Kencing muka lafaz talak tiga
KUALA LUMPUR: Hanya kerana masakannya tidak menepati selera, seorang isteri menerima deraan kejam dan tidak masuk akal apabila dibelasah, dicukur kepala hingga botak dan lebih mengaibkan, mukanya turut dikencing suaminya.
Dalam kejadian kira-kira jam 10 malam Khamis lalu itu, suami terbabit yang berusia lewat 30-an turut menceraikan isterinya dengan lafaz talak tiga ketika kencing ke atas mangsa.Isterinya yang tidak tahan dengan kekejaman lelaki itu selain berasa diri amat terhina membuat laporan di Balai Polis Jinjang, di sini, pada hari kejadian, menyebabkan suaminya ditahan keesokan harinya
Sumber polis berkata, pasangan terbabit mendirikan rumah tangga sejak dua tahun lalu dan pernikahan mereka dilakukan di negara jiran tanpa mendaftarkan semula perkahwinan di sini
Menurutnya, dalam laporan wanita terbabit yang juga berusia 30-an, kejadian itu bukan pertama kali menimpanya kerana dia mendakwa sering dipukul sejak setahun lalu walaupun melakukan kesalahan kecil.
“Menurut mangsa, dia selalu dibelasah sekiranya lewat membuka pintu ketika suaminya pulang bekerja. Malah, pada Jun lalu, mangsa melarikan diri ke selatan tanah air kerana tidak tahan dengan kekejaman suaminya.
“Namun, selepas seminggu di sana, suaminya datang memujuknya serta berpura-pura insaf,” katanya.
Bagaimanapun, kata sumber itu, ketenangan yang dikecapi mangsa hanya sementara kerana selepas dua minggu berada di rumahnya, dia kembali dijadikan tempat melepaskan geram oleh suaminya.
“Dia terus dipukul atas kesalahan kecil, malah ada kalanya mangsa tidak tahu-menahu kesalahan yang dilakukannya,” katanya.
Menurutnya, selepas menerima laporan mangsa, polis melakukan gerakan memburu suami mangsa sebelum menahannya kira-kira jam 11 malam Jumaat lalu ketika dia berehat di rumahnya. Lelaki itu kini direman empat hari bagi membantu siasatan.
Sementara itu, Timbalan Ketua Polis Daerah Sentul, Superintendan Zainuddin Ahmad ketika dihubungi, mengesahkan mengenai penahanan lelaki terbabit dan memberitahu siasatan lanjut dilakukan...
YANG BERKENAAN
Disyariatkannya pernikahan terkandung maksud agar agama seseorang semakin sempurna, nafsu birahinya tidak serakah, terjaga ketahanan mental dan jasmani, memperkokoh tali persaudaraan, baik antar individu maupun dengan masyarakat, menjaga kemuliaan bangsa dan negara, serta meraih ampunan dosa. Namun, kini telah banyak manusia yang memilih kedudukan dan martabat hewani, enggan menikah, memilih hidup bebas tanpa batas dalam menyalurkan nafsu birahinya. Kenyataan ini tidak perlu dimungkiri, karena sudah ada sejak Allah menciptakan bumi. Bahkan sampai kiamat perilaku hewani itu mungkin tetap akan menghiasi kehidupan manusia yang tak pernah tersentuh nilai keimanan. Nafsu hewani telah menyatu dengan mereka sehingga membuat dirinya tidak mampu memahami tujuan-tujuan mulia dari disyariatkannya pernikahan.[1]
Bukan hal yang mengherankan bila kini banyak terjadi orang menikah hanya sekadar untuk melampiaskan dan mengumbar hawa nafsu birahi. Kawin-cerai menjadi budaya mereka hingga tidak ada ketentraman dalam berumah tangga. Mereka memandang bahwa hidup adalah uang dan kemegahan. Harta, tahta, dan wanita sebagai tolok ukur keberhasilan dalam mengarungi hidup hingga dalam memilih pasangan hidup selalu mengutamakan kekayaan material, keturunan, dan kecantikan. Bagi mereka, hal tersebut merupakan prestise dalam mengarungi kehidupan di tengah masyarakat. Agama dan akhlak bukan lagi dijadikan ukuran, bahkan menjadi cemoohan. Dengan harta dan tahta, mereka merasa hidup aman dan tentram, terlepas dari belenggu kemiskinan dan kehinaan. Ada pula di antara mereka yang menikah hanya sekadar mencari ajang penyaluran seks, mencari kenikmatan dan kepuasan duniawi. Hal tersebut senantiasa dijadikan dambaan dalam memilih pasangan hidup.
Memilih pasangan hidup hanya karena memenuhi keinginan nafsu adalah racun yang tidak boleh terlintas dalam benak seorang muslim. Harus kita sadari bahwa pembentukan keluarga mutlak harus diarahkan pada terciptanya keluarga yang islami. Bahkan Islam memandang hal ini sebagai proyek besar, yang tentu saja butuh keseriusan dalam mewujudkannya. Karena itulah di dalam Islam dijumpai pokok-pokok yang sangat rinci dan akurat tentang cara memilih pasangan hidup. Di sana ditegaskan tentang pentingnya kehidupan umat Islam yang harus dijiwai dengan sifat yang terkandung dalam Al-Qur’an hingga kemudian dapat menjadi contoh teladan bagi manusia di seluruh penjuru dunia.
Dalam pandangan Islam, masalah pernikahan mendapatkan perhatian khusus, lebih-lebih dalam memilih pasangan hidup, sehingga rumah tangga yang dibangun benar-benar kokoh dan bahagia. Sebab pembinaan rumah tangga berarti juga berdampak keselamatan, kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemaslahatan dan kemuliaan umat manusia secara keseluruhan. Dalam masalah yang multikompleks seperti inilah Islam tidak pernah menganggap norma-norma material dan fenomena-fenomena yang menarik lainnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi, Islam memberikan landasan yang sangat mendasar bagi tercapainya sebuah bangunan rumah tangga yang bahagia, sejahtera, penuh kedamaian dan ketentraman.[2]
Allah memberikan pengarahan agar tujuan dari pernikahan tidak hanya untuk mencapai kebahagiaan yang semu, melainkan agar mencapai ketentraman atau sakinah,[3] yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Terdapat dua faktor yang menjadikan tatanan rumah tangga mencapai sakiinah, yakni mawaddah dan rahmah. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan kata lain, dengan mawaddah tanpa rahmah, atau rah}mah tanpa mawaddah tidak dapat mencapai kehidupan yang sakiinah.
Namun, untuk mencapai pernikahan, Islam mensyariatkan terlebih dahulu untuk meminang (khitbah). Dalam hal ini diletakkan dasar-dasar untuk menetapkan memilih pasangan hidup, sebagaimana yang menjadi kecenderungan manusia pada umumnya. Akhirnya, rumah tangga yang terbentuk merupakan tujuan ideal suami-istri. Kesalahan awal dalam memilih pasangan akan membawa risiko pada masa-masa berikutnya bagi kehidupan rumah tangga yang bersangkutan.
Pedoman untuk memilih pasangan hidup cukup banyak dan beragam. Hal yang paling penting adalah membuat urutan langkah dan skala prioritas dalam menyikapi dasar-dasar ini. Selanjutnya, perlu menganalisis lagi apakah semua langkah tersebut sudah jelas bagi orang yang akan melangkahkan kakinya untuk menikah atau belum.[4]
Dalam hadis Nabi terdapat empat fakor yang menjadi kiteria dalam pemilihan pasangan hidup, yang sekali lagi sudah menjadi kecenderungan manusia pada umumnya. Idealnya keempat kriteria itu dapat dicapai dalam sebuah keluarga. Sebab, kunci kesuksesan bagi tatanan sebuah rumah tangga (suami-istri) adalah memilih pasangan hidup.
Salah satu hadis tentang kriteria memilih pasangan hidup adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya: Wanita dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.[5]
Beberapa faktor ini disampaikan dalam sabda Rasul saw. riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah sebagaimana tersebut di atas. Hanya saja, dalam sabda Rasul saw. tersebut dijelaskan tidak secara pasti dan rinci maksud kata al-diin, yang kemudian ditegaskan dengan perkataan “Jatuhkan pilihanmu pada yang beragama”. Dari ungkapan ini, bisa saja seseorang yang beragama (baca: Islam) “biasa”atau sederhananya “yang penting beragama Islam” termasuk ke dalam kategori ini (al-diin). Padahal, keberagamaan seseorang yang hanya berupa identitas tidak cukup dijadikan sebagai hasil akhir dari penggambaran kepribadian seseorang yang baik. Sebab, bisa saja orang yang rajin melaksanakan salat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya, perilakunya dalam masyarakat masih jauh dari maksud dan tujuan yang diharapkan oleh agama itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah barang tentu sabda Rasul saw. tersebut jangan dipahami secara parsial. Sebab, Islam dengan aturan-aturannya yang jelas mengajarkan kesempurnaan dalam beragama (kaaffah). Maksud beragama dalam hadis itu bukan sekadar seseorang yang melaksanakan ibadah dalam segi ritual-formal belaka. Akan tetapi, keberagamaan orang tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang suami, ia betul-betul suami yang bertakwa. Adapun jika seorang istri, ia juga bertakwa, bisa memberi nasihat, bisa dipercaya, pandai menjaga diri, berakhlak mulia, taat menjalankan perintah agama, mengetahui hak Allah swt. dan hak suami, pandai menjaga nama baik keluarga, tidak bermaksiat, serta berusaha menciptakan ketenangan dan kedamaian jiwa bagi suami.
Dengan ungkapan lain, maksud agama dalam hadis tersebut adalah keberagamaan secara hakiki dan menyeluruh (kaaffah) yang meliputi keseimbangan antara iman dan amal sesuai dengan yang diharapkan dan dicita-citakan oleh Islam. Dalam rangka menjalani kehidupan kelurga, terlebih kehidupan masyarakat secara lebih luas, didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Ilahi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan