Rabu, 11 Ogos 2010

AKHLAK/ADAB DI BULAN RAMADHAN

A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash z bahwa Rasulullah n bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari Salman z, Rasulullah n bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)
Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit z, ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah n kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi n tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)
Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah k:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
Berkata As-Sa’di t: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad n adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar t menshahihkan sanadnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t:
“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)
Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah n. Sahl bin Sa’ad z meriwayatkan Rasulullah n bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)
Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad z bahwa Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah z berkata, Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x:

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)
Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas z bahwa Rasulullah n berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik z berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi n berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar c dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah z, bersabda Rasulullah n:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada artikel 'Sahur dan Berbuka', -red.


Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja
Allah k berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah n:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah x:
“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah n:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)
Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)
Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t.
Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan penngganti makanan seperti infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz t dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam t dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).
Namun Asy-Syaikh Muqbil t menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)

c. Onani
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah k berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)


Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak
Rasulullah n bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah c bahwa Nabi n mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)

d. Menggauli istri selain bersetubuh
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah x:
“Adalah Rasulullah nmencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)

e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas c:
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari
Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi n yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah
b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat
Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah n adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
Rasulullah n bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq.




SEPULUH ADAB-ADAB BERPUASA DAN SOLAT TARAWIH

disaring dari kitab ‘Nasihat Agama dan Wasiat Iman’
karangan : al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1132H)


Setiap orang yang mengerjakan puasa perlu mematuhi beberapa peraturan dan adab yang boleh menyempurnakan ibadah tersebut, antara yang terpenting ;

i. menjaga lidahnya dari berdusta, mengumpat dan mencampuri urusan orang lain yang tiada kena mengena dengannya,

ii. memelihara mata dan telinga dari melihat dan mendengar perkara yang dilarang oleh Syara’ dan yang sia-sia,

iii. mengawal perutnya dari merasai makanan dan minuman yang haram atau yang mengandungi unsur syubhat terutama ketika berbuka dan berusaha sedaya mungkin untuk menghasilakn pemakanan yang halal lagi bersih,

Ulama silam pernah berpesan : “Apabila kamu berpuasa maka perhatikanlah apa yang akan dijadikan makanan berbukamu dan di manakah kamu akan berbuka ?” Ia adalah panduan yang terbaik bagi mengawasi diri dari terjebak dengan unsur-unsur makanan yang tidak halal.

iv. berusaha menjaga kesemua pancaindera dan anggota tubuh badan dari mendekati atau melakukan maksiat dan perkara yang sia-sia. Dengan demikian ibadah puasanya akan suci dan sempurna. Terdapat ramai yang memenatkan diri dengan berlapar dan berdahaga, membiarkan diri terdorong kepada perlakuan dosa dan noda, kerana itu puasanya rosak binasa dan keletihannya tidaklah berbaloi sebagaimana maksud sabda Junjungan saw : “Ramai yang berpuasa tidak mendapat ganjaran dari puasanya melainkan lapar dan dahaga!” [an-Nasaei]

Meninggalkan maksiat menjadi kewajipan kepada seluruh orang Islam samada mereka sedang berpuasa atau tidak, apatah lagi bagi yang berpuasa ianya lebih dituntut dan diwajibkan. Sabda Rasullah saw : “Puasa itu adalah ‘ perisai’, sekiranya seseorang dari kalangan kamu sedang berpuasa janganlah dia bercakap kotor, melakukan keburukan dan berbuat bodoh. Jika ada orang lain yang mengejinya atau cuba memeranginya maka hendaklah dia katakana kepada orang itu : “Saya sedang berpuasa”. [al-Bukhariy dan Muslim]

v. janganlah membanyakkan tidur pada siang harinya dan makan pada malamnya, bahkan besederhanalah pada keduanya bagi menyelami kejerihan lapar dan dahaga. Dengan demikian sanubarinya terkawal, keinginan nafsunya kurang, hatinya ceria, itulah rahsia dan intipati puasa yang perlu dicapai.

vi. jauhikan diri dari mengikut dorongan nafsu ketika berbuka dengan beraneka jenis makanan yang lazat-lazat. Sebaik-baiknya adat makannya sama sahaja di bulan puasa dan bulan-bulan yang lain. Pengembelingan diri di dalam mengurangkan tuntutan jasmani dan keinginan perasaan memberikan kesan yang positif terhadap kecerahan hati nurani yang amat dituntut terutama pada bulan Ramadhan.

Mereka yang menjadikan keinginan nafsu perut sebagai tunggangan akal mereka ketika berbuka yang menyalahi kebiasaan pada bulan-bulan lain sebenarnya terpedaya dengan pujukan Iblis dan rayuannya yang bertujuan menghilangkan barakah (berkat) ibadah puasa mereka, ni’mat limpahan ketenangan dari Allah swt, kekusyukan diri ketika bermunajat dan berzikir kepadaNya.

Sepatutnya orang yang berpuasa mengurangkan kadar pemakananya sehingga terserlah kesan puasa itu kepada dirinya. Kekenyangan adalah punca kelalaian, kealpaan, keras hati dan malas melakukan ketaatan kepada Allah swt.

Sabdanya : “Takungan jelek yang dipenuhkan oleh manusia adalah kantong perutnya, memadailah baginya beberapa suapan yang dapat meneguhkan tulang belakangnya. Jika dia enggan maka berikanlah sepertiga (bahagian perutnya) untuk makanan, sepertiga kedua untuk minuman dan sepertiga terakhir bagi pernafasannya” [ Ahmad dan at-Tarmiziy].

Terdapat ulama yang mengungkapkan kata-kata berikut : ‘Sekiranya perutmu kenyang angota-anggota lain akan lapar (akan menurut turutan nafsu) tetapi sekiranya perutmu lapar kesemua anggotamu akan kenyang’.

As-Salaf as-Soleh (mereka yang terdahulu) mengurangkan perkara kebiasaan dan dorongan diri serta memperbanyakkan amal ibadat di bulan Ramadhan secara khusus bahkan itulah adat mereka sepanjang masa.

vii. tidak menyibukkan diri dengan urusan duniawi pada bulan Ramadhan ini bahkan mengambil kesempatan yang ada bagi beribadat kepada Allah dan mengingatiNya sebaik mungkin. Justeru itu dia tidak melakukan perkara duniawi melainkan sekadar keperluan hariannya atau kepada mereka yang berada di bawah tangungannya. Demikian yang selayaknya dilakukan pada bulan Ramadhan yang mulia ini sama seperti pada hari Jumaat yang sepatutnya dikhususkan bagi amalan akhiratnya.

viii. mempraktikkan amalan sunnah seperti segera berbuka apabila masuk waktunya, berbuka dengan buah tamar (kurma) dan jika ianya tiada memadailah dengan segelas air serta melambatkan makan sahur.

Nabi saw berbuka dahulu sebelum Baginda mengerjakan solat Maghrib.

Sabdanya : “Ummatku sentiasa berada di dalam keadaan baik (berkat) selama mana mereka mempercepatkan berbuka (apabila masuk waktunya) dan melambatkan makan sahur”. [Ahmad, al-Bukhariy dan Muslim].

ix. menyediakan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa sekalipun dengan beberapa biji tamar atau segelas air. Sabda Baginda saw : “Sesiapa yang menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa baginya ganjaran seumpama pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya (orang yang berpuasa)”. [al-Baihaqi dan ibnu Khuzaimah].

x. memenuhi malamnya dengan amalan sunat seperti solat Tarawih, witir dan sebagainya.

Adalah dinasihatkan kepada para imam supaya tidak mempercepatkan solat Tarawihnya sepertimana amalan kebiasaan sebahagian besar mereka di masjid dan surau. Perbuatan tersebut menjejaskan mutu ibadah solat Tarawih mereka kerana meninggalkan ‘wajib-wajib’ solat tersebut seperti ; meninggalkan tomakninah semasa ruku’ dan sujud, mencacatkan bacaan al-Fatihah sebagaimana sepatutnya lantaran ingin kecepatan dalam mengejar waktu sehingga meninggalkan makmum di belakang tertinggal rukun-rukun penting dalam solatnya. Amalan Tarawih seperti itu menjadi tidak sempurna dan berkurangan pahalanya.

Kerana itu berwaspadalah terhadap cara demikian dengan kembali mengamalkan ibadah solat seperti waktu-waktu lain, menyempurnakan qiyam, bacaan al-Fatihah, ruku’, sujud, khusuk, hadir hati dan semua peradaban solat dan rukunnya.

Bagi makmum pula disyorkan supaya sentiasa bersama imamnya di dalam mengerjakan solat Tarawih itu sehinggalah selesai samada sebanyak 20 rakaat atau pun 10 rakaat. Sabdanya saw : “Apabila seseorang menunaikan solat bersama imamnya sehinggalah imam itu (selesai dan) beredar, dikirakan untuknya (makmum) pahala qiyam semalaman” [an-Nasaei].




Adab Berpuasa



Setiap orang yang mengerjakan puasa perlu mematuhi beberapa peraturan dan adab yang boleh menyempurnakan ibadah tersebut. Antara yang terpenting adalah:

1. Menjaga lidah daripada berdusta, mengumpat dan mencampuri urusan orang lain yang tiada kena-mengena dengannya;

2. Memelihara mata dan telinga daripada melihat dan mendengar perkara yang dilarang oleh syarak dan yang sia-sia;

3. Mengawal perut daripada merasai makanan dan minuman yang haram atau yang mengandungi unsur syubhat terutama ketika berbuka dan berusaha sedaya mungkin untuk menghasilkan pemakanan yang halal lagi bersih.

Ulama silam pernah berpesan: “Apabila kamu berpuasa maka perhatikanlah apa yang akan dijadikan makanan berbukamu dan di manakah kamu akan berbuka?” Ia adalah panduan yang terbaik bagi mengawasi diri daripada terjebak dengan unsur-unsur makanan yang tidak halal;

4. Berusaha menjaga kesemua pancaindera dan anggota tubuh badan daripada mendekati atau melakukan maksiat dan perkara yang sia-sia. Dengan demikian ibadah puasanya akan suci dan sempurna. Terdapat ramai yang memenatkan diri dengan berlapar dan berdahaga, membiarkan diri terdorong kepada perlakuan dosa dan noda, kerana itu puasanya rosak binasa dan keletihannya tidaklah berbaloi sebagaimana maksud sabda Rasulullah s.a.w.: Ramai yang berpuasa tidak mendapat ganjaran daripada puasanya melainkan lapar dan dahaga. (Riwayat an-Nasaei)

Meninggalkan maksiat menjadi kewajipan kepada seluruh orang Islam sama ada mereka sedang berpuasa atau tidak. Apatah lagi bagi yang berpuasa, ia lebih dituntut dan diwajibkan. Sabda Rasulullah, Puasa itu adalah ‘perisai’, sekiranya seseorang daripada kalangan kamu sedang berpuasa janganlah dia bercakap kotor, melakukan keburukan dan berbuat bodoh. Jika ada orang lain yang mengejinya atau cuba memeranginya maka hendaklah dia katakan kepada orang itu: “Saya sedang berpuasa.” (Riwayat Bukhari dan Muslim);

5. Jangan membanyakkan tidur pada siang harinya dan makan pada malamnya, bahkan bersederhanalah pada kedua-duanya bagi menyelami kejerihan lapar dan dahaga. Dengan demikian sanubarinya terkawal, keinginan nafsunya kurang dan hatinya ceria. Itulah rahsia dan intipati puasa yang perlu dicapai;

6. Jauhkan diri daripada mengikut dorongan nafsu ketika berbuka dengan beraneka jenis makanan yang lazat-lazat. Sebaik-baiknya adat makannya sama sahaja pada bulan puasa dan bulan-bulan yang lain. Penggemblengan diri dalam mengurangkan tuntutan jasmani dan keinginan perasaan memberikan kesan yang positif terhadap kecerahan hati nurani yang amat dituntut terutama pada bulan Ramadan.

Mereka yang menjadikan keinginan nafsu perut sebagai tunggangan akal ketika berbuka yang menyalahi kebiasaan pada bulan-bulan lain sebenarnya terpedaya dengan pujukan iblis. Rayuannya bertujuan menghilangkan barakah (berkat) ibadah puasa mereka, nikmat limpahan ketenangan daripada Allah s.w.t., kekhusyukan diri ketika bermunajat dan berzikir kepada-Nya.

Kenyang

Sepatutnya orang yang berpuasa mengurangkan kadar pemakanannya sehingga terserlah kesan puasa itu kepada dirinya. Kekenyangan adalah punca kelalaian, kealpaan, keras hati dan malas untuk taat kepada Allah s.w.t..

Sabdanya: Takungan jelek yang dipenuhkan oleh manusia adalah kantong perutnya, memadailah baginya beberapa suapan yang dapat meneguhkan tulang belakangnya. Jika dia enggan maka berikanlah sepertiga (bahagian perutnya) untuk makanan, sepertiga kedua untuk minuman dan sepertiga terakhir bagi pernafasannya. (Riwayat Ahmad dan at-Tarmizi)

Terdapat ulama yang mengungkapkan kata-kata berikut: “Sekiranya perutmu kenyang anggota-anggota lain akan lapar (akan menurut turutan nafsu) tetapi sekiranya perutmu lapar kesemua anggotamu akan kenyang.”

As-Salaf as-Soleh (mereka yang terdahulu) mengurangkan perkara kebiasaan dan dorongan diri serta memperbanyakkan amal ibadat pada bulan Ramadan secara khusus bahkan itulah adat mereka sepanjang masa;

7. Tidak menyibukkan diri dengan urusan duniawi pada bulan Ramadan, bahkan mengambil kesempatan bagi beribadat kepada Allah dan mengingati-Nya sebaik mungkin. Justeru, dia tidak melakukan perkara duniawi melainkan sekadar keperluan hariannya atau kepada mereka yang berada di bawah tanggungannya. Demikian yang selayaknya dilakukan pada bulan Ramadhan yang mulia ini sama seperti pada hari Jumaat yang sepatutnya dikhususkan bagi amalan akhirat;

8. Mempraktikkan amalan sunah seperti segera berbuka apabila masuk waktunya, berbuka dengan buah tamar (kurma) dan jika ia tiada memadailah dengan segelas air serta melambatkan makan sahur.

Nabi s.a.w. berbuka dahulu sebelum Baginda mengerjakan solat Maghrib. Sabda baginda: Umatku sentiasa berada dalam keadaan baik (berkat) selama mana mereka mempercepatkan berbuka (apabila masuk waktunya) dan melambatkan makan sahur. (Riwayat Bukhari dan Muslim);

9. Menyediakan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa sekalipun dengan beberapa biji tamar atau segelas air. Sabda baginda s.a.w.: Sesiapa yang menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa baginya ganjaran seumpama pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya (orang yang berpuasa). (Riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah)

10. Memenuhi malamnya dengan amalan sunat seperti solat terawih, witir dan sebagainya.

Adalah dinasihatkan kepada para imam supaya tidak mempercepatkan solat terawihnya seperti mana amalan kebiasaan di masjid dan surau.

Perbuatan tersebut menjejaskan mutu ibadat solat tersebut kerana meninggalkan ‘wajib-wajib’ solat seperti meninggalkan tomakninah semasa rukuk dan sujud, mencacatkan bacaan al-Fatihah sebagaimana sepatutnya lantaran ingin kecepatan dalam mengejar waktu sehingga menyebabkan makmum di belakang tertinggal rukun-rukun penting dalam solatnya. Amalan terawih seperti itu adalah tidak sempurna dan berkurangan pahalanya.

Oleh itu berwaspadalah terhadap cara demikian dengan kembali mengamalkan ibadah solat seperti waktu-waktu lain, menyempurnakan kiam, bacaan al-Fatihah, rukuk, sujud, khusyuk, hadir hati dan semua peradaban solat dan rukunnya.

Bagi makmum pula disyorkan supaya sentiasa bersama imamnya sepanjang solat terawih itu sehinggalah selesai sama ada 20 rakaat ataupun lapan rakaat. Sabda Rasulullah s.a.w., Apabila seseorang menunaikan solat bersama imamnya sehinggalah imam itu (selesai dan) beredar, dikirakan untuknya (makmum) pahala kiam semalaman. (Riwayat an-Nasaei)





Kewajiban, Hikmah, dan Adab Puasa Ramadhan



Kewajiban Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah:183-185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Sementara itu kaum muslimin bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat. Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari’at tadi maka dia itu muslim kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.
Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriyyah. Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat melakukannya selama sembilan kali.
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah ‘aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia masuk Islam. Puasa juga tidak wajib bagi anak kecil sampai dia ‘aqil baligh. ‘Aqil balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut kemaluannya atau keluar air mani (sperma) ketika bermimpi.
Ini bagi anak laki-laki, sementara bagi anak wanita ditandai dengan haidh (menstruasi). Maka jika seorang anak telah mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah ‘aqil baligh.
Akan tetapi dalam rangka sebagai latihan dan pembiasaan, sebaiknya seorang anak (yang belum baligh -pent) disuruh untuk berpuasa, jika kuat dan tidak membahayakannya.
Puasa juga tidak wajib bagi orang yang kehilangan akal, baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya. Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih tetap idiot dan tidak berakal sehat, maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula menggantinya dengan membayar fidyah.

Hikmah dan Manfaat Puasa
Shaum (puasa) yang disyari’atkan dan difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mempunyai hikmah dan manfaat yang banyak sekali. Di antara hikmah puasa adalah bahwasanya puasa itu merupakan ibadah yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli istri dalam rangka untuk mendapatkan ridha Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaan (yaitu kampung akhirat -pent).

Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia.

Hikmah puasa yang lain adalah bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari’at). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari’atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum dan menggauli istri.
Apabila kita membaca ayat tersebut, maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah.
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar mereka, menjual barang dagangan yang haram, mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan seperti lagu-lagu, musik ataupun nasyid, yang itu semuanya dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.
Apabila seseorang mengerjakan semuanya itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah maka itu akan memudahkannya kelak untuk istiqamah di bulan-bulan tersisa lainnya dalam tahun tersebut.
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya, mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman, mereka tidak merasakan keagungan dan kehormatan puasa.
Perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya, bahkan seringkali perbuatan-perbuatan tersebut merusak pahala puasa sehingga hilanglah pahalanya.
Hikmah puasa yang lainnya adalah seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu di mana Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah secara syar’i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang miskin, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia akan berderma kepadanya dalam bentuk shadaqah dan perbuatan yang baik lainnya.
Di antara hikmah puasa juga adalah melatih seseorang untuk menguasai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia akan mampu memimpin jiwanya untuk meraih kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan.
Puasa juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan membahayakan tubuh. Juga manfaat lainnya dari puasa sangat banyak.

Adab-adab Berpuasa
  1. Bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah semata, bukan karena riya`, sum’ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negerinya bahkan wajib baginya bahwa yang membawanya berpuasa adalah keimanannya bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa tersebut kepadanya dan mengharap pahala di sisi-Nya dalam melaksanakan puasa tersebut. Demikian juga shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih -pent), hendaklah bagi seorang muslim untuk mengerjakannya karena penuh keimanan dan mengharap pahala kepada-Nya, karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yanga artinya): "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala kepada Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang shalat di malam harinya (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu dan barangsiapa yang shalat malam bertepatan dengan datangnya lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu."
  2. Termasuk adab terpenting dalam berpuasa adalah membiasakan diri kita bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sesuai dengan firman Allah (yang artinya):"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183). Sesuai pula dengan sabda Nabi (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
  3. Menjauhi apa yang diharamkan Allah berupa kebohongan, mencela, mencaci, menipu, khianat, melihat sesuatu yang haram seperti melihat lawan jenisnya yang bukan mahramnya, mendengarkan hal yang haram seperti musik, nyanyian, mendengarkan ghibah, ucapan dusta dan sejenisnya, serta perbuatan haram lainnya yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, akan tetapi terhadap orang yang puasa lebih dikuatkan perintahnya.
  4. Memperbanyak shadaqah, amal kebaikan, berbuat baik kepada orang lain, terutama di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan tatkala Jibril menjumpainya untuk bertadarrus Al-Qur`an. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1902)
  5. Makan sahur dan mengakhirkannya, sesuai sabda Nabi (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur ada barakah." (HR. Al-Bukhariy no.1923 dan Muslim no.1095)
  6. Berbuka puasa dengan ruthab (kurma yang sudah matang), jika tidak didapatkan boleh dengan tamr (kurma yang belum sampai ruthab), jika itupun tidak diperoleh maka dengan air, menyegerakan berbuka tatkala telah jelas benar tenggelamnya matahari, berdasarkan sabda Nabi (yang artinya): "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idiy)
Diambil dari kitab Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain serta kitab Fataawal ‘Aqiidah wa Arkaanil Islaam karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan beberapa perubahan
Wallaahu A’lam.

Tiada ulasan: