Qanaah dan Tasamuh
1. Pengertian Qana’ah
Qana‟ah artinya sikap merasa cukup atau
menerima apa adanya terhadap segala usaha yang telah dilaksanakannya.
Sifat qana‟ah akan mengendalikan diri seseorang dari keinginan memenuhi
hawa nafsu. Sebagai seorang muslim yang berjiwa kuat, sikap qana’ah
tentunya sangat penting untuk dimiliki. Dengan sikap qana’ah seorang
muslim akan terhindar dari rasa rakus dan serakah ingin menguasai
sesuatu yang bukan miliknya. Seseorang yang memiliki sikap qana’ah akan
merasa kecukupan dan selalu berlapang dada. Dalam dirinya yakin akan apa
yang ia peroleh dari usahanya adalah atas kehendak Allah SWT. Ia sadar
bahwa hanya Allah yang mengatur rejeki, hidup, mati dan jodoh seseorang.
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَقاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَدْاَفْلَحَ مَنْ اَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًاوَقَنَّعَهُ اللهُ بِماَاتَهُ
- ”An abdillahibni ’umara qala, qala rasulullahi sallallahu ’alaihi wa sallama qad aflaha man aslama waruziqa kafafan wa qanna’ahullahu bima atahu”. (HR. Muslim)
- Artinya : ”Abdullah bin Umar berkata, ”Bersabda Rasulullah SAW, ”Sungguh beruntung orang-orang yang masuk Islam, mendapat rejeki secukupnya dan ia merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya”. (HR. Muslim)
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال : قَالَ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلكِنَّ الْغِنَى غِنىَ النَّفْسِه
- “An abi hurairata radiyallahu ‘anhu qala, qala rasulullahi sallallahu ’alaihi wa sallama laisal gina ’ankasratil aradi walakinnalgina ginannafsi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Rasulullah saw bersabda, ” Bukannya kekayaan itu karena banyak hartanya, melainkan kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hatinya”. ”. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Membiasakan Perilaku Qana’ah
Sikap qana’ah perlu kita bina sejak masih kecil. Sikap qana’ah ini berkaitan erat dengan berapa dan apa harta yang ia dapatkan di dunia. Jika kita mampu mengendalikan diri dari urusan-urusan dunia, maka pembiasaan qana’ah inilah yang berperan aktif. Pembiasaan qana’ah dapat diterapkan dengan hidup sederhana, mensyukuri setiap mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan tidak mengeluh atas kondisi hidup yang sedang dijalaninya.
Qana’ah dalam kaitannya dengan siswa dapat dibiasakan melalui pemberian uang jajan yang tidak melebihi batas kewajaran. Setiap siswa pasti mendapatkan uang jajan dari orang tuanya ketika pergi ke sekolah. Sebagai siswa yang baik, kamu harus mensyukuri berapapun uang yang dikasih oleh orang tua. Bahkan kalau perlu kamu tidak jajan dan menabung uang tersebut.
Sikap qana’ah perlu kita bina sejak masih kecil. Sikap qana’ah ini berkaitan erat dengan berapa dan apa harta yang ia dapatkan di dunia. Jika kita mampu mengendalikan diri dari urusan-urusan dunia, maka pembiasaan qana’ah inilah yang berperan aktif. Pembiasaan qana’ah dapat diterapkan dengan hidup sederhana, mensyukuri setiap mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan tidak mengeluh atas kondisi hidup yang sedang dijalaninya.
Qana’ah dalam kaitannya dengan siswa dapat dibiasakan melalui pemberian uang jajan yang tidak melebihi batas kewajaran. Setiap siswa pasti mendapatkan uang jajan dari orang tuanya ketika pergi ke sekolah. Sebagai siswa yang baik, kamu harus mensyukuri berapapun uang yang dikasih oleh orang tua. Bahkan kalau perlu kamu tidak jajan dan menabung uang tersebut.
3. Contoh perilaku Qana’ah
Perhatikan pengalaman hidup berikut !
Shofa adalah seorang siswa kelas 9 di sebuah SMP. Setiap hari ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Padahal jarak rumah menuju sekolahnya kurang lebih 9 KM. Shofa bersyukur kepada Allah SWT, karena orang tuanya masih mampu menyekolahkan sampai tingkat SMP. Ia berangkat ke sekolah pagi-pagi benar agar tidak terlambat datang ke sekolah. Shofa tidak merasa canggung dengan teman-temannya yang berasal dari keluarga mampu. Mereka difasilitasi oleh orang tuanya sepeda motor. Shofa tetap setia berjalan kaki pergi ke sekolah. Hal ini dikarenakan kemampuan ekonomi orang tuanya, meskipun banyak yang senasib shofa memaksakan diri membeli motor. Namun shofa tidak mau menyusahkan orang tuannya. Bagaimana sikap kamu jika menjadi Shofa ?
Perhatikan pengalaman hidup berikut !
Shofa adalah seorang siswa kelas 9 di sebuah SMP. Setiap hari ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Padahal jarak rumah menuju sekolahnya kurang lebih 9 KM. Shofa bersyukur kepada Allah SWT, karena orang tuanya masih mampu menyekolahkan sampai tingkat SMP. Ia berangkat ke sekolah pagi-pagi benar agar tidak terlambat datang ke sekolah. Shofa tidak merasa canggung dengan teman-temannya yang berasal dari keluarga mampu. Mereka difasilitasi oleh orang tuanya sepeda motor. Shofa tetap setia berjalan kaki pergi ke sekolah. Hal ini dikarenakan kemampuan ekonomi orang tuanya, meskipun banyak yang senasib shofa memaksakan diri membeli motor. Namun shofa tidak mau menyusahkan orang tuannya. Bagaimana sikap kamu jika menjadi Shofa ?
Berikut beberapa sikap yang mencerminkan qanaah :
- Senantiasa bersyukur atas nikmat Allah SWT
- Hidup sederhana
- Senantiasa mau berinfak dijalan Allah SWT
- Tidak putus asa / cemas dalam menghadapi masalah
4. Fungsi bersikap Qana’ah
Bersikap qana’ah berarti menanamkan pola hidup sederhana. Qana’ah tetap dilakukan ketika dalam keadaan miskin atau ketika sudah merasa kecukupan hidup di dunia. Sikap qana’ah merupakan sikap yang baik dan perlu dilestarikan, karena qana’ah memiliki fungsi bagi kehidupan umat Islam di dunia ini. Diantaranya adalah :
a. Mendidik pola hidup sederhana
b. Mendidik perilaku yang ikhlas terhadap segala kejadian
c. Meningkatkan keimanan, ketakwaan dan tawakkal
d. Meningkatkan rasa syukur kepada Allah swt
Bersikap qana’ah berarti menanamkan pola hidup sederhana. Qana’ah tetap dilakukan ketika dalam keadaan miskin atau ketika sudah merasa kecukupan hidup di dunia. Sikap qana’ah merupakan sikap yang baik dan perlu dilestarikan, karena qana’ah memiliki fungsi bagi kehidupan umat Islam di dunia ini. Diantaranya adalah :
a. Mendidik pola hidup sederhana
b. Mendidik perilaku yang ikhlas terhadap segala kejadian
c. Meningkatkan keimanan, ketakwaan dan tawakkal
d. Meningkatkan rasa syukur kepada Allah swt
B. Tasamuh
1. Pengertian Tasamuh
Secara bahasa tasamuh artinya toleransi, tenggang rasa atau saling menghormati terhadap hak atau kepentingan orang lain. Sedangkan secara istilah tasamuh adalah satu sikap yang senantiasa saling menghormati dan menghargai sesama manusia.
Toleransi merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur persamaan hak dan kewajiban. Karena masing-masing individu atau kelompok atau bahkan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dengan mengedepankan sikap tasamuh, maka akan terjalin hubungan yang positif, nyaman dan damai antar sesama manusia.
Selain kebutuhan yang bersifat fisik, manusia juga memerlukan kebutuhan yang bersifat rohani. Diantara bentuk kebutuhan rohani adalah rasa kasih sayang, toleransi, kebersamaan, penghargaan atas prestasi, pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka manusia tidak akan mampu bertahan hidup sendirian. Ia akan membutuhkan orang lain dalam situasi dan kondisi tertentu. Untuk itulah perlunya sikap saling menghargai antar sesama manusia.
Agama Islam secara tegas menyatakan bahwa sikap tasamuh tidak memandang suku, bangsa, agama dan ras. Di hadapan Allah swt, semua manusia dalam posisi yang sama. Satu yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan kita terhadap Allah swt.
Secara bahasa tasamuh artinya toleransi, tenggang rasa atau saling menghormati terhadap hak atau kepentingan orang lain. Sedangkan secara istilah tasamuh adalah satu sikap yang senantiasa saling menghormati dan menghargai sesama manusia.
Toleransi merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur persamaan hak dan kewajiban. Karena masing-masing individu atau kelompok atau bahkan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dengan mengedepankan sikap tasamuh, maka akan terjalin hubungan yang positif, nyaman dan damai antar sesama manusia.
Selain kebutuhan yang bersifat fisik, manusia juga memerlukan kebutuhan yang bersifat rohani. Diantara bentuk kebutuhan rohani adalah rasa kasih sayang, toleransi, kebersamaan, penghargaan atas prestasi, pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka manusia tidak akan mampu bertahan hidup sendirian. Ia akan membutuhkan orang lain dalam situasi dan kondisi tertentu. Untuk itulah perlunya sikap saling menghargai antar sesama manusia.
Agama Islam secara tegas menyatakan bahwa sikap tasamuh tidak memandang suku, bangsa, agama dan ras. Di hadapan Allah swt, semua manusia dalam posisi yang sama. Satu yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan kita terhadap Allah swt.
Sebagaimana firman Allah swt berikut ini :
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اِناَّخَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَّاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًاوَّقَباَئِلَ لِتَعَارَفُوْاط اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَيكُمْط اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ(الحجرات :
- ”Ya ayyuhannasu inna khalaqnakum min dakarin wa unsa waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu. Inna akramakum ’indallahi atqakum. Innallaha ’alimun khabirun”. (QS. Al- Hujurat : 39/13)
- Artinya : ”Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al- Hujurat : 49/13)
Sikap tasamuh atau toleransi hanyalah
berlaku bagi urusan-urusan di dunia. Apabila menyangkut urusan akherat,
maka ada syariat tersendiri. Karena setiap pribadi pada kehidupan
akherat membawa catatan perbuatannya sendiri. Untuk itu diperlukan sikap
toleransi dalam urusan-urusan tertentu. Jika pada masalah pokok agama,
maka tidak diperkenankan adanya toleransi.
Sedangkan jika pada masalah-masalah teknis atau ibadah gairu mahda diperlukan sikap toleransi. Karena tanpa adanya toleransi tentunya yang ada hanyalah perdebatan-perdebatan dan akhirnya berujung pada pertengkaran yang panjang. Untuk itulah, sikap tasamuh sangat penting bagi setiap individu yang menginginkan kedamaian, ketentraman dan kesejukan dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah swt berikut :
”Allahu rabbuna warabbukum, lana a’maluna walakum a’malukum. La hujjata bainana wabainakum. Allahu yajma’u bainana. Wailahil masiru”. (QS. Asy- Syura : 42/15)
Artinya : ”Allahlah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah SWT mengumpulkan antara kita dan kepada Allah SWT lah (kita) kembali”. (QS. Asy- Syura : 42/15)
Sedangkan jika pada masalah-masalah teknis atau ibadah gairu mahda diperlukan sikap toleransi. Karena tanpa adanya toleransi tentunya yang ada hanyalah perdebatan-perdebatan dan akhirnya berujung pada pertengkaran yang panjang. Untuk itulah, sikap tasamuh sangat penting bagi setiap individu yang menginginkan kedamaian, ketentraman dan kesejukan dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah swt berikut :
”Allahu rabbuna warabbukum, lana a’maluna walakum a’malukum. La hujjata bainana wabainakum. Allahu yajma’u bainana. Wailahil masiru”. (QS. Asy- Syura : 42/15)
Artinya : ”Allahlah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah SWT mengumpulkan antara kita dan kepada Allah SWT lah (kita) kembali”. (QS. Asy- Syura : 42/15)
Sabda Rasulullah SAW
”Masalulmukmini fi tawaddihim watarahumihim wata’atufihim kamasaliljasadi idasytaka minhu ’udwun tada’a lahu sairuljasadi bissahari walhumma”. (HR. Bukhari : 5552)
Artinya : Perumpaan orang beriman di dalam cinta mencintai, sayang menyayangi dan kasih mengasihi adalah seperti tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, anggota tubuh yang lainnya turut merasakannya yaitu tidak dapat tidur dan merasa panas”. (HR. Bukhari 5552)
”Masalulmukmini fi tawaddihim watarahumihim wata’atufihim kamasaliljasadi idasytaka minhu ’udwun tada’a lahu sairuljasadi bissahari walhumma”. (HR. Bukhari : 5552)
Artinya : Perumpaan orang beriman di dalam cinta mencintai, sayang menyayangi dan kasih mengasihi adalah seperti tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, anggota tubuh yang lainnya turut merasakannya yaitu tidak dapat tidur dan merasa panas”. (HR. Bukhari 5552)
2. Contoh perilaku tasamuh
- Pada hari Minggu warga perumahan Persada Bumi Putra Sragen mengadakan kerja bakti dalam rangka menyambut peringatan HUT RI Ke- 55. Pak Yohanes adalah salah seorang warga perumahan yang beragama Kristen. Sebelum berangkat ke gereja, Pak Yohanes menyampaikan permohonan maaf kepada warga bahwa ia datang terlambat karena mengikuti kebaktian di gereja. Semua warga kemudian memakluminya.
- Pada saat bulan Ramadhan, warung makan Bu Sumini menutup warungnya pada pagi hari hingga asar selama bulan ramadhan. Karena warungnya berada di sekitar masjid. Menjelang buka puasa, baru bu sumini membuka warungnya. Hal ini dilakukan untuk menghormati umat Islam yang sedang menjalankan puasa.
- Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk beribadah
- Tidak menghina atau mencela penganut agama lainnya
- Bekerja sama adalam bidang ekonomi sosial, meskipun berbeda agama.
3. Fungsi bersikap tasamuh
- Menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam pergaulan antar sesama umat manusia
- Memperbanyak persaudaraan dan persahabatan
- Menunjukkan jiwa besar yang mau mengalah untuk kepentingan bersama
- Menghilangkan kesulitan yang ada pada diri sendiri maupun pada orang lain
Apa pengertian tasamuh?
Ikuti
1 jawaban
Jawaban
Jawaban Terbaik:
Toleransi, yang bahasa Arabnya tasamuh adalah "sama-sama berlaku baik,
lemah lembut dan saling pemaaf." Dalam pengertian istilah umum,
tasamuh adalah "sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, di mana terdapat
rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan oleh ajaran Islam."
Setidak-tidaknya ada dua macam tasamuh. Pertama, tasamuh antar sesama
manusia muslim yang berupa sikap dan perilaku tolong menolong saling
menghargai, saling menyayangi, saling menasehati, dan tidak curiga
mencurigai. Kedua, tasamuh terhadap manusia non muslim, seperti
menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam
satu negara. Dengan kata lain, toleransi didasarkan atas
prinsip-prinsip : 1. bertetangga baik; 2. saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama; 3. membela mereka yang teraniaya; 4. saling
menasehati, dan 5. menghormati kebebasan beragama.
Ajaran Islam tentang toleransi beragama atau hubungan antar ummat
beragama ini meliputi lima ketentuan, yakni :
Pertama, tidak ada paksaan dalam agama, "Tidak ada paksaan dalam agama
(karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
salah." (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Kedua, mengakui eksistensi agama lain serta menjamin adanya kebebasan
beragama, sebagaimana digariskan dalam Q.S. Al-Kafirun :
Katakanlah : "Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa
yang kalian sembah dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan
kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku."
(Q.S. Al-Kafirun 1-6).
Ketiga, tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka (Q.S. Al-
An'am : 108).
Keempat, tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak
memusuhi (Q.S. Al-Mumtahanah 8-9; Q.S. Fushshilat : 34).
Kelima, memberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Pesan Nabi SAW,
"Barangsiapa menyakiti orang dzimmi berarti ia menyakiti diriku!"
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa toleransi yang diajarkan Islam
bukanlah toleransi yang pasif -- yang sekedar "menenggang, lapang dada
dan hidup berdampingan secara damai" -- tapi lebih luas lagi; bersifat
aktif dan positif, yakni untuk berbuat baik dan berlaku adil. Agama
Islam juga mengakui adanya orang-orang ahli kitab yang baik dan
perlunya perlindungan tempat-tempat ibadah agama lain (Q.S. Al-Ma'idah
: 82; Q.S. Al-Hajj : 40).
Praktek Toleransi Islam
-----------------------
Ajaran Islam tentang toleransi ini bukan hanya merupakan teori belaka,
tapi juga terbukti dalam praktek, sebagaimana tercatat dalam sejarah
Islam dan diakui oleh para ahli non-muslim. Sejak agama Islam
berkembang, Rasulullah SAW sendiri memberi contoh betapa toleransi
merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of
Human Rights, agama Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan
beragama. Melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, Rasulullah SAW
telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antar ummat agama di
antara warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi
kaum non muslim dan menghormati peribadatan mereka.
Ketika ummat Islam berkuasa di Spanyol selama hampir 700 tahun, soal
toleransi ini pun menjadi acuan dalam memperlakukan penduduk asli,
baik yang beragama Nasrani maupun Yahudi. Toleransi Islam ini juga
nyata di India, waktu Islam memerintah India, terutama pada masa
Sultan Akbar, Kesultanan Humayun Kabir, di mana kaum Hindu juga
mendapat keleluasaan.
Batas Toleransi
---------------
Sudah tentu sikap toleransi ini pun bukannya tanpa batas, sebab
toleransi yang tanpa batas bukanlah toleransi namanya, melainkan
"luntur iman."
Batas toleransi itu ialah, pertama : apabila toleransi kita tidak lagi
disambut baik atau ibarat "bertepuk sebelah tangan," di mana pihak
lain itu tetap memusuhi apalagi memerangi Islam. Kalau sudah sampai
"batas" ini, kita dilarang menjadikan mereka sebagai teman
kepercayaan.
Firman Allah SWT,
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan
kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir
kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir
kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang zhalim." (Q.S. Al-Mumtahanah : 9).
Akan tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa kita boleh langsung
membalas, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk
"memanggil" atau menyadarkan. Bukankah Islam mengajarkan ummatnya agar
menolak kejahatan dengan cara yang baik?
"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan)
dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya
ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia." (Q.S.
Al-Fushshilat : 34).
Apalagi kalau yang "memusuhi" aqidah kita adalah orang tua kita
sendiri, maka penolakannya harus dengan cara yang lebih baik lagi dan
t
lemah lembut dan saling pemaaf." Dalam pengertian istilah umum,
tasamuh adalah "sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, di mana terdapat
rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang
digariskan oleh ajaran Islam."
Setidak-tidaknya ada dua macam tasamuh. Pertama, tasamuh antar sesama
manusia muslim yang berupa sikap dan perilaku tolong menolong saling
menghargai, saling menyayangi, saling menasehati, dan tidak curiga
mencurigai. Kedua, tasamuh terhadap manusia non muslim, seperti
menghargai hak-hak mereka selaku manusia dan anggota masyarakat dalam
satu negara. Dengan kata lain, toleransi didasarkan atas
prinsip-prinsip : 1. bertetangga baik; 2. saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama; 3. membela mereka yang teraniaya; 4. saling
menasehati, dan 5. menghormati kebebasan beragama.
Ajaran Islam tentang toleransi beragama atau hubungan antar ummat
beragama ini meliputi lima ketentuan, yakni :
Pertama, tidak ada paksaan dalam agama, "Tidak ada paksaan dalam agama
(karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
salah." (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Kedua, mengakui eksistensi agama lain serta menjamin adanya kebebasan
beragama, sebagaimana digariskan dalam Q.S. Al-Kafirun :
Katakanlah : "Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa
yang kalian sembah dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan
kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku."
(Q.S. Al-Kafirun 1-6).
Ketiga, tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka (Q.S. Al-
An'am : 108).
Keempat, tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak
memusuhi (Q.S. Al-Mumtahanah 8-9; Q.S. Fushshilat : 34).
Kelima, memberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Pesan Nabi SAW,
"Barangsiapa menyakiti orang dzimmi berarti ia menyakiti diriku!"
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa toleransi yang diajarkan Islam
bukanlah toleransi yang pasif -- yang sekedar "menenggang, lapang dada
dan hidup berdampingan secara damai" -- tapi lebih luas lagi; bersifat
aktif dan positif, yakni untuk berbuat baik dan berlaku adil. Agama
Islam juga mengakui adanya orang-orang ahli kitab yang baik dan
perlunya perlindungan tempat-tempat ibadah agama lain (Q.S. Al-Ma'idah
: 82; Q.S. Al-Hajj : 40).
Praktek Toleransi Islam
-----------------------
Ajaran Islam tentang toleransi ini bukan hanya merupakan teori belaka,
tapi juga terbukti dalam praktek, sebagaimana tercatat dalam sejarah
Islam dan diakui oleh para ahli non-muslim. Sejak agama Islam
berkembang, Rasulullah SAW sendiri memberi contoh betapa toleransi
merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of
Human Rights, agama Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan
beragama. Melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, Rasulullah SAW
telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antar ummat agama di
antara warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi
kaum non muslim dan menghormati peribadatan mereka.
Ketika ummat Islam berkuasa di Spanyol selama hampir 700 tahun, soal
toleransi ini pun menjadi acuan dalam memperlakukan penduduk asli,
baik yang beragama Nasrani maupun Yahudi. Toleransi Islam ini juga
nyata di India, waktu Islam memerintah India, terutama pada masa
Sultan Akbar, Kesultanan Humayun Kabir, di mana kaum Hindu juga
mendapat keleluasaan.
Batas Toleransi
---------------
Sudah tentu sikap toleransi ini pun bukannya tanpa batas, sebab
toleransi yang tanpa batas bukanlah toleransi namanya, melainkan
"luntur iman."
Batas toleransi itu ialah, pertama : apabila toleransi kita tidak lagi
disambut baik atau ibarat "bertepuk sebelah tangan," di mana pihak
lain itu tetap memusuhi apalagi memerangi Islam. Kalau sudah sampai
"batas" ini, kita dilarang menjadikan mereka sebagai teman
kepercayaan.
Firman Allah SWT,
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan
kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir
kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir
kalian. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka
itulah orang-orang zhalim." (Q.S. Al-Mumtahanah : 9).
Akan tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa kita boleh langsung
membalas, melainkan lebih dulu menghadapinya dengan pendekatan untuk
"memanggil" atau menyadarkan. Bukankah Islam mengajarkan ummatnya agar
menolak kejahatan dengan cara yang baik?
"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan)
dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dengannya
ada permusuhan itu seolah-olah menjadi teman yang setia." (Q.S.
Al-Fushshilat : 34).
Apalagi kalau yang "memusuhi" aqidah kita adalah orang tua kita
sendiri, maka penolakannya harus dengan cara yang lebih baik lagi dan
t
Sumber:
id.wikipedia.com
A. Qonaah
Qanaah artinya merasa cukup terhadap pemberian rezeki dari Allah swt. Qona’ah adalah rela dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menghindari rasa tidak puas dalam menerima pemberian dari Allah swt. Dengan sikap inilah maka jiwa akan menjadi tentram dan terjauh dari sifat serakah atau tamak.
Lawan kata dari qanaah ini adalah tamak. Orang yang tamak selalu merasa kurang, walaupun dia sudah mendapatkan karunia dan rezeki dari Allah swt. Tamak identik dengan rakus, semuanya ingin dimiliki. Sudah mempunyai ini, ingin juga yang itu; sudah punya itu, masih ingin yang lain. Bahayanya apabila orang tamak tidak lagi memerhatikan yang halal maupun yang haram.
Artinya: “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan
B. Tasamuh
Qonaah dan Tasamuh
Qanaah artinya merasa cukup terhadap pemberian rezeki dari Allah swt. Qona’ah adalah rela dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menghindari rasa tidak puas dalam menerima pemberian dari Allah swt. Dengan sikap inilah maka jiwa akan menjadi tentram dan terjauh dari sifat serakah atau tamak.
Lawan kata dari qanaah ini adalah tamak. Orang yang tamak selalu merasa kurang, walaupun dia sudah mendapatkan karunia dan rezeki dari Allah swt. Tamak identik dengan rakus, semuanya ingin dimiliki. Sudah mempunyai ini, ingin juga yang itu; sudah punya itu, masih ingin yang lain. Bahayanya apabila orang tamak tidak lagi memerhatikan yang halal maupun yang haram.
Artinya: “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan
jiwa.” (HR.
Bukhari-Muslim)
1.
Hidupnya
selalu merasa lebih tenang dan tentram.
2.
Menumbuhkan
sikap optimis dalam setiap usaha
3.
Tidak mudah
berputus asa.
4.
Mampu menjauhkan
dari sikap hasud (iri) atas keberhasilan orang lain.
5.
Menumbuhkan
rasa syukur kepada Allah.
6.
Memiliki pola
hidup sederhana.
B. Tasamuh
Menurut bahasa, Tasamuh artinya toleransi. Menurut istilah saling menghargai antara sesama manusia. Tasamuh atau toleransi ini sendiri merupakan salah satu pilar dalam ajaran Islam. Agama Islam cinta damai dan mengajarkan kedamaian. Bangsa Arab yang dulunya merupakan bangsa yang suka bertikai antarkelompok, antarkabilah, dan antarsuku, dengan kedatangan Islam mereka menjadi bangsa yang damai.
Kunci dari perdamaian itu adalah adanya kesadaran bertoleransi antarkelompok dan antarindividu. Dengan demikian, umat Islam yang benar-benar memahami ajarannya, tentu harus bersikap toleran, baik kepada saudara-saudaranya sesama Islam maupun kepada orang yang beragama selain Islam.
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
QS Al-Hujurat
11Tasamuh
atau tenggang rasa yaitu adanya rasa peduli terhadap sesame, terhadap
lingkungan sekitar dan semua makhluk ciptaan Alloh.
Yaumul Jam`i adalah hari berkumpulnya seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam sampai dengan manusia akhir Zaman untuk di tanyakan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Yaumul Jam`i adalah hari berkumpulnya seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam sampai dengan manusia akhir Zaman untuk di tanyakan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.
1. TASAMUH Dalam bahasa Arab arti tasamuh adalah "sama-sama
berlaku baik, lemah lembut dan saling pemaaf." Dalam pengertian istilah
umum, tasamuh adalah "sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, di mana
terdapat rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas
yang digariskan oleh ajaran Islam."
Menurut bahasa berarti tenggang rasa, sedangkan menurut istilah Tasamuh berarti menghargai sesama. Ada yang bilang maksud dari Tasamuh/toleransi adalah bersikap menerima dan damai terhadap keadaan yang dihadapi, misalnya toleransi dalam agama, maksudnya antar agama saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing tidak saling menganggu.
Yaumul Jam`i adalah hari berkumpulnya seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam sampai dengan manusia akhir Zaman untuk di tanyakan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Menurut bahasa berarti tenggang rasa, sedangkan menurut istilah Tasamuh berarti menghargai sesama. Ada yang bilang maksud dari Tasamuh/toleransi adalah bersikap menerima dan damai terhadap keadaan yang dihadapi, misalnya toleransi dalam agama, maksudnya antar agama saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing tidak saling menganggu.
Yaumul Jam`i adalah hari berkumpulnya seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam sampai dengan manusia akhir Zaman untuk di tanyakan seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Islam: Antara Toleransi dan Bertasamuh
Jauh
lebih baik bertasamuh dari pada bertoleransi. Dan satu hal yang tak
kalah penting, masalah kerukunan antar umat beragama, Islam tidak perlu
belajar dari Barat
Oleh: Mohammad Ismail
WACANA kerukunan antar umat beragama
bukanlah hal yang baru dalam ajaran Islam. Sejak agama Islam diturunkan
oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wassalam nilai-nilai kerukunan sudah diajarkan dan diterapkan. Bukan
hanya kepada sesama umat muslim. Bahkan kepada non-muslim pun Islam
menjalin kerukunan.
Tapi, akhir-akhir ini, Islam justru
disudutkan dengan berbagai macam tuduhan. Dan yang terbaru ialah “Islam
bukan agama toleran” yang dilontarkan oleh LSI. Untuk itu, penulis
merasa perlu menyikapi tuduhan tersebut. Adapun tulisan ini ingin
mendudukkan toleransi dengan konsep tasamuh dalam Islam serta mencari
benang merah perbedaan antara keduanya.
Beda Toleransi dan Tasamuh
Secara terminologi, kata “tolerance”
(toleransi) sebagaimana dalam The New International Webster
Comprehensive Dictionary of The English Language (1996:1320) diartikan
dengan menahan perasaan tanpa protes (to endure without protest).
Artinya seseorang tidak berhak protes atas argumen orang lain, meskipun
itu adalah gagasan yang salah dalam keyakinan. Inilah toleransi dalam
pengertian Barat.
Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan
toleransi dengan istilah “tasamuh”. Dalam kamus al-Muhit, Oxford Study
Dictionary English-Arabic (2008:1120) istilah tasamuh memiliki arti
tasahul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja
untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing
tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan.
Dalam pandangan Harun Nasution dalam Kamus
Lengkap Islamologi (2009), toleransi meliputi beberapa hal. Di
antaranya yaitu : Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain.
Artinya, Harun percaya bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam Islam,
melainkan kebenaran juga ada dalam agama selain Islam. Selain itu,
toleransi menurut Harun berarti upaya membina rasa persaudaraan
se-Tuhan.
Definisi Harun di atas sangat sarat akan
aroma paham pluralis. Pertama, Harun ingin merelatifkan nilai kebenaran
itu sendiri. Gagasan Harun ini bukanlah hal yang baru. Ia mengekor
dengan ide John Hick, yang menganggap kebenaran itu relatif. Kedua,
Harun juga ingin menyamakan Tuhan agama-agama. Dalam hal ini ia
terpengaruh oleh Frichof Schuon yang percaya akan Tuhan agama-agama
yaitu “The One”.
Lain halnya dengan Dr Yusuf al-Qaradhawi
dalam Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami yang memaknai konsep
tasamuh dalam beberapa hal. Tasamuh adalah keyakinan terhadap kemuliaan
manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya. Selain itu,
tasamuh juga berarti keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala
memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia
meskipun kepada orang musyrik.
Jadi, antara toleransi dalam pandangan
Barat memiliki perbedaan mendasar dengan konsep tasamuh dalam Islam.
Perbedaan tersebut terlihat dalam hal konsekwensi berkeyakinan dalam
beragama. Toleransi ingin merelatifkan nilai-nilai kebenaran dalam
beragama. Sedangkan tasamuh justru untuk meyakini akan kebenaran yang
hanya berasal dari Allah Subhanahu Wata’ ala. Dari defenisi Qaradhawi
ini saja ada perbedaan besar antara toleransi (dalam konsep Barat) dan
Islam.
Islam Intoleran yang Tasamuh
Belum lama ini Islam kembali menjadi
sorotan media massa. Kali ini Islam tidak sedang dituduh sebagai agama
teroris. Tapi, Islam dianggap sebagai agama yang intoleran.
Statemen tersebut dilontarkan oleh Lembaga
Survei Indonesia (LSI). Wacana itu merupakan kesimpulan dari hasil
survei yang mereka lakukan pada tanggal 1-8 Oktober 2012. Kabarnya,
survei tersebut dilengkapi dengan riset kualitatif, analisis media dan
Focus Group Discussion (FGD). (antaranews.com)
Adapun survei tersebut menemukan bahwa
publik (umat islam) tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang yang
berbeda agama naik 8,2 persen dari 6,9 persen menjadi 15,1 pada survei
tahun 2012. Ketidaknyamanan bertetangga dengan orang Syiah sebelumnya
sebesar 26,7 persen sekarang naik 15,1 persen menjadi 41,8 persen.
Sementara mereka yang tidak nyaman hidup
berdampingan dengan orang Ahmadiyah naik sebesar 7,5 persen yang
sebelumnya hanya 38,1 persen menjadi 46,6 persen pada 2012. Dan mereka
yang tidak nyaman bertetangga dengan homoseksual pada 2005 hanya 64,7
persen kini menjadi 80,6 persen.
Artinya, bahwa mayoritas penduduk
Indonesia yang beragama Islam lebih menerima hidup bertetangga dengan
orang yang beda agama daripada hidup bertetangga dengan orang Islam yang
berbeda paham agama seperti Syiah dan Ahmadiyah. Jadi, muslim Indonesia
sangat intoleran. Demikianlah kesimpulan dari LSI yang dimuat dalam
situs resminya. (lsi.co.id)
Ini artinya, orang Islam Indonesia semakin sadar akan kebenaran agama Islam. Pasalnya, sample (muslim) bisa membedakan bahwa orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan Islam (Syiah dan Ahmadiyah) adalah sesat dan menyesatkan. Akhirnya, mereka tidak mau hidup bersama mereka.
Ini artinya, orang Islam Indonesia semakin sadar akan kebenaran agama Islam. Pasalnya, sample (muslim) bisa membedakan bahwa orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan Islam (Syiah dan Ahmadiyah) adalah sesat dan menyesatkan. Akhirnya, mereka tidak mau hidup bersama mereka.
Dalam hal ini, wajar jika LSI mengatakan
umat Islam (yang menjadi sample riset) itu intoleran. Dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa cara pandang menyikapi toleransi yang
digunakan oleh LSI adalah toleransi model Barat yang tidak membedakan
antara kebenaran dan kesesatan. Bagi Barat (yang akhirnya jadi pijakan
LSI), semua harus ditolerir. Tentu akan berbeda hasilnya apabila LSI
menggunakan kaca mata Islam (dalam hal ini konsep tasamuh) dalam menilai
hal tersebut.
Sebagaimana disebutkan di awal, Islam
memiliki konsep tasamuh atau (kemudahan). Saat LSI melakukan survei,
sebenarnya umat muslim sedang menerapkan konsep tasamuh. Hal ini dapat
dilihat dari data yang menunjukkan penolakan terhadap kesesatan
(Homosex/Lesbian, Syiah dan Ahmadiyah). Sikap ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam Ghair al-Muslimin fii
al-Mujtama’ Al-Islami (1992:53-55) yang mengatakan bahwa dalam
bertasamuh, Islam harus tetap mengedepankan tauhid.
Sebab, pada dasarnya, konsep bertasamuh
dalam Islam mengandung konsep-konsep yang rahmatan lil ‘alamin. Di
antaranya konsep yang mengikat makna tasamuh yaitu ar-Rahmah (Kasih
Sayang), QS. Al-Balad : 17, al-Salam (keselamatan), QS. Al-Furqan: 63,
al-Adl (keadilan) dan al-Ihsan (kebaikan), QS. al-Nahl : 90 dan
al-Tauhid (Menuhankan Allah SWT), QS. Al-Ikhlas : 1-4. Dan inilah yang
sedang dipraktekkan oleh sample (Muslim).
Ini berarti jelas bahwa masyarakat yang
disurvei tidak sedang menerapkan toleransi ala Barat tapi mereka
bertasamuh. Dan apabila itu tidak disadari oleh LSI maka itu menunjukkan
bahwa LSI tidak berimbang dalam menilai data survei. Sebab, LSI telah
menggunakan kaca mata Barat untuk menilai umat Islam yang hasilnya akan
selalu negatif.
Penutup
Dari paparan di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa antara toleransi dan tasamuh memiliki perbedaan yang
mendasar. Toleransi ala Barat merupakan sikap menahan tanpa protes
meskipun dalam hal kebaikan dan kesesatan. Baik dalam hal bersosial
maupun berkeyakinan.
Hal yang berbeda dengan Islam. Dalam hal
bermasyarakat, Islam harus menerapkan konsep tasamuh. Artinya, Islam
memberi kemudahan kepada orang lain yang tidak mengusik keimanan umat
Islam.
Adapun sikap yang ditunjukkan oleh umat
Islam yang disurvei –bagi penulis- adalah sudah sangat tepat dan harus
tetap dijaga (bila perlu ditingkatkan). Sebab seperti itulah seharusnya
hidup bertasamuh, yaitu tidak menjual tauhid dengan toleransi semu.
Jadi, prinsip toleransi yang menjadi
pegangan LSI sangat bertolak belakang dengan prinsip tasamuh dalam
Islam. Dengan demikian, menurut hemat penulis, jauh lebih baik
bertasamuh dari pada bertoleransi. Dan satu hal yang tak kalah penting,
masalah kerukunan antar umat beragama, Islam tidak perlu belajar dari
Barat. Islam telah memiliki prinsip tersendiri yang tidak bisa diganti
dengan model kerukunan agama lain yang selama ini terkesan mendikte kaum
Muslim.
Sebagai penutup, penulis meminta kaum
Muslim tidak perlu ragu. Selanjutnya juga menghimbau pihak LSI bisa
bersikap adil dalam menilai sikap kaum Muslim. Itupun jika mau
melakukan. Hanya saja, biasanya akan sulit. Karena biasanya semua survey
dan program-program kalangan LSM di Indonesia sudah merupakan paket
dari sponsor yang agendanya jelas bertolak-belakang dengan nilai Islam
itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.*
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor
TASAMUH - Toleransi Dalam Islam
Makna Tasamuh
Tasamuh adalah sikap tenggang rasa terhadap sesama dalam masyarakat dimana kita berada.Tasamuh yang juga sering disebut toleransi dalam ajaran Islam adalah toleransi sosial kemasyarakatan, bukan toleransi di bidang aqidah keimanan. Dalam bidang aqidah keimanan, seorang muslim meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar yang diridhoi Allah SWT.
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
("Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanya Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi AlKitab, kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka. barang
siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya) ( Ali Imron 19)
Sikap yang menganggap bahwa semua agama adalah benar, tidak sesuai dengan keimanan seorang muslim dan tidak relevan dengan pemikiran yang logis, meskipun dalam pergaulan kemasyarakatan Islam sangat menekankan prinsip tasamuh. Setiap muslim diperintahkan untuk bersikap tasamuh terhadap orang lain yang berbeda agama atau berbeda pendirian.
Perbedaan pendapat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dalam masyarakat sudah menjadi ketentuan Allah yang diberikan kepada setiap individu manusia.
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah s.a.w, tasamuh telah ditampakan pada masyarakat Madinah. Pada saat itu Nabi dan kaum muslimin hidup berdampingan dengan masyarakat Madinah yang beragama lain.
Tasamuh atau sikap tenggan rasa dapat memelihara kerukunan hidup dan memelihara kerja sama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Tasamuh berfungsi sebagai penertib, pengaman dan pendamai dalam komunikasi dan interaksi sosial.
Sikap yang menganggap bahwa semua agama adalah benar, tidak sesuai dengan keimanan seorang muslim dan tidak relevan dengan pemikiran yang logis, meskipun dalam pergaulan kemasyarakatan Islam sangat menekankan prinsip tasamuh. Setiap muslim diperintahkan untuk bersikap tasamuh terhadap orang lain yang berbeda agama atau berbeda pendirian.
Perbedaan pendapat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dalam masyarakat sudah menjadi ketentuan Allah yang diberikan kepada setiap individu manusia.
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah s.a.w, tasamuh telah ditampakan pada masyarakat Madinah. Pada saat itu Nabi dan kaum muslimin hidup berdampingan dengan masyarakat Madinah yang beragama lain.
Tasamuh atau sikap tenggan rasa dapat memelihara kerukunan hidup dan memelihara kerja sama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Tasamuh berfungsi sebagai penertib, pengaman dan pendamai dalam komunikasi dan interaksi sosial.
Dalam mengamalkan tasamuh kita dianjurkan supaya melakukan hal-hal diantaranya:
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
يا ايها النا س انا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلنكم شعوبا وقبا ئل لتعا رفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير
(" Hai manusia sesungguhnya kami
menciptakan kamu sekalian dari seorang dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkabilah-kabilah supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqqa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui dan Maha Mengenal") (Al Hujurat 13)2. Mengembangkan sikap tenggang rasa
Sebagai makhluk sosial kita harus mengembangan sikap tenggang rasa dengan sesama manusia. Tidak diperbolehkan saling berburuk sangka, saling menjelekan dan lain sebagainya.
3. Tidak semena-mena terhadap orang lain
Sebagai makhluk sosial yang hidup ditengah tengah masyarakat, kita juga tidak dibenarkan berbuat semena-mena terhadap orang lain sekalipun kita dapat melakukannya.
" Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhdap suatu kaum mendorong kamu untukberlaku tidak adil (semena-mena). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Maidah 8)
4. Gemar Melakukan kegiatan kemanusiaan
من نفٌس عن مؤ من كربت من كرب الدني نفٌس الله عنه كربة من كرب يوم القيا مة ومن يسٌر على معسر يسٌز الله عليه فى الدنيا و الآخرة
Barang siapa yang melapangkan kehidupan dunia orang mukim, maka Allah akan melapangkan kehidupan orang itu di hari kiamat.
Dan barang siapa yang meringankan kesusahan orang yang dalam kesusahan,
Allah akan menghilangkan kesusahan orang itu di dunia dan akhirat. (HR
Muslim)Mengembangkan Sikap Tasamuh
Iftitah
Alkisah, dalam sebuah halaqah sahabat Ibnu Abbas ditanya tentang tiga hal: (1) hari apa yang paling baik; (2) bulan apa yang paling baik; dan (3) amal apa yang paling baik. Dengan lugas Ibnu Abbas menjawab, hari yang paling baik adalah hari jumat, karena keutamaan hari itu khusus diperuntukkan bagi umat Muhammad. Bulan yang paling baik adalah bulan Ramadhan, karena pada bulan itu Alqur’an dan Lailatul Qadar diturunkan, serta ibadah sunat di bulan tersebut pahalanya disamakan dengan ibadah wajib. Adapun amal yang paling baik adalah shalat lima waktu tepat pada waktunya, karena semua amal itu tergantung shalatnya. Jawaban Ibnu Abbas tersebut disanggah oleh sahabat Ali bin Abu Thalib. Menurutnya, hari yang paling baik bukanlah hari jumat, melainkan hari di mana manusia keluar dari dunia dalam keadaan iman kepada Allah. Bulan yang paling baik bukanlah bulan Ramadhan, tetapi bulan di mana seseorang dapat melakukan taubatan nasuha di dalamnya. Sedangkan amal yang paling baik bukanlah shalat lima waktu tepat waktu, melainkan setiap amal yang diterima Allah, baik amal itu banyak maupun sedikit (Syekh Nawawi al-Bantaniy, tt: 16).
Kasus ini memberikan gambaran bahwa dalam tradisi Islam awal, perbedaan pendapat diantara para sahabat telah biasa terjadi, dan hal tersebut dapat diterima sebagai sebuah keniscayaan tanpa mengganggu sendi – sendi persaudaraan diantara mereka. Jika dirunut, sebenarnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat tersebut bermuara pada perbedaan pendekatan yang dipakai dalam memahami sebuah persoalan. Ibnu Abbas dalam kisah di atas, lebih mengedepankan pendekatan fiqhiyyah, di mana ia menjawab pertanyaan – pertanyaan tadi dengan argumen – argumen fiqh. Secara fiqh, hari yang paling baik adalah jum’at. Begitupun bulan terbaik, tentu bulan Ramadhan, dan amal terbaik, tentulah shalat lima waktu. Sementara pada sisi lain, sahabat Ali menggunakan pendekatan tasawwuf, di mana ia lebih mementingkan dimensi sufistik dari tatanan ibadah. Maka tidak heran jika sahabat Ali menjawab hari terbaik bukanlah hari jumat, tetapi hari (apa pun) di mana hari itu seseorang meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Bulan terbaik bukanlah bulan Ramadhan, tetapi bulan di mana seseorang dapat melakukan taubatan nashuha di dalamnya. Amal terbaik adalah amal yang diterima Allah baik banyak maupun sedikit.
Akhir kisah perdebatan diantara para sahabat tersebut, semuanya menyatakan bahwa baik pendapat Ibnu Abbas maupun Ali sama-sama benar, tidak ada yang salah. Pandangan mereka berbeda karena sudut pandangnya berbeda, namun hasil pendapatnya tetap sama kebenarannya.
Pertanyaannya, mengapa sekarang sebahagian umat (Islam) tidak terbiasa dengan tradisi menghargai perbedaan pendapat, bahkan merasa alergi dengan perbedaan, dan lebih ironis lagi menjadi saling bermusuhan bahkan konflik atas nama (pemahaman) agama yang didaku (di-claim) paling benar? Pertanyaan selanjutnya, mengapa sendi – sendi tasamuh yang telah dibangun dalam tradisi Islam akhir – akhir ini mulai terkikis?
Memahami Perbedaan
Perbedaan merupakan sunnatullah yang mesti diakui keniscayaannya. Allah menciptakan manusia berbeda – beda, ada laki- laki, ada perempuan. Dia juga mentaqdirkan manusia terdiri atas berbagai bangsa dan suku. Namun seperti dinyatakan oleh-Nya sendiri bahwa perbedaan – perbedaan tersebut bukan untuk melebihkan satu dari yang lainnya dan untuk berpecah belah, namun sebaliknya untuk lita’arafu (saling mengenal, saling menghargai, saling menolong); dan sekaligus untuk mengukur dan membedakan tingkat ketaqwaan satu dari yang lainnya (Q.S. al-Hujurat: 13).
Perbedaan adalah orkestra kehidupan, di mana bunyinya satu sama lain berbeda, namun jika diatur dengan baik akan menimbulkan suara yang indah dan menyejukkan jiwa. Tak ada orkestra yang indah kalau alat musik maupun suaranya sama. Orkestra yang baik dihasilkan dari harmoni nada-nada yang berbeda.
Jika realitas kehidupan ini diibaratkan seperti orkestra, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa kita hidup dalam keragaman: keragaman pemahaman, pendapat, adat istisdat, bahkan keyakinan.
Singkat kata, perbedaan pendapat sering dan bahkan selalu dijumpai dalam masyarakat kita, mulai dari masalah – masalah sosial sampai masalah – masalah agama dan keagamaan.
Memperkokoh Sikap Tasamuh
Sekali lagi, Islam adalah agama yang mengakui adanya kemajemukan. Islam mengajarkan untuk menghargai perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa bahkan agama. Oleh karena itu Islam mengajarkan sikap toleransi (tasamuh). Bentuk – bentuk toleransi yang diajarkan oleh Islam antara lain tidak ada paksaan dalam memilih agama (la ikraha fi al-din), kebolehan makan hewan sembelihan ahl al kitab, dan lain – lain (Thabbarah, 1993:425).
Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan memberikan contoh sikap toleransi ini secara nyata. Contoh sikap toleransi ini tercermin dalam Konstitusi Madinah yang antara lain berisi pengakuan bahwa antara orang – orang Islam dan orang – orang Yahudi Madinah adalah umat yang satu dan bangsa yang satu (Al Jabiriy, 1991: 93).
Jika pemahaman toleransi ini dibawa ke wilayah yang lebih jauh maka umat Islam mempunyai tanggungjawab untuk menghindari konflik atas nama agama. Agama apapun tidak membenarkan konflik, kekerasan dan peperangan atas nama agama. Islam dalam hal ini harus menjadi perekat komunitas manusia, bukan sebaliknya dipakai untuk melegitimasi kekerasan dan peperangan atas umat lain atau atas sesama muslim.
Bentuk – bentuk perilaku sebagai elaborasi dari pemahaman Islam toleran ini antara lain dengan melakukan kegiatan bersama untuk mengatasi persoalan – persoalan kemanusiaan secara bersama. Hal yang terakhir ini merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk mengeliminasi resistensi konflik horisontal antar umat beragama.
Menegakkan Perdamaian
Kehidupan dunia yang penuh kasih sayang, perdamaian dan kerukunan merupakan dambaan setiap manusia. Nabi Muhammad saw diutus untuk memerangi kemusyrikan, perbudakan, penindasan ketimpangan sosial ekonomi. Singkat kata Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi kehidupan, rahmatan li al-’alamin. Itulah misi utama mengapa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah menjadi rasul-Nya, menyerukan ajaran-Nya kepada seluruh alam.
Misi perdamaian dalam ajaran Islam harus ditegakkan dan diperjuangkan dengan cara menghentikan segala bentuk kekerasan dan peperangan serta membangun sebuah solidaritas masyarakat bersama untuk anti kekerasan dan anti peperangan.
Dalam dataran kenyataan agama sering dipolitisir oleh beberapa pihak untuk kepentingan kelompok agama tertentu. Akibatnya kekerasan dan peperangan sering dicarikan argumen tologis. Politisasi agama semacam ini tentu harus dihindari oleh muslim karena bertentangan dengan prinsip – prinsip dasar Islam sebagai agama perdamaian untuk manusia.
Kalam Akhir
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammd bermuara pada suatu tauhid yang menebarkan kasih sayang dan menegakkan perdamaian (peace making). Implementasi konsep ini salah satunya harus mewujud dalam perilaku menghargai harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi nilai – nilai toleransi dalam hidup bermasyarakat. Tetapi pada dataran realitas mengapa banyak orang yang mengobarkan kerusuhan, kekerasan bahkan peperangan atas nama perbedaan pendapat. Inilah poin penting mengapa kita harus merenungkan kembali makna tasamuh dalam kehidupan.
(Naskah ini pernah dimuat di Majalah Risalah NU)
Alkisah, dalam sebuah halaqah sahabat Ibnu Abbas ditanya tentang tiga hal: (1) hari apa yang paling baik; (2) bulan apa yang paling baik; dan (3) amal apa yang paling baik. Dengan lugas Ibnu Abbas menjawab, hari yang paling baik adalah hari jumat, karena keutamaan hari itu khusus diperuntukkan bagi umat Muhammad. Bulan yang paling baik adalah bulan Ramadhan, karena pada bulan itu Alqur’an dan Lailatul Qadar diturunkan, serta ibadah sunat di bulan tersebut pahalanya disamakan dengan ibadah wajib. Adapun amal yang paling baik adalah shalat lima waktu tepat pada waktunya, karena semua amal itu tergantung shalatnya. Jawaban Ibnu Abbas tersebut disanggah oleh sahabat Ali bin Abu Thalib. Menurutnya, hari yang paling baik bukanlah hari jumat, melainkan hari di mana manusia keluar dari dunia dalam keadaan iman kepada Allah. Bulan yang paling baik bukanlah bulan Ramadhan, tetapi bulan di mana seseorang dapat melakukan taubatan nasuha di dalamnya. Sedangkan amal yang paling baik bukanlah shalat lima waktu tepat waktu, melainkan setiap amal yang diterima Allah, baik amal itu banyak maupun sedikit (Syekh Nawawi al-Bantaniy, tt: 16).
Kasus ini memberikan gambaran bahwa dalam tradisi Islam awal, perbedaan pendapat diantara para sahabat telah biasa terjadi, dan hal tersebut dapat diterima sebagai sebuah keniscayaan tanpa mengganggu sendi – sendi persaudaraan diantara mereka. Jika dirunut, sebenarnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat tersebut bermuara pada perbedaan pendekatan yang dipakai dalam memahami sebuah persoalan. Ibnu Abbas dalam kisah di atas, lebih mengedepankan pendekatan fiqhiyyah, di mana ia menjawab pertanyaan – pertanyaan tadi dengan argumen – argumen fiqh. Secara fiqh, hari yang paling baik adalah jum’at. Begitupun bulan terbaik, tentu bulan Ramadhan, dan amal terbaik, tentulah shalat lima waktu. Sementara pada sisi lain, sahabat Ali menggunakan pendekatan tasawwuf, di mana ia lebih mementingkan dimensi sufistik dari tatanan ibadah. Maka tidak heran jika sahabat Ali menjawab hari terbaik bukanlah hari jumat, tetapi hari (apa pun) di mana hari itu seseorang meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Bulan terbaik bukanlah bulan Ramadhan, tetapi bulan di mana seseorang dapat melakukan taubatan nashuha di dalamnya. Amal terbaik adalah amal yang diterima Allah baik banyak maupun sedikit.
Akhir kisah perdebatan diantara para sahabat tersebut, semuanya menyatakan bahwa baik pendapat Ibnu Abbas maupun Ali sama-sama benar, tidak ada yang salah. Pandangan mereka berbeda karena sudut pandangnya berbeda, namun hasil pendapatnya tetap sama kebenarannya.
Pertanyaannya, mengapa sekarang sebahagian umat (Islam) tidak terbiasa dengan tradisi menghargai perbedaan pendapat, bahkan merasa alergi dengan perbedaan, dan lebih ironis lagi menjadi saling bermusuhan bahkan konflik atas nama (pemahaman) agama yang didaku (di-claim) paling benar? Pertanyaan selanjutnya, mengapa sendi – sendi tasamuh yang telah dibangun dalam tradisi Islam akhir – akhir ini mulai terkikis?
Memahami Perbedaan
Perbedaan merupakan sunnatullah yang mesti diakui keniscayaannya. Allah menciptakan manusia berbeda – beda, ada laki- laki, ada perempuan. Dia juga mentaqdirkan manusia terdiri atas berbagai bangsa dan suku. Namun seperti dinyatakan oleh-Nya sendiri bahwa perbedaan – perbedaan tersebut bukan untuk melebihkan satu dari yang lainnya dan untuk berpecah belah, namun sebaliknya untuk lita’arafu (saling mengenal, saling menghargai, saling menolong); dan sekaligus untuk mengukur dan membedakan tingkat ketaqwaan satu dari yang lainnya (Q.S. al-Hujurat: 13).
Perbedaan adalah orkestra kehidupan, di mana bunyinya satu sama lain berbeda, namun jika diatur dengan baik akan menimbulkan suara yang indah dan menyejukkan jiwa. Tak ada orkestra yang indah kalau alat musik maupun suaranya sama. Orkestra yang baik dihasilkan dari harmoni nada-nada yang berbeda.
Jika realitas kehidupan ini diibaratkan seperti orkestra, maka tak dapat dipungkiri lagi bahwa kita hidup dalam keragaman: keragaman pemahaman, pendapat, adat istisdat, bahkan keyakinan.
Singkat kata, perbedaan pendapat sering dan bahkan selalu dijumpai dalam masyarakat kita, mulai dari masalah – masalah sosial sampai masalah – masalah agama dan keagamaan.
Memperkokoh Sikap Tasamuh
Sekali lagi, Islam adalah agama yang mengakui adanya kemajemukan. Islam mengajarkan untuk menghargai perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa bahkan agama. Oleh karena itu Islam mengajarkan sikap toleransi (tasamuh). Bentuk – bentuk toleransi yang diajarkan oleh Islam antara lain tidak ada paksaan dalam memilih agama (la ikraha fi al-din), kebolehan makan hewan sembelihan ahl al kitab, dan lain – lain (Thabbarah, 1993:425).
Nabi Muhammad saw sebagai sosok teladan memberikan contoh sikap toleransi ini secara nyata. Contoh sikap toleransi ini tercermin dalam Konstitusi Madinah yang antara lain berisi pengakuan bahwa antara orang – orang Islam dan orang – orang Yahudi Madinah adalah umat yang satu dan bangsa yang satu (Al Jabiriy, 1991: 93).
Jika pemahaman toleransi ini dibawa ke wilayah yang lebih jauh maka umat Islam mempunyai tanggungjawab untuk menghindari konflik atas nama agama. Agama apapun tidak membenarkan konflik, kekerasan dan peperangan atas nama agama. Islam dalam hal ini harus menjadi perekat komunitas manusia, bukan sebaliknya dipakai untuk melegitimasi kekerasan dan peperangan atas umat lain atau atas sesama muslim.
Bentuk – bentuk perilaku sebagai elaborasi dari pemahaman Islam toleran ini antara lain dengan melakukan kegiatan bersama untuk mengatasi persoalan – persoalan kemanusiaan secara bersama. Hal yang terakhir ini merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk mengeliminasi resistensi konflik horisontal antar umat beragama.
Menegakkan Perdamaian
Kehidupan dunia yang penuh kasih sayang, perdamaian dan kerukunan merupakan dambaan setiap manusia. Nabi Muhammad saw diutus untuk memerangi kemusyrikan, perbudakan, penindasan ketimpangan sosial ekonomi. Singkat kata Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi kehidupan, rahmatan li al-’alamin. Itulah misi utama mengapa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah menjadi rasul-Nya, menyerukan ajaran-Nya kepada seluruh alam.
Misi perdamaian dalam ajaran Islam harus ditegakkan dan diperjuangkan dengan cara menghentikan segala bentuk kekerasan dan peperangan serta membangun sebuah solidaritas masyarakat bersama untuk anti kekerasan dan anti peperangan.
Dalam dataran kenyataan agama sering dipolitisir oleh beberapa pihak untuk kepentingan kelompok agama tertentu. Akibatnya kekerasan dan peperangan sering dicarikan argumen tologis. Politisasi agama semacam ini tentu harus dihindari oleh muslim karena bertentangan dengan prinsip – prinsip dasar Islam sebagai agama perdamaian untuk manusia.
Kalam Akhir
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammd bermuara pada suatu tauhid yang menebarkan kasih sayang dan menegakkan perdamaian (peace making). Implementasi konsep ini salah satunya harus mewujud dalam perilaku menghargai harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi nilai – nilai toleransi dalam hidup bermasyarakat. Tetapi pada dataran realitas mengapa banyak orang yang mengobarkan kerusuhan, kekerasan bahkan peperangan atas nama perbedaan pendapat. Inilah poin penting mengapa kita harus merenungkan kembali makna tasamuh dalam kehidupan.
(Naskah ini pernah dimuat di Majalah Risalah NU)
Tasamuh
2. kelapangan dada; keluasan pikiran; toleransi: semoga Allah memberikan rasa -- kpd kita semua
Syariah
Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
Senin, 30/03/2009 04:15
Ada tiga ciri utama
ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu
diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:
Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Tiada ulasan:
Catat Ulasan