dan tidak melakukan atau bertindak apa-apa.
Melainkan ia berusaha semampunya dan berdoa kepada-Nya. Tapi setelah ia
mendapatkan apa yang ia harapkan dengan usahanya, ia tidak pernah
menyombongkan diri dan seolah-olah ia merasa bahwa keberhasilan yang ia
peroleh itu merupakan berkat sang Holiq. Karna apapun yang ia lakukan
tanpa seijin Allah, maka ia akan mustahil melakukannya.
Sekarang kita sudah tau kan, apa yang dimaksud dengan Tawakal itu apa. Dan sekarang saya akan memberi tahu anda tentang ciri-ciri tawakal nya, yaitu sebagai berikut :
- Mau bekerja keras dan disiplin tinggi, yaitu bahwa kita berserah diri itu bukan maksudnya hanya berpangku dan pasrah tanpa melakukan apa-apa dalam suatu pekerjaan. Jadi seseorang, bila sudah melakukan semaksimal mungkin atau sudah bekerja sungguh-sungguh dan disiplin, barulah kita pasrah apa yang sudah kita kerjakan dan pasrah untuk melihat hasinya.
- Percaya Diri yang Tinggi, yaitu seseorang memiliki kepercayaan diri yang tinggi itu ia tidak akan mengeluh dan tidak melihat keterbatasan kemampuannya ia malah diam atau merasa tidak bisa apa-apa. Jadi orang yang tawakal itu, akan memiliki integritas antara keyakinan diri dengan keyakinan terhadap Tuhannya yaitiu Allah SWT.
- Selalu merencenakan segala sesuatunya dengan baik, yaitu bila ia bisa melihat atau mengukur segala sesuatunya kemampuan dalam diri kita serta semua kelemahan-kelemahan yang ia punya, ia selalu akan mengevaluasi dirinya dengan cara terukur dan selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu pekerjaan tersebut.
Jadi sekarangkan anda tahu mengenai tawakal. Jadi jangan kamu salam
tempatkan bahwa tawakal itu hanya berserah diri saja. Dan perlu anda
ketahui, orang-orang islam yang sukses itu dia mempunyai sikap tawakal
dan mengerti apa yang harus dia lakukan dengan bersungguh-sungguh
(bersemangat). Dan bila kita sudah melakukan apa yang sudah kita lakukan
dengan sungguh-sungguh atau seoptimal mungkin, barulah kita tawakal apa
yang akan ia dapatkan menurut kemampuannya.
Saturday, November 6,
2010
Tawakal Kepada Allah
Soalan :
Assalmu'alaikum, ustaz...minta perjelaskan, soal tawakal...masih ramai
yg anggap, usaha dulu kemudian baru tawakal! Dan meletakkan hadis sbg
hujah...
Jawapan :
Tawakal berasal dari perkataan “wakalah” yang bererti memilih wakil.
Kita mengetahui bahawa kredibiliti seorang wakil yang baik boleh
dilihat, paling tidak dari empat sifat, iaitu pengetahuan yang cukup,
kepercayaan, mempunyai kemampuan, dan penuh perhatian.
Jelas bahawa memilih seorang wakil untuk sebuah pekerjaan dilakukan
ketika seseorang tidak mempunyai kemampuan lagi untuk bertahan. Pada
saat inilah ia boleh mengunakan kekuatan orang lain untuk membantunya
dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
Oleh kerana itu, tawakal kepada Allah swt. tidak mempunyai maksud lain,
kecuali bahawa manusia menjadikan Allah sebagai wakilnya dalam
menghadapi persoalan, musibah, musuh, para penentang, dan
masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Ketika seseorang telah sampai
pada jalan buntu dalam upaya mencapai tujuan dan tidak mempunyai
kemampuan lagi untuk menyelesaikan dan memecahkan persoalannya, ia akan
menyandarkan diri kepadaNya dengan tanpa menghentikan usahanya. Bahkan,
ia sendiri mempuyai kemampuan untuk melakukan pekerjaannya, ia tetap
menganggap bahawa faktor utama yang boleh menyelesaikan masalahnya
adalah Allah swt sahaja. Firman Allah yang bermaksud :
“Sesiapa berserah diri bulat-bulat kepada Allah, maka Allah cukuplah
baginya (untuk menolong dan menyelamatkannya). Sesungguhnya Allah tetap
melakukan Segala perkara Yang dikehendakiNya. Allah telahpun menentukan
kadar dan masa bagi berlakunya tiap-tiap sesuatu.” (At-Talaaq : 3)
Tawakal merupakan salah satu cara yang dikurniakan oleh Allah swt kepada
hamba-hambaNya dalam mereka mencari jalan dalam mencapai sesuatu.
Tawakal ini adalah satu elemen yang penting dalam kehidupan seorang
Muslim. Rasulullah saw bersabda :
"Jika kamu bertakwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar tawakal, maka
Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki
kepada burung, pagi-pagi keluar sarang dalam keadaan lapar, dan petang
hari pulang ke sarang dalam keadaan kenyang." (At Tarmizi, Ahmad, Ibnu
Majah)
Ramai umat Islam sekarang ini tersalah faham tentang konsep tawakal, ada
yang bertawakal sebelum berusaha dan ada juga yang bertawakal tanpa
usaha dahulu. Contohnya seorang pelajar hanya berdoa dan bertawakal
sahaja kepada Allah supaya ia lulus dalam peperiksaannya tanpa berusaha.
Ini pasti tidak akan lulus dalam peperiksaan. Ataupun parking kereta
tanpa kunci dan kuncinya ditinggalkan di suisnya dan bertawakal kepada
Allah, ini juga pasti hilang. Kemudian mereka ini menyalahkan Allah
dengan mengatakan Allah tiada kuasa, Allah tak dengar tawakalnya dan
sebagainya. Inilah yang dikatakan umat Islam yang jahil tiada ilmu dalam
mengerjakan sesuatu.
Tetapi berlaku juga kepada orang yang berusaha, berdoa dan bertawakal
dalam usahanya itu, tetapi tetap tidak berjaya dan Allah tidak
memberikan kejayaan kepadanya. Hal ini perlu kita cermin dahulu diri
kita, adakah usaha kita mencukupi atau kita abaikan ibadah-ibadah wajib,
sering melakukan dosa atau sebagainya. Sebab itulah tawakal kita perlu
bersama dengan redho dan sabar dengan apa yang akan diberikan oleh
Allah. Orang yang bersabar itu adalah orang yang mempunyai iman dan
keyakinan akan kekuasaan Allah. Sabda Rasulullah yang bermaksud :
“Bersabar itu separuh daripada iman”.
Konsep tawakal
Ibnu Rajab Rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam berkata :
“Tawakal adalah penyandaran hati pada Allah untuk meraih berbagai
kemaslahatan dan menghilangkan bahaya dalam urusan dunia maupun akhirat,
menyerahkan semua urusan kepadaNya serta meyakini dengan
sebenar-benarnya bahawa tidak ada yang memberi, menghalangi,
mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.”
Perlu diketahui bahawa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati
kepada Allah semata-mata, namun disertai juga dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab berkata lagi :
“menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan
sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Kerana Allah
memerintahkan kita untuk melakukan usaha, sekaligus juga memerintahkan
kita untuk bertawakal. Oleh kerana itu, usaha dengan anggota badan
adalah termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati
merupakan keimanan kepadaNya.”
Sahl At Tusturi berkata bahawa :
“Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab), maka dia telah mencela
sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barang siapa mencela
tawakal (tidak mau bersandar pada Allah), maka dia telah meninggalkan
keimanan.”
Penutup
Sebagai umat Islam yang taat kepada Allah, maka berusahalah dengan
kekuatan, tenaga dan ilmu yang dikurniakan oleh Allah, selarikan
berusaha, berdoa dan bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar
tawakal, supaya Allah memudahkan dan memberikan kejayaan atau hasil
segala usaha kita. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :
“Barang siapa yang berusaha dia akan berjaya”.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Tiada ulasan:
Catat Ulasan