Khamis, 24 Januari 2013

PENGARUH UHUD

Muhammad Husain Haekal

Kabilah-kabilah berkomplot terhadap Muslimin - Serbuan
Banu Asad Khalid al-Hudhali - Terbunuhnya Khubaib
dan teman-temannya di Raji' - Terbunuhnya Muslimin di
Bi'ir Ma'una - Pengosongan Banu Nadzir dari Medinah -
Ekspedisi Badr yang terakhir - Ekspedisi
Dumat'l-Jandal.

ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita
kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk
dengan rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke
Mekah, langsung menuju Ka'bah sebelum ia pulang ke rumah.
Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia
pulang ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa
ia takkan mendekati isterinya sebelum dapat mengalahkan
Muhammad.

Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka melihat kota Medinah
sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh tetap
mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai
keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang
duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak
yang menang.

Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak
sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan Muhammad di
kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa
keadaan memang sudah sangat genting dan gawat sekali, bukan
hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah melampaui
sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah
merasa ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada
mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak menentangnya
lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh karena itu ia ingin
sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk Medinah dan
kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu
kemungkinan menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan
kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.

Berita pertama yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud,
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua bersaudara -
dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau mentaatinya,
untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam
rumahnya sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan
merampas ternak Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang
sekeliling kota itu. Yang menyebabkan mereka berani berbuat
begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya
masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di
Uhud.

Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan yang
terdiri dari 150 orang, termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya berjalan pada malam hari dan siangnya bersembunyi
dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, supaya
jangan ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian
mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil
menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta
mereka sudah terkepung. Dikalahkannya anak buahnya dalam
menghadapi perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak
dapat bertahan lagi. Dua pasukan segera dikirim mengejar
mereka dan merebut rampasan perang yang ada. Ia dan anak
buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan pasukan
pengejar itu kembali membawa rampasan perang.

Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan, untuk
Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka kembali ke
Medinah dengan sudah membawa kemenangan. Kewibawaan yang
karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak berkuramg, kini
mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak
lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat
perang Uhud dan luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja keras
lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang
diderita terus sampai meninggalnya.

Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad bahwa
Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla
atau di 'Urana telah mengumpulkan orang pula hendak
menyerangnya. Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah
b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut.
Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya ia sedang berada di rumah bersama dengan
isteri-isterinya.

"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai.

"Saya dari golongan Arab juga," jawabnya. "Mendengar tuan
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya datang
kemari."

Khalid berterus-terang, bahwa ia memang sedang mengumpulkan
orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah melihat
sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya jalan supaya ia mau berjalan
bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya
dia di tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya.
Sekembalinya ke Medinah disampaikannya berita itu kepada
Rasul.

Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang
Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang saja,
sekarang mulai terpikir akan mengadakan pembalasan dengan
suatu tipu-muslihat.

Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan itu mengutus
rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami
ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat
tuan bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hukum
agama dan Qur'an kepada kami.

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan
pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus
sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang
dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan,
seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke
Medinah sesudah Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang
sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan
rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu pangkalan
air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang
disebut ar-Raji', ternyata mereka telah dikhianati, dengan
tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan
Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam orang Muslimin itu
jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang
hendak mempertahankan diri. Tetapi pihak Hudhail berkata
kepada mereka:

"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami
berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh
kamu."

Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti
suatu penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan.
Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka tetap akan
mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa
dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari mereka ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya sudah
makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b.
Tariq, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah
jalan berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia
mencabut pedang. Oleh karena rombongan yang lain berada di
belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia puntewas
karenanya.

Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke
Mekah, lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan
b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan
atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh
Abu Sufyan ia ditanya:

"Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah yang harus
dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada
keluargamu."

"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya sekarang
ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku
di tempat keluarga, aku tidak sudi."

Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:

"Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya
demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai
Muhammad."

Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.

Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:

"Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan salat dua
raka'at?"

Permintaan demikian itu dikabulkan. Iapun sembahyang dua
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka
lagi:

"Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja
memperlambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan
sembahyang lebih banyak lagi."

Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu,
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:

"Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari
mereka itu."

Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka
merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun
dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk
Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal,
sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan
agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada
keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa hanya
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut
itu - sebagai tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik
dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan demi kebenaran.
Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di
atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum
Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak yang menang,
yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan membersihkan
segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana
mestinya, bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma
Allah.

Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara
apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang
jijik perbuatan khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari
medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang
berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya
mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka
itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy,
setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan
licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan
Quraisy terhadap dua orang yang tak bersenjata itu, padahal
apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan pengecut dan
tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip
kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang
merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik
sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan
dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang
didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama,
telah lebih dulu pula mereka bunuh.

Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali
atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur
sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.

Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang
lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.

Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya
supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu
juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang
dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu
saya harap mereka itu akan menerima."

Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan
sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan
Hudhail terhadap Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan
tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'.

"Saya menjamin mereka," katanya lagi. "Kirimkanlah utusan
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."

Abu Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya
dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah
diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan
pihak lain.

Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari Banu
Sa'ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun
berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah Banu 'Amir
dan Banu Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada 'Amir
bin't-Tufail. Tetapi oleh 'Amir surat itu tidak dibacanya,
malah orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan
Banu 'Amir supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi setelah
mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu Bara' 'Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain.
Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama
dia mereka berangkat dan mengepung rombongan Muslimin di
tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera
mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.

Hanya Ka'b b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum mati. Kemudian ia
pun pergi pulang ke Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia
masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan
pulang di tengah jalan 'Amr bertemu dengan dua orang yang
dikiranya turut menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua
orang itu sampai tidur lebih dulu, kemudian diserangnya dan
dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu
kepada Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir,
dari golongan Abu Bara' dan yang juga terikat oleh suatu
perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini
berarti harus diselesaikan dengan diat.

Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di
Bi'ir Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan Abu
Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."

Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 'Amir
bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu
bertindak menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas
perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita
Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang
telah membunuh sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh
umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka yang telah
menimpa saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan
penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai syuhada, dan
mereka semua akan mendapat surga.

Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan
kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan
kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi pandangan
mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir dengan
suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan
yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum
Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan
merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat
diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat
menanamkan perpecahan didalam, yang berarti akan dapat
menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi dan orang-orang
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan
menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang
lebih baik daripada membiarkan mereka, supaya nanti niat
mereka terbongkar.

Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu 'Amir, maka
Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka - yang tidak jauh
dari Quba'[ - dengan membawa sepuluh orang Muslimin
terkemuka, diantaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah
dibunuh tidak sengaja oleh 'Amr b. Umayya itu dan tidak
diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan perlindungan
kepada mereka.
(bersambung ke bagian 2/2)




BAGIAN KEENAMBELAS: PENGARUH UHUD (2/2)
Muhammad Husain Haekal

Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan
sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan.
Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik
bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang
berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu
tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka'b
b. Asyraf. Salah seorang dari mereka itu ('Amr b. Jihasy b.
Ka'b) tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk
bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali,
lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan
mereka itu telah didengarnya.

Dengan demikian, diam-diam ia menarik diri dari tempat itu
dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Mereka menduga ia
pergi untuk suatu urusan.

Sebaliknya pihak Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu
lagi mereka; apa yang harus mereka katakan, dan apa pula yang
harus mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau
mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya Muhammad akan
mengadakan pembalasan keras. Jika mereka biarkan saja,
kalau-kalau persekongkolan mereka terhadap Muhammad dan
sahabat-sahabatnya tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian
perjanjian mereka dengan pihak Muslimin tetap berlaku. Jadi
sekarang mereka berusaha meyakinkan tamu-tamu Muslimin itu
yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa kecurigaan mereka
tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.

Tetapi sahabat-sahabat Muhammad setelah lama menunggunya,
mereka pun pergi pula mencarinya. Tatkala ada orang yang
datang dari Medinah dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad
sudah sampai di kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka
pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai
apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang Yahudi
itu serta maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah
mereka menyadari apa yang telah mereka lihat itu. Mereka
percaya akan ketajaman pandangan Rasul serta akan apa yang
telah diwahyukan kepadanya.

Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya:

"Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka,
bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu
keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang
sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati
aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu.
Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal
lehernya."

Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan.
Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi,
mereka tidak menjawab apa-apa lagi; kecuali katanya kepada Ibn
Maslama:

"Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang
golongan Aus." Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan
mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj,
tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:

"Hati orang sudah berubah."

Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi
dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan
Abdullah b. Ubayy dengan mengatakan: "Jangan ada orang yang
mau meninggalkan rumah-rumah kamu dan harta benda kamu.
Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku
sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab
yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan
bertahan sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak
lain menyentuh kamu."

Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy
itu. Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya
kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu
Qainuqa' seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir
sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang
meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu
Quraidza takkan dapat membela mereka mengingat adanya suatu
perjanjian dengan pihak Muhammad. Disamping itu, kalau mereka
keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain
yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib
bila kurma mereka nanti sudah berbuah; mereka akan memetik
buah kurma itu lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka
tidak akan mengalami banyak kerugian

"Tidak," kata Huyayy b. Akhtab pemimpin mereka. "Malah kita
yang harus mengirim pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak
akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita. Terserah
apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu
kita; kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita
akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan
batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat
setahun, air pun tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan
mengepung kita setahun penuh."

Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar
dari perkampungan itu.

Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama duabelas malam
bertempur melawan mereka. Ketika itu bila sudah tampak
Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke
rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan.
Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi
pohon-pohon kurma kepunyaan orangorang Yahudi itu, lalu
membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan
terlalu terikat pada harta-bendanya lagi dan tidak akan
terlalu bersemangat mau berperang

Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak:

"Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela
orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma
ditebangi dan dibakar?!"

Dalam hal ini firman Tuhan turun:

"Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan
berdiri dengan batangnya, adalah dengan ijin Allah juga, dan
karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum
itu."(Qur'an, 59: 5)

Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya bantuan
dari Abdullah b. Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang
dan salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa
mereka hanya akan beroleh nasib buruk saja apabila terus
bersitegang hendak berperang. Setelah ternyata mereka dalam
putus-asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad,
meminta jaminan keamanan atas harta-benda, darah serta
anak-anak keturunan mereka; sampai mereka keluar dari Medinah.
Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka; asal mereka keluar
dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan
muatan harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati
mereka. Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka
dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab.

Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang
lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri'at di bilangan
Syam. Harta-benda yang mereka tinggalkan menjadi barang
rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa
50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di samping tanah milik
orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap
sebagai rampasan perang; oleh karenanya tak dapat
dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan khusus di
tangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri
menurut kebijaksanaannya. Dan tanah itu kemudian
dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di luar
golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian khusus yang
hasilnya akan menjadi hak fakir-miskin. Dengan demikian kaum
Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum
Anshar dan inipun sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari
pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan
Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.

Muhammad memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada
kaum Muhajirin.

Dari golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk
Islam kecuali dua orang. Mereka masuk Islam karena harta
mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.

Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin
serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita
kemukakan betapa Rasul .a.s. memperhitungkan, bahwa adanya
mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam
menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang
munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak
Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang
saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.

Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun:

"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik,
yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari
kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir keluar, niscaya kami
pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan
dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini; dan
kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi
Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka.
Kalaupun mereka ini diusir keluar, mereka pun tidak akan ikut
bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini diperangi, mereka
pun tidak akan turut membantu. dan kalaupun mereka sampai
membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri; lalu
mereka ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati
mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah,
sebab mereka adalah golongan yang tidak mengerti." (Qur'an,
59: 11-13)

Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan
tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah
semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan
kehormatan dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.

"Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala
yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah
Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus. Pembawa
Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha
Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka
persekutukan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk
rupa, PadaNyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di
langit dan di bumi berbakti kepadaNya. Dan Dia Maha Kuasa,
Maha Bijaksana." (Qur'an, 59: 22 - 24)

Sampai pada waktu dikosongkannya Medinah dari Banu Nadzir,
yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu ialah orang Yahudi.
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengiriman surat-surat
dalam bahasa Ibrani dan Asiria. Tetapi setelah orang-orang
Yahudi keluar, Nabi jadi kuatir kalau jabatan yang memegang
rahasianya itu bukan di tangan orang Islam. Dari kalangan
pemuda Islam di Medinah dimintanya Zaid b. Thabit supaya
mempelajari kedua bahasa tersebut, yang dalam segala urusan
kemudian ia akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit
inilah yang telah mengumpulkan Qur'an pada masa khilafat Abu
Bakr, dan dia pula yang kembali dan mengawasi pengumpulan
Qur'an tatkala terjadi perbedaan cara membaca pada masa
pemerintahan Usman. Lalu yang dipakai hanya Mushhaf Usman,
yang lain dibakar.

Suasana Medinah jadi tenteram setelah Yahudi Banu Nadzir
keluar. Pihak Muslimin tidak lagi merasa takut terhadap
orang-orang munafik. Bahkan kaum Muhajirin bersuka hati
memperoleh tanah bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan
Anshar turut gembira karena Muhajirin sudah tidak lagi
bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega.
Dalam suasana yang begitu tenang, aman dan tenteram, baik
Muhajirin maupun Anshar, semua mereka merasa senang. Dalam
pada mereka dalam keadaan demikian, setelah berlalu waktu
setahun sejak peristiwa Uhud, teringat oleh Muhammad
'alaihi'sh shalatu was-salam - ucapan Abu Sufyan: "Yang
sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun
depan!" serta ajakannya kepada Muhammad untuk mengadakan
perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering
(paceklik). Harapan Abu Sufyan ialah sekiranya perang itu
diadakan dalam waktu lain saja.

Untuk itu diutusnya Nusaim (b. Mas'ud) ke Medinah dengan
mengatakan kepada pihak Muslimin, bahwa Quraisy telah
mengerahkan tentaranya begitu besar yang belum ada taranya
dalam sejarah Arab; sudah siap akan memerangi mereka, akan
menghancur-luluhkan mereka sehingga tidak akan tersisa lagi.
Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak
diantara mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr.
Tetapi Muhammad jadi marah karena sikap lemah dan mau surut
itu. Ia bersumpah mengatakan kepada mereka, bahwa ia akan
pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.

Melihat kejengkelan yang luar biasa itu segala sikap maju
mundur dan perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin
sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke Badr. Dalam
hal ini pimpinan kota Medinah oleh Nabi diserahkan kepada
Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul.

Muslimin yang sudah sampai di Badr, sekarang menantikan
kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga
pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula berangkat
dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua hari
perjalanan tampaknya Abu Sufyan mau kembali pulang. Ia
memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:

"Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat kita
hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita dalam musim
kering. Saya sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah
kamu sekalian."

Mereka itu kembali pulang.

Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin selama delapan
hari terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu
pula waktu mereka pergunakan sambil berdagang. Dan dalam
perdagangan itu mereka mendapat laba. Mereka kembali ke
Medinah pun kemudian dengan gembira, telah mendapat karunia
dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:

"Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka sendiri
tinggal di belakang: 'Sekiranya mereka itu mengikut kita,
niscaya mereka takkan mati terbunuh.' Katakanlah: Cobalah
hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu orang-orang
yang benar. Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah itu sudah mati. Tidak! Mereka itu hidup dengan
mendapat bagian dari Tuhan. Mereka dalam suasana gembira
karena karunia yang diberikan Tuhan juga; mereka girang sekali
terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di belakang, bahwa
mereka tidak merasa takut dan tidak pula berdukacita. Mereka
girang karena karunia dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan
menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah
memenuhi panggilan, Tuhan dan Rasul meskipun mereka sudah
mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan dapat
memelihara diri dari kejahatan; mereka itulah yang akan
mendapat pahala besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka:
'Sebenarnya orang-orang sudah berkumpul hendak melawan kamu.
Karena itu hendaklah kamu takut kepada mereka. Tetapi hal ini
bahkan menambah kuat iman mereka, dan jawab mereka: Cukup
Tuhan bersama kami dan Ia Pelindung yang sebaik-baiknya.
Mereka kembali mendapatkan nikmat dan karunia dari Tuhan.
Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka mengikut perkenaan
Allah. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang besar. Yang
demikian itu hanyalah setan yang menakut-nakuti
pengikut-pengikutnya. Jangan kamu takut kepada mereka, tapi
takutlah kepadaKu, kalau benar-benar kamu orang-orang
beriman." (Qura'an, 3: 168 - 175)

Dengan demikian perang Badr yang terakhir benar-benar telah
menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy hanya
tinggal lagi menunggu kesempatan lain, dengan tetap mereka
bergelimang dalam kecemaran karena sifat pengecutnya yang
tidak kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam
perang Badr pertama.

Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega tinggal di
Medinah, merasa tenteram hatinya karena kewibawaan Muslimin
kini telah kembali. Sungguhpun begitu ia selalu waspada
terhadap segala tipu-muslihat musuh, selalu awas-awas ke
segenap jurusan.

Sementara dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba terbetik
berita, bahwa ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang
sedang bersepakat hendak memeranginya. Dan taktiknya selalu
dalam hal ini ialah menyergap musuh secara tiba-tiba sebelum
musuh itu sempat mengadakan persiapan mempertahankan diri.
Oleh karena itulah, dengan kekuatan empat ratus orang ia
berangkat menuju Dhat'r-Riqa'. Di tempat ini pihak Banu
Muharib dan Banu Tha'laba dari Ghatafan sudah berkumpul.
Begitu ia dilihat oleh mereka, ia langsung melakukan
penyerbuan ke tempat-tempat mereka itu. Dengan meninggalkan
kaum wanita dan harta, mereka lari tunggang-langgang. Apa yang
dapat dibawa oleh Muslimin dibawanya, dan mereka kembali
pulang ke Medinah.

Akan tetapi, karena dikuatirkan pihak musuh akan kembali
menyerang mereka, siang malam mereka pun secara bergantian
mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang
juga oleh Muhammad dilakukan dengan salat khauf.1 Dalam hal
ini sebagian mereka menghadap ke jurusan musuh, karena
dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka,
sementara mereka sedang bersembahyang dua raka'at bersama-sama
Muhammad itu. Akan tetapi selama itu tidak ada bayangan musuh
yang tampak. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabat kembali ke
Medinah setelah 15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses
demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali.

Tidak lama sesudah itu Nabi pun berangkat lagi dalam suatu
ekspedisi, yakni ekspedisi Dumat'l-Jandal. Dumat'l-Jandal ini
adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan Hijaz-Syam, yang
terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk
Persia. Muhammad sendiri tidak sampai bertemu dengan
kabilah-kabilah yang ingin dihadapinya itu dan yang suka
menyerang kafilah-kafilah di sana; sebab baru mereka mendengar
namanya saja, mereka sudah ketakutan dan sudah kabur lebih
dulu, dengan meninggalkan harta benda yang kemudian dibawa
Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan
batas Dumat'l-Jandal secara geografis kita sudah dapat melihat
betapa luasnya pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu,
betapa jauhnya kekuasaan mereka dan betapa pula seluruh
jazirah itu merasa takut. Begitu juga kita melihat bagaimana
Muslimin itu menanggung segala macam beban dalam
ekspedisi-ekspedisi itu, dengan tidak pedulikan panas terik
yang rnembakar, tanah yang kering dan gersang, air yang sukar
diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan.
Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan
dan sukses itu, yang telah memberikan kekuatan moril kepada
mereka, yaitu: keteguhan iman, iman yang hanya kepada Allah
semata-mata.

Sekarang tiba waktunya buat Muhammad beristirahat di Medinah
untuk selama beberapa bulan berikutnya, sementara menantikan
Quraisy sampai tahun depan - tahun kelima Hijrah - dan
menjalankan perintah Tuhan menyelesaikan suatu susunan
masyarakat bagi umat Islam yang baru tumbuh itu, suatu
organisasi yang pada waktu itu meliputi beberapa ribu orang
dan yang kemudian akan meliputi jutaan bahkan ratusan juta
umat Islam. Dalam membuat struktur masyarakat itu, ia
bertindak dengan cara yang begitu cermat dan baik sekali,
sejalan dengan wahyu Tuhan yang diberikan kepadanya, dan
ditentukannya sendiri pula mana-mana yang sesuai dengan
perintah dan ajaran wahyu itu, dengan ketentuan-ketentuan
terperinci yang oleh sahabat-sahabat pada waktu itu diberi
tempat yang suci, dan yang selanjutnya akan tetap berlaku
begitu sepanjang masa dan generasi; wahyu yang tiada dimasuki
kepalsuan dari manapun juga, baik dari semula maupun sesudah
itu.

Catatan kaki:

1 Shalat'l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni
sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku
fikih (A).

Tiada ulasan: