Rabu, 4 Mac 2015

BILA ILMU AGAMA DIPINGGIRKAN...BILA ILMU FARDU AIN DAH TIDAK DIBERATKAN LAGI...TAK MENUNTUT ILMU FARDU AIN HARAM...IBADAH TANPA ILMU DITOLAK

Perlu Rebranding PTAI


Opini JawaPos, 4/2/2015 7.58 wib

MASYARAKAT umumnya mengenal perguruan tinggi agama Islam (PTAI) negeri dan swasta sebagai institusi pendidikan yang secara spesifik mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Kesan itu jelas tidak salah. Kesan tersebut muncul karena disiplin ilmu yang dikembangkan PTAI pada mulanya hanya Alquran, hadis, tafsir, teologi, filsafat, fikih, tasawuf, sejarah, dakwah, dan pendidikan.
Tetapi, sejak awal 2000-an, beberapa PTAI membuka program studi (prodi) umum. Misalnya, bahasa Inggris, komunikasi, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, matematika, sains, teknik, bahkan kedokteran. Diversifikasi prodi itu bertujuan merespons persaingan antar perguruan tinggi yang kian kompetitif.
Strategi itu ternyata mampu mendongkrak minat masyarakat untuk belajar di PTAI. Seiring dengan pembukaan prodi-prodi umum itulah, sejumlah PTAI beralih status menjadi universitas. Alih status dari institut menjadi universitas juga bertujuan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu, khususnya integrasi ilmu agama dan ilmu umum.
Hingga kini, kajian ilmu agama dan ilmu umum dilakukan secara terpisah (separated). Penyelenggara pendidikan nasional juga terbelah menjadi dua, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Dampaknya, terjadi ketimpangan mutu pendidikan karena perbedaan sumber daya dan penganggaran.
Harus diakui bahwa perubahan kelembagaan dari institut menjadi universitas menyisakan persoalan. Mereka yang mendukung lebih melihat pada tantangan yang dihadapi PTAI dalam konteks kekinian. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa peminat prodi ilmu agama terus menurun. Karena itulah, perubahan kelembagaan dari institut ke universitas menjadi pilihan.
Sementara itu, mereka yang menolak menyatakan bahwa perubahan tersebut pada saatnya mengakibatkan marginalisasi prodi ilmu agama yang sudah menjadi core of competence PTAI. Jika prodi ilmu agama terpinggirkan, pertanyaannya, institusi pendidikan mana yang akan memproduksi ulama?
Seiring dengan adanya pergeseran minat masyarakat, PTAI harus berbenah. Salah satu yang harus dilakukan adalah rebranding (memperbarui merek atau label) prodi ilmu agama. Dalam ilmu pemasaran, rebranding sangat penting. Dikatakan bahwa jika suatu produk, termasuk pendidikan, ingin diminati pelanggan, yang harus dilakukan ialah memperjelas branding.
Pemberian label itu sangat erat berkaitan dengan profil lulusan. Karena itu, harus ditentukan profil lulusan yang diimpikan PTAI. Misalnya, lulusan PTAI adalah ahli ilmu agama, berakhlak mulia, terampil berbahasa internasional, serta mampu membaca dan memahami Alquran.
Selain itu, PTAI harus menjadi pusat kajian ilmu-ilmu keislaman (center of Islamic studies). Itu berarti PTAI harus menjadikan prodi ilmu agama sebagai yang terutama. Kondisi bangsa yang dirundung masalah moralitas dan integritas jelas membutuhkan sumbangsih civitas academica PTAI. Sebut saja, misalnya, persoalan korupsi yang kian marak. Begitu juga, persoalan radikalisme bernuansa agama yang terus bermetamorfosis.
Selain menentukan branding, PTAI harus jeli melihat pelanggan (customer) dan pengguna lulusan (user). Secara konvensional dapat dikatakan bahwa peminat PTAI adalah lulusan lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah dan pesantren. Itu berarti harus ada kerja sama yang sinergis PTAI dengan madrasah dan pesantren. Tetapi, harus diakui, kini lebih banyak lulusan madrasah dan pesantren mengambil prodi ilmu umum bila dibandingkan dengan prodi ilmu agama.
Mengenai pengguna lulusan, memang sulit dijawab. Itu terjadi PTAI belum mempersiapkan lulusannya secara serius. Akibatnya, lulusan PTAI tidak memiliki kecakapan minimal yang dibutuhkan agar dapat bersaing. Itulah tantangan terbesar PTAI. Pimpinan PTAI harus menyadari bahwa pendidikan itu tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan usaha menyiapkan generasi yang siap menghadapi problem dalam kehidupan.
Karena itu, penting direnungkan pernyataan guru marketing dunia, Hermawan Kartajaya. Menurut dia, setiap penjual produk harus memahami hubungan positioning, differentiation, dan branding (PDB). Hubungan PDB itu berarti bahwa posisi tawar suatu produk akan baik jika memiliki keunggulan yang berbeda dari yang lain. Menentukan keunggulan yang berbeda itulah yang disebut diferensiasi.
Dengan menggunakan hukum PDB dalam marketing, PTAI harus menentukan branding yang benar-benar berbeda. Penentuan branding itu penting agar lulusan PTAI mampu menunjukkan keunggulan yang berbeda dari lulusan prodi ilmu umum. Selain memperhatikan kebutuhan user, PTAI harus jeli melihat perguruan tinggi pesaing (competitor).
Kejelian menangkap kebutuhan user dan keunggulan competitor penting untuk menentukan kegiatan rebranding PTAI. Konsekuensinya, PTAI tidak boleh dikelola asal-asalan. PTAI harus dikelola secara profesional. Hanya dengan cara itulah, PTAI dapat terus eksis di tengah persaingan di antara pendidikan tinggi yang kian ketat.*
*) Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim ( mr_abien@yahoo.com)


 

Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama


Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.

Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)
maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)

Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?
Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.
Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:
Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.
Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ö قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.
Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh, betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu agama yang memadai.
Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Artikel Majalah Muslim.Or.Id


WAJAH PENDIDIKAN ISLAM TERPADU (Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu Pengetahuan)

Posted by | February 14, 2013 | Artikel | No Comments
Oleh; Mohammad Roby Ulfi Zt*)
A. Prolog : Pendidikan Pangkal dan Ujung Kebangkitan
Pendidikan itu super penting. Tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa pendidikan adalah asas paling berpengaruh bagi maju-mundurnya sebuah peradaban. Pendidikan yang buruk akan menjadikan peradaban yang terpuruk. Sebaliknya, peradaban yang maju tidak bisa terlepas dari peranan pendidikan yang baik. Jadi, membangun pendidikan sama artinya membangunan masa depan. Dan jika ditemukan sebuah peradaban begitu terbelakang, maka langkah pertama dan yang paling utama untuk membenahinya adalah membenahi sistem pendidikannya. Karena fakta historis telah lama menggariskan, tidak ada satupun peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu dalam sistem pendidikannya, entah itu peradaban kuno maupun modern.
Lalu, bagaimanakah dengan kualitas pendidikan di Indonesia dan dunia Islam kita? Berdasarkan table liga global yang diterbitkan Firma Pendidikan Pearson November 2012 lalu, kualitas sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia bersama Meksiko dan Brasil. Ternyata pendidikan Indonesia 2012 masih belum naik dari hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001, yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. Disisi lain, wajah Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak sedunia ikut tercoreng. Yah, diakui atau tidak saat era informasi dan terknologi sekarang ini umat Islam dimanapun berada dirasa sangat minim memberikan kontribusi signifikan pada dunia. Umat Islam yang begitu mayoritas berada di garda terbelakang dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, hingga keberadaannya tak dianggap ada selain sebagai obyek dan konsumen produk-produk luar.
Sementara itu, dunia Barat sangat menghegemoni peradaban dunia selama kurang lebih tiga abad ini. Hasil pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat berhasil melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Di satu sisi ia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain ia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu Barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral dan etika.
Dari perkembangan ilmu pengetahuan yang bebas nilai itu, ternyata aspek pendidikan belum mampu menimalisirnya, apalagi mengatasinya. Setidaknya ada beberapa faktor di antaranya masih ada pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum). Bila budaya dikotomi ilmu dari aspekk pendidikan ini dibiarkan terus menerus, niscaya akan melestarikan keterbelakangan umat Islam dan menjadikan umat Islam sebagai umat konsumtif yang statis.
Ketebelakangan umat Islam saat ini adalah buah dari pendidikan yang dianggap kurang berhasil –untuk tidak mengatakan “gagal”- dalam menghadapi berbagai tantangan global dan krisis multidimensional yang harus sesegera mungkin dicarikan solusinya agar masa depan umat Islam menjadi lebih baik. Sebab, bagaimanapun juga, pembenahan pendidikan adalah pangkal sekaligus ujung kebangkitan umat Islam.
Berangkat dari spirit diatas, penulis melalui goresan sederhana ini berupaya mewacanakan wajah pendidikan Islam terpadu sebagai salah satu solusi tepat yang mesti kita kembangkan bersama. Pendidikan Islam terpadu bagi penulis telah memiliki akar sejarah yang kuat saat peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Makalah ini akan sedikit menghantarkan kita pada tradisi keilmuan dalam sejarah Islam, kemudian beranjak ke terma epistemologi ilmu pengetahuan Barat yang menciptakan dikotomi-dualisme, perkelahian agama-ilmu, dengan berbagai dampak buruknya. Dan berakhir untuk membahas bagaimana langkah kita mengintegrasikan (memadukan, red) kembali dikotomi ilmu pengetahuan tersebut.
B. Tradisi Keilmuan dalam Sejarah Islam
B.I. Ilmu dalam Al Quran dan Sirah Nabawiyah
Sebenarnya Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Marlilyn R. Wargman, seorang Islamisis Barat, menegaskan bahwa tidak ada dikotomi dalam Islam. Hal ini didasarkan atas universalitas Islam sendiri yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan ini sejalan dengan fungsi al-Quran sebagai rahmat bagi semesta alam.
Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat kita kaji dan analisa dari al-Quran. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran. Ini menunjukkan betapa besar urgensitas kedudukan ilmu bagi kehidupan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Diperkuat lagi dengan adanya 750 ayat al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya (al ayat al kauniyat). Hal ini, tulis Quraish Shihab, mengisyaratkan agar manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini sesuai dengan tuntunan-Nya.
Pengertian ilmu dalam al-Quran, menurut al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), ada dua tipe; yaitu pengetahuan terhadap sesuatu yang belum terkait dengan sesuatu yang lain yang dikenal dengan istilah tashawwur; dan kedua, pengetahuan terhadap sesuaut yang telah terikat dengan sesuatu yang lain yang dikenal dengan istilah tashdiq. Dalam kitab lainnya bernama Adz-Dzari’ah, Al Ashfahani mendefinisikan ilmu secara umum dengan mengetahui hakikat sesuatu dengan sebenarnya. Melalui definisi ini, tegas Muhammad Sa’id al Buthi, ilmu dalam perspektif Islam lebih luas domainnya daripada science perspektif Barat. Tidak hanya terbatas materi, obyek ilmu dalam Islam juga meliputi metafisika dan non materi. Tidak hanya bersumber dari rasio dan panca indera, metodologi Islam juga melandaskan legalitas ilmu pada otoritas wahyu serta khabar yang terpercaya secara umum.
Nah, dari spirit Qurani inilah Nabi Muhammad mengajarkan dan mensupport para Sahabatnya untuk terus belajar menggali ilmu pengetahuan, sejak dari lahir hingga akhir hayat, walau musti ke negeri Cina. Dengan banyaknya hadith Nabawi yang mengagungkan kedudukan ilmu, pelajar, dan guru, semangat tradisi keilmuan lahir bergelora di tengah-tengah masyarakat Arab, yang saat itu tertinggal dan terpinggirkan. Setidaknya, tradisi keilmuan pada era Nabawi ini mulai terlihat jelas dengan munculnya “sekolah” Ashabus Shuffah pada sekitar tahun dua hijriah.
Di sekolah yang masih berlokasi di Masjid Nabawi ini, kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang dikaji pada periode ini, sudah tentu masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks, maka ia tidak dapat disamakan dengan materi diskusi di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashabus Shuffah adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah (w. 59 H), Abu Dzar al Ghifari (w. 32 H), Salman al Farisi (w. 36 H), Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
B.II. Akar Sejarah bagi Pendidikan Islam Terpadu
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal yang multidisipliner. Abu Hanifah (w. 150 H), selain dikenal sebagai bapak fikih Islami, juga sangat kompeten dalam dunia bisnis. Dan Asy-Syafi’i (w. 204 H), yang dikenal sebagai perintis bangunan ushul fikih secara sistematis, juga ahli dalam bidang kedokteran.
Jadi, ulama-ulama kita dulu tidak pernah mempertentangkan ilmu umum dan ilmu agama, apalagi memarjinalkan salah satunya. Di mata mereka, semuanya penting dan musti dikuasai. Bukti bahwa ulama dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmu dari aspek keutuhan ilmu para tokoh muslim.
Ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan-keterpaduan ilmu yang wajib dipelajari. Al-Kindi (801-873 M), misalnya, merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi (870-950 M). Ibn Sina (980-1037 M), selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi (780-850 M) adalah ulama yang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. al-Ghazali (w. 505 H/1058-1111 M), walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang digelutinya, mulai dari ilmu fikih, teologi, falsafah, hingga tasawuf. Begitu pula Ibn Rusyd (1126-1198 M), seorang dokter muda, filsuf sekaligus faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh dan diangkat sebagai al-Mu’allim al-Tsani setelah Aristoteles di kalangan Barat. Ibn Khaldun al-Hadhrami (w. 808 H/1332-1406 M) dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam master piece-nya Al-Muqaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan umat Islam maupun para orientalisme. Dan masih banyak ulama-ulama multidisipliner lainnya, baik yang tercatat sejarah apalagi yang tak tercatat.
Dari eksistensi ulama-ulama yang mampu memadukan antara ilmu agama dan umum dari berbagai belahan dunia Islam, lintas generasi dan kurun seperti diatas, bisa dipastikan dikotomi ilmu pengetahuan belum ditemukan dalam sistem pendidikan saat itu. Sebaliknya, mereka hidup dan besar dalam atmosfer pendidikan Islam yang terpadu. Tidak heran, peradaban Islam saat-saat itu begitu jaya disaat dunia Barat masih terbelakang diselimuti oleh masa yang disebutnya sebagai abad kegelapan.
Philip K. Hitti melukiskan peradaban Islam saat itu dengan mangatakan, “Selama berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan, dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, diantaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi, dan geografi banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya.” (Bammate, 2000: 24)
Jika kita membaca sejarah peradaban Islam secara lengkap, kita semakin yakin tidak ada istilah dikotomi ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual para ilmuwan Islam. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Mereka mampu memadukan ilmu-ilmu keagamaan dengan perkembangan ilmu-ilmu umum karena menyadari ilmu-ilmu itu semuanya bermuara dan menghantarkan kepada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu.
B.III. Klasifikasi Ilmu dalam Literatur Ilmuwan Islam
Tidak sedikit akademisi Muslim kontemporer yang salah paham dengan ditemukannya pembagian atau klasifikasi ilmu dalam banyak literature ilmuwan Islam masa lalu. Mereka terjebak dan mengklaim bahwa klasifikasi ilmu menjadi naqli-’aqli atau syari’i-ghair syar’i dan semacamnya merupakan jejak dikotomi ilmu yang telah lama mengakar dalam tradisi keilmuan Islam sejak dahulu kala.
Namun, benarkah demikian klaim tersebut?
Adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al Kindi ilmuwan Islam kali pertama yang merintis klasifikasi ilmu terdiri dari al-’ulum an-naqliyah dan al-’ulum al-’aqliyah dalam karyanya, Fi Aqsam Al-Ulum. Kemudin dilanjutkan oleh Abu Nashr Muhammad bin Muhammad al Farabi melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki Ilmu), yang mendapat perhatian lebih luas. Osman Bakar manginformasikan pada kita bahwa al-Farabi mangklasifikasi ilmu pengetahuan untuk beberapa tujuan. Pertama, sebagai petunjuk umum pada beragam ilmu pengetahuan, sehingga pelajar hanya memilih untuk mempelajari subjek yang bermanfaat. Kedua, untuk mempelajari hirarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi memberikan cara yang bermanfaat bagi penentuan spesialisasi. Keempat, memberi informasi pada siswa tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum menentukan keahlian dalam ilmu pengetahuan tertentu.
Jadi, alasan utama klasifikasi yang dirintis oleh al Kindi dan kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar ilmuwan generasi selanjutnya bukan untuk mendikotomi-mengkerdilkan disiplin ilmu tertentu, tapi justru ingin menegaskan semua disiplin ilmu itu dalam tatanan hirarki satu kesatuan sekaligus agar kita mudah mengetahui hubungan yang tepat antara berbagai macam disiplin. Klasifikasi ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan karena para ilmuwan Islam sangat menyadari bahwa tidak ada konsep ilmu yang lengkap tanpa mengacu pada cakupan pokok masalahnya dengan kejelasan skop dan posisi tiap ilmu pengetahuan dalam skemanya secara keseluruhan.
Dari sekian bukti-bukti sejarah dan kejelasan diatas, sekali lagi bisa tegaskan, secara normative-konseptual dalam pendidikan Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu pengetahuan.
B.IV. Faktor-faktor Dikotomi Ilmu Pengetahuan dalam Masyarakat Islam
Bila pada sub-sub sebelumnya telah dipaparkan tradisi keilmuan Ilsam yang integratf-terpadu dan keberhasilannya dalam membentuk peradaban Islam yang disegani oleh seluruh dunia, ketika kita melihat dan bandingkan kejayaan masa silam itu dengan realitas umat Islam masa kini, tentu muncul pertanyaan besar dalam benak kita, sejak kapan wajah pendidikan Islam terpadu itu mulai terkikis hingga masyarakat Islam kini terjanggit oleh paradigma berfikir yang serba dikotomis-dualisme?
Sebelum menjawab pertanyaan besar ini, alangkah baik kita terlebih dahulu memahami arti kata kunci jawaban ini, dikotomi/dichotomy. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya secara jelas sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Jadi, syarat bisa dikatakan terjadinya dikotomi itu selain adanya pembagian juga harus terjadi pertentangan antar dua kelompok/lebih sebagai konsekuensi dari pembagian tersebut. Jika dibagi, tapi tak dipertentangkan, bukanlah disebut dikotomi. Dalam konteks ini, dikotomi ilmu pengetahuan berarti pandangan yang mempertentangkan antara ilmu keagamaan dan ilmu umum (science). Akhirnya, pandangan dikotomis ini mempunyai implikasi besar terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta terlalu menekankan pada pendalaman al-’ulum al-diniyah yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains dianggap terpisah dari agama.
Dan kembali ke pertanyaan, lantas kapankah pandangan dikotomis ini lahir dalam sistem pendidikan Islam? Banyak versi yang telah ditulis banyak pemerhati pendidikan keislaman kita. Satu versi dengan yang lainnya saling mengisi dan menguatkan. Dan dari berbagai versi itu, penulis bisa menarik benang hitam, setidaknya pandangan dikotomis yang merongrong sistem pendidikan Islam terpadu mulai tampak sejak ribuan bahkan jutaan karya ilmiah umat Islam hangus dan dirampas oleh 150.000 pasukan perang Salib I yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond yang mampu meraih kawasan Palestina dari kekuasaan Khilafah Abbasiah pada tahun 1095 M. Tidak hanya perang Salib, pada tahun 1258 M/656 H umat Islam lagi-lagi mengalami kegetiran hidup yang teramat pedih sekaligus kehilangan ribuan naskah ilmiah saat 200.000 tentara Hulaghu Khan berhasil meruntuhkan Baghdad sebagai ibukota peradaban Islam waktu itu. Selain kota Palestina dan Baghdad, setelah dua setengah abad berikutnya; tahun 1492 M/897 H, jauh di belahan benua Eropa, kebesaran dan keagungan Andalusia sebagai pusat peradaban Islam disana dikepung dan ditaklukkan oleh satuan Kerajaan Ferdinand dari Argon plus Kerajaan Isabella dari Castilia. Jatuhnya Andalusia kepada pihak Kristen merupakan awal berakhirnya sejarah warga Muslim Spanyol, tak terkecuali sirnanya kekayaan khazanah intelektual Islam Andalusia.
Penaklukan Pelestina (1095 M), Baghdad (1258 M), dan Andalusia (1492 M) jelas sangat berperan besar terhadap merosotnya kualitas pendidikan Islam paska penaklukan. Berapa banyak ilmuwan yang syahid melawan penjajahan saat diserang? Berapa banyak karya ilmiah yang musnah dan dijarah setelah penaklukan-penaklukan itu? Semua itu semakin mengkaburkan sistem pendidikan Islam terpadu yang telah lama dibangun sebelum penaklukan. Setelah penaklukan inilah, model dikotomis mulai mewujud dalam realitas sejarah pendidikan Islam.
C. Krisis Epistemologi Ilmu Barat
Selain faktor penaklukan masa lalu, perkembangan ilmu pengatahuan modern yang dimotori Barat juga menciderai wajah pendidikan Islam sejak era kolonialisme hingga sekarang, sehingga posisi agama musti dipinggirkan karena menghambat dinamisasi ilmu pengetahuan. Berawal dari Bapak filsafat modern, René Descartes (m. 1650), melalui prinsip “cogito ergo sum”, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria (rasionalisme) untuk mengukur kebenaran. Berbada dengan David Hume (m. 1776), yang menegaskan bahwa panca indera adalah sumber ilmu (empirisisme). Keduanya lalu diperkaya oleh Immanuel Kant (m. 1804), bahwa metafisika itu ilusi transendent (a transcendental illusion), setiap pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value). Terpengaruh dengan pemikiran Kant, Hegel (m. 1831) dengan filsafat dialektikanya berpendapat pengetahuan adalah ongoing process, dimana tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru.
Epistemologi ilmu sekuler yang ateisme ini kemudian menjalar ke dalam rahim berbagai ilmu pengetahuan. Adalah murid Hegel, Ludwig Feurbach (1804-1872), seorang ahli teologi Kristen, menegaskan agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind). Terinspirasi dari Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah candu rakyat, keluhan makhluk yang tertekan, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Karenanya, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Tidak hanya itu, Auguste Comte (1798-1857), penemu istilah sosiologi, melalui tiga fase teoritisnya , memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi, hanya karya ilmiahlah satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan. Dalam dunia Filsafat, juga ada Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang mengumandangkan God is death; maka pada pertengahan abad ke-20 M Jacques Derrida (1930-2004) pun mendeklarasikan the author is death.
Pemapan singkat ini melukiskan, tulis Dr. Adnin Armas , konsep ilmu Barat yang hanya bersumber kepada akal dan panca-indera, telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran seperti ateisme, rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Westernisasi ilmu bukan saja telah menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, namun juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Darisinilah, api perkelahian ilmu dengan agama semakin membara.
D. Antara Islamisasi dan Reintegrasi Ilmu-ilmu
Mengamati wajah epistemologi ilmu Barat yang menyulut problem dikotomi pengetahuan, muncullah perbincangan tentang Islamisasi dan reintegrasi ilmu pengetahuan sebagai respons terhadap krisis pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sedang diderita oleh umat Islam. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi pada Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Muslim di Makkah tahun 1977. Seminar nasional tentang Islam dan Pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh IAIN Jakarta 25-27 April 1983 antara lain merekomendasikan bahwa pendidikan haruslah dilakukan tanpa bersifat dikotomis terhadap sains dan ilmu agama. Fenomena transformasi IAIN/STAIN menjadi UIN yang semarak sekarang juga berangkat dari kesadaran reintegrasi keilmuan tersebut .
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, Syed Naquib dan Al-Faruqi sepakat bahwa seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat. Setelah pra-syarat ini, Syed Naquib menawarkan dua proses yang saling terkait demi kesuksesan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai berikut :
1) Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Proses isolasi/filterisasi ini -tambah al-Faruqi, menyempurnakan- bisa dilakukan setelah kita benar-benar menguasai obyek bidang yang akan diislamkan serta memahaminya secara sempurna.
2) Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Di proses kedua inilah, menurut al Faruqi, peran integrasi ilmu diaktifkan. Setelah proses pertama dilakukan, kita harus mengintegrasikan bidang tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.
Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari cara pandang dikotmis-dualistik dan dampak-dampak buruk westernisasi ilmu yang dikembangkan Barat ke seluruh dunia. Islamisasi juga mampu membangkitkan peradaban Islam dan umatnya dari keterbelangkan yang telah lama diderita. Apa yang kita upayakan dari Islamisasi ilmu saat ini sebenarnya merupakan perpanjangan dari upaya Ulama klasik era Abbasiyah saat “mengoperasi” khazanah intelektual Yunani yang belum terjamah sebelumnya.
Tentu masih banyak model-model integrasi keilmuan selain yang ditawarkan Syed Naquib dan al Faruqi diatas. Merumuskan model-model integrasi ini secara konsepsional memang cukup pelik. Hal ini terjadi karena berbagai ide dan gagasan integrasi keilmuan muncul secara sporadik, baik konteks tempatnya, waktunya, maupun argumen yang melatarbelakanginya. Dalam makalahnya, Huzni Thoyyar telah mensurvey banyak literatur pemikir muslim kontemporer dan menyimpulkan ada sekitar sepuluh kelompok model integrasi ilmu-ilmu agama-umum.
E. Epilog : Sebuah Mega Proyek
Dalam sejarah pendidikan Indonesia paska kemerdekaan, sebetulnya para pendiri bangsa dan negara ini juga begitu mengharapkan terbentuknya satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional yang terpadu, tidak seperti yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda yang sekuler dan netral terhadap agama. Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.” Satu sistem pengajaran nasional yang dikehendaki pasal 31 ini kemudian djelaskan oleh PPKI bidang Pengajaran dan Kebudayaan dalam rumusan “Rencana Pokok-pokok Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan” , tepatnya dengan pernyataan bahwa “pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat,” dan bahwa “usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan bangsa.”
Jadi, keterpaduan pendidikan antara illmu agama, budaya, dan pengetahuan umum adalah cita-cita bersama. Baik Islam maupun bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya hingga kini terus mencari sistem/kurikulum pendidikan yang ideal. Seringnya pergantian kurikulum setiapkali berganti menteri dan beragamnya sistem pengajaran di pondok-pondok pesantren di setiap masa dan tempat tidak lain merupakan proses pencarian sistem yang ideal tersebut. Maka dari itu, sebagai akademisi pendidikan, revitalisasi berbagai sistem pendidikan yang berkembang sekarang adalah sebuah keniscayaan dan “kewajiban” bagi setiap dari kita yang merindukan kebangkitan dan masa depan yang benderang.
Penulis sangat menyadari apa yang telah dipaparkan sedari awal disini masih sangatlah global dan sama sekali belum menyentuh realitas pendidikan yang nyata. Namun, setidaknya tulisan ini merupakan modal dasar untuk memahami dan merekonstruksi setiap sistem pendidikan yang sangat dikotomis dan secara perlahan mengajarakan anak didiknya sekular, bahkan ateisme. Disisi lain, tulisan ini juga diharapkan menjadi pelita bagi setiap sistem pendidikan yang menutup rapat-rapat dinamisasi ilmu pengetahuan umum yang menghegemoni alam pikiran mayoritas masyarakat dunia saat ini. Bahwa membangun wajah pendidikan Islam terpadu saat-saat ini adalah sebuah mega proyek yang harus kita desain seindah mungkin dengan pondasi-pondasi kokoh, sehingga mampu membangunkan peradaban kita dari tidur panjangnya.
Wallahu A’lam ***
Hadhramaut, Selasa, 02 Robi`uts Tsany 1434 H


catatan oleh Muhamad Thoriq :Bahayanya Ilmu Pengetahuan dan Bahayanya Ulama’ Su’/Dunia

oleh Muhamad Thoriq pada 18 November 2010 jam 15:58
Ciri ulama’’ akhirat adalah mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal. Semua amal ibadahnya ditumpukan semata-mata untuk menemui Allah Ta’ala. Sedangkan ulama’ su’ itu terhimpun dengan dunia, ulama su’ itu sama saja dengan ulama’ dunia. Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk atau membeli dunia dengan petunjuk. Karena tujuan semata-mata adalah mencari kepuasan dan kesenangan duniawi. Berharap dengan kedudukan, kemegahan dan pandangan mata kepala, yaitu menginginkan pujian-pujian semata.Sabda Nabi SAW :“Manusia yang akan memperoleh adzab pada hari kiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfaat dengan ilmunya”. (HR. Abu Hurairah ra).Ilmu yang tidak bermanfaat itu artinya ilmu yang ditujukan semata-mata untuk tujuan kehidupan dunia. Dan Imam Ghazali menyrbut hadiys ini sampai 3 kali agar manusia yang menuntut ilmu dan yang berilmu waspada terhadap ilmu yang tidak bermanfaat.Sampai Nabi Muhammad SAW memberikan doa :ALLAHUMMA INNI AUDZUBIKA MIN ILMIN LAA YANFA’UN WA MIN QOLBIN LAA YAKHSA’U WA MIN NAFSHIN LAA TASBA’U WA MIN DA’WATIN LAA YASTAJABULAHA. 3x Habis Shalat Fardhu”.Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari hati yang tidak pernah khusu’, dan dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.


Ada tiga bagian yang diinginkan oleh manusia dalam menuntut ilmu : Pertama, tujuan menuntut ilmu untuk mendapatkan kedududkan, harta, kesenangan dunia, pangkat dan mendapatkan kemegahan. Kemudian niat yang kedua adalah tujuan semata-mata untuk mencari suami atau istri didalam majelis Ilmu. Yang ketiga adalah tujuan semata-mata mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yaitu tentang akhirat dan itulah yang mendapatkan keridhaanNya.Ketiga niat itu tidak akan tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Akan dikabulkan oleh Allah segala hajat-hajatnya menurut tujuan mereka masing-masing. Yang mendapatkan dunia maka kelak mereka akan bangkrut diakhirat, yang mendapat jodoh (suami/istri) itu kelak tidak akan mendapatkan bidadari surga. Kecuali mereka yang mendapatkan ridha Allah SWT, maka jodoh, pangkat, harta dan semuanya akan mendapatkannya. Memahami ilmu itu adalah bagian dari kekuasaan daripada segala niat.Sabda Nabi SAW :“Tidaklah seseorang itu disebut ‘Alim sebelum berbuat menurut ilmunya”. (HR. Ibnu Hibban & Al Baihaqi dari Abu Darda ra),Yang dimaksudkan, setiap perbuatan amal ibah atau pekerjaan sehari-harinya, dia tidak akan melakukan segala sesuatu kecuali ilmu itulah imamnya. Dengan ilmu itu untuk menghantarkan manusia mendapatkan petunjuk dari Allah. Jika segala sesuatu sudah mendapatkan petunjuk Allah berarti manusia itu disebut berilmu dan disebut manusia itu sudah bersama Allah, jalannya Allah, ucapan Allah, pandangan Allah, pendengaran Allah, karena telah disebutkan mereka bersama Allah. Jadi, kata-kata orang berilmu adalah ibadahnya dan semua perbuatannya berdasarkan dengan ilmu.Setiap kaliamat, kata-kata dan ucapannya ada dasar ilmunya.Yang membedakan orang awam dan orang yang berilmu dalam ibadah, orang awam menjalankan dengan amal sedangkan orang berilmu menjalankan ibadah dengan ilmu. Karena ilmu itulah yang bisa membawa manusia mendapatkan sebaik-baik petunjuk.Perumpamaan ilmu Mu’amalah, tidak ada dokter yang mengobati seorang pasien kecuali telah mengetahui obatnya. Sebelum dokter itu mengobati pasien, maka dia sudah tahu obat apa yang pantas untuk pasien itu. Persiapanpersiapan dengan pemahaman ilmu itulah yang disebut orang berilmu. Meletakan kepada sesuatu yang mana saat itu dibutuhkan.Sama dengan perumpamaan, ada baju kotor dan dia tahu berapa takaran sabun yang digunakan untuk mencuci baju itu. Alat untuk membuat kebaikan itu dengan ilmu. Ada orang beramal tetapi tidak mengetahui pahalanya, maka itu bukan orang berilmu. Mengamalkan amalan ibadah, dia harus mengetahui indikasinya dan Fadilahnya. Tanpa pengetahuan ilmu itu seperti orang yang puasa di bulan Ramadhan tetapi tidak tahu yang membatalkan puasa. Banyak orang yang berpuasa, menajalankan amal ibadah puasa tetapi dia tidak mengetahui batalnya puasa, ini bukan orang yang berilmu. Maka, dengan ilmu tersebut dia menjaga agar jangan sampai batal puasanya. Karena ibadah puasa tanpa ilmu itu pasti akan banyak gugur/batal yang mengakibatkan hanya mendapatkan lapar/haus. Kesempatan Bulan Ramadhan itu maka diisi dengan menambahkan amal-amal shaleh. Sampai terbenamnya matahari, dia mendapatkan pahala disisi Allah karena mengetahui ilmu dalam Bulan Ramadhan.Sabda Nabi SAW :“Ilmu pengetahuan itu ada dua: yang pertama diletakan pada lisan yang menjadikan sebab untuk beribadah kepada Allah dan terhadap social masyarakat pada umumnya. Yang kedua adalah adalah ilmu hati, yang hatinya selalu bermanfaat bagi dirinya dan orang lain”. (HR At Tirmidzi dan Ibnu Birri dari Al Hasan).Contoh, kita tidak tahu sejauh mana doa dan amal ibadah kita dengan lisan kita. Seperti halnya orang yang hafal Al Qur’an. Sejauh mana pahalanya disisim Allah?. Kita hanya mengimani bahwa itu adalah Kitabullah Al Qur’an. Sampai kepada Tuhan, dari lisan, dan sampai kepada manusia yaitu pengajaran untuk mengetahui perbuatan.Kemudian ilmu yang didalam hati, yaitu mengatur niat. Niat itu adalah pokok sumber ibadah. Dengan niat tersebut,”bahwa kami beramal semata-mata karena Allah untuk mencapai ridhaNya”.Maka dua bagian yang didapat yaitu bathin dan lisan, walaupun kita tidak memahami dengan apa-apa yang kita baca (Al Qur’an). Yang kita mengetahui dan percaya bahwa Al Qur’an itu adalah Mu’jizat. Maka itu disebut ilmu yang bermanfaat. Yang mendengar, membaca, duduk, semuanya bermanfaat.Sabda Nabi SAW :“Banyak orang melakukan ibadah tetapi dengan kebodohan dan banyak orang-orang berilmu yang tidak menjalankan ibadah (fasiq)” (HR Al Hakim dari Anas).

Yang bodoh rajin ibadah maka itu bala’ dan bencana. Sedangkan orang yang berilmu tidak mengamalkan amal ibadahnya kemudian menjual ayat/agama maka itu juga bencana. Dua kejadian orang itu adalah musibah dan bencana sehingga akhir zaman ini banyaknya musibah itu disebabkan oleh dua manusia yang bodoh itu. Sabda Nabi SAW :“Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk niat bersombong-sombong dengan sesama orang yang menuntut ilmu”. (HR. Ibnu Majah dari Jabar ra, Sahih).Jadi, ada orang yang menuntut ilmu itu untuk tujuan kesombongan dan untuk mencari musuh/bertengkar. Dan musuhnya itu adalah orang-orang bodoh dan lemah, yaitu orang yang lemah berfikir. Dan tujuannya untuk mencari perhatian orang lain sehingga orang ramai datang kepadanya karena dia merasa lebih baik daripada mereka.Barangsiapa yang berbuat demikian itu maka dia wajib masuk kedalam neraka.

Sabda Nabi SAW :“Barang siapa yang menyembunyikan ilmu pengetahuan yang ada padanya maka kelak mereka akan diberikan oleh Allah tali kekang pada mulutnya dengan kekang api neraka” (HR Ibnu Juz’I dari Abu Hurairah ra).Jadi, orang yang berilmu itu pun kadang-kadang pelit dengan ilmunya, “ini untuk saya dan kamu belum wajib menerimanya”.Ilmu itu ada dua, ilmu khusus dan ilmu umum. Yang umum tidak boleh diberikan kepada yang khusus dan yang khusus tidak boleh untuk umum. Yang satu disebut ilmu Sirr dan yang satunya adalah ilmu dhahir. Jika sudah waktunya menerima maka tidak boleh disembunyikan ilmu itu,Misalnya ada ijazah, tetapi ternyata ilmu itu diberikan kepada muridnya yang bodoh, atau yang belum waktunya. Maka diibaratkan seperti kalung mutiara (ilmu yang sangat berharga) yang dikalungkan dileher babi. Pantaskah kalung mutiara itu ditaruh dileher babi?, itu tidak dibenarkan. Tetapi si murid yang bodoh itu menuntut/memaksa agar kalung mutiara itu dikenakan padanya, padahal dia itu “babi”.

Sabda Nabi SAW :“Sesungguhnya aku lebih takut kepadamu kepada yang bukan dajjal dari dajjal” (HR. Ahmad dan Abi Dar ra.)Jadi, Nabi Muhammad SAW sudah memberikan peringatan kepada kita. Bahwa lebih ditakuti/dikwatirkan oleh beliau adalah sosok manusia tetapi sifat dan perbuatannya dajjal. Bukan dajjal sebenarnya yang ditakuti/dikwatirkan oleh Nabi SAW, tetapi kelak ulama’-ulama’ yang sifatnya dajjal, yaitu disebut ulama’ Su’/ulama dunia. Mereka mengajak hidup lama didunia ini.Maka banyak orang menanyakan “siapakah yang dimaksudkan dajjal itu Ya…Rasul SAW?” maka jawab Nabi SAW “adalah imam-imam, pemimpin atau pemuka-pemuka yang dhalim dan menyesatkan, itulah dajjal yang berupa manusia”.Yang mana akhir zaman sekarang ini sudah banyak bermunculan dikampung-kampung, didesa-desa sampai dikota. Tidak disadari bahwa mereka sudah dikendalikan oleh Dajjal.

Sabda Nabi SAW  :“Barangsiapa yang bertambah ilmunyadan tidak bertambah petunjuknya niscaya dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh dari Allah” (HR Abu Manshur Ad Dailami dan Ibnu Hibban).Contoh, banyak orang yang menuntut ilmu, sudah beribadah, berdoa, mengabdi, berdzikir tetapi putus asa. Itu sebenarnya makin jauh dari Allah, makin tidak ada getaran dalam hatinya, dalam pikirannya, dalam dirinya, tidak ada kekhusu’an, dll. Ini adalah cirri-ciri orang yang makin jauh dari Allah. Karena nilainya menuntut ilmu hanya ikut-ikutan saja (taklid). Tidak mendapatkan harapannya tetapi justru mendapatkan kesusahannya. Tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali kebingungan. Andaikata menjalankan perintah Allah Ta’ala, ada sesuatu yang diinginkan selain Allah dan RasulNya. Maka, itu adalah cirri-ciri orang yang makin beribadah tetapi justru makin jauh dari Allah dan RasulNya serta tidak ada bekas (Atsar) amal ibadahnya.Sabda Nabi Isa as : “Kapankah kamu akan menerangkan jalan kepada orang-orang yang berjalan malam? Sedangkan kamu bertempat tinggal bersama orang-orang yang dalam keheranan”.Yang dimaksud oleh Nabi Isa as; bagaimana kita akan memberikan petunjuk kepada orang lain atau keluarga kita sedangkan diri lita sendiri dalam kebingungan. Bagaimana akan menjadi imam didalam hidup sedangkan diri kita sendiri dalam dalam tekanan/beban yang berat. Bagaimana kita akan mendapatkan satu kebaikan sementara kita masih terbelenggu dengan nasib.Bagaimana kita bisa menjadi contoh yang baik didalam kehidupan manusia sementara kita sendiri masih terhimpit dengan masalah dunia. Bagaimana kita akan mengajak orang lain kepada jalan yang kebaikan sementara yang kita sampaikan tidak ada keikhlasan dalam diri. Bagaiaman akan terang hidup orang lain sementara didalam “rumah kita” terjadi kegelapan. Maka disitulah bahayanya ilmu yang bisa membuat manusia menderita dan dibinasakan dalam keabadian.Disebut orang itu berilmu tetapi gelap wajahnya, gelap kehidupannya, itu sebenarnya imannya sudah dicabut, ilmunya tidak bermanfaat dan berada dalam kebinasaan. Maka dia campurkan antara ilmu pengetahuan dan ilmu akhirat yang semua tidak memperoleh keselamatan. Dia tuntut ilmu pengetahuan  tidak mendapatkan kebahagiaan, dia tuntut ilmu akhirat juga tidak mendapatkan kebahagiaan. Dia campurkan antara pengetahuan dan agama. Andaikata ingin mendapatkan kebahagiaan maka yang diinginkan hanya kebahagiaan dunia semata.Ilmu itu adalah Atsar dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Atsar itu bisa berarti sumber dari para sahabat, bekas-bekas sejarah dari para sahabat, sampai diriwayatkan kepada ulama’-ulama’ akhirat.Berkata Sayyidina Umar ra , “Yang paling aku takutkan kepada umat ini ialah orang-orang munafiq yang menuntut ilmu atau orang munafiq yang berilmu, dia akan terperosok dan tersesat jalannya, mereka akan mengganti kedudukan akhirat dengan dunia”. Maka sahabat lain bertanya kepada Sayyidina Umar “Bagaimana bisa terjadi orang yang munafiq itu berilmu?”, Sayyidina Umar menjawab “dia hanya berilmu dilidahnya tetapi bodoh dan jahil dihatinya dan jelek perbuatannya”.Berkata Al Hasan ra, “Janganlah ada engkau sebagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, kata-kata pilihan hukuma’ dan berlaku dalam perbuatan seperti sufaha’ (orang-orang bodoh)”. Artinya, menuntut ilmu baik ilmu Mu’amalah, ilmu Fiqih atau Ilmu Tauhid, tetapi digantikan dengan dunia. Manggantikan dengan harga yang murah (harta), itu adalah bodoh. Itulah yang disebut orang munafiq yang berilmu.Ada seorang laki-laki dating kepada Abu Hurairah ra, “saya ingin menuntut dan mempelajari ilmu tetapi saya takut, jangan-jangan ilmu itu tidak bermanfaat dan sia-sia”.  Ada orang yang menuntut ilmu tetapi tidak bermanfaat, ada yang dating untuk numpang hidup, ada yang dating untuk mencari istri/suami, ada yang dating untuk harta/jabatan, dll. Maka dijawab oleh Abu Hurairah ra, “dengan berani meninggalkan menuntut ilmu itu maka sudah termasuk menyianyiakan ilmu”. Dengan begitu sudah termasuk sia-sia dalam hidupnya, umurnya, waktunya dan ibadahnya adalah yang berani meninggalkan ilmu. Jika masih bertambah maka dikurangi ilmunya.Ada seorang bertanya kepada Ibrahim bin Uyyainah “manakah manusia yang sangat lama penyesalannya?”, maka dijawab oleh Ibrahim bin Uyyainah “yang mana pada masa hidup didunia ialah orang yang telah berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih. Dan ketika mati nantinya yaitu orang-orang yang sudah berilmu tetapi menyia-nyiakan ilmunya”. Dan termasuk menjual ilmu itu dengan harga murah.Ketika kita memberikan amalan kepada seseorang lalu kita minta maharnya maka kelak dihari kiamat kita tidak berhak atas amalan tersebut. Kelak dia tidak mendapatkan balasan disurga karena sudah diambil didunia. Apa-apa yang ada tarifnya itu berarti ada nilai yang terbatas, maka kelak akan dibatasi dirinya masuk surga.Al Khalil bin Ahmad berkata, “orang itu ada empat macam, satu ialah orang yang mengetahui dan tahu dia mengetahui. Artinya, mengetahui segala niat, itulah orang yang berilmu maka ikutlah dia  (mengabdi) dan taatilah. Yang kedua, apabila ada yang mengetahui tetapi tidak tahu dia mengetahui (misalnya, orang yang menuntut ilmu tetapi tidak paham dengan ilmu dan tidak mempunyai keinginan untuk mengetahui), itu disebut orang yang tidur. (Mengaji dan belajar tetapi tidur walaupun matanya terjaga, apalagi tidur sungguhan), dia itu orang yang minta petunjuk maka tunjukilah dia. Yang ketiga, orang yang tidak ingin mengetahui dan tidak tahu dan tidak mengetahui itu disebut orang jahil, maka usirlah dan tolaklah dia”.Ada yang sudah dating di Majelis Ilmu tetapi tidak ingin tahu dan mengetahui sampai tidak tahu, maka usirlah dia. Termasuk orang yang tuli, keras hati dan tidak berakal. Hanya modal yang penting ikut tetapi tidak tahu dan tidak mengetahui dan tidask ingin tahu.

Sufyan Ats Tsauri ra berkata “Sesungguhnya ilmu itu dengan amal perbuatan, setelah mendengar ilmu dan melakukan amal perbuatan. Jika sudah ada demikian maka ilmu itu menetap (menjadi prinsip). Jika mendengar ilmu tidak diamalkan/dilaksanakan maka ilmu itu lenyap/hilang tidak berbekas”.Ibnu Mubarak berkata, “selama manusia itu menuntut ilmu dan sampai berilmu. Apabila ia menyangka dirinya sudah berilmu maka dia itu disebut orang yang bodoh”’Al Fudhail berkata “saya menaruh belas kasihan kepada 3 macam manusia; pertama orang mulia didalam lingkungan kaumnya yang menghinakan diri (artinya, orang yang sudah dimuliakan kaumnya, yang sudah mendapatkan nama yang bagus tetapi perbuatannya buruk. Jika seorang ulama’, dia melakukan penipuan), Yang kedua, orang yang sudah dianugerahi kekayaan oleh Allah tetapi dia pura-pura menjadi orang yang miskin karena takut dimintakan sedekah. Yang ketiga, adalah orang-orang yang sudah berilmu tetapi masih masih mau dipermainkan oleh dunia”.Maka siksaannya bagi ulama” (usuk/dunia) ialah diberikan mati hatinya, dzikirnya mati, suka menipu, kebusukan muncul, dll.Disebutkan kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat.Bersyirlah Al Hasan, “Aku heran orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Lebih heran lagi, orang membeli dunia dengan agamanya. Dan yang lebih heran lagi dari dua itu….adalah orang yang menjual agamanya dengan dunia, inilah orang yang paling ajaib dari yang dua itu….Nabi SAW bersabda :“Bahwa sesungguhnya orang yang berilmu itu diadzabkan dengan suatu adzab yang dikelilingi oleh penduduk neraka dengan perasaan takut karena saking dahsyatnya adzab itu”. Itulah orang ‘Alim dhalim.Berkata Usamah bin Zaid ra :“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “pada hari kiamat akan dibawa orang-orang yang berilmu lalu dilemparkan kedalam neraka maka keluarlah perutnya, dia mengelilingi perutnya itu seperti keledai mengelilingi gilingan gandum dan penduduk neraka mengelilingi sambil bertanya “mengapa engkau sampai begini” dan orang berilmu itu  menjawab “dulu aku selalu menyuruh kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak pernah mengerjakannya dan aku melarang dari seluruh kejahatan tetapi aku sendiri yang mengerjakannya”. (HR Bukhari &Muslim dari Usamah bin Zaid).Dilipat gandakan siksaan kepada orang-orang berilmu itu karena ilmunya, dengan menjual agamanya dan membeli kesesatan dengan petunjuk.Maka Allah berfirman dalam QS. An Nisa 145 :“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka”.Bahwa orang munafiq itu ada dalam tingkat neraka paling bawah dari orang kafir. Karena sesudah mendapatkan ilmu dia mengingkarinya. Dijadiakn orang yahudi itu lebih jahat daripada orang nashrani, padahal orang yahudi itu tidak mengakui Allah mempunyai anak dan tidak mengakui Allah itu yang ketiga. Tetapi disebabkan orang yahuid itu ingkar sesudah mengetahui. Allah berfirman “Mereka mengetahui kitab suci seperti mengetahui anaknya sendiri”.Jadi, lebih berat dank eras siksa bagi orang yang sudah mengetahui (ilmu) kemudian melakukan pelanggaran dan maksiat kepada Allah. Dosanya lebih besar dan nerakanya diletakan paling bawah dari orang kafir.

WALLAHU A’LAM

Hakikat Ilmu


Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)
Baru saja para orang tua disibukkan oleh agenda “mencarikan sekolah” untuk putra-putrinya yang akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sungguh melelahkan dan menegangkan, apalagi bagi anak yang nilainya pas-pasan. Sang Bapak dan Anak harus kesana-kemari sambil mencari informasi setiap harinya. Tidak hanya satu formulir yang diambilnya, sebagai alternatif bila sekolah pilihan pertama tidak dapat diraih. Fenomena ini terjadi setiap tahun, termasuk oleh sebagian besar kaum muslimin. Banyak pendaftar yang diterima dan akan berhadapan dengan biaya sekolah yang cukup besar. Namun ada juga yang tidak diterima sehingga harus memutar haluan hidup. Secara umum, hanya ada satu motivasi yang terbersit di hati mereka, yaitu : anakku harus menjadi orang sukses!

Sukses yang hakiki adalah berhasil menjalani hidup ini untuk mendapatkan syurga-Nya. Berapa banyak orang tua memandang bahwa kesuksean itu adalah dengan nilai duniawi. Lihatlah hadits di atas, bagaimana nilai dunia ‘tidak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk!!’. Hingga tujuan mereka menyekolahkan anak-anaknya ialah agar mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Mereka lupa akan tujuan menuntut ilmu ialah harus ikhlas karena Allah dan agar generasi kita tidak berada dalam kebodohan. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan.
Mereka lupa bahwa Islam sebagai agama paripurna telah memberikan perhatian yang besar terhadap kesuksesan, yaitu dengan ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Menuntut ilmu itu wajib (hukumnya) atas setiap muslim” (Shahihul Jami’ 3913)
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah menuntut ilmu syar’i. Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
Namun ketahuilah kaum muslimin yang semoga Allah rahmati, bahwa Islam membagi ilmu berdasarkan hukumnya sebagai berikut:

Pertama: Ilmu Dien, yang terbagi menjadi:
  1. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu ‘Ain (wajib dimiliki oleh setiap orang), yaitu: Ilmu tentang akidah berupa rukun iman yang enam, dan ibadah, seperti thoharoh, sholat, shiyam, zakat, dan ibadah wajib lainnya.
  2. Ilmu dien yang hukumnya Fardlu Kifayah (harus ada sebagian orang islam yang menguasai, bila tidak ada maka semua kaum muslimin di tempat itu berdosa), yaitu: ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fara’idh, ilmu bahasa, dan ushul fiqh.
Kedua: Ilmu Duniawi, yaitu segala ilmu yang dengan ilmu tersebut tegaklah segala maslahat dunia dan kehidupan manusia, seperti: ilmu kedokteran, pertanian, ilmu teknik, perdagangan, militer, dan sebagainya. Menurut ‘ulama, hukum ilmu duniawi adalah fardlu kifayah.
Dengan demikian, islam adalah agama ilmu, ilmu kemaslahatan hidup di dunia maupun akhirat. Namun seiring dengan pergeseran tujuan hidup manusia, motivasi menuntut ilmu pun mulai bergeser. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia mulai condong kepada ilmu duniawi dan menomor duakan, bahkan melupakan ilmu dien (agama). Entah kekhawatiran apa yang membayangi manusia sehingga mereka lebih mementingkan ilmu dunia dari pada ilmu dien, padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Rum:7)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
Maukah kita disebut bodoh oleh Sang Khaliq…??
Akankah kita bergelimang dalam kebodohan ilmu dien (agama), padahal kebodohan adalah sebuah kejumudan? Lalu, tidakkah kita ingin sukses dan jaya di negeri akhirat nanti? Apa yang menghalangi kita untuk segera meraup ilmu dien (agama), sebagaimana kita berambisi meraup ketinggian ilmu dunia karena tergambar kesuksesan masa depan kita?

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, seorang ‘ulama kontemporer telah mengumpulkan keutamaan ilmu, khususnya ilmu dien untuk mendongkrak motivasi kita yang begitu lemah. Mari kita simak!
  1. Bahwa ilmu dien adalah warisan para Nabi, warisan yang lebih berharga dan lebih mulia dibanding segala warisan. Rasulullah telah bersabda:
    Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya (warisan ilmu), sungguh ia telah mengambil keuntungan yang banyak”. (Shahihul Jami Al Albani : 6297)
  2. Ilmu itu akan kekal sekalipun pemiliknya telah mati, tetapi harta akan berpindah dan berkurang bahkan jadi rebutan bila pemiliknya telah mati. Kita pasti mengetahui Abu Hurairah –semoga Allah meridlainya- seorang yang diberi julukan “gudangnya periwayat hadits”. Dari segi harta, beliau tergolong kaum kaum papa (fuqoro’), hartanya pun telah sirna, tetapi ilmunya tidak pernah sirna. Kita masih tetap membacanya. Inilah buah dari Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam:
    Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
  3. Ilmu, sebanyak apapun tak menyusahkan pemiliknya untuk menyimpan, tak perlu gudang yang luas untuk menyimpannya, cukup disimpan dalam dada dan kepalanya. Ilmu akan mejaga pemiliknya sehingga memberi rasa aman dan nyaman, berbeda dengan harta yang bila semakin banyak, semakin susah menyimpannya, menjaganya, dan pasti membuat gelisah pemiliknya.
  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam menggambarkan para pemilik ilmu itu ibarat lembah yang bisa menampung air yang bermanfaat bagi alam sekitar, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Perumpamaan dari petunjuk ilmu yang aku diutus dengannya bagaikan hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur), yang mampu menampung air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rumput-rumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah keras yang mampu menahan air yang dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia untuk meminum, mengairi tanaman, dan bercocok tanam…..” (HR. Bukhari & Muslim)
  2. Ilmu adalah jalan menuju surga (jannah), tiada jalan pintas menuju surga kecuali dengan ilmu. Sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR. Muslim)
  3. Ilmu merupakan pertanda kebaikan seorang hamba. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Siapa yang Allah kehedaki baginya kebaikan, akan dipahamkan baginya masalah dien (agama)” (HR. Bukhari)
Problem terbesar di kalangan ummat ini adalah kebodohan terhadap agamanya. Maka diperlukan usaha nyata untuk memecahkan problem tersebut, yaitu dengan ilmu. Dan ilmu tersebut hanya akan didapat majelis ilmu yang didalam dikatakan “Firman Allah, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perkataan para sahabat –semoga Allah meridlai mereka semua-”. Tanpa melalaikan ilmu dunia, ilmu agama harus diprioritaskan karena hukum dan manfaatnya jauh lebih tinggi dibanding ilmu duniawi. Hal inilah yang sekarang ini terbalik. Ummat lebih mementingkan ilmu dunia dan cenderung melupakan ilmu dien. Padahal tidak ada obat bagi kebodohan kecuali dengan ilmu. Kebodohan dalam hal apapun! Bahkan ketika di antara kita ada yang mengatakan “kita harus seimbang antara dunia dan akhirat”.
Maka pada hakikatnya perkataan itu hanyalah usaha untuk menutupi kebodohan terhadapa ilmu dien. Bagaimana dikatakan seimbang, dikala dia tidak mengetahui syarat Laa Ilaha Illallah serta pembata-pembatalnya, konsekuensi 2 kalimat syahadat, rukun-rukun shalat, dan ilmu-ilmu dasar lainnya. Sementara dia mengetahui sekian banyak ilmu dunia, akuntansi, geografi, matematika, kimia dan ilmu yang bersifat duniawi secara mendetail. Bukanlah hal tercela diantara kita mendalami ilmu tersebut, namun yang dicela adalah ketika ilmu-ilmu tersebut mereka kuasai, tapi ilmu dien adalah nol besar jika tidak mau dikatakan minus.
Demikianlah beberapa mutiara ilmu (dien) yang jauh lebih mulia dari harta. Sebenarnya masih banyak keunggulan lainnya yang tidak termuat dalam tulisan sederhana ini. Karena itu mari kita gali ilmu dien secara benar dari sumbernya, yaitu Al-Quran dan As-sunnah melalui pemahaman para salafush shalih (pendahulu yang shalih). Jangan lupakan mutiara berharga dalam hidup ini.
Wallaahu waliyyut-taufiq.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Ulamak Dianggap Tidak Penting & Terpinggir Salam bahagia dan salam gembira dari saya kepada anda semua. Rasa terkilan apabila masyarakat sekarang ini meminggirkan orang agama dan beranggapan bahawa orang agama ini hanya sekadar baca doa, imam masjid, khalifah Yassin dan Tahlil dan sebagainya. Sering didengari di mana-mana tempat ulamak dan orang agama dihina dan dicaci, kononnya orang agama tidak tahu cakap inggeris, tidak tahu pentadbiran, tidak tahu teknologi, tidak tahu bermasyarakat, tolak pembanggunan dan banyak lagi. Sedih betul saya, apabila ulamak dan orang agama dihina dan dianggap kuno dan tidak sesuai bercakap pada zaman ini. Masyarakat sekarang ini mengatakan hebat dan bertamadun bagi orang berkelulusan luar negara, kelulusan doktor (medic), kelulusan undang-undang, kelulusan bisnes dan sebagainya. Mereka menganggap lekeh dan hina orang yang berkelulusan Azhar, kelulusan Pengajian Islam, Kelulusan Syariah, Kelulusan Usuluddin dan sebagainya. Orang agama atau ustaz dan ustazah ini tidak diperlukan untuk pembanggunan negara, tidak diperlu di dalam masyarakat dan sebagainya. Contoh dapat dilihat sekarang ini seperti kebanyakkan ibu dan bapa tidak mempunyai keinginan langsung untuk menghantar anak mereka ke Pengajian Islam, ada ibu bapa apabila anak masuk sahaja tahun 6 sekolah rendah diberhentikan anak tersebut dari sekolah arab (agama) dengan alasan anak tersebut perlu tumpu 100% untuk UPSR. Inilah yang dinamakan masyarakat sikular mengasingkan agama dan dunia, menganggap Pendidikan Islam ini tidak penting dalam didikan anak-anak mereka. Ustaz dan ustazah tidak penting dalam keluarga mereka, ustaz dan ustazah hanya menjadi tukang membaca doa dan imam di masjid sahaja. Inilah kesalahan dan inilah yang dinamakan munafik dan fasik, kerana meminggirkan Islam dibelakang dan menganggap Islam itu hanya doa, solat, tahlil, kahwin, bercerai dan Islam tidak sesuai untuk pentadbiran, Islam tidak sesuai untuk perlembagaan, Islam tidak moden dan sebagainya. Tidak terpikirkah kita semua, bahawa orang agama inilah yang banyak membantu kita semua dalam hal-hal yang berkaitan agama. Apabila adanya kematian, ustaz juga yang menguruskannya mayat tersebut. Apabila adanya kenduri perkahwinan, ustaz juga yang datang untuk mengahwinkan pasangan tersebut. Apabila disampuk hantu atau syaitan, ustaz juga dipanggil untuk merawat sampuk tersebut. Apabila adanya kenduri kesyukuran, ustaz juga yang dijemput untuk membacakan doa. Apabila adanya masalah agama, ustaz juga yang mereka rujuk untuk mendapatkan jawapan bagi masalah tersebut. Imam dan bilal di masjid, ustaz juga yang dilantik. Apabila berlakunya penceraian dan masalah didalam keluarga, ustaz juga yang menjadi tempat rujukkannya. Cuba kita fikir, kalaulah ustaz tidak ada langsung dalam negara ini, bagaimana untuk menyelesaikan masalah seperti ini. Adakah peguam nak menguruskan jenazah kita? Adakah doktor nak menyelesaikan masalah penceraian? Adakah guru bahasa inggeris nak membaca doa tahlil dan yassin? Kalaulah situasi ini berlaku dalam negara ini, maka alamatnya hancur akidah umat Islam dan sesat amalan umat Islam negara ini, kerana melaksanakan kerja ibadah dan kerja Islam tanpa belajar dan rujuk kepada orang agama. Pernah saya melawat seorang jenazah isteri kepada sahabat saya di Johor, sedih saya melihat penggali kubur memakai rantai sebesar ibu jari menguruskan pengebumian jenazah tersebut. Terdetik di hati saya, mana orang agama dikampung ini, mana penggali kubur yang baik, tidak melakukan perkara yang haram dan tidak pernah meninggalkan solat. Inilah yang dikatakan apabila orang agama dipinggirkan, maka jadilah seperti ini iaitu orang munafik dan fasik menguruskan mayat tersebut. Kesianlah kepada jenazah tersebut, sepatutnya biarlah orang agama yang menguruskannya dan biarlah jenazah tersebut diuruskan orang yang beriman dan orang agama, supaya jenazahnya dirahmati dan dicucuri rahmat. Apabila orang agama menguruskan mayat dan menanamkan mayat, maka ada juga terkeluar dari mulutnya doa, zikir dan ayat-ayat yang sepatutnya untuk disedekahkan kepada mayat tersebut. Tapi malangnya masyarakat tidak sedar semua ini, mereka tetap mengatakan ustaz atau orang agama tidak penting. Kalau belajar agama tidak ada kerja dan susah hendak dapat kerja. Perkara seperti ini pernah berlaku kepada saya, ketika mana saya melanjutkan pelajaran ke sekolah agama (pondok), banyak orang mengatakan “Amin hang sambung sekolah agama, hang nak kerja apa? Orang agama nih boleh jadi imam je dan tak boleh nak kerja lain? Kalau hang sambung sekolah menengah, hang boleh jadi doktor, boleh jadi jurutera, boleh jadi peguam dan sebagainya”. Saya masih ingat lagi perkataan seperti ini, mereka sebenarnya lupa bahawa rezeki yang datang adalah dari Allah dan bukan dari manusia. Alhamdulillah, apabila saya habis belajar Ijazah Sarjana Muda Dakwah dan Kaunseling Islam di Indonesia tidak sampai 3 bulan saya menganggur terus dapat kerja sebagai Guru Agama MARA. Sebelum saya dapat kerja pun saya dijemput untuk menyampaikan ceramah, motivasi, mengajar dan sebagainya. Manusia akhir zaman tidak lagi menghormati golongan agama dan tidak merasa penting golongan agama dalam kehidupan mereka, maka inilah yang dinamakan akhir zaman iaitu zaman yang menanti kemusnahan disebabkan berlakunya kiamat. Masyarakat sekarang ini kebanyakkannya terdiri daripada orang yang tidak menghayati Islam dan kebanyakkannya munafik dan fasik, kerana mereka tidak menjadikan Islam sebagai panduan hidup dan meraka menjadikan orang kafir (barat) sebagai idola kehidupan mereka. Dari Sahl Bin Saad As-Saadi R.A berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Ya Allah! Jangan kau temukan aku dan mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan satu zaman di mana para uama' sudah tidak diikut lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak disegani lagi. Hati mereka seperti hati orang 'Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya)." (Riwayat Ahmad) Apabila mereka meminggirkan golongan agama dan mengatakan golongan agama tidak diperlukan lagi, golongan agama tidak dihormati, dicaci dan dihina. Maka Allah akan mematikan para ulamak dan golongan agama supaya masyarakat moden ini menjadi sesat dan menjadikan golongan munafik sebagai pemimpin dan ikutan mereka agar mereka lebih jauh dari kebenaran agama Allah. Hal ini telah terbukti bahawa orang agama semakin berkurangan dan orang bukan agama bercakap tentang agama seolahnya mereka alim (pakar) agama. Tetapi mereka lupa setiap percakapan mereka itu adalah sesat, kerana mereka hanya menggunakan logik semata-mata dan tidak berpandukan kepada Al-Quran dan Sunnah. Diriwayatkan daripada Abdullah bin Amr bin al-Ash ra : “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Allah tidak akan mengambil kembali ilmu (agama) dengan mengambilnya dari (dalam hati) manusia, tetapi mengambilnya kembali dengan kematian para ulama hingga tidak bersisa, lalu orang ramai akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya yang apabila orang-orang itu bertanya kepada mereka, mereka akan memberikan jawapan-jawapan yang tidak didasarkan kepada ilmu. Maka mereka akan berada dalam kesesatan dan menyesatkan orang lain.” (Riwayat al-Bukhari) Akhir sekali, marilah kita semua jadikan golongan agama sebagai panduan hidup, kerana golongan agama mengetahui akan hujah Al-Quran dan Hadis. Hormatilah mereka atas keilmuan dan keimanan mereka kepada Allah. Jangan sesekali menghina para ulamak atau golongan agama, kerana hujah mereka adalah hujah agama yang termaktub di dalam kitab Allah dan Sunnah Nabi. Jadikan mereka sebagai jalan kepada kita untuk mencari redho Allah supaya kita semua mendapat perlindungan dari melakukan dosa dan maksiat. “Ulamak itu adalah pewaris Nabi”.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Tiada ulasan: