Allah Benci Orang Yang Mencarut
Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat di dalam timbangan orang mukmin di hari kiamat kelak melebihi timbangan budi pekerti yang baik. Sesungguhnya Allah sangat benci kepada orang yang keji dan suka bercakap dengan percakapan yang kotor.وعن أبي الدرداء عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يوضع في الميزان اثقل من حسن الخلق وان حسن الخلق ليبلغ بصاحبه درجة الصوم والصلاة قلت رواه الترمذي
Hukum Menghina Allah Ta’ala
Seiring dengan derasnya arus informasi dan lemahnya keagamaan dalam hati manusia, akhir-akhir ini mulai nampak sikap yang sangat berbahaya dan merupakan fitnah dalam agama Islam yang sangat luar biasa, yaitu menghina Allah Ta’ala, agama Islam, Nabi Muhammad, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat Radhiyallahu Anhum.
Dalam lembaran yang sedikit ini penulis (Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim) mengangkat tema ini, karena sikap tersebut sangat berbahaya dan kita harus menuntun orang-orang yang melakukannya untuk kembali ke jalan yang benar dan bertaubat.
Wahai saudaraku!
Beriman kepada Allah Ta’ala itu harus dilandasi dengan pengagungan dan cinta kepada Allah Ta’ala. Tidak diragukan lagi, bahwa menghina Allah Ta’ala dan mencaci-Nya bisa menafikan pengagungan itu.
Ibnul Qayim Rahimahullah menuturkan, “Ruh (spirit) ibadah adalah mengagungkan dan mencintai. Jika salah satunya saja tidak ada, maka ibadah menjadi rusak. Jika kedua sarana ini disertai dengan pujaan kepada Allah Ta’ala, maka di situlah pujian yang sejati. Wallahu A’lam.”
Mencaci-maki, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah Rahimahullah, adalah setiap perkataan yang ditujukan untuk mencela dan merendahkan sesuatu atau seseorang. Manusia dengan beragam keyakinannya pasti memahaminya sebagai perkataan meremehkan, melaknat, menjelekkan, dan lain sebagainya.”
Jadi, mencaci-maki Allah Ta’ala merupakan kekufuran yang paling jahat, paling buruk dan paling berbahaya dari segala jenis kekufuran. Jika meperolok-olok Allah Ta’ala saja dianggap kekufuran, baik seseorang menganggap hal itu boleh atau tidak boleh dilakukan, maka mencaci-maki Allah jauh lebih buruk lagi.
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Mencaci-maki Allah Ta’ala dan rasul-Nya adalah tindakan kufur secara lahir dan batin, entah pelakunya itu masih percaya bahwa tindakannya itu haram, benar-benar menghalalkannya, ataupun karena lalai.”
Ibnu Rahawaih Rahimahullah berkata, “Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa orang yang mencaci Allah Ta’ala dan rasul-Nya adalah kafir, meskipun dia masih percaya kepada kitabullah (Al-Qur`an).”
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzaab: 57-58)
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala membedakan antara menyakiti Allah Ta’ala, menyakiti rasul-Nya dan menyakiti kaum muslimin. Dalam masalah menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, Allah menyatakan orang tersebut telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Sementara itu, dalam masalah menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah menjanjikan pelakunya akan mendapatkan dosa yang besar, dilaknat di dunia dan di akhirat, dan disediakan siksaan yang pedih untuknya.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa menyakiti orang-orang mukmin, bisa jadi termasuk dosa besar yang pelakunya harus dihukum cambuk, dan tidak ada lagi hukuman yang lebih berat dari itu jika menghina Allah dan Rasul-Nya, kecuali dihukumi sebagai orang kafir dan dijatuhi hukuman mati.
Al-Qadhi Iyadh Rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin, bahwa orang Islam yang mencaci Allah Ta’ala itu telah kafir dan darahnya boleh ditumpahkan yakni dihukum mati.”
Diriwayatkan dari Abdullah, bahwa Imam Ahmad Rahimahullah ditanya tentang seseorang yang berkata kepada orang lain dengan nada menghina, “Wahai anak, kamu dan Penciptamu seperti ini dan ini.” Beliau menjawab, “Orang itu telah murtad dan harus dipancung kepalanya oleh hakim.”
Ibnu Quddamah Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencaci Allah Ta’ala, maka dia telah kafir, baik itu dilakukan dalam keadaan bergurau atau tidak.”
Yang mulia syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah ditanya sebagai berikut, “Bagaimana hukum mencaci agama Islam atau Allah Ta’ala? Apakah orang yang mencaci agama itu telah kafir dan murtad? Apakah hukuman yang dijatuhkan kepadanya? Mohon penjelasannya sehingga kami dapat memahaminya dengan baik, karena hal ini telah tersebar di masyarakat kami. “
Beliau menjawab, “Mencaci agama Islam termasuk salah satu jenis dosa besar, begitu juga mencaci Allah Ta’ala. Kedua hal ini juga merupakan penghancur keislaman yang paling besar dan menjadi sebab kemurtadan seseorang. Jika pelakunya itu beragama islam, maka dia telah murtad dan menjadi kafir. Jika bertaubat, maka dia diampuni, dan jika tidak mau bertaubat, maka kepala negara harus menjatuhkan hukuman mati kepadanya melalui mahkamah syar’iyyah (pengadilan syariat Islam). Sebagian ulama berpendapat, orang itu tidak boleh diberi kesempatan bertaubat, tetapi langsung dihukum mati, karena dia telah melakukan tindak kriminal yang tak terampuni. Hanya saja, pendapat yang lebih kuat menyatakan, bahwa orang itu tetap diberi kesempatan bertaubat dengan harapan dia mau bertaubat dan menjalani hidup normal. Tetapi dia tetap harus dihukum agar jera, dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Hukuman ini juga berlaku bagi orang yang mencaci Al-Qur`an, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan nabi-nabi yang lainnya. Sekali lagi, bahwa mencaci agama Islam, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mencaci Allah Ta’ala, merupakan hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang. Begitu juga menghina Allah Ta’ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, surga, neraka, perintah Allah Ta’ala yang berupa shalat, zakat, dan lain sebagainya dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…”(QS. At-Taubah: 65-66)
Hanya kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimanakah hukumnya seseorang yang mencaci agama Islam saat orang itu marah, apakah dia terkena hukuman? Apa sajakah persyaratan taubat orang yang melakukan tindakan seperti ini, karena kami mendengar sebagian ulama mengatakan, bahwa orang itu telah keluar dari Islam dan hukumannya adalah istrinya sudah haram bagi dirinya.”
Beliau menjawab, “Hukum orang yang mencaci agama Islam adalah kafir, karena perbuatan mencaci dan menjelekkan agama Islam itu menjadikannya murtad (keluar) dari Islam dan dia sudah ingkar kepada Allah Ta’ala dan agama-Nya. Di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala menceritakan tentang satu kaum yang menghina agama Islam, lalu mereka berkata, “Kami hanya bergurau dan bermain-main.” Allah Ta’ala juga menjelaskan kepada mereka, bahwa guyonan dan gurauan mereka itu merendahkan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya dan mereka telah kafir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Jadi, menjelekkan agama Islam, mencaci agama Allah Ta’ala, merendahkan Allah Ta’ala dan rasul-Nya, adalah tindakan-tindakan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.”
Wahai saudaraku! Hindarilah dan jauhilah orang-orang itu, agar kamu tidak terkena dosa dan mendapatkan siksa.
Syaikh Muhammad bin Utsaimin Rahimahullah ditanya, “Bolehkah saya berinteraksi dengan orang-orang yang mencaci Allah Ta’ala?”
Beliau menjawab, “Kamu tidak boleh berada di tengah-tengah orang-orang yang mencaci Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala, ”Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam” (QS. An-Nisaa`: 140)
Ya Allah, penuhilah hati kami dengan cinta-Mu, cinta agama-Mu, kitab-Mu, Nabi-Mu dan cinta para shahabat yang mulia.
Ya Allah, ampunilah kami, dan saudara-saudara seiman kami yang telah mendahului kami, dan janganlah Engkau menjadikan hati kami memiliki rasa iri terhadap orang-orang yang beriman.
Semoga shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada nabi Muhammad, serta keluarga dan para shahabatnya.
Entry dan Komen Mencarut, Maki Hamun, Kata Kesat
Posted on
Salam… Isu kali ini cik tom nak
ceritakan mengenai ragam blogger yang suka mencarut, memaki-hamun,
mengeluarkan kata-kata kesat di dalam entry blog sendiri mahupun di
dalam komen blog orang lain. Best sangat ke mencarut ni? Apa hukum
mencarut? Buat tambah dosa je mencarut ni bukan dapat faedah lain
pun. Baru-baru ini, entry blog cik tom ada terima 3 komen berunsurkan
maki hamun dan mencarut dari seorang blogger perempuan. Masih muda dan
bersekolah lagi pulak tue.
Tak tahulah apa motif budak tue komen
entry blog cik tom macam tue sekali sedangkan cik tom tak kenal pula
siapa gerangan diri dia sebenar. Siap bagi link blog
dia. Memang berani budak ni tapi cik tom tak nak la bagi trafik free
kat budak ni. Lagipun memang blog budak perempuan ni teruk. Semua entry
blognya penuh dengan emo, memaki-hamun, menyumpah dan kata-kata kesat
kat kawan sekolah dia.
Mencarut merujuk kepada perbuatan maki-memaki ataupun pengeluaran kata-kata kesat. Mencarut adalah kelakuan yang tidak membawa sebarang faedah. Perbuatan ini bukan sahaja membazir masa, malah mampu menjejaskan mentaliti pengamalnya. Selain itu perbuatan mencarut akan mengurangkan rasa hormat orang ramai terhadap diri seseorang. Seseorang itu dianggap kurang beradab, dan mempunyai mentaliti yang kurang matang.
**************************
Sabda Rasulullah saw bermaksud: “Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia berkata yang baik atau dia diam.” – (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebab itu apabila ingin bercakap elok berhati-hati agar tidak terlajak kata sehingga sukar untuk ditarik balik. “Terlajak perahu boleh diundur, terlajak kata badan binasa“.
Untuk mengelak diri terperangkap dengan
fitnah mulut, dalam banyak keadaan adalah lebih baik berdiam
diri. Bahkan jangan sekali-kali bersama-sama orang yang sering
mengucapkan perkataan buruk kerana ditakuti ia akan berjangkit. Ingatan
itu dinyatakan dalam firman Allah bermaksud: “Dan kami dulu (di dunia) selalu mengambil bahagian memperkatakan perkara yang salah, bersama-sama orang yang memperkatakannya.” – (Surah al-Muddasir, ayat 45)
Imam Ghazali ketika membicarakan mengenai dosa lidah boleh membinasakan seseorang dalam kitabnya Ehya’ ulum al- Din menyebut:
“Antara dosa lidah ialah: Menuturkan
kata-kata yang keji (al-fuhsy), memaki (al-sab), dan menggunakan bahasa
yang lucah (bazaah al-lisan). Perkara-perkara di atas adalah tercela,
dilarang dan sumbernya adalah daripada sifat keji dan tercela.”
Imam Ghazali seterusnya membawa beberapa
Hadis yang melarang umat Islam melakukan perbuatan-perbuatan yang keji
itu. Antaranya Hadis-Hadis berikut yang bermaksud: “Hendaklah
kamu menjauhkan diri daripada menutur kata-kata yang keji, kerana Allah
tidak suka kata-kata yang keji dan perbuatan menyebarkan kekejian” (al-Hakim dan Ibnu Hibban); “Kata-kata
yang lucah dan perbuatan mendedahkan perkara yang tidak harus
didedahkan itu adalah dua cabang daripada sifat-sifat munafik” (al-Tirmizi).
Setelah menyebut Hadis-Hadis diatas,
Imam Ghazali mengulas : “Itulah hadis-hadis yang mencela percakapan yang
keji (alfuhsy). Adapun takrif dan hakikatnya ialah: mengungkapkan
perkara yang kotor dengan ungkapan yang terang. Kebanyakkannya berlaku
pada perkataan yang menyatakan hubungan kelamin dan perkara yang
berkaitan dengannya (seperti alat-alat kelamin). Kerana menjadi
kebiasaan bagi orang-orang yang rosak akhlaknya menggunakan ungkapan
yang nyata dan keji pada perkara-perkara tersebut.
Tetapi orang-orang yang soleh mengelak
daripada menyebut perkara-perkara tersebut secara terang, sebaliknya
mereka menyatakannya dalam bentuk kiasan dengan menyebut perkataan yang
hampir dan berkaitan dengannya. Terdapat perkataan lucah yang dianggap
keji menyebutnya, yang mana kebanyakkannya digunakan untuk memaki dan
menghina.” (Rujukan; al- Gha’zali, al- Ehya, jld. 3).
**************************
Sesungguhnya tutur kata baik diumpamakan mutiara kata
yang disukai oleh orang ramai. Kata-kata yang baik meletakkan penutur
sebagai orang disenangi dan dicontohi kata-kata itu untuk kebaikan.
Manakala perkataan tidak baik
dikeluarkan dari mulut tidak ubah nilainya seperti najis. Tentunya orang
waras tidak akan menyukai najis. Najis dikaitkan dengan segala tidak
baik dan hina. Jadi, begitulah pandangan yang sesuai kepada mereka yang
menuturkan sesuatu perkataan tidak baik.
Kita sendiri yang membuat pilihan sama ada nak mengeluarkan kata-kata bak mutiara
atau sebusuk najis. So, kita boleh fikir sendiri nak jadi orang baik ke
atau sebaliknya. Rasanya semua orang dikurniakan otak dan akal yang
waras. Gunalah sebaiknya dan jadilah manusia serta blogger yang
berhemah. Budi bahasa budaya kita.
Sumber rujukan: Halaqah.net [Suami suka mencarut dan menghina]HUKUM MEMAKI DENGAN KATA-KATA KOTOR
Senin, 26 Januari 20150 komentar
PERTANYAAN :
> Aep Ezztt
Assalamualaikum.. Maaf mau tanya..Ketika melihat kebodohan atau kecerobohan seseorang terkadang timbul makian.
Apa hukum memaki seseorang dengan ucapan "setan !!", "Anjing !!", "Babi !!"..Apakah bisa menyebabkan murtad qouli.. sebagaimana memanggil/memaki dengan kalimat "kafir !!" kepada seorang muslim..
Matur Suwun
JAWABAN :
> Ulinuha Asnawi
Wa'alaikumussalam Wr Wb.. Larangan Memberikan julukan (panggilan/laqab) dengan panggilan yang tidak disukai pemilik-nya.
Firman Alloh Swt:
“Dan janganlah kalian memanggil panggilan dengan gelar-gelar yang buruk”
(Al-Hujurat:11)
Para Ulama telah sepakat, atas keharaman memberi julukan kepada seseorang dengan julukan yang tidak disukainya, baik yang berupa sifat seperti:
Al-A’asy (pincang), Al-Ajlah (botak), Al-A’ma (buta),Al-A’raj (pincang), Al-Ahwal (juling), Al-Abras (belang), Al-Ashaf (codet), al-Ashaf (berwajah kuning), Al-Ahdab (bongkok), Al-Asham (tuli), Al-Azraq (berwajah biru), Al-Afthash (pesek), Al-Asytar (cacat), Al-Atsra (gowang giginya), Al-Aqtha’ (buntung tangannya), Al-miq’ad (lupuh tubuhnya), Al-Asyal (lumpuh tangannya), atau sifat yang dimilki bapak dan ibunya dan lain-lain dari sifat-sifat yang tidak disukainya.
Kesepakatan Ulama, boleh menggunakan julukan-julukan tersebut jika memang untuk orang yang tidak diketahui namanya kecuali dengan sebutan demikian. Adapun dalil-dalil tentang kebolehan tersebut sangatlah banyak dan masyhur, akan tetapi aku tidak menyebukannya agar ringkas pembahasannya"
[Al Adzkar Imam Nawawi. Hal: 250 Taha Putra, Semarang]
Wallahu A'lam Bish Shawab
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, 27 April 2013
> Aep Ezztt
Assalamualaikum.. Maaf mau tanya..Ketika melihat kebodohan atau kecerobohan seseorang terkadang timbul makian.
Apa hukum memaki seseorang dengan ucapan "setan !!", "Anjing !!", "Babi !!"..Apakah bisa menyebabkan murtad qouli.. sebagaimana memanggil/memaki dengan kalimat "kafir !!" kepada seorang muslim..
Matur Suwun
JAWABAN :
> Ulinuha Asnawi
Wa'alaikumussalam Wr Wb.. Larangan Memberikan julukan (panggilan/laqab) dengan panggilan yang tidak disukai pemilik-nya.
باب النهي عن الألقاب التي يكرهها صاحبها
قال
الله تعالى : { ولا تنابزوا بالألقاب } [ الحجرات : 11 ] واتفق العلماء
على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره سواء كان له صفة كالأعمش والأجلح والأعمى
والأعرج والأحول والأبرص والأشج والأصفر والأحدب والأصم والأزرق والأفطس
والأشتر والأثرم والأقطع والزمن والمقعد والأشل أو كان صفة لأبيه أو لأمه
أو غير ذلك مما يكره . واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا
يعرفه إلا بذلك . ودلائل ما ذكرته كثرة مشهورة حذفتها اختصارا واستغناء
بشهرتها
Firman Alloh Swt:
“Dan janganlah kalian memanggil panggilan dengan gelar-gelar yang buruk”
(Al-Hujurat:11)
Para Ulama telah sepakat, atas keharaman memberi julukan kepada seseorang dengan julukan yang tidak disukainya, baik yang berupa sifat seperti:
Al-A’asy (pincang), Al-Ajlah (botak), Al-A’ma (buta),Al-A’raj (pincang), Al-Ahwal (juling), Al-Abras (belang), Al-Ashaf (codet), al-Ashaf (berwajah kuning), Al-Ahdab (bongkok), Al-Asham (tuli), Al-Azraq (berwajah biru), Al-Afthash (pesek), Al-Asytar (cacat), Al-Atsra (gowang giginya), Al-Aqtha’ (buntung tangannya), Al-miq’ad (lupuh tubuhnya), Al-Asyal (lumpuh tangannya), atau sifat yang dimilki bapak dan ibunya dan lain-lain dari sifat-sifat yang tidak disukainya.
Kesepakatan Ulama, boleh menggunakan julukan-julukan tersebut jika memang untuk orang yang tidak diketahui namanya kecuali dengan sebutan demikian. Adapun dalil-dalil tentang kebolehan tersebut sangatlah banyak dan masyhur, akan tetapi aku tidak menyebukannya agar ringkas pembahasannya"
[Al Adzkar Imam Nawawi. Hal: 250 Taha Putra, Semarang]
Wallahu A'lam Bish Shawab
Hentikan Celaan, Jaga Kehormatan Sesama Muslim
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan fasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ
عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau
kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang
dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya
akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang
terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, 27 April 2013
Menghina Kehormatan Orang Lain
Peradaban di dunia ini telah banyak menciptakan undang-undang yang
bertujuan menjaga kehormatan seseorang. Tetapi semuanya masih belum
mencapai tingkat kesempurnaan karena kurang teliti dalam menyelami seluk
beluk jiwa manusia. Undang-undang tersebut kurang dapat menjaga
kehormatan dan hak-hak manusia, tidak sebagaimana norma-norma etik yang
telah disyariatkan agama Islam.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa menjaga kehormatan
ini adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesatuan dalam tubuh
masyarakat. Dan sebaliknya menghina kehormatan atau martabat orang lain
akan bisa menimbulkan rasa saling membenci, perpecahan dan hilangnya
rasa gotong-royong. Oleh karena itu, Islam menganggap bahwa setiap hal
yang menyentuh kehormatan orang lain termasuk perbuatan dosa yang harus
dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di antara hal-hal yang masuk
dalam kategori menghina martabat orang lain ialah : menghina orang lain,
menuduh dan memberi julukan yang dibenci olehnya, jelek sangkaan,
mengintai dan membicarakan perihal orang lain di kala orang tersebut
tidak ada.
Semua dosa-dosa tersebut telah dituturkan oleh Al-Qur’an yang pada
permulaannya mengingatkan bahwa orang-orang mukmin semuanya adalah
bersaudara. Ikatan keimanan yang mempersatukan mereka sama saja dengan
ikatan nasab kekeluargaan. Oleh karenanya, Islam melarang seseorang
melukai kehormatan saudaranya, baik secara langsung ataupun tidak. Allah
telah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum
yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-seburuk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 49 : 9 – 12).
Ayat-ayat tadi, secara tegas dan gamblang melarang kaum muslimin berbuat dosa-dosa sebagai berikut :
Menghina atau mengolok-olok
Allah melarang suatu golongan mengolok-olok golongan lainnya. Perbuatan
ini amatlah dicela karena timbul dari rasa kagum terhadap diri sendiri
yang sekaligus menghina orang lain. Sifat ini akan dapat mengakibatkan
hal-hal yang bisa menimbulkan permusuhan antara teman.
Sesudah Al-Qur’an melarang kaum muslimin saling olok-mengolok antara
sesama mereka, lalu Al-Qur’an dengan khusus menganjurkan kepada kaum
wanita agar jangan berbuat seperti itu. Karena, pada dasarnya perbuatan
saling olok-mengolok sering terjadi di kalangan kaum wanita. Pada
permulaannya, larangan ini ditujukan kepada segenap warga masyarakat,
tetapi yang terakhir khusus ditujukan kepada wanita mengingat hal yang
telah kami sebut tadi.
Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan maslaah olok-mengolok ini yang pada
prinsipnya ialah menghina kehormatan orang lain. Bagaimana bisa terjadi
masalah olok-mengolok ini antara sesama kaum muslimin? Padahal belum
tentu yang dihina itu kadang-kadang lebih utama dan lebih mulia di sisi
Allah dibanding orang yang menghina itu sendiri.
Norma-norma yang dipakai oleh kalangan lelaki dan kalangan wanita, pada
hakekatnya adalah serupa dengan fatamorgana yang sering menipu pandangan
mata atau orang-orang yang berpikiran dangkal. Bisa saja terjadi orang
yang cantik menghina orang yang jelek, yang kaya menghina yang miskin
dan yang muda menghina yang tua, tetapi norma-norma semacam ini bukanlah
hakikat yang sebenarnya. Selain dari itu norma-norma tersebut bukanlah
indikasi bagi ukuran terhormat atau tidaknya seseorang. Adapun
norma-norma yang sebenarnya dan yang dijadikan indikasi dalam
merendahkan dan meninggikan derajat seseorang adalah norma-norma yang
ada dalam jiwa seseorang, dan takkan bisa dilihat kecuali oleh Allah
SWT.
Mencela orang lain
Allah SWT, melarang kaum mukminin saling cela-mencela antara sesama
mereka. Hal itu dinyatakan oleh-Nya setelah mengawali ayat bahwa mereka
adalah saudara. Apabila seseorang mencela saudaranya, berarti ia mencela
dirinya sendiri. Demikianlah apa yang dimaksud oleh firman Allah :
“Janganlah kamu mencela dirimu sendiri”, sengaja dalam ungkapan ini
Allah memakai gaya bahasa yang halus agar dapat dirasakan oleh kaum
muslimin, dan agar mereka mau menyadari bahwa antara sesama muslim
adalah saudara. Antara saudara harus bersatu dan saling menjaga
kehormatan masing-masing, dan harus mawas diri terhadap segala upaya
yang menghendaki perpecahan.
Perbuatan mencela orang lain sudah merupakan ciri khas zaman sekarang.
Anda tentu pernah membaca di beberapa surat kabar, seorang tokoh politik
mencela tokoh lainnya dan semua orang-orang yang mendukungnya. Tiada
lain, maksud yang terkandung dalam hatinya ialah ingin memperoleh
ketenaran dengan menjelek-jelekkan orang lain. Dan ada sebagian orang
lagi menggunakan “sarana” mencela orang lain hanyalah untuk melampiaskan
rasa dendamnya yang sudah mematri dalam hatinya terhadap orang yang
dicela.
Demikianlah kenyataannya sekarang, perbuatan mencela orang lain
merupakan penyakit masyarakat yang sudah membudaya. Orang-orang banyak
yang melakukan perbuatan itu, mereka tak pernah menggubris larangan
Allah terhadap perbuatan yang berdosa ini.
Selain itu Allah melarang kaum muslimin menggunakan nama-nama julukan dalam panggil-memanggil antara sesama mereka.
Terlebih lagi jika julukan itu tidak disukai oleh orang yang
bersangkutan.
Barang siapa yang melakukan hal-hal tersebut, dianggap oleh Allah
sebagai orang fasik. Orang fasik ialah orang yang tidak taat kepada
Allah. Seseorang yang benar-benar beriman akan merasa jijik apabila
dirinya dinamakan fasik sesudah ia beriman kepada Allah. Setelah itu
Allah mengakhiri isi ayat dengan firman-Nya :
“Barang siapa yang tidak mau bertaubat, mereka itulah orang-orang yang
zalim”. Dan balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim ialah siksa
Allah di dunia maupun di akhirat.
Jelek prasangka (Prasangka Buruk)
Allah memerintahkan agar kaum muslimin menjauhi sangkaan-sangkaan yang
jelek. Seorang yang beriman janganlah membiarkan dirinya menjadi ladang
yang subur bagi bibit-bibit dan tunas-tunas yang bisa menumbuhkan rasa
jelek prasangka terhadap orang lain. Untuk itu Al-Qur’an memberikan
penjelasannya mengenai hal ini :
“Sesungguhnya sebagian dari sangkaan itu berdosa”. Ulasan Al-Qur’an ini
memberikan isyarat pada kita agar menjauhkan prasangka yang jelek.
Sehingga seseorang yang belum merasa jelas jenis prasangka mana yang
bisa mengakibatkan dosa, dapat mengerti.
Dengan dicanangkannya peraturan ini, berarti Islam menghendaki agar jiwa
seorang mukmin bersih dari jelek prasangka. Karena buruk prasangka ini
adalah suatu hal yang dapat mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam
perbuatan yang berdosa.
Mencari-cari kesalahan orang lain
Allah juga melarang orang-orang mukmin melakukan hal ini. Karena
perbuatan ini merupakan rentetan dari jelek prasangka. Tajassus
(mencari-cari kesalahan orang lain) adalah suatu perbuatan yang didorong
oleh rasa ingin tahu aib orang lain. Oleh karenanya, Al-Qur’an melarang
perbuatan ini. Setiap orang memiliki kebebasannya masing-masing dan
memiliki kehormatannya yang tak boleh diganggu dalam kondisi apapun.
Kita boleh menilai seseorang dari apa yang kita lihat lahirnya saja.
Adapun masalah batin kita tidak boleh diganggugugat, karena itu adalah
kehormatan pribadinya. Dan kita tidak diperbolehkan pula menghukum
seseorang, kecuali hanya apabila ia melanggar ketentuan-ketentuan yang
telah ada, dan jelas bukti-buktinya disaksikan secara lahiriyah oleh
orang banyak.
Adapun perihal yang dilakukan oleh pemerintah tentang menyebarkan
mata-mata guna mendeteksi gerak-gerik orang yang suka merusak, maka
perbuatan ini bukanlah termasuk dari sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Karena tidak sekali-kali pemerintah melakukan hal ini hanyalah karena
untuk menolak jangan sampai terjadi kerusakan atau kerusuhan. Dan
manfaatnya tentu saja akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal ini
diperbolehkan selagi masih berada dalam batas-batas yang menghargai
kehormatan rakyat.
Mengumpat
Dan yang terakhir, Allah melarang kaum mukminin melakukan pekerjaan mengumpat.
Pengertian mengumpat ialah, seseorang menuturkan sesuatu yang kurang
disenangi yang berkaitan dengan pribadi temannya. Penuturannya itu bisa
secara blak-blakan ataupun secara sindiran; baik yang dituturkannya itu
bertalian dengan masalah agamanya atau kepribadiannya, semuanya sama
saja. Perlu diperhatikan, pengertian mengumpat bukan saja ketika orang
yang bersangkutan tidak ada, tetapi bisa juga ketika ia berada di depan
orang yang membicarakannya. Hal ini pun masuk dalam pengertian
mengumpat.
Rasulullah dalam menanggapi masalah mengumpat ini memberikan penjelasan dalam salah satu sabdanya :
اتدرون ما الغيبة؟ قالوا : الله ورسوله
أعلم, قال : ذكرك أخاك بما يكره, قيل : افرايت لوكان فى اخى ما أقول, قال
ان كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وان لم يكن فيه ما تقول بهته اى قلت فيه
كذبا وبهتانا
“Apakah kamu tahu artinya ghibah (mengumpat)?”. Para sahabat menjawab :
“Allah dan Rasul lebih mengetahui hal itu.” Kemudian Nabi SAW bersabda :
“Engkau menuturkan perihal saudaramu yang tidak ia senangi”. Salah
seorang sahabat menanyakan : “Barangsiapa jika yang kututurkan mengenai
saudaraku itu benar-benar?”. Beliau menjawab : “Apabila apa yang kau
tuturkanitubenar, berarti engkau telah membicarakannya (mengumpatnya),
dan apabila apa yang kau tuturkan itu sebaliknya, maka engkau telah
berkata bohong mengenai dirinya.( Hadits riwayat Muslim, Abu Daud,
Turmudzi dan An Nasa’i)”
Selain itu Al-Qur’an memberikan perumpamaan kepada kita mengenai
perbuatan mengumpat ini. Perumpamaannya sama saja dengan memakan daging
saudara yang sudah mati. Untuk itu Allah telah berfirman :
“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (QS. 49 : 12).
Adapun perihal orang-orang yang terang-terangan berbuat syirik atau
orang-orang yang mendekati perbuatan maksiat, maka membicarakannya tidak
dilarang oleh agama, apabila berniat untuk menegurnya dan
menyadarkannya.
Perbuatan mengumpat adalah perbuatan yang paling jelek dan dapat
mengeruhkan keintiman persahabatan. Karena rasa persahabatan ini hanya
bisa dipupuk dengan saling mempercayai yang timbul dari hati yang
ikhlas, kemudian dipraktekkan dalam bentuk saling menghormati, bermuka
ramah dan berkata jujur. Adapun perbuatan mengatakan perihal orang lain
sewaktu ia tidak ada dan perkataannya itu menyinggung kehormatannya,
maka hal ini akan dapat mengeruhkan keintiman persahabatan.
Kemudian Allah mengakhiri ayat yang menuturkan hal ini dengan firman-Nya :
“Bertakwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. (QS. 49 : 12).
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa siapa saja yang takut kepada
Allah kemudian meninggalkan apa yang telah dilarang-Nya dan berjanji
tidak mau melakukannya lagi, maka pintu taubat masih terbuka untuk
mereka.
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita betapa pentingnya peranan Islam
dalam mendidik kaum muslimin agar berakhlak yang luhur, dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela tadi. Islam menghendaki agar
kaum muslimin berada dalam naungan persaudaraan yang dipenuhi dengan
rasa kasih sayang dan saling mempercayai antara sesama mereka.
Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama kita ulas adalah jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah.
Abu Jurayy Jabir bin Sulaim, ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang perkataannya ditaati orang. Setiap kali ia berkata, pasti diikuti oleh mereka. Aku bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku berkata, “‘Alaikas salaam (bagimu keselamatan), wahai Rasulullah (ia mengulangnya dua kali).” Beliau lalu berkata, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikas salaam (bagimu keselamatan) karena salam seperti itu adalah penghormatan kepada orang mati. Yang baik diucapkan adalah assalamu ‘alaik (semoga keselamatan bagimu.”
Abu Jurayy bertanya, “Apakah engkau adalah utusan Allah?” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah yang apabila engkau ditimpa malapetaka, lalu engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menghilangkan kesulitan darimu. Apabila engkau ditimpa kekeringan selama satu tahun, lantas engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untukmu. Dan apabila engkau berada di suatu tempat yang gersang lalu untamu hilang, kemudian engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan mengembalikan unta tersebut untukmu.”
Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat kepadaku.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya,
Tinggikanlah sarungmu sampai pertengahan betis. Jika enggan, engkau bisa menurunkannya hingga mata kaki. Jauhilah memanjangkan kain sarung hingga melewati mata kaki. Penampilan seperti itu adalah tanda sombong dan Allah tidak menyukai kesombongan.
Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Di antara wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah janganlah menghina orang lain. Setelah Rasul menyampaikan wasiat ini, Jabir bin Sulaim pun tidak pernah menghina seorang pun sampai pun pada seorang budak dan seekor hewan.
Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam kategori sombong sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ingatlah orang jadi mulia di sisi Allah dengan ilmu dan takwa. Jangan sampai orang lain diremehkan dan dipandang hina. Allah Ta’ala berfirman,
Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Coba perhatikan kisah seorang bekas budak berikut ini.
Semoga nasehat di pagi hari ini bermanfaat. Wasiat Rasul lainnya akan disampaikan pada postingan lanjutan, insya Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Disusun di pagi hari ini penuh berkah di Pesantren Darush Sholihin, 15 Rajab 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Jangan Menghina dan Meremehkan Orang Lain
Ada beberapa wasiat yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Jurayy Jabir bin Sulaim. Wasiat yang pertama kita ulas adalah jangan sampai menghina dan meremehkan orang lain. Boleh jadi yang diremehkan lebih mulia dari kita di sisi Allah.
Abu Jurayy Jabir bin Sulaim, ia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki yang perkataannya ditaati orang. Setiap kali ia berkata, pasti diikuti oleh mereka. Aku bertanya, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Aku berkata, “‘Alaikas salaam (bagimu keselamatan), wahai Rasulullah (ia mengulangnya dua kali).” Beliau lalu berkata, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikas salaam (bagimu keselamatan) karena salam seperti itu adalah penghormatan kepada orang mati. Yang baik diucapkan adalah assalamu ‘alaik (semoga keselamatan bagimu.”
Abu Jurayy bertanya, “Apakah engkau adalah utusan Allah?” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah yang apabila engkau ditimpa malapetaka, lalu engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menghilangkan kesulitan darimu. Apabila engkau ditimpa kekeringan selama satu tahun, lantas engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untukmu. Dan apabila engkau berada di suatu tempat yang gersang lalu untamu hilang, kemudian engkau berdoa kepada Allah, maka Dia akan mengembalikan unta tersebut untukmu.”
Abu Jurayy berkata lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah wasiat kepadaku.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberi wasiat,
لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا
“Janganlah engkau menghina seorang pun.” Abu Jurayy berkata,
“Aku pun tidak pernah menghina seorang pun setelah itu, baik kepada
orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta, maupun seekor domba.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya,
وَلاَ
تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ
مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ
إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ
اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ
بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا
وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau dengan berbicara
kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut
adalah bagian dari kebajikan.Tinggikanlah sarungmu sampai pertengahan betis. Jika enggan, engkau bisa menurunkannya hingga mata kaki. Jauhilah memanjangkan kain sarung hingga melewati mata kaki. Penampilan seperti itu adalah tanda sombong dan Allah tidak menyukai kesombongan.
Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Di antara wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah janganlah menghina orang lain. Setelah Rasul menyampaikan wasiat ini, Jabir bin Sulaim pun tidak pernah menghina seorang pun sampai pun pada seorang budak dan seekor hewan.
Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik.” (QS. Al Hujurat: 11)Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam kategori sombong sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
(HR. Muslim no. 91). Yang dimaksud di sini adalah meremehkan dan
menganggapnya kerdil. Meremehkan orang lain adalah suatu yang diharamkan
karena bisa jadi yang diremehkan lebih mulia di sisi Allah seperti yang
disebutkan dalam ayat di atas.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 713).Ingatlah orang jadi mulia di sisi Allah dengan ilmu dan takwa. Jangan sampai orang lain diremehkan dan dipandang hina. Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Coba perhatikan kisah seorang bekas budak berikut ini.
أَنَّ
نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِىَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ
يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ
الْوَادِى فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى. قَالَ وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى قَالَ
مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا. قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ
إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ
بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ -صلى الله عليه
وسلم- قَدْ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا
وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ »
Dari Nafi’ bin ‘Abdil Harits, ia pernah bertemu dengan ‘Umar di
‘Usfaan. ‘Umar memerintahkan Nafi’ untuk mengurus Makkah. Umar pun
bertanya, “Siapakah yang mengurus penduduk Al Wadi?” “Ibnu Abza”, jawab
Nafi’. Umar balik bertanya, “Siapakah Ibnu Abza?” “Ia adalah salah
seorang bekas budak dari budak-budak kami”, jawab Nafi’. Umar pun
berkata, “Kenapa bisa kalian menyuruh bekas budak untuk mengurus seperti
itu?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang yang paham Kitabullah. Ia pun
paham ilmu faroidh (hukum waris).” ‘Umar pun berkata bahwa sesungguhnya
Nabi kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum bisa dimuliakan oleh Allah lantaran kitab ini, sebaliknya bisa dihinakan pula karenanya.” (HR. Muslim no. 817).Semoga nasehat di pagi hari ini bermanfaat. Wasiat Rasul lainnya akan disampaikan pada postingan lanjutan, insya Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Disusun di pagi hari ini penuh berkah di Pesantren Darush Sholihin, 15 Rajab 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Apa hukumnya menghujat dan menghina orang lain?
Pertanyaan
Sepasang suami dan istri
beradu mulut dan bertengkar hebat. Kedua orang tua istri setelah
mendengar cerita dari putrinya tanpa penjelasan dari pihak lain mulai
melontarkan cacian, hinaan dan ucapan tidak senonoh kepada menantunya.
Mereka menuduhnya sebagai orang yang tidak tahu malu, tidak tahu diri,
orang gila dan lain sebagainya. Apakah dibolehkan secara syar’i
menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak senonoh seperti
yang dilakukan oleh orang tua pihak istri kepada menantunya meski sang
menantu itu bersalah?
Jawaban Global
Islam sangat menjunjung tinggi kepribadian dan nama baik setiap orang
khususnya seorang Muslim dan Mukmin. Diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim
As bahwa suatu hari beliau berdiri di hadapan Ka’bah dan berkata kepada
Ka’bah, “Wahai Ka’bah! Alangkah agungnya hakmu namun demi Allah hak
seorang beriman lebih agung dari hakmu.”[1]
Dari sisi lain, Islam memandang menghujat dan berkata tidak senonoh
sebagai perbuatan tercela dan tidak terpuji. Rasulullah Saw bersabda,
“Allah Swt mengharamkan surga bagi orang-orang yang gemar menghujat,
berkata-kata buruk dan kurang malu yang tidak tahu menjaga omongannya.”[2]
Terkhusus kebanyakan tuduhan akan terlontar dalam ucapan-ucapan yang tidak senonoh dan dusta.
Al-Quran dalam mencela orang-orang yang menampakkan keburukan orang lain, menyatakan bahwa “Allah tidak menyukai seseorang menampakkan keburukan orang lain dengan ucapannya, kecuali orang yang dianiaya.” (Qs. Al-Nisa [4]:148)
Mengingat bahwa Allah Swt adalah “Sattar al-‘Uyub”
(Mahapenutup aib-aib) tidak suka orang-orang yang mengungkit-ungkit aib
orang-orang dan membuat orang-orang malu. Di samping itu, kita tahu
bahwa setiap manusia khususnya berusaha untuk menutupi titik
kelemahannya sehingga apabila aib-aib ini diungkap maka mental prasangka
buruk akan tersebar di tengah masyarakat dan sesama anggota masyarakat
akan sulit mengadakan kerjasama.
Oleh itu, karena penguatan hubungan-hubungan sosial diperlukan dan demi
terjaganya wibawa serta nama baik seseorang maka tanpa menimbang satu
tujuan yang benar maka sebaiknya aib-aib orang tidak diungkap.[3]
Namun demikian ayat hanya membolehkan satu hal keburukan-keburukan
orang-orang diungkap di tengah masyarakat dan hal itu berkaitan dengan
kezaliman yang menimpa seseorang. Orang yang dizalimi dapat menjelaskan
keburukan-keburukan dan kejahatan-kejahatan orang yang menzalimi dan
memberitahukan orang lain tentang kezaliman yang menimpanya..
Karena itu, tiada seorang pun yang dapat menghina seseorang atau
orang-orang dan mengungkap aib-aib mereka di hadapan umum hanya karena
kesalahan kecil atau adanya perbedaan pendapat atau merasa bersedih
karena ulah orang tersebut. Bahkan ia harus berusaha membalas kejahatan
dan aib-aib mereka dengan sikap pengasih dan menunjukkan sikap prihatin
serta membimbing mereka. Khususnya terkait dengan keluarga atau handai
taulan yang rencananya akan hidup bersama kita selama puluhan tahun.
Kita harus mencermati bahwa berkata-kata buruk sangat berbahaya dan akan
menyisakan pengaruh buruk pada mental setiap orang untuk masa yang
lama. Karena itu, apabila seseorang melakukan hal tersebut maka secepat
mungkin ia harus meminta maaf dan menebus penghinaan ini.
Dari sisi lain, seseorang yang dizalimi dan dikata-katai buruk oleh
orang lain harus berbesar hati dan berlapang dada untuk melupakan
penghinaan ini serta berupaya untuk menjauhkan segala dendam dan usaha
untuk membalas, khususnya apabila dilakukan oleh orang-orang dekat
seperti ayah dan ibu istri, dan lain sebagainya yang tentu saja memiliki
hak yang banyak padanya. Oleh itu, ia harus melupakannya dan mencamkan
baik-baik bahwa Allah Swt akan mengganjari pahala yang besar atas sikap
memaafkan ini. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 5309 (Site: 5597), Indeks: Melawan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.
[1]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 9, hal. 344, Hadis 11039.
فِقْهُ الرِّضَا، ع أَرْوِي عَنِ الْعَالِمِ ع أَنَّهُ
وَقَفَ حِيَالَ الْكَعْبَةِ ثُمَّ قَالَ مَا أَعْظَمَ حَقَّكِ يَا كَعْبَةُ
وَ اللَّهِ إِنَّ حَقَّ الْمُؤْمِنِ لَأَعْظَمُ مِنْ حَقِّكِ.
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 60, hal. 207, Hadis 309:
بِإِسْنَادِهِ عَنْ سُلَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ ع
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْجَنَّةَ عَلَى
كُلِّ فَحَّاشٍ بَذِيٍّ قَلِيلِ الْحَيَاءِ لَا يُبَالِي مَا قَالَ وَ لَا
مَا قِيلَ لَهُ فَإِنَّكَ إِنْ فَتَّشْتَهُ لَمْ تَجِدْهُ إِلَّا لِغَيَّةٍ
أَوْ شِرْكِ شَيْطَانٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَ فِي النَّاسِ شِرْكُ
شَيْطَانٍ فَقَالَ ص أَ مَا تَقْرَأُ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ
شارِكْهُمْ فِي الْأَمْوالِ وَ الْأَوْلادِ الْخَبَرَ
10 Sikap Buruk Manusia yang Dicela Allah
SYEIKH Abdul Kadir Abdul Mutalib dalam buku tasauf Penawar Bagi Hati menjelaskan mengenai sepuluh celaan Allah kepada manusia akibat dari kelakuan dan tabiat manusia sendiri ketika menempuh kehidupan seharian. Sepuluh celaan itu berdasarkan sepuluh sikap yang lazim dilakukan manusia iaitu:
1. Gelojoh ketika makan
Dalam erti kata lain, seseorang yang kuat dan tidak bersopan ketika makan. Sikap ini juga meliputi maksud makan terlalu kenyang, menyediakan makanan dalam jumlah yang berlebihan, yang akhirnya membawa kepada pembaziran.
2. Banyak bercakap
Allah mencela manusia yang suka bercakap perkara yang sia-sia, fitnah memfitnah, umpat keji dan kata mengata kerana semua jenis percakapan itu menjurus kepada permusuhan dan perbalahan sesama manusia.
3. Suka marah-marah
Kemarahan boleh membuat seseorang itu bertindak di luar batas kemanusiaan. Perbuatan marah akan diikuti dengan maki hamun, mengherdik dan perkelahian yang boleh mengakibatkan kecederaan atau pembunuhan.
Seseorang yang bersifat dengki sanggup melakukan apa saja dalam bentuk kejahatan atau jenayah. Perbuatan menipu dan sanggup memusnah hidup orang lain adalah antara sifat keji yang lahir dari perasaan hasad dengki. Rasulullah bersabda: ‘Dengki itu memakan segala kebaikan’ (riwayat Muslim).
5. Kedekut & bakhil
Rezeki yang Allah kurniakan lebih suka disimpan hingga bertimbun banyaknya. Sifat kedekut menghijab (menutup) seseorang dari membelanjakan sebahagian dari hartanya ke jalan kebaikan termasuk menderma, membuat kebajikan kejalan Allah dan membantu orang yang memerlukan.
6. Bermegah-megah
Ia termasuk sikap suka status atau jawatan, gelaran dan menerima sanjungan.
7. Cintakan dunia
Terlalu menghambakan diri kepada perkara duniawi hingga melupakan tuntutan ukhrawi. Rasulullah bersabda: “Bekerjalah kamu di dunia seolah-olah kamu akan hidup seribu tahun, dan beramallah kamu untuk akhirat seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (riwayat Bukhari dan Muslim).
8. Ego atau sombong
Sifat membuat seseorang merasakan dirinya mempunyai kelebihan dalam banyak perkara dari orang lain hingga mereka lupa bahawa hanya Allah saja yang bersifat maha besar.
9. Ujub dan suka bangga diri
Perbuatan ini ada unsur megah dan sombong dengan kelebihan dan kepandaian yang dikurniakan Allah. Rasa bersyukur tidak ada lagi dalam diri kerana telah diselaputi perasaan ego.
10. Gemarkan pujian atau riak
Manusia jenis ini suka meminta dipuji dalam setiap perkara yang dilakukan. Sikap baiknya, jasa dan baktinya mahu dikenang sampai bila-bila. Ini jelas membayangkan bahawa sikap baiknya selama ini, tidak diiringi dengan kejujuran dan keikhlasan.
Sepuluh sikap yang dicela Allah ini, jika diamalkan, akan termasukdalam kategori melakukan dosa besar.
Sumber: www.ustazazhar.net
10 golongan perempuan masuk neraka !!
1) Perempuan yang digantung dengan rambutnya dan mendidih otak kepalanya kerana membuka aurat . (Ramai yang keliru atau tak tahu mengenai pemakaian yang betul mengenai tutupan aurat dengan tudung .Adapun pemakaian itu wajiblah menutup sebagaimana didalam sembahyang ya`ni sehingga dagu bukan bawah dagu sebagaimana ramai kaum hawa memakainya .) Mengenai kewajiban memakai purdah, insyaallah kita akan bincang pada babnya .2) Perempuan yang digantung dengan lidah dan dituangkan api neraka yang sangat panas kedalam mulutnya kerana menyakiti suaminya (lidah ditarik 70 hasta) . (Seperti ia kata “sejak saya kahwin dengan awak apa saya ada!” atau ia kata “Hai bang sejak akhir-akhir ni nampak malas je sembahyang tahajud !” Apabila seorang isteri berkata demikian maka pahala tahajud si isteri itu berpindah kepada si suami .) Berbaloi ke ?
3)
Perempuan yang digantung dengan dua susunya dan buah zakum itu
dituangkan masuk kedalam mulutnya (iatu buah kayu yang didalam neraka
yang amat pahit ) apabila dimakan ,maka bergelegak segala isi perut
mereka dan otak mereka kerana ia menyusu akan anak orang lain tanpa
mintak izin suaminya . (Susu badan
itu milik Suami .Oleh kerana itu harus bagi si isteri meminta upah dari
suami kerana menyusukan anak dari susu badannya .) Tapi kalau boleh tak
payahlah ya..
4) Perempuan
yang tergantung dengan dua kakinya pada hal terikat dan terlipat dan
dilumur minyak tanah pada badannya dan dituangkan air panas kedalam mulutnya kerana keluar tanpa mintak izin suaminya walau kerumah ibunya sendiri
. (Ini banyak berlaku bagi Isteri-isteri yang bekerja di bandar .Mereka
memikirkan bahawa mereka layak menerima layanan yang setanding dengan
lelaki dalam semua hal termasuklah tidak perlu meminta izin dari suami
ke mana saja hendak pergi . Kadang kala si Suami terpaksa bertanya
kepada orang yang seperjabat isterinya untuk mengetahui kemana
pemergiannya .)
6) Perempuan yang tergantung lagi menambat oleh segala Malaikat akan dua kakinya dan dijadikan atas badannya beberapa ular dan kala hal keadaannya memakan akan dagingnya dan meminum akan darahnya kerana ia tak mahu mandi junub ,haid dan meringan-meringankan sembahyang . (Orang yang tidak mandi junub atau haid sudah tentu kita kata mereka adalah orang yang tidak sembahyang .Adakalanya jika mandi sekalipun tetapi mandi dalam keadaan jahil dengan kaifiat (cara-cara) mandi . Maka serupalah dengan orang yang tidak mandi . Maka sembahyangnya tidak diterima .Apabila tidak diterima , maka ibadat-ibadat yang lain pun tidak diterima .) Bagi orang yang meringan-ringankan sembahyang seperti menta`hirkan (melambatkan) sembahyangnya sehingga masuk kepada waktu sembahyang yang lain. Sesuai firman Allah dalam surah الماعون : Maka neraka weil lah bagi orang yang meninggalkan sembahyang hal keadaannya lalai .lalai dengan maksud menta`hirkan waktu tanpa uzur syar`ie .
7) Perempuan yang tergantung akan dirinya hal keadaannya buta dan tuli dan kelu. Didalam mulutnya api menggelegak otak kepalanya mengalir kedalam hidungnya dan segala badannya amat busuk lagi berputar-putar seperti kena penyakit yang besar kerana ia mendatangkan anak zina . (Maka dengan ini jauhilah mana-mana keadaan yang mendorong kita kearah berzina .Dengan makna kaum lelaki dan kaum perempuan dilarang sama sekali untuk bercampur aduk tanpa penghadang antara satu sama lain walaupun belajar fardhu ain .) Ciri-ciri muslimah yang solehah iaitu ia tiada pada tempat perhimpunan orang ramai .Sebaik-baik pekerjaan iaitu menjahit sebagaimana Siti Ai`syah isteri Rasullullah s.a.w .
8) Perempuan yang tergantung hal keadaannya dipotong segala daging badannya daripada hadapannya hingga kebelakangnya daripada segala anggotanya dengan gunting api neraka kerana ia masyhurkan dirinya . (Sekarang kita dapat lihat berapa ramai yang nak jadi pemimpin rakyat padahal ada tegahan daripada Nabi yang jelas dan berapa ramai perempuan hendak berpidato di depan khalayak lelaki ,hanya kerana hendak menunjukkan bahawa dia pun boleh sebagaimana laki-laki . Memimpin hanya bagi kaum hawa ,tiada masaalah .Berpidato di depan kaum hawa sahaja tiada masaalah .Yang harus itu jelas yang haram itu pun jelas .Jangan mempergunakan agama dengan akal .Agama itu dibina dengan apa yang diturunkan oleh Allah .)
9) Perempuan yang tergantung kepalanya seperti kepala babi dan tubuhnya seperti tubuh keldai dan diatasnya beribu-beribu warna dari azab kerana ia adalah sangat mengadu-ngadu lagi amat dusta . (Ini salah satu penyakit kaum Hawa yang jahil . Sebab itu tidak hairanlah Nabi kata seorang perempuan boleh menggoncangkan satu dunia .Dusta dia ,pengaduan dia boleh menjatuhkan dari seorang president kepada rakyat .Sesuai kata Nabi barangsiapa banyak bercakap , maka banyaklah salahnya . Barangsiapa banyak salah , maka banyaklah dosanya .Barangsiapa banyak dosanya , maka nerakalah tempatnya .) Maka beringatlah !
10) Perempuan yang tergantung atas rupa anjing dan api neraka masuk daripada bawah duburnya dan keluar ia daripada mulutnya dan segala malaikat itu memukul mereka itu akan kepalanya dan badannya dengan pemukul api neraka kerana ia adalah sangat membangkit akan manusia seperti ia berkata “Buat apa engkau buat ini…..” lagi pula banyak dengki berdengki . (Apabila kita merasa berdengki , maka cepat-cepatlah kita ingat ini semua pemberian Allah )
* Ini semua apa yang diceritakan oleh Nabi kepada Siti Fatimah anaknya dan Saidinah Ali sahabatnya lagi menantunya dan suami kepada Fatimah rha yang dimana ia melihatnya sendiri ketika Isra` mi`raj . Wallahualam .Bersungguh-sungguhlah perbaiki diri .
Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak
dakwatuna.com – Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).
Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.'” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).
Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.
Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.
Orang yang suka mencarut ni sebenarnya jarang baca Al-Quran dan jarang sekali berzikir. Allahu. Peliharalah mulut-mulut kami.
3 ulasan:
Parti politic takde yg lurus ikut al Quran dan sunnah, tak payah guna Islam dlm parti,
Byk menyimpang ,ini lah sebabnya Islam tak ditegakkan semulianya,pemimpin yg ada skrg berkepentingan peribadi Dari perjuangkan amanah Allah .
Akhir zaman Ulamak Akan pergi satu persatu.Yg tinggal tak layak digelar Ulamak tapi perasan dirinya Ulamak,
Umat akhir zaman jgn cenderong pd pemimpin yg tak layak yg akan merugikan kits dunia dan akhirat ,
TUAN..
mana yang benar tuan...saya tiada komen dan bantah...saya setuju
salam...bagaimana jika ibu bapa yg sering meninggi suara n memaki hamun anak2 dgn perkataan yg kotor n jijik..
adakah anak2 hany perlu mendgr menerima seadanya?
adakah anak2 tiada hak untuk menegur ibu bapa?
dan berdosa jika anak2 menegur sikap ibu bapa yang suka menengking, mengugut dan menggunakan kekerasan walaupun anak2 sudah dewasa?
mohon pencerahan
Catat Ulasan