Rabu, 7 Oktober 2015

MARAH PUN ADA YANG TERPUJI

Marah Yang Terpuji

MARAH YANG TERPUJI


Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari


Dalam kehidupan ini, terkadang manusia mengalami ketidaksabaran dan kemarahan. Terutama pada saat seseorang merasa ada gangguan yang menimpanya. Atau ketika ingin membalas gangguan yang telah menimpanya. Baik berkaitan dengan hati, badan, harta, kehormatan, atau lainnya.
Dan kemarahan itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.

Tetapi sesungguhnya tidaklah semua kemarahan itu tercela, bahkan ada yang terpuji.

MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. [1]

Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” [HR Bukhari no. 6116]

Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan melarang kepada dirinya!

Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.

Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 133-134]

Juga firmanNya,

فَمَآأُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَاعِندَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَآئِرَ اْلإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَاغَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af. [Asy Syura : 36-37].

Demikian juga orang yang mampu mengendalikan emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dijanjikan dengan bidadari surga.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَمَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قَالَ قُلْنَا الَّذِي لَا يَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ بِذَلِكَ وَلَكِنَّهُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” [HR Muslim no. 2608].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang dia kehendaki. [2]

Untuk mengatasi kemarahan yang menimpa seseorang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan resep-resep pengendaliannya. Dapat kami sebutkan secara ringkas. [3]

Pertama : Mengucapkan ta’awudz (mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan).
Kedua : Diam, tidak berbicara.
Ketiga. : Jika dia berdiri, hendaklah duduk. Jika belum reda, hendaklah berbaring.

Syaikh Muhammad Nadhim Sulthan berkata, “Kemarahan tercela adalah kemarahan pada selain al haq, tetapi mengikuti hawa nafsu, dan seorang hamba yang melewati batas dengan perkataannya, dengan mencela, menuduh, dan menyakiti saudara-saudaranya dengan kalimat-kalimat menyakitkan. Sebagaimana dia melewati batas dalam kemarahannya dengan perbuatannya, lalu memukul dan merusak harta-benda orang lain.” [4]

Jika kita telah mengetahui hal ini, maka marilah menengok bersama terhadap panutan dan tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kesabaran luar biasa yang layak untuk kita contoh. Perhatikanlah perkataan Anas bin Malik di bawah ini.

عَنْ ثَابِتٍ يَقُولُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ وَلَا لِمَ صَنَعْتَ وَلَا أَلَّا صَنَعْتَ

Dari Tsabit, dia berkata, Anas Radhiyallahu 'anhu bercerita kepada kami, dia berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata kepadaku,’huh’. Juga tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku melakukan sesuatu),’Kenapa engkau melakukan?’ Dan tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku tidak melakukan sesuatu),’Tidakkah engkau melakukan?’.” [5].

MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah kemarahan karena Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar. [6]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali t berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya) terbatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih syahwat yang dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan pahala. Dan hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ وَيُذْهِبَ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mu'min. [At Taubah : 14-15].” [7]

Jika kita telah mengetahui hal di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di antara dua perkara sama sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” [8]

Demikian juga beliau tidak pernah memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” [9]

‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia menjawab, “Aklhak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an” [10].

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yaitu, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beradab dengan adab-adab Al Qur’an dan berakhlak dengan akhlak-akhlak Al Qur’an. Apa saja yang dipuji oleh Al Qur’an, maka itulah yang beliau ridhai (sukai). Dan apa saja yang dicela oleh Al Qur’an, maka itulah yang beliau murkai.” [11]

Jika melihat atau mendengar apa yang dimurkai Allah, maka beliau n marah karenanya, beliau berbicara tentangnya, beliau tidak diam!

Di antara sebagian sikap beliau tentang hal tersebut, ialah :

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian), sedangkan aku telah menutupkan sebuah tirai pada sebuah rak. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar. [12]. Maka setelah beliau melihatnya, lalu mencabut tirai tersebut dan bersabda,“Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan Allah.” [13] ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,“Maka tirai itu kami jadikan sebuah bantal atau dua bantal.” [14].

Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu anhu berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ

Seorang lelaki menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat sama sekali yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membikin manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia meringkaskan. [15]. Karena sesungguhnya di belakangnya [16], ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” [17]

Abdullah bin Umar berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى

Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ludah pada dinding kiblat (masjid), lalu beliau membuangnya, kemudian menghadap kepada orang-orang dan bersabda,“Jika salah seorang di antara kamu sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah wajahnya, karena sesungguhnya Alah di arah wajahnya jika dia sedang shalat.” [18].

Demikianlah, bahwa marah merupakan tabi’at jiwa manusia. Sehingga tidaklah tercela ataupun terpuji, kecuali dilihat dari sisi dampak dan niatnya. Wallahu a’lam bishshawwab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadhus Shalihin I/112, Syaikh Salim Al-Hilali
[2]. HR Abu Dawud no. 4777, Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186 dan Ahmad III/440. Dihasankan oleh Syeikh Salim Al Hilali dalam Iqadhul Himam
[3]. Lihat Bahjatun Nadhirin, hal. 112
[4]. Qawaid Wal Fawaid Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 147
[5]. HR Bukhari no. 6038, Muslim no. 2309
[6]. Lihat Qawaid Wal Fawaid Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 147, Bahjatun Nadhirin I/112.
[7]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam I/369, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis
[8]. HR Bukhari no. 6126, Muslim no. 2327
[9]. HR Muslim no. 2328, Abu Dawud no, 4786, dan Ibnu Majah no. 1984
[10]. HR Muslim no. 746, dan lainnya
[11]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam I/370, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis
[12]. Yaitu gambar manusia atau hewan
[13]. Yaitu para pembuat patung (gambar) makhluk bernyawa
[14]. HR Bukhari no. 5954, Muslim no. 2107
[15]. Yaitu tidak shalat dengan panjang dan lama
[16]. Yang menjadi makmum
[17]. HR Muslim no. 466
[18]. HR Bukhari no. 406, dan lainnya
 
 

Batas Kesabaran


Batas Kesabaran (Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI)

Orang berkata, “sabar ada batasnya”, “habis kesabaranku”, “sesabar-sabarnya orang, akhirnya tak tahan juga”. Apa atau dimanakah sebenarnya batas kesabaran yang dibenarkan dalam Islam? Apakah perkataan yang demikian itu dibenarkan dalam Islam?

Semasa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam marah ketika mendapatkan kekeliruan besar yang dilakukan oleh sesetengah sahabat, apakah bererti beliau telah kehabisan kesabarannya? Tentu saja tidak. Begitu juga ketika beliau shallallâhu 'alaihi wasallam harus bangun melakukan tentangan terhadap musuh atas izin dan perintah Allâh Ta'âla. Justeru perkara itu merupakan salah satu bentuk pendidikan kesabaran yang paling berharga.
Bersabar untuk marah, atau marah dalam kesabaran adalah perkara yang tidak mudah. Umumnya orang marah kerana memperturutkan hawa nafsu. Tetapi, tidak demikian dengan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan yang beliau perintahkan kepada umatnya. Itulah yang disebut, marah kerana Allâh Ta'âla, bukan kerana memperturutkan hawa nafsu. Marah yang demikian adalah beban yang hanya akan terlaksana jika dilakukan dengan sabar. Seorang muslim yang tidak lagi marah melihat kemusyrikan, bid’ah dan kemaksiatan bermerajalela di muka bumi, paling sedikitnya ia merupakan orang yang tidak punya rasa cemburu terhadap Islam. Dan ia termasuk orang yang tidak memiliki kesabaran untuk marah terhadap kemungkaran tersebut.
Sabar sesungguhnya merupakan salah satu ajaran Islam yang agung, namun sangat berat. Bersabar untuk marah, bersabar menahan amarah, bersabar untuk selalu istiqamah menapaki ajaran Islam sesuai dengan sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan para sahabat, bersabar untuk tidak tergesa-gesa, bersabar untuk tidak menyimpang, bersabar untuk menjauhi larangan, maupun bersabar menerima musibah dari Allâh Ta'âla, semuanya merupakan perkara yang berat. Itulah sebabnya, orang yang sabar pasti selalu disertai oleh Allâh Ta'âla.

Dan bersabarlah, sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar.
(QS Al Anfal : 46)

Jika sabar bergabung dengan taqwa, maka tipu daya musuh, betapapun piawainya, tidak akan membahayakan.


Jika kamu bersabar dan bertaqwa,
niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allâh mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
(QS Ali Imran : 120)

Sabar mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Seseorang akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin yang mulia di sisi Allâh Ta'âla, dan dapat menjadi ikutan umat, manakala ia bersabar dan betul-betul meyakini ayat-ayat Allâh Ta'âla.


Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar,
dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.
(QS As Sajdah/32 : 24)

Walaubagaimanapun ia memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh hingga seseorang dapat bersabar dan mengalahkan hawa nafsunya. Yang jelas, sabar dalam Islam tidak ada batasnya. Wallâhu a'lam.

......ibnshafiee
"Usrah Rasa Hati"...
.
Marah adalah salah satu sifat mazmumah yang tidak sepatutnya ada pada seorang muslim mukmin. Justeru usaha untuk mengelakkan diri dari sifat marah menjadi satu kewajipan. Sifat marah yang wajib dibuang dari diri seseorang ialah sifat marah yang dilarang. Tidak semua sifat marah dilarang ada kalanya wajib kita marah dan terkadang diharuskan kita marah. Kemampuan kita mengurus kemarahan akan membawa kita kepada situasi yang tenang dan membahagiakan.
Sifat marah dari sudut hukum boleh dibahagikan kepada tiga bahagian


1. Marah yang dipuji ( al-ghadhab al-mahmud )
Perasaan marah dituntut apabila berlakunya pencabulan dan perlanggaran terhadap larangan-larangan Allah s.w.t. Sifat ini adalah hasil dari keimanan yang kuat terhadap Allah swt kerana orang yang tidak marah terhadap pencabulan dan pelanggaran larangan Allah dianggap sebagai orang yang lemah iman.
Suatu ketika Rasulullah s.a.w melihat para sahabat bertelagah berkaitan keimanan dengan qadr lalu berubah air muka Rasulullah s.a.w kerana marah lalu berkata;
بهذا أمرتم ؟ أو لهذا خلقتم ؟ تضربون القرآن بعضه ببعض بهذا هلكت الأمم قبلكم )
Maksudnya; Inikah yang kamu disuruh? Atau untuk inikah kamu dijadikan memperdebatkan al-quran dengan al-quran, ingatlah dengan sebabini umat terdahulu dibinasakan.

Sabda Rasulullah s.a.w;
من رأى منكم منكراً فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان.

Maksudnya; Sesiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia ubah dengan tangan (kekuasaan) sekiranya tidak mampu ubah dengan lidahnya, sekiranya tidak mampu juga maka ubah dengan hati, itulah selemah-lemah iman.
Sikap untuk mengubah, menegur atau rasa tidak suka tidak akan timbul pada diri seseorang sekiranya tidak ada perasaan marah terhadap sesutau perkara. Kecantikan Islam dalam marah ialah apabila kira dapat mengurus sifat marah dengan cara hikmah dan bijaksana bukan dengan cara mengikut perasaan dan nafsu seperti memaki hamun, mencerca, memukul atau tidakan-tindakan yang negatif.

2. Marah yang dicela ( al-ghadhab al-mazmum )
Marah yang dilarang dan dicela ialah apabila marah terhadap pelaksanaan perintah Allah swt atau marah yang didorong oleh perasaan dan hawa nafsu seperti marah dan tidak suka dengan pelaksanaan hukum-hukum Allah s.w.t, marah dengan usaha dakwah, marah dengan pelaksanaan syiar Islam dan lain-lain.
Sifat marah dalam kategori ini dicela dan dilarang kerana ia adalah sifat orang-orang kafir yang sentiasa tidak suka dan tidak senang apabila orang mengamalkan dan menghayati Islam. Mereka nenunjukkan perasaan mereka dengan menunjukkan rasa marah apabila ajaran-ajaran Islam diamalkan dalam kehidupan manusia.

3. Marah yang diharuskan ( al-ghadhab al-mubah )

Marah yang diharuskan ialah marah yang tidak melanggar perintah Allah s.w.t dan tidak melampaui batasan. Sebab itulah orang yang dapat mengawal perasaan ini disukai oleh Allah s.w.t. seperti marah apabila tidak tahu perkara yang sepatutnya diketahui, marah apabila tidak melakukan pekerjaan dengan baik dan lain-lain.

Firman Allah s,w,t;
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Maksudnya; Dan orang yang mengekang kemarahan dan memberi kemaafan kepada orang lain, dan Allah suka kepada orang-orang yang baik.
Kesimpulannya wajib marah apabila hak Allah dilanggar, haram marah apabila hak-hak agama dilaksanakan dan harus marah pada perkara-perkara berkaitan kehidupan dengan syarat tidak melampaui batasan dan berakhlak bertujuan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
Ibnu Hibban menyatakan manusia sentiasa bertentangan antara marah dan kelembutan, siapa yang marah dengan kelembutan tidaklah dicela selama marahnya tidak dilarang.
Manusia dari sudut kekuatan sifat marah ada tiga peringkat;

  1. Pasif ; Orang yang tiada perasaan marah, hilang dari dirinya sifat marah.
  2. Aggresif; Orang yang pemarah, baran, tidak mampu dikawal oleh akal dan agama, hilang kewarasan diri ketika marah.
  3. Moderet; iaitu pertengahan, orang yang dapat mengawal perasaan marah menggunakan akal dan agama.

Renungan; Sekiranya kita dapat mengurus kemarahan kita, mengikut pertimbangan akal dan agama, marah tanpa menyebabkan orang lain sakit hati atau rasa dianiaya, sedia menerima kekurangan orang lain dan memaafkan kesilapan orang lain, hati kita akan tenang dan bahagia.


HADIS TENTANG KEUTAMAAN MENAHAN AMARAH
1. Rasulullah SAW bersabda : “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam bergusti, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya...” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Dari Ibnu Mas’ud ra Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang dikatakan paling kuat diantara kalian...? Sahabat menjawab : iaitu diantara kami yang paling hebat bergusti. Baginda bersabda : “Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
3. Al Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Anas Al Juba’i , bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menlepaskannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas khalayak makhluk untuk memilih mana-mana bidadari yang mereka mahu.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
4. Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah SWT, dari meneguk kemarahan kerana mengharapkan wajah Allah SWT.” (Hadis sahih riwayat Ahmad)
5. Al Imam Abu Dawud rahimahullah mengeluarkan hadis secara makna dari sahabat Nabi, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan kerana Allah SWT kecuali Allah SWT akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan)
6. “Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang berkata kepada Nabi SAW : berwasiatlah kepadaku. Baginda bersabda : “jangan menjadi seorang pemarah”. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda : “janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada peribadinya dan beliau sangat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah, maka beliau tidak diam, beliau marah dan berbicara. Ketika Nabi Saw melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Bukhari Muslim).
Al Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas ra : “Anas membantu rumah tangga Rasulullah Saw selama 10 tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas : “ah”, sama sekali. Beliau tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas : “mengapa kamu berbuat ini.” Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitulah keadaan beliau sentiasa berada diatas kebenaran baik ketika marah ataupun ketika dalam keadaan gembira/tidak marah. Dan demikianlah semestinya setiap kita selalu diatas kebenaran ketika gembira dan ketika marah. Rasulullah Saw, bersabda : “Ya Allah, aku memohon kepada-MU berbicara yang benar ketika marah dan redha.” (Hadis sahih riwayat Nasa’i).
Dr, Aidh bin Abdullah Al-Qarni M.A mengatakan, Berhati-hatilah terhadap kekalutan, kerana ia sangat melelahkan. Jauhilah sikap mencerca dan mencela, kerana ia sangat menyiksakan.
Setelah kita mengetahui keutamaan menahan marah, seperti yang dihuraikan diatas, sekarang cuba kita tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, bagaimana kita kalau sedang marah selama ini...? Apakah kita mampu menahan marah...? Atau apakah saat marah kita tetap mampu menahan dan mengendalikan amarah kita hingga tidak berlebihan.
Sesungguhnya Iblis itu berdiri di hadapanmu, nafsu di sebelah kananmu, dunia di belakangmu, anggota di sekelilingmu dan Allah juga bersamamu.
Iblis yang dilaknat menyuruhmu meninggalkan agama. Nafsu menyuruhmu berbuat maksiat. Keinginan hawa nafsu menyerumu ke arah syahwat. Dunia menyeru supaya memilihnya daripada Akhirat. Anggotamu menyerumu berbuat dosa. Allah menyerumu ke Syurga dan keampunan-Nya.
Siapa yang menyahut seruan iblis terkeluarlah agamanya. Siapa yang menyahut seruan nafsu terkeluar rohnya (roh kemanusiaan). Siapa yang menyahut seruan syahwat, terkeluar akalnya. Siapa yang menyahut seruan anggota, terkeluarlah Syurganya. Siapa yang menyahut seruan Allah, terkeluarlah kejahatannya dan memperolehi segala kebaikan.
semoga bermanfaat.


ADAB KETIKA MARAH

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Rasulullah s.a.w. pernah menasihatkan seorang lelaki: “Jangan marah.” (Riwayat al-Bukhari). Menurut al-Khattabi, maksud larangan tersebut adalah menjauhi sebab-sebab yang mencetuskan marah dan jangan melakukan sesuatu yang mengarah kepadanya. Berikut merupakan adab-adab ketika marah:
a. Jangan marah kecuali kerana Allah. Sebuah hadis Rasulullah s.a.w. yang bermaksud: “Demi Allah, Baginda tidak pernah marah kerana urusan peribadi yang baginda hadapi kecuali apabila larangan Allah dilanggar, maka baginda akan marah kerana Allah.” (Riwayat al-Bukhari).
b. Ingat kekuasaan dan keagungan Allah ketika marah.
c. Menahan marah. Allah menyukai orang yang menahan marah sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: “…dan orang yang menahan marahnya dan memberi maaf kepada orang lain dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Surah Al-Imran 3:134)
d. Berlindung kepada Allah ketika marah. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: “Jika seseorang yang marah mengucapkan  ‘A’uzubillah’ (aku berlindung kepada Allah), nescaya akan reda kemarahannya.” (Riwayat Ibn ‘Adi)
e. Diam. Daripada Imam Ahmad, maksud sabda Rasulullah s.a.w.: “Ajarilah, permudahkanlah dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang daripada kalian marah, hendaklah ia diam.”
f. Mengubah posisi. Sabda Rasulullah s.a.w., maksudnya: “Jika salah seorang daripada kamu marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, makahendaklah ia berbaring.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah).
g. Berwuduk. Marah itu api syaitan. Oleh sebab itu, sejukkan marah dengan berwuduk.
h. Bersabar dan memaafkan. sebaik-baik orang yang marah, memaafkan orang yang dimarahinya. Maksud firman Allah:”Dan jika mereka marah, mereka memberi maaf.” (Surah al-Syura 42:37).
i. Jangan berdendam. Allah berfirman yang bermaksud: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan seksaan yang ditimpakan kepadamu. Jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (Surah al- Nahl 16:126).
SOLUSI (25)

Tiada ulasan: