Pengertian Ikhlas dalam Ibadah
Pengertian Ikhlas dalam Ibadah merupakan paduan ibadah dan akhlak atau
syariat dan tasawuf. Ibadah adalah pelaksanan syariat Islam. Tasawuf
adalah akhlak atau moralitas Islami.
Ikhlas artinya tanpa pamrih atau tanpa mengharapkan apa pun kepada
selain Allah SWT. Mengerjakan sesuatu hanya mengharapkan ridho Allah
SWT, tidak mengharapkan apa pun selainnya dan kepada selain-Nya, itulah
ikhlas.
Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah oleh Allah SWT, selain ilmu dan sesuai dengan sunah Rasulullah Saw.
Ikhlas: Amalan Hati
Ikhlas adalah amalan hati (
'amaliyah qolbiyah). Orang yang
ikhlas semata-mata mengharapkan keridhoan Allah SWT, tidak berharap
pujian atau penghargaan dari manusia, bahkan amal ibadahnya ia
sembunyikan agar tidak diketahui manusia.
"Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yunus:105).
“Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i).
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am:162).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus.” (QS. Al-Bayinah: 5).
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang
hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa
yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan
sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang ikhlas beramal, seperti sedekah dan dzikir tanpa ada
keinginan dilihat atau dipuji manusia, termasuk kelompok yang dilindungi
Allah SWT di akhirat.
"Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungannya pada
hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah. (1) Imam yang
adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, (3) seorang
pria yang hatinya terikat dengan masjid-masjid, (4) dua orang pria yang
saling mencintai karena Allah, mereka berdua berkumpul karena Allah
dan berpisah karena Allah, (5) seseorang yang diajak untuk berzina oleh
seorang wanita yang berkedudukan dan cantik namun ia berkata
"Sesungguhnya aku takut kepada Allah", (6) seseorang yang bersedekah
lalu ia sembunyikan hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang
disedekahkan oleh tangan kanannya, dan (7) seseorang yang berdzikir
mengingat Allah tatkala bersendirian maka kedua matanya pun meneteskan
air mata" (HR. Muslim).
Semoga kita diberi kekuatan untuk ikhlas dalam beribadah. Amin!
Wallahu a'lam bish shawabi.*
Pengertian Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
ASSALAMU'ALAYKUM_ WARO'HMATULLAHi_ WABAROKATUH_
Pentingnya amalan hati
Secara
umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan
lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyahmengatakan:"Bahwasanya ia meru
pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai
AllahSubhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankanagama semata-mata karena
Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas
keputusan atauhukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua
menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Alfatawa 10/5, juga
20/70)
Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati
merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badanadalah
pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan
anggota badan adalah jasadnya. Jikaruh itu terlepas maka matilah jasad.
Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih
pentingdaripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan
anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).Lebih jauh lagi dalam kitab yang
sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan
tidak adamanfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati
lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripadaamalan anggota
badan.
Kedudukan IkhlasIkhlas merupakan hakikat dari agama
dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allahdengan memurnikan keta'atan (ikhlas)
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
merekamendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus." (QS. 98:5)Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara
kamuyang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al
Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik
amalnya) adalah akhlasuhu waAshwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar
(sesuai tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu
'alaihi waSalam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkanpersekutuan , barang
siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku
dengan selainKu makaAku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR.
Muslim).
Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya
jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, makaamalan
itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan
menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits,
bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah
orang yangmati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut
pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orangyang belajar dan
mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya
disebut sebagai qori' atau alim.Dan orang ketiga adalah orang yang
diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut
akan tetapitujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka
ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalamNeraka. (na'udzu
billah min dzalik).
Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
Sebagian
lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang
tidak memperdulikan meskipunseluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang
dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin
memperbaikihatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau
amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupunperbuatan itu
sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang
paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian
nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri:
"Tidak ada yang paling berat untuk kuobatidaripada niatku, karena ia
selalu berubah-ubah."
Perusak-perusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
- Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
- Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
-
'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah membedakan keduanya denganmengatakan bahwa: "Riya' masuk
didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam
babmenyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:
-
Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin
menampakkannya dan tidak suka jikadiketahui oleh banyak orang, akan
tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului
salamterhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya,
segera memenuhi keinginannya,diperlakukan lain dalam jual beli
(diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua
tidak iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya,
seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan ituia mengharapkan agar
orang selalu menghormatinya.
- Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
-
Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini,
beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid AlGhazali ketika sampai
kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena
Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang
tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid:"Maka aku berbuat
ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku,
lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata:
"Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu
itu bukan karena Allah semata.
- Kemudian Ibnu Taymiyah
berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu
dan hikmah,dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia
tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan caraikhlas karena
Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat
ikhlas karena Allah,maka terjadilah duahal yang saling bertentangan.
Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja,
sedang tujuannyaadalah selain Allah.
- Yaitu apa yang
diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat
tersembunyi, yaitu terkadangseseorang mencela dan menjelek-jelekan
dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang
tersebutmenganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga
dengan itu orang justru mengangkat danmemujinya. Ini merupakan pintu
riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para
salafus shaleh.
Cara-cara mengobati riya'- Harus menyadari
sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas
seorang hamba adalahmengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap
kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
- Menyaksikan
pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya
diukur dengan kehendak Allahbukan kemauan diri sendiri.
-
Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak
bagian dari amal yang telah kita berikanuntuk hawa nafsu dan syetan.
Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya
namun sangatminim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya
untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
- Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
- Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
-
Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail,
shadaqah sirri, menagis karena Allah dikalamenyandiri dan sebagainya.
- Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
- Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
- Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
- Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
-
Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan
riya'dengan membaca doa:"Ya Allah akuberlindung kepadamu dari berbuat
syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang
tidak kuketahui."
- Wallahu a'lam bis shawab.
Disarikan
dari buku al ikhlash wa asy syirkul asghar,Dr Abdul Aziz bin Muhammad
Al Abdul Lathif, Darul Wathan Riyadh(Ibnu Djawari)
Definisi, Dalil, dan Pendapat Ulama Mengenai Ikhlas
Definisi Ikhlas
Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dari hal-hal yang dapat mengotorinya. Dalam arti lain, ikhlas
adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk
ketaatan. Atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu
berkonsentrasi kepada Al Khaaliq (Tazkiyatun Nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As Salaf, Dr Ahmad Farid)
Mengapa Harus Ikhlas?
Ikhlas merupakan salah satu pilar yang terpenting dalam Islam. Karena
ikhlas merupakan salah satu syarat untuk diterimanya ibadah (Kitab Tauhid I hlm. 85, Syaikh Shalih Al Fauzan)
Hal ini bisa dilihat dari hadits Abu Umamah, yaitu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda setelah ditanya mengenai orang
yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak menerima suatu amal, kecuali
jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya” (HR. An Nasai dengan sanad yang jayyid/bagus. Dishahihkan Al Mundziri, dan dimuat pula oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari VI/28)
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya
untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk
mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga
pada hari kiamat nanti” (HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu Majah no. 252, dishahihkan oleh Al Albani)
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada
sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan
selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (tidak menerima amalannya, pen)
dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985)
Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan
batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa (Syarh Muslim 9/370, Imam An Nawawi)
Dan ikhlas juga adalah salah satu syarat agar kita mampu menjadi
pribadi yang bertaqwa, karena sesungguhnya ikhlas adalah rukun taqwa
yang pertama. Ikhlas didahulukan sebelum Ittiba’ dan Ilmu (Manhajul Anbiyaa’ Fii Tazkiyatin Nufuus, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Ikhlas juga salah satu penyebab agar kita ditolong Allah
“Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a
orang miskin tersebut, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka
dalam beramal” (HR. An Nasai no. 3178, dishahihkan oleh Al Albani)
Seorang hamba juga akan selamat dari godaan setan dengan keikhlasan. Sebagaimana pernyataan Iblis,
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang selalu ikhlas” (QS. Shaad: 82-83)
Dalil Perintah Untuk Ikhlas
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik)” (QS. Az Zumar: 2-3)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama” (QS. Az Zumar: 11)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Baiyinah: 5)
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang
hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang
hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan
sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Perkataan Para Ulama Tentang Ikhlas
“Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat” (Mutharrif bin Abdullah, dinukil dalam Jami’ul Ulum wal Hikam)
“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat” (Abdullah bin Mubarak, dinukil dalam Jami’ul Ulum wal Hikam)
“Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir
yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun
tidak membawa manfaat apa-apa” (Ibnul Qayyim, dalam Al Fawaid)
“Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari keridhaan Allah, pasti akan pupus sirna” (Rabi’ bin Khutsaim, dinukil dalam Shifatush Shafwah)
“Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling
mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi
keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya
mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun
kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah” (Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al A’mal)
“Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan
beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika
Allah menyelamatkanmu dari keduanya” (Fudhail bin Iyadh, dimuat dalam Tazkiyatun Nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama As Salaf)
Bogor, 25 Oktober 2011
Assalamu’ alaikum to all my visitors.
Tahukah kalian syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas sebagaimana
diterangkan dalam ayat Al Qur'an (QS. Az Zumar: 65)," Jika kamu
mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu." Dengan ikhlas
kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah, dengan
ikhlas pula kita tidak akan menjadi orang yang riya’ atau sombong,
karena sombong itu merupakan sifatnya setan. Syaitan berkata,” Ya
Tuhanku, oleh karena Engkau telah menetapkanku sesat, sungguh akan
kuusahakan agar anak manusia memandang indah segala yang tampak di bumi
dan aku akan sesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hambaMu dari antara
mereka yang ikhlas(Al-Hijr: 39-40).
Seseorang
yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras dari
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang
dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor,
ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah
keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah,
dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang
dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya
akan mudah menyerah dan selalu kecewa.Tetapi banyak dari kita yang
beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada Allah SWT, melainkan
dengan sikap riya’ atau sombong supaya mendapat pujian dari orang lain.
Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh Allah
SWT.
Arti Dari Ikhlas
Secara bahasa,
Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari
kotoran. Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat mengharap ridha
Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Oleh
karena itu, bagi seorang muslim sejati makna ikhlas adalah ketika ia
mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk
Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada
kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau kemunduran. Dengan
demikian Si Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan
tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.”
Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu
Ghayaatunaa”, yang artinya Allah adalah tujuan kami, dalam segala
aktivitas dalam mengisi kehidupan.
Kedudukan Ikhlas
Rasulullah
SAW. Pernah bersabda, “ Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal
yang sedikit.” Dalam hadist lain Rasulullah SAW. bersabda,“
Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas
dan mengharap ridha-Nya.”
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat
kepada seorang temannya,“ Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan
sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan
niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika
Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini,“ Amal tanpa keikhlasan
seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir.
Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau
berkata,“ Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah
mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan,
maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Dari
beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas itu memang
sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa
rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak
akan diterima oleh Allah.
Ciri-Ciri Orang Ikhlas
1.
Terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang
bersama dengan manusia atau sendiri. Disebutkan dalam hadits,“ Aku
beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat
dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah
menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah
saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah
malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri
melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
2. Senantiasa
beramal di jalan Allah SWT baik dalam keadaan sendiri atau bersama
orang orang lain, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib
r.a. berkata,“ Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika
sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah
dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
3. Selalu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
4. Mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Pengelompokan Ikhlas
1.
Iklhas Mubtadi’ : Yakni orang yang beramal karena Allah, tetapi di
dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia. Ibadahnya dilakukan hanya
untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat
tahajud dan bersedekah karena ingin usahanya berhasil. Ciri orang yang
mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya
beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqamah. Ia
beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi,
ibadahnyapun akan berhenti.
2. Ikhlas Abid : Yakni orang yang
beramal karena Allah dan hatinya bersih dari riya’ serta keinginan
dunia. Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih
kebahagiaan akhirat, menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi
keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api
neraka. Ibadah seorang abid ini cenderung berkesinambungan, tetapi ia
tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq)
dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta mana yang penting dan
lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
3. Ikhlas
Muhibb : Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin
surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi
perintah dan mengagungkan-Nya.
4. Ikhlas Arif, yaitu orang yang
dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan Allah. Ia merasa
bahwa yang beribadah itu bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia
sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki
daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.
Semuanya berjalan atas kehendak Allah.
Manfaat dan Keutamaan Ikhlas
1. Membuat hidup menjadi tenang dan tenteram
2. Amal ibadahnya akan diterima oleh Allah SWT.
3. Dibukanya pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.
4. Diangkatnya derajat dan martabat oleh Allah SWT.
5. Doa kita akan diijabah.
6. Dekat dengan pertolongan Allah.
7. Mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
8. Akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat.
9. Allah SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat ke jalan yang salah.
10. Allah akan membangunkan sebuah rumah untuk orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid
11. Mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain
12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT)
Cara Mencapai Ikhlas
Cara
agar kita dapat mancapai rasa ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran
dissat kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Kita hanya memikirkan
Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita
lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya
tertuju pada Allah. Jangan munculkan ras riya’ atau sombong di dalam
diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah
Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah
dengan cara di atas anda dapat mencapai ikhlas. Dan jangan lupa untuk
berdoa memohon kepada Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas
untuk-Nya, sebagaimana do’ a Nabi Ibrahim a.s,” Sesungguhnya jika
Rabb-ku tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77). Wassalamu’ alaikum wr. wb.
Pengertian Ikhlas
Posted in |
di
10.08 PM
Ikhlas menurut
bahasa
adalah tulus hati, membersihkan hati dan memurnikan niat. Sedangkan menurut
istilah berarti mengerjakan amal ibadah dengan niat hanya kepada Allah untuk
memperoleh ridha-Nya. Pengertian lain adalah mentauhidkan dan mengkhususkan
Allah sebagai tujuan dalam berbuat taat kepada aturan-Nya.
Melalui pemahaman tersebut, tersimpul bahwa ikhlas merupakan syarat mutlak
diterimanya amal. Perhatikannlah Q.S Al Bayyinah 98 : 5 berikut :
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
[1595] Lurus
berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Setiap perbuatan manusia dimulai dari gerak hati atau
niatnya, karena yang ahrus diluruskan pertama kali agar tercapai derajat
mukhlisin adalah titik awal dari gerak atau niat manusia.
Melalui niat yang baik, menjadi awal perbuatan baik. Begitu
pula niat yang ikhlas, akan mengantarkan ke perbuatan yang ikhlas pula. Bila
tingkatan yang terkahir ini mampu dicapai manusia, maka akan muncul adalah
kebersihan hati dan ketulusan jiwa, sehingga tidak ada satu pekerjaan pun yang
dirasakan sebagai beban.
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى
صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam
telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam
mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada
yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam
beribadah kepadaNya.
Al
‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan
ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan
penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al
Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang
lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian
di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak
suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat
biji sawi”.
Abu
‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu
melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu
Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang
hamba antara lahir dan batin”.
Abu
‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah
riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila
Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
Ikhlas
ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari
segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal,
kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri
suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang
tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan
perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat,
kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak,
mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan
niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan
apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan
hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya
mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni,
seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah,
apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada
Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
Pengertian Ikhlas
Kamis, 10 Februari 2011 15:21:32 WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1)
PENGERTIAN IKHLAS
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu
'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang
kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia
melihat kepada hati dan amal kalian”.
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam
menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas
adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang
berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf
melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap
pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat
dan menolak bahaya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap
noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang
tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya
di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai
memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas
ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal,
membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang
melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat.
Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada
dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang
terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar
dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan,
harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak,
mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau
karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena
Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang
mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata.
Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan,
sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka
kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang
yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan
popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut,
sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa,
menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena
Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk
taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang
jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan
sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali
orang yang memang dimudahkan Allah.
Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang
lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa
berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan
kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara
dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya.
[HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At
Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul
Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].
Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]
Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada
kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi
nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki
bagian dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan.
Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua.
Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang
melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya
kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada
hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. [6]
Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia
adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’
dari hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang
masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata,
barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu
satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali
perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali
orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq
(pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam
masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang
pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu
justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ
سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka
perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah
mereka perbuat … [Az Zumar : 47-48]
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ
سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah
melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia
juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja
yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia,
dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri
agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk
Allah.
Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin
dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik
dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah,
sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya
dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para
ulama, mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling
kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang itu
dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam.
Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]
Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi,
membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga
tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan
pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur
riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan
lainnya.
Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu
berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan
was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang
selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung
dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu ditimpa
suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].
Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan
pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan
nafsu dan lainnya.
Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong
seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul,
ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal
dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta
berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan
nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.
HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang
yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi
menjadi tiga golongan.
Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam
ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan
seperti membatalkan amalnya dan termasuk syirik, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal
mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama
sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu
Hurairah].
Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti
ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud
untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu
apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan. [Hud : 15-16].
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama
bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah;
sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli
ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan
manusia karena perbuatannya.
Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada
Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah,
tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih
banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang
sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah
tentang jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].
Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia
tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh
di dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia
menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling
tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah
nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika
mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka
tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At
Taubah : 58].
Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ada
seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !
Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ingin
mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi
pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm
menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907),
dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau
karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya
sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena
Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada
beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran
ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain
ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya
merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut
dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.
Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang
termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau
selain ibadah?”
Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian
kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal
ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila
sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar
dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh
ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya.
Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling
berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada
Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal”
[12].
IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku
ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas
kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang
kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat
diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat
yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya.
Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah;
yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan
sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut
tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam
firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia
mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun
dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai
shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal
shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki
selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah
dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan
Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu
(tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa
yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi
pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm
selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan
ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali
yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah
Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam
Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul
Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas,
oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun
1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul
Wathan, Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid. (I/71).
[5]. Madarijus Salikin (II/95).
[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus Salikin (II/96).
[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9]. Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib
(I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala,
hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan
menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11]. Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud
Dunya, no. 2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman,
Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th. 1413 H.
[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan