Selasa, 6 Oktober 2015

(1) SIFAT TAMAK/KEDEKUT/BAKHIL

Sifat tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan

70) Tidak akan berkembang biak berbagai cabang kehinaan itu, kecuali di atas bibit tamak (kerakusan)
Sifat tamak (rakus) itu adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan.

Abubakar Al-Warraq Alhakiem berkata :
Andaikan sifat tamak itu ditanyai :
Siapa Ayahmu ? pasti jawabannya, ragu terhadap takdir Allah.
Apa tujuanmu ? Jawabnya, tidak dapat apa-apa.

Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra baru masuk ke mesjid jami' di Basrah, didapatkan banyak orang yang memberi ceramah di dalamnya, maka ia menguji mereka dengan beberapa pertanyaan dan ternyata tidak dapat menjawab dengan tepat, diusir dan tidak diizinkan memberi ceramah di mesjid itu.
Dan ketika sampai ke Majelis Alhasan Albasry, lalu ia bertanya :
Hai pemuda, saya akan bertanya kepadamu sesuatu jika engkau dapat menjawab, maka aku izinkan engkau terus mengajar di sini, tetapi jika engkau tidak dapat menjawab, maka engkau akan aku usir sebagaimana temanmu yang lainnya yang telah aku usir itu.
Al Hasan menjawab : tanyakanlah sekehendakmu...
Lalu Sayyidina Ali bertanya, kepada Al Hasan :
Apakah yang dapat mengukuhkan agama ?
Jawab Al Hasan : Wara (yakni berjaga-jaga diri/menjauh dari segala syubhat dan haram)
Lalu Sayyidina Ali bertanya lagi :
Apakah yang dapat merusak agama ?
Jawaban Al Hasan : tamak (rakus).
Lalu Imam Ali berkata kepadanya : Engkau boleh tetap mengajar di sini, orang yang seperti engkau inilah yang dapat memberi ceramah kepada orang.

Seorang guru berkata :
Dahulu ketika dalam permulaan bidayah di Iskandariyah, pada suatu ketika aku akan membeli suatu keperluan dari seorang yang mengenal aku, lalu timbul dalam perasaan hatiku; mungkin ia tidak akan menerima uangku ini,
tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi :
Keselamatan dalam agama hanya dalam memutuskan harapan dari sesama makhluk.

Wara dalam agama itu menunjukan adanya keyakinan dan sempurnanya bersandar diri kepada Allah.
Wara yaitu jika sudah merasa tiada hubungan antara dia dengan makhluk, baik dalam pemberian atau penolakan dan semua itu hanya terlihat langsung dari Allah ta'ala.

Shal bin Abdullah berkata :
Di dalam iman tidak ada pandangan sebab perantara,  sebab itu hanya dalam Islam sebelum mencapai iman.

Semua hamba pasti akan memakan RizqiNya, hanya mereka berbeda-beda, Ada yang makan rizqiNya dengan :
berhina-hina, yaitu peminta-minta.
bekerja keras, yaitu kaum buruh
dengan menunggu, yaitu pedagang yang menunggu laku dagangannya
rasa mulya, yaitu orang sufi yang merasa tidak ada perantara dengan Allah SWT

Pengertian Tamak dan Akibatnya



 مَابَسَقَ اَغْصَانُ ذُلٍّ اِلاَّ عَلَى بِذْرٍ طَمَعٍ ٠ 
“Tidaklah akan berkembang biak cabang-cabang kehinaan itu, hanyalah di atas biji ketamakan." 
Tamak termasuk salah satu penyakit hati yang tidak istiqamah kepada anugerah Allah. Jiwanya gelisah, hendak begini hendak begitu. Terhuyung ke kiri dan ke kanan, seperti pohon yang dihembus angin. Tamak adalah sifat manusia yang ingin memborong segalanya dan mengumpulkan semuanya. Tidak ada yang ia sukai, semuanya ia suka tanpa mau mengetahui apa gunanya. Milik yang ada di tangan orang pun disukainya, untuk itu ia akan berusaha memperolehnya. Sifat tamak itu juga menghilangkan rasa malu. 
Ia sangat suka kepada barang-barang duniawi tanpa mengetahui manfaatnya. Ia pun tidak ingin mengetahui halal atau haram suatu benda yang telah dan belum ia miliki
Tamak adalah sifat yang merusak amal, dan kebaikan diri yang sangat tidak sesuai dengan hidup orang beriman. Ketamakan yang merusak amal itu akan berakibat dengan kehinaan. Karena pada hakikatnya tamak adalah tanda kelemahan iman seseorang. Iman itu adalah wujud dari kemuliaan pribadi manusia, dan kemuliaan itu adalah sifat orang beriman. Keutamaan adab dan citaku m ang beriman yang diangkat kehadapan Allah swt menjadi suatu kekuatan orang-orang mukmin dan ketenangan hatinya. 
Allah swt berfirman: "Bagi Allah jua semua kemuliaan dan kekuatan, demikian juga bagi Rasul-Nya dan bagi orang beriman, sedangkan orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (QS. Munafiqun: 8) 
Sebagaimana izzah (sifat mulia) itu adalah sifat orang beriman, maka kehinaan itu adalah sifat orang-orang ingkar dan munafik. Seperti firman Allah dalam surat Al Mujadalah ayat 20: "Orang-orang yang menantang Allah dan utusan-Nya, mereka termasuk orang yang paling hina." 
Abu Bakar Al Warraq Al Hakim berkata, Bila ditanyakan kepada tamak, siapakah ayahmu? pasti tamak akan menjawab, Ayahku adalah keragu-raguan kepada takdir. Bila ditanyakan kepadanya, apa pekerjaanmu? tentu ia akan menjawab, pekerjaanku adalah kehinaan. Bila ditanyakan kepadanya lagi, apa tujuanmu? maka ia akan menjawab, ialah halangan, tidak memperoleh apa-apa jua. 
Abu Hasan An Naisabury mengatakan: "Barangsiapa yang menetapkan bagi dirinya mencintai sesuatu hal masalah dunia, maka ia pun telah menyandang sifat tamak, dan apabila tamak itu sudah mulai dijadikan awal dari kecintaannya, maka ia telah memulai dari kehinaan." 
Sifat tamak, tetap saja tidak dapat diterima oleh hati yang berhiaskan keimanan, karena bertentangan dengan niat manusia dalam hidup, " manusia dapat hidup bersama yang harmonis sesuai dengan kehendak Allah swt. 
Kali tertentu Khalifah Ali bin Abi Talib berkunjung ke masjid Basrah. Khalifah menjumpai beberapa orang yang sedang menyampaikan pelajaran dalam masjid. Beliau mendatangi mereka, sambil mengadakan dialog singkat. Seakan-akan beliau mengadakan ujian untuk menyaring siapa di antara mereka yang boleh berceramah di masjid Jami' yang termasyhur itu. Mereka yang tidak menjawab pertanyaan Khalifah dengan tepat, tidak boleh meneruskan pelajarannya. Sampailah pada saat itu giliran seorang mubaligh yang masih remaja. Khalifah bertanya kepada pemuda Hasan Basri sebagai berikut, Apakah yang dapat memperkuat agama ini? Jawab Hasan Basri, Itulah wara'. Sahabat Ali bertanya pula, Apa yang dapat meruntuhkan agama? Hasan Basri menjawab, "Itulah tamak." Jawaban Hasan Basri ini memuaskan Khalifah dan beliau merasakan cukup. Hasan Basri diperbolehkan meneruskan pelajaran yang akan disampaikan di masjid itu. 
Itulah pelajaran singkat yang sangat bermanfaat dari dialog yang dilakukan Khalifah Ali dengan para Mubaligh dan Ustad di Masjid Jami Basrah yang terkenal. Tamak sudah jelas suatu sifat manusia yang dapat meruntuhkan .sendi-sendi hidup beragama, sedang sifat wara adalah sifat orang-orang mulia dan saleh yang akan memuliakan agama dan memberi kekuatan hidup dalam beragama. 
Telah berkata seorang Syekh kami: "Ketika pertama kali saya memberi pelajaran di Iskandaria (Ibu kota Mesir lama), suatu waktu ketika saya hendak membeli sebagian keperluanku dari orang yang kebetulan kukenal, maka dalam hatiku timbul keraguan, kalau kenalanku itu tidak akan menerima pembayaran dariku." Maka terdengarlah ketika itu bisikan hati kecilku berkata, "Menjaga keselamatan agama adalah dengan cara tidak menghambat harapan yang diharapkan oleh sesama makhluk Tuhan." 
Apakah wara' itu sebenarnya? wara' adalah salah satu sifat mulia hamba Allah yang saleh, untuk tidak terlalu terikat dengan keperluan dunia, menerima dengan ikhlas apa yang ada di tangannya, dan besyukur atas semua yang sudah dimilikinya, serta tidak merasa iri dengan apa yang menjadi milik orang lain. Sifat wara', mampu menghancurkan keinginan yang berlebih-lebihan, sebab keinginan yang berlebih-lebihan akan menimbulkan rasa iri serta rasa dengki. Sifat iri dan dengki adalah sifat iblis yang akan melahirkan api yang bisa menghanguskan kesucian jiwa dan raga manusia. 
Sifat wara', menimbulkan sifat qana'ah (merasa cukup dengan apa yang sudah ada di tangannya. Sifat qana'ah akan menumbuhkan sikap sederhana yang sangat diperlukan oleh jiwa yang selalu ragu dan bimbang. Sifat qana'ah akan melahirkan pula sifat teguh mempertahankan istiqamah (keteguhan jiwa dalam menjalankan prinsip agama yang berkaitan dengan adab terhadap Allah dan akhlak terhadap sesama manusia. Sifat wara' yang dinampakkan dalam dalam kehidupi umat akan menumbuhkan sifat menghindari perbuatan syubhat, dan mengeluarkan manusia dari kesulitan yang sedang merambah syaraf pikiran, serta memberi kemampuan untuk memecahkan persoalan sulit. Akibat khusus dari sifat wara' dalam diri orang beriman aadalah ketenangan dirinya menghadapi persoalan hidup. 
Tingkat wara' yang tertinggi adalah harapan seorang hamba dalam seluruh bentuk kehidupan hanya diperoleh dari Allah swt belaka. Tidak ada hubungannya dengan manusia. Ia melihat semua yang ia terima ia beri, ia tolak semata-mata atas izin dan anugerah Allah belaka. 
Yahya bin Mu'az berkata: "Wara' mempunyai dua wajah. Yaitu wara’ lahiriah, tidak mengharap kecuali dari Allah, dan wara' batiniah, ia tidak memasukkan masalah duniawi yang dilihat, kecuali hanya Allah.” 
Manusia muslim yang bersifat wara' tidak berarti dalam masalah duniawi ia menolak kehadiran benda-benda duniawi, sama sekali tidak. Mereka tetap memperhatikan masalah keduniawian dan kelengkapan ucapnya, akan tetapi tidak menempatkan barang-barang duniawi itu ke dalam hati. Tidak membiarkan benda dunia itu menguasai hati dan jiwa mereka apalagi membelenggu jiwa. Benda dunia bagi orang arif yang saleh lagi bermakrifat bukanlah kepentingan yang harus dikejar dan diunggulkan. 
Benda duniawi itu bukan satu-satunya kelengkapan hidup manusia Sehingga tanpa itu semua tidak sempurnalah hidup insan ini. Benda dunia ini menurut orang beriman hanyalah penunjang kebutuhan manusia. Manusia boleh memiliki harta, tetapi harta itu tidak diletakkan dalam hati, karena harta adalah benda lahiriah yang letaknya di luar hati dan jiwa kita. Jangan sampai harta benda duniawi itu melekat dalam hati kita, karena kelak akan mempengaruhi jiwa dan kestabilan hidup manusia. 
Memang Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia itu suka dan cinta kepada harta benda dan nafsu syahwat, tetapi tidak berarti benda-benda itu akan menguasai manusia dan mendominasi pikiran dan jiwa hamba Allah. Sebab, apabila harta benda dunia itu telah menguasai manusia dan pikirannya, tentu akan mempengaruhi jiwa, dan selanjutnya menghambat hubungan ibadah insan dan Al Khalik, dan akan menjadi penghambat taqarrub insan dengan Allah swt. Harta benda tidak lain nvalali sebagai penunjang hamba dalam melengkapi hidupnya dalam ibadahnya dengan Allah swt 
Setiap orang telah diberi rezeki oleh Allah swt menurut ketentuan dari- Nya sendiri. Hanya dalam hal ini terdapat perbedaan dari masing- masing hamba. Mereka semua memperoleh rezekinya dan menikmati rezeki itu, mengelola dan memakannya. Hanya dalam menikmati rezeki Allah itu berbeda satu dengan lainnya. Ada yang makan dengan menunggu belas kasih atau iba orang lain, ada yang menikmati rezekinya dengan kerja keras, ada yang menikmati dengan menunggu datangnya pembeli, ada yang menikmatinya dengan menanti pembayaran gaji, dan ada yang menikmatinya dengan kemuliaan, yang merasa langsung menerima rezeki sebagai anugerah tak terduga dari Allah, seperti para Sufi. 
Selanjutnya dalam kaitannya dengan tamak dan akibat-akibatnya seperti telah diuraikan sebelum ini, Syekh Ahmad Ataillah menjelaskan pula suatu penyakit yang bernama wahm, artinya angan-angan. Adapun wahm ini suka memaksa jiwa seseorang agar mengikuti kemauan dan angan-angan yang ada di benak dan perasaannya. Sesungguhnya angan-angan itulah yang menjadi pemicu lahirnya sifat tamak dalam jiwa manusia. Angan-angan (wahm) termasuk menghayal atau lamunan yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi si pelamun. Kadang- kadang lamunan yang ada dalam pikiran yang abstrak itu melambung sangat tinggi, sehingga si pelamun berada di atas awang-awang yang menggambarkan suatu yang luar biasa yang sedang dialaminya, padahal sesungguhnya ia berada di atas bumi alam realita. Wahm itu merusak pikiran dan mengundang kehendak yang berupa sifat rakus, perbuatan maksiat, mengambil milik orang, dan perbuatan yang mengundang kejahatan dan maksiat lainnya. Selain itu wahm merusak jiwa dan akhlak. Karena wahm akan membuat rekayasa negatif seakan-akan sudah positif. Semuanya berjalan di luar kemampuan yang dimiliki oleh si pelamun. 
Si penghayal tidak mau mengerti bahwa sebenarnya tidak mungkin lamunannya terwujud, sebab selain di luar kemampuan dirinya, juga tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sudah ditakdirkan. Wahm itu bukan ikhtiar, akan tetapi semata-mata lamunan yang tentu saja tanpa rencana dan ikhtiar. Itulah sebab ketamakan dan kerakusan cepat lalui dari sifat tersebut. 
Hanya orang yang beriman kepada qada dan qadar Allah yang percaya bahwa hidup manusia ini berada dalam kendali Allah swt. Allah swt telah menetapkan sebelum semua perjalanan hidup manusia Keinginan seperti ini akan melepaskan manusia dari sifat tamak atau rakus, sehingga manusia terlepas pula dari perbuatan yang hina. Sebali pada dasarnya sifat tamak itu akan mudah menjadikan manusia sebagai budak karena lamunan yang tak putus-putus. 
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan: "Bahwa manusia menjadi bebas dari sesuatu harapan yang tak diperolehnya, bersamaan dengan itu ia telah menjadi budak bagi apa saja yang ia begitu rakus dan tamak kepadanya. Demikian pula umpamanya seekor burung elang yang terbang bebas di angkasa sangat sukar manusia menangkapnyn. namun demikian apabila sepotong daging yang sedang berada dalam suatu perangkap, tentu akan mengundang seleranya dan timbul pula kerakusannya. Karena tamaknya ia tidak lagi memperhatikan, bahwa tempat itu adalah perangkap yang siap menangkapnya, dan seterusnya ia akan menjadi mangsa atau menjadi mainan anak-anak. 
Seorang Sufi bernama Fathan Al Mausul, ketika ia ditanya tentang uang yang suka bermainan dengan hawa nafsu syahwat dan juga bersifat tamak, ia bercerita bahwa di suatu tempat ada dua orang anak yang sedang makan roti. Yang seorang hanya makan roti, sedangkan seorang lagi makan roti dengan keju. Si anak yang makan roti tanpa apa - apa, meminta kepada temannya yang makan roti dengan keju itu, agar memberinya sedikit keju untuk dimakan bersama rotinya. Temannya dengan sangat angkuh menjawab, "Kalau engkau mau aku jadikan anjingku, pasti akan kuberikan keju ini padamu." Jawab si teman yang meminta, ia mau jadi anjing. Lehernya pun diikat seperti anjing yang biasa dituntun pemiliknya. Sufi ini mengomentari pula, “Andaikata si anak ini tidak rakus untuk mendapatkan keju itu, tentu ia tidak dijadikan seperti anjing. Ia tidak perlu menjadi seperti anjing, apabila ia merasa cukup dengan roti yang ada di tangannya, dengan tidak menginginkan sepotong keju yang ada di tangan orang." Artinya ia seharusnya bersifat qana'ah. 
Dikisahkan pula, tentang seorang murid yang dikunjungi oleh gurunya si murid yang mendapat kehormatan gurunya ini, berkeinginan menyajikan makanan bersama lauk pauk kepada gurunya itu. Gurunya tetap memakan sajian muridnya itu tanpa bertanya apa pun. Setelah makan, sang guru mengajak muridnya itu melihat-lihat sebuah penjara, agar ia pun mengetahui seperti apa orang-orang yang dihukum di tempat itu. Kemudian guru yang baik hati ini menerangkan kepada muridnya. "Orang-orang yang engkau lihat dalam penjara ini adalah orang yang tidak merasa cukup menikmati makanan yang ada padanya, tanpa lauk pauk." Kebetulan waktu itu ada seorang yang Imu dikeluarkan dari penjara, lalu ia meminta sepotong roti kepada seseorang, karena laparnya. Sambil memberikan kepadanya sepotong roti, seraya berkata, "Kalau sejak dahulu engkau mencukupkan makananmu dengan sepotong roti, tentu engkau tidak dibelenggu dalam penjara seperti sekarang ini." 
Kisah lain lagi, disebutkan bahwa ada seorang hakim makan buah yang jatuh di pinggir sungai dengan lahap, dan nampaknya sangat nikmat. Seorang temannya menegurnya, andaikata engkau dulunya mau bekerja kepada raja negeri ini, tentu engkau tidak makan rontokan buah seperti sekarang ini. Pak Hakim ini menjawab: "Andaikata engkau suka menerima makanan seperti ini, engkau tidak perlu menjadi budak raja," 
Walaupun hanya sekadar makanan yang memberi kekuatan tubuh dan termasuk syarat diterima sesuatu doa dari para hamba. Jangan tamak dengan makanan. Semua yang dilihat atau dimiliki akan dibeli dan dimakan. Ini juga perbuatan tamak. Kalau kita mempunyai biaya untuk membelinya, kalau tidak ketamakan itu akan memerintah kilit mendapatkannya dengan jalan yang tidak halal. Demikian juga pakaian, atau kebutuhan lainnya. Apabila si hamba memaksa dirinya, padahal m sendiri tidak mampu, maka sifat tamak itu akan tumbuh, dan mungkin kita berbuat yang batil, sehingga berakhir ke dalam penjara. 
Dalam segala persoalan yang berupa kehidupan duniawi, agama Islam telah mengajarkan sifat utama, itulah yang dinamakan qana'ah. Artinya hidup dalam keadaan merasa cukup dengan apa yang ia terima dari Allah, atau hidup dalam kesederhanaan. Hidup tidak terlain tinggi dalam masalah duniawi, dan juga tidak terlalu rendah. Suka memanfaatkan anugerah Allah dengan sebaik-baiknya dan seefeklil efektifnya. Tujuannya untuk menunjang ibadah kepada Allah, dan mengharap keridaan-Nya semata. 
Qana'ah mengajarkan kita, umat Islam dan hamba Allah yang bermakrifat, agar hidup ini terhindar dari rasa tamak, rakus, keinginan yang tidak terkendalikan, kadang-kadang akan menimbulkan bermacam-macam penyakit hati, seperti iri, dengki, dan banyak lagi penyakit hati lainnya disebabkan oleh sifat tamak. Obat satu-satunya ialah qana'ah. Dalam satu pepatah Arab, disebut: "Faqna'wala tatma (bersifat qana'ahlah dan janganlah tamak)." Tak ada suatu apa pun yang sangat tercela, melebihi tamak. Kepada hamba Allah, terutama mereka yang menuju atau mencari makrifatullah, hendaklah waspada, agar tidak tertimpa penyakit yang dapat menghalangi hubungan taqarub si hamba dengan Al Khalik wahidul Qahhar.

Cara Mengobati Rakus dan Tamak

Ketahuilah bahwa obat ini terdiri dari tiga unsur: sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini: 1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta. …

683 20
Ketahuilah bahwa obat ini terdiri dari tiga unsur: sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:
1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh karena itu hatinya tidak perlu merasa gusar.
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَآبَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقُهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-‘Ankabut: 60)
3. Hendaklah dia mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan karena dengan kedua sifat tersebut, dia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti dia adalah orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.
4. Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan bodoh karena tenggelam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah dia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, lalu menyuruh akalnya untuk memilih antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah menyerupai penghuni dunia yang hina.
5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim)
Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi.
Penopang urusan ini adalah sabar dan membatasi harapan serta menyadari bahwa sasaran kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa lama untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, seperti orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat saat menelannya, karena dia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.
(Dirangkum dari Terjemahan Mukhtashar Minjahul Qashidin (hlm.253-255), karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Maret 2004; dengan pengubahan seperlunya oleh redaksi www.muslimah or.id)

Bahaya Tamak

Kamis, 03 Oktober 2013, 23:30 WIB

whatislistening.com
Orang rakus (ilustrasi).
Orang rakus (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Arifin Ilham
Hati-hati dengan sifat tamak atau rakus. Tamak harta melahirkan dosa; menipu, mencuri, merampok, korupsi dan kikir alias bakhil bin medit.

Tamak dengan wanita juga bisa berbahaya; padahal sudah ada di rumah yang halal; karena ia rakus, diterabaslah rambu syar'i; akhirnya ia zina dan menumpuk kebohongan yang satu ke kebohongan yang lain.

Tamak akan kekuasaan juga lebih dahsyat dampaknya! Akan tumbuh kembang kezaliman yang menumbuh-subur praktik oligarki, kolusi, berkuasa dengan tangan besi, menghalalkan segala cara; sikut-sikutan dengan yang dulu padahal teman dan kerabat, bahkan saling jegal-menjatuhkan serta tidak sedikit saling angkat parang dan pistol kemudian saling bunuh; menjilat yang di atas; menyikut yang di samping; menginjak yang di bawah.

Hmm, ngeri bukan bahaya sifat tamak ini? Meski ada pula tamak yang halus lagi indah bahkan akan membuat pesona dengan celetar yang membahana terutama bagi para Penghuni langit! Apa itu? Ya, tamak akan ilmu dan rahmat-Nya.
Tamak ilmu mengangkat derajat dan kelas kita di hadapan Allah (QS. Al Mujadilah [58]: 11); tamak rahmat-Nya, insya Allah menaburkan kasih-sayang yang menyemesta (QS al-Furqan[ 25]: 63-77).

Dalam kajian tashawwuf lawan kata tamak adalah qonaah (menerima dengan lapang dada). Jika tamak adalah yang tumbuh dari akar hati yang buruk maka qonaah adalah yang tumbuh karena hati yang baik.

Secara bahasa tamak berarti rakus hatinya. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.

Sifat ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifai dalam Riayah Akhir sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan dan perbuatan keji dan mungkar lainnya, yang kemudian pada penghujungnya mengakibatkan manusia lupa kepada Allah SWT, kehidupan akhirat serta menjauhi kewajiban agama.

Sifat rakus terhadap dunia menyebabkan manusia menjadi hina, sifat ini digambarkan oleh beliau seperti orang yang haus yang hendak minum air laut, semakin banyak ia meminum air laut, semakin bertambah rasa dahaganya.
Maksudnya, bertambahnya harta tidak akan menghasilkan kepuasan hidup karena keberhasilan dalam mengumpulkan harta akan menimbulkan harapan untuk mendapatkan harta benda baru yang lebih banyak.

Tabiat orang tamak senantiasa lapar dan dahaga dengan urusan dunia. Makin banyak yang diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan dahaga untuk mendapatkan lebih banyak lagi.

Jadi, mereka sebenarnya tidak dapat menikmati kebaikan dari apa yang dimiliki, tetapi sebaliknya menjadi satu beban hidup. Semoga Alllah jauhkan kita dari sifat menghina-hancurkan ini. Wallahu A’lam.

Apa Yang Dimaksud Tamak?



Pengertian Tamak
Secara bahasa tamak berarti rakus hatinya. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar[1].
Dari definisi diatas bisa kita fahami, bahwa tamak adalah sikap rakus terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan tanpa memperhitungkan mana yang halal dan haram. Sifat ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifai sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan dan perbuatan keji dan mungkar lainnya, yang kemudian pada penghujungnya mengakibatkan manusia lupa kepada Allah SWT, kehidupan akhirat serta menjauhi kewajiban agama.
Sifat-Sifat Tamak
Sifat rakus terhadap dunia menyebabkan manusia menjadi hina, sifat ini digambarkan oleh beliau seperti orang yang haus yang hendak minum air laut, semakin banyak ia meminum air laut, semakin bertambah rasa dahaganya. Maksudnya, bertambahnya harta tidak akan menghasilkan kepuasan hidup karena keberhasilan dalam mengumpulkan harta akan menimbulkan harapan untuk mendapatkan harta benda baru yang lebih banyak.[2] Orang yang tamak senantiasa lapar dan dahaga kehidupan dunia. Makin banyak yang diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan dahaga untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Jadi, mereka sebenarnya tidak dapat menikmati kebaikan dari apa yang dimiliki, tetapi sebaliknya menjadi satu bebanan hidup.
Selanjutnya, kehidupannya hanya disibukkan untuk terus mendapat apa yang diinginkannya, karena orang tamak lupa tujuan sebenarnya amanah hidup di dunia ini. Mereka tidak peduli hal lain, melainkan mengisi segenap ruang untuk memuaskan nafsu tamaknya. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai khalifah untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba-Nya. Seperti dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْن
“ Dan ِAku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[3]
Tamak timbul dari waham iaitu ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh Allah SWT.  Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: “Tak ada yang lebih mendorong kepada Tamak melainkan imajinasi (waham) itu sendiri”, Dorongan imajinatif, dan lamunan-lamunan panjang yang palsu senantiasa menjuruskan kita pada ketamakan dan segala bentuk keinginan yang ada kaitannya dengan kekuatan, kekuasaan, dan fasilitas makhluk. Waham atau imajinasi itulah yang memproduksi hijab-hijab penghalang antara kita dengan Allah SWT, Sehingga pencerahan cahaya yakin sirna ditutup oleh hal-hal yang imajiner belaka.
Ciri-Ciri Orang Tamak
      Terlalu mencintai harta yang dimiliki
      Terlalu semangat memcari harta tanpa memperhatikan waktu dan kondisi tubuh
      Terlalu hemat dalam membelanjakan harta
      Merasa berat untuk mengeluarkan harta demi kepentingan agama dan sosial
      Mendambakan kemewahan dunia
      Tidak memikirkan kehidupan alkhirat
      Semua perbuatannya selalu bertendensi pada materi.
Hukumnya Di Dalam Ajaran Islam
Hukumnya ialah haram , Allah SWT memberi ancaman keras kepada mereka yang tamak, dijelaskan dalam surah Al-‘Aadiyat ayat 6-11:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَّلاَ بَنُوْنَ (88) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍإِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُوْدٌ (6) وَإِنَّهُ عَلىَ ذَالِكَ لَشَهِيْدٌ (7) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ (8)
أَفَلاَ يَعْلَمُ إِذَابُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِ (9) وَحُصِّلَ مَا فِى الصُّدُوْرِ (10)
إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيْرٌ (11)
6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
7. Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,
8. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta[4].
9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur,
10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,
11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Dalam surah al-Fajr ayat 16-23, Allah berfirman:
وَأَمَّا إِذَا مَاابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُوْلُ رَبِّيْ أَهَانَنِ (16)
كَلاَّ بَلْ لاَّ تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ (17) وَلاَ تَحَاضُّوْنَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنَ (18)
وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَّمًّا (19) وَتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (20)
كَلاَّ إِذَا دُكَّتِ اْلاَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّاصَفًّا (22)
وَجِاىْ ءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَّتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (23)
Artinya:
16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”[5].
17. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim[6],
18. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
19. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),
20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
21. Jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut,
22. Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris.
23. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
Contoh orang yang tamak beserta gambarnya
Orang-orang yang tamak adalah orang-orang yang hartanya masuk ke hati, melingkupinya dalam hitungan rugi-laba. Ketika dia berpikir bahwa hartanya dapat mengekalkannya di kehidupan ini maka mulailah dia krasak-krusuk mengumpulkan harta dengan segala cara tanpa memperhatikan batasan halal-haram. Dan ketika kewajiban datang kepadanya untuk berzakat atau bersedekah, menginfakkan sebagian hartanya, ia mulai mengambil sikap preventif terhadap harta tersebut, jangan sampai harta saya berkurang bahkan sepeserpun! Kalau pun kemudian dia mengeluarkan sebagian kecil dari hartanya juga, yang terpikir kemudian adalah seberapa besar yang akan diperolehnya kembali. Inilah awal mula praktek suap, sogok-menyogok. Ia mengeluarkan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Inilah orang-orang kaya yang ketika berpakaian menutupi hatinya, bukan menutupi auratnya. Makanya ketika berpakaian auratnya berkibar dan pakaiannya hanyalah untuk mempertegas kesombongannya !
http://tanbihun.com/wp-content/uploads/2011/03/rakus.jpg http://2.bp.blogspot.com/-rt8__I7YAwM/Tc4edVAGZPI/AAAAAAAAAng/XDAZWJiJGzs/s1600/tamak.jpg
Hal hal lain yang berhubungan dengan tamak
Sifat yang berhubungan dengan tamak adalah bakhil
. Menurut imam Gazali, bakhil adalah sikap yang enggan mendermawankan sebagian harta yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Jika sifat bakhil berkembang, maka akan menjadi Tamak

Sifat Tamak Manusia



Renungan Ramadhan Hari ke-7

Sifat Tamak Manusia

Kalau anda yang sudah punya smartphone, lalu ada ang menghadiahkan sebuah smartphone, apakah anda akan menerimanya dengan senag hati, ataukah anda menolak dan menyarankan agar diserahkan untuk orang lain yang lebih membutuhkan??
Sudah bisa dipastikan jawaban anda, pasti akan menerimanya. Bahkan, kalau bisa, akan meminta tambahannya.
Para penuntut ilmu juga mempunya sifat demikian. Mereka akan senang mendapatkan pembagian kitab gratis, walaupun kitab yang dibagi itu sudah dia miliki.
Terlebih lagi bila yang dibagikan adalah uang. Pasti orang yang sudah punya duit pun akan ikut berebutan.
Itulah sifat asli manusia. Tamak pada harta. Ingin mendapatkan harta lebih, tapi berat untuk mengeluarkan harta yang sudah masuk dalam pundinya.
Rasulullah bersabda: “Bila seorang manusia punya dua lembah penuh berisikan emas, maka ia pasti mengharapkan punya lagi lembah ketiga. Hanya tanahlah yang cukup untuk menyambat mulut dia” (HR. Tirmizi)
Punya satu gudang harta belum merasa cukup, ingin punya dua gudang. Sudah punya dua, pasti ingin punya tiga gudang. Dan begitulah seterusnya. Karena ia merasa bisa memilki gudang pertama, maka ia merasa pasti akan berhasil memperoleh gudang berikutnya.
Hanya kematianlah yang akan menghentikan keinginannya, yaitu ketika tanah sudah memenuhi mulut dan perutnya.
Kalau rasa tamak manusia dibiarkan berkembang, maka pasti tidak ada habisnya. Walaupun kapasitas/kemampuan dirinya tidak akan sanggup menampung semua rasa tamaknya.
Inilah yang diingatkan oleh Rasulullah. Yaitu, pintar-pintar menimbang antara ambisi (rasa tamak) dengan kemampuan atau kapasitas diri.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
Manusia selalu akan berharap dan meminta harta, namun tidak ada yang bisa dimiliki dari harta tersebut kecuali, harta yang sudah habis dimakannya; pakaian yang dipakainya sampai kumal; dan harta yang disedekahkannya, dan sedekah itulah harta yang akan kekal sebagai pahalanya di akhirat” (HR. Muslim)
Sebanyak apapun makanan yang mampu kita beli, manya beberapa suap yang mampu kita telan; sebanyak apapun pakaian kita di lemari, hanya sepasang yang bisa kita kenakan, tidak bisa kita pakai seluruhnya di satu waktu; sebanyak apapun kendaraan kita, hanya satu saja yagn bisa kita kendarai di satu waktu.
Kalau itu kemampuan kita, berarti kita kemanakan harta yang lebih itu??
Sedekahkan, itulah jawabannya. Dan sedekah itulah yang akan menjadi harta kita di akhirat kelak. Sedangkan yang kita makan dan pakai di dunia, semua akan hancur dan kumal.
Ketahuilah, harta paling banyak yang dimiliki seseorang adalah “rasa cukup”. Akan tetapi, hanya orang-orang “langka” yang memilki “harta” ini. yaitu, mereka yang merasa sudah cukup sehingga berani menolak pemberian untuk dirinya, bahkan meminta agar dialihkan ke orang lain saja.
Di antara orang langka tersebut adalah umar bin Khattab. Ketika beliau mendapatkan pemberian harta dari Rasulullah, beliau berkata: “Ya Rasulullah, berikan saja pada orang yang lebih miskin dari diriku”.
Antara ambisi dan kemampuan, di bulan Ramadhan
Di siang hari di bulan Ramadhan, rasanya seember kolak akan bisa dihabiskan; seceret  es teh mampu untuk ditenggak.
Akan tetapi, bila saat berbuka tiba, berapa gelaskah minuman yang sanggup kita minum??
Berapa suap makanan yang muat di perut kita??
Kemanakah ambisi kita yang menggebu-gebu tadi siang??
Silahkan kita sendiri mencari jawaban agar bisa menimbang antara ambisi dan kemampuan diri kita sendiri.
Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)
 

Tamak dan Rakus Terhadap Dunia

Tamak dan Rakus terhadap DuniaTamak terhadap harta dunia merupakan salah satu penyakit hati yang sangat membahayakan kehidupan manusia. Tamak adalah sikap rakus terhadap harta dunia tanpa melihat halal dan haramnya. Tamak bisa menyebabkan timbulnya sifat dengki, permusuhan, perbuatan keji, dusta, curang, dan bisa menjauhkan pelakunya dari ketaatan, dan lain-lain.
Ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “Jika sifat rakus dibiarkan lapas kendali maka ia akan membuat seseorang dikuasai nafsu untuk sepuas-puasnya. Sifat ini menuntut terpenuhinya banyak hal yang menjerumuskan seseorang ke liang kehancuran.”[i]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba akan merasa merdeka selagi ia qana’ah dan orang merdeka akan menjadi budak selagi ia tamak.”[ii] Beliau juga berkata, “Ketamakan membelenggu leher dan memborgol kaki. Jika belenggu hilang maka borgolpun akan hilang dari kaki.”[iii]
Rasulallah shallallahu alaihi wasallam pernah mengkhabarkan bahwa sifat tamak yaitu cinta dunia tidak pernah mengenal kata puas.
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِمَكَّةَ فِي خُطْبَتِهِ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu al-Zubair tatkala di atas mimbar di Mekah dalam kubtahnya, beliau berkata; Wahai manusia sekalian, Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, “Seandainya anak keturunan Adam diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih akan menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua maka dia menginginkan lembah emas ketiga. Tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Al-Bukhari No.6438)
Hadits ini menunjukan bagaimana tamaknya manusia terhadap dunia yang tidak menganal rasa puas. Hadits ini juga, mengandung makna celaan bagi orang yang tamak terhadap harta dunia. Kecintaan terhadap harta dunia bisa membuat seseorang terlena dari perjalanan hidup yang abadi di akherat. Semangat mengumpulkan harta bisa menjadi sebab lalai dari ketaatan kepada Allah Ta’ala karena hati menjadi sibuk dengan dunia daripada akhirat.
Dampak buruk dari sifat tamak, bisa membuat seseorang melakukan segala cara yang diharamkan demi mendapatkan harta yang diinginkan, seperti korupsi, suap, curang, riba, mengurani timbangan, berbohong, menipu, merampok, bisa pula nekat melakukan ritual-ritual syirik, dan lain-lain.
رَوَي التِّرْمِذِيُّ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik al-Anshari radhiallahu anhu, beliau berkata: Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah dua ekor srigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya.” (HR. al-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih)
Berkaitan dengan hadits di atas, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Ini adalah permisalan yang agung yang diumpamakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bagi kerusakan agama seorang muslim akibat rakus terhadap harta dan kedudukan dunia dan bahwa kerusakannya tidak lebih berat dari rusaknya kambing yang dimangsa oleh dua ekor serigala lapar.”
Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengingatkan bahwa harta itu adalah ujian, harta merupakan di antara fitnah terbesar ummat Rasulallah, dan yang lebih baik lagi mulia adalah yang ada di sisi Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taghabun ayat 15:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah fitnah (cobaan), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Taghabun: 15)
رَوَي التِّرْمِذِيُّ عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Iyadh, ia berkata: Saya telah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya masing-masing ummat itu memiliki fitnah (bahan ujian) dan fitnah ummatku adalah harta.” (HR. al-Tirmidzi)
Dengan demikian, maka tamak merupakan sifat cinta dunia. Sifat tamak mendatangkan banyak kerusakan, baik kerusakan pribadi, keluarga, masyarakat dan yang terbesar adalah kerusakan yang menimpa keagamaan seseorang disebabkan dunia lebih dicintai dari segalanya.
Para ulama berkata: Cinta dunia itu pangkal segala kesalahan dan pasti merusak agama ditinjau dari berbagai sisi:
  1. Mencintai dunia akan mengakibatkan mengagungkannya, padahal di sisi Allah Ta’ala dunia sangat remeh. Adalah suatu dosa terbesar mengagungkan sesuatu yang dianggap remeh.
  2. Allah Ta’ala telah melaknat, memurkai dan membenci dunia, kecuali yang ditunjukan kepada-Nya.
  3. Orang yang cinta dunia pasti menjadikan tujuan akhir dari segalanya. Ia pun berusaha semampunya akan mendapatkannya.
  4. Mencintai dunia akan menghalangi seorang hamba dari aktivitas yang bermanfaat untuk kehidupan di akherat. Ia akan sibuk dengan apa yang dicintainya.
  5. Mencintai dunia menjadikan dunia sebagai harapan terbesar seorang hamba.
  6. Pecinta dunia adalah manuia dengan adzab yang paling berat. Mereka disiksa di tiga negeri, di dunia, di barzakh dan di akherat.
  7. Orang yang rindu dan cinta kepada dunia sehingga ia mengutamakannya dari pada akherat adalah amakhluk yang paling bodoh, dungu dan tidak berakal.[iv]
Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala sudah mewasiatkan kepada manusia seluruhnya, khususnya orang-orang beriman agar tidak terlena dengan kesenangan dunia, memerintahkan agar fasilitas kesenangan dunia yang diberikan Allah Ta’ala tidak melalaikan dari ibadah kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Fatir ayat 5:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan sekali-kali janganlah syaitan memperdayakan kalian tentang Allah.” (QS. Fatir: 5)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
روي مسلم عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ ». وَفِى حَدِيثِ ابْنِ بَشَّارٍ « لِيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ »
Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita. Sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah fitnah wanita” dalam riwayat hadits Ibnu Basyar, “Untuk melihat bagaimana yang kalian kerjakan.” (HR. Muslim)
Untuk mengobati penyakit tamak dari hati seseorang, Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar al-Qashidin mengungkapkan bahwa obat ini terdiri dari tiga unsur:sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:
  1. Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
  2. Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka dia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, dan harus merasa yakin bahwa dia pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah.
  3. Hendaknya mengetahui bahwa qana`ah itu adalah kemuliaan karena sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan.
  4. Membandingkan antara kehidupan Yahudi dan Nasrani yang tenggelam dalam kenikmatan dengan kehidupan para nabi dan orang shalih. Siapakah di antara mereka yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
  5. Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa menimbulkan dampak yang kurang baik.[v]

Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc, M.E.I.
Ma’had Huda Islami Program Beasiswa Sarjana Qur’ani
* Disampaikan pada kajian harian masjid Ali ibn Abi Thalib 20 Maret 2014
FOOTNOTE
[i] Ibnu al-Jauzi, Terapi Spiritual; Agar Hidup Lebih Baik dan Sembuh dari Segala Penyakit Batin, Jakarta: Zaman, Cetakan I, 2010Hlm.25
[ii] Ibnu Taimiyyah, Tazkiyatun Nasf; Menyucikan Jiwa dan Menjernihkan Hati dengan Akhlak Mulia, Jakarta: Darus Sunnah, Cetakan Kelima, Februari 2012, Hlm.371
[iii] Ibid, Hlm.372
[iv] Lihat, Ibnu Rajab al-Hanbali DKK, Tazkiyatun Nasf: Konsep Pensucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih, Solo: Pustaka Arafah, Cetakan XII, Agustus 2004, Hlm.165-168
[v] Diringkas dari Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Mukhtashar Minjahul Qashidin, Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar, Maret 2004, Hlm.253-255

Tiada ulasan: