Bahaya Banyak Bicara
Banyak bicara merupakan sikap berlebihan yang paling banyak terjadi dan
paling besar pengaruhnya. Tidak ada yang selamat dari sikap ini kecuali
hanya sedikit.
Dalil-dalil yang menganjurkan untuk menjaga lisan dari banyak bicara
Allah Ta'ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas:
“Malaikat tersebut mencatat setiap perkataan hamba, yang baik maupun
yang buruk hingga mereka menulis perkataan; saya berkata, saya minum,
saya pergi, saya datang, dan saya melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata: “Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika
sakit. Kemudian ia mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala
sesuatu hingga suara keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi
hingga meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya.” [Tafsir Ibnu Katsir
4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad tidak mau mengeluh padahal rasa sakit
mendorongnya untuk mengeluh, mengapa kita tidak menahan diri
perkataan-perkataan yang tidak ada dorongan untuk mengucapkannya kecuali
ingin bercanda dan melucu.
Dinukil dari sebagian ulama: “Jikalau seandainya kalian yang membelikan
kertas untuk malaikat yang mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan
memilih lebih banyak diam dari pada banyak bicara.”
Allah juga berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.”
(an-Nisaa’: 114)
Syekh as-Sa’di Rahimahullah berkata: “Maksudnya tidak ada kebaikan dalam
pembicaraan dan perbincangan yang banyak dilakukan manusia. Hal itu
kemungkinan karena pembicaraan tersebut tidak ada manfaatnya, seperti
berlebihan dalam membicarakan yang mubah. Bisa juga karena pembicaraan
tersebut benar-benar jelek dan menimbulkan madharat, seperti pembicaraan
yang diharamkan dengan semua bentuknya. [Tafsir as-Sa’di hal. 165]
Dari Abu Hurairah Rådhiyallåhu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia
berkata yang baik atau diam.” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adab hadits
(6018) dan Muslim hadits (47).]
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Hadits ini termasuk jawami’ al kalim
(perkataan ringkas tapi mengandung makna yang luas -pent.), karena
perkataan itu kalau tidak baik pasti jelek atau bermuara kepada salah
satunya. Yang termasuk perkataan yang baik, segala perkataan yang
dianjurkan dalam syariat baik yang wajib maupun sunnah, sehingga
perkataan jenis ini dengan segala bentuknya diperbolehkan. Begitu pula
semua perkataan yang mengarah kepadanya. Selain hal itu, berupa
perkataan yang buruk dan segala perkataan yang mengarah kepada
keburukan, seseoarang diperintahkan untuk diam ketika hendak
mengatakannya.”[Fath al-Bari 12/60]
An Nawawi Rahimahullah berkata: “Apabila salah seorang diantara kalian
hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan
berpahala, baik membicarakan perkara yang wajib maupun sunnah silakan ia
mengatakkannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan tersebut
baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram,
makruh dan mubah, hendaknya ia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal
ini, sesungguhnya perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan dan
disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir
akan terjerumus ke dalam perkataan yang haram dan makruh, dan inilah
yang sering terjadi.”[Syarh an-Naw awi untuk Shahih Muslim 2/209]
Diriwayatkan, bahwa Tsa’labah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling
jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya,
orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang
dibuat-buat dan orang yang sombong…” [Shahih al-Jami’ash-Shaghir no.
1531]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat penyayang dan pengasih
mengkhawatirkan umatnya terkena bahaya lidah, dan beliau memperingatkan
mereka akan hal tersebut.
Suatu kali Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi Radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berkata: “Wahai
rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai
pegangan hidupku! Beliau berkata: “Katakanlah, Tuhanku adalah Allah
kemudian beristiqamahlah!” Aku berkata lagi: “Wahai rasulullah apa yang
paling engkau takutkan terhadap diriku?’ Beliau mengeluarkan lidahnya kemudian berkata, Ini.” [HR at-Tirmidzi dalam az-Zuhd hadits (2410) dan Ahmad 3/413]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak berkata sesuai hawa
nafsunya memohon kepada Rabbnya dan berdo’a kepadanya agar tidak berkata
kecuali dengan benar.
Diriwayatkan, bawha Ibnu Abbas Radhiyallu ‘anu berkata: “Nabi
Shallallahu ‘alai wasallam berdo’a.” “Ya Allah terimalah taubatku,
terimalah do’aku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku.” [HR Abu Dawud dalam ash-Shalah hadits (1510) dan Ahmad 1/227.]
Dalam Aunul Ma’bud, sang pengarang berkata: “Sadidid lisani, maksudnya
ialah luruskan dan benarkan lisanku sehingga tidak berucap kecuali
dengan jujur dan tidak berkata kecuali yang benar.” [Aun al-Ma’bud
3/264]
Pembaca yang dilindungi Allah, perhatikanlah hadits berikut!
Perhatikanlah pintu-pintu kebaikan paling agung yang ditunjukkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara satu persatu pada hadits
berikut ini. Setelah itu beliau menyebutkan pokok dan inti pintu
kebaikan tersebut. Kemudian pada akhir hadits, beliau (yang sangat tulus
dalam menasihati umatnya) menjelaskan satu perkara yang memudahkan
seorang muslim untuk memasuki semua pintu-pintu kebaikan itu dan
mendapatkan kemenangan berupa pahala dan ganjaran yang besar.
Diriwayatkan, Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku sering
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan. Suatu hari
ketika kami sedang dalam perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan
Rasulullah.” Aku berkata kepadanya: “Wahai rasulullah, beritahukan
kepadaku tentang suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan
menjauhkanku dari neraka!” Beliau menjawab: “Kamu telah menanyakan
perkara yang besar. Sesungguhnya ia sangat mudah bagi orang yang diberi
kemudahan oleh Allah. Sembahlah Allah dan janganlah kamu
menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah d
ibulan Ramadhan dan tunaikan haji!” Kemudian beliau berkata, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu perisai, shadaqah itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api, shalatnya seseorang pada tengah malam,
beliau membaca ayat, تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ “Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya” (as-Sajdah 16) hingga firman Allah,
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “sebagai balasan bagi mereka, atas apa
yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah 17) Beliau melanjutkan sabdanya:
“Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia adalah
Jihad.” Rasulullah bersabda lagi: “Maukah kamu aku tunjukkan perkara
yang dapat mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?” aku menjawab:
“Ya.” Beliau mengeluarkan lidahnya lalu berkata: “Jagalah ini!”
Aku berkata: “Wahai Nabi Allah! Apakah kami akan di siksa karena apa
yang kami bicarakan?" Beliau menjawab: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ,
وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ فِي النَّارِ إِلاَّ حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ “Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidak ada yang
melemparkan manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah
mereka.” [HR. Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh
beliau, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)]
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang
menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak
beramal.” [‘Uyun al-Akhbar, Ibnu Taimiyyah 1/380]
Jika kita mau memperhatikan keadaan kita sekarang ini, niscaya kita dapati yang sebaliknya kecuali orang yang dirahmati Allah.
Mutiara Nasehat Dari Salafush Shalih
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam berbicara, cukup bagi seseorang
umtuk berbicara seperlunya.” [Jami’ al - ‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab
al-Hambali hal 134]
Beliau berkata kepada anaknya:
Beliau berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku, berleluasalah di rumahmu dan jagalah lisanmu serta menangislah mengingat dosamu!” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 134]
Beliau juga berkata:
Beliau juga berkata:
“Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia!
Tidak sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan dalam
waktu yang lama daripada lidah.”
[Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227]
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Lebih berlaku adillah terhadap telingamu dari pada lidahmu! Karena
tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak
mendengar dari pada berbicara.” [Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Ahmad
bin Qudamah al-Maqdisi]
Malik bin Anas mencela orang yang banyak bicara dengan mengatakan: “(Banyak berbicara) hanyalah kebiasaan wanita dan orang lemah.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/66]
Perhatikanlah!
Atha’ berkata: “Kaum salaf membenci sikap berlebihan dalam berbicara. Mereka menganggap selain membaca al-Qur’an, beramar ma’ruf nahi munkar, atau berbicara tentang kehidupan yang harus dibicarakan sebagai sikap berlebihan dalam berbicara.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/62]
Al-Qaim bin Muhammad Rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan orang-orang yang tidak suka bicara tetapi mereka suka beramal.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 2/343]
Orang-orang bijak mengatakan: “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang bicaranya.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87]
Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang berbicara melampaui batas maka akalnya akan berkurang.
Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata: “Ibadah yang pertama kali
adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan
menyampaikannya.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban
hal. 43]
Hayatilah hal ini, wahai saudaraku penuntut ilmu agar tercapai cita-citamu!
Abu Hatim Muhammad bin Hibban Rahimahullah berkata: “Yang harus
dilakukan bagi orang yang berakal adalah diam sampai ada hal yang harus
dibicarakan. Betapa banyak orang yang menyesal ketika berbicara, dan
betapa sedikit orang yang menyesal ketika diam. Orang yang paling lama
kesedihannya dan orang yang paling besar ujiannya, adalah orang yang
diuji dengan lisan yang banyak bicara dan kurang bermanfaat.” [Raudhat
al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
(Ada sebuah sya’ir yang indah)
"Jika engkau menyukai sikap diam, Sesungguhnya orang-orang mulia sebelum
kamu telah menyukainya. Jika kamu menyesal satu kali karena diam
Sesungguhnya kamu akan menyesal berulangkali karena berbicara".
[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Abu Hatim bin Hibban Rahimahullah berkata: “Diantara kesalahan paling
besar yang dapat merusak kesehatan jiwa dan merusak kebagusan hati,
adalah banyak bicara walaupun perkataaan tersebut boleh dibicarakan.
Seseorang tidak akan bisa memiliki sifat diam kecuali dengan
meninggalkan perkataan yang boleh untuk dibicarakan.” [Raudhat
al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Abu adz-Dziyal berkata Rahimahullah berkata: “Belajarlah diam
sebagaimana kamu belajar berbicara! Jika bicara itu memberikan petunjuk
kepadamu sesungguhnya diam itu menjaga dirimu. Dalam diam kamu
mendapatkan dua hal, yaitu dengan diam kamu dapat mengambil ilmu dari
orang yang lebih tahu dari pada kamu, dan dengan diam kamu dapat menolak
kebodohan orang yang lebih bodoh daripada kamu.” [Jami’ al-Ulum wa
al-Hikam, Ibnu Abd al-Barr 167]
(Ada sebuah sya’ir yang indah)
"Orang diam itu tidak tercela Tidak ada orang yang banyak bicara kecuali
akan terpeleset Dan tidak akan dicela orang yang diam. Jika berbicara
itu adalah perak Maka diam adalah emas yang dihiasi dengan mutiara."
[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Berkata al-Imam Ibnu Hibbbaan: “Suatu hal yang wajib dilakukan oleh
orang yang memiliki akal sehat bahwa ia lebih banyak mempergunakan
telinganya dari pada mulutnya, untuk ia ketahui kenapa dijadikan
untuknya dua buah telinga satu buah mulut,supaya ia lebih banyak
mendengar dari pada berbicara.. Karena apabila berbicara ia akan
menyesalinya, tapi bila ia diam ia tidak akan menyesal, sebab menarik
apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari pada menarik perkataan yang
telah diucapkannya.. Perkataan yang telah diucapkannya akan
mengikutinya selalu, sedangkan perkataan yang belum diucapkannya, (maka)
ia mampu mengendalikannya..” [Raudhatul 'uqalaa' halaman (47)]
Beliau juga berkata: Orang yang berakal sehat lidahnya dibelakang
hatinya, apabila ia ingin berbicara, ia kembalikan kepada hatinya, jika
hal itu baik untuknya baru ia bicara, jikalau tidak maka ia tidak
bicara. (Sedangkan) Orang yang dungu, hatinya dipenghujung lidahnya, apa
saja yang lewat diatas lidahnya ia ucapkan, tidaklah paham tentang
agama orang yang tidak bisa menjaga lidahnya. [Raudhatul 'uqalaa'
halaman (47)]
Seorang laki-laki menulis surat kepada seorang hakim, dia berkata :
“Janganlah kamu pelit untuk berbicara kepada manusia”
Maka dijawab:
“Sesunggunya al-Khaliq Subhanah telah menciptakan bagimu dua telinga dan
satu lisan, untuk lebih banyak mendengarkan apa-apa yang banyak dari
perkataanmu, bukan untuk lebih banyak berkata dari apa yang kamu
dengar.”
Berkata al-Imam Ibnu Rajab: “Barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan.” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam (2/147)]
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin Ubaid, “Sesungguhnya ia berkata:
Berkata al-Imam Ibnu Rajab: “Barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan.” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam (2/147)]
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin Ubaid, “Sesungguhnya ia berkata:
"‘Tidak seorangpun yang aku lihat yang lidahnya selalu dalam ingatannya,
melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh
aktivitasnya’.”
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia berkata: “Tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya.”
Imam Syafi’I pernah ditanya:
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia berkata: “Tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya.”
Imam Syafi’I pernah ditanya:
“Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaan?”
Beliau menjawab:
“Agar aku dapat memahami mana yang lebih utama, diam atau menjawab pertanyaan”
Ibrahim bin adhim melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara yang tak ada gunanya, maka belaiu berhenti dan bertanya : “Apakah kamu mengira akan mendapatkan pahala dengan ucapanmu itu?”
Ibrahim bin adhim melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara yang tak ada gunanya, maka belaiu berhenti dan bertanya : “Apakah kamu mengira akan mendapatkan pahala dengan ucapanmu itu?”
Maka orang ini menjawab : “Tidak”
Maka beliau bertanya lagi : “Apakah kamu akan merasa aman dari siksaan akibat ucapanmu tadi?”
Dia menjawab: “Tidak”
Maka beliau menimpali: "Maka kenapa kamu berkata dan berbicara yang
tidak mendapat pahala dan belum tentu selamat dari dosa!? Maka hendaklah
kamu berdzikir kepada Allah!"
Dari Thahir az-Zuhriy dia berkata: “Ada seorang laki-laki duduk di
samping abu yusuf, dan orang ini diam terus.Maka bertanya abu yusuf
kepadanya:
“Kenapa engkau tidak berbicara?”
Orang ini menjawab :
“Tentu aku akan bicara… kapan waktunya berbuka puasa?”
Maka abu yusuf menjawab :
“Jika tengelam matahari”
Laki-laki ini bertanya :
“(bagaimana) jika sampai pertengahan malam tidak tenggelam (juga)?
Maka tertawalah abu yusuf sambil berkata:
“Kamu benar dalam diammu, dan aku salah telah menyuruh kamu berbicara.”
_________
Sumber: http://abuzuhriy.com/
Banyak Cakap Banyak Kelemahan
Ketika melayari FB beberapa hari ini, saya
terbaca Pentadbir Punang.com berkempen memerangi fitnah dan mengumpat
dalam internet. Jiwa dan perasaan saya terpanggil untuk sama-sama
berkempen dan menyokong apa yang diserukan oleh Pentadbir Punang.com
itu.
Sebagai insan biasa pastinya kita tidak boleh lari melakukan kesalahan dan kesilapan, kerana manusia bukanlah malaikat yang Allah jadikan cukup sempurna. Namun begitu Rasulullah s.a.w. telah mewariskan kepada kita Al-Quran dan As-Sunnah sebagai panduan hidup kita, maka jika kita tersesat, terlalai, terlupa, tersilap dan sebagainya maka kembalilah kepada Al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w.
Islam amat menuntut umatnya supaya berhati-hati ketika berkata-kata kerana jika kita banyak bercakap banyaklah kesalahan yang mungkin kita luahkan. Menjaga lidah daripada menuturkan kata-kata tidak berfaedah, cakap kosong, mengumpat keji dan mengadu-domba, amatlah dituntut dalam Islam. Bukanlah kita tidak dibenarkan bercakap, tetapi jika terlalu banyak bercakap, tentulah banyak juga kesalahan yang bakal terkeluar daripada percakapan itu, dan natijahnya, banyaklah juga dosa.
Pesan Rasulullah yang bermaksud:
“ Sesiapa yang banyak bercakap banyaklah kesalahannya, sesiapa yang banyak kesalahannya banyaklah dosanya dan siapa yang banyak dosanya, api nerakalah paling layak untuk dirinya.”
(riwayat At-Tarmizi)
Imam Nawawi juga ada perpesan, kita wajar menjaga lidah daripada sebarang cakap sia-sia, kecuali jika cakap itu mendatangkan kebaikan, apabila bercakap dan berdiam diri adalah sama saja hasilnya, maka lebih baiklah berdiam diri.
Yang pasti, jika tidak ada lagi yang hendak diperkatakan, eloklah berdiam diri saja. Rasulullah bersabda bermaksud: “Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik dan kalau tidak hendaklah diam”.
( riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagai umat Islam kita mesti ingat tentang 5 perkara yang patut disebut selalu untuk memberi kesedaran kepada kita sepanjang menjalani kehidupan ini. Nabi Muhammad S.A.W. pernah mengingatkan umat-umatnya tentang kelima-lima perkara ini iaitu:-
1. Perbanyakkan menyebut Allah daripada menyebut makhluk: sudah menjadi kebiasaan bagi kita menyebut atau memuji orang yang berbuat baik kepada kita sehingga kadang-kadang kita terlupa hakikat bahawa terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Lantaran itu, kita terlupa memuji dan menyebut-nyebut nama Allah. Makhluk yang berbuat baik sedikit, kita puji habis-habisan tapi nikmat yang terlalu banyak Allah berikan, kita langsung tak ingat. Sebaik-baiknya elok dibasahi lidah kita dengan memuji Allah setiap ketika, bukan ucapan Alhamdulillah hanya apabila sudah kekenyangan hingga sendawa. Pujian begini hanya di lidah saja tak menyelerekan hingga ke hati.
2. Perbanyakkan menyebut akhirat daripada menyebut urusan dunia: Dunia terlalu sedikit dibandingkan akhirat. 1000 tahun di dunia setimpal dengan ukuran masa sehari di akhirat. Betapa kecilnya nisbah umur di dunia ini berbanding akhirat. Nikmat dunia juga 1/100 daripada nikmat akhirat. Begitu juga seksa dan kepayahan hidup di dunia hanya 1/100 daripada akhirat. Oleh itu perbanyakkanlah menyebut-nyebut perihal akhirat supaya timbul keghairahan menanam dan melabur saham akhirat.
3. Perbanyakkan menyebut dan mengingat hal-hal kematian daripada hal-hal kehidupan: kita sering memikirkan bekalan hidup ketika tua dan bersara tapi jarang memikirkan bekalan hidup semasa mati. Memikirkan mati adalah sunat kerana dengan berbuat demikian kita akan menginsafi diri dan kekurangan amalan yang perlu dibawa ke sana. Perjalanan yang jauh ke akhirat sudah tentu memerlukan bekalan yang amat banyak. Bekalan itu hendaklah dikumpulkan semasa hidup di dunia ini. Dunia ibarat kebun akhirat. Kalau tak diusahakan kebun dunia ini masakan dapat mengutip hasilnya di akhirat? Dalam hubungan ini eloklah sikap Saidina Ali bin Abi Thalib dicontohi. Meskipun sudah terjamin akan syurga baginya. Saidina Ali masih mengeluh dengan hebat sekali tentang kurangnya amalan untuk dibawa ke akhirat yang jauh perjalanannya. Betapa pula dengan diri kita yang kerdil dan bergelumang dengan dosa ini.
4. Jangan menyebut-nyebut kebaikkan diri dan keluarga: Syaitan memang sentiasa hendak memerangkap diri kita dengan menyuruh atau membisikkan kepada diri kita supaya sentiasa mengingat atau menyebut-nyebut tentang kebaikan yang kita lakukan sama ada kepada diri sendiri, keluarga atau masyarakat amnya. Satu kebaikan yang kita buat, kita sebut-sebut selalu macam rasmi ayam ‘bertelur sebiji riuh sekampung’. Kita terlupa bahawa dengan menyebut dan mengingat kebaikkan kita itu sudah menimbulkan satu penyakit hati iaitu ujub. Penyakit ujub ini ibarat api dalam sekam boleh merosakkan pahala kebajikan yang kita buat. Lebih dahsyat lagi jika menimbulkan riya’ atau bangga diri yang mana Allah telah memberi amaran sesiapa yang memakai sifat-Nya (riya’) tidak akan mencium bau syurga. Riya’ adalah satu unsur dari syirik (Khafi). Oleh itu eloklah kita berhati-hati supaya menghindarkan diri daripada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain. Kita perlu sedar bahawa perbuatan buat baik yang ada pada diri kita itu sebenarnya datang dari Allah. Allah yang menyuruh kita buat baik, jadi kita patut bersyukur kepada Allah kerana menjadikan kita orang yang baik. Bukannya mendabik dada mengatakan kita orang yang baik. Kita terlupa kepada Allah yang mengurniakan kebaikan itu.
5. Jangan sebut-sebut dan nampak-nampakkan keaiban atau keburukan diri orang lain: kegelapan hati ditokok dengan rangsangan syaitan selalu menyebabkan diri kita menyebut-nyebut kesalahan dan kekurangan orang lain. Kita terdorong melihat keaiban orang sehingga terlupa melihat keaiban dan kekurangan diri kita sendiri. Bak kata orang tua-tua ‘kuman diseberang lautan nampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan’. Islam menuntut kita melihat kekurangan diri supaya dengan cara itu kita dapat memperbaiki kekurangan diri kita. Menuding jari mengatakan orang lain tak betul sebenarnya memberikan isyarat bahawa diri kita sendiri tidak betul. Ibarat menunjuk jari telunjuk kepada orang: satu jari ke arah orang itu tapi empat jari lagi menuding ke arah diri kita. Bermakna bukan orang itu yang buruk, malahan diri kita lebih buruk daripadanya. Oleh sebab itu, biasakan diri kita melihat keburukan diri bukannya keburukan orang lain. Dalam Islam ada digariskan sikap positif yang perlu dihayati dalam hubungan sesama manusia iaitu lihatlah satu kebaikan yang ada pada diri seseorang, meskipun ada banyak kejahatan yang ada pada dirinya. Apabila melihat diri kita pula, lihatlah kejahatan yang ada pada diri kita walaupun kita pernah berbuat baik. Hanya dengan cara ini kita terselamat dari bisikan syaitan yang memang sentiasa mengatur perangkap untuk menjerumuskan kita ke dalam api neraka.
Semoga lima perkara yang disebutkan di atas dapat kita hayati dan diterapkan dalam kehidupan kita seharian. Dengan menghayati dan menyematkan dalam hati lima perkara itu insyaAllah kita akan dapat menghindari diri kita mengeluarkan perkataan yang sia-sia dan tidak berfaedah serta menjaga tingkahlaku dan perbuatan kita. Sama-samalah kita berdoa semoga terselamat dari kemurkaan Allah semasa di dunia hingga ke akhirat. Amin…..
Sebagai insan biasa pastinya kita tidak boleh lari melakukan kesalahan dan kesilapan, kerana manusia bukanlah malaikat yang Allah jadikan cukup sempurna. Namun begitu Rasulullah s.a.w. telah mewariskan kepada kita Al-Quran dan As-Sunnah sebagai panduan hidup kita, maka jika kita tersesat, terlalai, terlupa, tersilap dan sebagainya maka kembalilah kepada Al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w.
Islam amat menuntut umatnya supaya berhati-hati ketika berkata-kata kerana jika kita banyak bercakap banyaklah kesalahan yang mungkin kita luahkan. Menjaga lidah daripada menuturkan kata-kata tidak berfaedah, cakap kosong, mengumpat keji dan mengadu-domba, amatlah dituntut dalam Islam. Bukanlah kita tidak dibenarkan bercakap, tetapi jika terlalu banyak bercakap, tentulah banyak juga kesalahan yang bakal terkeluar daripada percakapan itu, dan natijahnya, banyaklah juga dosa.
Pesan Rasulullah yang bermaksud:
“ Sesiapa yang banyak bercakap banyaklah kesalahannya, sesiapa yang banyak kesalahannya banyaklah dosanya dan siapa yang banyak dosanya, api nerakalah paling layak untuk dirinya.”
(riwayat At-Tarmizi)
Imam Nawawi juga ada perpesan, kita wajar menjaga lidah daripada sebarang cakap sia-sia, kecuali jika cakap itu mendatangkan kebaikan, apabila bercakap dan berdiam diri adalah sama saja hasilnya, maka lebih baiklah berdiam diri.
Yang pasti, jika tidak ada lagi yang hendak diperkatakan, eloklah berdiam diri saja. Rasulullah bersabda bermaksud: “Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik dan kalau tidak hendaklah diam”.
( riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagai umat Islam kita mesti ingat tentang 5 perkara yang patut disebut selalu untuk memberi kesedaran kepada kita sepanjang menjalani kehidupan ini. Nabi Muhammad S.A.W. pernah mengingatkan umat-umatnya tentang kelima-lima perkara ini iaitu:-
1. Perbanyakkan menyebut Allah daripada menyebut makhluk: sudah menjadi kebiasaan bagi kita menyebut atau memuji orang yang berbuat baik kepada kita sehingga kadang-kadang kita terlupa hakikat bahawa terlampau banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Lantaran itu, kita terlupa memuji dan menyebut-nyebut nama Allah. Makhluk yang berbuat baik sedikit, kita puji habis-habisan tapi nikmat yang terlalu banyak Allah berikan, kita langsung tak ingat. Sebaik-baiknya elok dibasahi lidah kita dengan memuji Allah setiap ketika, bukan ucapan Alhamdulillah hanya apabila sudah kekenyangan hingga sendawa. Pujian begini hanya di lidah saja tak menyelerekan hingga ke hati.
2. Perbanyakkan menyebut akhirat daripada menyebut urusan dunia: Dunia terlalu sedikit dibandingkan akhirat. 1000 tahun di dunia setimpal dengan ukuran masa sehari di akhirat. Betapa kecilnya nisbah umur di dunia ini berbanding akhirat. Nikmat dunia juga 1/100 daripada nikmat akhirat. Begitu juga seksa dan kepayahan hidup di dunia hanya 1/100 daripada akhirat. Oleh itu perbanyakkanlah menyebut-nyebut perihal akhirat supaya timbul keghairahan menanam dan melabur saham akhirat.
3. Perbanyakkan menyebut dan mengingat hal-hal kematian daripada hal-hal kehidupan: kita sering memikirkan bekalan hidup ketika tua dan bersara tapi jarang memikirkan bekalan hidup semasa mati. Memikirkan mati adalah sunat kerana dengan berbuat demikian kita akan menginsafi diri dan kekurangan amalan yang perlu dibawa ke sana. Perjalanan yang jauh ke akhirat sudah tentu memerlukan bekalan yang amat banyak. Bekalan itu hendaklah dikumpulkan semasa hidup di dunia ini. Dunia ibarat kebun akhirat. Kalau tak diusahakan kebun dunia ini masakan dapat mengutip hasilnya di akhirat? Dalam hubungan ini eloklah sikap Saidina Ali bin Abi Thalib dicontohi. Meskipun sudah terjamin akan syurga baginya. Saidina Ali masih mengeluh dengan hebat sekali tentang kurangnya amalan untuk dibawa ke akhirat yang jauh perjalanannya. Betapa pula dengan diri kita yang kerdil dan bergelumang dengan dosa ini.
4. Jangan menyebut-nyebut kebaikkan diri dan keluarga: Syaitan memang sentiasa hendak memerangkap diri kita dengan menyuruh atau membisikkan kepada diri kita supaya sentiasa mengingat atau menyebut-nyebut tentang kebaikan yang kita lakukan sama ada kepada diri sendiri, keluarga atau masyarakat amnya. Satu kebaikan yang kita buat, kita sebut-sebut selalu macam rasmi ayam ‘bertelur sebiji riuh sekampung’. Kita terlupa bahawa dengan menyebut dan mengingat kebaikkan kita itu sudah menimbulkan satu penyakit hati iaitu ujub. Penyakit ujub ini ibarat api dalam sekam boleh merosakkan pahala kebajikan yang kita buat. Lebih dahsyat lagi jika menimbulkan riya’ atau bangga diri yang mana Allah telah memberi amaran sesiapa yang memakai sifat-Nya (riya’) tidak akan mencium bau syurga. Riya’ adalah satu unsur dari syirik (Khafi). Oleh itu eloklah kita berhati-hati supaya menghindarkan diri daripada mengingat kebaikan diri kita kepada orang lain. Kita perlu sedar bahawa perbuatan buat baik yang ada pada diri kita itu sebenarnya datang dari Allah. Allah yang menyuruh kita buat baik, jadi kita patut bersyukur kepada Allah kerana menjadikan kita orang yang baik. Bukannya mendabik dada mengatakan kita orang yang baik. Kita terlupa kepada Allah yang mengurniakan kebaikan itu.
5. Jangan sebut-sebut dan nampak-nampakkan keaiban atau keburukan diri orang lain: kegelapan hati ditokok dengan rangsangan syaitan selalu menyebabkan diri kita menyebut-nyebut kesalahan dan kekurangan orang lain. Kita terdorong melihat keaiban orang sehingga terlupa melihat keaiban dan kekurangan diri kita sendiri. Bak kata orang tua-tua ‘kuman diseberang lautan nampak, tapi gajah di depan mata tak kelihatan’. Islam menuntut kita melihat kekurangan diri supaya dengan cara itu kita dapat memperbaiki kekurangan diri kita. Menuding jari mengatakan orang lain tak betul sebenarnya memberikan isyarat bahawa diri kita sendiri tidak betul. Ibarat menunjuk jari telunjuk kepada orang: satu jari ke arah orang itu tapi empat jari lagi menuding ke arah diri kita. Bermakna bukan orang itu yang buruk, malahan diri kita lebih buruk daripadanya. Oleh sebab itu, biasakan diri kita melihat keburukan diri bukannya keburukan orang lain. Dalam Islam ada digariskan sikap positif yang perlu dihayati dalam hubungan sesama manusia iaitu lihatlah satu kebaikan yang ada pada diri seseorang, meskipun ada banyak kejahatan yang ada pada dirinya. Apabila melihat diri kita pula, lihatlah kejahatan yang ada pada diri kita walaupun kita pernah berbuat baik. Hanya dengan cara ini kita terselamat dari bisikan syaitan yang memang sentiasa mengatur perangkap untuk menjerumuskan kita ke dalam api neraka.
Semoga lima perkara yang disebutkan di atas dapat kita hayati dan diterapkan dalam kehidupan kita seharian. Dengan menghayati dan menyematkan dalam hati lima perkara itu insyaAllah kita akan dapat menghindari diri kita mengeluarkan perkataan yang sia-sia dan tidak berfaedah serta menjaga tingkahlaku dan perbuatan kita. Sama-samalah kita berdoa semoga terselamat dari kemurkaan Allah semasa di dunia hingga ke akhirat. Amin…..
Apa yang Rasulullah SAW Ajar Tentang Diam?
This Article Checked By Akademi Tarbiyah Dewan Pemuda PAS Malaysia (DPPM) on Thursday, 31 January 2013
Bicara dan diam laksana dua sisi dari sekeping mata wang, yang tidak
mungkin dipisahkan. Kedua-duanya adalah nikmat Allah yang amat besar
yang diberikan kepada umat manusia. Dengan berbicara, manusia boleh
berinteraksi sesama mereka dan menjadi makhluk yang termulia di antara
makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Oleh kerana itu, secara jelas Allah
Taala berfirman di dalam al Quran :
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“(Allah) Mengajarkannnya (kepada manusia) pandai menerangkan (berbicara).” (Rahman:4)
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda;
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ،
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia
memuliakan tetamunya.” (riwayat Bukhari)
Kalimah, “...Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”,
maksudnya adalah sesiapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang
(keimanannya itu) menyelamatkannya dari azab Allah dan membawanya
mendapatkan redha Allah, “...Maka hendaklah ia berkata baik atau diam”
kerana orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu
takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang terpenting
dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-geri seluruh anggota
badannya kerana kelak dia akan dipertanggungjawabkan atas perbuatan ke
semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu menurut sesuatu yang tiada dalam pengetahuan
(ilmu). Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak
pasti akan dimintai tanggung jawabnya.” (al-Israk:36)
Dan firman-Nya lagi:
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid.” (Qaff:18)
Rasulullah saw pernah ditanya tentang siapakah sebaik-sebaik seorang Muslim itu, maka jawab baginda Nabi:
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“(Mereka) yang memberikan rasa aman kepada saudara Muslim-nya daripada gangguan lisan dan tangannya.” (riwayat Bukhari)
Sebenarnya di sebalik sebuah ucapan itu tersimpan sebuah tanggungjawab
besar yang bakal dipersoalkan Allah di akhirat kelak. Oleh kerana itu,
kita harus berwaspada dalam setiap tutur kata, ia boleh sahaja menjadi
faktor yang mampu mengangkat darjat seseorang hamba di sisi Allah, ia
juga boleh menyebabkan kecelakaan besar kepada pengungkapnya. Rasulullah
saw bersabda:
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا
يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي
لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Seorang hamba yang berbicara mengenai sesuatu perbicaraan yang
termasuk dalam keredhaan Allah, sedang dia tidak sedarinya; namun dengan
sebab satu kalimat itu Allah menaikkan martabatnya beberapa darjat.
Adapun mereka yang berbicara mengenai suatu perkara yang termasuk dalam
kemurkaan Allah, sedang dia tidak sedarinya; dengan sebab satu kalimat
itu buruk itu dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.” (riwayat Bukhari)
Terdapat athar menyebutkan:
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak Adam itu ada pada lisannya.” (riwayat al-Tabarani)
Apabila Rasulullah saw bersabda:
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“...Maka hendaklah ia berkata baik atau diam”, ini menunjukkan
bahawa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu
lebih utama daripada berkata buruk. Berkata baik dalam hadis ini
mencakup menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya dan memberikan
pengajaran kepada kaum Muslimin, amar makruf dan nahi mungkar
berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih pendapat, berkata
yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah
menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti
kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.
Islam menjelaskan bagaimana seharusnya memanfaatkan kedua-dua potensi
itu, iaitu bercakap dan diam, agar manusia benar-benar mampu
memanfaatkan untuk berbicara sehari-hari sehingga ia menjadi jalan
kebaikan bagi penuturnya. Dan kalau tidak mampu, maka lebih baik diam.
Dan bagi yang mampu untuk diam pula, tetapi menolak untuk mengucapkan
kebenaran, ia adalah “Syaitan yang bisu”. Kata Abu Ali al-Daqqaq rhm:
الْمُتَكَلِّمُ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ وَالسَّاكِتُ عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
“Orang yang berkata batil adalah Syaitan yang berbicara, sedangkan
orang yang diam dari mengatakan kebenaran adalah Syaitan yang bisu.”
Oleh kerana itu, sikap berdiam juga boleh memberikan kesan sampingan
yang bermacam-macam dan nilai impaknya mampu memberikan petanda murka
daripada Allah Taala. Ada yang dengan diam ia menjadi emas, tetapi ada
pula dengan diam ia menjadi masalah. Semua bergantung kepada niat cara
situasi dikendalikan pada diri dan lingkungannya. Kata Imam Ahmad ibn
Hanbal di dalam Bayna Mehnah al-Din wa Mehnah al-Dunya:
إذا سكت العالم تقية، والجاهل يجهل، فمتى يظهر الحق
“Kalau diam orang alim kerana taqiyah (playsafe), dan orang jahil terus jahil, maka bilakah kebenaran itu akan tertegak?”
Untuk mencapai kebaikan Islam, seseorang tidak cukup hanya berdiam
sedangkan anggota tubuhnya yang lain melakukan hal-hal yang dilarang
oleh Allah Taala. Namun, ia harus juga harus “diam” yakni meninggalkan
perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan diltegah Allah baginya.
Rasulullah saw bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan Islam seseorang itu iaitu meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (riwayat al-Tirmizi)
Bagi orang yang beriman, lidah yang dikurniakan untuk menyampaikan
tujuan-tujuan komunikasi sesama manusia tidak akan digunakan untuk
berbicara sesuka hati dan sia-sia. Sebaliknya digunakan untuk
mengeluarkan mutiara-mutiara yang berhikmah, nasihat-nasihat yang
membetulkan perjalanan hidup manusia. Manakala, peranan diam pula
dijadikan benteng bagi lidah manusia daripada mengucapkan perkataan yang
sia-sia atau yang tiada keperluannya. Diam memiliki faedah dan syarat
kondisionalnya tersendiri. Apa yang penting adalah kita mengetahui
waktu-waktu yang tepat untuk mengambil diam sebagai sikap ketika
berinteraksi dengan orang lain. Diam boleh menjadi kebiasaan efektif
yang apabila ia diterapkan dalam diri, ia mampu menjadikan kita lebih
produktif. Iaitu membiasakan diam, lebih banyak mendengar daripada
berbicara dengan memperbanyakkan kerja. Sabda Rasulullah saw:
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا؛ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
“Sesungguhnya Allah membenci kalian tentang tiga perkara, iaitu;
mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, menyia-nyiakan harta dan
banyak bertanya (tanpa ada keperluan).” (riwayat Muslim)
1
Hikmah Berdiam
Sebagai ibadah tanpa bersusah payah. Menjadi perhiasan tanpa berhias.
Memiliki kehebatan tanpa kerajaan. Membina benteng tanpa pagar.
Mempunyai kekayaan budi tanpa meminta maaf kepada orang. Memberi
istirehat bagi kedua Malaikat pencatat amal. Menutupi segala aib dan
masalah.
Antara hadis mengenai kelebihan diam diriwayatkan oleh Abu Nuaim di dalam Hilyat al-Auliya:
وَمَنْ
كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرُ سَقَطُهُ، وَمَنْ كَثُرَ سَقَطُهُ كَثُرَتْ
خَطَايَاهُ، وَمَنْ كَثُرَتْ خَطَايَاهُ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Dan siapa yang banyak perkataannya nescaya banyaklah silapnya. Siapa
yang banyak silapnya, nescaya banyaklah salah (dosanya). Siapa yang
banyak berlaku salah, neraka lebih utama baginya.” (al-Iraqi menyebut bahawa hadis ini dhaif)
Bersikap diam juga suatu kebijaksanaan dan keadilan, ilmu dan
pengetahuan, bahkan merupakan akhlak yang mampu mendidik masyarakat awam
daripada terjerumus ke dalam lembah kekeliruan yang lebih parah.
Rasulullah saw pernah menyatakan kepada Abu Zar ra:
عَلَيْكَ بِطُولِ الصَّمْتِ فَإِنَّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشَّيْطَانِ، وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أَمْرِ دِينِكَ
“Hendaknya engkau diam, sebab diam itu menyingkirkan syaitan dan penolong bagimu dalam urusan agamamu.” (riwayat al-Baihaqi)
Semoga Allah merahmati Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, ketika beliau berkata:
إن السابقين عن علم وقفوا، وببصر نافذ قد كفوا، وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا
“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salaf al-Soleh) itu
berhenti (tidak bersikap melampau) di atas dasar ilmu, mereka memiliki
penelitian yang tajam (menembus) namun adakalanya mereka menahan dirinya
(dari meneruskan sesuatu perbahasan) sekalipun mereka lebih mampu dalam
membahas sesuatu perkara jika mereka ingin membahasnya.” - Bayan Fadhli Ilmi Salaf
2
Diam Juga Boleh Mengundang Fasad
Terdapat dalam sebuah hadis yang berbunyi (terjemahannya), “Barangsiapa
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dan mencegahnya
dengan menggunakan tangannya (kuasa), sekiranya ia tidak mampu maka
hendaklah ia menggunakan mulutnya, sekiranya ia tidak mampu juga maka
hendaklah ia menggubah dengan menggunakan hatinya. Sesungguhnya mengubah
dan mencegah perbuatan mungkar dengan menggunakan hati itu adalah tanda
selemah-lemah iman.” (riwayat Muslim)
Justeru, tidak mengubah dan mencegah sesuatu kemungkaran adalah tanda
tiada iman atau hampir kepada kekufuran. Jika dilihat daripada hadis di
atas, Nabi Muhammad saw menggunakan pendekatan yang sangat berhemah
dalam mengkategorikan seseorang Muslim itu kepada tiga peringkat.
Bagaimanapun, selalu sangat disalah-tafsirkan kategori yang terakhir itu
sebagai mendiamkan diri atau tidak melakukan apa-apa usaha untuk
mengubah kemungkaran tersebut. Maka mengatakan kategori yang terakhir
dalam melunaskan kerja untuk mencegah kemungkaran sebagai “diam” adalah
suatu kesilapan, kerana diam tidak boleh dijadikan ukuran salah atau
betul.
3
Mendengar & Melaksanakan Apa yang Baik itu Lebih Utama
Lazimnya, orang yang terlalu banyak berbicara (berkata-kata) adalah
orang yang lemah keperibadiannya. Ciri-ciri orang cerdik menurut Islam
yang disebutkan al Quran adalah orang yang mendengarkan perkataan orang
lain dan melaksanakan apa yang terbaik daripada perkataan itu
(al-Zumar:18):
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Orang pandai yang suka mengambil perhatian yakni mendengar dengan baik
apa yang dikatakan oleh orang lain akan disukai. Sebahagian manusia
lebih gemar untuk perkataannya didengar, diambil peduli daripada dia
mendengar bicara orang lain. Ada orang yang mempunyai kebiasaan
berbicara dahulu, baru berfikir. Kerana itu, diam menunjukkan kekuatan
keperibadian seseorang. Kemampuan mendengar adalah kekuatan keperibadian
yang luar biasa besarnya. Kata Jaafar al-Sadiq ra:
لِسَانُ الْعَاقِلِ وَرَاءَ قَلْبِهِ، وَقَلْبُ الْأَحْمَقِ وَرَاءَ لِسَانِهِ
“Lisan orang yang berakal itu ada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh itu ada di belakang lisannya.”
Orang yang berakal selalu mempertimbangkan terlebih dahulu apa yang akan
dilontarkan dalam bicaranya, sedang orang yang bodoh sering
memperkatakan apa sahaja yang terlintas di dalam hatinya tanpa
memikirkan akibat yang mungkin timbul daripada ucapannya itu. Sebaiknya
kita harus benar-benar yakin bahawa apa yang akan disampaikan adalah
sesuatu yang sudah difikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan yang
muncul secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita akan
menjadi produktif dalam hidup. Diam bukan dalam erti kita sama sekali
tidak berbicara, melainkan diam dalam erti hanya berbicara jika ada
keperluan untuk itu. Ada mekanisme lain juga yang telah ditunjukkan di
dalam al Quran :
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah:83)
فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
“Berilah mereka dari harta itu (kepada anak-anak yatim) dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Nisa':8)
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا
“Oleh itu hendaklah bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mengatakan perkataan yang betul (menepati kebenaran).” (al-Nisa':9)
أُوْلَئِكَ
الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui
apa yang ada di dalam hatinya. Kerana itu berpalinglah dari mereka, dan
berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
membekas dalam jiwanya.” (al-Nisa':63)
وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Dan katakanlah kepada mereka (kedua ibu bapa) perkataan yang mulia (yang bersopan santun).” (al-Israk:23)
فَقُل لَّهُمْ قَوْلاً مَّيْسُورًا
“Maka katakanlah kepada mereka kata-kata yang menyenangkan hati.” (al-Israk:28)
وَقُل
لِّعِبَادِى يَقُولُواْ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِنَّ ٱلشَّيْطَـٰنَ
يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ ٱلشَّيْطَـٰنَ كَانَ لِلإِنْسَـٰنِ عَدُوًّا
مُّبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku; Hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia.” (al-Israk:53)
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanakanlah langkahmu semasa berjalan, juga rendahkanlah
suaramu (semasa berkata-kata), sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keldai.” (Luqman:19)
Al-Quran menunjukkan kepada kita tentang pilihan dalam berbicara, qaulan
makrufan, qaulan kariman, qaulan maysuran, qaulan sadidan dan qaulan
balighan, yakni pembicaraan yang disertakan perkataan-perkataan yang
baik, tepat dan membekas dalam jiwa. Justeru, mekanisme mana lagi yang
lebih baik dibandingkan dengan anjuran menguruskan sebarang perbicaraan
sebagaimana yang dinyatakan di dalam al-Quran?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan