Isnin, 8 Jun 2015

BILA KITA TAK SEDAR@TAK PERASAN..... KITA JUGA SEBENARNYA SEBAHAGIAN DARI TENTERA IBLIS@SYAITAN










Balasan maksiat datang secepat kilat

Ahad, 24 Jumadil Akhir 1434 H / 5 Mei 2013 08:22
Balasan maksiat datang secepat kilat
Ilustrasi - Balasan maksiat datang secepat kilat
 
Oleh: Ustadz Fuad Al Hazimi
(Arrahmah.com) – Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman :
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Barangsiapa yang melakukan kejahatan (maksiat dan dosa), niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah”. (QS An Nisa’ 123)
Para shahabat menyatakan bahwa inilah ayat Al Qur’an yang paling berat bagi mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Aisyah mengatakan kepada Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bahwa inilah ayat Al Qur’an yang terasa paling berat bagi dirinya. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 hal 558)
Balasan Allah yang secepat kilat itu dikarenakan Allah tidak rela hamba-Nya yang beriman larut dalam kemaksiatan.
Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِىَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Sesungguhnya Allah Maha Pencemburu, dan cemburunya Allah adalah di saat seorang mukmin melanggar yang diharamkan-Nya” (HR Bukhari) 
NASEHAT IBNU ABBAS TENTANG MAKSIAT
Shahabat Abdullah Bin Abbas Rodhiyallohu ‘anhuma berkata :
“Wahai orang yang berbuat dosa, janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu. Ketahuilah bahwa akibat dari dosa yang engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dari dosa dan maksiat itu sendiri”.
“Ketahuilah bahwa hilangnya rasa malu kepada malaikat yang menjaga di kiri kananmu saat engkau melakukan dosa dan maksiat, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Sesungguhnya ketika engkau tertawa saat melakukan maksiat sedangkan engkau tidak tahu apa yang akan Allah lakukan atas kamu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Kegembiraanmu saat engkau melakukan maksiat yang menurutmu menguntungkanmu, adalah jauh lebih besar dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Dan kesedihanmu saat engkau tidak bisa melakukan dosa dan maksiat yang biasanya engkau lakukan, adalah jauh lebih besar dosanya dosanya dari dosa dan maksiat itu”.
“Ketahuilah bahwa perasaan takut aib dan maksiatmu akan diketahui orang lain, sedangkan engkau tidak pernah merasa takut dengan Pandangan dan Pengawasan Allah, adalah jauh lebih besar dosanya dari aib dan maksiat itu”.
“Tahukah engkau apa dosa Nabi Ayyub sehingga Allah mengujinya dengan sakit kulit yang sangat menjijikkan selama bertahun-tahun, ditinggalkan keluarganya dan habis harta bendanya ? Ujian Allah itu hanya disebabkan karena seorang miskin yang didzalimi datang meminta bantuan kepadanya, tetapi Nabi Ayyub tidak membantunya”.
(Suwar min Hayatis Shohabah jilid 3 hal 60 – 61)
**********
LALU BAGAIMANA JIKA MAKSIAT ITU TELAH KITA KETAHUI, KITA SADARI DAN KITA YAKINI BAHWA ITU ADALAH MAKSIAT NAMUN KITA TERUS MELAKUKANNYA ?
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS Al A’raf 23)
“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus alaihis salaam), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (berdoa’) dalam keadaan yang sangat gelap (di dalam perut ikan Paus) :
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada Ilaah (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman”.
(samirmusa/arrahmah.com)

20 Alasan Bahaya Maksiat (Bagian Pertama)

Larangan dalam agama dapat dijalankan dengan dasar ta’abbudi—kepatuhan sebagai hamba Allah tanpa banyak bicara dan ta’aqquli—dapat dinalar oleh akal

KEJAHATAN, perilaku tak senonoh yang termasuk dalam maksiat akhir-akhir seolah menjadi suguhan masyarakat. Para pelakunya tak hanya orang dewasa dan orang tak terdidik. Maksiat bahkan dilakukan usia anak-anak hingga abdi negara, petugas hukum bahkan ahli agama.
Di media sosial diramaikan dengan peristiwa cukup menyedihahkan, seorang pelajar berpakaian seragam sekolah tertangkap masyarakat karena melahirkan di kebun.
Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPP) menangkap mantan bupati Bangkalan-Madura yang dikenal seorang abdi pemerintah sekaligus tokoh agama setempat.
Bagi orang Bugis Bone, dikenal istilah menjunjung tinggi siri’—harga diri—serta sangat mencela perbuatan biadab dan memalukan. Masyarakat Bone percaya bahwa jika maksiat telah merajalela, maka bencana (bala’) hanya menunggu waktu. Padahal itu hanya ditinjau dari segi adat, bagaimana agama?
Maksiat dari segi bahasa bermakna durhaka dari segi istilah ialah perbuatan yang membawa dosa yaitu yang bertentangan dengan akidah, syariat dan ajaran Islam karena melakukan larangan Allah dan Rasulnya. Maksiat bisa merusak agama, iman, akhlak, kemuliaan diri dan kesejahteraan individu, keluarga, masyarakat, negara dan umat secara keseluruhan.
Umat Islam memiliki satu konsep yang dipahami secara konsensus bahwa perintah dan larangan dalam agama dapat dijalankan dengan dasar ta’abbudi—kepatuhan sebagai hamba Allah (abdullah) tanpa banyak bicara —dan ta’aqquli—dapat dinalar oleh akal. Oleh karena itu,bahaya maksiat ditinjau dari dua segi di atas, ta’abbudi maupun ta’aqquli sangat jelas dan terang.
Sebagai contoh, adanya larangan untuk mengkonsumsi daging babi, bagi segenap umat Muhammad, mematuhi larangan tersebut adalah sebuah keniscayaan tanpa ada protes, mengapa dan bagaimana hal itu terlarang, inilah bentuk ta’abbudi. Belakangan didapati bahwa ternyata memakan daging babi akan mendatangkan penyakit tertentu karena pada daging tersebut mengandung cacing pita.
Itu berarti menghindari daging babi akan mendatangkan kemaslahatan, inilah bentuk ta’aqquli. Kecuali itu, ada pula ta’abbudi dan ta’aqquli sekaligus, seperti larangan berzina dengan menghukum pelakunya seberat mungkin, karena memang telah terdapat larangan untuk mendekatinya—apalagi melakukannya—dalam bentuk wahyu Al-Qur’an dan hadis Nabi juga telah dipaparkan cara-cara pelaksanaan hukumannya dengan gamblang, tidak ada ruang untuk mengingkarinya, ini dipandang dari ta’abbudi sedang dari ta’aqquli jelas-jelas bahwa zina adalah perbuatan yang dapat merugikan kedua belah pihak, terutama wanita yang menjadi korban, dan dalam tahap tertentu—jika terlalu bebas—dapat mendatangkan penyakit (kutukan) seperti HIV/AIDS.
Perbuatan maksiat, jika ditinjau dari segi sosial akan merugikan masyarakat karena jika musibah datang tidak hanya menimpa pada pelakunya seorang, akan tetapi pada segenap masyarakat yang ada di sekitar pelaku maksiat, sebagaimana disitir Al-Qur’an, Wattaqu fitnatan la tushibanna al-ladzina dzalamu minkum khassah. Takutlah akan musibah–akibat maksiat–yang jika turun tidak hanya menimpa para pelaku maksiat, (QS. Al-Anfal: 25).
Sedang jika ditinjau dari segi personal, pelaku maksiat akan mendatangkan banyak kehinaan. Berikut, beberapa implikasi yang ditimbulkan oleh maksiat.
Pertama. Maksiat Menghalangi Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam diri kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, tatkala Imam Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, Imam Malik sangat kagum akan kecerdasan dan daya hafalnya hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat. “Imam Syafi’i bertutur, Aku mengadu tentang kelemahan hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada si pelaku dosa dan kemaksiatan’[Syakautu ila waqi’i ‘an su’a hifdzi. Fa’arsyadani ila tarkil-ma’ashi. Fa akhbarani biannal-‘ilma nurun wa nurullah la yuhda lil ‘ashy!].
Kedua; Maksiat Menghalangi Rezeki
Dalam kitab “Musnad Ahmad” disebutkan, “Seorang hamba dicegah dari rezki akibat dosa yang diperbuatnya”. Jika ketakwaan merupakan penyebab datangnya rezeki, maka meninggalkannya dapat menimbulkan kekafiran. Tidak ada satupun yang dapat memudahkan rezeki Allah kecuali dengan meninggalkan maksiat.
Ketiga, Maksiat Menimbulkan Jarak dengan Allah
Jauh atau sunyinya hati seorang manusia dari cahaya Allah disebabkan oleh perbuatan maksiatnya. Tidak ada perbuatan meninggalkan dosa yang dapat menghilangkan kesunyian tersebut kecuali berwaspada dari perbuatan maksiat. Seseorang yang berakal tentu akan dengan mudah meninggalkan kesunyian itu. Diriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki yang mengeluh kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang Arif berpesan, Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa , maka tinggalkanlah. Dalam hati, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.
Keempat; Maksiat Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain
Kemaksiatan dapat menjauhkan seorang manusia dengan manusia yang lain, lebih-lebih dengan golongan yang baik. Semakin kuat tekanan perasaan tersebut, semakin jauhlah ia dari mereka dan semakin terhalangilah berbagai manfaat dari mereka; akhirnya dia semakin mendekati setan. Kesunyian dan kegersangan itu semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dia dengan istri dan anak-anaknya, juga antara dia dengan nuraninya sendiri. Seorang salaf berkata, Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, maka aku lihat pengaruhnya pada perilaku binatang dan istriku.
Kelima; Maksiat Menyulitkan Urusan
Pelaku maksiat akan menghadapi kesulitan dalam mengatasi segala masalahnya sebagaimana ketakwaan dapat memudahkan segala urusan. Karenanya, sungguh mengherankan jika seorang hamba sulit menghampiri pintu-pintu kebenaran sementara penyebabnya tidak ia ketahui.
Keenam, Maksiat Menggelapkan Hati
Pelaku maksiat akan senantiasa mengalami kegelapan hati seperti gelapnya malam. Ketaatan itu adalah cahaya sebagaimana sinar matahari, sedangkan kemaksiatan adalah gelap gulita di malam hari. Ibnu Abbas r.a berkata, Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan pencerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengandung ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki, dan kebencian makhluk.*/Ilham Kadir, MA. Mahasiswa program doktoral Universitas Ibnu Khaldun Bogor



Dengarlah hai sobat
Saat kau maksiat
Dan kau bayangkan ajal mendekat
Apa kan kau buat
Kau takkan selamat
Pasti dirimu habis dan tamat

Bukan ku sok taat
Sebelum terlambat
Ayo sama-sama kita taubat
Dunia sesaat
Awas kau tersesat
Ingatlah masih ada akhirat

Astafighrullahal'adzim

Reff:
Ingat mati, ingat sakit
Ingatlah saat kau sulit
Ingat ingat hidup cuman satu kali

Berapa dosa kau buat
Berapa kali maksiat
Ingat ingat sobat ingatlah akhirat

Cepat ucap astafighrullahal'adzim

Pandanglah ke sana
Lihat yang di sana
Mereka yang terbaring di tanah
Bukankah mereka
Pernah hidup juga
Kita pun kan menyusul mereka

Astafighrullahal'adzim

Repeat Reff

Cepat ucap astafighrullahal'adzim

Repeat Reff

Cepat ucap astafighrullahal'adzim
Cepat ucap astafighrullahal'adzim

5 SYARAT UNTUK MELAKUKAN MAKSIAT

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham didatangi seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabiah. Ia meminta nasehat kepada dirinya agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya. Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya.”

Setelah merenung sejenah, Ibrahim berkata, “jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, maka aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”

Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar, Jahdar beratanya, “apa saja syarat-syarat ini, ya Aba Ishak?”

“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat, maka janganlah kau memakan rizki Allah”, ucap Ibrahim.

Lelaki itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rizki Allah?”

“Benar”, jawab Ibrahim tegas. “Bila kau telah mengetahuinya, masih pantaskah kau memakan rizki-Nya sementara kau terus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”

“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah. “kemudian apa syarat yang kedua?”

“kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.

Syarat kedua ini membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”

“Benar Abdullah. Karena itu pikirkanlah baik-baik. Apakah kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kau terus berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.

“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.

“Kalau kau masih juga bermaksiat kepada Allah tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang tersembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya.”

Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”

“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rizki-Nya, tinggal di buminya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”, Tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak bengok itu. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah tidak berkutik dan membenarkannya.

“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakana apa syarat yang keempat?”

“Jika malaikatul maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal shaleh.”

Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian berkata, “tidak mungkin…tidak mungkin seua itu kulakukan.”

“Ya abdallah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”

Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya sayarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasehat kepada lelaki itu.

“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”

Lelaki yang ada dihadapan Ibrahim bin Adham itu tampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasehatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal, ia berkata, “cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarkannya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”

Lelaki itu memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyuk.




Diambilkan dari Abu Nawas dan Terompah Ajaib

Aziz Mushoffa – Imam Musbikin

Mitra Pustaka, Cetakan VI, September 2003   

Maksiat Dari Perspektif Islam


Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-39 yang bersidang pada 21 Sep 1995 telah membincangkan mengenai Maksiat Dari Perspektif Islam. Muzakarah telah memutuskan bahawa:
a) Maksiat dari segi bahasa bermakna derhaka dan maksiat dari segi istilah ialah perbuatan yang membawa dosa iaitu yang bertentangan dengan akidah, syariat dan ajaran Islam sama ada dengan melakukan larangan Allah dan Rasul atau meninggalkan suruhan Allah dan Rasulnya, dengan kata lain melakukan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Perbuatan tersebut memberi kesan kepada kehidupan seseorang dalam akidah, syariat ataupun akhlak.
b) Jenis-jenis maksiat :
i. Maksiat kepada Allah dan Rasul iaitu meninggalkan perintahNya dan melakukan laranganNya.
ii. Maksiat terhadap makhluk iaitu maksiat terhadap manusia, maksiat terhadap haiwan dan alam sekitar, maksiat terhadap harta awam.
c) Maksiat dalam apa jua bentuk sama ada kepada Allah dan Rasul, kepada manusia dan makhluk boleh merosakkan agama, iman, akhlak, kemuliaan diri dan kesejahteraan induvidu, keluarga, masyarakat, negara dan umat.

MAKSIAT DAN DAMPAKNYA (tulisan ustadz Suherman)

I. Lalainya Manusia Sehingga Mudah Digoda Syetan untuk Berbuat Dosa
Manusia adalah makhluk yang lalai. lalai untuk beramal shaleh dan dari kemaksiatan serta dosa, apalagi manusia juga sering meremehkan dosa atau maksiat yang dilakukan seakan ia aman dari adzab Allah swt, padahal syetan akan selalu berupaya melalaikan dan memalingkannya dari jalan Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Sesungguhnya syetan senantiasa siap menghadang anak Adam dalam setiap langkahnya. Jika ia menempuh jalan Islam, maka syetan akan menggoda seraya berkata: “Apakah engkau sudi meninggalkan ajaran nenek moyangmu dengan menempuh jalan Islam?” Namun seorang hamba Allah sejati tidak akan menghiraukan godaan itu dan tetap menempuh jalan Islam. Jika ia menempuh jalan hijrah, maka setan akan datang menggoda seraya berkata: “Apakah engkau sudi meninggalkan kampung halaman tercinta dengan berhijrah?” Namun ia pun tidak menghiraukan godaan itu dan tetap berhijrah. Jika ia berjihad, maka syetan akan datang menggoda seraya berkata: “Jika engkau masih membandel tetap ikut berjihad, niscaya engkau akan terbunuh, istrimu akan dinikahi orang dan hartamu akan dibagi-bagikan!” Namun ia menepis godaan itu dan tetap pergi berjihad.” (HR. An-Nasaa’i dan HR. Ahmad).
Allah swt mengingatkan kita untuk selalu mewaspadai godaan syetan dalam kehidupan
“Oleh sebab itu, perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. An Nisaa : 76)
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (QS. Fushshilat : 36)
Beberapa hal yang menyebabkan manusia lalai dan tergoda syetan sehingga ia berbuat dosa diantaranya :
1. Lemahnya keimanan kepada Allah swt yang bersumber dari lemahnya ma’rifatullah atau kejahilannya terhadap Allah swt. Manusia seperti ini menganggap bahwa hidup menafikan Allah sebagai Rabbul ‘Alamiin.
2. Cinta dunia dan tenggelam dalam godaannya.
3. Tidak memiliki visi dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat.
4. Tidak belajar dari kejadian yang telah lewat atau masa lampau sebagai tadzkiroh.
5. Tidak memahami makna dan hakikat ketaatan kepada Allah swt.
6. Berada di lingkungan yang mengarahkan kepada kelalaian dan dosa
7. Tidak bersabar terhadap musibah dan tidak qona’ah terhadap harta
Menurut Ibnu Abiddunya, orang-orang yang bermaksiat terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Orang mukmin yang bermaksiat. Mereka melakukan dosa karena ketidaktahuan dan di luar keinginan mereka. Kemudian mereka menyesali dan memperbaiki diri. Mereka adalah orang-orang yang telah Allah janjikan ampunan.
2. Pelaku maksiat yang mencampurkan amal saleh dan amal tercela. Mereka mengakui dosa-dosa mereka, tetapi tidak bertaubat dan tidak berlaku lurus. Mereka adalah orang-orang yang tidak dijanjikan Allah ampunan, tetapi Allah memberikan mereka harapan ampunan.
3. Pelaku maksiat yang berlebihan dalam bermaksiat. Mereka tidak bertaubat dan tidak mengakui dosa-dosa mereka. Mereka adalah orang-orang yang harapan bertaubatnya lemah dan mendapat adzab yang besar dari Allah swt.
Imam Al Ghazali menyebutkan empat sifat yang membawa seseorang kepada dosa, yaitu:
1. Sifat-sifat ketuhanan yang menimbulkan dosa, seperti sombong, angkuh, suka pujian dan sanjungan.
2. Sifat-sifat setan yang menimbulkan dosa, seperti dengki, sewenang-wenang, menipu, makar, dan kemunafikan.
3. Sifat-sifat hewani yang dapat dilihat dari pemenuhan syahwat nafsu, perut dan biologis, seperti zina, kelainan biologis, dan mencuri.
4. Sifat-sifat binatang buas, seperti dendam, merampas, bermusuhan, membunuh, dan memukul.
II. Tingkatan Dosa
Dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah swt atau meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dosa itu bertingkat-tingkat kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Menurut Imam Adz Dzahabi, dosa besar adalah dosa yang jika dilakukan maka pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah swt, atau yang pelakunya dilaknat melalui sabda Rasulullah saw. Jumlah dosa besar terdapat lebih dari tujuh puluh macam, dan dosa besar yang paling besar misalnya syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: “Aku bertanya, wahai Rasulullah dosa apa yang paling besar?” Rasulullah menjawab: “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu.” Aku berkata: “Kemudian apa?” Rasul menjawab: “Kamu membunuh anakmu agar dia mau makan denganmu.” Aku bertanya: “Kemudian apa?” Rasul menjawab: “Kamu berzina dengan tetanggamu.” (HR. Bukhari Muslim)
Betapa beratnya adzab akibat dosa besar di dunia dan di akhirat, maka
Allah swt telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi hamba yang menjauhi dosa-dosa besar.
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisaa : 31)
Allah swt juga menjadikan orang yang meninggalkan dosa-dosa besar termasuk ke dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya.
“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. A s y S y u r a : 3 6 – 3 7 )
N a b i s a w b e r s a b d a :
” Shalat lima waktu dan Jumat ke Jumat ( b e r i k u t n y a ) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim)
Dosa (Kecil) yang Menjadi Besar
Sesungguhnya suatu dosa (kecil) bisa menjadi besar karena hal-hal berikut :
1. Dosa yang dilakukan secara terus menerus.
“Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah swt).”
2. Menganggap remeh suatu dosa.
Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah. Tapi jika ia menganggap kecil, maka menjadi besar di sisi Allah. Dalam suatu atsar diriwayatkan bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (HR. Bukhari)
3. Bangga dengan dosa yang dilakukannya.
Saat manusia bangga dan merasa nikmat dengan dosanya (misalnya zina, mabuk, korupsi, menyontek, dll), maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati dan membuat hatinya menjadi keras, karena saat seorang hamba berbuat dosa, maka muncul titik hitam yang menutupi hatinya.
4. Menganggap ringan dosa karena merasa diampuni Allah swt dan merasa tidak diberi adzab.
Orang seperti ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya ditangguhkannya adzab di dunia maka bukan berarti tidak akan mendapatkannya. Bisa jadi adzab Allah akan datang di kemudian hari.
5. Sengaja menampakkan dosanya, padahal Allah swt telah menutupinya
R a s u l u l l a h s a w b e r s a b d a :
” Semua ummatku diampuni oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan diantara bentuk hal tersebut adalah seseorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah tutupi darinya.” (HR. Bukhari)
Ibnu Baththal mengatakan:
“Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah swt, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486).
Para ulama mengatakan :
“Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”.
Allah swt berfirman dalam QS. At Taubah ayat 67 :
“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.”
6. Dosa menjadi besar jika dilakukan oleh orang ‘alim (orang berilmu) yang menjadi panutan.
Bagaimana kekhawatiran seorang ‘Umar bin Khaththab ra. : “Seandainya ada yang memanggil dari langit: ‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka aku khawatir bahwa akulah orangnya.”
III. Pengaruh Dosa atau Maksiat
Imam Ibnu Qayyim berkata: “Maksiat mempunyai pengaruh yang membahayakan bagi hati dan badan di dunia dan di akhirat, yang hanya diketahui oleh Allah. Di antara pengaruh maksiat itu berasal dari manusia yang ditularkan kepada orang lain. Di antara dampaknya juga merubah hamba melenceng dari fitrahnya. Maksiat membuat hamba berani terhadap orang lain yang tidak bersalah. Maksiat meninggalkan tabiat di dalam hati, yang jika semakin banyak dilakukan menjadikan pelakunya termasuk golongan orang-orang yang lalai. Firman Allah dalam Surat Al Muthaffifîn ayat 14:
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Beberapa ulama memahami ayat di atas sebagai “dosa setelah dosa”, yaitu dosa yang dilakukan atas dosa lainnya hingga hati menjadi buta, sehingga hati menghitam karena maksiat. Jika maksiat terus bertambah, maka bertambah hitam hatinya. Jika maksiat terus dilakukan maka hati menjadi gelap.
Ibnu ‘Abbas ra berkata: “Sesungguhnya kebaikan mendatangkan sinar pada wajah, cahaya di hati, luasnya rizki, kuatnya badan, dan dicintai oleh makhluk. Sedangkan kejelekan (kemaksiatan) akan menimbulkan hitamnya wajah, gelapnya hati, lemahnya badan, berkurangnya rizki, dan kebencian hati para makhluk.
Di antara pengaruh maksiat – menurut Syeikh Abdul Aziz Al Muhammad As Salman – adalah :
1. Merusak akal, karena akal adalah cahaya, maka maksiat menutup cahaya tersebut.
2. Hati menjadi hina, sempit dan gersang.
3. Menganggap maksiat bukan sesuatu yang hina sehingga menjadi kebiasaan.
4. Satu kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan yang lain, sebagaimana hasad yang terdapat pada saudara-saudara Nabi Yusuf as yang menyeret mereka kepada tindakan memisahkan antara bapak dan anaknya sehingga menimbulkan kesedihan pada orang lain, memutuskan hubungan kekerabatan, berucap dengan kedustaan, membodohi orang, dan yang sejenisnya.
5. Melemahkan hati dan badan. Bahkan maksiat bisa membunuh hati secara total, sehingga badan menjadi lemah karena sesungguhnya kekuatan seorang mukmin itu ada di dalam hatinya. Jika hatinya kuat, maka kuatlah badannya.
6. Menyulitkan urusan hamba.
7. Menjerumuskan manusia ke dalam laknat Rasulullah saw.
8. Maksiat menimbulkan berbagai macam kerusakan di bumi.
9. Maksiat menyulut api iri dari dalam hati.
10. Hilangnya rasa malu yang merupakan inti kehidupan hati.
11. Lemahnya penghormatan (ta’zhîm) kepada Allah
12. Melenyapkan barakah umur serta memendekkannya. Karena, sebagaimana kebaikan menambahkan umur, maka (sebaliknya) kedurhakaan memendekkan umur.
13. Mengeluarkan hamba dari wilayah kebaikan (ihsân) dan menjauhkannya dari pahala orang-orang yang baik.
14. Melemahkan perjalanan hati menuju Allah dan kehidupan akhirat.
Mengerdilkan jiwa dan menjauhkannya dari kebaikan.
15. Terpenjara dalam tawanan setan dan kerangkeng syahwat.
16. Menjatuhkan kehormatan diri, kedudukan serta kemuliaan di hadapan Allah swt. Imam Hasan Al Bashri berkata: “Mereka (pelaku maksiat) rendah di hadapan Allah swt. sehingga mereka bermaksiat kepada-Nya, karena seandainya mereka orang yang mulia di hadapan Allah swt. niscaya Allah akan jaga mereka dari dosa.”
17. Putus hubungan antara Rabb dan hamba-Nya.
18. Terhalang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu merupakan cahaya yang Allah letakkan pada hati seseorang, sedangkan maksiat akan meredupkan cahaya tersebut.
Tatkala Al Imam Asy Syafi’i duduk di hadapan gurunya, Imam Malik, sang guru melihat kesempurnaan pemahaman Asy Syafi’i . Maka ia berpesan kepadanya: “Sungguh, aku memandang Allah Swt telah meletakkan pada hatimu cahaya, maka janganlah kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan.”
19. Terhalang dari rezeki, sebagaimana sebaliknya yaitu ketakwaaan kepada Allah swt. akan mendatangkan rizki.
20. Kemaksiatan menyebabkan hilangnya nikmat dan mendatangkan adzab. Ali bin Abi Thalib ra berkata: “Tidaklah turun suatu bencana kecuali karena dosa, dan tidaklah dicegah suatu bencana kecuali dengan taubat.
Maksiat juga mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat dan bangsa, di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Dr. Said bin Ali bin Rahaf al-Qahthani, yaitu :
1.Membuat Adam dan Hawa keluar dari surga – tempat kenikmatan, kemewahan, dan kebahagiaan – menuju tempat yang penuh dengan kepedihan, kesedihan, dan tuntutan.
2. Mengeluarkan iblis dari kerajaan langit (malakût as-samâ’), melemparkannya, melaknatnya, mengubah bentuk lahir dan batinnya sehingga bentuk lahirnya menjadi seburuk-buruk bentuk, dan batinnya menjadi senista-nistanya batin, menggantikan kedekatan menjadi jauh, rahmat menjadi laknat, keindahan menjadi keburukan, surga menjadi neraka, dan iman menjadi kufur.
3. Menenggelamkan semua penghuni bumi hingga air melampaui puncak-puncak gunung, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh as.
4. Kehancuran menjemput kaum ’Aad yang memiliki peradaban tinggi. Mereka dihancurkan di atas bumi seperti pohon kurma yang telah lapuk, menghancurkan apa yang dilewatinya baik rumah, tanaman dan hewan, sehingga mereka menjadi bahan renungan bagi setiap kaum hingga hari kiamat.
5. Hentakan suara yang mengakibatkan kaum Tsamud yang mengakibatkan hati mereka terpotong-potong hatinya hingga mereka binasa.
6. Hancurnya kaum Nabi Luth hingga malaikat mendengar jeritan mereka, kemudian membalikkannya, yang atas jadi bawah dan yang bawah jadi atas. Mereka semua dihancurkan, kemudian disusul dengan hujan batu dari langit.
7. Adzab kepada kaum Syu’aib berupa awan siksa yang menyerupai mendung, yang ketika sampai di atas kepala mereka awan tersebut menjadi hujan api yang panas.
8. Ditenggelamkannya Fir’aun dan kaumnya di laut, kemudian jiwa mereka dipindahkan ke jahannam. Badan ditenggelamkan tetapi nyawa dibakar.
9. Tenggelamnya Qarun beserta istana, harta, dan pengikutnya.
Bahkan di era modern sekaraang ini, peringatan tersebut tetap terjadi seperti tenggelamnya simbol keangkuhan byang tergambar dalam kapal Titanic, musibah yang melanda tempat-tempat kemaksiatan di berbagai belahan dunia termasuk di negeri kita, Indonesia.
Apa yang menimpa dan menghancurkan mereka semua adalah dosa-dosa dan kemaksiatan mereka. Kemaksiatan adalah warisan umat yang zhalim, sehingga setiap muslim harus waspada terhadap warisan kemaksiatan dari orang-orang yang zhalim tersebut. Hendaklah kita semua mengambil kisah ummat terdahulu sebagai ibroh dalam menjalani kehidupan agar tidak terjebak dalam bujuk rayu syetan yang senantiasa mengajak kepada dosa daan maksiat. Alloh swt berfirman :
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa sebab dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabut : 40)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuura : 30)
Semoga Allah swt senantiasa menjaga dan membimbing kita semua agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. Na’udzu billahii minadz dzunuubi…
IV. Maroji
1. I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Al-Fauzan
2. Al-‘Uqûbât al-Ilâhiyyah li al-Afrâd wa al-Jamâ’ât wa al-Umam, Ibnu Abi al-Dunya, Tahqiq : Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cet ke-1 tahun 1416 H/1996 M
3. Al-Kaba`ir, Adz Dzahabi, Maktabah As Sunnah
4. Nuurul Hudaa wa Zhulumaat adh Dhalaal fîi Dhau`il Kitaab wassunnah, Dr. Said bin Ali bin Rahaf All Qahthani, Cet ke-3 tahun 1424 H
5. Taujihul Muslimin ila Thariqinnashri wat Tamkin, Muhammad Jamil Zainu dkk

Bagaimana Keluarga Menghadapi Anak Yang Suka Maksiat?
Sejumlah orang tua berpendapat bahwa kewajiban orang tua selesai dengan menjelaskan perkara halal dan haram kepada anak-anak mereka, setelah itu pilihan diserahkan kepada sang anak. Sebagian orang tua lagi berpendapat bahwa jika sang anak telah memasuki usia balig (usia 13-18 tahun), maka kewajiban orang tua terhadap anaknya selesai. Mohon penjelasan, apakah orang tua dengan berbagai cara berkewajiban mencegah anak-anaknya melakukan perbuatan haram atau cukup baginya hanya memberikan penjelasan dan kemudian sang anak bertanggung jawab atas dosa yang dia perbuat? Apakah hal ini dibenarkan? Mohon penjelasannya.


Alhamdulillah
Pertama:
Dalam beberapa jawaban, kami telah menyebutkan adanya tanggung jawab yang besar di pundak para ayah terhadap anak-anak mereka. Tidak cukup hanya menjelaskan dan mengajarkan, tapi juga dengan memberikan pengajaran dan pembinaan, merawat dan memperhatikan dengan berbagai cara yang memungkinkan bagi kedua orang tua.
Lihat jawaban soal no. 10016, 20064 dan 103526.
Jika ditakdirkan salah seorang  anak, baik laki maupun perempuan. Sang anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat atau melakukan perbuatan yang diharamkan, atau dia durhaka kepada kedua orang tua, maka hendaknya sang anak menambah kesungguhnya dalam memberikan petunjuk kepada mereka, kadang dengan memberikan harapan, atau kadang dengan memberikan ancaman, atau dengan meminta orang yang dipercaya seperti guru atau kerabat untuk memberikan arahan dan nasehat kepadanya. Begitu pula kedua orang tua diperintahkan untuk selalu mendoakan tanpa bosan agar anaknya yang suka maksiat mendapatkan hidayah.
Ulama yang tergabung dalam Lajnah Da'imah ditanya, "Aku beritahukan bahwa aku sudah tua usia, sedangkan aku memiliki dua anak kembar yang sedang belajar di kelas 2 SMP. Aku ingin agar keduanya menjadi istiqomah dan suka pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Hanya saja kedunya kadang enggan melakukan hal itu dan aku selalu mendoakan untuk kebaikan keduanya. Apakah cara yang mungkin dapat dilakukan untuk memperbaiki keduanya? Saya sudah memberi tahu masalah ini ke pihak sekolah. Semoga Allah melindungi dan memelihara kalian.
Mereka menjawab:
"Kami nasehatkan anda untuk terus menasehati anak-anak anda, jangan putus asa, gunakan berbagai cara yang bermanfaat untuk mendidik dan mengarahkan mereka. Kadang dengan imin-iming, kadang dengan ancaman. Tumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di hati mereka, jauhkan mereka dari teman yang buruk dan timbulkan kesukaan bergaul dengan orang-orang saleh dan peringatkan mereka dari sarana-sarana media yang merusak. Sebelum dan sesudahnya, banyak-banyak memohon kepada Allah untuk kebaikan mereka, inilah pujian yang Allah berikan kepada orang-orang saleh sebagaimana dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا  (سورة الفرقان: 74)
"Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: 74)
Syekh Abdul Aziz Alu Syekh, Syekh Abdullah bin Gudayyan, Syekh Saleh Al-Fauzan, Syekh Bakar Abu Zaid
(Fatawa Lajnah Daimah, 25/288)
Sebagaimana anda ketahui, apa yang telah disebutkan para ulama telah jelas bahwa merupakan kewajiban orang tua memperhatikan pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anaknya serta mencegah mereka dari kemunkaran dan tidak memberikan peluang kepada mereka untuk melakukannya. Ini bukan sikap ekstrim terhadap suatu masalah. Namun dianjurkan untuk bersikap lembut terhadap anak-anak yang berbuat maksiat, gunakan berbagai cara untuk memberikan arahan dan nasehat kepada mereka, betapapun maksiat yang telah mereka lakukan, tetaplah mereka bagian dari keluarga yang tidak mungkin kita singkirkan.
Kedua:
Kapan tanggung jawab keluarga selesai terhadap anak-anak mereka?
Para ulama membagi masalah ini antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jumhur ulama berpendapat bahwa perwalian orang tua terus berlangsung terhadap anak wanita hingga mereka berkeluarga.
Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah (8/204-205)
Menurut mazhab Hanafi: Perwalian seorang bapak terhadap anak perempuan berakhir setelah sang anak sudah berusia tua dan memiliki pandangan. Dia dapat tinggal dimana yang dia sukai dan tidak ada kekhawatiran padanya. Jika dia seorang janda, dia tidak tinggal bersamanya, kecuali jika dikhawatirkan terhadap dirinya. Dia boleh tinggal bersama bapak dan kakeknya, bukan kepada selain keduanya sebagaimana awalnya.
Perwalian sang bapak terhadap anak berakhir ketika sang anak sudah masuk usia balig dan mandiri dalam pendapatnya, kecuali jika sang anak masih dikhawatirkan terhadap dirinya, misalnya dia suka merusak dan menakut-nakuti. Maka seorang bapak dapat memintanya untuk tinggal bersamanya untuk menghindari musibah dan nama buruk serta mendidiknya jika terjadi sesuatu padanya.
Menurut mazhab Maliki, perwalian seseorang berakhir terhadap seseorang apabila sang anak mencapai usia balig yang normal, yaitu apabila dia telah menikah. Ketika itu dia boleh pergi kemana saja, akan tetapi jika dikhawatirkan terjadi gangguan padanya, karena cantik/tampannya, atau jika dia selalu ditemani orang-orang jahat yang selalu mengajarkan akhlak tercela kepadanya, hendaknya sang anak tetap tinggal bersamanya hingga sang anak lurus prilakunya.
Jika anak laki-laki telah dewasa, dia boleh pergi kemana saja dia mau, karena hak mencegahnya sudah tidak berlaku. Jika anak laki-laki telah balig, walaupun dia gila dan idiot, maka kewajiban merawat bagi seorang ibu telah gugur, menurut pendapat yang masyhur.
Adapun jika dia anak perempuan, maka perawatan masih terus menjadi kewajiban ibu sampai anak perempuan itu menikah dan digauli suaminya. 
Sedangkan menurut mazhab Syafii, perwalian berakhir terhadap anak kecil apabila dia sudah masuk usia balig, baik laki-laki maupun perempuan.
Sedangkan menurut mazhab Hambali: Kewajiban merawat hanya berlaku terhadap anak kecil atau kalau dia cacat. Adapun jika anak sudah balig dan dewasa, maka tidak ada kewajiban merawatnya. Jika dia seorang laki-laki, maka dia boleh tinggal sendiri karena dia sudah mandiri. Jika dia anak wanita, dia tidak boleh tinggal sendiri, dan bapaknya berhak melarangnya, karena dia tidak aman ada orang yang akan mengganggunya dan kemudian menimbulkan aib bagi dirinya dan keluarganya. Jika dia tidak memiliki  bapak, maka walinya atau keluarganya mencegahnya untuk tinggal di luar." Selesai
Pandangan para ulama nyaris sepakat bahwa tanggung jawab keluarga terhadap anak perempuannya adalah sampai dia masuk usia balig, di antara mereka ada yang membatasi akhir tanggungjawab orang tuanya hingga dia menikah, karena ketika itu sudah ada pihak yang bertanggung jawab atasnya. Di antara mereka ada yang menetapkan syarat harus berada di tempat aman dan tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan atasnya. Pemisahan antara laki dan wanita sangat jelas dari pandangan para ulama. Sisi yang sama antara anak laki dan perempuan adalah jika tidak merasa aman apabila mereka tinggal sendiri atau dikhawatirkan adanya pergaulan yang merusak atau dia tidak dapat bertindak dengan baik, maka tanggung jawab keluarga tetap berlaku dan bersambung, tidak terputus, walaupun mereka telah melewati usia balig.
Dalam fatawa Nurun ala-Darb, Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjadikan seorang laki-laki sebagai penanggung jawab di rumahnya, beliau mengabarkan bahwa mereka bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya. Beliau tidak membatas hingga usia berapa. Selama dia mampu mengurus rumah tangganya, maka dia memiliki kewajiban untuk merawat anaknya, dan dia akan ditanya tentang kondisi keluarganya."
Ketiga:
Berbagai kemungkaran yang dilakukan anak-anak di dalam rumah tidak boleh didiamkan, tapi hendaknya dia diberi nasehat dan diarahakan kepada kebaikan. Tidak pantas kedua orang tua mendukung pelaku kemungkaran atas perbuatannya, seperti memberinya uang agar dia dapat membeli sesuatu yang diharamkan, atau memberinya fasilitas agar dia mudah melakukannya. Tapi kedua orang tua boleh mendiamkannya atau tidak melakukan sesuatu tindakan jika akibatnya adalah anak kabur dari rumah. Jika tindakan mereka diperkirakan akan berdampak buruk lebih besar dan lebih banyak dari kemaksiatan itu sendiri, maka kedua orang tua boleh mendiamkan anak-anak yang mendengarkan musik, atau melihat sesuatu yang diharamkan, khawatir jika dia melakukan tindakan tertentu, hal itu menyebabkan sang anak kabur dari rumah sehingga menyebabkan dia melakukan maksiat lebih besar lagi jika dirinya berada di luar rumah. Sebagaimana diketahui bahwa anak yang kabur dari rumah, akan lebih leluasa melakukan apa yang tidak boleh dia lakukan di dalam rumah, maka dengan demikian, problem yang diakibatkan oleh sang anak durhaka tersebut akan semakin bertambah.
Bahkan seandainya pun hal tersebut tidak menyebabkannya kabur dari rumah atau terisolir, banyak di kalangan anak-anak yang di rumahnya dilarang menyaksikan televise atau mendengarkan nyanyian di dalam rumah, sementara Allah belum memberi hidayah dalam hatinya dan melapangkan dada untuk menerimanya, maka ketika itu tidak ada yang mengontrol prilakunya dan tentu saja menjadi kesempatan timbulnya kerusakan yang berlipat-lipat.
Ketika itu, jika orang tua merasa tidak mampu meluruskan kondisi anaknya dan mencegahnya dari kebiasaan menonton televisi atau lainnya, maka demi kemaslahatan, dia boleh mengabaikan sebagian dari apa yang dilakukan anak-anaknya, untuk menghindari kemunkaran yang lebih besar akibat pelarangan yang dia lakukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, perintah dan larangan, jika mengandung kebaikan dan menolak keburukan, hendaknya dilihat dampaknya, jika ternyata kebaikan yang hilang atau kerusakan yang datang lebih besar, hendaknya tidak diperintahkan, bahkan bisa jadi hal tersebut diharamkan jika keburukannya lebih besar dari kebaikannya."
(Majmu Fatawa, 28/129)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah langsung menerapkan perkara tersebut secara praktis. Beliau berkata, "Suatu saat, saya dan beberapa orang sahabat saya pada masa Tatar, melewati sebagian mereka yang sedang minum khamar. Salah seorang yang bersamaku mengingkari perbuatan tersebut, namun aku mengingkarinya. Aku katakan kepadanya, "Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar karena dia mencegah seseorang dari berzikir kepada Allah dan shalat, tapi bagi mereka, khamar mencegah mereka dari membunuh orang lain, menculik dan merampas harta, biarkan mereka."
(Dikutip oleh Ibnu Qayim dalam I'lam Al-Muwaqqiin, 3/5)
Demikian pula hendaknya dikatakan jika melihat kondisi putra putri kita. Sesunggunya, jika mereka kabur dari rumah, tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut akan mengundang kemunkaran lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya, karena akan terbuka peluang lebih besar baginya kemungkaran yang jauh dari pengawasan keluarga. Maka hendaknya kepada setiap orang tua untuk memperkirakan masalah ini, kalau tidak, kerugiannya akan sangat berat.
Wallahua'lam.

Bila Orang Tua Berbuat Maksiat, Apa Yang Harus Dilakukan Anak?

BILA ORANG TUA BERBBUAT MAKSIAT. APAK YANG HARUS DILAKUKAN ANAK?



Terkadang seorang anak harus menghadapi orang tua yang belum mengerti tentang ajaran Islam. Sebagai akibatnya, ia harus menyaksikan orang yang sangat ia cintai dan hormati melakukan perbuatan maksiat atau menghalang-halangi si anak dari perbuatan amal shaleh.

I. RUANG LINGKUP PENGERTIAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Pengertian birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua) ialah mencurahkan seluruh jenis kebaikan bagi mereka. Syaikh al-’Utsaimîn rahimahullâh memaparkannya dalam bentuk-bentuk berikut ini:

1. Berbakti kepada orang tua dalam bentuk ucapan.
Allâh Ta'âla berfirman:

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

"..... Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" [Al-Isrâ`/17:23]

Ini perlakuan saat orang tua telah berusia uzur. Biasanya ketika telah memasuki usia senja (pikun), tindak-tanduk orang tua tampak tidak normal di hadapan orang lain. Walaupun demikian, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan: "maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'Ah')", maksudnya jangan berbuat seperti itu kepada mereka disebabkan kegusaran atas tindak-tanduk mereka (dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia).

2. Bakti kepada orang tua juga dalam bentuk perbuatan, yaitu dengan cara seorang anak menghinakan diri di hadapan orang tuanya, dan tunduk patuh kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan syariat dalam rangka menghormati kedudukan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”" [Al-Isrâ`/17:24]

3. Berbakti juga dapat dilakukan dengan pemberian materi kepada orang tua.
Orang tua berhak memperoleh infak dari anaknya. Bahkan ini termasuk bentuk infak yang agung. Sebab Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ

" Engkau dan kekayaanmu adalah milik bapakmu" [HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292]

4. Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka. Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِـمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِـمًا قَالَ تَـمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ

"Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?” Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam menjawab: “Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim". [HR Al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad]

Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan, kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya, karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram.[1]

II. TELADAN YANG BAIK DARI NABI IBRAHIM 'ALAIHISSALAM
Allâh Azza wa Jalla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Sebagai contoh, kegelisahan mendalam yang beliau rasakan karena sang bapak (Azar), masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam. Allah Ta'ala telah berfirman (mengisahkan) di beberapa surat di dalam al-Qur‘ân bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua. Yang menarik dan mesti ditiru oleh seorang anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 114.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

"Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun" [At-Taubah/9:114]

Beliau 'alaihissalam mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku (tuhan-tuhanku), hai Ibrâhîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Namun Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam menyikapinya dengan berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. [Maryam/19:46-47]

Syaikh as-Sa’di rahimahullâh berkata: "Ibrâhîm al-Khalîl 'alaihissalam menjawabnya (ancaman si ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla (’Ibâdurrahmân) saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn (orang-orang yang tak berilmu/awam)[2]. Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bersabar dan tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Beliau mengucapkan “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” yang mengandung pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku akan senantiasa berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan hidayah dan ampunan bagimu...[3]

III. BERCERMIN PADA PETUNJUK ULAMA
Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat kepada Allâh Ta'âla, namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturahmi dengan mereka.

Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi persoalan-persoalan serupa :

A. Bapakku melakukan pelanggaran syariat.
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya.

Beliau berkata:
“Semoga Allâh Azza wa Jalla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.

Allâh Azza wa Jalla berfirman : "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" [Luqmân/ 31:14-15]

(Pada ayat di atas) Allâh Azza wa Jalla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur. Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan.

Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla, supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh ayah. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”.[4]

B. Ibuku melarangku mengenakan hijâb (cadar)
Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan cadar kepada Syaikh Bin Baz rahimahullâh. Sebaliknya, justru memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu, agar rambut putrinya tidak cepat memutih. Demikian pernyataan sang ibu kepada anak perempuannya.

Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menjawab:
“Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :

إنَّـمَا الطَّاعَةُ فِـيْ الْـمَعْرُوفِ

“Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja”

Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla. Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar’i, wajibnya taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya. Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan.”[5]

C. Ibuku marah ketika aku ingatkan dari kesalahan
Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Persoalan yang ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla. Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat mendoakan kejelekan bagi anak yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu?

Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata: “Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau. Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Allâh Ta'âla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau)”[6]

IV. KESIMPULAN DARI FATWA-FATWA DI ATAS
Beberapa fatwa Ulama di atas telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang ingin menasehati orang tuanya yang berbuat kesalahan. Dari fatwa-fatwa itu, dapat disimpulkan bahwa :

1. Menasehati orang tua harus dengan lemah-lembut.
2. Terkadang diperlukan pihak lain untuk melakukan nahi mungkar.
3. Melarang orang tua dari perbuatan haram atau menolak perintah orang tua yang memerintahkan berbuat haram termasuk bakti kepada orang tua.
4. Tidak boleh putus asa dalam rangka meluruskan orang tua menuju hidayah.
5. Bila diperlukan, tidak mengajak bicara dengan orang tua termasuk langkah untuk menyadarkan orang tua yang berbuat salah.

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allâh Azza wa Jalla di tengah keluarga. Amin. (Redaksi)

Referensi:
-Taisirul Karimir Rahman, Syaikh as-Sa'di, Muassasah Risalah
- Fatawa Ulama Baladil Haram, susunan Khalid bin Abdur-Rahman al-Juraisi cet.1 Th. 1420H
- Fatawa Mar'atil Muslimah, susunan Asyraf bin Abdulmaqshud. Adhwaus Salaf, cet. III Th. 1417H
-Majmu Fatawa Ibni Baz. Muassasah Haramain. cet. IV Th 1423H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fatâwâ Syaikh al-’Utsaimîn, nukilan dari Fatâwâ Ulamâ Baladil Harâm hlm. 1631
[2]. Seperti tertera dalam surat al-Furqân ayat: 63
[3]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 369 dan 528. Pada gilirannya, Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam dilarang oleh Allâh Ta'âla memintakan ampunan bagi bapaknya, karena telah memperoleh kepastian akan kesesatannya.
[4]. Majmû Fatâwâ Ibni Bâz 9/313 dengan ringkas
[5]. Majmû‘ Fatâwâ Ibni Bâz (5/358)
[6]. Fatâwal Mar‘ah hlm. 104, nukilan dari Fatâwal Mar‘atil Muslimah hlm. 957-958

Jauhi Tiga Jenis Manusia Yang Akan Mendapat Laknat Allah SWT

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

سْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad SAW keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.

Sahabat yang dirahmati Allah,
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Ada tiga macam orang yang terkena laknat Allah SWT iaitu seorang yang membenci kedua ibu bapanya, seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya dan seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya". (Hadis Riwayat Ad Dailami daripada Umar r.a)

Berdasarkan hadis di atas terdapat tiga macam manusia yang akan mendapat laknat Allah SWT iaitu :

Pertama : Seorang yang membenci kedua ibu bapanya.

Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.

Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.

Huraiannya :

Pertama : Seorang yang membenci kedua ibu bapanya.

Menurut Al Qurthubi, derhaka kepada kedua ibu bapa ialah menyalahi perintah keduanya, sebagaimana bakti keduanya bererti mematuhi perintah mereka berdua. Berdasarkan ini jika keduanya atau salah seorang dari mereka menyuruh anaknya, maka anaknya wajib mentaatinya, jika perintah itu bukan maksiat. Meskipun pada asalnya perintah itu termasuk jenis mubah (harus), begitu pula bila termasuk jenis mandub (sunat). Jika melanggar perintah kedua ibu bapa sudah dianggap derhaka apatah lagi membenci keduanya terutama ketika mereka berdua telah tua dan memerlukan bantuan dan pembelaan.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda: Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: seorang lelaki datang kepada Rasulullah, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku datang untuk berjihad bersama baginda kerana aku ingin mencari redha Allah dan hari akhirat. Tetapi aku datang kesini dengan meninggalkan ibu bapaku dalam keadaan menangis". Lalu sabda baginda: "Pulanglah kepada mereka. Jadikanlah mereka tertawa seperti tadi engkau jadikan mereka menangis". (Hadis Riwayat Ibnu Majah)

Jadi perintah ibu atau bapa yang bukan bersifat maksiat atau mempersekutukan Allah, maka kita wajib mentaatinya. Namun jika perintah nya bersifat melawan kehendak dan hukum agama, maka tolaklah dengan cara yang baik.

Di dalam Islam orang yang derhaka dan membenci kepada kedua ibu bapanya termasuk ke dalam kategori dosa besar setelah mensyirikkan Allah, dan akan di masukkan ke dalam neraka. Firman Allah SWT maksudnya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah (uff) dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". (Al Isra' 23)

Orang yang tidak menghormati ibu bapa akan dilaknat oleh Allah SWT.dan hidupnya di dunia ini tidak akan ada keberkatan kerana reda Allah SWT bergantung kepada reda kedua ibu bapa kepada anaknya.

Dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda yang bermaksud : “ Barangsiapa membuat ibu bapanya gembira (memberi keredan), maka sesungguhnya ia membuat reda Allah. Barangsiapa menyakitkan hati ibu bapanya, maka sesungguhnya ia membuat kebencian Allah”  (Hadis riyawat Bukhari )

Anak derhaka tidak akan mencium bau syurga dan haram baginya untuk memasuki syurga Allah SWT.

Nabi SAW memberi wasiat kepada Sayyidina Ali k.wj : "Wahai Ali ! Saya melihat tulisan pada pintu syurga yang berbunyi "Syurga itu diharamkan bagi setiap orang yang bakhil (kedekut), orang yang derhaka kepada kedua orang tuanya, dan bagi orang yang suka mengadu domba (mengasut)."

Nabi SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu tiga macam dosa yang paling besar, yakni: Mengada-adakan sekutu bagi Allah SWT, tidak patuh kepada kedua orangtuamu, dan memberikan kesaksian palsu.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.

Salah satu sifat orang fasik adalah suka kepada isteri orang dan dia berusaha untuk menceraikan pasangan suami isteri tersebut. Mungkin bermula apabila wanita tersebut mengadu kepadanya bahawa dia mempunyai masaalah dengan suaminya. Sepatutnya sebagai seorang mukmin dia menasihatkan wanita tersebut supaya kembali mentaati suaminya dan melupakan perbalahan kecil urusan rumah tangga bukannya menggalakkan wanita tersebut meminta cerai kepada suaminya dengan itu dia akan berpeluang mengawininya. Akhlak lelaki seperti ini cukup buruk dan akan mendapat laknat Allah SWT di dunia ini dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.

Perlu diingatkan kepada para wanita yang sudah berkahwin kalian perlu berhati-hati apabila meluahkan masaalah rumah tangga kepada lelaki yang kalian tidak kenal sepenuhnya hanya kenal di alam maya ini kerana ramai lelaki mempunyai "penyakit hati" dan akan mengambil kesempatan untuk "meneguk di air keruh" dan dikira berdosa kerana membuka aib suami kepada orang yang tidak berkenaan. Tetapi jika kalian berhajat mendapatkan khidmat nasihat maka dapatkanlah daripada ustazah atau ustaz atau pakar kaunseling maka hubungilah mereka yang berpengalaman dalam menyelesaikan masaalah rumah tangga.

Bukan sahaja lelaki yang merosakkan rumah tangga orang lain akan mendapat laknat daripada Allah SWT tetapi wanita tersebut yang tertarik dengan lelaki yang menghasutnya juga tidak akan masuk syurga kerana meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syarak.

Rasulullah SAW bersabda maksudnya : “Mana-mana wanita yang meminta suaminya menceraikannya dengan tiada sebab yang dibenarkan oleh syarak maka haramlah baginya bau syurga”.  (Hadis Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)

Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.

Menghasut, mengadu domba, atau memprovokasi, dalam Islam disebut namimah.

Nabi SAW bersabda maksudnya : ''Sesungguhnya, orang-orang yang suka menghasut tidak akan masuk syurga.'' (Hadis Riwayat Bukhari-Muslim).

Hakikat namimah ialah menyebarkan rahsia, mengadu domba dan mengumpat. Tidak seharusnya setiap keadaan yang tak disukai disampaikan ke orang lain, kecuali jika ditujukan untuk kemaslahatan kaum muslimin atau menolak kemaksiatan, seperti kesaksian di pengadilan.

Selain ancaman tidak masuk syurga, penghasut dikecam sebagai manusia paling buruk perilakunya. Nabi SAW bersabda maksudnya : ''Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling buruk perilakunya di antara kalian? Yaitu, orang yang berjalan di atas muka bumi seraya menghasut, yang merosak di antara orang-orang yang tadinya saling mencintai, dan hanya ingin memceritakan aib orang-orang yang tidak bersalah.''
(Hadis Riwayat Ahmad).

Menghasut sangat berbahaya jika dibiarkan berlaku di dalam kehidupan sosial.

Pertama, munculnya benih saling mencurigai di antara sesama muslim.

Kedua, jatuhnya nama baik dan martabat seseorang.

Ketiga, terciptanya kekacauan, ketakstabilan, dan ketidakharmonian dalam hubungan sosial.

Rasulullah SAW mengecam orang-orang munafik di Madinah kerana perilaku kotornya yang suka menghasut ketika baginda berhijrah. Kebiasaan menghasut sepertinya sudah menjalar dan meluas di negeri kita pada masa ini. Melahirkan banyak bloger-bloger politik yang tidak bermoral dan sanggup menabur fitnah, maki hamun dan memecahbelahkan perpaduan umat Islam.

Dari Al-Zuhri bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : "Tidak akan masuk syurga bagi yang memutuskan silaturahim".
(Hadis Riwayat Muslim)

Nabi SAW bersabda maksudnya : “Tidak ada dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia, dan apa yang dipersiapkan Allah baginya di akhirat daripada tindakan kezaliman dan memutuskan hubungan silaturrahim”. (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Tarmizi)

Nabi SAW bersabda maksudnya : "Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci Allah ialah yang paling gigih dalam permusuhan." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari Abi Hurairah r.a, dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam baginda bersabda : "Seorang muslim adalah seorang yang apabila orang lain terselamat daripada lidahnya dan tangannya dan seorang mukmin adalah seorang yang apabila orang lain berasa aman daripadanya terhadap jiwa dan harta benda mereka". (Hadis Riwayat an-Nasaie)

Oleh itu jauhilah daripada segala bentuk perbuatan, percakapan, tulisan dan amalan yang  suka memecahbelahkan perpaduan umat Islam dengan memutuskan silaturahim, mengadu domba, menghasut, memfitnah, mengumpat dan menimbulkan permusuhan bukan sahaja mendapat dosa besar tetapi akan mendapat laknat Allah SWT  dan tidak akan mencium bau syurga.

Sahabat yang dikasihi,
Marilah sama-sama kita menjauhi diri kita daripada tiga jenis manusia yang akan mendapat laknat Allah SWT di dunia dan akhirat seperti hadis di atas. Untuk menjauhi daripada laknat Allah SWT perlulah kalian melakukan; pertama, mengasihi kedua ibu bapa kalian jangan menderhakainya dan berbaktilah kepada mereka jika mereka masih hidup dan jika mereka sudah meninggal dunia doakan mereka dan buatlah amal soleh untuk mereka. Kedua, jauhilah dan jangan cuba untuk mendekati wanita yang sudah berkahwin dengan tujuan-tujuan yang tidak bermoral,  jika terdapat ruang-ruang fitnah cubalah menutupnya. Jika berhajat untuk mencari pasangan hidup carilah janda atau gadis yang masih belum berpunya dan gunakanlah cara-cara yang diizinkan oleh syarak. Ketiga, janganlah sekali-sekali memecah belahkan perpaduan umat Islam. Jadikanlah diri kita sebagai penyelamat umat, pendakwah yang jujur dan ikhlas dan berjuang semata-mata mencari keredaan Allah SWT bukannya untuk mendapatkan nama, pujian dan kedudukan dalam masyarakat.

Tuesday, March 1, 2011

Mengenal Jin dan Syaitan serta Peranannya dalam Kehidupan Manusia.

Anak Jin Dan Syaitan

MUKHANNATS ADALAH ANAK JIN ATAU SYAITAN, ketahuilah, apabila seorang lelaki mencampuri isterinya ketika sedang haid, maka syaitan mendahuluinya. Ketika si isteri hamil dan melahirkan, maka yang lahir itu adalah al-mukhannats, iaitu anak-anak jin. Nuthfahnya akan rosak, bahkan boleh membuat si lelaki dan perempuan itu menderita penyakit. Sesungguhnya Allah s.w.t. melarang kita untuk mencampuri isteri-isteri kita yang sedang haid. Barangsiapa melakukan itu, dialah yang bertanggungjawab terhadap akibatnya, dan lebih dari itu dia pulalah yang akan menerima akibatnya jika dari hubungan tersebut lahir mukhannats. Rasanya, itu adalah balasan yang setimpal belaka.

9 ANAK-ANAK SYAITAN YANG LAINNYA:-

1. ZALITUUN : Duduk di pasar/kedai supaya manusia hilang sifat jimat cermat. Menggoda supaya manusia berbelanja lebih dan membeli barang-barang yang tidak perlu.

2. WATHIIN : Pergi kepada orang yang mendapat musibah supaya bersangka buruk terhadap Allah. 3. A'AWAN : Menghasut sultan/raja/pemerintah supaya tidak mendekati rakyat. Seronok dengan kedudukan/kekayaan hingga terabai kebajikan rakyat dan tidak mahu mendengar nasihat para ulama.

4. HAFFAF : Berkawan baik dengan kaki botol. Suka menghampiri orang berada di tempat-tempat maksiat ( i.e. disko, kelab malam & tempat yang ada minuman keras )

5. MURRAH : Merosakkan dan melalaikan ahli dan orang yang sukakan muzik sehingga lupa kepada Allah. Mereka ini tenggelam dalam keseronokan dan glamour etc.

6. MASUUD : Duduk dibibir mulut manusia supaya melahirkan fitnah, gosip, umpatan dan segala apa sahaja penyakit yang mula dari kata-kata mulut.

7. DAASIM ( Berilah Salam sebelum masuk ke rumah ) : Duduk di pintu rumah kita. Jika tidak memberi salam ketika masuk ke rumah, Daasim akan bertindak agar berlaku keruntuhan rumahtangga. (suami-isteri bercerai-berai, suami bertindak ganas, memukul isteri, isteri hilang pertimbangan menuntut cerai, anak-anak didera dan perbagai bentuk kemusnahan rumahtangga).

8. WALAHAAN : Menimbulkan rasa was-was dalam diri manusia khususnya ketika berwudhuk dan solat dan menjejaskan ibadat-ibadat kita yang lain.

9. LAKHUUS : Merupakan sahabat orang Majusi yang menyembah api dan matahari..

Jenis-Jenis Jin

JENIS-JENIS JIN seperti:-

1. Iblis bapa dan pujaan kepada semua jenis Jin, Iblis dan Syaitan.
2. Asy-Syaitan - Syaitan-Syaitan
3. Al-Maraddah - Peragu-peragu ( was-was )
4. Al-Afrit - Penipu-penipu
5. Al-A'waan - Pelayan-pelayan
6. Al-Tayaaruun - Penerbang-penerbang
7. Al-Ghawwaasuun - Penyelam-penyelam
8. At-Tawaabi - Pengikut-pengikut ( pengekor )
9. Al-Qurana - Pengawan-pengawan
10. Al-Ummaar - Pemakmur.

ANAK-ANAK IBLIS YANG MEMPUNYAI KERAJAAN YANG BESAR:-
1. Thubar - Merasuk manusia yang ditimpa musibah dan bala.
2. Daasim - Merasuk manusia untuk menceraikan ikatan siratulrahim, rumahtangga, keluarga sahabat-handai, jemaah dan sebagainya.
3. Al-'Awar - Merasuk manusia supaya meruntuhkan akhlak, berzina, minum arak, liwat, berjudi dan sebagainya.
4. Zalanbuur - Merasuk manusia dengan api permusuhan dan pembunuhan.

Apakah Itu Jin?

APAKAH ITU JIN?
Jin adalah nama jenis, bentuk tunggalnya adalah Jiniy ( dalam bahasa arab dahulu kala, dan Genie dalam bahasa Inggeris ) yang ertinya "yang tersembunyi" atau "yang tertutup" atau "yang tak terlihat". Hal itulah yang memungkinkan kita mengaitkannya dengan sifat yang umum "alam tersembunyi", sekalipun akidah Islam memaksudkannya dengan makhluk-makhluk berakal, berkehendak, sedar dan punya kewajipan, berjasad halus and hidup bersama-sama kita di bumi ini.

Dalam sebuah hadith dari Abu Tha'labah yang bermaksud : "Jin itu ada tiga jenis iaitu : Jenis yang mempunyai sayap dan terbang di udara, Jenis ular dan jengking dan Jenis yang menetap dan berpindah-pindah."

AWAL PENCIPTAAN JIN.

Allah S.W.T. menciptakan jin sebelum menciptakan manusia, dengan selisih waktu yang lama bila dikiaskan pada manusia mahupun jin sendiri.Allah S.W.T. berfirman ( maksudnya ) : "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tanah liat kering ( yang berasal ) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin, sebelum itu dari api yang sangat panas. ( Surah Al-Hijr: 26-27 ).

Asal Kejadian Jin Asal Kejadian jin dan Jin adalah satu nama jenis dan dalam bahasa Inggeris di sebut Ginie - perkataan tunggalnya " Jinny " yang bermaksud yang tersembunyi, yang tertutup atau yang gelap pekat. Keterangan "Al-Maarij " Maarij bermaksud nyalaan api yang sangat kuat dan sangat panas bahangnya atau " Al-Lahab " iaitu jilatan api yang sudah bercampur antara satu sama lain iaitu merah, hitam, kuning dan biru. Sesetengah ulama pula mengatakan " Al-Maarij " itu ialah api yang sangat terang yang memiliki suhu yang amat tinggi sehingga bercampur antara merah, hitam, kuning dan biru. Sesetengah pendapat pula mengatakan Al-Maarij itu ialah api yang bercampur warnanya dan sama maknanya dengan " As-Samuun " iaitu api yang tidak berasap tetapi sangat tinggi suhu panasnya. Angin samuun yang telah sebati dengan Al-Maarij itulah Allah jadikan Jaan.

Menurut suatu Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud pula menyatakan bahawa angin Samuun yang dijadikan Jaan itu hanyalah satu bahagian daripada tujuh puluh bahagian angin Samuun yang sangat panas itu. Dari api yang amat panas inilah Allah telah menciptakan Jin, iaitu dari sel atau atom atau daripada nukleas-nukleas api. Kemudian Allah masukkan roh atau nyawa padanya, maka jadilah ia hidup seperti yang dikehendaki oleh Allah. Jin juga di beri izin oleh Allah menzahirkan berbagai-bagai bentuk dan rupa yang disukai dan dikehendakinya kecuali rupa Rasulullah s.a.w mengikut tahap dan kemampuan masing-masing. Jin juga diperintahkan oleh Allah menerima syariat Islam sepertimana yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia.

Rupa bentuk Jin yang asal selepas di cipta dan ditiupkan roh itu, hanya Allah dan Rasulnya sahaja yang mengetahuinya. Menurut sesetengah ulama rupa, tabiat, kelakuan dan perangai Jin adalah 90 peratus mirip kepada manusia. Asal kejadian manusia ialah campuran daripada Jisim Kathif iaitu tanah dan air, Jisim Syafaf iaitu campuran api dan angin dan Nurani, iaitu roh, akal, nafsu dan hati yang dinamakan "Latifatur-Rabbaniah " sesuai dengan manusia sebagai sebaik-baik kejadian yang diciptakan Allah dan sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini. Manakala kejadian Jin pula ialah campuran Jisim Syafaf iaitu campuran api dan angin dan Nurani iaitu roh, akal, nafsu dan hati yang sesuai dan sepadan dengan kejadian Jin. Manakala mahkluk-makluk lain pula Allah jadikan daripada salah satu unsur tersebut, contohnya, binatang yang dijadikan daripada campuran Jisim Ksayif dan Jisim Syafaf sahaja. Batu dan tumbuh-tumbuhan pula dijadikan daripada Jisim Kasyif semata-mata. Manakala Malaikat pula dijadikan daripada Nurani semata-mata.

Cara pembiakan Jin.
Manusia memerlukan masa mengandung selama sembilan bulan untuk melahirkan zuriat dan anak manusia juga memerlukan masa yang lama untuk matang dan menjadi baligh. Berbeza dengan Jin di mana, apabila di sentuh alat kelamin lelaki dengan alat kelamin perempuan, maka Jin perempuan akan terus mengandung dan beranak dan anak Jin yang baru lahir itu terus mukallaf. Begitulah keadaanya sehingga ke hari kiamat. Iblis pula apabila menyentuh paha kanan dengan paha kiri akan mengeluarkan 33 biji telor. Dalam setiap biji telor itu ada 33 pasang benihnya. Tiap-tiap pasang benih itu apabila menyentuh paha kanan dengan paha kiri akan keluar seperti yang terdahulu. Begitulah proses pembiakan Jin dan Iblis sehinggalah ke hari kiamat.Bunian atau lebih masyhur di kalangan orang-orang Melayu dengan panggilan orang Ghaib pula ialah hasil campuran lelaki atau perempuan Jin dengan lelaki atau perempuan dari kalangan manusia. Anak yang terhasil daripada percampuran itu dikenali dengan nama Bunian. Perangai dan tingkah laku serta rupa bentuknya orang Bunian ini dalam beberapa perkara mengikut manusia dan dalam beberapa perkara pula mengikut Jin. Jika asal usul datuk manusia ialah Nabi Adam, maka asal usul datuk Jin pula ialah " Jaan " yang asalnya adalah beriman kepada Allah dan melahirkan keturunan yang beriman. Selepas itu terdapat pula dari keturunan Jaan yang kufur dan melahirkan pula keturunan yang kufur. Anak cucu Jaan yang asal beriman itu ada yang kekal dalam iman dan ada pula yang kufur dan ada pula yang kembali beriman kepada Allah. Agama puak-puak Jin. Jin Juga seperti manusia, iaitu ada yang baik, ada yang jahat, ada yang soleh, ada yang tidak soleh, ada yang alim lagi mukmim, ada ada yang kufur, ada yang murtad, fasik dan zalim, ada yang masuk syurga dan ada yang dihumbankan oleh Allah ke dalam neraka di hari akhirat kelak. Majoriti puak-puak Jin terdiri daripada golongan Jin kafir. Golongan Jin kafir ini kebanyakanya beragama Yahudi, Kristian, Komunis dan sangat sedikit daripada mereka yang beragama Buddha dan Majusi. Terdapat juga golongan Jin yang tidak beragama. Golongan Jin yang memeluk Islam hanyalah sedikit bilangannya dan terdiri daripada golongan manoriti jika di bandingkan dengan keseluruhan bilangan Jin. Seperti juga manusia biasa, Jin juga berada dalam tingkat-tingkat iman, ilmu dan amalan yang tertentu berdasarkan kepada keimanan dan amalan mereka kepada Allah.

Antaranya ada Jin Islam yang bertaraf awam sahaja , Jin Islam yang di tingkat iman Khawas dan Jin Islam yang berada ditingkat iman yang Khawasil-Khawas.Walaupun Jin Islam yang paling tinggi imannya dan paling soleh amalannya serta paling luas serta banyak ilmunya , tetapi masih ada pada diri mereka sifat-sifat mazmumah seperti takbur, riak, ujub dan sebagainya, tetapi mereka mudah menerima teguran dan pengajaran. Mungkin inilah yang sering diperkatakan bahawa " sebaik-baik Jin itu ialah sejahat-jahat manusia yang fasik. " Tetapi yang berbezanya manusia yang paling jahat susah menerima pengajaran dan teguran yang baik. Golongan Jin Islam yang awam dan Jin kafir suka merasuk manusia yang awam dengan berbagai-bagai cara, kerana pada pandangan mereka manusia-manusia yang awam itu bukanlah manusia sebenarnya, sebaliknya adalah rupa seekor binatang. Manusia yang Khawas dan Khawasil-Khawas tidak dapat di rasuk oleh Jin, bahkan Jin pula akan datang kepada mereka untuk bersahabat.

Rupa Bentuk Jin.
Pada asasnya rupa bentuk Jin tidaklah banyak berbeza daripada rupa bentuk manusia, iaitu mereka mempunyai jantina, mempunyai hidung mata, tangan, kaki, telinga dan sebagainya, sepertimana yang di miliki oleh manusia. Pada dasarnya 80 hingga ke 90 peratus Jin menyerupai manusia. Cuma yang berbezanya fizikal Jin adalah lebih kecil dan halus daripada manusia. Bentuk tubuh mereka itu ada yang pendek, ada yang terlalu tinggi dan ada bermacam-macam warna, iaitu putih, merah biru, hitam dan sebagainya. Jin yang kekal dalam keadaan kafir dan Jin Islam yang fasik itu mempunyai rupa yang huduh dan menakutkan. Manakala Jin Islam yang soleh pula mempunyai rupa paras yang elok. Menurut sesetengah pendapat tinggi Jin yang sebenarnya adalah kira-kira tiga hasta sahaja. Pengetahuan mereka lebih luas dan umurnya tersangat panjang dan ada yang beribu tahun umurnya. Kecepatan Jin bergerak adalah melebihi gerak cahaya dalam satu saat. Memandangkan Jin adalah terdiri daripada makhluk yang seni dan tersembunyi, tidak zahir seprti manusia dan tidak sepenuhnya ghaib seperti Malaikat, maka ruang yang kecil pun boleh di duduki oleh berjuta-juta Jin dan ianya juga boleh memasuki dan menghuni tubuh badan manusia. Jumlah Jin terlalu ramai sehingga menurut sesetengah pendapat bilangannya ialah jumlah semua manusia daripada Nabi Adam hingga ke hari kiamat di darab dengan haiwan-haiwan, di darab dengan batu-batu, di darab dengan pasir-pasir dan semua tumbuh-tumbuhan. Itu pun baru satu persepuluh daripada jumlah keseluruhan Jin. Manakala jumlah keseluruhan Jin ialah satu persepuluh daripada jumlah keseluruhan Malaikat. Jumlah keseluruhan Malaikat hanya Allah dan Rasulnya sahaja yang lebih mengetahuinya. Alam kediaman Jin ialah di lautan, daratan, di udara dan di Alam Mithal iaitu suatu alam di antara alam manusia dan alam malaikat. Jika di berikan oleh Allah kepada kita melihat Jin, sudah tentulah kita akan melihat jarum yang dijatuhkan dari atas tidak akan jatuh ke bumi , tetapi hanya jatuh di atas belakang Jin, disebabkan terlalu banyaknya jumlah mereka. Sebab itulah orang-orang tua kita selalu berpesan supaya anak-anak segera balik ke rumah apabila telah tiba waktu maghrib dan pintu serta tingkap rumah mesti di tutup, supaya tidak dimasuki oleh Syaitan dan Iblis.

Sebagaimana sebuah Hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari daripada Rasulullah s.a.w yang bermaksud : " Apabila kamu menghadapi malam atau kamu telah berada di sebahagian malam maka tahanlah anak-anak mu kerana sesungguhnya syaitan berkeliaran ketika itu dan apabila berlalu sesuatu ketika malam maka tahanlah mereka dan tutuplah pintu-pintu rumahmu serta sebutlah nama Allah, padamkan lampu-lampu mu serta sebutlah nama Allah, ikatlah minuman mu serta sebutlah nama Allah dan tutuplah sisa makanan mu serta sebutlah nama Allah ( ketika menutupnya ) "

Hadis di atas bermaksud bahawa Jin dan Syaitan akan tidur di waktu siang dalam cahaya dan sinar sehingga menjelang petang, di mana pada waktu itu mereka berkeliaran mencari rezeki dan makanan, baik lelaki maupun perempuan, samada yang dewasa atau kanak-kanak. Melihat Jin. Pada prinsipnya Jin tidak boleh di lihat, di sentuh dan di dengar oleh manusia dalam bentuk yang asal sebagaimana ianya diciptakan, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, Jin boleh di lihat dalam rupa bentuk yang diingininya. Jin juga boleh di lihat oleh manusia dalam keadaan sihir atau ketika meminum air sihir atau melalui kemahuan Jin itu sendiri untuk memperlihatkan dirinya kepada manusia.Di dunia semua Jin boleh melihat manusia manakala manusia yang Khawas dan Khawasil-Khawas sahaja yang boleh melihat Jin selain daripada para Nabi dan Rasul. Manakala di akhirat pula semua manusia mukmin yang ahli syurga boleh melihat Jin manakala Jin yang Khawas dan Khawasil-Khawas sahaja yang boleh melihat manusia. Antara kelebihan Jin yang telah diberikan oleh Allah ialah kemampuannya untuk mengubah dirinya dalam berbagai bentuk dan rupa. Contohnya dalam peperangan Badar, Iblis telah menampakkan dirinya dalam bentuk seorang lelaki dari Bani Mudlij dan Syaitan pula dalam rupa Suraqah bin Malik yang datang membantu tentera musrikin memerangi tentera Islam. ( Iblis dan Syaitan adalah juga merupakan sebahagian daripada golongan Jin ).

Dalam Sahih Bukhari juga ada meriwayatkan bahawa adanya Jin yang menampakkan dirinya dalam bentuk seekor ular dan membunuh seorang pemuda yang cuba membunuh ular tersebut. Di samping itu Jin juga boleh menampakkan dirinya dalam rupa bentuk haiwan yang lain seperti rupa bentuk kucing, anjing dan sebagainya. Kumpulan-kumpulan Jin. Jin juga seperti manusia yang inginkan keturunan dan hidup berpuak-puak. Puak dan kumpulan Jin terlalu banyak dan bercakap dalam berbagai-bagai loghat dan bahasa. Ada sesetengah ulama membahagikan Jin kepada beberapa kumpulan, antaranya kumpulan yang menunggu kubur, kumpulan yang menunggu gua, kumpulan yang menunggu mayat manusia, kumpulan yang menunggu hutan rimba, kumpulan yang menunggu bukit bukau, kumpulan yang menunggu air mata air, kumpulan yang menunggu tasik, kolam, teluk, kuala, pulau dan sebagainya.

Jenis-jenis Jin Sama seperti manusia Jin juga terdiri dari pada berbagai jenis atau bangsa, antara yang tersohor ialah :-
1.Iblis Bapa dan pujaan kepada semua jenis Jin, Iblis dan Syaitan..
2.Asy-Syaitan Syaitan-syaitan
3.Al-Maraddah Peragu-peragu ( pewas-was )
4.Al-Afrit Penipu-penipu
5.Al-A’waan Pelayan-pelayan
6.Al-Tayyaaruun Penerbang-penerbang
7.Al-Ghawwaasuun Penyelam-penyelam
8.At-Tawaabi Pengikut-pengikut ( pengekor )
9.Al-Qurana Pengawan-pengawan
10.Al-Ummaar Pemakmur

Gangguan Jin

DIANTARA PENYEBAB GANGGUAN JIN seperti:-
1. Jin lelaki kadangkala jatuh cinta kepada orang perempuan dan kadangkala jin perempuan jatuh cinta kepada orang lelaki.
2. Kerana kezaliman manusia terhadap mereka, seperti menumpahkan air panas atau menimpakan sesuatu barang dari tempat yang tinggi. 3. Kezaliman yang dilakukan oleh makhluk jin kepada manusia tanpa sesuatu sebab tertentu. Yang berhubungan dengan prekara ini jin tidak akan dapat menganggu manusia kecuali manusia itu dalam keadaan : Sangat marah, Sangat takut, Sangat lalai dan Mempunyai nafsu syahwat yang tinggi.

MACAM-MACAM GANGGUAN JIN

1. Gangguan jin sepenuhnya, iaitu jin mengganggu seluruh badan seperti orang yang mengalami berbagai macam saraf yang tersumbat.
2. Gangguan jin tidak secara keseluruhan, iaitu jin mengganggu salah satu dari anggota badan, seperti tangan, kaki atau lidah.
3. Gangguan jin yang berterusan, iaitu jin terus berada dalam tubuh seseorang sehingga memakan waktu yang sangat lama.
4. Gangguan jin seketika, iaitu tidak lebih dari beberapa detik seperti seseorang yang mengalami mimpi buruk.

Tanda-Tanda Pada Waktu Tidur & Waktu Sedar

TANDA-TANDA PADA WAKTU TIDUR seperti:-
1. Sangat susah tidur pada waktu malam, kalaupun dapat tidur sudah lama bersusah payah.
2. Rasa cemas dan sering terbangun pada waktu malam.
3. Mimpi yang buruk atau mimpi melihat sesuatu yang menakutkan serta ingin memekik untuk meminta pertolongan akan tetapi tidak sanggup.
4. Mimpi yang sangat menyeramkan.
5. Mimpi melihat berbagai macam binatang seperti melihat kuching, anjing, unta, ular, singa, serigala atau tikus.
6. Gigi geraham yang berbunyi pada waktu tidur.
7. Tertawa, menangis atau memekik pada waktu tidur.
8. Berperasaan sedih pada saat tidur. Berdiri serta berjalan ketika tidur tanpa sedar.
9. Mimpi seolah-olah akan jatuh dari tempat yang tinggi.
10. Mimpi sedang berada di kuburan, ditempat pembuangan sampah atau tempat yang mengerikan.
11. Bermimpi melihat orang sangat aneh, seperti sangat tinggi, sangat pendek atau sangat hitam.
12. Bermimpi melihat hantu.

TANDA-TANDA PADA WAKTU SEDAR ATAU JAGA seperti:-
1. Kepala selalu pusing, yang tidak disebabkan oleh penyakit pada dua mata, telinga, hidung, gigi, tekak atau perut.
2. Selalu lupa dari zikir Allah, solat dan ketaatan lainnya.
3. Fikiran yang kacau / Selalu lesu dan malas / Saraf yang tersumbat.
4. Rasa sakit pada salah satu anggota badan sedangkan doktor perubatan tidak sanggup mengubatinya.

Cara-cara untuk membaca ayat-ayat Ruqyah dan aturannya ialah seperti berikut:-
1. Surah Al-Fatihah ( ayat 1-7 )
2. Surah Al-Baqarah ( ayat 1-5 )
3. Surah Al-Baqarah ( ayat 102 ) di ulangi sebanyak 7 kali.
4. Surah Al-Baqarah ( ayat 163-164 )
5. Surah Al-Baqarah ( ayat 255 )
6. Surah Al-Baqarah ( ayat 285-286 )
7. Surah Al-'Imran ( ayat 18-19 )
8. Surah Al-A'raf ( ayat 54-56 )
9. Surah Al-A'raf ( ayat 117-122 ) di ulangi sebanyak 7 kali.
10. Surah Al-A'raf ( ayat 120 ) di ulangi sebanyak 30 kali secara bersendirian
11. Surah Yunus ( ayat 81-82 ) di ulangi sebanyak 7 kali
12. Kemudian baca ayat ini:- إِنَّ اللّهَ سَيُبْطِلُهُ Sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya
13. Surah Thaha ( ayat 69 ) di ulangi sebanyak 7 kali
14. Surah Al-Mukminin ( ayat 115-118 )
15. Surah As-Shaffat ( ayat 1-10 )
16. Surah Al-Ahqaf ( ayat 29-32 )
17. Kemudian baca ayat ini sebanyak 7 kali:- يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ
18. Surah Ar-Rahman ( ayat 33-36 )
19. Surah Al-Hasyr ( ayat 21-24 )
20. Surah Al-Jin ( ayat 1-9 )
21. Surah A1-Ikhlas ( ayat 1-4 )
22. Surah Al-Falaq ( ayat 1-5 ) di ulangi sebanyak 9 kali
23. Surah An-Nas ( ayat 1-6 )

PERHATIAN !!!
DENGAN KELAKUAN JIN dan Kadang-kadang ada jin yang datang sambil memekik, mengamcam dan berjanji. Dalam menghadapi hal ini janganlah anda takut, akan tetapi pukullah dia dan berilah pelajaran kepadanya, mudah-mudahan dengan izin Allah, jin tersebut akan diam. Kadangkala jin itu mencaci-maki anda, maka janganlah anda marah kepadanya. Kadangkala jin itu memuji anda, bahawa andalah orang yang yang soleh dan dia akan keluar demi menghormati anda. Apabila mendengar perkataan yang demikian ini, maka hendaklah anda katakan: "Aku adalah seorang hamba yang lemah, keluarlah engkau kerana taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya." Kadangkala ada pula jin pengganggu itu membantah. Dalam menghadapi hal ini hendaklah anda ambil setengah gelas air kemudian dekatkanlah air itu ke mulut anda dan bacakanlah ayat-ayat Al-Qur'an iaitu: Surah Yasin, As-Shaffat, Ad-Dukhan dan Al Jin. Selepas itu siramilah air tersebut kepadanya, maka jin tersebut akan merasa kesakitan serta patuh kepada anda dengan izin Allah, dia akan keluar dari tubuh orang tersebut. Jika anda ingin tahu tentang akidah jin tersebut tanpa menanyakannya, maka bacakanlah kepadanya ayat di bawah ini : ( Sebahagian dari Surah Al-Maidah - Surah 5 : Ayat 72 ) Kadangkala ada jin yang lari pada waktu mengucapkan janji. Dalam menghadapi hal ini hendaklah bacakan berulang-kali di telinga orang yang kerasukan jin tersebut dengan ayat Al-Qur'an iaitu : (Ar-Rahman 33-36) Kadangkala ada jin yang ingin keluar tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya, dalam menghadapi hal ini, maka hendaklah anda membaca Surah Yasin serta azan di telinga orang yang kemasukan jin tersebut. Ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacakan itu hendaklah dengan bacaan yang benar, khusyuk dan dengan suara yang dapat didengar. Jika jin itu meminta sesuatu syarat baru dia akan keluar dari jasad orang yang dimasukinya itu, maka perhatikanlah dahulu apa syarat yang dimintanya. Jika syarat yang dimintanya itu supaya taat kepada perintah Allah seperti: "Saya akan keluar dari tubuh orang ini dengan syarat dia mahu menjaga solatnya atau dia mahu menutup auratnya". Jika demikian itu syarat yang dimintanya, maka turutilah dia, akan tetapi haruslah anda jelaskan kepadanya, bahawa ketaatan tersebut bukanlah kerana mentaatinya akan tetapi kerana taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika permintaan syaratnya itu supaya melakukan kemaksiatan, maka janganlah diikuti, bahkan hukumlah dia. Jika Allah telah mengluarkan jin tersebut dari tubuh orang yang kerasukan jin itu, maka perintahkanlah kepada orang yang kerasukan jin itu, begitu juga orang yang hadir, supaya sujud syukur kepada Allah SWT kerana telah bebasnya dari penganiayaan tersebut. Begitu juga dengan diri anda haruslah melaksanakan sujud syukur tersebut, kerana Allah SWT telah memperkenankan permohonanmu untuk menyingkirkan kezalimannya. Jika anda telah berhasil mengeluarkan jin tersebut dengan izin Allah, maka janganlah anda katakan: "Saya telah berhasil mengeluarkan jin tersebut", akan tetapi karakanlah: "Allah telah mengeluarkan atau menghalaunya". Anda haruslah berhati-hati dalam hal ini dan janganlah anda sampai terpedaya dengan rayuan syaitan. Hendaklah anda selalu membaca buku-buku yang berkenaan dengan masalah jin, seperti buku "Risalatul Jin" karangan Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah dan lain-lain.

Kumpulan-Kumpulan Jin
KUMPULAN-KUMPULAN JIN, Jin juga seperti manusia yang inginkan nama dan keturunan dan hidup berpuak-puak. Puak dan kumpulan jin terlalu banyak dan bercakap dalam berbagai-bagai loghat dan bahasa. Ada sesetengah ulama membahagikan Jin kepada beberapa kumpulan, antaranya ialah :- Kumpulan yang menunggu kubur Kumpulan yang menunggu gua Kumpulan yang menunggu mayat Kumpulan yang menunggu air mata air Kumpulan yang menunggu tasek, kolam, telok, kuala, pulau dan sebagainya.

PEMIMPIN-PEMINPIN JIN,Jin juga mempunyai pemimpin dan kerajaannya tersendiri. Antaranya ialah :-
• Raja Jin Alam bawah yang kafir ialah seperti Mazhab, Marrah, Ahmar, Burkhan, Syamhurash, Zubai'ah dan Maimon.
• Empat Raja Jin Ifrit ( Jin yang paling jahat ) yang mempunyai kerajaan yang besar yang menjadi menteri kepada Nabi Allah Sulaiman a.s. ialah seperti Thamrith, Munaliq, Hadlabaajin dan Shughal.
• Raja Jin Alam atas yang Islam pula ialah Rukiyaail, Jibriyaail, Samsamaali, Mikiyaail, Sarifiyaali, 'Ainyaail dan Kasfiyaail.
• Raja Jin yang menguasai segala Jin tersebut bernama THOTHAMGHI YAM TA LI.
• Manakala Malaikat yang mengawal kesemua Jin-Jin di atas bernama Maithotorun yang bergelar QUTBUL JALALAH

Kerajaan Iblis

KERAJAAN IBLIS, Iblis mempunyai kerajaan yang sangat besar. Ada menteri-menteri, pemerintahan dan pejabat-pejabat. Iblis juga mempunyai wakil-wakil, lima di antaranya wajib diwaspadai :
• Kerajaan Iblis Yang pertama, menurut kalangan Jin, bernama Tsabar. Dia selalu mendatangi orang yang sedang kesusahan atau ditimpa musibah, baik kematian isteri, anak ataupun kaum kerabat. Kemudian dia melancarkan bisikannya dan menyatakan permusuhannya kepada Allah. Diucapkannya, melalui mulut orang yang ditimpa musibah itu, keluh-kesah and caci-maki terhadap ketentuan Allah atas dirinya.

• Kerajaan Iblis Yang kedua, namanya ialah Dasim. Syaitan inilah yang selalu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mencerai-beraikan ikatan perkahwinan, membuat rasa benci antara satu sama lain di kalangan suami-isteri, sehingga menjadi penceraian. Dia adalah anak kesayangan Iblis di wilayah kerajaannya yang sangat besar.

• Yang ketiga, namanya ialah Al-A'war. Dia dan seluruh penghuni kerajaannya, adalah pakar-pakar dalam urusan mempermudah terjadinya perzinaan. Anak-anaknya menghiaskan indah bahagian bawah tubuh kaum wanita ketika mereka keluar rumah, khususnya kaum wanita masa kini, betul-betul menggembirakan Iblis di kerajaan yang besar. Segala persoalan yang menyangkut keruntuhan moral dan perzinahan berurusan dengan pejabat besar mereka.

• Yang keempat, namanya ialah Maswath, pakar dalam menciptakan kebohongan-kebohongan besar mahupun kecil. Bahkan kejahatan yang dia dan anak-anaknya lakukan sampai pada tingkat dia memperlihatkan diri dalam bentuk seseorang yang duduk dalam suatu pertemuan yang disenggarakan oleh manusia, lalu menyebarkan kebohongan yang pada gilirannya disebarkan pula oleh manusia.

• Yang kelima, namanya ialah Zalnabur. Syaitan yang satu ini berkeliaran di pasar-pasar di seluruh penjuru dunia. Merekalah yang menyebabkan pertengkaran, caci-maki, perselisihan dan bunuh-membunuh sesama manusia. Untuk menghindarinya hendaklah mengucapkan : "Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan, ( ** Sebutkan namanya : Tsarbar / Dasim / Al-A'war / Maswath / Zalnabur ) yang terkutuk, serta pengikut-pengikut dan anak-anaknya."

Menurut buku Asy-Syibli meriwayatkan sebuah riwayat dari Zaid bin Mujahid yang mengatakan bahawa, "Iblis mempunyai lima anak, yang masing-masing diserahkan urusan-urusan tertentu. Kemudian dia memberi nama masing-masing anaknya : Tsabar, Dasim, Al-A'war, Maswath dan Zalnabur."

Maka marilah kita mengawasi setiap pergerakan dan rancangan jahat serta permainan yang digunakan oleh syaitan dan jin dalam menggoda serta menghasut umat islam pada setiap detik yang berlalu. Kebanyakan umat islam tidak sedar atau tidak perasan iaitu setiap perbuatan dan perkataan keji yang kita lakukan adalah diatas pengaruh mereka dengan bantuan nafsu Amarah(Jiwa yang suka kepada kejahatan). Oleh itu adalah amat penting ilmu pengetahuan tentang Syaitan dan Jin agar kita dapat memelihara diri dibawah perlindungan serta pemeliharaan Allah Yang Maha Berkuasa Atas Segala Sesuatu.serta tidak terpedaya dan terpengaruh dengan pujukan dan hasutan mereka.Insyallah, Selagi hati sentiasa berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunah Rasul SAW.

Benci Kembali pada Maksiat


Kita semua barangkali sama dahulunya berada dalam kubangan dosa. Bukan saja dosa ringan yang dilakukan, bahkan perbuatan fahisyah (keji) seperti zina pun pernah diterjang. Bisa jadi berulang kali dilakukan. Mungkin pula dosa kufur atau kesyirikan pernah diterjang. Saat ini menyesal dan ingin menjadi lebih baik. Jika ingin berubah, seorang muslim tidak boleh merasa putus asa dari rahmat Allah. Ampunan Allah begitu luas. Kita patut meminta ampun pada-Nya atas dosa-dosa tersebut dan benci kembali pada masa lalu yang suram.
Renungan Hadits “Tiga Tanda Manisnya Iman”
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ
Tiga perkara yang bisa seseorang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai saudaranya hanyalah karena Allah, (3) ia benci kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia tidak suka jika dilemparkan dalam api.” (HR. Bukhari no. 21 dan Muslim no. 43).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Keutamaan mendahulukan kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya.
2- Keutamaan mencintai Allah.
3- Orang mukmin mencintai Allah dengan cinta yang tulus.
4- Orang yang memiliki tiga sifat ini adalah yang paling utama daripada yang tidak memilikinya walau orang yang memilikinya dahulu kafir dan masuk Islam atau dahulu adalah orang yang terjerumus dalam kubangan dosa lalu bertaubat.
5- Wajib membenci kekafiran dan pelaku kekafiran (orang kafir) karena barangsiapa yang membenci sesuatu, ia juga harus membenci pelaku yang memiliki sifat tersebut. Begitu pula dengan maksiat.[1]
Lebih Memilih Tidak Terjerumus dalam Maksiat
Faedah dari ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengenai kisah Nabi Yusuf,
“Yusuf ‘alaihis salam memilih dipenjara daripada terjerumus dalam maksiat. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada dua pilihan antara memilih berbuat maksiat ataukah mendapatkan siksa dunia, hendaklah ia memilih mendapatkan siksa dunia supaya ia selamat dari terjerumus dalam dosa yang akhirnya mendapatkan siksa di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu di antara tanda iman adalah seseorang benci kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia tidak suka jika dilempar dalam api.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 407)
Yang Dahulu Berada dalam Kegelapan Maksiat
Bagi yang dahulu berada dalam kubangan dosa, isilah waktu kita saat ini dengan taubat dan menutup kejelekan dengan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71
Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Furqon: 68-71)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati Abu Dzar,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5: 153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Berpindah dari Lingkungan yang Jelek
Yang dilakukan berikutnya lagi adalah berhijrah (berpindah) dari lingkungan yang jelek. Coba kita renungkan kisah berikut ini tentang kisah pembunuh 100 nyawa. Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنّ نَبِيَّ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ
– أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ )) مُتَّفَقٌ عليه .
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.
Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim no. 2766)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.” (Syarh Muslim, 17: 83)
Orang yang Dahulu Bejat Bisa Jadi Lebih Sholih
Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perkataan menarik yang patut disimak:
Sebagian orang mengira bahwa seseorang yang lahir dalam keadaan Islam dan tidak pernah berbuat kekufuran sama sekali, itu yang lebih baik dari orang yang dulunya kafir kemudian masuk Islam. Anggapan ini tidaklah benar. Yang benar standarnya adalah siapa yang akhir hidupnya baik, yaitu siapa yang paling bertakwa kepada Allah di akhir masa hidupnya, itulah yang lebih baik.
Sudah kita ketahui bersama, saabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar yang dahulunya kufur lalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka lebih baik dari anak-anak mereka atau selain anak mereka yang lahir dalam keadaan Islam.
Barangsiapa mengenal kejelekan dan ia merasakannya, lalu ia mengenal kebaikan dan merasakan nikmatnya, maka ia tentu lebih mengenal dan mencintai kebaikan tersebut serta membenci kejelekan daripada orang yang tidak mengenal dan melakukan kebaikan atau kejelekan sebelumnya. Bahkan orang yang hanya tahu perbuatan baik, ia bisa saja terjerumus dalam kejelekan karena tidak mengetahui itu perbuatan jelek. Ia bisa terjatuh di dalamnya atau ia tidak mengingkarinya. Hal ini berbeda dengan yang telah merasakan kejelekan sebelumnya. (Majmu’ Al Fatawa, 10: 300)
Harapan …
Selamat tinggal masa lalu yang suram. Saat ini kita harus berubah. Kita harus menjadi lebih baik. Kita harus benci kembali ke masa silam yang penuh kegelapan. Semoga hari kita esok lebih baik dari masa suram dahulu. Moga Allah memberikan kita hidayah agar hari-hari kita bisa diisi dengan amalan sholih untuk mengganti kejelekan-kejelekan kita dahulu.Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


Perbuatan Bidah Lebih Dicintai Iblis Daripada Maksiat..


stop-bidah1Mengapa Dosa Bid’ah Lebih Besar dari Maksiat?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz mau tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?
(0274- 7829942)
Jawab:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Sampai saat ini kami belum menjumpai hadits Nabi yang isinya sebagaimana yang ditanyakan. Namun mungkin yang dimaksudkan adalah perkataan seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri:
قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.
Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Qs. Fathir:8)
Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata, “Kubinasakan anak keturunan Adam dengan dosa namun mereka membalas membinasakanku dengan istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut maka kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka berbuat dosa namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].
Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama. Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan yang terlarang. [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu Fatawa 20/103].
Ketentuan ini hanya bernilai benar dan berlaku jika tidak ada indikator dan kondisi yang menyebabkan berubahnya status sebuah maksiat atau bid’ah.
Di antara contoh untuk indikator dan kondisi yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Sebuah penyimpangan baik berbentuk maksiat atau bid’ah akan besar dosanya jika dilakukan secara terus menerus, diiringi sikap meremehkan, anggapan kalau hal itu dibolehkan, dilakukan secara terang terangan atau sambil mengajak orang lain untuk melakukannya. Demikian pula sebuah maksiat atau bid’ah itu nilai dosanya berkurang jika dilakukan sambil sembunyi-sembunyi, tidak terus menerus atau penyesalan dan taubat.
Contoh lain untuk indikator adalah sebuah penyimpangan itu semakin besar dosanya jika bahaya yang ditimbulkannya semakin besar. Penyimpangan yang merusak prinsip-prinsip pokok agama itu dosanya lebih besar dari pada yang merusak hal-hal parsial dalam agama. Demikian pula, sebuah penyimpangan yang merusak agama itu lebih besar dosanya dibandingkan penyimpangan yang sekedar merusak jiwa.
Ringkasnya, ketika kita akan membandingkan bid’ah dengan maksiat maka kita harus memperhatikan situasi dan keadaan, menimbang manfaat dan bahaya dari komparasi tersebut dan memikirkan efek yang mungkin terjadi di kemudian hari dari pembandingan tersebut.
Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya bid’ah sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).
Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah supaya kita menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.

Mengapa Dosa Bid’ah Lebih Besar dari Maksiat?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz mau tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?
(0274- 7829942)
Jawab:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Sampai saat ini kami belum menjumpai hadits Nabi yang isinya sebagaimana yang ditanyakan. Namun mungkin yang dimaksudkan adalah perkataan seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri:
قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.
Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Qs. Fathir:8)
Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata, “Kubinasakan anak keturunan Adam dengan dosa namun mereka membalas membinasakanku dengan istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut maka kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka berbuat dosa namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].
Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama. Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan yang terlarang. [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu Fatawa 20/103].
Ketentuan ini hanya bernilai benar dan berlaku jika tidak ada indikator dan kondisi yang menyebabkan berubahnya status sebuah maksiat atau bid’ah.
Di antara contoh untuk indikator dan kondisi yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Sebuah penyimpangan baik berbentuk maksiat atau bid’ah akan besar dosanya jika dilakukan secara terus menerus, diiringi sikap meremehkan, anggapan kalau hal itu dibolehkan, dilakukan secara terang terangan atau sambil mengajak orang lain untuk melakukannya. Demikian pula sebuah maksiat atau bid’ah itu nilai dosanya berkurang jika dilakukan sambil sembunyi-sembunyi, tidak terus menerus atau penyesalan dan taubat.
Contoh lain untuk indikator adalah sebuah penyimpangan itu semakin besar dosanya jika bahaya yang ditimbulkannya semakin besar. Penyimpangan yang merusak prinsip-prinsip pokok agama itu dosanya lebih besar dari pada yang merusak hal-hal parsial dalam agama. Demikian pula, sebuah penyimpangan yang merusak agama itu lebih besar dosanya dibandingkan penyimpangan yang sekedar merusak jiwa.
Ringkasnya, ketika kita akan membandingkan bid’ah dengan maksiat maka kita harus memperhatikan situasi dan keadaan, menimbang manfaat dan bahaya dari komparasi tersebut dan memikirkan efek yang mungkin terjadi di kemudian hari dari pembandingan tersebut.
Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya bid’ah sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).
Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah supaya kita menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.

Shalat Tapi Masih Maksiat?


Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Pertanyaan:
Assalamu’laikum.
Pak Ustadz, ada sebuah pertanyaan dari teman di Indonesia, yang saya kurang bisa menjawabnya, boleh saya menanyakan sesuatu?
Begini, kan Shalat itu untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, bagaimana jika ada orang (katakanlah si fulan), dia tetap mengerjakan shalat, tapi ia tetap melakukan maksiat?
Si Fulan ini gemar melakukan maksiat, ia suka berzinah, atau berjudi , atau minum2.
Katakanlah, ia melakukan hanya salah satu perbuatan maksiat tersebut diatas. Misalnya, si Fulan ini shalatnya rajin, tetap kadang2 ia suka melakukan zina, tetapi setelah itu ia shalat, tetapi selang beberapa waktu kemudian berzina lagi, dengan anggapan daripada tidak shalat sama sekali, berzina sudah melakukan suatu dosa, kalau tidak shalat, maka dosanya menjadi 2x lipat.
Begitu juga dengan si A, orang yg suka berjudi, judi jalan terus, shalatpun tidak ketinggalan.
Kalau begitu apa fungsi shalat bagi mereka? hanya sekedar kewajiban?
Apakah shalatnya diterima? atau karena ia merasa tidak mau mendapatkan dosa 2x lipat sehingga shalatnya tetap tdk ditinggalkan?
Dan jika dinasehati (karena sesama muslim kita wajib menasehati), ia akan menjawab, hanya Tuhan yang Maha Tahu, apakah pahala saya diterima atau tidak, bukan Anda yang berhak mengadili saya. Apakah kita harus bersikap keras dengan orang tersebut? atau lunak?
Karena anggaplah, orang ini mengerti tentang agama, tetapi tetap menjalankan maksiat (meski ia tidak meninggalkan kewajibannya).
Mohon jawaban dari Ustadz, beserta ayat2 Alqur’an mengenai hal tersebut diatas.
Terimakasih,
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,

بسم الله الرحمن الرحيم.

الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Pertama-tama yang harus saudari yakini adalah apa yang Allah Ta’ala sebutkan di dalam Al Quran;

{…وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ }

Artinya: “…dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fahsya (dosa-dosa yang diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai dalam arti zina dan yang semisal dengannya) dan mungkar (segala macam bentuk dosa dan kesalahan)”. (QS. Al Ankabut: 45)
Fahsya: dosa-dosa yang diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai dalam arti zina dan yang semisal dengannya.
Mungkar: segala macam bentuk dosa dan kesalahan.
Dari ayat ini kita bisa mengambil sebuah pelajaran, bahwa shalat mencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar, tetapi perlu diingat shalat yang mencegah perbuatan fahsya dan mungkar adalah shalat yang disempurnakan di dalamnya rukun-rukun, kewajiban-kewajiban serta kekhusyu’annya, mari perhatikan perkataan yang sangat bermakna dari ulama ahli tafsir abad ke 14 Hijriyyah, Syeikh Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah:

ووجه كون الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر، أن العبد المقيم لها، المتمم لأركانها وشروطها وخشوعها، يستنير قلبه، ويتطهر فؤاده، ويزداد إيمانه، وتقوى رغبته في الخير، وتقل أو تعدم رغبته في الشر، فبالضرورة، مداومتها والمحافظة عليها على هذا الوجه، تنهى عن الفحشاء والمنكر، فهذا من أعظم مقاصدها وثمراتها. وثَمَّ في الصلاة مقصود أعظم من هذا وأكبر، وهو ما اشتملت عليه من ذكر اللّه، بالقلب واللسان والبدن. فإن اللّه تعالى، إنما خلق الخلق لعبادته، وأفضل عبادة تقع منهم الصلاة، وفيها من عبوديات الجوارح كلها، ما ليس في غيرها، ولهذا قال: { وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ }

Artinya: “Sisi keberadaan shalat mencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar yaitu; ketika seorang hamba yang mendirikan shalat, menyempurnakan akan rukun-rukun, syarat-syarat dan kekhusyu’annya, maka hatinya akan bersih, perasaannya akan jernih, imannya akan bertambah, bertambah kuat keinginannya untuk melaksanakan kebaikan dan berkurang atau hilang keinginannya untuk mengerjakan keburukan, makanya pastinya, dengan selalu mengerjakan dan menjaga shalat dalam keadaan yang seperti ini, maka shalatnya akan mencegah dari perbuatan fahsya dan mungkar. Dan ini termasuk dari tujuan dan hasil yang sangat agung dari shalat tersebut. Kemudian di dalam shalat juga, terdapat tujuan yang lebih agung dan lebih besar dari ini, yaitu apa yang terkumpul di dalamnya berupa mengingat Allah baik dengan hati, lisan dan badan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan makhluknya hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan ibadah yang paling utama dari mereka (para makhluk) adalah shalat, karena di dalamnya terdapat pengabdian seluruh anggota tubuh yang tidak terdapat dalam ibadah lain, oleh sebab inilah Allah Ta’ala berfirman:

{ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ }

“Dan mengingat Allah adalah lebih agung”. (Lihat kitab Taisir Al Karim Ar Rahman, karya As Sa’di)
Kalau sudah difahami hal di atas, jadi permasalahannya bukan pada penegasan yang ada pada ayatnya, tetapi lebih kepada pelaku shalat itu sendiri yang kurang menyempurnakan rukun, kewajiban atau khusyu’nya sehingga shalatnya tidak berfungsi sebagaimana yang ditegaskan di dalam ayat yang mulia. Shalat bukan hanya sekedar gerakan-gerakan tubuh yang tidak meninggalkan pengaruh dan bekas positif dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa selalu taat kepada Allah Ta’ala.
Kedua, memang benar bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui amalannya ditolak atau diterima Allah Ta’ala, karena hal itu adalah hak Allah Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini juga dikarenakan manusia adalah makhluk yang kemampuan penalarannya terbatas, tidak mengetahui apakah pelaku dari sebuah ibadah itu, ketika dia melakukannya benar-benar ikhlas atau tidak. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا ».

Artinya: “Sesungguhnya seseorang menyelesaikan (shalatnya) dan tidak dituliskan baginya melainkan 1/10, 1/9, 1/8, 1/7, 1/6, 1/5, 1/4, 1/3 dan ½ dari shalatnya”. (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Abu Daud)
Seseorang kadang terlihat melakukan amal ibadah ternyata dia penghuni neraka, coba perhatikan apa yang menyebabkan hal itu:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا ، فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى عَسْكَرِهِ ، وَمَالَ الآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ ، وَفِى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ لاَ يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلاَّ اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ ، فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ » . فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ . قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ الرَّجُلُ الَّذِى ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ . فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ . فَخَرَجْتُ فِى طَلَبِهِ ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِى الأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ ذَلِكَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ » .

Sahl bin Sa’ad As Sa’idy radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan kaum musyrik, lalu mereka berperang. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pulang ke tempat peristirahatan beliau dan dan yang lain pulang ke tempat peristirahatan mereka, dan pada waktu di tengah-tengah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam terdapat seorang lelaki yang tidaklah dia bertemu dengan musuh melainkan dia ikuti dan dia tebas dengan pedangnya. Lalu ada yang berkata: “Pada hari ini, tidak ada seorangpun yang lebih berani sebagaimana beraninya si fulan”. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dia penghuni neraka”, kemudian seorang dari mereka (para shahabat) berkata: “Aku yang akan menemaninya”, lalu dia pun keluar bersama dengan si fulan tadi, berhenti dimana si fulan tadi berhenti dan jika si fulan bergerak maka dia bergerak bersamanya, lalu akhirnya si fulan tadi terluka dengan luka yang sangat parah, lalu dia menyegerakan kematian. Dia letakkan gagang pedangnya di tanah dan ujungnya dia tancapkan diantara kedua susunya (/di dadanya), kemudian dia tusukkan pedangnya tadi ke dadanya dan akhirnya dia membunuh dirinya sendiri. Lalu orang (yang mengikuti tadi) pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Aku bersyahadat bahwa engkau adalah Rasulullah”, beliau bertanya: “Ada apa gerangan dengan syahadatmu itu?”, orang ini menjawab: “Lelaki yang engkau sebutkan tadi dia adalah penghuni neraka, padahal orang-orang mengagungkannya, dan aku katakan bahwa aku yang akan menemaninya, lalu akupun mencarinya dan aku dapati dia dalam keadaan terluka sangat parah, lalu dia menyegerakan kematian. Dia letakkan gagang pedangnya di tanah dan ujungnya dia tancapkan diantara kedua susunya (/di dadanya), kemudian dia tusukkan pedangnya tadi ke dadanya dan akhirnya dia membunuh dirinya sendiri. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang benar-benar mengerjakan amalan penghuni surga menurut pandangan manusia, padahal dia adalah penghuni neraka dan seseorang benar-benar mengerjakan amalan penghuni neraka menurut pandangan manusia, padahal dia adalah penghuni surga”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketiga, perlu diketahui bahwa dosa-dosa yang dikerjakan oleh seseorang, baik dosa kecil apalagi dosa besar, tidak menjadikannya sebagai sebuah alasan untuk meninggalkan shalat, karena shalat lima waktu diwajibkan bagi seorang muslim baligh dan berakal dalam keadaan bagaimanapun kecuali wanita yang haid.
Sekali lagi perlu diingat baik-baik, maksiat yang dilakukan oleh seseorang tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk meninggalkan shalat lima waktu, apapun maksiat yang dilakukan. Dia harus tetap shalat dan tidak boleh meninggalkannya hanya karena dia melakukan maksiat, semoga shalatnya mencegahnya dari melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana Firman Allah Ta’ala:

وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [العنكبوت:45].

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fahsya dan mungkar”. (QS. Al Ankabut: 45)
Al Baidhawi berkata di dalam kitab tafsir: “Shalatnya akan menjadi sebab untuk menghentikan maksiat-maksiat, ketika dia sibuk dengan shalatnya atau sibuk dengan selainnya dari amalan yang mengingatkan kepada Allah dan mewariskan kepada dirinya perasaan takut kepada-Nya. (Lihat Tafsir Al Baidhawi)
Akan tetapi siapa yang shalat, lalu dia juga melakukan fahsya dan mungkar, maka dia telah mencampurkan amal shalih dengan keburukan, jika dosanya lebih banyak daripada pahalanya maka dia akan binasa pada hari kiamat kecuali jika dia mendapatkan rahmat Allah Ta’ala.
Keempat, yang harus dilakukan kepada orang seperti ini adalah menasehatinya dengan lembut dan perkataan yang baik, dengan menjelaskan bahwa seorang hamba Allah Ta’ala semestinya harus benar-benar total dalam menghambakan dirinya kepada Allah Ta’ala, tidak setengah-setengah sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ} [البقرة: 208]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah: 208)
Mujahid rahimahullah berkata: “Kerjakanlah seluruh amal dan perbutan baik”.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Masuklah kalian ke dalam syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah kalian tinggalkan sedikitpun darinya, hal itu sudah mencukupi untuk beriman kepada kitab Taurat dan apa yang ada di dalamnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Wallahu a’lam.
Ahmad Zainuddin
Sabtu, 25 Jumadal Akhirah 1432H
Dammam KSA.

Taat pada Pemimpin pada Selain Perkara Maksiat


Tatkala senang dan tidak suka, tetap wajib taat terhadap keputusan dan perintah kaum muslimin. Beda dengan sikap sebagian golongan yang enggan taat pada pemimpinnya, lebih mementingkan kepentingan individu dan golongan dibanding persatuan kaum muslimin. Padahal mentaati pemimpin atau penguasa demi terjaganya kemaslahatan bersama lebih pantas diutamakan.

Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada hadits no. 663 dengan judul bab yang beliau bawakan, “Wajib taat terhadap pemimpin kaum muslimin selain dalam hal maksiat dan haram taat pada mereka dalam hal maksiat.” Berikut hadits yang beliau bawa.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ »
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Wajib mentaati pemimpin atau imam kaum muslimin dalam segala perkara, baik dalam keadaan suka maupun tidak suka.
2- Tidak boleh mentaati penguasa dalam hal maksiat, tidak ada ketaatan dalam bermaksiat pada Allah.
3- Setiap muslim wajib mengenyampingkan kepentingan individu dan kelompok, lalu memilih perkara yang lebih menyatukan kaum muslimin.
Semoga faedah dari hadits di atas bermanfaat bagi kita sekalian. Semoga bisa diamalkan.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 654.

Akhukum fillah,
Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Tiada ulasan: