Pengharaman Babi
Hati-Hati Daging Babi
Allah telah mengharamkan makanan dan hewan-hewan yang jelek, karena makanan memiliki pengaruh terhadap akhlak dan tabiat seseorang. Harta dan makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging yang baik, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memilih dan memilah harta dan makanan untuk diri kita, anak dan keluarga kita, jangan sampai memakan barang dan makanan yang haram, baik berupa daging ataupun yang lainnya.
Apalagi dewasa ini orang-orang sudah banyak yang tidak peduli dengan hal-hal tersebut, sebagaimana Rasulullah telah isyaratkan dalam sabdanya:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
“Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari: 2059)
Sehingga sangat perlu pengetahuan yang cukup untuk dapat memilih dan memilah-milah hewan yang diperbolehkan dimakan.
Di antara hewan yang diharamkan untuk dimakan adalah babi dan ini sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin, sebab pelarangan memakan daging babi sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)
Firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Dan firman-Nya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخَنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An Nahl: 115)
Demikian juga sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)
Dengan demikian jelaslah haramnya daging babi dan seluruh anggota tubuhnya. (Ibnu Hazm menandaskan hukum ini merupakan ijma’ dalam kitab Al Muhalla 7/390-430)
Hikmah Pengharamannya
Mayoritas para ulama menjelaskan bahwa sebab pengharaman babi adalah karena najisnya berdasarkan firman-Nya:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)” (QS. Al An’aam: 145)
Sedangkan hikmah pengharamannya dijelaskan Syaikh Shalih Al Fauzan dalam pernyataan beliau: “Ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti Babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.” (Kitab Al Ath’imah hal. 40)
Penulis Tafsir Al Manaar menyatakan: “Allah mengharamkan daging babi karena najis, sebab makanan yang paling disukainya (makanan favoritnya) adalah kotoran dan ia berbahaya pada semua daerah, sebagaimana telah dibuktikan dengan pengalaman serta makan dagingnya termasuk sebab menularnya cacing yang mematikan. Ada juga yang menyatakan bahwa ia memiliki pengaruh jelek terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan cemburu (ghirah).” (Shohih Fiqh Sunnah, 2/339) Wallahu ta’ala a’lam.
Menjual Daging Babi
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa Allah mengharamkan babi dan harta hasil penjualannya. Tentu saja hal ini menunjukkan pengharaman jual beli babi dan dagingnya serta seluruh anggota tubuhnya walaupun sudah diusahakan untuk mengubahnya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya sebagai katalisator atau dicampur dengan daging lainnya. Hal ini juga ditegaskan Rasulullah dalam sabdanya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Walaupun pertanyaannya mengenai bangkai namun juga bersifat umum terhadap seluruh yang haram dalam hadits tersebut dan yang lainnya.
Demikian, mudah-mudahan Allah menunjuki kaum muslimin ke jalan yang lurus.
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Allah telah mengharamkan makanan dan hewan-hewan yang jelek, karena makanan memiliki pengaruh terhadap akhlak dan tabiat seseorang. Harta dan makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging yang baik, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam memilih dan memilah harta dan makanan untuk diri kita, anak dan keluarga kita, jangan sampai memakan barang dan makanan yang haram, baik berupa daging ataupun yang lainnya.
Apalagi dewasa ini orang-orang sudah banyak yang tidak peduli dengan hal-hal tersebut, sebagaimana Rasulullah telah isyaratkan dalam sabdanya:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
“Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari: 2059)
Sehingga sangat perlu pengetahuan yang cukup untuk dapat memilih dan memilah-milah hewan yang diperbolehkan dimakan.
Di antara hewan yang diharamkan untuk dimakan adalah babi dan ini sudah merupakan kesepakatan kaum muslimin, sebab pelarangan memakan daging babi sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)
Firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Dan firman-Nya:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخَنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An Nahl: 115)
Demikian juga sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)
Dengan demikian jelaslah haramnya daging babi dan seluruh anggota tubuhnya. (Ibnu Hazm menandaskan hukum ini merupakan ijma’ dalam kitab Al Muhalla 7/390-430)
Hikmah Pengharamannya
Mayoritas para ulama menjelaskan bahwa sebab pengharaman babi adalah karena najisnya berdasarkan firman-Nya:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)” (QS. Al An’aam: 145)
Sedangkan hikmah pengharamannya dijelaskan Syaikh Shalih Al Fauzan dalam pernyataan beliau: “Ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti Babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.” (Kitab Al Ath’imah hal. 40)
Penulis Tafsir Al Manaar menyatakan: “Allah mengharamkan daging babi karena najis, sebab makanan yang paling disukainya (makanan favoritnya) adalah kotoran dan ia berbahaya pada semua daerah, sebagaimana telah dibuktikan dengan pengalaman serta makan dagingnya termasuk sebab menularnya cacing yang mematikan. Ada juga yang menyatakan bahwa ia memiliki pengaruh jelek terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan cemburu (ghirah).” (Shohih Fiqh Sunnah, 2/339) Wallahu ta’ala a’lam.
Menjual Daging Babi
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa Allah mengharamkan babi dan harta hasil penjualannya. Tentu saja hal ini menunjukkan pengharaman jual beli babi dan dagingnya serta seluruh anggota tubuhnya walaupun sudah diusahakan untuk mengubahnya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya sebagai katalisator atau dicampur dengan daging lainnya. Hal ini juga ditegaskan Rasulullah dalam sabdanya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Walaupun pertanyaannya mengenai bangkai namun juga bersifat umum terhadap seluruh yang haram dalam hadits tersebut dan yang lainnya.
Demikian, mudah-mudahan Allah menunjuki kaum muslimin ke jalan yang lurus.
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
10 Alasan Ilmiah Kenapa Daging Babi Diharamkan Dalam Islam
Makan daging babi dalam ajaran agama islam itu diharamkan kenapa diharamkan karena didalam daging babi banyak mengandung zat berbahaya dan penyakit sehinga jika sampai dimakan oleh umat muslim penyakit yang terkandung didalamnya akan ikut masuk dalam tubuh manusia. Berikut ini ada beberapa fakta ilmiah yang ditemukan dari dalam daging babi sehinga Islam mengharamkan memakan daging babi ingin tahu apa aja itu simak 10 Alasan Ilmiah Kenapa Daging Babi Diharamkan Dalam Islam berikut ini.
1. Babi adalah container (tempat penampung) penyakit.
Beberapa bibit penyakit yang dibawa babi seperti Cacing pita (Taenia solium), Cacing spiral (Trichinella spiralis), Cacing tambang (Ancylostoma duodenale), Cacing paru (Paragonimus pulmonaris), Cacing usus (Fasciolopsis buski), Cacing Schistosoma (japonicum), Bakteri Tuberculosis (TBC), Bakteri kolera (Salmonella choleraesuis), Bakteri Brucellosis suis, Virus cacar (Small pox), Virus kudis (Scabies), Parasit protozoa Balantidium coli, Parasit protozoa Toxoplasma gondii
2. Daging babi empuk.
Meskipun empuk dan terkesan lezat, namun karena banyak mengandung lemak, daging babi sulit dicerna. Akibatnya, nutrien (zat gizi) tidak dapat dimanfaatkan tubuh.
3. Menurut Prof. A.V. Nalbandov (Penulis buku : Adap-tif Physiology on Mammals and Birds) menyebutkan bahwa kantung urine (vesica urinaria) babi sering bocor, sehingga urine babi merembes ke dalam daging. Akibatnya, daging babi tercemar kotoran yang mestinya dibuang bersama urine.
4. Lemak punggung (back fat) tebal dan
mudah rusak oleh proses ransiditas oksidatif (tengik), tidak layak dikonsumsi manusia.
5. Babi merupakan carrier virus/penyakit Flu Burung (Avian influenza) dan Flu Babi (Swine Influenza).
Di dalam tubuh babi, virus AI (H1N1 dan H2N1) yang semula tidak ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang ganas/mematikan dan menular ke manusia.
6. Menurut Prof Abdul Basith Muh. Sayid berbagai penyakit yang ditularkan babi seperti, pengerasan urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (Angina pectoris), radang (nyeri) pada sendi-sendi tubuh.
7. Dr. Murad Hoffman (Doktor ahli & penulis dari Jerman) menulis bahwa Memakan babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tapi juga menyebabkan peningkatan kolesterol tubuh dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh.
Ditambah cacing babi Mengakibatkan penyakit kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rheumatic serta virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang di musim panas karena medium (dibawa oleh) babi.
8. Penelitian ilmiah di Cina dan Swedia menyebutkan bahwa daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan usus besar.
9. Dr Muhammad Abdul Khair (penulis buku : Ijtihaadaat fi at Tafsir Al Qur’an al Kariim) menuliskan bahwa daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan Trachenea lolipia. Cacing tersebut berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi.
10. DNA babi mirip dengan manusia, sehingga sifat buruk babi dapat menular ke manusia. Beberapa sifat buruk babi seperti, Binatang paling rakus, kotor, dan jorok di kelasnya, Kemudian kerakusannya tidak tertandingi hewan lain, serta suka memakan bangkai dan kotorannya sendiri dan Kotoran manusia pun dimakannya. Sangat suka berada di tempat yang basah dan kotor. Untuk memuaskan sifat rakusnya, bila tidak ada lagi yang dimakan, ia muntahkan isi perutnya, lalu dimakan kembali. Lebih lanjut Kadang ia mengencingi pakannya terlebih dahulu sebelum dimakan.
http://muslimina.blogspot.com/2013/0...ging-babi.html
KESIMPULAN ISU ISTIHALAH KHINZIR
Prof Madya Dato’ Dr Mohd Asri Zainul Abidin
(sertai facebook DrMAZA.com dan twitter realDrMAZA)
Ada yang bertanya saya, setelah kita ketahui pandangan Majlis Fatwa Eropah (European Council for Fatwas and Research), European Fiqh Council, dan Persidangan Fekah Perubatan di Morocco 1997 dan lain-lain tidak mengharamkan istihalah khinzir yang terdapat bahan perubatan, makanan dan gunaan yang lain, sementara al-Fiqh al-Islamiy berpusat di Jedah pada keputusan tahun 1986 dan sebahagian pembesar ulama Arab Saudi pula mengharamkan gelatin khinzir yang terdapat dalam bahan perubatan dan makanan, apakah pendirian yang wajar kita ambil?
Saya ingin rumuskan seperti berikut;
1. Pada asasnya, istihalah yang telah menukar sesuatu bahan najis kepada bahan yang lain seperti bangkai kepada abu, mayat yang sudah menjadi tanah, arak kepada cuka, baja najis kepada pokok yang subur dan seumpamanya diiktiraf dalam Fekah Islam sejak dahulu. Cumanya, ada mazhab yang menyempitkan asas istihalah ini seperti Syafi’yyah dan Hanabilah (Hanbali). Ada pula yang meluaskannya seperti Hanafiyyah dan Zahiriyyah juga Malikiyyah. Tokoh-tokoh muhaqqiqin (penganalisis) seperti al-Imam Abu Bakr Ibn al-‘Arabi, Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, al-Syaukani, Sadiq Hasan Khan dan lain-lain menyokong dan meneguhkan hujah bahawa peroses istihalah boleh menukar najis kepada bahan yang bersih.
2. Disebabkan umat Islam tidak menjadi pengeluar, kita asyik menjadi pengguna, maka bahan berasal khinzir tersebar begitu luas dalam pelbagai aspek kehidupan manusia; makanan, perubatan, bahan kecantikan dan lain-lain. Kehidupan manusia, termasuk umat Islam terpaksa berkait dengan bahan-bahan yang berasal dari sumber bahan yang haram. Fatwa dalam hal ini sudah pasti diperlukan.
3. Maka, fatwa tentang hal ini dikeluarkan oleh ulama termasuk yang membabit isu istihalah. Berikut teks kesimpulan fatwa Majlis Fatwa Eropah (European Council for Fatwas and Research) yang mengizinkan bahan yang berasal haram tapi telah berubah melalui proses, begitu juga alcohol yang sedikit yang terdapat dalam makanan tertentu yang tiada kesan:
Fatwa (34)
Q) The ingredients of some foods contain items which are denoted by the letter “E” and a string of numbers. We were told that this denotes items manufactured from Lard or Pork bone and marrow. If this is true, what is the Shari’a ruling on such foods?
A) The items which carry the letter “E” and a string of numbers are additives. Additives are more than 350 compounds, and could be either preservatives, colouring, flavourings, sweeteners, etc. These are divided into four groups according to their origin:
First: compounds of artificial chemical origin.
Second: compounds of vegetal origin
Third: compounds of animal origin
Fourth: compounds dissolved in Alcohol
The ruling on all these compounds is that they do not affect the status of these foods being Halal, due to the following:
The first and second groups are Halal because they originate from a permissible origin and no harm comes from using these items.
The third group is also Halal, because the animal origin does not remain the same during the process of manufacturing. In fact it is transformed radically from its original form to a new clean and pure form through a process called “chemical transformation”. This transformation also affects the legal ruling on such ingredients. Therefore, if the original form was unclean or Haram, the chemical transformation changed it to another ingredient which requires a new ruling. For instance, if alcohol changed and was transformed to vinegar, then it does not remain Haram, but carries a new ruling according to the nature of the new product, which is Halal.
As for the fourth group, these items are usually colourings and are normally used in extremely small quantities which dissolves in the final product form, which deems it an excused matter.
Therefore, any foods or drinks that contain any of these ingredients remains Halal and permissible for the Muslim’s consumption. We must also remember that our religion is a religion of ease and that we have been forbidden from making matters inconvenient and hard. Moreover, searching and investigating into such matters is not what Allah (swt) or His Messenger (ppbuh) ordered us to do.
Anggota Majlis Fatwa Eropah terdiri dari mereka yang berikut;
1. Professor Yusuf Al-Qaradawi, President of ECFR (Egypt, Qatar)
2. Judge Sheikh Faisal Maulawi, Vice-President (Lebanon)
3. Sheikh Hussein Mohammed Halawa, General Secretary (Ireland)
4. Sheikh Dr. Ahmad Jaballah (France)
5. Sheikh Dr. Ahmed Ali Al-Imam (Sudan)
6. Sheikh Mufti Ismail Kashoulfi (UK)
7. Ustadh Ahmed Kadhem Al-Rawi (UK)
8. Sheikh Ounis Qurqah (France)
9. Sheikh Rashid Al-Ghanouchi (UK)
10. Sheikh Dr. Abdullah Ibn Bayya (Saudi Arabia)
11. Sheikh Abdul Raheem Al-Taweel (Spain)
12. Judge Sheikh Abdullah Ibn Ali Salem (Mauritania)
13. Sheikh Abdullah Ibn Yusuf Al-Judai, (UK)
14. Sheikh Abdul Majeed Al-Najjar
15. Sheikh Abdullah ibn Sulayman Al-Manee’ (Saudi Arabia)
16. Sheikh Dr. Abdul Sattar Abu Ghudda (Saudi Arabia)
17. Sheikh Dr. Ajeel Al-Nashmi (Kuwait)
18. Sheikh Al-Arabi Al-Bichri (France)
19. Sheikh Dr. Issam Al-Bashir (Sudan)
20. Sheikh Ali Qaradaghi (Qatar)
21. Sheikh Dr. Suhaib Hasan Ahmed (UK)
22. Sheikh Tahir Mahdi (France)
23. Sheikh Mahboub-ul-Rahman (Norway)
24. Sheikh Muhammed Taqi Othmani (Pakistan)
25. Sheikh Muhammed Siddique (Germany)
26. Sheikh Muhammed Ali Saleh Al-Mansour (UAE)
27. Sheikh Dr. Muhammed Al-Hawari (Germany)
28. Sheikh Mahumoud Mujahed (Belguim)
29. Sheikh Dr. Mustafa Ciric (Bosnia)
30. Sheikh Nihad Abdul Quddous Ciftci (Germany)
31. Sheikh Dr. Naser Ibn Abdullah Al-Mayman (Saudi Arabia)
32. Sheikh Yusf Ibram (Switzerland)
4. Walaupun para ulama bersetuju pada asasnya proses istihalah itu, mereka kadang-kala berkhilaf pendapat tentang apakah sesuatu proses itu benar-benar merubah sifat bahan-bahan najis itu ataupun tidak. Ada bahan yang diyakini telah berubah, ada yang diandaikan tidak. Dalam soal gelatin babi umpamanya, sarjana fekah masakini berfatwa berdasarkan kepada taklimat saintis kepada mereka. Kadang-kala berlaku khilaf. Majlis Fatwa Eropah (European Council for Fatwas and Research) tadi yang terdiri dari tokoh-tokoh Islam dari Arab dan ulama Islam yang menetap di Eropah, begitu juga Europen Fiqh Council dan beberapa orang tokoh ilmuwan Islam antarabangsa menganggap telah berlaku istihalah. Sementara sebahagian ilmuwan pula menganggap proses istihalah bagi gelatin itu tidak sempurna. Maka, jadilah isu gelatin di sudut itu perkara yang syubhah.
5. Sesiapa yang mengelakkan sesuatu yang syubhat -sekalipun tidak sampai ke peringkat haram- merupakan perkara yang baik untuk diri dan agamanya. Namun, dia tidak boleh berkeras mengharamkan untuk umat Islam yang lain yang mempunyai pandangan yang berbeza. Dalam soal makan-minum, perubatan, pakaian, perhiasan, kebudayaan setiap pihak mesti mengakui keluasan fekah Islam dan mengiktiraf khilaf fekah yang berasaskan hujah. Tidak boleh hina-menghina dan bermusuhan dalam persoalan amalan peribadi yang seperti ini selagi semua pihak beramal atas dalil yang diyakininya.
6. Selagi, umat Islam mempunyai sumber yang pasti halal, mereka sepatutnya mengelakkan sumber yang syubhah. Di Malaysia umpamanya, gelatin halal wujud dan boleh didapati, maka memulaukan yang syubhat dapat menggalakkan industry halal.
7. Umat Islam hendaklah berusaha menjadi pengeluar, bukan sekadar pengguna. Kelemahan industri umat Islam adalah punca berluasan bahan yang syubhat dan juga mungkin haram.
Komen saya : Sebelum EC for Fatwas n Research keluarkan fatwa ni, jumhur ulama dah ada pun fatwa yg anything yg babi related samada dlm bentuk Lard(lemak babi) atau gelatin Babi( di proses jadi protein =peptide) ada lah HARAM...juga gelatine derp binatang2 yg halal dimakan tapi tidak melalui penyembelihan dari segi hukum islam adalah haram juga....kemudaratan ulama2 dulu bukan memandang dari segi physical sahaja...ramai non muslim yg makan babi panjang pun umur mereka...TETAPI dari kesan SPIRITUAL yg menghambatkan sesaorang itu dari segi hubungan nya dgn Allah ( sila lihat hadith tentang memakan brg yg haram 40 hari ibadat kita tak diterima Allah dan hadith2lain yg related)....
Kemungkinan beberapa syarikat2 pemakanan dan syarikat2 Pharmaceutical pakat telah "dangle carrot" dlm bentuk "wang" supaya such fatwa dikeluarkan...Maaf, jika 32 x 3 million Euro baru berapa? (6 Million Euro, chicken feed aje jika dibandingkan ADVERTISING BUDGET setiap syarikat belanja setiap tahun....
Dgn fatwa ni, HILANG KISAH syarikat2 ni nak terkial2 nak keluarkan produk2 yg pakai vegetable gelatin/vegetarian safe etc etc....mereka boleh goyang kaki, sales brgan keluaran mereka akan increase dgn mudah, belanja ciput aje, 96 Million sbb muslim dah SELESA dgn gelatine babi...Astagfirullahaladzim...
Like ·
SAMAK MULUT JIKA MAKAN BABI?
Ustaz Idris bin Sulaiman
Baru-baru
ini telah muncul satu pendapat yang mengatakan bahawa sesiapa yang
termakan daging babi perlu menyamak mulutnya iaitu berkumur-kumur dengan
air bercampur tanah. Di dalam mengeluarkan sesuatu hukum, seharusnya
kita kembali kepada penilaian syarak berasaskan sumber hukum Islam itu
sendiri iaitu Al-Quran dan As-Sunnah mengikut kefahaman salaf as-saleh.Kalau kita kembali kepada dalil yang membawa kepada hukum najis mughallazah iaitu najis yang hanya boleh disucikan dengan tujuh kali basuhan di mana satu daripadanya adalah dengan air bercampur tanah, Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, maksudnya:
“Jika ada anjing minum pada bekas air salah seorang di antara kalian, maka cucilah bekas tersebut tujuh kali.” Dalam riwayat Imam Muslim menyebut, “Cucian yang pertama menggunakan tanah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Imam Muslim turut meriwayatkan di dalam riwayat yang lain, Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallambersabda, maksudnya:
“Jika ada anjing menjilat di dalam satu wadah, maka cucilah wadah itu tujuh kali dan campurilah yang kelapan dengan tanah.” (Riwayat Muslim dan At-Tirmidzi)
Daripada dalil-dalil ini, para ulama mengkategorikan air liur anjing sebagai najis yang paling berat iaitu disebut sebagai Najis Mughalladzah. Dari sini juga dapat kita simpulkan bahawa pendapat yang mengatakan orang yang memakan babi perlu menyamak mulutnya dengan air tanah adalah salah berdasarkan justifikasi berikut;
Pertama, untuk kita mengqiyaskan daging babi dengan air liur anjing, kita perlu mengetahui ‘illah iaitu perkara yang menjadi penyebab berlakunya sesuatu hukum; kenapa syarak mengkategorikan air liur anjing sebagai najis mughallazhah, dan hal ini tidak diketahui oleh sesiapa pun. Jadi bagaimana kita boleh menqiyaskan air liur anjing dengan daging babi tanpa kita mengetahui ‘illahnya, sedangkan kesamaan ‘illah menjadi syarat utama di antara syarat-syarat qiyas. Maka qiyasnya tidak ada.
Kedua, pengharaman daging babi telah pun disebutkan di dalam Al-Quran dan juga hadis Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam. Di dalam keduanya; Al-Quran mahupun As-Sunnah tidak menyebut perlunya menyamak mana-mana bekas yang terkena dengan daging babi secara khasnya. Sebaliknya, syarak hanya menyebutkan tentang bekas yang dijilat oleh anjing, ataupun disebutkan di dalam hadis bekas yang terkena dengan air liur anjing sahaja (yang perlu disamak). Maka untuk itu, hanya air liur anjing sahaja yang dikategorikan sebagai najis mughallazhah yang perlu disamak.
Bahkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi Dawud menyebut secara jelas dari Rasulullah bahawasanya bekas yang terkena daging babi hanya perlu dicuci dengan air. Dari Abi Tsa’labah al-Khusyaini radhiallahu ‘anh berkata, aku bertanya kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya kami bertetangga dengan Ahli Kitab. Mereka biasa memasak daging babi di dalam periuk dan meminum khamar di dalam gelas mereka. Rasulullah menjawab, maksudnya: “Jika kalian dapat menggunakan perkakas yang lain maka makan dan minumlah di dalamnya. Jika kalian tidak dapat perkakas yang lain, maka cucilah ia dengan air kemudian makan dan minumlah di dalamnya.”
mam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah mengatakan bahawa (kenajisan) babi tidak sama dengan anjing. Hujahnya ialah syarak hanya mengkhususkan pada anjing ketika membahaskan tentang permasalahan ini sedangkan di dalam Al-Quran telah disebut tentang keharaman memakan babi. Ini menunjukkan bahawa babi bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Arab ketika Rasulullah diutuskan kepada mereka. Namun mengapa syarak tidak menyebutkan babi sebaliknya mengkhaskan kepada anjing, ini menunjukkan najis mugalladzah yang perlu dicuci dengan tujuh kali basuhan dan salah satu daripadanya dengan tanah adalah khas buat anjing. Pendapat ini hujahnya kuat, adapun pendapat yang mengqiyaskan babi dengan anjing hanyalah sekadar ijtihad tanpa ada dalil atau petunjuk dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Ketiga, apabila kita hendak membincangkan tentang asal permasalahan najis mughalladzah iaitu air liur anjing, di antara permasalahan yang berkaitan tentang air liur anjing ini adalah permasalahan tentang haiwan tangkapan yang telah digigit oleh anjing buruan. Kita semua maklum bahawa syarak membolehkan anjing untuk tujuan buruan atau untuk penternakan. Maka di dalam buruan, syarak membolehkan kita menggunakan anjing untuk menangkap haiwan buruan.
Dalam masalah haiwan tangkapan yang telah digigit oleh anjing buruan, timbul persoalan yang menjadi perbahasan di kalangan ahli ilmu; apakah perlu menyamak haiwan tangkapan itu yang jelas telah digigit oleh anjing dan telah terkena air liur anjing, sedangkan kita tahu bahawa asal hukum air liur anjing itu adalah najis mughalladzah. Apakah perlu disamak?
Dalam masalah ini secara khasnya, syarak bersikap memudahkan (memberi kelonggaran). Maka seperti mana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, syarak tidak mewajibkan ke atas kita untuk menyamak haiwan tangkapan yang telah digigit oleh anjing buruan. Maka kalau kita lihat di dalam ayat Al-Quran, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, maksudnya:
“Maka makanlah dari apa yang telah ditangkapnya untuk kamu (oleh anjing buruan), dan sebutlah Nama Allah di atasnya.” (Surah Al-Maa-idah, 5: 4)
Dan juga dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallambersabda, maksudnya: “Sekiranya kamu telah utuskan anjing kamu yang telah diajar dan kamu telah menyebutkan nama Allah, maka makanlah apa yang telah ditangkap untukmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kalau kita melihat kedua-dua nas dari Al-Quran dan juga hadis tentang anjing buruan, syarak sekadar menyebutkan tentang perlunya kita membaca bismillah sebaik sahaja kita menghantar (melepaskan) anjing untuk menangkap haiwan. Cukup sekadar itu.
Syarak tidak mewajibkan untuk kita menyamak haiwan yang telah ditangkap oleh anjing buruan. Ini kerana, syarak di dalam mengizinkan kita menggunakan anjing untuk tujuan berburu adalah bertujuan untuk memudahkan; iaitu memudahkan kita menangkap haiwan yang sukar ditangkap kerana anjing itu cekap dan pantas.
Maka tidak hairanlah mengapa syarak tidak mewajibkan kita menyamak. Kerana jika kita hendak menyamak haiwan tangkapan, itu jelas bercanggah dengan tujuan utama untuk memudahkan kerana akhirnya kita menjadi susah kerana perlu menyamak haiwan yang ditangkap tersebut.
Bahkan tidak ada riwayat daripada amalan-amalan para sahabat Nabi; yang mana mereka menggunakan anjing buruan, namun tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan mereka menyamak haiwan tangkapan yang telah digigit oleh anjing buruan. Jika mereka melakukannya, sudah pasti perbuatan mereka itu akan diriwayatkan.
Kembali kepada pendapat yang mengatakan perlunya menyamak mulut dengan berkumur-kumur dengan air tanah, ini jelas pendapat yang tidak ada dalil dari Al-Quran mahu pun As-Sunnah. Bahkan dalil dari Al-Quran dan Sunnah seperti yang telah disebutkan bercanggah dengan pendapat ini.
Jelas bahawa pendapat ini tidak lebih daripada pendapat akal semata-mata bahkan ia lebih bersikap menyusah-nyusahkan dan berlebih-lebihan. Sedangkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, maksudnya:
“Telah binasalah orang-orang yang bersikap melampau. Telah binasalah orang-orang yang bersikap melampau. Telah binasalah orang yang bersikap melampau.” (Riwayat Muslim)
Juga di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, di mana sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam, maksudnya:
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang menyusah-nyusahkan agama melainkan dia akan tertewas (merasa berat dengan agama).” (Riwayat Al-Bukhari)
Maka dari itu, sebuah atsar yang disebutkan oleh Saidina Umar Al-Khatthab radhiyallaahu’anhu, beliau mengatakan, maksudnya: “Kami dilarang daripada bersikap berlebih-lebihan (menyusah-nyusahkan).”(Riwayat Bukhari)
Maka pendapat yang mengatakan wajibnya berkumur-kumur dengan air tanah, juga bekas-bekas yang terkena daging babi, atau apa juga yang terkena dengannya perlu disamak; ini juga tiada dalil, ini hanyalah ijtihad semata-mata. Bukan itu sahaja bahkan dikatakan mulut juga perlu disamak iaitu dibasuh sebanyak tujuh kali, yang pertama dengan air tanah. Ini jelas pendapat yang berlebih-lebihan dan bercanggah dengan prinsip syarak yang memudahkan.
Penulis adalah Pegawai Penyelidik di Kedutaan Arab Saudi merangkap Ahli Majlis Syura, Pertubuhan Ilmuwan Malaysia (iLMU)
Artikel ini disiarkan di akhbar pada Sabtu, 02 Mac 2013
Hukum Makan di Restoran yang ada Menu Babi
Assalamu’alaykum Ustadz,
Saya saat ini tinggal di Korea sbg pekerja. Negri ini adalah negri yg sangat banyak mengkonsumsi babi, hampir disemua restoran yang ada menyediakan menu babi. Yang ingin saya tanyakan:
1. Tiap kali makan direstoran saya pastikan makanan yg saya makan tidak mengandung babi ataupun minyak babi, tetapi bagaimana dengan najis yang ada ditempat masak dan makan yang sangat mungkin pernah digunakan untuk menu babi.
2. Lalu bagaimana pula sikap saya seharusnya jika saya diundang makan dirumah teman-teman korea, dimana sangat mungkin alat masak beserta piringnya pernah digunakan untuk menu babi. Dan jika memang tidak dibolehkan secara syari’ah, bagaimana juga seharusnya kita membangun silaturahmi dengan teman-teman korea ini.
Terimakasih sebelumnya Ustadz,
Wassalam,
Abdullah
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Abdullah yang dimuliakan Allah swt
Sebagaimana diketahui bahwa babi termasuk binaang yang najis dan diharamkan didalam islam berdasarkan firman-Nya :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (٣)
Artinya : “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS. Al Maidah : 3)Imam Nawawi mengatakan,”Didalam ayat digunakan lafazh daging dikarenakan bagian inilah yang paling penting (inti). Para ulama kaum muslimin telah bersepakat dengan pengharaman lemak, darah dan seluruh bagian tubuhnya.” (Shahih Muslim bi syarhin Nawawi juz XIII hal 142)
DR Wahbah memasukkan daging babi kedalam kelompok najis yang disepakati seluruh madzhab walaupun disembelih sesuai dengan syariat Islam karena nash Al Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah najis ain (dzatnya). Oleh karena itu daging dan seluruh bagian tubuhnya berupa bulu, tulang dan kulitnya tetaplah najis walaupun sudah disamak. Sedangkan menurut ulama Mailiki bahwa daging dari babi yang hidup baik urat, air mata, ingus maupun air liurnya adalah suci. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz I hal 302)
Terkait dengan alat-alat yang digunakan untuk memasak atau alat-alat makan yang tersentuh oleh najis babi maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang cara mensucikannya :
1. Para ulama Syfi’i dan Hambali mengatakan bahwa alat-alat tersebut haruslah dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah baik najisnya itu air liur, kencing, segala yang basah darinya atau bagian-bagiannya yang sudah kering namun disentuh dalam keadaan basah, berdasarkan sabda Rasulullah,”Sucikan bejana salah seorang diantara kalian apabila terkena jilatan anjing dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”permulaannya dengan tanah.” Dalam riwayat lain,”.. campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Disini babi disertakan bersama dengan anjing dikarenakan keadaan babi lebih buruk darinya, berdasarkan firman Allah,”Atau daging babi, sesungguhnya ia adalah rijs (najis).”
2. Adapun para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat cukuplah mencuci bejana yang dijilat anjing tanpa menggunakan tanah, alasan mereka bahwa riwayat-riwayat yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah ada pada hadits yang mudhtharib (simpang siur), ada yang menggunakan lafazh,”yang pertama.” Ada dengan lafazh,”salah satunya,” lafazh ketiga,”kali yang lainnya.” riwayat keempat,”yang ketujuh dengan tanah.” Dan yang kelima,”dan campurkan pada kali kedelapan dengan tanah.” Kesimpang siuran ini mengharuskannya untuk dihilangkan. Dan sesungguhnya penyebutan tanah tidaklah tegas didalam setiap riwayat.
Sebagian dari para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa babi tidaklah seperti anjing sehingga mensucikanya cukup dengan sekali cuci tanpa tanah sebagaimana najis-najis lainnya karena nash yang disebutkan didalamnya penggunaan tanah hanyalah terhadap anjing saja.
Pendapat inilah yang dipilih oleh oleh Syeikh Ibnu al Utsaimin didalam “asy Syarh al Mumti’” bahwa para fuqaha—semoga Allah merahmati mereka—mengaitkan najisnya (babi) dengan najis anjing dikarenakan babi lebih buruk daripada anjing sehingga lebih utama ditetapkan hukumnya dengannya (mencuci tujuh kali yang salah satunya dengan tanah, pen) dari pada anjing.
Ini merupakan qiyas (analog) yang lemah karena babi tidaklah disebutkan didalam al Qur’an dan babi itu sudah ada pada masa Nabi saw serta tidak pula ia dikaitkan dengan anjing. Yang benar adalah bahwa najis babi sebagaimana najis lainnya yang penyuciannya sama dengan penyucian najis-najis lain.”
Dengan demikian apabila juru masak atau tukang cuci restoran tersebut telah menyucikan alat-alat masak, makan tersebut dengan menggunakan air dan sabun walaupun hanya sekali cuci maka itu sudah cukup untuk anda bisa menggunakan alat-alat tersebut.
Adapun memenuhi undangan makan orang-orang Korea di rumahnya maka tidaklah diharamkan untuk memenuhinya terlebih lagi apabila ada maslahat syar’i didalamnya, seperti : menyampaikan da’wah islam kepadanya. Dalam hal ini maka dibolehkan makan bersamanya selama anda meyakini bahwa makanan yang disuguhkannya adalah yang dihalalkan oleh islam.
Sebagaimana pembahasan diatas tentang peralatan makan yang digunakan, seperti : piring, sendok, garpu maka gunakanlah peralatan-peralatan itu dalam keadaan kering dikarenakan najis tidaklah berpindah kecuali dalam keadaan basah setelah pula anda pastikan bahwa si pemiliknya telah mencucinya dengan bersih walaupun hanya dengan sekali cuci.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Kaidah: Kondisi Darurat membolehkan Sesuatu yang Terlarang
Kaidah
Kondisi Darurat membolehkan
Sesuatu yang Terlarang
Oleh: al-Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf
hafidzahullah
MUQODDIMAH
Sebenarnya, kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah (kesulitan mendatangkan kemudahan) yang sudah dibahas secara global pada edisi sebelumnya. (sebenarnya pada blog ini, kaidah-kaidah tersebut belum dimuat, tapi insya Allah jika nanti ada keluangan waktu, kami akan memuatnya, -admin) Namun, kaidah ini harus diangkat kembali sehubungan banyaknya kekeliruan dalam penahaman dan penerapannya.Alangkah banyaknya orang yang menerjang larangan yang sangat jelas keharamannya dengan alasan kondisi darurat. Misalnya, orang yang karena ‘tuntutan’ pekerjaan sampai tidak bisa shalat Zhuhur dan Ashar, juga seseorang yang ‘terpaksa’ bekerja di perusahaan rokok atau minuman keras. Tatkala dinasihati, dengan entengnya mereka beralasan bahwa ini karena kondisi darurat. Juga seseorang yang bekerja saat bulan Ramadhan tidak puasa, pun beralasan dengan darurat.
Di sisi lainnya, terkadang ada seseorang yang memang benar-benar dalam kondisi darurat, namun ternyata dalam prakteknya kebablasan, sehingga saat kondisi darurat yang menimpa dia sudah hilang, dia ‘keenakan’ dalam kondisi darurat tersebut dalam mengerjakan perkara yang haram.
Dan masih banyak contoh lainnya. Maka dengan ini kita mohon kepada Allah untuk memberikan taufiq kepada kita untuk memahami agama kita yang mulia ini. Wallahu Musta’an.
DALIL ADANYA KONDISI DARURAT DALAM SYARI’AT ISLAM
Banyak sekali ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa kondisi darurat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan kondisi normal. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:1. Dalil al-Qur’an
Firman Allah:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ
أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا
عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan
binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 173)Ayat-ayat yang senada dengan ini banyak sekali, yaitu: al-Maidah [5] ayat 3, al-An’am [6] ayat 119 dan 145, dan an-Nahl [16] ayat 115. Ayat-ayat ini menunjukkan pembolehan mengkonsumsi makan makanan yang haram tersebut dalam kondisi darurat. Dengan ini, semua yang asalnya haram pun bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat.
2. Dalil as-Sunnah
Kisah Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu. Para ulama tafsir, berkaitan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 106, meriwayatkan tentang kisah Sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu ketika disiksa oleh orang kafir. Mereka memaksanya kufur akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan terpaksa Ammar mengikuti kehendak mereka. Kemudian Ammar mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: “Lalu bagaimana dengan hatimu sendiri?” Ammar menjawab: “Masih sangat mantap dengan keimanan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika mereka menyiksamu lagi, lakukan seperti yang engkau lakukan tersebut.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:
مَن
ڪَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُڪۡرِهَ
وَقَلۡبُهُ ۥ مُطۡمَٮِٕنُّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ
بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرً۬ا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ
عَظِيمٌ۬
Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman [dia mendapat kemurkaan
Allah], kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman [dia tidak berdosa], akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar. (QS. An-Nahl [16]: 106)Kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu –dengan tindakan kekufurannya- tidak menjadikan dia kufur, karena beliau melakukan itu dalam kondisi terpaksa.
3. Dalil kaidah umum syar’i
Masalah kondisi darurat ini masuk dalam keumuman kaidah-kaidah umum, yaitu:
Pertama: Syari’at Islam ini terbangun atas dasar mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat.
Kedua: Syari’at Islam dibangun untuk menjaga lima pokok utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ketiga: Syari’at Islam dibangun di atas dasar kemudahan dan menghilangkan kesulitan.
Keempat: Hukum-hukum Islam terbangun atas dasar kemampuan hamba.
Semua kaidah ini sudah kita jabarkan pada edisi-edisi sebelumnya. Silakan ditelaah kembali.
PENGERTIAN “DHORUROT”
Dalam istilah, kata dhorurot (darurat) mempunyai beberapa makna:1. Dalam istilah ahli kalam
Dalam istilah mereka, dhorurot adalah suatu ilmu yang dihasilkan tanpa butuh berpikir dan menelaah. Menurut mereka, ilmu terbagi dua: ilmu yang dihasilkan dengan penelaahan dan berpikir, maka ini disebut ilmu nazhori; sedangkan ilmu yang tidak butuh hal tersebut disebut ilmu dhoruri.
2. Dalam istilah ahli ilmu ‘arudh
Ilmu ‘arudh adalah ilmu untuk menggubah sya’ir berbahasa Arab. Istilah dhorurot menurut mereka adalah sebuah kondisi dimana mereka harus keluar dari salah satu kaidah ilmu nahwu atau shorof agar sesuai dengan timbangan ilmu ‘arudh tersebut.
3. Dalam istilah ulama syar’i
Dhorurot menurut para ulama dimaksudkan untuk dua makna, makna umum dan makna khusus.
Makna umum adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya maslahat agama dan dunia; yang dalam hal ini ada lima, yaitu: penjagaan pada agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam makna ini, kebutuhan seseorang itu ada tiga tingkatan: dhoruriyyat, hajiyyat, dan kamaliyyat. Dhoruriyyat adalah lima hal di atas yang tidak akan tegak kehidupan manusia tanpanya.
Hajiyyat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, namun kalaupun tidak ada maka manusia tidak akan binasa, hanya kehidupannya akan sangat susah.
Kamaliyyat adalah sesuatu yang hanya sebagai penyempurna kehidupan manusia, agar kehidupan mereka menjadi nyaman dan nikmat.
Adapun dalam makna khusus, dhorurot adalah:
“Sebuah kebutuhan yang sangat mendesak yang menjadikan seseorang terpaksa menerjang larangan syar’i.”
Maknanya, kondisi darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, di mana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya.
Lalu apakah batas bahaya tersebut? Imam Suyuthi –dalam Asybah wan Nazho’ir- menjawabnya. Beliau rahimahullah berkata:
“Dhorurot adalah sampainya seseorang pada sebuah batas di mana jika dia tidak melakukan yang terlarang (haram) maka dia akan binasa atau mendekati binasa. Kondisi inilah yang membolehkan pelanggaran larangan.”
Namun jika tidak sampai pada batas tersebut, maka tidak disebut “dhorurot”, tetapi itulah yang diistilahkan oleh para ulama dengan “hajah”. Imam Suyuthi rahimahullah berkata:
“Hajah adalah semacam orang yang lapar yang seandainya dia tidak mendapatkan apa yang dia makan maka dia tidak binasa, hanya saja dia akan mengalami kesulitan dan keberatan. Ini tidak membolehkan perkara yang haram dan hanya membolehkan berbuka saat puasa.”
Sebab-Sebab Darurat:
– Bila dicermati, akan kita temukan banyak sekali sebab yang menjadikan seseorang berada dalam kondisi darurat. Baik darurat yang ditimbulkan oleh perbuatan orang lain ataupun tidak. Bisa karena kelaparan, berobat dari sakit, saat terjadi kebakaran, tenggelam, kecelakaan, dan lainnya. Namun, semuanya bisa ditarik garis kesimpulan bahwa yang menyebabkan kondisi darurat adalah karena menjaga lima hal yang pokok dalam agama Islam di atas. Demi menjaga agama, pasukan muslim –bisa saja karena terpaksa- membunuh orang tua dan anak-anak jika musuh menjadikan mereka tameng untuk melindungi diri, dan jika tidak demikian maka akan muncul bahaya yang jauh lebih besar atas kaum muslimin.– Demi menjaga jiwa dan akal, seseorang boleh memakan bangkai kalau dalam kondisi sangat lapar, yang seandainya tidak makan bangkai tersebut, ia meninggal dunia.
– Demi menjaga keturunan dan kehormatan, seseorang boleh menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada seorang jahat yang menyendera wanita muslimah, yang jika tidak demikian maka dikhawatirkan dia akan merusak kehormatan wanita tersebut.
– Demi menjaga harta, seseorang boleh merusak hartanya demi menjaga hartanya yang lebih banyak.
SYARAT-SYARAT DARURAT
Tatkala kondisi darurat ini bisa menjadikan seseorang menerjang keharaman, maka kita harus benar-benar hati-hati dan sangat selektif dalam penerapannya. Oleh karena itu, para ulama membuat sebuah garis besar dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga kondisi ini disebut kondisi darurat. Syarat-syarat tersebut adalah:1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok dasar –yang telah disinggung di atas- itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.
Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.
Dalil syarat ini:
Allah mencela prasangka, dalam firman-Nya:
إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬ۖ
Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (QS. Al-Hujurot [49]: 12)Dalam suatu hadits diriwayatkan: Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kami berada di sebuah negeri yang terkena paceklik, maka bangkai apa yang halal untuk kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apabila kalian tidak menyiapkannya sebagai sarapan pagi atau makan sore, maka silakan memakannya.” (HR. Ahmad: 1600 dan dishahihkan oleh Hakim 4/125)
Kaidah umum dalam syari’at Islam, bahwa banyak hukum yang dikaitkan dengan kondisi yakin atau predikat kuat. Namun, jika hanya prasangka belaka maka sama sekali tidak digubris.
2. Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
Maknanya bahwa bahaya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal tersebut.
Dalil syarat ini, firman Allah Ta’ala:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghobun [64]:16)Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang harus mengerahkan apa yang dia mampu untuk bertaqwa pada Allah, dan dalam masalah ini untuk meninggalkan yang haram. Apabila ada cara yang dihalalkan maka sama sekali tidak boleh yang haram, dan tidak ada alasan darurat.
Dari Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang yang tinggal di sebuah lembah bersama istri dan anaknya. Lalu ada seseorang yang berkata (kepadanya): “Untaku hilang, jika engkau menemukannya maka ikatlah.” Dan laki-laki itupun menemukannya namun tidak menemukan pemiliknya. Lalu unta itu sakit. Istrinya berkata: “Sembelihlah ia.” Namun suaminya tidak mau, sehingga unta itu mati, lalu istrinya berkata: “kulitilah sehingga kita bisa membuat dendeng dagingnya lalu kita makan.” Dia menjawab: “ Saya tidak akan melakukannya hingga saya bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau balik bertanya: “Apakah engkau memiliki lainnya?” Dia menjawab: “Tidak” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Makanlah.” (Hasan. HR. Abu Dawud: 3816)
3. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah [2]: 173)Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai kenyang.
4. Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
Artinnya, kalau kondisi itu sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “Apa yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah tidak ada.”
Contoh: orang yang tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau kemudian ada air maka tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.
5. Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Wallahu A’lam.
Sumber: majalah AL FURQON no. 108, Edisi 05 Tahun Kesepuluh, Dzulhijjah 1431 H, hlm. 29-32
Dalam Kondisi Darurat Hal Yang Terlarang Dibolehkan
Tak
ada sejumput keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama
Islam yang indah ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi
Islam juga mengatur setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang
acap kali terabaikan. Tak heran jika seandainya seluruh umur kita
pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal itu tidaklah cukup
untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya kitab-kitab yang
membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.
Oleh sebab itu, cendekia muslim mencoba
merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian
banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis.
Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah mempelajari berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid Al-Kuliyyah Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu cabang penerapan dari kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.
Kedudukan Kaidah
Ulama
bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya
ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini
sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu”
yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan
tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung
di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.
Dalil Kaidah
Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran. Di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”[1]
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Siapa yang dalam kondisi terpaksa
memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.”[2]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi
dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam
keadaan darurat, dengan firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
“Siapa yang terpaksa
mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin
berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3][4]
Di antara landasan kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.”[5]
Makna Kaidah
Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[6]
Sedangkan mahzhurat
adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam.
Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang,
baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan
sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan
semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina,
minum khamr, dan sebagainya.[7]
Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam
syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam
kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa
mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau
kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan
hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Penerapan Kaidah[8]
Di antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
-
Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya.
-
Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat.
-
Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa.
-
Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya.
-
Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya.
-
Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia dalam keadaan mampu.
Syarat Darurat[9]
Namun perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi
darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada
syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini. Di antara
lain:
1. Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan
merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di
tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia
tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya
bersandar pada prasangka semata.
2. Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu
seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari
tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan
bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya
dari si pengembala.
3. Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
4. Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan
terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri
makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan
mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia
tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka
diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
5. Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.[8]
Pengecualian Kaidah[10]
Di antara pengecualian kaidah ini adalah
apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain, atau
berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
____________________
Catatan Kaki
[1] QS. Al-An’am 119
[2] QS. Al-Baqarah 173
[3] QS. Al-Ma’idah: 3
[4] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2. Halaman 76
[5] HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158
[6] Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 80
[7] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 256
[8] Lihat Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4. Halaman 233, Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 277
[9] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 250-251
[10] Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 262, Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 279
Daftar Pustaka
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.
As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 1432 H. Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Dar Ibn Al-Jauzi: Kairo – Mesir. Cetakan ke-1.
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
—
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Murajaah: Ust. Muhammad Yassir, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan