Hukum Berdakwah Dan Keutamaannya, Prioritas Dan Pokok-Pokok Utama Dakwah Tidak Berubah
Selasa, 8 April 2008 14:39:46 WIB
Kategori : Dakwah
Kategori : Dakwah
HUKUM BERDAKWAH DAN KEUTAMAANNYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami mohon kiranya Syaikh berkenan menerangkan tentang hukum berdakwah dan keutamaannya?
Jawaban
Hukumnya, telah ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah tentang wajibnya berdakwah mengajak menusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu bahwa berdakwah termasuk kewajiban. Dalilnya sangat banyak, di antaranya, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." [Ali Imran : 104]
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." [An-Nahl : 125]
"Dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu, danjanganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb." [Al-Qashash : 87]
"Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata." [Yusuf : 108]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para dai dan para pemilik ilmu yang mapan. Dan yang wajib sebagaimana diketahui, adalah mengikutinya dan menempuh cara yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." [Al-Ahzab : 21]
Para ulama menjelaskan, bahwa mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala hukumnya fardhu kifayah di negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang sudah ada para da'inya yang melaksanakannya. Jadi, setiap negeri dan setiap wilayah memerlukan dakwah dan aktifitasnya, maka hukumnya fardhu kifayah jika telah ada orang yang mencukupi pelaksanaannya sehingga menggugurkan kewajiban ini terhadap yang lainnya dan hanya berhukum sunnah muakkadah dan sebagai suatu amalan yang agung.
Jika di suatu negeri atau suatu wilayah tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah dengan sempurna, semuanya berdosa, dan wajib atas semuanya, yaitu atas setiap orang untuk melaksanakan dakwah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Adapun secara nasional, wajib adanya segolongan yang konsisten melaksanakan dakwah di seluruh penjuru negeri dengan menyampaikan risalah-risalah Allah dan menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengutus para dai dan berkirim surat kepada para pembesar dan para raja untuk mengajak mereka ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
[Majalah At-Buhuts Al-lslamiyyah, edisi 40 hal. 135-136]
PRIORITAS DAN POKOK-POKOK UTAMA DAKWAH TIDAK BERUBAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prioritas dakwah Islamiyah berubah-rubah dari masa ke masa dan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya? Lalu, apakah menyerukan aqidah yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Saw, harus pula dilakukan oleh para dai di setiap zaman?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi, bahwa prioritas dan pokok-pokok dakwah Islamiyah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat tetap sama, tidak berubah karena perubahan zaman. Adakalanya sebagian pokok-pokok itu telah terealisasi pada suatu kaum dan tidak ada hal yang menggugurkannya atau mengurangi bobotnya, pada kondisi seperti ini, sang da’i harus membahas perkara-perkara lainnya yang dipandang masih kurang. Kendati demikian, pokok-pokok dakwah Islamiyah sama sekali tidak berubah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda.
"Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalam. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka." [HR. Al-Bukhari dalam Az-Zakah (1458), Muslim dalam Al-Iman(19)]
Itulah pokok-pokok dakwah yang harus diurutkan seperti demikian ketika kita mendakwahi orang kafir. Tapi jika kita mendakwahi kaum muslimin yang telah mengetahui pokok pertama, yaitu tauhid dan tidak ada hal yang menggugurkan atau menguranginya, maka kita menyerukan kepada mereka pokok-pokok selanjutnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits tadi.
[Kitabud Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/154-155)]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami mohon kiranya Syaikh berkenan menerangkan tentang hukum berdakwah dan keutamaannya?
Jawaban
Hukumnya, telah ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah tentang wajibnya berdakwah mengajak menusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu bahwa berdakwah termasuk kewajiban. Dalilnya sangat banyak, di antaranya, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." [Ali Imran : 104]
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." [An-Nahl : 125]
"Dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu, danjanganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb." [Al-Qashash : 87]
"Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata." [Yusuf : 108]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para dai dan para pemilik ilmu yang mapan. Dan yang wajib sebagaimana diketahui, adalah mengikutinya dan menempuh cara yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." [Al-Ahzab : 21]
Para ulama menjelaskan, bahwa mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala hukumnya fardhu kifayah di negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang sudah ada para da'inya yang melaksanakannya. Jadi, setiap negeri dan setiap wilayah memerlukan dakwah dan aktifitasnya, maka hukumnya fardhu kifayah jika telah ada orang yang mencukupi pelaksanaannya sehingga menggugurkan kewajiban ini terhadap yang lainnya dan hanya berhukum sunnah muakkadah dan sebagai suatu amalan yang agung.
Jika di suatu negeri atau suatu wilayah tertentu tidak ada yang melaksanakan dakwah dengan sempurna, semuanya berdosa, dan wajib atas semuanya, yaitu atas setiap orang untuk melaksanakan dakwah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Adapun secara nasional, wajib adanya segolongan yang konsisten melaksanakan dakwah di seluruh penjuru negeri dengan menyampaikan risalah-risalah Allah dan menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengutus para dai dan berkirim surat kepada para pembesar dan para raja untuk mengajak mereka ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
[Majalah At-Buhuts Al-lslamiyyah, edisi 40 hal. 135-136]
PRIORITAS DAN POKOK-POKOK UTAMA DAKWAH TIDAK BERUBAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prioritas dakwah Islamiyah berubah-rubah dari masa ke masa dan dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya? Lalu, apakah menyerukan aqidah yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Saw, harus pula dilakukan oleh para dai di setiap zaman?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi, bahwa prioritas dan pokok-pokok dakwah Islamiyah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat tetap sama, tidak berubah karena perubahan zaman. Adakalanya sebagian pokok-pokok itu telah terealisasi pada suatu kaum dan tidak ada hal yang menggugurkannya atau mengurangi bobotnya, pada kondisi seperti ini, sang da’i harus membahas perkara-perkara lainnya yang dipandang masih kurang. Kendati demikian, pokok-pokok dakwah Islamiyah sama sekali tidak berubah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda.
"Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalam. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka." [HR. Al-Bukhari dalam Az-Zakah (1458), Muslim dalam Al-Iman(19)]
Itulah pokok-pokok dakwah yang harus diurutkan seperti demikian ketika kita mendakwahi orang kafir. Tapi jika kita mendakwahi kaum muslimin yang telah mengetahui pokok pertama, yaitu tauhid dan tidak ada hal yang menggugurkan atau menguranginya, maka kita menyerukan kepada mereka pokok-pokok selanjutnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits tadi.
[Kitabud Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/154-155)]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Antara Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Dalam Islam ada yang namanya fiqh
hukum dan ada fiqh dakwah, dan pendekatan keduanya berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Adapun fiqh hukum itu hanya ada hitam-putih dan
jelas, bila terkait hukum benda maka hukumnya halal atau haram, bila
terkait amal perbuatan maka hukumnya ada 5 (ahkamu-khamsah) yaitu
wajib-sunnah-mubah-makruh-haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih
fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, dan sebagaiman yang
kita pahami, dakwah itu memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.
Keduanya, baik pendekatan fiqh maupun
pendekatan dakwah tetap harus dilandaskan pada dalil Islam yang
disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan
Qiyas
Misalnya ketika ada seorang Muslimah
bertanya “Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan?”, maka pendekatan
fiqh dan dakwah bisa berbeda untuk menjawab pertanyaan ini.
Secara pendekatan fiqh hukum, jawabannya
jelas “haram” bagi wanita tidak berhiijab atau melepas hijab selain
kepada mahramnya, namun pendekatan dakwahnya bisa dijawab dengan
menyemangati dan diajak pelan-pelan untuk memahami kewajiban berhijab.
Secara dakwah kita sampaikan tentang “meyakini bahwa rezeki adalah dari
Allah bukan dari bos” atau “bahwa Allah pasti membantu hambanya yang
taat” misalnya.
Pendekatan secara dakwah ini intinya
menguatkan, memotivasi dan memberikan harapan agar pelaku maksiat tak
lari dari pendakwah, mau terus belajar agar pemahamannya meningkat, dan
bila pemahamannya sudah meningkat, insyaAllah kemaksiatannya akan
ditinggalkan.
Tapi bagaimanapun juga tidak boleh bagi
kita melegitimasi kesalahan seseorang hanya dengan alasan itu adalah
bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga
membuat bias hukum suatu hal yang sudah jelas, dengan dalih dilakukan
untuk menyampaikan dakwah
Misalnya ada yang berkata “Saya mau ikut kajian, tapi masih pacaran, boleh nggak?”
kita tak bisa menjawab, “ah nggak papa”
ikut aja dulu, karena merasa tak enak atau karena ingin dia ikut pada
kita terlebih dahulu, karena kita justru melegitimasi pacaran yang
maksiat tanpa menjelaskan hukumnya padanya. akan tetapi kita harus
jelaskan haramnya pacaran, sambil tetap mengajaknya ikut kajian, itu
baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar.
Jadi saat ditanya “Apa hukum membuka
hijab bagi wanita?”, jawabannya harus tegas “ya haram”, tidak boleh
dibiaskan, karena itu sangat berbahaya. Apalagi menjawab dengan kalimat
multi intepretasi seperti “Hijab itu kan pilihan, seperti iman atau
kafir itu pilihan”. Jawaban semisal ini hanya akan membingungkan ummat
Islam memang tak memaksa dan memberi
pilihan untuk menjadi seorang Muslim atau tidak, menjadi beriman atau
malah kufur ingkar, namun bila seseorang sudah memilih menjadi seorang
Muslim, maka ia wajib terikat hukum Islam. Analoginya, “saya tidak
memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya
harus ikut aturan saya”. Logis.
Karena itulah selepas Rasul wafat ada
kaum yang menolak melaksanakan kewajiban zakat. Maka Khalifah Abu Bakar
nan lembut itu lalu memerangi mereka agar mereka mau melaksanakan
kewajibannya. Mereka tidak dipaksa masuk Islam, namun bila sudah memilih
Islam ya kewajibannya membayar zakat.
Maka dalam Islam, harus ditegaskan betul
bahwa hukum berhijab itu adalah suatu keharusan – “hukumnya wajib”
bukan pilihan – “hukumnya mubah” adapun cara dakwah, bisa banyak macam
dan gaya yang bisa digunakan. Ada yang dengan menyentuh logika, ada yang
menyentuh emosional, sah-sah saja. Namun hukum fiqhnya harus
disampaikan bahwa hijab itu wajib. Jangan sampai kita mengubah status
hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan
banyak orang dari hukum Allah
Santun berdakwah, halus tutur bahasa, memikat amalnya, itulah fiqh dakwah, yakni sampaikan kebenaran dengan cara yang lebih baik
Juga saat ditanya “Apakah Muslimah
berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng
kepribadian?”, maka kita harusnya meneliti kalimat pertanyaan sebelum
menjawab, karena pertanyaan semisal ini bukan pertanyaan biasa melainkan
pertanyaan menjebak, yang menuntun penjawab agar sesuai kehendak
penanya
Maka tak elok bila kita menjawab, “Oh
iya, sekarang banyak orang menggunakan simbol agama untuk mencapai
popularitas, uang, dsb..” Sangat-sangat tak elok
Lalu bagaimana kesimpulan pendengar saat
mendengar jawaban semisal itu? Kira-kira begini “Ohh orang berhijab
banyak parah ya? mendingan hijab hati deh” atau “Iya bener, mendingan
kita nggak usah simbol-simbol agama deh, yang penting baik”
Lalu makin banyaklah orang beralasan
saat ditanya kenapa belum tunaikan kewajiban hijab? “Ah itu si fulanah
aja berhijab, tapi ancur”
Seharusnya pertanyaan “Apakah Muslimah
berhijab pasti baik? sekarang pakaian banyak dijadikan topeng
kepribadian” yang menjebak itu dijawab dengan kalimat, “Muslimah
berhijab memang belum tentu baik, tapi yang baik tentulah berhijab”. Ini
jawaban yang menguatkan, dan insyaAllah jadi kebaikan berterusan
Betul bahwa kemauan dari dalam itu lebih
kuat dibanding paksaan, namun bukan berarti selama menunggu kemauan,
kewajiban jadi hilang. Jadi tidak berarti ketika seorang Muslimah belum
memiliki kemauan diri, lantas dosanya tidak berhijab menjadi hilang.
Karena ada manusia yang mendapat hidayah dari paksaan, terpaksa lalu
biasa, dan biasa jadi istimewa. Awalnya terpaksa dan akhirnya ikhlas
Terkait paksaan ini, simak hadits Rasulullah saw
“Menangislah kamu semua, dan bila kamu tidak dapat menangis maka paksakan menangis!” (HR Ibnu Majah)
Perintah paksaan menangis ini terkait
banyaknya perintah dari Allah dan Rasul, agar kita menangis karena takut
akan Allah, karena airmata yang jatuh dari mata yang menangis karena
takut Allah, insyaAllah diharamkan dari api neraka.
Maka Muslimah yang belum bisa berhijab
pun seharusnya “memaksakan” diri dalam ketaatan, pasti Allah mudahkan
dalam jalan taatnya. Bukan malah beralasan “tidak mau memaksakan” lantas
menunda kewajiban, padahal hanya bagian kemalasan dan kelalaian saja.
Sampaikan kebenaran pada ummat agar
mereka mengetahuinya dan sampaikan dengan cara yang baik pula, setelah
itu tuntaslah tugas sebagai penyampai peringatan dan kabar gembira lalu
semuanya sempurnakan dengan tawakal
Buat yang sudah berhijab, semoga
istqamah dalam kewajiban, dan menikmatinya. Bagi yang belum, selamat
“memaksakan” diri untuk taat. Allah mendekat pada orang yang mendekat
pada-Nya. Allah selalu memudahkan orang yang mau taat pada-Nya
akhukum,
@felixsiauw
@felixsiauw
Dakwah sudah menjadi wajib 'ain?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyerukan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itu sajalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104). Inilah karakter umat terbaik yang Allah ciptakan untuk peradaban umat manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi manusia;kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110).
Terlepas dari wajib kifayah atau wajib ‘ain status hukumnya, maka sesungguhnya para ulama telah menerangkan berbagai kondisi yang menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi dihukumi wajib ‘ain bagi setiap orang. Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman al-Huqail menjelaskan hal itu di dalam kitabnya ‘al-Amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil mungkar fi dhau’i Kitabillah’ (hal.52-53, as-Syamilah). Di antara keadaan tersebut adalah :
Pertama :
Bagi orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah Islam untuk mengurusi hal itu. al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kewajiban hal itu adalah fardhu ‘ain bagi petugas amar ma’ruf nahi mungkar yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kewajiban hal itu bagi orang selain dirinya adalah termasuk dalam kelompok fardhu kifayah.” (al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 20)
Penyusun berkata :
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa keberadaan sebuah lembaga khusus untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh para pemerintah kaum muslimin demi terjaganya keselamatan umat. Sebuah lembaga yang akan mendakwahkan tauhid, sunnah dan ketaatan serta memperingatkan dan menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang dengan terang-terangan mengajak kepada syirik, kekafiran, bid’ah dan kemaksiatan. Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada para pemimpin kita untuk mewujudkan hal itu.
Kedua :
Apabila suatu perkara yang ma’ruf sudah tidak lagi diketahui oleh banyak orang dan suatu perkara yang mungkar pun telah merajalela sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya selain orang tersebut, maka baginya hukum amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi fardhu ‘ain. an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hukum amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, kemudian terkadang hal itu berubah menjadi fardhu ‘ain apabila dalam suatu keadaan atau tempat di mana tidak ada yang mengetahui hukumnya selain dia.” (Syarh Nawawi [2/23])
Penyusun berkata :
Hal ini mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya peranan media informasi untuk menyebarkan dakwah kepada masyarakat. Termasuk di dalamnya penggunaan penerbitan buku, majalah, buletin, dan lain sebagainya untuk menerangkan kepada masyarakat mengenai hukum dan ajaran Islam, dengan media internet, percetakan maupun penyiaran.
Ketiga :
Apabila untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar diperlukan diskusi dan dialog serta penjelasan argumentasi maka hal itu menjadi fardhu ‘ain bagai setiap orang yang pantas dan layak untuk melakukannya. Ibnu al-’Arabi al-Maliki rahimahullah mengatakan, “Beramar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah… dan terkadang ia menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan diskusi dan perdebatan, atau ketika orang lain sudah mengenalnya ahli di dalam bidang tersebut.” (Ahkam al-Qur’an [1/122]).
Penyusun berkata :
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa melakukan diskusi, dialog dan perdebatan merupakan salah satu cara dalam berdakwah namun harus dilakukan dengan cara yang benar dan oleh pihak yang berkemampuan bukan oleh sembarang orang. Oleh sebab itulah para ulama salaf tidak bermudah-mudahan untuk menerima tantangan debat atau mengajak orang lain untuk bergabung dalam ajang diskusi, karena untuk melakukannya benar-benar diperlukan bekal yang tidak sedikit dan dibutuhkan kesabaran dan sikap yang bijak serta ketulusan niat untuk mencari kebenaran.
Keempat :
Apabila seseorang memiliki kemampuan untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar sementara orang selain dirinya tidak melakukannya maka hal itu menjadi fardhu ‘ain baginya. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan hal itu -amar ma’ruf dan nahi mungkar- adalah fardhu kifayah dan berubah menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang mampu melakukannya sementara orang lain tidak melakukan hal itu.” (al-Hisbah fi al-Islam, hal. 37).
Penyusun berkata :
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa setiap masyarakat atau kampung memerlukan orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan oleh sebab itu maka diperlukan sebuah sistem pendidikan Islam yang mengajarkan kepada mereka perkara-perkara yang ma’ruf dalam Islam dan menerangkan perkara-perkara yang mungkar menurut syari’at Islam. Wallahu a’lam.
Kelima :
Pada saat berbagai kemungkaran merajalela dan para da’i yang mengajak kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar berjumlah sedikit maka hal itu akan dapat berubah menjadi fardhu ‘ain. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka pada saatnya sedikitnya jumlah para da’i, dan banyaknya kemungkaran yang bertebaran, terlebih ketika kebodohan telah mendominasi sebagaimana kondisi kita pada hari ini maka hukum berdakwah itu menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.” (ad-Da’wah ila Allah, hal.16).
Penyusun berkata :
Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada zaman sekarang ini amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban agung yang terletak di atas pundak para pemuda Islam sebab merekalah para penerus perjuangan di masa depan dan karena mereka adalah kalangan masyarakat yang lebih mudah untuk menerima perubahan. Kalau kaum muda sudah hanyut dalam berbagai penyimpangan maka itu artinya masa depan umat Islam akan terancam mengalami kehancuran. Sekarang saja, kemungkaran itu sudah merajalela dan terpampang di depan mata manusia tanpa ada rasa malu lagi, maka bagaimanakah lagi ketika di masa depan kaum muda yang sekarang larut dalam foya-foya dan jauh dari bimbingan agama bisa diharapkan untuk menjadi generasi penerus perjuangan umat Islam? Oleh sebab itu wajib bagi mereka untuk kembali kepada agama Islam dan menekuni al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar yaitu sebagaimana yang dipahami oleh para ulama salaf as-Shalih sebelum nantinya mereka bergerak dan bertindak untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan landasan ilmu yang benar di tengah-tengah masyarakat yang kian hari kian bertambah sakit dan terus menerus menjerit. Wallahul musta’aan.
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Ahad 16 Rabi’ul Akhir 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tua
serta kaum muslimin semua
Hukum Mencari Nafkah dari Berdakwah
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Abdurrahman yang dimuliakan Allah swt
Jumhur ulama berpendapat dibolehkan bagi seorang yang guru mengajarkan al Qur’an (guru ngaji) untuk mengambil upah dari pengajarannya tersebut berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; “Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.” Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; “Kamu mengambil upah atas kitabullah?” setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; “Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah.”
Hal itu juga diperkuat bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang lelaki untuk mengajarkan istrinya al Qur’an sebagai mahar baginya. (baca : Upah Mengajar Al-Qur’an)
Demikian halnya dengan seorang ustadz, guru agama, dosen-dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu agama atau para dai atau khotib yang menyampaikan ceramah-ceramahnya maka dibolehkan bagi mereka menerima upah dari pengajarannya itu sebagaimana dibolehkannya seorang yang mengajarkan Al Qur’an mengambil upah atau bayaran atau gaji dari pengajaran al Qur’annya kepada murid-muridnya.
Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa boleh mengambil upah dari mengajarkan ilmu-ilmu syar’i (baca : ilmu agama) seperti para ustadz (dosen) di Fakultas Syariah dan lainnya.
Al Khotib al Baghdadiy didalam “al Fiqh wa al Mutafaqqih” mengatakan,”diwajibkan bagi seorang imam (pemimpin) untuk memberikan kecukupan penghasilan kepada orang-orang yang menyerahkan dirinya untuk memberikan pengajaran didalam bidang fiqih atau fatwa hukum-hukum dan ambilah untuk itu dari baitul mal kaum muslimin. Jika di sana tidak terdapat baitul mal maka penduduk negeri harus bekerja sama menyisihkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepadanya (mufti) agar dia bisa fokus mencurahkan segenap waktunya untuk memberikan fatwa kepada mereka dan jawaban-jawaban dari permasalahan-permasalahan mereka. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 34050)
Namun hendaklah setiap ustadz, dai, khotib, dosen, guru agama atau orang-orang yang memberikan pengajaran dan pengetahuan tentang agama kepada orang lain yang mendapatkan bayaran atau gaji darinya tetap menjaga keikhlasan niatnya agar apa yang didapatnya itu tidak menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”
Wallahu alam,
Ustadz Sigit Pranowo
Bila ingin
memiliki karya beliau dari kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit
Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :
HUKUM BERDAKWAH DENGAN CERITA DUSTA
Kategori :
Larangan
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
Ustadz, seringkali ana mendapatkan email yg berisikan suatu kisah/cerita yg dimaksudkan agar kita mengambil hikmah didalamnya ataupun dimaksudkan sbg dakwah.
Yg ingin ana tanyakan adalah bagaimana hukum kisah/cerita hikmah tsb jika:
1. Kisah/cerita tsb merupakan kisah nyata.
2. Kisah/certia tsb merupakan karangan saja.
3. Kisah tsb merupakan kisah nyata namun berasal dari sumber non-muslim yg kemudian diubah redaksinya menjadi kisah yg "islami."
Jazakallahu khairan
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu, wa jazakumullah khairan.
Ustadz, seringkali ana mendapatkan email yg berisikan suatu kisah/cerita yg dimaksudkan agar kita mengambil hikmah didalamnya ataupun dimaksudkan sbg dakwah.
Yg ingin ana tanyakan adalah bagaimana hukum kisah/cerita hikmah tsb jika:
1. Kisah/cerita tsb merupakan kisah nyata.
2. Kisah/certia tsb merupakan karangan saja.
3. Kisah tsb merupakan kisah nyata namun berasal dari sumber non-muslim yg kemudian diubah redaksinya menjadi kisah yg "islami."
Jazakallahu khairan
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu, wa jazakumullah khairan.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
الحمد رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari perhatikan beberapa poin di bawah ini:
Pertama, kisah atau cerita asal hukumnya diperbolehkan jika kisah
itu benar, dalilnya adalah beberapa ayat suci yang ada di dalam Al
Quran Al Karim yang menunjukkan akan kebolehan bercerita, dari ayat-ayat
yang menunjukkan akan hal tersebut misalnya:
{ لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ
الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman". [QS. Yusuf : 111].
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka; tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [QS. Al Baqarah : 62].
{لَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا
وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ }
"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir". [QS. Al A’raf : 176].
{نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ
الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ
قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ}
"Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
al-Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami
mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui". [QS. Yusuf : 3].
{فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي
عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا
سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا
تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ }
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan dengan kemalu-maluan, ia berkata:"Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi
minum (ternak) kami".Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya).Syu'aib
berkata:"Janganlah kamu takut.Kamu telah selamat dari orang-orang yang
zalim itu". [QS. Al Qashash : 25].
Dan kalau kita perhatikan Al Quran Al Karim, maka akan kita dapatkan
penuh dengan cerita-cerita umat-umat terdahulu, semenjak Nabi Adam
sampai kepada Nabi Muhammad 'alaihimash shalatu wassalam, agar kaum
muslimin bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut. Wallahu
a'lam
Kedua, Cerita-cerita yang ada di dalam Al Quran Al Karim,
hadits-hadits yang shahih, cerita-cerita para shahabat radhiyallahu
'anhum, para tabi'in, para ulama setelahnya rahimahumullah dengan sanad
yang benar maka sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai bahan renungan,
dakwah, nasehat dan sebagainya, yang bermanfa'at bagi umat manusia
khususnya umat muslim.
Ketiga, Berbohong adalah dosa besar sebagaimana yang disebutkan
oleh para ulama yang mengarang kitab tentang dosa-dosa besar,
diantaranya Imam Adz Dzahabi dan yang lainnya rahimahumullah,karena dosa
berbohong di ancam masuk neraka. Hadits-hadits yang berkenaan dengan
dosa berbohong:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ،
وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى
الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا.
"Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikan menunjukkan kepada surga, sesungguhnya seseorang benar-benar
berkata jujur sehingga ia menjadi shiddiq (orang yang terpercaya), dan
sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa dan perbuatan dosa
menunjukkan kepada neraka dan sungguh seseorang benar-benar berdusta
sehingga ditulis di sisi Allah sebagai tukang dusta". [Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim].
مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِىَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ.
"Termasuk dari dusta yang paling besar adalah kedua matanya
memperlihatkan (menceritakan) sesuatu yang tidak pernah dilihat
olehnya." [Hadits riwayat Bukhari].
فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ
مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ
حَدِيدٍ ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِى أَحَدَ شِقَّىْ وَجْهِهِ فَيُشَرْشِرُ
شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى
قَفَاهُ - قَالَ وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو رَجَاءٍ فَيَشُقُّ - قَالَ ثُمَّ
يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الآخَرِ ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ
بِالْجَانِبِ الأَوَّلِ ، فَمَا يَفْرُغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى
يَصِحَّ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ
فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ الْمَرَّةَ الأُولَى . قَالَ قُلْتُ
سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ... وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ
عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ ،
وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ
فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الآفَاقَ.
“lalu kami berangkat mendatangi seseorang yang berbaring terlentang, dan
seorang lagi berdiri di sampingnya sambil memegang serokan besi pengait
bara, lalu menghampiri muka temannya dan mengoyak mulut hingga ke
tengkuknya dan tulang hidungnya hingga ke tengkuknya, dan matanya hingga
ke tengkuknya, lalu dia berpindah ke sisi tubuh temannya bagian yang
lain, lalu melakukan hal yang serupa, tatkala selesai mengoyak bagian
kedua, sisi tubuh bagian pertama kembali seperti sedia kala, dan dia
mengulanginya lagi seperti kali pertama, aku berkata: “Subhanallah (Maha
suci Allah)! Siapa mereka berdua?”…”Adapun lelaki yang mulut, hidung
dan matanya dikoyak hingga tengkuknya, adalah seorang yang keluar dari
rumahnya, lalu memberitakan kabar bohong yang samapi ke seluruh penjuru
dunia”. [HR. Bukhari]
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ. رواه مسلم
"Cukuplah seorang manusia dikatakan telah berdusta, jika ia mengatakan setiap sesuatu yang ia dengar." [Hadits riwayat Muslim]
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ
الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ، وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ
فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ، وَإِنْ كَانَ مَازِحًا،
وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلْقُهُ.
"Aku penjamin sebuah rumah di kebun surga bagi siapa yang meninggalkan
pertikaian meskipun ia benar, dan penjamin sebuah rumah di tengah-tengah
surga bagi siapa yang meninggalkan dusta meskipun ia bercanda, dan
penjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa yang baik
akhlaqnya."
[Hadits riwayat Abu Daud dan dihasankan oleh Imam Al Albani di dalam kitab Shahihul Jami'].
Keempat, Petunjuk terbaik adalah petunjuknya Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam, termasuk di dalamnya petunjuk untuk
berdakwah, karena berdakwah adalah ibadah maka tidak ada contoh yang
terbaik dalam berdakwah kecuali petunjuk Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam. Allah Ta'ala berfirman:
{قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى
اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
"Katakanlah, "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [QS. Yusuf : 108].
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Amma ba'du, maka sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah
Kitabullahi dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, dan
seburuk-buruk perkara adalah yang mengada-ada dan setiap bid'ah itu
sesat". [Hadits riwayat Muslim].
Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berdakwah
dengan kisah-kisah bohong, begitupula para shahabat beliau radhiyallahu
‘anhum.
Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan
sebab kebinasaan Bani Israel, tidak lain adalah karena mereka
mendongeng, berkisah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ لمَّا هَلَكُوا قَصُّوا
Artinya: “Sesungguhnya Bani Israel ketika binasa mereka berdongeng”.
[HR. Ath Thabarani di dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dan dishahihkan
oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no.
1681].
Ibnu Al Atsir rahimahullah berkata :
“Arti “Ketika binasa mereka berdongeng” adalah mereka bersandar kepada
ucapan dan meninggalkan amal, maka hal itu penyebab kebinasaan mereka,
atau kebalikannya, yaitu mereka binasa dengan meninggalkan amal dan
akhirnya mereka hanya mendongeng”. [Lihat kitab An Nihayah Fi Gharib al
Ahadits].
Berkata Al Albani rahimahullah:
“Dapat juga dikatakan, bahwa sebab kehancuran mereka adalah para dai
mereka memperhatikan kisah-kisah dan hikayat tanpa fikih dan ilmu yang
bermanfaat yang mengenalkan kepada manusia perihal agama mereka,
akhirnya hal itu membawa mereka kepada amal shalih (tanpa ilmu dan
pemahaman), maka ketika mereka melakukan itu mereka binasa”. Lihat kitab
Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1681.
Berkata Ibnu Al Jauzy rahimahullah:
“Para Ahli Kisah tidak dicela dari sisi namanya ini, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
نَحْنُ نَقصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ القَصَص
Dan juga berfirman:
فَاقْصُص القَصَص
Tetapi para ahli kisah dicela, karena kebanyakan mereka terlalu mudah
menyebutkan kisah-kisah tanpa menyebutkan ilmu yang bermanfaat, kemudian
kebanyakan mereka keliru dalam penyampaian dan terkadang bersandar
dengan sesuatu yang kebanyakan mustahil”. [Lihat kitab Talbis Iblis,
hal. 150].
Berkata Al Hafizh Al ‘Iraqy rahimahullah:
“Termasuk penyakit mereka adalah berbicara kepada kebanyakan orang awam
dengan sesuatu yang tidak sampai akal mereka kepadanya, maka akhirnya
mereka terprosok ke dalam keyakinan-keyakinan yang buruk, ini kalau
seandainya cerita itu benar, apalagi kalau seandainya cerita itu sesuatu
yang batil!!!”. [Lihat kitab Tahdzir al Khawash, karya As Suyuthy, hal.
180].
Berkata Ibnu Al Jauzy rahimahullah:
“Seorang yang suka berkisah meriwayatkan kepada orang-orang awam
hadits-hadits yang munkar, dia menyebutkan kepada mereka yang kalau
seandainya dia mencium bau ilmu (sedikit saja dari kisah tersebut),
niscaya dia tidak akan menceritakannya, akhirnya orang-orang awam keluar
dari sisinya belajar hal-hal yang batil, jika ada seorang ahli ilmu
yang mengingkari mereka, mereka akan menjawab: “Kami telah mendapatkan
ini dengan lafazh “Akhbarana” (telah diberitahukan kepada kami) dan
hadatsana (dia telah meriwayatkan kepada kami) (artinya kisah ini ada
sanadnya), berapa banyak para ahli kisah merusak makhluk dengan
hadits-hadits yang palsu, berapa banyak warna tubuh telah menguning
gara-gara kelaparan, berapa banyak yang bertekad untuk bepergian ke
sebuah tempat, berapa banyak orang yang melarang dirinya dari sesuatu
yang telah dihalalkan, berapa banyak yang meninggalkan untuk
meriwayatkan hadits dengan sangkaan darinya hal itu menyelisihi diri di
dalam hawa nafsunya, berapa banyak orang yang menjadikan anaknya yatim
dengan sikap zuhudnya padahal dia masih hidup, berapa banyak yang tidak
mau bergaul dengan istrinya tidak menunaikan hak istrinya, maka akhirnya
si istri bukanlah seorang yang janda bukan pula seorang yang mempunyai
suami”. [Lihat kitab al Maudhu’at, 1/32].
Perkataan Ibnu Al Jauzy di atas menjelaskan bahwa berapa banyak
penyimpangan-penyimpangan syariat dilakukan oleh sebagian orang akibat
cerita-cerita palsu yang mereka dengan dari para ahli kisah, berupa
kisah zuhud, wara’ dan sebagainya.
Dari sinilah sebagian ulama terdahulu mencela para ahli kisah ini di dalam rangka berdakwah:
Ahmad bin Hanbal berkata:
“Manusia yang paling pendusta adalah para ahli kisah dan para
peminta-minta, sungguh orang-orang sangat membutuhkan para ahli kisah
yang jujur, karena mereka menyebutkan kematian dan siksa kubur”,
kemudian beliau ditanya: “Apakah engkau menghadiri perkumpulannya?”,
beliau menjawab: “Tidak”. Lihat kitab Al Adab Asy Syar’iyyah, karya Ibnu
Muflih Al Hanbaly, 2/82.
InsyaAllah dari poin-poin yang sudah disampaikan di atas bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, wallahu a’lam.
*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Kewajiban berdakwah
Sahabat, pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik Muslim maupun Non Muslim. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari]
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa saja yang melihat kemungkaran hendaknya ia mengubah dengan
tangannya. Jika dengan tangan tidak mampu, hendaklah ia ubah dengan
lisannya; dan jika dengan lisan tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya;
dan ini adalah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُعَذِّبُ
الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ
ظَهْرَانَيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ فَلَا
يُنْكِرُوهُ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللَّهُ الْخَاصَّةَ
وَالْعَامَّةَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara
keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang,
kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup
menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka
melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan
kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ
لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ
تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di dalam genggaman tanganNya, sungguh
kalian melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar, atau Allah pasti akan
menimpakan siksa; kemudian kalian berdoa memohon kepada Allah, dan doa
itu tidak dikabulkan untuk kalian.” [HR. Turmudziy, Abu ‘Isa berkata, hadits ini hasan]
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil
yang sharih mengenai kewajiban dakwah atas setiap Mukmin dan Muslim.
Bahkan, Allah swt mengancam siapa saja yang meninggalkan dakwah Islam,
atau berdiam diri terhadap kemaksiyatan dengan “tidak terkabulnya doa”.
Bahkan, jika di dalam suatu masyarakat, tidak lagi ada orang yang
mencegah kemungkaran, niscaya Allah akan mengadzab semua orang yang ada
di masyarakat tersebut, baik ia ikut berbuat maksiyat maupun tidak.
Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum dakwah adalah
wajib, bukan sunnah. Sebab, tuntutan untuk mengerjakan yang terkandung
di dalam nash-nash yang berbicara tentang dakwah datang dalam bentuk
pasti. Indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan dakwah bersifat pasti
adalah, adanya siksa bagi siapa saja yang meninggalkan dakwah. Ini
menunjukkan, bahwa hukum dakwah adalah wajib.
Urgensi Dakwah
Pada dasarnya, urgensitas dakwah bagi kehidupan manusia telah digambarkan oleh Rasulullah saw di dalam sebuah haditsnya :
مَثَلُ القَائِم عَلى حُدُودِ الله
وَالرَاقِع فِيها كَمثلِ قَوم اشتَهَمُّوا عَلى سَفِينَةٍ فَأصَابُ بَعضهُم
أَعْلاهَا وَبَعْضُهُم أَسْفَلهَا فَكانَ الَّذِينَ في أَسْفَلِهَا اِذَا
اسْتَقُوْا مِن اْلماَءِ مرُّوْا عَلى مَنْ فَوْقهُمْ، فَقَالُوْا لَوْ
أَنا خَرَقْنَا في نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَم نُؤْذِ مَنْ فَوْقِنا، فَإِنْ
تَرَكُوْهُم وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلى
أَيْدِيْهِمْ نَجُّوْا وَنَجُّوْا جَمِيْعًا
“Perumpamaan orang-orang yang mencegah
berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang
kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada
di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air,
mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka
berkata: ‘Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami
tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika
yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas
(padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika
dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah
semuanya”. (HR. Bukhari)
Di dalam hadits ini, Rasulullah saw
mengibaratkan aktivitas dakwah dengan tindakan yang ditujukan untuk
mencegah perbuatan melubangi kapal. Jika orang yang berada di bawah
kapal hendak mengambil air, tentunya ia harus naik ke atas kapal, baru
mengambil air. Namun jika ia hendak mengambil air dengan cara melubangi
kapal, tentunya ini akan membahayakan dirinya dan semua orang yang ada
di dalam kapal tersebut. Oleh karena itu, tindakan orang yang hendak
melubangi kapal wajib dihentikan. Sebab, jika orang itu dibiarkan saja
melubangi kapal, niscaya kapal akan karam, dan binasalah orang yang
melubangi kapal itu dan semua orang yang ada di atas kapal.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa
dakwah adalah aktivitas yang sangat urgen untuk menyelamatkan kehidupan
umat manusia dari kehancuran dan kenistaan. Lebih dari itu, dakwah tidak
hanya menyelamatkan orang-orang yang melakukan maksiyat saja, akan
tetapi juga akan menghindarkan seluruh ummat manusia dari dampak buruk
akibat kemaksiyatan dan kedzaliman.
Sebaliknya, jika di tengah-tengah
masyarakat sudah tidak ada lagi orang yang mau berdakwah, niscaya
kemaksiyatan akan merajalela, para pendzalim akan merajalela, dan Allah
swt akan meratakan adzab kepada siapa saja yang ada di masyarakat
tersebut. Lebih dari itu, Allah tidak akan menerima doa seseorang hingga
di tengah-tengah masyarakat itu dilaksanakan dakwah Islam dan amar
ma’ruf nahi ‘anil mungkar. Tidak hanya itu saja, jika di tengah-tengah
masyarakat sudah tidak ada lagi dakwah, niscaya akan muncul kerusakan
(fasad) yang akan menjadi sebab datangnya adzab dari Allah swt.
Atas dasar itu, dakwah tidak boleh
ditinggalkan dan diabaikan. Meninggalkan dan mengabaikan aktivitas
dakwah, sama artinya dengan meninggalkan kewajiban; dan pelakunya akan
dikenai siksa kelak di hari akhir.
Ditinjau dari sisi pelaksana dakwah,
dakwah dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, dakwah yang dilakukan
oleh negara; kedua, dakwah yang dilakukan oleh individu, dan ketiga,
dakwah yang dilakukan oleh kelompok (partai).
Dakwah Oleh Negara
Dakwah yang dilakukan oleh negara
berkisar pada tugas menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan
jihad dan dakwah, serta tugas melindungi ‘aqidah umat. Oleh karena itu,
dakwah yang dilakukan oleh negara tidak cukup hanya dengan menjalankan
diplomasi dan dakwah propaganda belaka, akan tetapi ia juga wajib
menyiapkan kekuatan fisik yang ditujukan untuk menghancurkan
halangan-halangan fisik yang menghambat masuknya dakwah Islam ke sebuah
negara. Selain itu, negara juga bertugas menegakkan peradilan di
tengah-tengah masyarakat, dan menghukum siapa saja yang melakukan tindak
maksiyat dan dosa. Negara juga berkewajiban melakukan tindakan-tindakan
preventif yang ditujukan untuk menangkal dan mencegah terjadinya tindak
maksiyat dan dosa.
Dakwah Oleh Partai, Jama’ah, atau Harakah
Adapun dalam konteks dakwah berjama’ah;
sebuah partai, jama’ah, hizb, atau harakah bertugas untuk melakukan; (1)
dakwah menyeru kepada Islam, dan (2) amar ma’ruf dan nahi ‘anil
mungkar. Tugas jama’ah dakwah harus dibatasi pada aktivitas-aktivitas
semacam ini. Partai berbeda dengan individu dan negara. Oleh karena itu,
tugas-tugas dakwah yang hanya dibebankan kepada negara tidak boleh
dilaksanakan oleh partai, jama’ah, dan harakah. Demikian juga aktivitas
dakwah yang hanya dibebankan kepada individu, maka jama’ah atau partai
tidak boleh mengambil alih tugas dakwah tersebut. Ketentuan semacam ini
didasarkan pada firman Allah swt, “
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS Ali Imran (3) : 104)
al-Dlahak berkata, “Mereka itu adalah
khusus para shahabat dan khusus para al-ruwah, yakni Mujahidin dan para
Ulama”. Abu Ja’far al-Baqir berkata,
“Rasulullah saw membaca “wal takum minkum
ummatun yad’uuna ila al-khair”, kemudian berkata, “al-khair adalah
mengikuti al-Quran dan Sunnahku.” [HR. Ibnu Mardawaih].
(Menurut Ibnu Katsir) Maksud ayat ini
adalah hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat ini (umat Islam) yang
melaksanakan kewajiban tersebut (yad’una ila al-khair wa ya’muruuna bi
al-ma’ruf wa yanhauna ‘an al-mungkar), meskipun kewajiban tersebut
berlaku untuk setiap individu umat ini;
seperti yang telah ditetapkan di dalam
Shahih Muslim dari Abu Hurairah, “Siapa saja diantara kalian yang
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya; jika tidak
mampu hendaklah ia ubah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka
ubahlah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman.”[HR. Muslim] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron:104]
Walhasil, Allah swt telah memerintahkan
kepada umat Islam agar membentuk kelompok yang tugasnya dakwah kepada
Islam, dan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar.
Dakwah Oleh Individu
Pada dasarnya, setiap individu Muslim
diperintahkan untuk melaksanakan dakwah Islam sesuai dengan kadar
kemampuannya. Sebab, setiap individu Muslim adalah mukallaf yang
dibebani dengan sejumlah hukum syariat. Diantara hukum syariat yang
dibebankan Allah adalah dakwah. Oleh karena itu seorang Muslim wajib
mengemban dakwah Islam sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan
oleh syariat.
Banyak nash-nash syariat yang menyebutkan
kewajiban dakwah bagi setiap individu Mukmin. Dalam sebuah hadits
shahih, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari]
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa saja yang melihat kemungkaran
hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Jika dengan tangan tidak mampu,
hendaklah ia ubah dengan lisannya; dan jika dengan lisan tidak mampu
maka ubahlah dengan hatinya; dan ini adalah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]
Tidak hanya itu saja, seorang Mukmin juga
diperintahkan untuk berjihad fi sabilillah, baik dengan harta dan jiwa
mereka. Bahkan, ia diperintahkan untuk mendahulukan jihad fi sabilillah
di atas aktivitas yang lain. Allah swt berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” [At-Taubah:24]
Al-Quran juga membandingkan perbuatan-perbuatan baik di dalam Islam dengan aktivitas jihad fi sabilillah. Allah swt berfirman:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ
وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah (orang-orang) yang memberi
minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil
Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi
Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” [At-Taubah:19]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan